DOSEN PENGAMPU :
Nama : Dr. Ir. Waterman Sulistyana Bargawa, MT.
DISUSUN OLEH :
MUHAMMAD TAUFIQUL HAKIM 112180126
YOVAN ADRIEL NATANAEL 112180137
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya
tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu
Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas akhir dari mata kuliah Hukum
Acara Peradilan Agama dengan judul “GANESA MINERAL BATUBARA”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat
banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada guru
Bahasa Indonesia kami yang telah membimbing dalam menulis makalah ini.
Di Indonesia, batu bara merupakan bahan bakar utama selain solar (diesel
fuel) yang telah umum digunakan pada banyak industri, dari segi ekonomis batu bara
jauh lebih hemat dibandingkan solar, dengan perbandingan sebagai berikut: Solar Rp
0,74/kilo calori sedangkan batu bara hanya Rp 0,09/kilocalori, (berdasarkan harga
solar industri Rp. 6.200/liter).
Dari segi kuantitas batubara termasuk cadangan energi fosil terpenting bagi
Indonesia. Jumlahnya sangat berlimpah, mencapai puluhan milyar ton. Jumlah ini
cukup untuk memasok kebutuhan energi listrik hingga ratusan tahun ke depan.
Sayangnya, Indonesia tak mungkin membakar habis batubara dalam bentuk PLTU.
Selain mengotori lingkungan melalui polutan CO2, SO2, NOx dan CxHy cara ini
dinilai kurang efisien dan kurang memberi nilai tambah tinggi.
Batubara sebaiknya tidak langsung dibakar, akan lebih bermakna dan efisien
jika dikonversi menjadi migas sintetis, atau bahan petrokimia lain yang bernilai
ekonomi tinggi. Dua cara yang dipertimbangkan dalam hal ini adalah likuifikasi
(pencairan) dan gasifikasi (penyubliman) batubara.
Membakar batu bara secara langsung (direct burning) telah dikembangkan
teknologinya secara continue, yang bertujuan untuk mencapai efisiensi pembakaran
yang maksimum, cara-cara direct burning seperti: fixed grate, chain grate, fluidized
bed, pulverized, dan lain-lain, masing-masing mempunyai kelebihan dan
kelemahannya.
BAB I
PENDAHULUAN
Di Indonesia, batu bara merupakan bahan bakar utama selain solar (diesel fuel) yang
telah umum digunakan pada banyak industri, dari segi ekonomis batu bara jauh lebih
hemat dibandingkan solar, dengan perbandingan sebagai berikut: Solar Rp 0,74/kilo
calori sedangkan batu bara hanya Rp 0,09/kilocalori, (berdasarkan harga solar
industri Rp. 6.200/liter).
Coal gasification adalah sebuah proses untuk merubah batu bara padat menjadi gas
batu bara yang mudah terbakar (combustible gases), setelah proses pemurnian gas-gas
ini CO (karbon monoksida), karbon dioksida (CO2), hidrogen (H), methane (CH4),
dan nitrogen (N2) – dapat digunakan sebagai bahan bakar. hanya menggunakan udara
dan uap air sebagai reacting-gas kemudian menghasilkan water gas atau coal gas,
gasifikasi secara nyata mempunyai tingkat emisi udara, kotoran padat dan limbah
terendah.
Tetapi, batu bara bukanlah bahan bakar yang sempurna. Terikat didalamnya adalah
sulfur dan nitrogen, bila batu bara ini terbakar kotoran-kotoran ini akan dilepaskan ke
udara, bila mengapung di udara zat kimia ini dapat menggabung dengan uap air
(seperti contoh kabut) dan tetesan yang jatuh ke tanah seburuk bentuk sulfuric dan
nitric acid, disebut sebagai “acid rain”. Disini juga ada noda mineral kecil, termasuk
kotoran yang umum tercampur dengan batu bara, partikel kecil ini tidak terbakar dan
membuat debu yang tertinggal di coal combustor, beberapa partikel kecil ini juga
tertangkap di putaran combustion gases bersama dengan uap air, dari asap yang
keluar dari cerobong beberapa partikel kecil ini adalah sangat kecil setara dengan
rambut manusia.
