Anda di halaman 1dari 20

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Rabies

Rabies merupakan penyakit hewan menular yang disebabkan oleh virus dan dapat

menular pada orang. Karena itu, rabies di kategorikan sebagai penyakit zoonotik. Agen

penyebab penyakit ini memiliki daya tarik kuat untuk menginfeksi jaringan saraf yang

menyebabkan terjadinya peradangan pada otak atau ensefalitis, sehingga berakibat fatal

bagi hewan ataupun manusia yang tertular. Sejak lama penyakit ini telah dikenal secara

luas di berbagai belahan dunia, bahkan daerah penyebarannya dari waktu ke waktu

bertambah luas. Salah satu bukti telah dikenalnya secara luas di dunia adalah dengan

disebutnya penyakit ini dalam berbagai bahasa sesuai dengan bahasa masyarakat setempat

dimana penyakit ini ditemukan. Istilah yang paling umum dipakai secara internasional

adalah rabies. Asal kata rabies sendiri dari bahasa latin rabere atau rabbia. Istilah latin

yang kemudian berkembang menjadi sebutan rabies ini pada awal mulanya diperkirakan

berasal dari bahasa sanskerta kuno rabhas yang berarti mengamuk, karena gejala klinis

terutama pada anjing ditandai dengan gejala keganasan yang nyata dan menakutkan

(Akoso, 2007).

2.2 Agen penyebab rabies

Penyebab rabies adalah virus yang termasuk dalam genus Lyssavirus dari keluarga

Rhabdoviridae (Murphy et al., 2007; Talbi et al., 2009), kelompok Mononegavirales

(Kuzmin et al., 2008). Tujuh genotipe Lyssavirus yang telah diklarifikasi yakni virus
rabies (genotipe 1), Lagos bat virus (genotipe 2), Mokola virus (genotipe 3), Duvenhage

virus (genotipe 4), European bat lyssavirus 1 (genotipe 5), European bat lyssavirus 2

(genotipe 6), dan Australian bat lyssavirus (genotipe 7) (Heinemann et al., 2002; Murphy

et al., 2007). Selain itu, beberapa virus yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan

virus rabies yakni Aravan virus (Arai et al., 2003), Khujand virus (Kuzmin et al., 2003),

Irkut virus (McElhinney et al., 2008) dan West Caucasian bat virus (Botvinkin et al.,

2003) dinyatakan sebagai kelompok Lyssavirus yang baru.

Virus rabies berbentuk seperti peluru dengan ukuran diameter 75 nanometer (nm)

dan panjang 180 nm (Warrell dan Warrell, 2004; Sato et al., 2005). Materi genetik virus

rabies adalah single stranded ribonucleic acid (ss RNA) (Dorfmeier et al., 2013), tidak

bersegmen (Ito et al., 1999; Sato et al., 2005), berpolaritas negatif (Metlin et al., 2007;

Talbi et al., 2009). Genom virus rabies berukuran sekitar 12 kilobase (kb) (Yu et al., 2012)

yakni 11.932 nukleotida untuk strain virus Pasteur (Wunner, 2007) dan mengandung lima

gen yang menyandi nukleoprotein (N), phosphoprotein (P), matrik protein (M),

glikoprotein (G), dan RNA dependent RNA polymerase atau large protein (L) (Ito et al.,

2001; Sugiyama dan Ito, 2007; Wunner, 2007). Kelima gen struktural tersebut dipisahkan

oleh sekuen nukleotida intergenik yang diapit oleh sekuen leader (Le) RNA dan trailer (Tr)

RNA. Berat molekul dari masing–masing protein tersebut diuraikan oleh Smith (1992)

sebesar 190 kDa (L), 65-80 kDa (G), 58-62 kDa(N), 35-40 kDa (P), dan 22-25 kDa (M).

Virus rabies mempunyai 2 komponen utama yakni bagian inti berupa nukleokapsid atau

ribonukleoprotein (RNP) dan bagian luar adalah amplop. Ribonukleoprotein komplek

(RNP) tersusun atas nukleoprotein, phosphoprotein, RNA polimerase dan genom RNA
yang berbentuk rantai helik. Rantai heliks tersebut tertata secara rapi sehingga virus rabies

mempunyai bentuk seperti peluru (Fenner et al., 1993). Lapisan terluar virion tersusun atas

lipid bilayer dengan ketebalan 7,5-10 nm (Nicholson, 2000). Lapisan ini berasal dari

membran sel hospes yang diperoleh pada saat budding dan merupakan amplop virus. Pada

amplop terdapat suatu trimeric spikes yang merupakan penonjolan glikoprotein (Warrell

dan Warrell, 2004). Dikalkulasi bahwa kira-kira terdapat 450 trimeric G spike yang

terdistribusi pada permukaan setiap virion (Wunner, 2007). Skematik virion rabies

disajikan pada Gambar 2.1 dan struktur genom virus rabies dapat dilihat pada Gambar 2.2

