Anda di halaman 1dari 10

1

Saat ini, banyak walikota bekerja untuk membuat kota mereka fokus pada gerakan lingkungan. Bagi
banyak dari walikota itu, tujuan mereka adalah mengubah kota mereka menjadi kota hijau. Dengan
berkembang untuk mencapai status hijau, para pemimpin bertindak untuk meningkatkan kualitas
udara, menurunkan penggunaan sumber daya yang tidak terbarukan, mendorong pembangunan
rumah hijau, kantor, dan struktur lainnya, mencadangkan lebih banyak ruang hijau, mendukung
metode ramah lingkungan transportasi, dan menawarkan program daur ulang.

Pada tanggal 16 Februari 2005, sebuah perjanjian internasional mengenai gangguan iklim, Protokol
Kyoto, telah diratifikasi oleh lebih dari 140 negara. Saat itu, Wali Kota Seattle, Greg Nickels,
memutuskan untuk mempromosikan aspirasi Protokol Kyoto di Seattle. Dia juga mendorong kota-
kota lain di Amerika Serikat untuk mengikutinya dengan mendesak mereka yang berada di posisi
kepemimpinan untuk mempertimbangkan mengadopsi prinsip-prinsip Protokol Kyoto melalui
Perjanjian Perlindungan Iklim; sehingga menciptakan kota hijau. Pada bulan Juni 2005, 141 walikota
telah menandatangani. Pada awal 2009, Perjanjian telah ditandatangani oleh 935 walikota, yang
mempengaruhi lebih dari 83 juta warga.

Perjanjian Perlindungan Iklim adalah bagian dari struktur dasar untuk kota hijau. Melalui Perjanjian,
kota-kota menyetujui tiga poin tindakan:

1. Upaya untuk memenuhi atau melampaui target yang ditetapkan dalam Protokol Kyoto untuk kota
mereka sendiri melalui kebijakan anti-sprawl hingga restorasi hutan untuk mendidik masyarakat
tentang masalah lingkungan;

2. Mendorong pemerintah negara bagian dan federal untuk menetapkan kebijakan untuk memenuhi
atau melampaui target pengurangan gas rumah kaca yang ditetapkan oleh Protokol Kyoto untuk
Amerika Serikat – yang merupakan pengurangan tingkat dari tahun 1990 sebesar 7% pada tahun
2012;

3. Mendorong legislasi pengurangan gas rumah kaca dan menetapkan sistem penanganan emisi gas
rumah kaca nasional.

Setiap tahun kota-kota teratas didesak untuk mengajukan aplikasi untuk penghargaan yang
membuktikan bahwa mereka adalah kota hijau. Ada beberapa kota yang secara konsisten mencapai
status itu: Boulder, Colorado; Portland, Oregon; Seattle, Washington – untuk menyebutkan
beberapa saja. Setiap tahun, kota-kota baru ditambahkan ke dalam daftar karena pentingnya
lingkungan hidup menjadi lebih luas.

Bagi orang-orang yang ingin memulai hidup mereka di kota hijau, sedikit riset dapat memberi tahu
keajaiban tentang jalan yang diambil kota ini. Misalnya, kota hijau akan memiliki sedikit polusi gas
buang bahan bakar. Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (US EPA) memiliki Indeks
Kualitas Udara yang memberi peringkat pada ozon dan partikel yang ditemukan di udara untuk kota-
kota di seluruh AS. Selain itu, kota hijau akan mendukung dan mendorong transportasi umum yang
ramah lingkungan dan menyediakan jalur carpool, jalur sepeda, dan banyak trotoar dan jalur pejalan
kaki dalam kota.

Kota hijau biasanya sudah menggunakan atau berencana menggunakan bahan bakar alternatif.
Bahan bakar ini dapat mencakup biomassa, pembangkit listrik tenaga air, panas bumi, matahari, dan
angin. Kota-kota yang menggunakan bahan bakar alternatif ini terdaftar melalui situs web tenaga
hijau pemerintah. Ini juga akan memiliki banyak ruang hijau dan program daur ulang kota. Terakhir,
akan memiliki air minum yang aman dan berkualitas tinggi yang melebihi Standar Air Minum.