1.2 Rumusan Masalah
LANDASAN TEORI
Batubara adalah termasuk salah satu bahan bakar fosil. Pengertian umumnya
adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari endapan organik,
utamanya adalah sisa-sisa tumbuhan dan terbentuk melalui proses pembatubaraan.
Unsur-unsur utamanya terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen. Batubara juga
adalah batuan organik yang memiliki sifat-sifat fisika dan kimia yang kompleks yang
dapat ditemui dalam berbagai bentuk. Analisa unsur memberikan rumus formula
empiris seperti : C137H97O9NS untuk bituminus dan C240H90O4NS untuk antrasit.
Pembentukan batubara dimulai sejak Carboniferous Period (Periode
Pembentukan Karbon atau Batu Bara) – dikenal sebagai zaman batu bara pertama –
yang berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Mutu dari setiap
endapan batu bara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu pembentukan,
yang disebut sebagai ‘maturitas organik’. Proses awalnya gambut berubah menjadi
lignite (batu bara muda) atau ‘brown coal (batu bara coklat)’ – Ini adalah batu bara
dengan jenis maturitas organik rendah. Dibandingkan dengan batu bara jenis lainnya,
batu bara muda agak lembut dan warnanya bervariasi dari hitam pekat sampai
kecoklat-coklatan.
Mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan
tahun, batu bara muda mengalami perubahan yang secara bertahap menambah
maturitas organiknya dan mengubah batu bara muda menjadi batu bara ‘sub-
bitumen’. Perubahan kimiawi dan fisika terus berlangsung hingga batu bara menjadi
lebih keras dan warnanya lebh hitam dan membentuk ‘bitumen’ atau ‘antrasit’.
Dalam kondisi yang tepat, penigkatan maturitas organik yang semakin tinggi terus
berlangsung hingga membentuk antrasit.
Hampir seluruh pembentuk batubara berasal dari tumbuhan. Jenis-jenis tumbuhan
pembentuk batubara dan umurnya menurut Diessel (1981) adalah sebagai berikut:
Alga, dari Zaman Pre-kambrium hingga Ordovisium dan bersel tunggal.
Sangat sedikit endapan batubara dari perioda ini.
Silofita, dari Zaman Silur hingga Devon Tengah, merupakan turunan dari
alga. Sedikit endapan batubara dari perioda ini.
Pteridofita, umur Devon Atas hingga KArbon Atas. Materi utama pembentuk
batubara berumur Karbon di Eropa dan Amerika Utara. Tetumbuhan tanpa
bunga dan biji, berkembang biak dengan spora dan tumbuh di iklim hangat.
Gimnospermae, kurun waktu mulai dari Zaman Permian hingga Kapur
Tengah. Tumbuhan heteroseksual, biji terbungkus dalam buah, semisal pinus,
mengandung kadar getah (resin) tinggi. Jenis Pteridospermae seperti
gangamopteris dan glossopteris adalah penyusun utama batubara Permian
seperti di Australia, India dan Afrika.
Angiospermae, dari Zaman Kapur Atas hingga kini. Jenis tumbuhan modern,
buah yang menutupi biji, jantan dan betina dalam satu bunga, kurang bergetah
dibanding gimnospermae sehingga, secara umum, kurang dapat terawetkan.
Tingkat perubahan yang dialami batu bara, dari gambut sampai menjadi antrasit –
disebut sebagai pengarangan – memiliki hubungan yang penting dan hubungan
tersebut disebut sebagai ‘tingkat mutu’ batu bara. Berdasarkan tingkat proses
pembentukannya yang dikontrol oleh tekanan, panas dan waktu, batubara umumnya
dibagi dalam lima kelas: antrasit, bituminus, sub-bituminus, lignit dan gambut.