Gambar 2.1
Struktur Virus Rabies
(Sumber :http://expasy.org/viralzone/all_by_species/2.html)
Gambar 2.2
Genom virus rabies adalah RNA untai tunggal, polaritas negatif, tidak bersegmen,dan
mempunyai panjang sekitar 12 kb. Genom mempunyai leader-sequence(LDR) sepanjang
50 nukleotida yang diikuti oleh gen N, P, M, G, dan L
(Sumber: http://www.cdc.gov/Rabies/transmission/virus.html)

Nukleoprotein menyelimuti genom RNA. Nukleoprotein diproduksi sangat banyak

selama proses replikasi dan merupakan material target utama dalam diagnosis rabies.

Phospoprotein adalah komponen protein internal virus yang berfungsi mengatur dan

membantu RNA dependent RNA polymerase mengikat promoter untuk proses polimerasi.

Polymerase protein sebagai salah satu protein penyusun RNP mempunyai peranan utama

dalam proses replikasi dan transkripsi. Sementara matrik protein adalah protein

pembungkus RNP yang terletak di antara nukleokapsid dan membrane virus, serta

memainkan peran penting dalam proses morfogenesis virus. Glikoprotein adalah satu-

satunya protein eksternal virus yang dibutuhkan dalam infektivitas virus. Glikoprotein

bertanggung jawab terhadap perlekatan/penempelan virus pada reseptor spesifik sel

hospes. Selain itu, glikoprotein menginduksi antibodi netralisasi dan respon imun seluler

yang melibatkan baik sel T helper maupun sel T cytotoxic (Nicholson, 2000).
2.3 Replikasi Virus Rabies

Virus hanya dapat bereplikasi dalam sel–sel hidup karena virus menggunakan energi

dan komponen sel hospes untuk mensintesis protein dan asam nukleat virus yang

diperlukan. Rangkaian proses replikasi virus rabies seperti yang ditunjukkan pada Gambar

2.3 yakni sintesis mRNA serta replikasi genom, seluruhnya terjadi di dalam sitoplasma sel

hospes. Protein-protein struktural dan asam nukleat yang dibentuk secara terpisah

kemudian dirakit menjadi partikel virus yang lengkap dan diikuti dengan dilepaskannya

virion keluar sel. Replikasi virus rabies dikatalisis oleh enzim RNA dependent RNA

polymerase. Proses replikasi virus rabies diawali dengan proses infeksi melalui pengikatan

(attachment) virus pada reseptor spesifik yakni nicotinic acethylcholine pada permukaan

membran sel hospes. Reseptor tersebut merupakan reseptor essential untuk virus rabies

menuju sel target yaitu neuron. Virus selanjutnya akan mengalami endositosis yaitu suatu

proses internalisasi ke dalam endosom yang diperantarai protein clathrin melalui

kompartemen yang disebut Clathrin-coated pits (Carter dan Saunders, 2007; Wunner,

2007).
Gambar 2.3. Siklus replikasi virus rabies (Wunner, 2007).

Perubahan pH endosom pada saat fusi menjadi asam dan berefek terhadap ikatan dan

interaksi matrik protein dengan nukleokapsid, sehingga terjadi disosiasi dan pelepasan

protein M dari RNP. Nukleokapsid (RNP) kemudian dilepaskan bebas ke dalam

sitoplasma. Lima gen struktural genom RNA di dalam nukleokapsid yakni N, P, M, G, dan

L disalin (transcribed) ke dalam lima untai (strand) mRNA monosistronik berpolaritas

positif dan sebuah untai antigenom RNA berpolaritas positif yang merupakan replicative

intermediate. Antigenom RNA digunakan sebagai pola cetakan (template) untuk replikasi
progeni RNA genom berpolaritas negatif. Protein N, P, M, dan L disintesis dari mRNA

secara berturut-turut pada ribosom yang tidak terikat pada membran retikulum

endoplasmik (membrane-free ribosomes) dalam sitoplasma, sedangkan protein G disintesis

dari G mRNA pada ribosom yang terikat pada membran retikulum endoplasmik kasar

(membrane-bound ribosomes). Beberapa dari kompleks molekul N dan P memproduksi

inclusion bodies (Negri bodies) pada sitoplasma secara in vivo. Kompleks N-P

membungkus untai negatif viral RNA. Setelah progeni RNA genom dibungkus

(encapsidated) oleh NP protein kompleks dan digabung dengan L protein membentuk

progeni RNP (struktur). Matrik protein mengikat RNP dan memadatkan RNP ke dalam

struktur kerangka. Struktur kerangka berinteraksi dengan struktur protein G trimeric yang

terikat dalam membran plasma dan merakit partikel-partikel virus menjadi virion.

