Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Siklus Hidrologi

Air di bumi antara lain meliputi yang ada di atmosfir, di atas permukaan tanah

dan di bawah permukaan tanah . Jumlah air di bumi kurang lebih berjumlah 1400 x

106 𝑘𝑚3 = 1400 x 104 𝑚3 , yang terdiri dari :

1. Air laut : 97%

2. Air tawar : 3%, yang meliputi :

a. Salju, es, gletser : 75%

b. Air tanah : 24%

c. Air danau : 0,3%

d. Butir-butir daerah tak jenuh :0,065%

e. Awan, kabut, embun, hujan : 0,035%

f. Air sungai : 0,030%

Siklus hidrologi merupakan rangkaian proses berpindahnya air permukaan

bumi dari suatu tempat ke tempat lainnya hingga kembali ke tempat asalnya.

Air naik ke udara dari permukaan laut atau dari daratan melalui evaporasi. Air di

atmosfer dalam bentuk uap air atau awan bergerak dalam massa yang besar di atas

benua dan dipanaskan oleh radiasi tanah. Panas membuat uap air lebih naik lagi

sehingga cukup tinggi dan dingin untuk terjadi kondensasi. Uap air berubah jadi

embun dan seterusnya jadi hujan atau salju. Curahan (precipitation) turun ke

bawah, ke daratan atau langsung ke laut. Air yang tiba di daratan kemudian
mengalir di atas permukaan sebagai sungai, terus kembali ke laut.

(Limantara,L.M., 1986)

2.2 Sungai

Sungai adalah air hujan atau mata air yang mengalir secara alami melalui

suatu lembah atau diantara dua tepian dengan batas jelas, menuju tempat lebih

rendah (laut, danau atau sungai lain). Dengan kata lain sungai merupakan tempat

terendah dipermukaan bumi yang terbentuk secara alamiah, berbentuk memanjang

dan bercabang tempat mengalirnya air dalam jumlah besar. Sungai terdiri dari 3

bagian, yaitu bagian hulu, bagian tengah dan bagian hilir (Hariyanto, A. dan

Iskandar, K. H.,2010).

1. Bagian hulu sungai terletak di daerah yang relatif tinggi sehingga air dapat

mengalir turun.

2. Bagian tengah sungai terletak pada daerah yang lebih landai

3. Bagian hilir sungai terletak di daerah landai dan sudah mendekati muara

sungai.

Jenis-jenis sungai dibagi menjadi 5, yaitu:

1) Sungai hujan adalah sungai yang berasal dari hujan

2) Sungai gletser adalah sungai yang airnya berasal dari gletser atau bongkahan

es yang mencair

3) Sungai campuran adalah sungai yang airnya berasal dari hujan dan salju yang

mencair

4) Sungai permanen adalah sungai yang airnya relatif tetap

5) Sungai periodik adalah sungai dengan volume air tidak tetap


2.3 Daerah Aliran Sungai

Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan suatu

kesatuan dengan sungai dan anak – anak sungainya, yang berfungsi menampung,

menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke

laut secara alami, yang batas didarat merupakan pemisah topografi dan batas di

laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktifitas daratan.

Air pada DAS merupakan aliran air yang mengalami siklus hidrologi

secara alamiah. Selama berlangsungnya daur hidrologi, yaitu perjalanan air dari

permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke

laut yang tidak pernah berhenti tersebut, air tersebut akan tertahan sementara di

sungai, danau, dan dalam tanah. Pembagian daerah aliran sungai berdasarkan

fungsi hulu, tengah dan hilir (KP Irigasi 01, 2010) yaitu:

1. Bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk

mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang

antara lain dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS,

kualitas air, kemampuan menyimpan air, dan curah hujan.

2. Bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola

untuk memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara

lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan

menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana

pengairan seperti pengolahan sungai, waduk, dan danau.

3. Bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola

untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang

diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air,


ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih,

serta pengolahan air limbah.