MAHASISWA UNIVERSITAS GUNADARMA JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR

 Twitter
Blog di WordPress.com.
Tema: Writr oleh WordPress.com.

KOTA HIJAU (GREEN CITY)


Standar
DEFINISI
Green City adalah suatu konsep dari upaya untuk meletarikan lingkungan dengan cara
mengembangkan sebagian lingkungan dari suatu kota menjadi lahan-lahan hijau yang alami
agar menciptakan kekompakan antara kehidupan alami dari lingkungan itu sendiri dengan
manusia dan alat-alat non-alamiah dari manusia itu. Konsep Green City bertujuan agar
terdapat keseimbangan dan kenyamanan dari manusia yang menghuni dan lingkungan itu
sendiri.

Masalah pemanasan global yang terjadi di bumi ini bukan menjadi suatu topik yang asing lagi
di telinga kita. Bahkan banyak sekolah-sekolah dasar yang sudah memperkenalkan masalah
ini sejak dini pada anak-anak. Namun banyak orang yang seolah olah menutup telinga
mereka akan hal ini. Masih banyak yang kurang peduli pada masalah lingkungan yang terjadi
dibumi. Bumi adalah rumah bagi setiap mahluk hidup yang tinggal didalamnya. Bukan hanya
tanggung jawab beberapa orang. Perlu kepedulian tinggi bagi seluruh manusia yang tinggal di
bumi ini dan bersama-sama menjaga bumi ini menjadi tempat yang nyaman untuk ditinggali.

Menerapkan konsep Green City pada setiap kota di seluruh negara merupakan salah satu
bentuk pelestarian keseimbangan alam yang paling mudah dan tepat untuk dilaksanakan.
Hanya diperlukan kesadaran penuh akan lingkungan pada setiap masyarakat untuk
melakukan penghijauan mulai dari sebagian kecil di rumahnya. Dengan melakukan
penghijauan kecil ini, jika dilakukan di semua rumah yang ada disetiap kota, maka secara
tidak langsung kota itu bisa disebut green city. Menerapkan pemikiran seperti ini tentu cara
yang paling optimal dewasa ini untuk mengatasi masalah lingkungan di bumi ini.
Dalam melakukan suatu perencanaan bangunan seharusnya melakukan kajian AMDAL
apakah dalam pengadaan bangunan tersebut dapat mempengaruhi lingkungan sekitar baik itu
segi sosial, ekonomi ataupun alam sekitar. Karena jika itu memberikan pengaruh yang cukup
besar maka bangunan tersebut sudah menyalahi konsep dasar dari green building.

Green city  terdiri dari delapan elemen, yaitu


1. Green planning and design (Perencanaan dan rancangan hijau)
Perencanaan dan rancangan hijau adalah perencanaan tata ruang yang berprinsip pada konsep
pembangunan kota berkelanjutan. Green city menuntut perencanaan tata guna lahan dan tata
bangunan yang ramah lingkungan serta penciptaan tata ruang yang atraktif dan estetik.

2. Green open space (Ruang terbuka hijau)


Ruang terbuka hijau adalah salah satu elemen terpenting kota hijau. Ruang terbuka hijau
berguna dalam mengurangi polusi, menambah estetika kota, serta menciptakan iklim mikro
yang nyaman. Hal ini dapat diciptakan dengan perluasan lahan taman, koridor hijau dan lain-
lain.

3. Green Waste (Pengelolaan sampah hijau)


Green waste adalah pengelolaan sampah hijau yang berprinsip pada reduce (pengurangan),
reuse (penggunaan ulang) dan recycle (daur ulang). Selain itu, pengelolaan sampah hijau juga
harus didukung oleh teknologi pengolahan dan pembuangan sampah yang ramah lingkungan.

4. Green transportation (Transportasi hijau)


Green transportation adalah transportasi umum hijau yang fokus pada pembangunan
transportasi massal yang berkualitas. Green transportation bertujuan untuk meningkatkan
penggunaan transportasi massal, mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, penciptaan
infrastruktur jalan yang mendukung perkembangan transportasi massal, mengurangi emisi
kendaraan, serta menciptakan ruang jalan yang ramah bagi pejalan kaki dan pengguna
sepeda.

