Anda di halaman 1dari 3

Memoar Pendek Seorang Pemimpi :)

Melangkah Keluar dari Dunia Palsu

Sewaktu masih SMA sedikit pun saya tak pernah berpikir bahwa saya punya tanggung jawab penuh
terhadap diri saya sendiri. Semua aspek kehidupan saya telah diatur dengan sangat rapi yang ironisnya
bukan oleh saya sendiri. Di rumah, ada emak yang selalu siap sedia menunjukkan jalan yang benar
kepada saya. Di sekolah, ada bapak/ibu guru yang mengarahkan saya harus ke kiri atau ke kanan, begini
atau begitu dan lain sebagainya. Di rumah, emak akan marah jika saya keluar dari jalur yang telah beliau
buat. Di sekolah, bapak/ibu guru akan memberikan hukuman jika saya tidak mengerjakan PR dan atau
jika saya melanggar aturan sekolah. Sungguh, serupa diri saya ini adalah wayang yang bergeming dan
hanya bergerak jika digerakkan dalang. Bedanya, saya bernyawa dan wayang tidak.

Dulu, saya belajar Karena saya masih sekolah, orang yang sekolah harusnya ya belajar, begitu kata bu
guru di kelas. Begitu tamat sekolah, barulah saya sadar saya memang benar-benar wayang yang baru
bergerak jika digerakkan dalang, bedanya saya bernapas sedang wayang tidak. Lantas siapa yang
menghukum saya yang tidak belajar jika saya sudah tak lagi sekolah? Maka inilah perjalanan hidup saya
setamat SMA, melangkah keluar dari dunia palsu.

(Ini adalah potongan memoar pendek saya bagian pertama, pernah saya ikutkan lomba dan
Alhamdulillah saya diberi kelapangan oleh Tuhan sehubungan dengan tidak lolosnya tulisan ini dalam
lomba tersebut .

1. Bagian Pertama

Saya hampir gila, mau menangis tak ada air mata yang keluar, mau marah tak tahu harus marah pada
siapa, mau diam saja otak saya hampir meledak. Tak pernah saya bayangkan sebelumnya jika menulis
cerpen itu sulitnya keterlaluan.

Saya tulis ide-ide cerdas dari otak saya, saya tulis dan terus saya tulis. Selesai sekitar tiga paragraf saya
berhenti, saya baca dari awal hingga akhir, paragraf ketiga saya hilangkan karena tak nyambung dengan
cerita di atasnya. Saya baca ulang, saya hapus paragraf kedua karena bahasanya tak enak dibaca. Saya
baca ulang untuk yang terakhir kalinya, saya hapus kalimat demi kalimat yang menurut saya tampak
membosankan. Yang terakhir saya hapus adalah kalimat pertama dari paragraf pertama saya. Maka
pemandangan yang saya lihat sekarang adalah dokumen kosong!

Ah, jika saja saya anak orang kaya yang kesulitan menghabiskan uang-karena saking banyaknya misalnya,
maka tak ragu lagi bakal saya hantam layar komputer sialan itu dengan palu, saya pukul-pukul dengan
keyboard, saya banting lantas saya injak-injak. Beruntung saya segera sadar bahwa saya ini anak janda
miskin yang justru kesulitan mencari uang. Maka yang bisa saya lakukan hanyalah menghela napas
panjang, berbela sungkawa pada embrio cerpen saya yang bahkan sudah mati sebelum dilahirkan, dan
memandang naas pada layar kosong komputer yang sedetik lalu ingin saya hantam palu.
Sungguh, untuk sekali saja saya ingin menjadi orang lain, lantas akan saya datangi diri saya itu.
Sebagai orang lain itu, akan saya jambak-jambak rambut saya dan saya tololkan keputusan bodoh saya
itu. Bodoh sekali!

Dua hari sebelumnya,

Saya sudah kehabisan akal untuk mencari uang. Saya benar-benar sedang butuh uang. Tapi apa sih
yang bisa dilakukan anak SMA yang bahkan Ijazahnya belum turun. Mau dapat kerja apa? Dapat uang
dari mana?

Maka satu-satunya hal yang mungkin berhasil adalah mengikuti kompetisi menulis IsEF(Islamic Education
Festival). Sama sekali tak saya perhatikan Tema, Syarat dan Ketentuan lomba, sebab pandangan saya
fokuskan pada sub bab Hadiah, dan kembang-kempislah hidung saya melihat sejumlah uang yang
ditawarkan. Tak menunggu lama saya kunjungi link menuju pendaftaran. Saya isi formulir pendaftaran itu
dengan riang gembira.