Bentuk daerah aliran sungai terbagi atas tiga jenis, yaitu:

1. Daerah aliran sungai (DAS) dengan pola bulu burung, di daerah aliran sungai

ini selain terdapat sungai utama, tidak jauh dari sungai utama tersebut, di

sebelah kirinya dan kanan terdapat pola-pola sungai kecil atau anak-anak

sungai.

2. Daerah aliran sungai (DAS) dengan pola radial atau melebar, di daerah aliran

sungai ini pun terdapat sungai utama (besar dengan beberapa anak

sungainya), hanya anak-anak sungainya melingkar dan akan bertemu pada

satu titik daerah.

3. Daerah aliran sungai (DAS) dengan pola paralel atau sejajar, daerah aliran

sungai ini memiliki 2 jalur daerah aliran, yang memang paralel, yang di

bagian hilir keduanya bersatu membentuk sungai besar.

2.4 Analisa Hidrologi

2.4.1 Curah Hujan

Curah hujan (CH) wilayah yang terdapat pada suatu daerah aliran sungai

(DAS) sangat diperlukan untuk mengetahui informasi tentang pengaturan air

irigasi, mengetahui neraca air dalam suatu lahan dan untuk mengetahui besarnya

aliran permukaan (run off).

Curah hujan di dapat melalui penakaran curah hujan yang terdapat pada

setiap wilayah/daerah. Semakin banyak penakar dipasang di lapangan diharapkan

dapat diketahui besarnya rata-rata CH yang menunjukkan besarnya CH yang

terjadi di daerah tersebut.Disamping itu juga diketahui variasi CH di suatu titik


pengamatan. Ada tiga cara untuk menghitung hujan rata-rata daearah aliran yang

bisa dilakukan (Wesli, 2008), yaitu :

1. Metode Arithmetic Mean

Metode ini adalah metode yang paling sederhana untuk menghitung hujan

rerata pada suatu daerah. Pengukuran yang dilakukan di beberapa stasiun dalam

waktu yang bersamaan dijumlahkan dan kemudian dibagi dengan jumlah stasiun.

Stasiun hujan yang digunakan dalam hitungan biasanya adalah berada di dalam

DAS, tetapi stasiun di luar DAS yang masih berdekatan juga bisa diperhitungkan.

Metode rerata aljabar memberikan hasil yang baik apabila :

a. Stasiun hujan tersebut tersebar secara merata di DAS

b. Distribusi hujan relatif merata pada seluruh DAS

Persamaan rerata aljabar

R = 1n (R1 + R2 + ...+ Rn ) (2.1)

di mana:

R = area rainfall (mm)


n = jumlah stasiun pengamat
R1 ,R2 , ..., Rn = point rainfall stasiun ke-i (mm).

2. Metode Thiessen

Metode ini memperhitungkan bobot dari masing-masing stasiun yang

mewakili luasan disekitarnya. Pada suatu luasan di dalam DAS dianggap bahwa

hujan adalah sama dengan yang terjadi pada stasiun yang terdekat, sehingga hujan

yang tercatat pada suatu stasiun mewakili luasan tersebut. Metode ini digunakan

apabila penyebaran stasiun hujan didaerah yang ditinjau tidak merata. Hitungan
curah hujan rerata dilakukan dengan memperhitungkan daerah pengaruh dari tiap

stasiun. Pembentukan poligon Thiessen adalah sebagai berikut :

a. Stasiun pencatat hujan digambarkan pada peta DAS yang ditinjau termasuk

stasiun hujan diluar DAS yang berdekatan.

b. Stasiun-stasiun tersebut dihubungkan dengan garis lurus (garis terputus)

sehingga membentuk segitiga-segitiga, yang sebaiknya mempunyai sisi

dengan panjang yang kira-kira sama.

c. Dibuat garis berat pada sisi-sisi segitiga.

d. Garis-garis berat tersebut membentuk poligon yang mengelilingi tiap stasiun.