5. Green water (manajemen air yang hijau)


Konsep green water bertujuan untuk penggunaan air yang hemat serta penciptaan air yang
berkualitas. Dengan teknologi yang maju, konsep ini bisa diperluas hingga penggunaan
hemat blue water (air baku/ air segar), penyediaan air siap minum, penggunaan ulang dan
pengolahan grey water (air yang telah digunakan), serta penjagaan kualitas green water (air
yang tersimpan di dalam tanah).
6. Green energy (Energi hijau)
Green energi adalah strategi kota hijau yang fokus pada pengurangan penggunaan energi
melalui penghemetan penggunaan serta peningkatan penggunaan energi terbaharukan, seperti
listrik tenaga surya, listrik tenaga angin, listrik dari emisi methana TPA dan lain-lain.

7. Green building (Bangunan hijau)


Green building adalah struktur dan rancangan bangunan yang ramah lingkungan dan
pembangunannya bersifat efisien, baik dalam rancangan, konstruksi, perawatan, renovasi
bahkan dalam perubuhan. Green building harus bersifat ekonomis, tepat guna, tahan lama,
serta nyaman. Green building dirancang untuk mengurangi dampah negatif bangunan
terhadap kesehatan manusia dan lingkungan dengan penggunaan energi, air, dan lain-lain
yang efisien, menjaga kesehatan penghuni serta mampu mengurangi sampah, polusi dan
kerusakan lingkungan.

8. Green Community (Komunitas hijau)


Green community adalah strategi pelibatan berbagai stakeholder dari kalangan pemerintah,
kalangan bisnis dan kalangan masyarakat dalam pembangunan kota hijau. Green community
bertujuan untuk menciptakan partisipasi nyata stakeholder dalam pembangunan kota hijau
dan membangun masyarakat yang memiliki karakter dan kebiasaan yang ramah lingkungan,
termasuk dalam kebiasaan membuang sampah dan partisipasi aktif masyarakat dalam
program-program kota hijau pemerintah.

Konsep Green City


Pertumbuhan kota yang cepat terjadi di negara-negara berkembang, salah satunya di
Indonesia. Kota-kota besar di Indonesia seperti di Jakarta, Surabaya, Bandung, Makassar
mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Perkembangan tersebut salah satunya
dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk yang pesat pula, dan urbanisasi menjadi salah satu
sebabnya. Peningkatan jumlah penduduk akan mengakibatkan kebutuhan lahan meningkat.

Pertumbuhan kota yang demikian tentu akan mengakibatkan degradasi lingkungan.


Persebaran lahan terbangun yang sangat luas mengakibatkan inefisiensi jaringan transportasi
yang berdampak pada meningkatnya polusi udara perkotaan, selain itu juga menimbulkan
costly dan pemborosan. Lihat saja Jakarta yang merupakan ibukota Indonesia, kota tersebut
sudah mengalami perkembangan yang terlalu besat sehingga mengalami “overload”,
menjadikan kota tersebut sebagai kota yang tidak layak untuk ditinggali. Bahkan sempat
muncul isu tentang pemindahan ibukota akibat ketidaklayakannya. Belum lagi kota-kota
besar lain yang mulai berkembang seperti Surabaya, Bandung, dll.

Berdasarkan keadaan itu, dalam melakukan perencanaan kota dibutuhkan pendekatan konsep
perencanaan yang berkelanjutan. Ada beberapa konsep pengembangan kota yang
berkelanjutan, salah satunya adalah konsep Green City yang selaras dengan alam.
Green City dikenal sebagai kota ekologis. Kota yang secara ekologis juga dapat dikatakan
kota yang sehat. Artinya adanya keseimbangan antara pembangunan dan perkembangan kota
dengan kelestarian lingkungan. Kota sehat juga merupakan suatu kondisi dari suatu kota yang
aman, nyaman, bersih, dan sehat untuk dihuni penduduknya dengan mengoptimalkan potensi
sosial ekonomi masyarakat melalui pemberdayaan forum masyarakat, difasilitasi oleh sektor
terkait dan sinkron dengan perencanaan kota. Untuk dapat mewujudkannya, diperlukan usaha
dari setiap individu anggota masyarakat dan semua pihak terkait (stakeholders).