Apa sih susahnya bikin cerpen? Saya membatin ceria.

Tiga hari berikutnya,

Tak ‘kan ada asap jika tak ada api. Saya tak ‘kan sesinting ini jika tak membuat api diawal. Jika
tempo dulu itu saya tak mendaftarkan diri saya sebagai peserta, mungkin hari-hari saya akan damai
sejahtera. Duduk manis di depan komputer, ber-facebook -ria dengan teman maya, dan mendownload
sebanyak-banyaknya foto artis tampan Korea. Bukannya mengetik-menghapus-mengetik-menghapus
seperti sekarang ini. Mungkin Tuhan ingin memberi pelajaran pada saya yang sesumbar tempo dulu.

Rasakan itu bodoh! Sebagian diri saya berkoar.

Bagaimanapun, karena saya sudah berani membikin api maka konsekuensinya saya harus
menyiramnya dengan air. Beruntung sekali saya mendapatkan air setelahnya. Saya menemukan satu
contoh cerpen pemenang LMCR(Lomba Menulis Cerpen Remaja) berjudul “Merariq” karya Rilnia Metha
Sofia di google. “Merariq” adalah cerpen yang bagus untuk dijadikan kiblat, maka lewat “Merariq” saya
meramu air pemadam api yang saya buat. Dengan melewati proses yang tidak instan, cerpen saya yang
sebelumnya bisa dibilang “gak banget”-bahasa gaulnya, menjadi lebih dari sekedar lumayan. Judul
cerpen saya semula “Aku Anak Siapa”-yang mungkin orang buta huruf pun akan tahu kalau cerpen saya
itu pastilah menceritakan seorang anak yang lahir tanpa bapak, lewat “Merariq” saya ubah judulnya
menjadi “Islam dalam Koper”, paling tidak lebih keren yang ini judulnya-sekali lagi menurut saya sendiri
tentunya.

Dengan selesainya cerpen “Islam dalam Koper” berarti saya sudah siap mengguyur api yang
semakin berkobar. Namun, sekali lagi Kawan, yang namanya kehendak Tuhan siapa yang tahu
maksudnya, siapa pula yang kuasa menghindarinya, secara ajaib sekali keyboard saya rusak dan semua
toko yang saya kunjungi kehabisan stok keyboard! Bagaimana saya bisa mengirim naskah saya jika tak
ada keyboard? Masalah terasa semakin pelik karena daerah saya adalah daerah terpencil di mana saya
baru akan menemukan warnet/rental komputer di kota kecamatan. Maka, pilihan terbijak sekaligus
termengerikan yang saya ambil adalah meminjam keyboard milik mantan pacar saya(seingat saya hanya
dia orang yang saya kenal yang memiliki komputer di tempat saya). Saya anggap ini sebagai ujian dari
Tuhan perihal apakah saya kompeten ingin memadamkan api atau tidak, maka meski dengan gaya
meremas-remas ujung jilbab, meski dengan kaliamat yang terbata-bata dan muka merah memalukan,
berhasillah saya melontarkan kalimat “boleh saya pinjam keyboardnya?” kepada mantan pacar saya. Dan
berhasil! Berhasil malu sekali sekaligus berhasil membawa pulang keyboard.

Sebulan berselang,

Saya punya motto yang saya contek pertama kali dari guru SMA saya yang berbunyi “Man jadda
wajada!” siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil! Maka tak pernah sekali pun saya meremehkan
mantra sakti itu. Dan pada tanggal 27 Mei 2010 mantra ini menampakkan kesaktiannya, saya yang
bersekolah di jurusan IPA, bukan Bahasa, yang buta sastra dan tak pandai merangkai kata pula,
berkesempatan menjadi pemenang ke-3 dalam Lomba Menulis IsEF tingkat SMA-Mahasiswa se-
Indonesia. Jika dilihat dari background saya yang bahkan belum pernah mengikuti lomba cerpen dan
sejenisnya, maka pastilah ada faktor lain dalam keberhasilan ini. Dan jawaban atas keberhasilan ini
adalah belajar dan bekerja keras, klise memang. Tapi itulah logika. “Bersungguh-sungguhlah kamu, maka
kamu akan berhasil”, seklise itulah logika pada kenyataanya.

Sumber :http://sitinurbanin.blogspot.com/2012/03/man-jadda-wajada.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai