Pemikiran-pemikiran urbanisme baru (new urbanism) banyak muncul sebagai bentuk kritik atas
pertumbuhan kota yang menyebar dan cenderung membentuk sub urban. Urbanisme baru
tersebut memiliki inti pemikiran “mengemballikan orang ke pusat kota”. Pemikiran ini juga
memiliki keterkaitan dengan sustainable development atau pembangunan berkelanjutan.
Pembangunan berkelanjutan merupakan sebuah konsep dimana pembangunan yang dilakukan
saat ini tidak mengurangi kesempatan generasi selanjutnya untuk menggunakan sumber daya
yang ada.
Konsep pembangunan berkelanjutan yang dipahami oleh para cendekiawan Indonesia, terutama
arsitek dan perencana kota, adalah suatu pembangunan yang ramah lingkungan, ramah energi,
serta dapat merubah perilaku masyarakat untuk tidak menggunakan kendaraan pribadi.
Pembangunan seperti ini tentu sangat cocok bagi daerah yang belum sepenuhnya terbangun
atau biasa dikenal dengan istilah green field.
Timothy Beatley dan Steffen Lehmann menggunakan teori 'urbanisme hijau' yang bertujuan
untuk mengubah kota-kota yang ada dari fragmentasi menjadi pemadatan. Menurut Dr.Timothy
Beatley , ini merupakan upaya untuk membentuk tempat yang lebih berkelanjutan, komunitas
dan gaya hidup, dan mengkonsumsi lebih sedikit sumber daya dunia. Deskripsi Beatley tentang
kota berkelanjutan yang khas adalah kota yang kompak dan dapat dilalui dengan taman yang
mudah diakses dan ruang hijau . Kota seperti itu juga akan menekankan bentuk mobilitas yang
berkelanjutan, seperti transportasi umum dan sepeda . Timothy Beatley dan Steffen Lehmann
menggunakan teori 'urbanisme hijau' yang bertujuan untuk mengubah kota-kota yang ada dari
fragmentasi menjadi pemadatan.
(Sumber :] Biophilic Cities: Integrating Nature Into Urban Design and Planning , The Principles of
Green Urbanism (Earthscan, London, 2010))
LATAR BELAKANG
Telah dicatat bahwa urbanisasi dipahami secara luas sebagai pendorong utama emisi karbon , penipisan
sumber daya dan degradasi lingkungan . Prinsip-prinsip urbanisme hijau didasarkan pada kerangka kerja
triple-zero. Ini adalah nol penggunaan energi bahan bakar fosil , nol limbah, dan nol emisi terutama
ditujukan untuk emisi rendah karbon . Lehmann (2010) mencoba untuk mengajukan studi kasus strategis
urbanisme hijau dengan kota pelabuhan Newcastle, New South Wales, Australia. Dalam karya-karyanya
yang baru-baru ini disurvei kota-kota yang berkelanjutan di Eropa dan Australia , Beatley berpendapat
bahwa meskipun kota-kota biasanya mengkonsumsi sejumlah besar bahan bakar fosil dan menghasilkan
limbah dan polusi dalam jumlah besar, mereka adalah pusat paling penting untuk perubahan lingkungan
yang positif. Beatley mencatat bahwa kepadatan populasi yang tinggi yang menjadi ciri sebagian besar
kota (terutama kota-kota Eropa) juga berarti bahwa tanah digunakan secara efisien, bahwa mobil
bukanlah moda transportasi utama , dan konsumsi sumber daya per kapita rendah. Deskripsi Beatley
tentang kota berkelanjutan yang khas adalah kota yang kompak dan dapat dilalui dengan taman
yang mudah diakses dan ruang hijau . Kota seperti itu juga akan menekankan bentuk mobilitas yang
berkelanjutan, seperti transportasi umum dan sepeda .
De Roo (2010) mengungkapkan konsep kota hijau menempatkan ruang hijau di tengah kota
berdasarkan argumen-argumen yang menekankan pentingnya elemen hijau dan posisi elemen
hijau tersebut sebagai solusi dan respon terhadap banyaknya tantangan dalam kehidupan
kontemporer.