Antrasit adalah kelas batubara tertinggi, dengan warna hitam berkilauan (luster)
metalik, mengandung antara 86% – 98% unsur karbon (C) dengan kadar air kurang
dari 8%.
Bituminus mengandung 68 – 86% unsur karbon (C) dan berkadar air 8-10% dari
beratnya. Kelas batubara yang paling banyak ditambang di Australia.
Sub-bituminus mengandung sedikit karbon dan banyak air, dan oleh
karenanya menjadi sumber panas yang kurang efisien dibandingkan dengan
bituminus.
Lignit atau batubara coklat adalah batubara yang sangat lunak yang
mengandung air 35-75% dari beratnya.
Gambut, berpori dan memiliki kadar air di atas 75% serta nilai kalori yang
paling rendah.
BAB III
PEMBAHASAN
1. a. Jenis-jenis BatuBara
Tingkat perubahan yang dialami batu bara, dari gambut sampai menjadi antrasit –
disebut sebagai pengarangan – memiliki hubungan yang penting dan hubungan
tersebut disebut sebagai ‘tingkat mutu’ batu bara. Berdasarkan tingkat proses
pembentukannya yang dikontrol oleh tekanan, panas dan waktu, batubara umumnya
dibagi dalam lima kelas: antrasit, bituminus, sub-bituminus, lignit dan gambut.
Secara umum, parameter kualitas batubara yang sering digunakan adalah kalori,
kadar kelembaban, kandungan zat terbang, kadar abu, kadar karbon, kadar sulfur,
ukuran, dan tingkat ketergerusan, disamping parameter lain seperti analisis unsur
yang terdapat dalam abu (SiO2, Al2O3, P2O5, Fe2O3, dll), analisis komposisi sulfur
(pyritic sulfur, sulfate sulfur, organic sulfur), dan titik leleh abu (ash fusion
temperature).
Pengaruh-pengaruh parameter di atas terhadap peralatan pembangkitan listrik
adalah sebagai berikut:
1. Kalori (Calorific Value atau CV, satuan cal/gr atau kcal/kg)
CV sangat berpengaruh terhadap pengoperasian pulveriser/mill, pipa batubara,
dan windbox, serta burner. Semakin tinggi CV maka aliran batubara setiap jam-nya
semakin rendah sehingga kecepatan coal feederharus disesuaikan.
batubara dengan kadar kelembaban dan tingkat ketergerusan yang sama,
maka dengan CV yang tinggi menyebabkan pulveriser akan beroperasi di bawah
kapasitas normalnya (menurut desain), atau dengan kata lain operating ratio-nya
menjadi lebih rendah.
2. Kadar kelembaban (Moisture, satuan persen)
Hasil analisis untuk kelembaban terbagi menjadi free moisture (FM)
daninherent moisture (IM). Adapun jumlah dari keduanya disebut dengan total
moisture (TM). Kadar kelembaban mempengaruhi jumlah pemakaian udara
primernya. Batubara berkadar kelembaban tinggi akan membutuhkan udara primer
lebih banyak untuk mengeringkan batubara tersebut pada suhu yang ditetapkan oleh
output pulveriser.
3. Zat terbang (Volatile Matter atau VM, satuan persen)
Kandungan VM mempengaruhi kesempurnaan pembakaran dan intensitas api.
Penilaian tersebut didasarkan pada rasio atau perbandingan antara kandungan karbon
(fixed carbon) dengan zat terbang, yang disebut dengan rasio bahan bakar (fuel ratio).
Semakin tinggi nilai fuel ratio maka jumlah karbon di dalam batubara yang
tidak terbakar juga semakin banyak. Jika perbandingan tersebut nilainya lebih dari
1.2, maka pengapian akan kurang bagus sehingga mengakibatkan kecepatan
pembakaran menurun.
4. Kadar abu (Ash content, satuan persen)
Kandungan abu akan terbawa bersama gas pembakaran melalui ruang bakar
dan daerah konversi dalam bentuk abu terbang (fly ash) yang jumlahnya mencapai 80
persen dan abu dasar sebanyak 20 persen. Semakin tinggi kadar abu, secara umum
akan mempengaruhi tingkat pengotoran (fouling), keausan, dan korosi peralatan yang
dilalui.
5. Kadar karbon (Fixed Carbon atau FC, satuan persen)
Nilai kadar karbon diperoleh melalui pengurangan angka 100 dengan jumlah
kadar air (kelembaban), kadar abu, dan jumlah zat terbang. Nilai ini semakin
bertambah seiring dengan tingkat pembatubaraan. Kadar karbon dan jumlah zat
terbang digunakan sebagai perhitungan untuk menilai kualitas bahan bakar, yaitu
berupa nilai fuel ratio sebagaimana dijelaskan di atas.
6. Kadar sulfur (Sulfur content, satuan persen)
Kandungan sulfur dalam batubara terbagi dalam pyritic sulfur, sulfate sulfur,
dan organic sulfur. Namun secara umum, penilaian kandungan sulfur dalam batubara
dinyatakan dalam Total Sulfur (TS). Kandungan sulfur berpengaruh terhadap tingkat
korosi sisi dingin yang terjadi pada elemen pemanas udara, terutama apabila suhu
kerja lebih rendah dari pada titik embun sulfur, di samping berpengaruh terhadap
efektivitas penangkapan abu pada peralatanelectrostatic precipitator.
7. Ukuran (Coal size)
Ukuran butir batubara dibatasi pada rentang butir halus (pulverized coal
ataudust coal) dan butir kasar (lump coal). Butir paling halus untuk ukuran
maksimum 3 milimeter, sedangkan butir paling kasar sampai dengan ukuran 50
milimeter.
8. Tingkat ketergerusan (Hardgrove Grindability Index atau HGI)
Kinerja pulveriser atau mill dirancang pada nilai HGI tertentu. Untuk HGI
lebih rendah, kapasitasnya harus beroperasi lebih rendah dari nilai standarnya pula
untuk menghasilkan tingkat kehalusan (fineness) yang sama
Pembentukan Batubara
Teori Insitu :
Ciri :
-Penyebaran luas dan merata
-Kualitas lebih baik
Contoh : Muara Enim
Teori Drift:
Ciri :
-Penyebaran tidak luas tetapi banyak
-kualitas kurang baik (mengandung psr pengotor).
Contoh : pengendapan delta di aliran sungai Mahakam
Bentuk Lapisan-Lapisan Batubara
Berdasarakan lapisan batubara dibagi menjadi 2 yaitu Plies (lapisan utuh) dan
Split (terdapat 2 lapisan atau lebih). Pada awal pembentukan gambut sebagian besar
perlapisan mendatar (tergantung dr topografi cekungan pengendapannya). Setelah
bekerja gaya geologi akan terdapat bermacam – macam bentuk perlapisan Batubara.
Antara lain: Horse Back (tjd post depositional), Pinch (tjd post depositional), Burriea
Hill ( tjd krn adanya intrusi magma), Fault (patahan), dan Lipatan. patahan bukan
hanya terjadi karena gempa namun juga bisa karena lapisan dibawahnya adalah pasir
yang dalam keadaan jenuh bisa berpindah.
Penambangan BatuBara
Proses penambangan batu bara sangat ditentukan oleh unsur geologi endapan
batu bara. Pada umumnya, terdapat 2 proses penambangan batu bara, yaitu :
2. Tambang terbuka/permukaan
Klasifikasi Batubara
Coal gasification adalah sebuah proses untuk merubah batubara padat menjadi
gas batu bara yang mudah terbakar (combustible gases), setelah proses pemurnian
gas-gas ini CO (karbon monoksida), karbon dioksida (CO2), hidrogen (H), metan
(CH4), dan nitrogen (N2) – dapat digunakan sebagai bahan bakar. hanya
menggunakan udara dan uap air sebagai reacting-gas kemudian menghasilkan water
gas atau coal gas, gasifikasi secara nyata mempunyai tingkat emisi udara, kotoran
padat dan limbah terendah.