Tiap stasiun mewakili luasan yang dibentuk oleh poligon. Untuk stasiun yang

berada didekat batas DAS, garis batas DAS membentuk batas tertutup dari

poligon.

e. Luas tiap poligon di ukur dan kemudian dikalikan dengan kedalaman hujan di

stasiun yang berada didalam poligon.

f. Jumlah dari hitungan pada butir e untuk semua stasiun dibagi dengan luas

daerah yang ditinjau menghasilkan hujan rerata daerah tersebut yang dalam

bentuk matematik mempunyai bentuk berikut ini :

𝑝1 𝐴1+𝑝2 𝐴2+𝑝3 𝐴3+⋯+𝑝𝑛𝐴𝑛


P= (2.2)
𝐴1+𝐴2+𝐴3+⋯+𝐴𝑛

di mana:

P = curah hujan wilayah


P1,P2,..Pn = hujan di stasiun 1,2,3...n
A1,A2,...An = luas daerah yang mewakili stasiun 1,2,3....n
3. Metode Isohyet

Isohyet adalah garis yang menghubungkan titik-titik dengan kedalaman hujan

yang sama. Pada metode isohyet, dianggap bahwa hujan pada suatu daerah di

antara dua garis isohyet adalah merata dan sama dengan nilai rerata dari kedua

garis isohyet tersebut. Pembuatan garis isohyet dilakukan dengan prosedur berikut

ini :

a. Lokasi stasiun hujan dan kedalaman hujan digambarkan pada peta daerah

yang ditinjau.

b. Dari kedua nilai kedalaman hujan di stasiun yang berdampingan dibuat

interpolasi dengan pertambahan nilai yang ditetapkan.

c. Dibuat kurva yang meenghubungkan titik-titik interpolasi yang mempunyai

kedalaman hujan yang sama. Ketelitian tergantung pada pembuatan garis

isohyet dan intervalnya.

d. Diukur luas daerah antara dua isohyet yang berurutan dan kemudian

dikalikan dengan nilai rata-rata dari nilai kedua garis isohyet.

e. Jumlah dari hitungan pada butir d untuk seluruh garis isohyet dibagi dengan

luas daerah yang ditinjau menghasilkan kedalaman hujan rerata daerah

tersebut. Secara matematis hujan rerata tersebut dapat ditulis.

𝐼1+𝐼2 𝐼2+𝐼3 𝐼𝑛+𝐼𝑛+1


𝐴1 +𝐴2 +⋯+𝐴𝑛
2 2 2
P = (2.3)
𝐴1+𝐴2+⋯+𝐴𝑛

di mana:

P = curah hujan wilayah


I1,I2,...In = garis isohyet ke 1,2, dan 3
A1,A2,...An = luas daerah yang dibatasi oleh garis isohyet ke1,2 dan 3.
2.4.2 Analisa Debit

Analisa debit dapat dilakukan dengan dua metode pendekatan yaitu

dengan melakukan pengukuran debit sungai di lapangan dan pengukuruan debit

dengan menggunakan data curah hujan. Hal ini akan dijelaskan sebagai berikut:

2.4.2.1 Debit Sungai di Lapangan

Debit sungai biasanya dinyatakan dengan m3/det. Debit sebesar rata-rata 1

m3/det yang mengalir selama 24 jam dapat dinyatakan dengan m3/det-hari. Debit

sungai juga dinyatakan dengan km2 – cm, yaitu menggambarkan volume air yang

diperlukan untuk menggenangi 1 km2 setinggi 1 cm. Besaran 1 km2 – cm berarti

sama dengan 10.000 m3 dan 1 m3/det-hari sama dengan 86.400 m3.

Menurut jurnal Hariyanto& Herry (2010) mengatakan bahwa metode

survey primer dapat dilakukan melalui pengukuran debit air permukaan (air

sungai/hidrometri) dilakukan dengan mengamati elevasi bekas banjir yang

terdapat di batuan tepi danau/sungai maupun informasi dari penduduk setempat.

Namun pengukuran debit sungai secara langsung dapat juga dilakukan

dengan mengukur luas potongan melintang palung sungai dan kecepatan rata-rata

airnya. Untuk mengukur kecepatan air digunakan alat pengukur kecepatan air

(current meter) atau dengan listrik atau menggunakan bahan-bahan kimia

(Subarkah, I., 1978), diantaranya:

 Salt velocity method

 Salt dilution method

 Radioactive tracers

 Oxygen polarography

 Electromagnetic flow meter


 Ultrasonic flow meter

2.4.2.2 Debit Andalan

Debit andalan adalah besarnya debit yang tersedia untuk memenuhi

kebutuhan air dengan resiko yang telah diperhitungkan. Tujuan utama untuk

mencari debit andalan adalah untuk menentukan debit perencanaan yang

diharapkan selalu tersedia di sungai sepanjang tahun. Dalam penelitian ini debit

andalan merupakan debit yang memiliki probabilitas 80%. Debit dengan

probabilitas 80% adalah debit yang memiliki kemungkinan terlampaui sebesar

80% dari 100% kejadian. Jumlah kejadian yang dimaksud adalah jumlah data

yang digunakan untuk menganalisis probabilitas tersebut. Jumlah data minimum

yang diperlukan untuk analisis adalah lima tahun dan pada umumnya untuk

memperoleh nilai yang baik data yang digunakan hendaknya berjumlah 10 tahun

data (Direktorat Jenderal Pengairan,1986).

Dalam analisis ini, dikarenakan minimalnya data yang diperoleh maka

dalam perhitungan debit andalan digunakan metode Dr. F.J.Mock. Sebagai data

masukan digunakan dari curah hujan di daerah aliran sungai, evapotraspirasi,

vegetasi dan karakteristik geologi daerah aliran yang terdapat di Sungai Batang

Selo.

2.5 Analisa Kebutuhan Air untuk Irigasi

Analisis kebutuhan air irigasi merupakan salah satu tahap penting yang

diperlukan dalam perencanaan dan pengelolaan sistern irigasi. Kebutuhan air

tanaman didefinisikan sebagai jumlah air yang dibutuhkan oleh tanaman pada

suatu periode untuk dapat tumbuh dan produksi secara normal. Kebutuhan air

nyata untuk areal usaha pertanian meliputi evapotranspirasi (ET), sejumlah air
yang dibutuhkan untuk pengoperasian secara khusus seperti penyiapan lahan dan

penggantian air, serta kehilangan selama pemakaian. Sehingga kebutuhan air

dapat dirumuskan (KP Irigasi 03,2010) sebagai berikut:

KAI = ET + KA + KK (2.4)

di mana:

KAI = Kebutuhan Air Irigasi,


ET = Evapotranspirasi,
KA = Kehilangan air
KK = Kebutuhan Khusus.
Misalnya evapotranspirasi suatu tanaman pada suatu lahan tertentu pada

suatu periode adalah 5 mm per hari, kehilangan air ke bawah (perkolasi) adalah 2

mm per hari dan kebutuhan khusus untuk penggantian lapis air adalah 3 mm per

hari maka, kebutuhan air pada periode tersebut dapat dihitung sebagai berikut

KAI = 5 + 2 + 3

KAI = 10 mm perhari

Untuk memenuhi kebutuhan air ingasi terdapat dua sumber utama. Yaitu

pernberian air irigasi (PAI) dan hujan efektif (HE). Disamping itu terdapat sumber

lain yang dapat dimanfaatkan adalah kelengasan yang ada di daerah perakaran

serta kontribusi air bawah permukaan. Pemberian Air Irigasi dapat dipandang

sebagai kebutuhan air dikurangi hujan efektif dan sumbangan air tanah.