Tom Daniels (2008) mengajukan dua tuntutan utama untuk implementasi kota-kota yang lebih
hijau.
Pertama-tama, kebutuhan untuk menciptakan lingkungan yang bersih untuk hidup yang baik.
Kedua, kebutuhan untuk menjadi lebih kompetitif dalam arena global.
Elemen hijau menjadi aset perekonomian utama yang mendukung kota yang hidup seperti tempat
wisata, taman, dan pemandangan air.
Amy Gutmann menambahkan argumen yang berkaitan dengan politik. Dia mengungkapkan
bahwa untuk mendapatkan demokrasi yang sehat maka harus membuat kota yang lebih hijau.
Ibu kota masih identik dengan kota yang pembangunan fisiknya tumbuh pesat contohnya gedung-
gedung pencakar langit di sepanjang jalanan beraspal. Namun konsep itu perlahan ditinggalkan kota besar
di negara-negara maju dunia. kota-kota yang selama ini mendapat predikat kota layak huni justru adalah
kota yang pemerintah maupun masyarakatnya memiliki komitmen tinggi untuk menjaga keberadaan
ruang terbuka hijau (RTH). Sebagai contoh yaitu kota Melbourne, Australia.
Angka ruang terbuka hijau di Melbourne, yang selama enam tahun berturut-turut sejak 2010
mendapat peringkat pertama sebagai kota paling layak huni oleh lembaga analisa Economist Intelligence
Unit (EIU), sudah menembus angka 56 persen dari jumlah total wilayah.
Sementara di Jakarta, luas RTH terus menurun dengan hadirnya bangunan-bangunan pencakar
langit dan pusat perbelanjaan serta permukiman liar di sejumlah wilayah yang sebenarnya tidak
diperuntukkan untuk lahan hunian. Pada tahun 1985, jumlah RTH di Jakarta masih pada angka 25,85
persen. Dua puluh lima tahun kemudian, jumlahnya turun drastis menjadi 9 persen. RTH kota seharusnya
minimal 30 persen dari luas wilayah kota tersebut (UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang).
Di Melbourne, terdapat jalur pejalan kaki sepanjang 500 meter dengan lebar 4 meter dan terdapat
taman atau lahan hijau (pepohonan) di sepanjang jalan pada satu sisi dan sisi lain berupa ruang urban,
café, dan restoran bagi pejalan kaki. Sedangkan di Indonesia, jalan sepanjang kurang lebih 4 kilometer
(dari Sudirman hingga Bundaran HI) hanya terdapat bangunan pencakar langit dan jalanan aspal.
Melbourne sebenarnya memiliki sumber air yang sangat melimpah, sehingga pemerintah setempat
membangun sebuah proyek Water Sensitive Urban Design (WSUD) yang bertujuan untuk meminimalkan
dampak lingkungan yang disebabkan oleh arus urbanisasi. Salah satunya adalah dengan menjaga sumber
air bersih agar tidak terkontaminasi. Beberapa langkah yang dilakukan dalam WSUD untuk menjaga
ketersediaan air antara lain dengan mengurangi penggunaan air (penggunaan air secara efektif dan
efisien) dan menampung air hujan ataupun daur ulang air (filtrasi).
Pemerintah setempat juga membuat program-program dalam skala kecil yang langsung berkaitan
dengan aktivitas masyarakat. Salah satunya adalah program Showerhead Exchange. Program ini mengajak
masyarakat untuk menukarkan shower milik mereka yang lama dan boros dengan shower yang baru yang
lebih hemat air secara gratis. Program lainnya yang berada pada skala lebih besar adalah penerapan
teknologi ramah lingkungan pada desain bangunan (ecobuilding).
International Forum on Urbanism
Sumber : https://news.okezone.com/read/2019/06/24/1/2070284/bedah-masalah-perkotaan-untar-
gelar-international-forum-on-urbanism
lahan permukiman yang mahal serta minimnya ruang terbuka untuk publik.