Tetapi, batubara bukanlah bahan bakar yang sempurna. Terikat didalamnya
adalah sulfur dan nitrogen, bila batubara ini terbakar kotoran-kotoran ini akan
dilepaskan ke udara, bila mengapung di udara zat kimia ini dapat menggabung
dengan uap air (seperti contoh kabut) dan tetesan yang jatuh ke tanah seburuk bentuk
asam sulfurik dan nitrit, disebut sebagai “hujan asam” “acid rain”. Disini juga ada
noda mineral kecil, termasuk kotoran yang umum tercampur dengan batubara,
partikel kecil ini tidak terbakar dan membuat debu yang tertinggal di coal combustor,
beberapa partikel kecil ini juga tertangkap di putaran combustion gases bersama
dengan uap air, dari asap yang keluar dari cerobong beberapa partikel kecil ini adalah
sangat kecil setara dengan rambut manusia.
Batubara di Indonesia
Pemanfaatan
KESIMPULAN
Batubara adalah termasuk salah satu bahan bakar fosil. Pengertian umumnya
adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari endapan organik,
utamanya adalah sisa-sisa tumbuhan dan terbentuk melalui proses pembatubaraan.
Unsur-unsur utamanya terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen. Batubara juga
adalah batuan organik yang memiliki sifat-sifat fisika dan kimia yang kompleks yang
dapat ditemui dalam berbagai bentuk. Analisa unsur memberikan rumus formula
empiris seperti : C137H97O9NS untuk bituminus dan C240H90O4NS untuk antrasit.
Pembentukan batubara dimulai sejak Carboniferous Period (Periode
Pembentukan Karbon atau Batu Bara) – dikenal sebagai zaman batu bara pertama –
yang berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Mutu dari setiap
endapan batu bara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu pembentukan,
yang disebut sebagai ‘maturitas organik’. Proses awalnya gambut berubah menjadi
lignite (batu bara muda) atau ‘brown coal (batu bara coklat)’ – Ini adalah batu bara
dengan jenis maturitas organik rendah. Dibandingkan dengan batu bara jenis lainnya,
batu bara muda agak lembut dan warnanya bervariasi dari hitam pekat sampai
kecoklat-coklatan.
Teori Insitu :
Ciri :
-Penyebaran luas dan merata
-Kualitas lebih baik
Contoh : Muara Enim
Teori Drift:
Bahan Bahan pembtk lapisan batubara terjadi ditempat yang berbeda dengan
tempat tumbuhan semula hidup dan berkembang. Dengan demikian tumbuhan yang
telah mati mengalami transportasi oleh media air dan terakumulasi disuatu tempat,
tertutup oleh lapisan sedimen dan mengalami coalification.1
Ciri :
-Penyebaran tidak luas tetapi banyak
-kualitas kurang baik (mengandung psr pengotor).
Contoh : pengendapan delta di aliran sungai mahakah
DAFTAR PUSTAKA
– Beaton, A.P., Kaikreuth, W. & MacNeil D., The Geology, Petrology, and
Geochemistry of Coal Seams from St. Rose and Chimney Corner Coalfields, Cape
Breton, Nove Scotia, Canada, International Journal of Coal Geology, Vol. 24, h. 47-
73 (1993).
– Pareek, H.S. & Banani Bardhan, Trace Elements and Their Variation along
Seam Profiles of Certain Coal Seams of Middle and Upper Barakar Formation
(Lower Permian) in East Bakaro Coalfield, District Hazaribagh, Bihar, India,
International Journal of Coal Geology, Vol. 5, Elsevier Science Publishing Co., h.
281-314 (1985).
– Samuel, Luki & Muchsin, S., Stratigraphy and Sedimentation in the Kutai
Basin, Kalimantan, Proceeding of the 4th Anniversary Convention Indonesian
Petroleum Association, June 1975 hal. 27-39.