Anda di halaman 1dari 23

TINJAUAN PUSTAKA

Etiologi
Penyakit rabies dalam bahasa Indonesia disebut penyakit anjing gila.
Rabies juga dikenal dengan nama lyssa, tollwut, rage dan hydrophobia.
Dinamakan hydrophobia dikarenakan penderitanya cenderung takut akan air.
Rabies merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh virus yang
menyerang susunan syaraf pusat dan bersifat menular kepada manusia (zoonosis).
Rabies disebabkan oleh virus neurotropik yang termasuk ke dalam genus
Lyssavirus, famili Rhabdoviridae (Paez A, Nunez C, Garcia1 C dan Boshell J.
2003).
Rabies merupakan penyakit viral ensefalomielitis yang sering berakibat fatal
setelah gejala klinis muncul (Ruprecht 2007). Penderita penyakit ini selalu
berakhir dengan kematian apabila hewan telah menunjukkan gejala klinis. Kasus
kematiannya mencapai 100% (case fatality rate 100%).

Gambar 1 Struktur virus rabies.

Reservoir virus rabies (RABV) terdiri atas berbagai spesies Carnivora dan
Chiroptera, yang dapat saja menularkan lagi penyakit ini ke mamalia akhir,
termasuk manusia. Sebagian besar mamalia liar dapat tertular rabies (Daniel B,
Fishbein DB dan Laura ER 1993). Rabies muncul dalam dua bentuk epidemi
yang berbeda, yaitu rabies tipe urban, dengan anjing peliharaan sebagai reservoir
dan transmitter, serta rabies tipe silvatik dengan berbagai hewan liar sebagai
reservoirnya (Paez A, Nunez C, Garcia1 C dan Boshell J 2003).
6

Berdasarkan sifat dari antigen yang dimiliki virus, maka virus rabies
dikelompokkan dalam 4 serotipe yaitu:
1. Serotipe 1, prototipe strain CVS, terdiri dari mayoritas strain liar dan strain
laboratorium di beberapa region di dunia.
2. Serotipe 2, prototipe strain kelelawar lagon (Nigeria).
3. Serotipe 3, prototipe strain Mikola yang dapat diisolasi dari krosidura (shrew)
dan manusia.
4. Serotipe 4, prototipe yang belum dapat diklasifikasikan dan diisolasi dari kuda
Nigeria dan nyamuk Mansonia uniformis.
Saat ini terdapat dua serotipe tambahan virus rabies yang ada di dunia yaitu
Australian bat lyssa viruses dan European bat lyssa viruses 1 dan 2 (Murphy FA,
Gibbs E.J, Horzinek MC dan Studdert MJ 1999). Perbedaan masing-masing
serotipe ini dapat ditunjukkan dengan melakukan uji netralisasi dan cross
protection test karena adanya glikoprotein yang berbeda.

Struktur Virus Rabies


Rhabdovirus merupakan virus RNA negative stranded yang berarti bahwa
virus ini memiliki untai tunggal RNA dengan sifat tidak dapat berfungsi sebagai
messenger RNA (mRNA). Sesuai dengan namanya virus ini berbentuk batang dan
pada salah satu bagian ujungnya melengkung sehingga sering dikatakan seperti
bentuk peluru. Ukuran virus rabies adalah 100 nm hingga 400 nm namun ukuran
ini sering dijumpai bervariasi.
Virus mempunyai envelope yang diperoleh dari membran plasma sel
induknya. Sifat dari envelope virus rabies ini antara lain mengandung lipida yang
mudah dilarutkan dalam pelarut lemak (sabun, eter, kloroform, aseton), etanol 45-
70%, preparat iodin dan amonium kuartener. Virus ini resisten terhadap
pengeringan dan freezing thawing yang berulang, cukup stabil pada pH 5-10, peka
terhadap suhu pasteurisasi dan sinar ultraviolet. Envelope ini sangat penting bagi
sifat infektifitas dari virus rabies, sedangkan RNA dan nukleokapsidnya tidak
infektif (Soedijar dan Dharma 2005).
7

Virus rabies diketahui mempunyai lima protein yaitu:


1. Protein G (permukaan); bagian ini merupakan paku glikoprotein pada
permukaan dan ada sebagai penjaga keseimbangan. Setiap virus mempunyai
1200 protein G. Protein G ini adalah protein transmembran dengan rangkaian
N-terminal. Protein ini berikatan dengan reseptor seluler dan merupakan target
dalam netralisasi antibodi. Penetrasi virus kedalam sitoplasma mengambil
jalur endokrin dan tidak melewati membran plasma.
2. Protein M (matriks); merupakan protein membran perifer yang terlihat sebagai
garis pada permukaan bagian dalam membran virus. Bagian ini menjadi
jembatan antara membran atau protein G dengan nukleokapsid.
3. Nukleokapsid; bagian ini merupakan inti ribonukleoprotein infeksius virus
rabies. Mempunyai struktur heliks yang berada didalam membran. Dengan
mikroskop elektron dapat dilihat dalam inti ini terdapat 2 protein yaitu N
(nukleoprotein) protein dan L (large) protein, serta NS (nonstruktural, dikenal
juga sebagai P atau Polymerase).

Replikasi Virus Rabies


Dalam hal replikasi virus rabies diketahui mengalami beberapa tahapan
(Anonim 2007), yaitu:
1. Berikatan (binding), reseptor untuk rhabdovirus secara pasti dapat
teridentifikasi namun beberapa percobaan merujuk pada fosfolipid terutama
sekali pada fosfotidil serin sebagai molekul reseptor pada permukaan sel.
2. Transkripsi (transcription), pada mulanya polimerase yang membawa masuk
virus membentuk 5 individual mRNA. RNA harus terbentuk sebelum proses
sintesis protein virus lainnya dan virus yang terinfeksi harus disediakan enzim
polimerase. Potongan untaian dari transkripsi virus ini adalah N, NS (P), M, G
dan L dengan sintesis mRNA akan melemahkan ikatan masing-masing gen.
3. Replikasi (replication), polimerase merubah negative sense RNA virus menjadi
untaian positive sense. Bagian ini menjadi template untuk transcriptase untuk
menuliskan kembali molekul RNA dengan sifat negative sense. Fase replikasi
ini membutuhkan protein sintesis dan polymerase yang sama. Pada fase ini,
enzim tersebut harus dapat mengabaikan pengaruh sinyal dari mRNA individu
8

spesies dan membuat molekul RNA tunggal. Perubahan antara proses


transkripsi mRNA dan replikasi genom RNA diketahui dikendalikan oleh
sejumlah protein N.
4. Protein G mRNA diterjemahkan secara bersamaan di dalam retikulum
endoplasma dan dipindahkan melalui badan golgi ke permukaan sel. Pada
bagian ini protein G akan menempel pada protein M secara bersama. Untaian
molekul RNA negatif akan bersatu dengan N, L, dan NS(P) protein
membentuk inti nukleokapsid. Bagian ini akan bersatu dengan protein M pada
bagian dalam permukaan membran plasma. Interaksi antara nukleokapsid dan
protein M menyebabkan berubahnya susunan yang lebih awal menjadi lebih
padat, setelah itu nukleokapsid akan berkembang melalui membran.

Gambar 2 Potongan melintang struktur virus rabies.

Cara Penularan
Rabies pada hewan ditularkan ke manusia seringkali melalui gigitan hewan
terinfeksi. Pada kasus yang jarang terjadi, rabies dapat ditularkan melalui
transplantasi kornea mata atau transplantasi atau transplantasi jaringan lainnya.
Rabies dapat juga ditularkan melalui kontaminasi kelenjar air liur yang terinfeksi
pada membran mukosa yang terbuka atau karena luka.
Menurut CDC (2007), infeksi rabies secara aerosol dapat menjadi salah satu
faktor keterpaparan (exposure) rabies pada manusia. Hal ini diungkapkan dengan
ditemukannya manusia terinfeksi virus secara aerosol setelah berada didalam gua
9

kelelawar. Selain itu, dokter hewan dan petugas laboratorium dapat juga tertular
rabies secara aerosol. Di Amerika Serikat, infeksi karena kontaminasi kelenjar air
liur terjadi hanya 5 dari 154 (sebesar 3%) kasus yang dilaporkan dari tahun 1950
hingga 1980. Dari 5 kasus pada manusia ini, 4 diantaranya terinfeksi karena
menghirup udara mengandung virus hidup yang tinggi.

Patogenesis
Virus ini pada dasarnya dapat menginfeksi berbagai jenis bentuk sel, namun
yang paling utama terinfeksi adalah sel syaraf. Virus berikatan dengan syaraf
ataupun sel otot pada titik inokulasi via reseptor nicotinic acetylcholine. Pada
bagian ini virus akan tinggal cukup lama hingga beberapa bulan. Virus dapat juga
bereplikasi pada sel otot pada titik terjadinya gigitan tanpa menunjukkan gejala
klinis yang jelas. Hal ini disebut juga sebagai fase inkubasi penyakit.
Virus menyebar melalui akson dan berjalan dari syaraf perifer menuju sel
syaraf tubuh, kemungkinan juga tercelup dalam sitoplasma (Jameson 2006).
Setelah mengalami replikasi di sel syaraf utama tubuh, maka proses infeksi
melalui pergerakan mundur akson dan transinaptik menyebar ke beberapa sel
syaraf. Penyebaran transinaptik merupakan kemampuan virus untuk
menggunakan percabangan sinapsis hingga menyebar pada susunan syaraf pusat
(SSP). Virus akan mencapai dorsal akar ganglion dan medula spinalis, kemudian
pada akhirnya akan mencapai otak.
Infeksi neuronal oleh virus rabies menyebabkan abnormalitas pada fungsi
neotransmiter yang mempengaruhi serotonin, GABA, dan transmisi muscarinic
acetylcoline. Beberapa sel didalam otak dapat terinfeksi oleh virus ini, antara lain
serebelum, sel Purkinje, sel hipokampus dan pontine nuclei (fase prodromal).
Infeksi pada otak menyebabkan terjadinya ensefalitis dan degenerasi neuron
meskipun pada bagian lain virus hanya terlihat kecil sekali menyebabkan efek
sitopatik. Keterlibatan otak menyebabkan koma hingga kematian.
Selama fase neurologis virus dapat menyebar juga ke bagian tubuh yang
lainnya melalui sel syaraf, antara lain ke kulit, mata, adrenal, ginjal hingga sel
asinar dan kelenjar-kelenjar air liur. Sel asinar akan terinfeksi berikutnya, yang
10

pada gilirannya akan mengumpulkan virus didalam rongga mulut. Hal ini
menjelaskan adanya virus didalam kelenjar air liur.
Soedijar dan Dharma (2005) menyatakan virus tidak saja dijumpai di SSP,
namun dapat juga berada di kelenjar air liur, kelenjar air mata, glandula
suprarenalis dan pankreas. Virus tidak diketemukan didalam darah, limpa, hati,
kelenjar limfe, sumsum tulang atau kelenjar genitalia.
Banyak faktor yang mempengaruhi dan membedakan waktu onset simptom
rabies muncul, namun yang paling penting adalah banyaknya partikel virus yang
menginfeksi dan seberapa dekat gigitan dengan otak. Kondisi imun pasien juga
sangat perlu untuk diperhatikan. Respon imun terhadap virus adalah lambat dan
respon netralisasi yang baik baru akan muncul setelah virus mencapai otak
sehingga akan menjadi terlambat bagi penderita untuk dapat mampu bertahan.
Infeksi rabies bersifat almost always fatal, yang berarti kematian dan berdasarkan
catatan ilmiah hanya 3 orang yang mampu selamat dari symtopmatic rabies.

Gejala Klinis
Virus rabies berada di titik terjadinya gigitan dan bergerak secara lambat
melalui sel syaraf hingga mencapai waktu 3-8 minggu untuk mencapai otak. Pada
kasus yang khusus dapat mencapai 12 bulan untuk dapat menginfeksi otak (Hines
2006). Kebanyakan hewan akan mengalami hanya satu tahap saja atau bahkan
lebih hingga akhirnya mati. Hewan sigung (skunk) merupakan pengecualian
karena dapat bertahan lama dan hidup sehat sebagai carrier virus rabies. Pada
daerah endemik rabies, sebagian besar hewan terinfeksi tidak akan menunjukkan
gejala klinis.
Fase prodromal. Selama infeksi terjadi virus akan bergerak mundur
mengikuti gerakan akson dan tubuh masih akan meng abaikan virus. Pada lokasi
gigitan virus akan masuk secara langsung ke dalam syaraf perifer atau bereplikasi
di jaringan sekitar tempat terjadinya gigitan untuk kemudian akan masuk kedalam
sel syaraf. Pada anjing fase ini biasanya akan terjadi selama dua atau tiga hari.
Pada hari berikutnya hewan akan mengalami gelisah dan cemas. Hewan akan
cenderung menyendiri, diam dan mengalami demam. Perubahan perilaku akan
11