PAI = KAI - HE – KAT (2.5)

di mana:
PAI = Pemberian air irigasi,
KAI = Kebutuhan air,
HE = Hujan efektif
KAT = Kontribusi air tanah
Sebagai contoh misalnya kebutuhan air pada suatu periode telah dihitung

sebesar 10 mm per hari, sumbangan hujan efektif pada periode tersebut juga telah

dihitung sebesar 3 mm per hari dan kontribusi air tanah adalah 1 mm per ha, maka

air yang perlu diberikan adalah:PAI = 10 – 3 -1

PAI = 6 mm per hari

2.6 Kebutuhan Air Padi di Sawah

Menurut KP Irigasi 03 Tahun 2010, analisis kebutuhan air untuk tanaman

padi di sawah dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut ini :

1. Pengolahan lahan

2. Penggunaan konsumtif

3. Perkolasi

4. Penggantian lapisan air

5. Sumbangan hujan efektif

6. Efisiensi irigasi

7. Efektifitas irigasi

8. Kebutuhan air di sawah

Kebutuhan air total di sawah merupakan jumlah faktor 1 sampai dengan 4,

sedangkan kebutuhan netto air di sawah merupakan kebutuhan total dikurangi

faktor hujan efektif. Kebutuhan air di sawah dapat dinyatakan dalam satuan

mm/hari ataupun lt/dt.


Namun terdapat sistem pemberian air dengan metode SRI (System Rice of

Intensification) yang dapat dapat lebih optimal bekerja dibanding metode SCH

(Stagnant Constant Head) karena lebih menghemat air sehingga sisa pemberian

air cukup untuk pengambilan air baku oleh PDAM Kota Malang. Dimana dengan

system SRI menghemat air irigasi sebesar 30% (Haliem, dkk, 2012).

2.6.1 Kebutuhan Air Untuk Pengolahan Lahan Padi

Pada Standar Perencanaan irigasi disebutkan bahwa kebutuhan air untuk

penyiapan lahan umumnya menentukan kebutuhan maksimum air irigasi pada

suatu proyek irigasi. Ada 2 faktor penting yang menentukan besarnya kebutuhan

air untuk penyiapan lahan ialah:

1. Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk penyiapan lahan.

2. Jumlah air yang diperlukan untuk penyiapan lahan.

Metode yang dapat digunakan untuk perhitungan kebutuhan air irigasi

selama penyiapan lahan salah satunya adalah metode yang dikembangkan oleh

van de Goor dan Zijlstra(1968).

Metode ini didasarkan pada laju air konstan dalam l/dt selama penyiapan lahan

dan menghasilkan rumus berikut :

IR = M. ek/(ek – 1) (2.6)

M = Eo + P (2.7)

K = MT/S (2.8)
di mana:

IR = kebutuhan air irigasi untuk pengolahan tanah (mm/hari)


M = kebutuhan air untuk mengganti kehilangan air akibat evaporasi dan
perkolasi di sawah yang telah di jenuhkan ( =Eo +P )
Eo = evaporasi air terbuka (mm/hari) ( =ETo x 1,10 )
P = perkolasi ( mm/hari)
T = jangka waktu penyiapan lahan (hari)
S = kebutuhan air untuk penjenuhan ditambah dengan lapisan air 50
mm, yakni 250 + 50 = 300
K = konstanta

2.6.2 Penggunaan Konsumtif

Penggunaan air untuk kebutuhan tanaman (consumtive use) dapat didekati

dengan menghitung evapotranspirasi tanaman, yang besarnya dipengaruhi oleh

jenis tanaman, umur tanaman dan faktor klimatologi. Nilai evapotranspirasi

merupakan jumlah dari evaporasi dan transpirasi. Yang dimaksud dengan

evaporasia dalah proses perubahan molekul air di permukaan menjadi molekul air

di atmosfir. Sedangkan transpirasi adalah proses fisiologis alamiah pada tanarnan,

dimana air yang dihisap oleh akar diteruskan lewat tubuh tanaman dan diuapkan

kembali melalui pucuk daun. Nilai evapotranspirasi dapat diperoleh dengan

pengukuran di lapangan atau dengan rumus-rumus empiris. Untuk keperluan

perhitungan kebutuhan air irigasi dibutuhkan nilai evapotranspirasi potensial

(ETo) yaitu evapotranspirasi yang terjadi apabila tersedia cukup air. Kebutuhan air

untuk tanaman adalah nilai ETo dikalikan dengan suatu koefisien tanaman

(Departemen PU,Direktorat Jendral Pengairan, 1986).