Kriteria konsep Green City:


1. Pembangunan kota harus sesuai peraturan UU yang berlaku, seperti UU 24/2007:
Penanggulangan Bencana (Kota hijau harus menjadi kota waspada bencana), UU
26/2007: Penataan Ruang, UU 32/2009: Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, dll.
2. Konsep Zero Waste (Pengolahan sampah terpadu, tidak ada yang terbuang).
3. Konsep Zero Run-off (Semua air harus bisa diresapkan kembali ke dalam tanah,
konsep ekodrainase).
4. Infrastruktur Hijau (tersedia jalur pejalan kaki dan jalur sepeda).
5. Transportasi Hijau (penggunaan transportasi massal, ramah lingkungan berbahan
bakar terbarukan, mendorong penggunaan transportasi bukan kendaraan bermotor –
berjalan kaki, bersepeda, delman/dokar/andong, becak.
6. Ruang Terbuka Hijau seluas 30% dari luas kota (RTH Publik 20%, RTH Privat 10%)
7. Bangunan Hijau
8. Partisispasi Masyarakat (Komunitas Hijau)
Kota-kota besar di Indonesia perlu secara cermat mengatasi persoalan ledakan penduduk
perkotaan akibat urbanisasi yang brutal, tidak tertahankan, apabila kita berharap bahwa kota-
kota tersebut dapat menjadi layak huni di masa mendatang. Salah satunya adalah dengan
pengendalian jumlah penduduk dan redistribusinya, serta peningkatan kualitas pelayanan
publik.

Dengan konsep Green City krisis perkotaan dapat kita hindari, sebagaimana yang terjadi di
kota-kota besar dan metropolitan yang telah mengalami obesitas perkotaan, apabila kita
mampu menangani perkembangan kota-kota kecil dan menengah secara baik, antara lain
dengan penyediaan ruang terbuka hijau, pengembangan jalur sepeda dan pedestrian,
pengembangan kota kompak, dan pengendalian penjalaran kawasan pinggiran.

Terdapat beberapa pendekatan Green City yang dapat diterapkan dalam manajemen
pengembangan kota. Pertama adalah Smart Green City Planning. Pendekatan ini terdiri
atas 5 konsep utama yaitu konsep kawasan berkeseimbangan ekologis yang bisa dilakukan
dengan upaya penyeimbangan air, CO2, dan energi. Pendekatan kedua adalah konsep desa
ekologis yang terdiri atas penentuan letak kawasan, arsitektur, dan transportasi dengan contoh
penerapan antara lain: kesesuaian dengan topografi, koridor angin, sirkulasi air untuk
mengontrol klimat mikro, efisiensi bahan bakar, serta transportasi umum. Ketiga, konsep
kawasan perumahan berkoridor angin (wind corridor housing complex), dengan strategi
pengurangan dampak pemanasan. Caranya, dengan pembangunan ruang terbuka hijau,
pengontrolan sirkulasi udara, serta menciptakan kota hijau. Keempat, konsep kawasan
pensirkulasian air (water circulating complex). Strategi yang dilakukan adalah daur ulang air
hujan untuk menjadi air baku. Kelima, konsep taman tadah hujan (rain garden).
Kelebihan dari konsep Green City adalah dapat memenuhi kebutuhan keberadaan Ruang
Terbuka Hijau (RTH) di suatu kawasan, sehingga dapat mengurangi bahkan memecahkan
masalah lingkungan, bencana alam, polusi udara rendah, bebas banjir, rendah kebisingan dan
permasalahan lingkugan lainnya.

Kota Yang Berhasil Menerapkan Green City (Kota Hijau) :


MALANG

Hutan kota adalah komunitas vegetasi berupa pohon dan asosiasinya yang tumbuh di lahan
kota atau sekitar kota, berbentuk jalur, menyebar, atau bergerombol, dengan struktur
menyerupai/meniru hutan alam, membentuk habitat yang memungkinkan kehidupan bagi
satwa dan menimbulkan lingkungan sehat, nyaman dan estetis.

Pengertian ini sejalan dengan PP No 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota yang menggariskan
hutan kota sebagai pusat ekosistim yang dibentuk menyerupai habitat asli dan berisi
sumberdaya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dan menyatu dengan lingkungan
sekitarnya. Penempatan areal hutan kota dapat dilakukan di tanah negara atau
tanah private yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat berwenang. Sebagai unsur
RTH, hutan kota merupakan suatu ekosistim dengan sistim terbuka.
Hutan kota diharapkan dapat menyerap hasil negatif akibat aktifitas di perkotaan yang tinggi.
Tingginya aktifitas kota disebabkan oleh pertumbuhan penduduk dan industri yang sangat
pesat di wilayah perkotaan. Dampak negatif dari aktifitas kota antara lain meningkatnya suhu
udara, kebisingan, debu, polutan, kelembaban menurun, dan hilangnya habitat berbagai jenis
burung dan satwa lainnya karena hilangnya vegetasi dan RTH (Zoer’aini, 2004; Sumarni,
2006).

Ruang terbuka hijau di kota Malang yang berfungsi sebagai kawasan resapan air hujan perlu
dipertahankan luasannya karena akan berperan terhadap pengurangan banjir atau genangan
tidak wajar pada musim penghujan dan mempunyai potensi untuk imbuhan air tanah pada
musim kemarau.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan ruang terbuka hijau di kota Malang dari
tahun 1995 sampai 2005, mengetahui kapasitas infiltrasi dan agihan kapasita infiltrasi serta
kontribusi ruang terbuka hijau tersebut untuk imbuhan air tanah di kota Malang.

Jenis penelitian ini adalah survey dengan pengukuran langsung dalam hal ini kapasitas
resapan air hujan (infiltrasi) ruang terbuka hijau di kota Malang. Metode pengambilan sampel
pengukuran kapasitas resapan air hujan (infiltrasi) menggunakan metode purposive sampling
yaitu perubahan ruang terbuka hijau di kota Malang. Untuk mengetahui alih fungsi atau
perubahan ruang terbuka hijau dan eksisting ruang terbuka hijau digunakan metode overlay
peta (tumpang susun) kemudian analisis data untuk mengetahui nilai kapasitas resapan air
hujan (infiltrasi) dihitung dengan menggunakan metode Horton yang kemudian
dipresentasikan agihannya.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perubahan penyusutan ruang terbuka hijau kota
Malang tahun 1995 sampai 2005 sebesar 4,6% dari total luas ruang terbuka hijau kota
Malang tahun 1995. Kapasitas infiltrasi kota Malang bervariasi, kapasitas infiltrasi tertinggi
di Hutan Arjosari Blimbing sebesar 1797,81 cm/hari, sedangkan kapasitas infiltrasi terendah
pada Taman Serayu yaitu sebesar 30,64 cm/hari. Tingkat infiltrasi kota Malang termasuk
kelas sangat tinggi atau >53 mm/jam, hal ini menunjukkan bahwa kota Malang merupakan
daerah resapan air yang sangat baik. Total kontribusi ruang terbuka hijau dengan luas
keseluruhan 49277,5 m2 memberikan supplay air tanah sebesar 13594,536 m3/jam.

KOTA BANDUNG
Saat ini Kota Bandung baru memiliki sekitar 1700 hektare RTH. Sedangkan idealnya RTH
untuk kota yang memiliki luas 16.729,65 hektare ini adalah sekitar 6000 hektare. data Badan
Pengendalian Lingkungan Hidup 2007, ruang terbuka hijau di Kota Bandung kini tersisa 8,76
persen. Padahal idealnya sebuah kota harus memiliki ruang terbuka hijau seluas 30 persen
dari total luas kota, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang.

Ruang tebuka hijau di Metropolitan Bandung terdiri dari kawasan lindung dan kawasan
budidaya. Pada kenyataannya ruang terbuka hijau pada kawasan lindung beralih fungsi
menjadi kawasan terbangun, sehingga ruang terbuka hijau yang selama ini berfungsi sebagai
resapan air, tidak lagi dapat menampung limpasan air hujan yang turun ke bumi. Hal ini
mengakibatkan terjadinya banjir di beberapa titik.