tampak pada fase ini. Anjing yang biasanya ramah akan nampak ketakutan atau
agresif, dan begitu juga sebaliknya.
Pada bagian gigitan akan terasa gatal atau pedih bagi mereka, sehingga
mereka akan cenderung sering menjilat dan menguatirkan lingkungan sekitarnya.
Pada kucing fase ini akan lebih cepat terjadi apabila dibandingkan dengan anjing.
Fase furious. Saat virus telah memasuki sel syaraf perifer, virus akan
bergerak melalui serat syaraf sensorik dan motorik menuju otak. Virus juga
menyebar dari otak ke bagian tubuh yang lain termasuk juga pada kelenjar
kelenjar air liur, hingga virus akan tampak berada didalam kelenjar air liur hewan.
Setelah melalui fase prodromal, anjing akan melalui fase yang dtandai dengan
sifat cepat marah apabila dirangsang dengan cahaya dan suara. Fase ini akan
berlangsung selama 1-7 hari.
Hewan akan terlihat gelisah, agresif dan kuat. Biasanya dia akan menggigit
jeruji kandangnya hingga melukai mulutnya sendiri. Anjing pada fase ini akan
menjelajah dan berjalan kemana-mana dengan jarak yang jauh tanpa arah dan
tujuan. Secepatnya hewan ini akan menjadi ataksia, goyah dan terjadi zeisure
hingga kemudian mati.
Fase dumb. Tahap ini kadang juga disebut dengan fase paralisis. Beberapa
hewan mengalami fase ini setelah fase prodromal atau periode furious. Pada
tahap ini syaraf di bagian kepala dan kerongkongan menjadi paralisis. Hewan
akan mengeluarkan air liur, berjalan dengan mulut ternganga, dan tidak dapat
menelan. Pemilik hewan biasanya akan berpikir hewan kesayangannya
mengalami gangguan menelan akibat adanya benda asing di kerongkongan.
Selama periode ini dalam waktu satu minggu hewan akan mengalami paralisis
yang lebih parah dan akhirnya mati. Kebanyakan anjing melalui masa ini secara
langsung setelah fase prodromal. Sapi pada fase ini seringkali akan melenguh dan
mengulurkan lehernya apabila kerongkongannya telah mengalami kerusakan.
Para peternak biasanya akan berusaha membantu mengeluarkan benda yang
mereka duga apel atau jagung yang berada di kerongkongan sapi tersebut.
Kejadian ini akan membuat mereka berisiko terkena rabies.
12

Diagnosa
Metode tradisional untuk mendiagnosa penyakit rabies adalah pemeriksaan
laboratorium terhadap sampel otak hewan tersangka. Patologi dari infeksi rabies
meliputi perubahan seluler berupa inflamasi otak (ensefalitis) dan medula spinalis
(myelitis), pembuluh darah di sekitar otak akan dikelilingi oleh sel darah putih
(perivascular cuffing), seringkali inclusion bodies globular yang kemerahan
(negri bodies) di dalam sel syaraf dua bagian otak, yaitu serebelum dan
hipokampus (Hines 2006). Metode standar untuk pengujian antibodi rabies yang
direkomendasikan WHO dan OIE adalah serum netralisasi (RFFIT, FAVN, dan
TC/SN).
Diagnosa virus rabies pada hewan dapat pula dilakukan dengan
menggunakan pewarnaan Seller. Uji ini merupakan uji yang relatif cepat dan
murah tetapi kurang spesifik. Dengan uji ini dilakukan pemeriksaan negri bodi
virus rabies yang berukuran 24-27 µm, terletak intrasitoplasmik dan bersifat
asidofilik pada sel syaraf atau ganglion dari tanduk ammon, serebrum, dan
serebelum.
Uji flourescent antibodies test (FAT) dapat digunakan untuk
memperlihatkan virus rabies pada jaringan otak, cairan serebrosipnal, urin, kulit
dan usapan kornea. Namun uji ini dapat muncul negatif apabila telah muncul
antibodi. Pada hewan juga dapat dilakukan isolasi virus rabies dengan mengambil
sampel dari saliva, cairan serebrospinal dan sedimen urin sebelum kematiannya.
Isolasi mungkin akan gagal dari jaringan otak dan material di atas 10-14 hari
setelah sakit (pasca-kematian), dimana ada korelasinya dengan timbulnya antibodi
netralisasi.
Salah satu metode cepat untuk diagnosa rabies antemortem pada manusia
adalah FAT pada biopsi kulit di daerah tengkuk manusia untuk mendapatkan
antigen rabies. Metode ini lebih sensitif (sensitivitas 86%) dan spesifik untuk
mendeteksi antigen rabies di kulit dan jaringan segar lainnya (misalnya biopsi
otak), air liur, air mata dan biopsi kornea. Untuk pengujian postmortem pada
manusia dengan deteksi antigen rabies pada jaringan otak. Penggunaan reverse
transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) juga dapat dilakukan sebagai
salah satu uji yang baik dan akurat ataupun dengan isolasi virus rabies.
13

Pengobatan dan Pencegahan


Penyakit rabies hingga saat ini belum ditemukan pengobatan yang ampuh
dan efektif, sehingga apabila terinfeksi virus ini maka akan diakhiri dengan
kematian (almost always fatal). Apabila dijumpai anjing yang belum divaksinasi
tergigit oleh hewan terinfeksi rabies disarankan agar segera dimusnahkan. Namun
bila pemilik hewan keberatan untuk dimusnahkan, maka hewan tersebut harus
divaksinasi rabies dan diisolasi selama 6 bulan sebelum akhirnya dilepaskan. Jika
hewan yang tergigit pernah mengalami vaksinasi maka harus dengan segera
divaksinasi ulang dan diobservasi secara tertutup selama 45 hari.
Pencegahan dapat dilakukan dengan mengikuti prosedur yang baik untuk
menyikat dengan kuat dan melakukan desinfeksi pada bagian gigitan hewan,
meskipun telah diketahui juga bahwa vaksinasi merupakan salah satu cara terbaik
untuk mencegah rabies. Banyak negara di dunia mengharuskan dilakukannya
vaksinasi rabies secara rutin pada hewan anjing. Jenis vaksin yang dapat
digunakan saat ini sudah cukup beragam baik berupa live virus ataupun killed
virus. Vaksin-vaksin ini bahkan dapat juga digunakan pada musang, kuda, sapi
dan kambing dengan efek yang sama efektif dan baiknya seperti digunakan pada
anjing, serta hampir selalu berhasil. Bagi manusia yang termasuk dalam golongan
berisiko tinggi rabies disarankan supaya dilakukan vaksinasi secara rutin (Hines
2006).