ETc= Kc x Eto (2.9)


di mana:

Kc = koefisien tanaman
ETo = evapotranspirasi potensial (mm/hari)
ETc = Evapotranspirasi tanaman (mm/hari).

Kebutuhan air konsumtif ini dipengaruhi oleh jenis dan usia tanaman

(tingkat pertumbuhan tanaman). Pada saat tanaman mulai tumbuh, nilai kebutuhan

air konsumtif meningkat sesuai pertumbuhannya dan mencapai maksimum pada

saat pertumbuhan vegetasi maksimum. Setelah mencapai maksimum dan

berlangsung beberapa saat menurut jenis tanaman, nilai kebutuhan air konsumtif

akan menurun sejalan dengan pematangan biji. Pengaruh watak tanaman

terhadapkebutuhan tersebut dengan faktor tanaman (kc).Nilai koefisien

pertumbuhan tanaman ini tergantung jenis tanaman yang ditanam.

1. Kebutuhan air irigasi selama jangka waktu penyiapan lahan

IR = M.ek/(ek – 1) (2.10)

di mana:

IR = kebutuhan air irigasi di tingkat persawahan (mm/hari),


M =kebutuhan ait untuk mengganti menkonspensasi air yang hilang akibat
evaporasi, M=Eo+P,
E0 =Evaporasi air terbuka yang diambil dari 1,1 x ET0 selama penyiapan
lahan, k = MT/S,
T = jangka waktu penyiapan lahan (hari)
S = air yang dibutuhkan untuk penjenuhan ditambah dengan 50 mm.

2. Kebutuhan bersih air di sawah untuk padi (NFR)

NFR = ETc + P – Re + WLR (2.11)


3. Kebutuhan irigasi untuk padi (IR)

IR = NFR/e (2.12)

di mana:

ETc = penggunaan konsumtif (mm)

P = kehilangan air akibat perkolasi (mm/hari)


Re = curah hujan per hari (mm/hari)
e = efisiensi irigasi secara keseluruhan
WLR = penggantian lapisan air (mm/hari).

2.6.3 Perkolasi

Laju perkolasi sangat tergantung pada sifat-sifat tanah. Data-data mengenai

perkolasi akan diperoleh dari penelitian kemampuan tanah maka diperlukan

penyelidikan kelulusan tanah. Pada tanah lempung berat dengan karakteristik

pengolahan (puddling) yang baik, laju perkolasi dapat mencapai 1-3 mm/hari.

Pada tanah-tanah yang lebih ringan, laju perkolasi bisa lebih tinggi. Untuk

menentukan laju perkolasi, perlu diperhitungkan tinggi muka air tanahnya.

Sedangkan rembesan terjadi akibat meresapnya air melalui tanggul sawah.

2.6.4 Penggantian lapisan air

Setelah pemupukan perlu dijadwalkan dan mengganti lapisan air menurut

kebutuhan. Penggantian diperkirakan sebanyak 2 kali masing-masing 50 mm satu

bulan dan dua bulan setelah transplantasi (atau 3,3 mm/hari selama 1/2 bulan).

2.6.5 Curah Hujan Efektif

Analisa curah hujan yang dimaksud adalah curah hujan efektif untuk

menghitung kebutuhan air irigasi. Curah hujan efektif atau andal adalah bagian
dari keseluruhan curah hujan yang secara efektif tersedia untuk kebutuhan air

irigasi.

Curah hujan efektif (Reff) ditentukan berdasarkan besarnya R80 yang

merupakan curah hujan yang besarnya dapat dilampaui sebanyak 80% atau

dengan kata lain dilampauinya 8 kali kejadian dari 10 kali kejadian. Artinya,

bahwa besarnya curah hujan yang terjadi lebih kecil dari R80 mempunyai

kemungkinan hanya 20%.