Jika Kota Bandung tanpa RTH, sinar matahari yang menyinari itu 90% akan menempel di
aspal, genting rumah, dan bangunan lainnya yang ada. sementara sisanya yang 10% akan
kembali ke angkasa. Hal itu memicu udara Kota Bandung menjadi panas. Namun, jika
bandung memiliki RTH sesuai dengan angka ideal, maka sinar matahari itu 80% diserap oleh
pepohonan untuk fotosintesis, 10% kembali ke angkasa, dan 10% nya lagi yang menempel di
bangunan, aspal dan lainnya.

Menurut data Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Bandung 2006, akibat berkurangnya
persentase ruang terbuka hijau di Bandung, setiap tahun permukaan tanah di Kota Kembang
ini menyusut sekitar 42 sentimeter. Di Babakan Siliwangi sendiri permukaan air tanah berada
pada kedudukan 14,35 meter dari sebelumnya 22,99 meter. Menurut data yang dilansir
Greenlife Society setidaknya 90 pusat perbelanjaan di Bandung itu masih berhutang 85 ribu
meter persegi ruang hijau.

Setiap 1000 megawatt yang dihasilkan dari pembangkit listrik bertenaga batubara akan
menghasilkan emisi karbon-dioksida 5,6 juta ton/ tahun. Ilustrasi lain, sebuah kendaraan
bermotor yang memerlukan bahan bakar 1 liter per 13 km dan tiap hari mememerlukan BBM
10 liter maka akan menghasilkan emisi karbon-dioksida sebanyak 30 kg/hari atau 9
ton/tahun. Bisa dibayangkan jika jumlah kendaraan bermotor di Kota Bandung di jalanan
yang sering macet kita asumsikan 500.000 kendaraan, maka dari sektor transportasi Kota
Bandung menyumbang emisi karbon-dioksida ke atmosfer sebanyak 4,5 juta ton/ tahun.

Singkatnya, kondisi hutan Kota Bandung benar-benar kritis, jauh dari angka ideal yang
dibutuhkan warga kota yang telah mencapai lebih dari 2,3 juta jiwa. Istilah lainnya, wilayah
RTH di Kota Bandung ini masih sedikit. Dan saat ini jumlah pohon perlindung sebanyak
229.649 pohon. Padahal, idealnya kata Kepala Dinas Pertamanan Kota Bandung, Drs.
Ernawan, jumlahnya 920.000 pohon pelindung atau 40% dari jumlah penduduk. Jumlah
tersebut dihitung dengan rumusan 2,3 juta jiwa dikali 0,5 kg oksigen dikali 1 pohon dibagi
1,2 kg, sama dengan 2,3 juta kali 0,4 kg oksigen dikali 1 pohon, menghasilkan 920.000
pohon.

Kota Yang Gagal Menerapkan Green City ( Kota Hijau ) :


 

Kota Jakarta

Kota jakarta adalah kota yang mengandung polusi udara terbesar di Indonesia terutama
daerah Jakarta yang terkenal gersang karena terik mataharinya yang tidak terserap oleh
taman.
Jakarta kota dengan polusi udara tertinggi se Indonesia dan ke tiga di dunia. Kandungan
partikel debu di udara Jakarta mencapai 104 mikrogram per meter kubik (tertinggi ke 9 dari
111 kota yang disurvey Bank Dunia pada 2004, sekarang angkanya mungkin melonjak).
Padahal, kalau mengacu pada Uni Eropa, ambang batas partikel debu di udara yang bisa
ditoleransi hanya 50 mikrogram per meter kubik. 57,8 % warga Jakarta menderita penyakit
akibat polusi udara. Biaya kesehatan yang dikeluarkan oleh warga Jakarta untuk mengobati
penyakit yang disebabkan oleh pencemaran udara pada   1998 adalah Rp. 1,8 triliun, dengan
laju polusi udara yang meningkat drastis sejak  2011, diperkirakan pada 2015 biaya untuk
mengobati penderita penyakit akibat polusi udara Jakarta akan mencapai 4,3 triliun

Solusi :
Mengembangkan dan perbanyak ruang terbuka hijau, serta dengan menjaga lingkungan agar
tetap hijau, tidak menebang pohon secara sembarangan serta melakukan  pembangunan ruang
terbuka hijau, pemukiman dan pengelolaan sampah dan serta dengan memberikan peraturan
untuk masyarakat agar melindungi alam sekitar. Sesuai peraturan yang ada dan menjaga
lingkungan agar tetap hijau, tidak menebang pohon demi pembangunan modern yang tidak
berbasis lingkungan, dan mengajarkan kepada masyarakat agar selalu berdampingan dengan
alam

Pertumbuhan kota yang cepat dan evolusi metode produksi kami memiliki dampak besar pada
perkembangan dunia perkotaan. Semakin populernya model kota yang tersebar di abad ke-20 tidak
hanya sangat kontras dengan kota-kota awal abad ke-19 yang lebih padat, tetapi juga menciptakan
konsekuensi negatif pada infrastruktur dan sumber daya. Sebagai tanggapan, solusi pertumbuhan
dengan dampak lingkungan yang lebih sedikit dicari. Meskipun berbagai teori terkait keberlanjutan
dan lingkungan telah muncul, pertanyaan penting tetap terbuka untuk diperdebatkan.

Kota-kota berkembang di bawah pola pembangunan perkotaan yang sangat kompleks, dengan
karakteristik spasial, budaya, lingkungan, dan sosial-ekonomi yang sangat sulit ditentukan melalui
serangkaian indikator kecil. Makalah ini mengakui kompleksitas ini dan fakta bahwa ia tidak dapat
mengatasi semua elemen yang berbeda dari proses pembangunan perkotaan. Oleh karena itu,
sektor-sektor terpilih dan indikator-indikator indeks yang dikembangkan hanya mencerminkan
sebagian kecil dari realitas lokal. Makalah ini mencoba untuk menyederhanakan dan mengukur
kompleksitas ini, dengan menawarkan kerangka payung sederhana untuk mendefinisikan kota hijau
dan mengembangkan metode untuk menghitung kinerja kota hijau dari waktu ke waktu.
Sementara konsep kota kompak diusulkan dalam upaya untuk memecahkan masalah perluasan kota
dan efisiensi sumber daya, Konsep Kota Hijau (GCC), merupakan respon yang lebih baru untuk
masalah menciptakan kota yang lebih padat, lebih hijau dan lebih layak huni.

Makalah ini memperkenalkan Kerangka Konseptual Kota Hijau (GCCF) dan dua alat: satu alat untuk
mengukur Kinerja Lingkungan (EP) kota dari waktu ke waktu (IHS-GCI), dan yang lainnya adalah
metodologi Perencanaan Aksi Kota Hijau (GCAP) yang berisi pendekatan inovatif untuk
meningkatkan EP kota untuk timeline yang dipilih. Alat IHS-GCI dapat digunakan untuk mengukur EP,
untuk menjelaskan kemungkinan faktor yang mempengaruhi EP yang dihitung dari waktu ke waktu,
menetapkan target, melacak pencapaian, dan membantu dalam persiapan GCAP kota.

Makalah ini membahas berbagai kesenjangan di bidang kota hijau dan mengkonsolidasikan
penelitian sebelumnya ke dalam satu kerangka kerja dan alat konseptual yang dapat ditindaklanjuti,
dapat disesuaikan dengan berbagai kota dan kebutuhan.

Pada akhirnya, makalah ini mampu mendefinisikan kota hijau sebagai “kota yang mengedepankan
efisiensi energi dan energi terbarukan dalam semua aktivitasnya, secara ekstensif mempromosikan
solusi hijau, menerapkan pemadatan lahan dengan penggunaan lahan campuran dan praktik bauran
sosial dalam sistem perencanaannya, dan menambatkan pembangunan lokalnya dalam prinsip-
prinsip pertumbuhan hijau dan pemerataan.” Tidak seperti definisi kota hijau lainnya, definisi di atas
secara khusus memasukkan efisiensi energi sebagai fitur utama. Selanjutnya terbukti bahwa PDB
berpengaruh positif terhadap kinerja Kota Hijau, jumlah penduduk berpengaruh negatif, dan faktor
yang paling berpengaruh adalah sanitasi dan kualitas udara.

Anda mungkin juga menyukai