Epidemiologi
Rabies telah dikenal kurang lebih 4000 tahun yang lalu. Saat ini rabies
terdapat di seluruh dunia dengan beberapa negara termasuk dalam negara bebas
rabies. Penyebaran virus rabies pada mamalia atau reservoar tergantung lokasi
geografi. Di Amerika Utara, hewan liar termasuk raccoon, skunk, serigala dapat
menjadi reservoar sementara, sedangkan di Eropa serigala dan kelelawar
merupakan reservoar utama.
Pada beberapa negara berkembang, rabies mungkin disebarkan ke populasi
anjing dan kelelawar, serta menimbulkan kefatalan pada manusia melalui gigitan
anjing rabies. Selain itu rabies dapat ditularkan melalui kelenjar air liur hewan
14

reservoar liar ke hewan bukan reservoar seperti kucing, monyet, kuda, sapi,
domba dan kambing (CDC 2007).
Kira-kira di 100 negara, rabies enzootik pada hewan liar atau domestik
mengancam 3 juta manusia yang berada di daerah tersebut. Prevalensi rabies
bervariasi. Negara yang lebih banyak terkena penyakit ini adalah negara tropis
berkembang termasuk diantaranya Asia, Afrika dan Amerika Latin, dimana terjadi
kematian manusia lebih dari 99% setiap tahunnya. Menurut Belotto (2003), pada
tahun 2001 kasus rabies pada hewan mencapai 12 486 kasus dengan jumlah 62%
terjadi pada hewan liar. Selain itu lebih dari 15% terjadinya rabies pada manusia
ditularkan lewat kelelawar. Kejadian ini terjadi baik di Amerika Latin (ditularkan
lewat vampire bats) maupun Amerika Utara.
Strategi yang diterapkan untuk menghadapi wabah penyakit rabies di
Amerika adalah dengan melakukan kampanye program vaksinasi secara massal
pada anjing, menyediakan pelayanan vaksinasi rabies bagi manusia di unit-unit
pelayanan kesehatan, surveilans epidemiologi, pendidikan kesehatan dan
pengendalian wabah (Belotto et al. 2003).
Di beberapa negara industrialisasi, positif dilakukan dengan pemberian
vaksin oral pada hewan liar atau vaksinasi parenteral pada hewan domestik.
Pelaksanaan program vaksinasi ini mampu menurunkan angka kematian di negara
industrialisasi. Walaupun UK ditetapkan sebagai negara bebas rabies, kematian
pertama pada manusia akibat rabies ditemukan sejak tahun 1902 di Skotlandia,
serta pada tahun 2002 yang disebabkan oleh lyssavirus pada kelelawar tipe 2
(CDC 2007).

Sejarah di Indonesia
Penyakit rabies sudah dikenal di negara Indonesia semenjak berpuluh-puluh
tahun yang lalu, baik pada manusia maupun pada hewan liar dan hewan
peliharaan. Penyakit ini juga masih dianggap sebagai zoonosis nomor satu. Di
Indonesia saat ini hanya anjing, kucing dan kera yang dikenal sebagai penyebar
utama penyakit ini.
Rabies di Indonesia pertama kali ditemukan pada kerbau oleh Esser pada
tahun 1884, kemudian oleh Penning pada anjing di Tangerang tahun 1889. Kasus
15

rabies pada manusia dilaporkan oleh E. de Haan, menyerang seorang anak di Desa
Palimanan, Cirebon pada tahun 1894. Berdasarkan studi retrospektif, wabah rabies
di Indonesia dimulai pada tahun 1884 di Jawa Barat; tahun 1953 terjadi wabah di
Jawa Tengah; Jawa Timur; Sumatera Barat, kemudian tahun 1956 di Sumatera
Utara. Selanjutnya, wabah rabies terjadi di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara
tahun 1958; Sumatera Selatan tahun 1959; Lampung tahun 1969; Aceh tahun 1970;
Jambi; DI Yogyakarta tahun 1971; DKI Jakarta; Bengkulu dan Sulawesi Tengah
tahun 1972; Kalimantan Timur tahun 1974; Riau tahun 1975; Kalimantan Tengah
tahun 1978; Kalimantan Selatan tahun 1981 dan Pulau Flores tahun 1997 (Barantan
Deptan 2006; Soejoedono 2004). Di Indonesia, ada laporan mengenai 2 orang
pemotong kayu di Sulawesi Utara yang meninggal karena rabies dalam 2 hari tanpa
diketahui cara terpaparnya (Soedijar dan Dharma 2005).
Pada tahun 2006, jumlah kabupaten/kota terjangkit penyakit rabies sebanyak
199 kabupaten/kota dari 23 provinsi. Jumlah kasus gigitan hewan penular rabies
(GHPR) sebanyak 13 929 orang. Jumlah kasus GHPR yang mendapat vaksin anti
rabies (VAR) sebanyak 8 959 hewan. Jumlah kasus penyakit rabies yang
menyebabkan kematian (lyssa) sebanyak 106 orang.
Kasus GHPR dari tahun 2001 sampai dengan 2004 cenderung naik, tetapi
pada tahun 2005 dan 2006 menurun. Namun lyssa selama tahun 2001–2005
cenderung meningkat, seiring dengan terjadinya KLB penyakit rabies di
Kalimantan Barat dan Maluku Utara, dan menurun lagi pada tahun 2006. Situasi
penyakit rabies di Indonesia tahun 2001-2006 dapat dilihat pada Gambar 3. Kasus
GHPR terbanyak dilaporkan dari Sumatera Barat (2 538 kasus) sedangkan terendah
terjadi di Banten (10 kasus). Kasus penyakit rabies yang menyebabkan kematian
pada manusia (lyssa) terbanyak dilaporkan dari Sulawesi Utara (21 kasus) dan
Sulawesi Tengah (15 kasus).
16

Gambar 3 Kasus rabies pada manusia di Indonesia periode 2001-2006 (Itjen


Depkes 2006).

Peranan Kesehatan Masyarakat


Permasalahan yang dihadapi dalam program permberantasan penyakit rabies
di Indonesia dan negara berkembang lainnya, terutama menyangkut program
vaksinasi dan pendanaan yang terbatas dari pemerintah untuk surveilans.
Pengetahuan masyarakat yang lemah tentang bahaya rabies menyebabkan
masyarakat tidak mau peduli untuk membiarkan hewannya divaksin oleh petugas
kesehatan hewan atau secara sadar memvaksinasikan hewannya pada dokter
hewan. Kebiasaan masyarakat berburu babi hutan dengan menggunakan anjing
menyebabkan adanya mitos yang kurang baik tentang vaksinasi. Selain itu
masyarakat tidak terbiasa untuk mengikat anjingnya di tempat yang aman,
sehingga mereka membiarkan anjing-anjing mereka bebas berkeliaran dan dapat
berinteraksi dengan anjing yang mungkin terinfeksi.
Dalam kaitannya dengan tanggung jawab kesehatan masyarakat maka
menurut National Assosiation of State Public Health Veterinarian atau NASPHV
(2008) terdapat beberapa prinsip dalam pencegahan dan pengendalian penyakit
rabies, antara lain:
1. Perlunya edukasi pada masyarakat tentang kesehatan masyarakat, tanggung
jawab pemilik hewan kesayangan, pemeriksaan secara rutin pada dokter
hewan, pendidikan berkelanjutan bagi para profesional di bidang kedokteran
hewan, meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap bahaya penyakit rabies.
17

2. Pencegahan rabies pada manusia dengan menerapkan vaksinasi bagi manusia


yang berisiko tinggi terkena rabies ataupun pada masyarakat yang berada di
daerah dengan risiko tinggi gigitan HPR.
3. Pengendalian pada hewan domestik.
4. Vaksinasi rabies pada hewan berisiko.
5. Mengadakan surveilans rabies secara aktif maupun pasif.