Untuk menghitung besarnya curah hujan efektif dinyatakan dengan rumus

sebagai berikut:

Reff = (n/5) + 1 (2.13)

di mana:

Reff = R80 = curah hujan efektif 80% (mm/hari),


(n/5)+1 = rangking curah hujan efektif dihitung dari curah hujan terkecil
N = jumlah data.
Untuk menghitung curah hujan efektif padi digunakan persamaan sebagai berikut:

1
Reff= 0,7 x15x R (2.14)

di mana:

Reff = curah hujan efektif 80 %


R = curah hujan minimum pada tengah bulanan.

2.6.6 Kebutuhan Air Sawah

Perkiraan banyaknya air untuk irigasi didasarkan pada faktor-faktor jenis

tanaman, jenis tanah, cara pemberiaan airnya, cara pengolahan tanah, banyak

turun curah hujan, waktu penanaman, iklim, pemeliharaan saluran dan bangunan
bendung dan sebagainya. Banyaknya air pada petak sawah dapat dirumuskan

sebagai berikut :

NFR = Etc + P + WLR – Re (2.15)

di mana

NFR = kebutuhan air irigasi di sawah (lt/det/Ha)


Etc = penggunaan konsumtif (mm/hari)
WLR = penggantian lapisan air (mm/hari)
P = perkolasi (mm/hari)
Re = curah hujan efektif.

Kebutuhan air di pintu pengambilan dapat dirumuskan sebagai berikut :

DR = (NFR x A)/e (2.16)

di mana:

NFR = kebutuhan air irigasi di sawah (lt/det/Ha)


DR = kebutuhan air di pintu pengambilan (lt/det/Ha)
A = luas areal irigasi rencana (ha)
e = efisiensi irigasi.

2.6.7 Efisiensi Irigasi

Efisiensi irigasi adalah angka perbandingan dari jumlah air irigasi nyata

yang terpakai untuk kebutuhan pertumbuhan tanaman dengan jumlah air yang

keluar dari pintu pengambilan (intake).Efisiensi irigasi terdiri atas efisiensi

pengaliran yang pada umumnya terjadi di jaringan utama dan efisiensi di jaringan

sekunder yaitu dari bangunan pembagi sampai petak sawah. Efisiensi irigasi

didasarkan asumsi sebagian dari jumlah air yang diambil akan hilang baik di
saluran maupun di petak sawah. Kehilangan air yang diperhitungkan untuk

operasi irigasi meliputi kehilangan air di tingkat tersier, sekunder dan

primer.Besarnya masing-masing kehilangan air tersebut dipengaruhi oleh panjang

saluran, luas permukaan saluran, keliling basah saluran dan kedudukan air tanah.

Besarnya nilai efisiensi irigasi ini dipengaruhi oleh jumlah air yang hilang selama

di perjalanan.Efisiensi kehilangan air pada saluran primer, sekunder dan tersier

berbeda-beda pada daerah irigasi. Besarnya kehilangan air di tingkat saluran

primer 80%, sekunder 90% dan tersier 90%. Sehingga efisiensi irigasi total = 90%

x 90% x 80% = 65 %.

Rumus efisiensi irigasi dinyatakan sebagai berikut :

𝐷𝑒𝑏𝑖𝑡𝑃𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎𝑙−𝐷𝑒𝑏𝑖𝑡𝑈𝑗𝑢𝑛𝑔
Debit hilang = x 100 % (2.17)
𝐷𝑒𝑏𝑖𝑡𝑃𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎𝑙

Ec = Debit Total – Debit Hilang (2.18)

di mana:

Ec = Efisiensi irigasi,
Debit pangkal = Jumlah air yang masuk
Debit ujung = Jumlah air yang keluar
Debit total = Jumlah air seluruhnya

2.6.8 Efektifitas Irigasi

Tingkat efektifitas jaringan irigasi terutama pada jaringan irigasi induk dan

jaringan irigasi sekunder diperoleh menggunakan persamaan berikut.

Luas Areal Terairi


IA = X 100 % (2.19)
Luas Rancangan

dimana semakin tinggi nilai IA menunjukkan semakin efektifitas pengolahan

jaringan irigasi.

Anda mungkin juga menyukai