Vaksinasi Rabies
Saat ini dikenal terdapat dua jenis vaksin rabies yang digunakan pada hewan
yaitu live vaccine dan killed vaccines. Umumnya vaksin yang digunakan saat ini
adalah jenis killed vaccines. Menurut Schultz (2000), vaksinasi rabies memiliki
durasi imunitas minimum kurang lebih selama 3 tahun dan estimasi proteksi
relatif sebesar 85%. Vaksin rabies dikelompokkan dalam kelompok vaksin inti,
dengan pengertian sebagai vaksin yang penting dan harus diberikan pada setiap
anjing untuk vaksinasi. Termasuk dalam vaksin inti ini adalah canine distemper,
canine parvovirus-2, canine adenovirus-2, dan rabies (Rynders 2005; Schultz
2000).
Program vaksinasi bagi vaksin inti ini adalah dilakukan pada umur 12
minggu atau lebih. Untuk vaksin rabies diharapkan dilakukan revaksinasi pada 1
tahun setelah vaksinasi dan diulang sekali lagi 3 tahun kemudian (Schultz 2000).
Beberapa killed vaccine rabies mempunyai durasi minimum 3 tahun.
Namun beberapa anakan anjing sebesar 5% gagal untuk membentuk imunitas
terhadap salah satu vaksin inti termasuk juga vaksin rabies. Penyebab gagalnya
imunitas ini antara lain: keberadaan imunitas secara pasif dari vaksinasi
sebelumnya, mundurnya respon sistem kekebalan, imunogenisitas vaksin yang
lemah, vaksin yang diberikan kurang cukup, ketidakmampuan genetik untuk
merespon antigen dalam vaksin, kejadian immunosupresi, terlalu banyak
komponen dalam vaksin (multiple component vaccine), atau juga inefektifitas
vaksin itu sendiri (Schultz 2000). Menurut Roth (2007) faktor yang
mempengaruhi keberhasilan dan durasi imunitas pada hewan antara lain faktor
vaksin yang digunakan, faktor internal hewan, dan faktor patogennya. Nash
(2008) menyatakan adanya maternal antibodi, jarak waktu vaksinasi dan paparan
18

antigen, perbedaan strain virus, kerusakan vaksin, aplikasi vaksinasi yang kurang
tepat, jadwal vaksinasi yang kurang tepat, variasi ras, imunosupresi atau
imunodefisiensi, defisiensi nutrisi dan berada pada masa awal infeksi dapat
berpengaruh terhadap kegagalan vaksinasi.
Untuk menyakinkan bahwa semua anakan anjing memperoleh imunitas
yang baik, maka vaksin rabies diberikan pada umur 12 minggu atau lebih, diikuti
dengan vaksinasi ulangan setelah 1 tahun atau setelah berumur 1 tahun, dan
divaksin kembali setelah 3 tahun (interval 3 tahun). Pada daerah dengan risiko
tinggi rabies, program vaksinasi harus dilakukan untuk memberikan imunitas pada
hewan yang belum pernah divaksinasi atau yang pernah mendapat vaksinasi lebih
dari 3 tahun. Hewan yang belum pernah divaksinasi akan memiliki risiko tinggi
terinfeksi virus rabies bila dibandingkan dengan yang pernah mengalami
vaksinasi.
Anjing yang datang/diimpor dapat membawa rabies bagi negara yang bebas
penyakit rabies bila mereka dalam fase inkubasi penyakit dan ditransportasikan
selama fase prasimtomatik. Vaksinasi merupakan program yang
direkomendasikan untuk mencegah introduksi penyakit tersebut. Kurva antibodi
netralisasi setelah vaksinasi dan boosters akan meningkat. Antibodi akan
meningkat secara cepat setelah vaksinasi pertama kali, kemudian akan menurun
dan meningkat kembali setelah dilakukan boosters untuk meningkatkan antibodi
pada tingkat yang lebih tinggi dari sebelumnya hingga mencapai nilai antibodi
yang tinggi dan stabil (Aubert 2006).
Data yang diperoleh di Thailand dan Jawa menunjukkan titer antibodi
netralisasi menurun secara cepat setelah mencapai 60 sampai 120 minggu post
vaksinasi pada level 5-25 tingkat lebih rendah dari nilai tertinggi titer. Titer akan
mencapai tingkat yang tinggi apabila pemilik hewan melakukan vaksinasi
beberapa kali secara rutin (Sasaki et al. dalam Aubert 2006).

Respon Kekebalan terhadap Vaksin Rabies


Respon kekebalan spesifik melindungi tubuh dari serangan patogen dan juga
memastikan pertahanan tubuh tidak berbalik melawan jaringan tubuh sendiri.
Respon kekebalan spesifik timbul dari dua sistem berbeda yang saling bekerja
19

sama, yaitu antibody mediated immunity (imunitas yang diperantarai antibodi)


atau disebut juga imunitas humoral, dan cell mediated immunity (imunitas yang
diperantarai sel).
Imunitas humoral merupakan respon kekebalan yang diperantarai antibodi
tidak melibatkan sel, melainkan hanya senyawa kimia yaitu antibodi. Antibodi ini
dihasilkan sel limfosit B dan teraktivasi bila mengenali antigen yang terdapat pada
permukaan sel patogen dengan bantuan sel limfosit T. Sel B akan memproduksi 5
jenis antibodi yaitu Ig A. Ig D, Ig E, Ig G dan Ig M (Tizard 2004). Sel B ini
diproduksi di dalam sumsum tulang belakang. Terdapat tiga jenis sel limfosit B,
yaitu sel B plasma, sel B memori dan sel B pembelah. Patogen akan mengaktivasi
satu sel B membelah dengan cepat menjadi populasi sel yang besar. Semua sel
baru tersebut identik atau klon dan mereka semua kemudian mensekresikan
antibodi yang spesifik terhadap patogen tersebut. Respon tersebut adalah
menyebabkan antigen saling melekat (aglutinasi), menstimulasi fagositosis oleh
netrofil, berperan sebagai antitoksin dan menyebabkan pengendapan toksin
bakteri, serta mencegah bakteri patogen melekat pada membran sel tubuh. Setelah
infeksi berakhir sel B akan mati. Respon kekebalan ini tersebut dinamakan
respon kekebalan primer. Respon kekebalan sejak masuknya antigen ke dalam
tubuh membutuhkan waktu kurang lebih 14 hari untuk mencapai tingkat yang
optimum, namun biasanya tidak tinggi dan cepat hilang.
Sel-sel B memori yang telah mengingat patogen yang menginfeksi, masih
tetap hidup untuk beberapa tahun dalam tubuh. Apabila patogen yang sama
masuk atau menginfeksi kembali maka sel B tersebut akan merespon dengan
cepat menghasilkan sel-sel B aktif dalam jumlah yang lebih besar lagi dan
semuanya memiliki kemampuan mensekresi antibodi yang spesifik
(immunological memory phenomenon). Respon kekebalan tersebut disebut
dengan respon kekebalan sekunder dan merupakan respon kekebalan yang jauh
lebih cepat dan efektif dibandingkan dengan respon kekebalan primer.
Menurut Tizard (2004) imunitas diperantarai sel merupakan respon
kekebalan yang melibatkan sel-sel yang menyerang secara langsung pada
organisme asing. Sel yang terlibat dalam respon kekebalan ini adalah sel limfosit
T. Tubuh menggunakan mekanisme respon kekebalan ini untuk menghadapi
20

parasit multiseluler, fungi, sel-sel kanker dan dapat menyerang jaringan atau
organ transplan yang dianggap benda asing. Sel limfosit T ini diproduksi oleh
timus.
Sel limfosit T juga bereaksi terhadap antigen yang spesifik. Setiap antigen
yang terdapat pada permukaan sel patogen akan menstimulasi sel limfosit untuk
membelah membentuk klon. Beberapa klon akan menjadi sel-sel memori yang
tetap bertahan dalam tubuh untuk menjadi respon kekebalan sekunder bila terjadi
infeksi patogen yang sama. Klon yang lainnya akan berkembang menjadi salah
satu dari tiga jenis sel T, yaitu sel T pembantu (helper T cell), sel T pembunuh
(killer T cell), sel T sitotoksik (cytotoxic T cell) dan sel T supresor (suppresor T
cell). Sel T pembantu mempunyai penanda permukaan (CD4) yang menjadi
reseptor bagi virus HIV dan akan mengaktivasi sel B, sel Tc, dan makrofag
menghasilkan protein sitokin/limfokin. Sel T sitotoksik (CD8) akan merespon
terhadap infeksi virus dan tumor.
Vaksinasi rabies yang dilakukan pada anjing akan merangsang terbentuknya
respon kekebalan dengan mengaktivasi limfosit. Antigen akan menginduksi sel T
sitotoksik dan sel T pembantu meningkatkan kerja sel B untuk menghasilkan
antibodi netralisasi terhadap virus (Kasempimolporn S, Hemachudha T,
Khawplod P dan Manatsathit S 1991). Antibodi yang teraktivasi dengan adanya
virus didalam vaksin adalah Ig M dan Ig G. Antibodi yang diproduksi sel B ini
akan diukur dalam pengujian laboratorium dengan menggunakan FAVN maupun
dengan ELISA. Titer antibodi tersebut akan meningkat dengan cepat namun akan
berbeda pada masing-masing individu (Kennedy et al. 2007).

Rute Vaksinasi
Vaksinasi rabies secara umum dilakukan dengan beberapa rute aplikasi,
antara lain secara injeksi intramuskular (IM), injeksi subkutaneus (SC), injeksi
intradermal, intranasal, dan secara parenteral. Pada masa Pasteur, vaksinasi rabies
dilakukan dengan cara injeksi SC, namun Fuenzalida pada tahun 1967
mendemonstrasikan IM dan menunjukkan bahwa rute vaksinasi ini menghasilkan
titer antibodi netralisasi lebih tinggi pada serum darah anjing. Penelitian lebih
lanjut menunjukkan pula hasil yang sama (Aubert 2006). Meskipun demikian,
21

keuntungan injeksi IM ini dikurangi dengan vaksin yang mempunyai potensi


tinggi dan penggunaan adjuvant vaksin yang membuat rasa sakit saat aplikasi.
Adjuvant membuat imunitas vaksin menjadi lebih panjang/lama.

Pengaruh Umur terhadap Vaksinasi


Menurut Aubert (2006), anjing berumur 11-16 minggu merespon lebih baik
pada vaksin low egg passage (LEP) atau high egg passage (HEP) daripada anjing
berumur 5-10 minggu dengan prosentase 81% berbanding 38%. Hubungan antara
umur hewan dan proteksi terhadap rabies digambarkan dalam penelitian (Bunn
dalam Aubert 2006) di laboratorium terhadap anak anjing berumur 3-5 bulan.
Anjing berumur 3 bulan setelah vaksinasi dengan vaksin flury LEP menunjukkan
10/40 mempunyai titer di bawah 1/5.
Pengaruh umur pada respon antibodi netralisasi juga ditunjukkan pada
penelitian di Thailand dengan mengelompokkan anjing ke dalam kelompok 3
minggu–3 bulan, 6-12 bulan, dan lebih dari 12 bulan. Titer antibodi dievaluasi
setelah vaksinasi dan diperoleh hasil bahwa anjing yang lebih tua mempunyai
respon lebih tinggi terhadap vaksinasi. Bahkan penelitian ini menyatakan bahwa
respon superior pada anjing tua meningkatkan pula harapan hidup anjing dengan
sistem imun yang kuat.
Keberadaan antibodi netralisasi spesifik pada anak anjing yang didapatkan
melalui kolostrum menghalangi terbentuknya imunitas aktif pada anak. Menurut
penelitian Precausta yang diacu Aubert (2006), anak anjing yang belum
divaksinasi pada umur 1 bulan mempunyai tingkat antibodi netralisasi yang sama
dengan anakan berumur 7 bulan yang telah divaksinasi, sedangkan anak anjing
berumur 1 bulan dan divaksinasi menunjukkan tingkat antibodi yang menurun
secara kinetik sama dengan anakan lain yang belum divaksinasi pada kandang
yang sama.
Setelah 10-11 minggu tidak dijumpai lagi adanya netralisasi oleh antibodi
maternal pada anjing. Survei pada populasi anjing yang dilakukan vaksinasi
secara sistemik di Perancis dan di beberapa negara mampu mengkonfirmasi
bahwa tidak dijumpai adanya gangguan antara aktif dan pasif imunitas pada umur
ini.
22

Mekanisme Proteksi Rabies


Menurut Soedijar dan Dharma (2005) manusia yang terinfeksi virus rabies
akan memproteksi dirinya melalui reaksi antigen antibodi dan efek inhibisi dari
interferon. Virus rabies dikenal mempunyai 2 antigen struktural yang utama,
yaitu protein G dan antigen nukleoprotein (internal nucleoprotein). Protein G atau
glikoprotein adalah satu-satunya antigen yang mampu menginduksi pembentukan
antibodi penetralan virus, dan melindungi induk semang (host) terhadap tantangan
virus berikutnya. Antigen nukleoprotein dapat pula menginduksi pembentukan
antibodi seperti yang sering diperlihatkan dengan teknik fiksasi komplemen dan
teknik presipitasi, namun tidak memiliki kemampuan menetralkan.
Virus rabies yang hidup dalam vaksin akan mampu menginduksi sel-sel
tubuh dan membentuk interferon. Setelah dikeluarkan dari sel, interferon dapat
diambil lagi oleh sel lain yang karenanya menjadi resisten terhadap infeksi virus
sebagai kemungkinan dihasilkannya suatu translation inhibiting protein. Bagian
yang penting dari interferon adalah dapat bertindak sebagai substansi terapeutik
yang potensial sebagai obat antivirus universal. Interferon hanya aktif pada hasil
spesies yang membuatnya, sehingga interferon untuk manusia hanya diperoleh
dari sel-sel manusia saja.

Pengukuran Antibodi Rabies


Metode pengukuran antibodi dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu dengan
pengukuran kekebalan humoral dan kekebalan selular. Pengukuran antibodi
humoral dapat dilakukan dengan uji haemoaglutinasi inhibition (HI). Uji ini
dapat menjadi pilihan bagi laboratorium serologi yang mempunyai fasilitas
terbatas. Namun untuk melakukan uji ini harus dimiliki terlebih dahulu
standardisasi penetapan nilai protektif. Pada saat tertentu, selama dan sesudah
suatu vaksinasi anti rabies penuh memberikan titer tertinggi 1/3125 dengan
metode indirect flourescent antibody test (IFAT). Teknik ini memerlukan
pengalaman dalam penentuan positif antibodi untuk menghindari positif palsu.
Pengukuran antibodi dapat pula dilakukan dengan metode ELISA yang
cukup murah dan relatif lebih cepat bila dilakukan pemeriksaan pada sampel
dalam jumlah yang banyak dan sekaligus. Namun uji ini tidak mempunyai
23

sensitifitas dan spesifisitas setinggi serum neutralization test (SNT). ELISA


menunjukkan sensitifitas dan spesifisitas sebesar 64% dan 100% pada 30 sampel
pada pengujian serum darah anjing di Thailand (Wattanapirom P, Pantsiri U,
Wiriyakitja W, Prasertmek P dan Suradhat S 2008). Pada penelitian tersebut
diperoleh kebanyakan jumlah negatif palsu terjadi pada sampel dengan titer
antibodi dibawah 5 IU/ml dengan pengujian RFFIT . Titer antibodi protektif bagi
hewan dan manusia dinyatakan dengan besaran 0.5 IU/ml bagi sampel individu
atau 0.1 IU bagi serum sampel kelompok. WHO menyarankan untuk
menggunakan mouse neutralization test (MNT) dan plaque reduction test (PRT)
untuk pengukuran titer antibodi rabies.
Para peneliti saat ini memilih menggunakan metode rapid flourescent focus
inhibition test (RFFIT) sebagai uji standar dalam pengukuran titer antibodi rabies
(sesuai dengan OIE). Uji ini dikenal juga uji flourescent inhibition microtest
(FIMT) sebagai uji modifikasi dari RFFIT yang diaplikasikan dengan mikroplat,
dimana semua uji tersebut memerlukan biakan jaringan.
Uji SNT merupakan uji yang paling spesifik bagi deteksi antibodi rabies.
Uji ini memerlukan kemampuan laboratorium yang baik untuk menggunakan sel
yang sensitif bagi pertumbuhan virus rabies serta menunjukkan adanya kerusakan
sitopatik pada sel MNA (myel-neuroblastoma) setelah diinkubasi selama 3 hari.
Titer 16 merupakan angka positif antibodi terhadap rabies dengan uji ini (Soedijar
dan Dharma 2005).
Metode pengukuran antibodi rabies yang berikutnya adalah dengan
pengukuran kekebalan selular. Uji sitotoksisitas akhir-akhir ini banyak digunakan
untuk mengukur sitotoksisitas atau efek sitostatik antibodi atau sel efektor
(limfosit). Limfosit sel T sitotoksik (Tc) adalah pemegang peranan penting dalam
regulasi respon kebal. Oleh sebab itu ketepatan pengukuran sel T sitotoksik bagi
manusia dan hewan sekarang ini banyak dilakukan dalam industri bioteknologi
seperti imunoterapeutik pengobatan kanker, disorder autoimun, dan percobaan
klinis lainnya.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh BBPMSOH-UI-BATAN,
pengukuran Tc dilakukan pada sel limfosit manusia pre dan pasca-VAR (vaksin
anti rabies). Sel target myelo-neuroblastoma yang diinokulasi virus rabies yang
24

telah diberi label dengan radioaktif (Cr51) kemudian diinokulasikan dengan


limfosit pre- dan pasca-vaksinasi. Kemudian sensitisasi limfosit (Tc) dapat
diketahui dengan cara pengukuran pelepasan zat radioaktif yang dihitung dengan
gamma counter (Soedijar dan Dharma 2005). Menurut Durr S et al. (2008)
pengujian untuk mendeteksi virus rabies dapat dilakukan dengan menggunakan
direct rapid immunohistochemical test (dRIT). Penggunaan uji ini di Tanzania
menunjukkan sensitifitas dan spesifisitas yang mencapai 100% dibandingkan
dengan uji gold standart direct fluorescent antibody (DFA) sebagai uji yang
direkomendasikan WHO (Durr S et al. 2008).

Aturan Internasional tentang Importasi Hewan Kesayangan


Secara umum lalu lintas hewan di dunia telah diatur secara rinci oleh OIE
baik untuk ekspor maupun impor dengan mempertimbangkan faktor-faktor
wilayah/negara dan kesehatan hewan. Pertimbangan faktor perdagangan dunia
pun telah diatur secara khusus dalam Sanitary and Phytosanitary Agreement
World Trade Organization (SPS Agreement WTO) bagi para anggotanya. Secara
umum setiap hewan yang akan diberangkatkan dari satu negara ke negara yang
lainnya harus dilengkapi dengan sertifikat kesehatan hewan yang dikeluarkan oleh
dokter hewan berwenang di negara tersebut. Berkaitan dengan penyakit rabies,
OIE (2007) telah mengatur importasi hewan dari negara yang bebas rabies mapun
negara yang endemik rabies (Teresterial Animal Health Code 2007 Chapter
2.2.5). Secara rinci diuraikan sebagai berikut:
1. Hewan berasal dari negara yang bebas rabies. Hewan tersebut harus dilengkapi
dengan International Veterinary Certificate yang dikeluarkan oleh dokter
hewan berwenang di negara tersebut yang menyatakan bahwa hewan tidak
menunjukkan gejala klinis rabies pada saat diberangkatkan, serta hewan telah
berada di wilayah tersebut selama 6 bulan sebelum keberangkatan.
2. Hewan berasal dari negara yang endemik rabies. Hewan tersebut tidak
menunjukkan gejala klinis rabies selama 48 jam terakhir, telah divaksinasi
rabies tidak kurang dari 6 bulan sebelumnya dan tidak lebih dari satu tahun
sebelum diberangkatkan sebagai prasyarat vaksinasi rabies wajib bagi hewan
berumur tidak kurang dari 3 bulan; divaksinasi ulang (booster) dalam jangka
25

waktu tidak lebih dari satu tahun; digunakan vaksin rabies inaktif atau
menggunakan vaksin rabies rekombinan dan ditandai dengan penggunaan
tanda khusus (termasuk microchip); dilakukan pengujian titer antibodi rabies
tidak lebih dari 3 bulan dan tidak kurang dari 24 jam sebelum diberangkatkan
dengan menunjukkan hasil protektif minimum 0.5 IU/ml.
Pemerintah Indonesia melalui Badan Karantina Pertanian Departemen
Pertanian juga menetapkan petunjuk teknis untuk importasi hewan kesayangan
ini. Melalui Surat Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor
344.b/kpts/PD.670.370/L/12/06 tentang Petunjuk Teknis Persyaratan dan
Tindakan Karantina Hewan terhadap Lalulintas Pemasukan Hewan Penular
Rabies (anjing, kucing, kera, dan hewan sebangsanya) maka diberlakukan
persyaratan karantina terhadap lalulintas pemasukan HPR dari luar negeri yang
bebas rabies, yaitu:
1. Dari Luar Negeri
Dari negara bebas rabies sesuai dengan Lampiran Keputusan Menteri Pertanian
Nomor 1096 Tahun 1999 yang dapat diperbaharui sesuai perkembangan status
bebas rabies dunia.
2. Kelengkapan dokumen
a. Sertifikat kesehatan hewan yang diterbitkan oleh pejabat berwenang di
negara asal dan negara transit;
b. Surat persetujuan pemasukan;
c. Paspor hewan atau surat keterangan identitas hewan dalam bahasa Inggris
yang dikeluarkan oleh dokter hewan berwenang di negara asal yang memuat
antara lain telah berada atau dipelihara sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan
di negara asal sebelum diberangkatkan, dan hewan sekurang-kurangnya
telah berumur 6 (enam) bulan serta tidak dalam keadaan bunting umur 6
(enam) minggu atau lebih, dan atau hewan tersebut tidak sedang menyusui
pada saat diberangkatkan. Paspor hewan mencantumkan informasi
sekurang-kurangnya jenis hewan, bangsa, jenis kelamin, warna bulu,
umur/tanggal lahir dan penanda identitas; atau
d. Penanda identitas permanen dengan identifikasi elektronik (microchip).
Bila microchip yang digunakan tidak sesuai dengan alat baca pada
26

pelabuhan/bandara pemasukan, maka pemilik atau kuasa pemilik harus


menyediakan sendiri perangkat alat baca untuk microchip tersebut.
e. Hewan yang akan masuk ke wilayah/daerah bebas rabies di Indonesia
diberangkatkan langsung dari negara bebas rabies. Apabila harus transit
maka harus ada persetujuan dari Menteri Pertanian cq. Dirjen Peternakan
dan otoritas veteriner di negara transit memberikan keterangan transit;
f. Surat keterangan vaksinasi bagi negara yang melaksanakan vaksinasi, yang
menerangkan bahwa vaksinasi menggunakan vaksin inaktif, yang diberikan:
- untuk hewan yang divaksinasi pertama kali (primer), sekurang-
kurangnya 6 (enam) bulan dan tidak lebih dari 1 tahun sebelum
diberangkatkan yang diberikan saat hewan berumur minimal 3 (tiga)
bulan;
- untuk vaksinasi booster, sekurang-kurangnya 1 bulan atau tidak lebih
dari 1 tahun sebelum diberangkatkan;
g. Surat keterangan hasil pemeriksaan titer antibodi dari negara asal.
Pengujian titer antibodi tidak boleh dilakukan lebih lama dari 6 bulan
setelah vaksinasi dari laboratorium yang telah diakreditasi.
Dari kedua peraturan tersebut terdapat perbedaan dalam hal persyaratan bagi
pemasukan hewan dari negara yang belum bebas rabies, yaitu pemerintah
Indonesia tidak menetapkan persyaratan bagi hewan yang berasal dari negara
yang belum bebas rabies karena pemerintah melarang pemasukan HPR dari
negara yang belum bebas rabies, kecuali untuk hewan pameran, milik kedutaan
besar negara sahabat dan hewan organik.
Hewan yang datang dari negara bebas rabies ke Indonesia akan dilakukan
pemeriksaan dokumen dan fisik hewan, kemudian dilakukan pengasingan atau
isolasi di dalam fasilitas karantina hewan untuk dilakukan observasi selama
minimal 14 hari. Pengambilan sampel darah dilakukan untuk pemeriksaan
laboratorium terhadap titer antibodi rabies. Masa karantina bagi hewan dapat
kurang dari 14 hari apabila menunjukkan titer antibodi >0.5 IU/ml bagi hewan
yang berasal dari negara bebas dengan vaksinasi atau titer nol (0) bila berasal dari
negara bebas tanpa vaksinasi.
27

Bagi hewan dengan negara asal yang melakukan vaksinasi dengan vaksin
inaktif, titer antibodi minimal 0.5 IU/ml (≥0,5 IU/ml). Bila kurang dari 0.5 IU/ml
dilakukan vaksinasi ulang bagi hewan yang akan masuk ke wilayah bebas dengan
vaksinasi (Pulau Jawa) atau wilayah endemis; sedangkan negara yang tidak
melaksanakan vaksinasi, bila hewan akan masuk ke wilayah bebas dengan
vaksinasi atau wilayah endemis maka wajib dilakukan vaksinasi. Untuk negara
yang tidak melaksanakan vaksinasi, bila hewan akan masuk ke wilayah bebas
tanpa kegiatan vaksinasi, maka tidak perlu divaksin atau titer antibodi nol (0).
Tindakan karantina penolakan akan dilakukan apabila dokumen tidak sesuai
dengan yang dipersyaratkan, hewan berasal dari negara bebas yang tidak
melaksanakan kegiatan vaksinasi terdapat antibodi ≥0.1 IU/ml, dan hewan yang
berasal dari negara bebas yang melaksanakan kegiatan vaksinasi dan akan masuk
ke daerah bebas tanpa vaksinasi, maka dilakukan penolakan bila terdapat antibodi
<0.5 IU/ml.

Anda mungkin juga menyukai