Selanjutnya terjadi proses budding dari membran plasma sel terinfeksi ke dalam adjacent

extracellular atau interstitial space (Wunner, 2007).

2.4 Perubahan Genetik Virus Rabies

Virus mempunyai keragaman genetik yang lebih besar dari pada kelompok

organisme lain. Bahkan Worobey dan Holmes (1999) menyatakan bahwa virus RNA layak

mendapat reputasi sebagai evolver tercepat di alam. Keragaman genetik yang besar

tersebut terjadi melalui seleksi secara alami, sehingga virus selalu melakukan adaptasi dan

berevolusi. Scott et al., (2013) melaporkan bahwa mutasi spesifik yang terjadi pada genom

virus rabies karena tekanan selektif akibat adanya lompatan inang (host) dan adaptasi

lingkungan. Satu kajian mencatat bahwa mutasi spesifik untuk spesies rubah (fox) tertentu

diseluruh Eropa terjadi pada gen glikoprotein dan nukleoprotein (Bourhy et al., 1999).
Hasil penelitian lain menunjukkan bukti bahwa dua jenis adaptasi virus rabies dapat terjadi

yaitu 1) virus bermutasi agar lebih sesuai dengan inang baru dalam spesies inang yang

sama, dan 2) virus bermutasi untuk menyesuaikan diri dari satu host ke inang yang baru

seperti dari spesies kelelawar (bats) ke sigung (skunk) atau rubah (foxs) di wilayah

Amerika Serikat (Kuzmin et al., 2012). Pendapat senada disampaikan pula oleh Scott et

al., (2013) yang mengatakan bahwa beberapa mutasi unik yang diamati pada virus rabies

yang diisolasi menunjukkan bahwa mutasi terjadi karena adaptasi virus terhadap inang.

Setiap infeksi virus pada hewan pada umumnya akan bereplikasi membentuk jutaan

progeni virion. Enzim RNA polimerase pada virus-virus RNA tidak mempunyai

kemampuan memperbaiki kesalahan (proofreading) penyusunan RNA pada saat replikasi

(Carter dan Saunders, 2007; Murphy et al., 2007), akibatnya virus-virus tersebut sering

mengalami mutasi secara spontan (Fenner et al., 1993).Mutasi yang paling umum terjadi

pada virus rabies adalah mutasi nukleotida tunggal pada genom virus yang disebut mutasi

titik. Terjadinya mutasi titik sering berlangsung secara alamiah (Ratam, 2005). Mutasi titik

dapat bersifat substitusi sinonim atau substitusi non-sinonim. Substitusi sinonim adalah

perubahan nukleotida yang terjadi tidak diikuti perubahan asam amino dari protein yang

diekpresikan. Kejadian mutasi seperti ini dapat terjadi, karena adanya coding redundancy

kecuali asam amino methionin dan asam amino triptofan yang hanya disandi oleh satu

kodon. Sebaliknya, substitusi non-sinonim adalah perubahan nukleotida yang diikuti

dengan perubahan asam amino penyusun protein yang diekspresikan (Nei dan Kumar,

2000). Tuffereau et al., (1989) melaporkan bahwa substitusi asam amino arginin pada

posisi 333 gen glikoprotein dengan asam amino yang lain seperti glisin, isoleusin, leusin,
methionin atau sistein akan menyebabkan menurunnya patogenitas virus rabies. Disamping

itu, menurut Nagarajan et al. (2006) perubahan asam amino yang bersifat spesifik yang

terjadi dari substitusi non-sinonim pada gen-gen Rabies merupakan penanda molekuler

(molecular marker). Dibia et al. (2014b) menyebutkan bahwa virus rabies isolat Bali

memiliki penanda molekuler berupa asam amino isoleusin pada posisi 308 (open reading

frame) gen penyandi nukleoprotein. Temuan berupa penanda molekuler tersebut sangat

bermanfaat dalam pengembangan metode diagnosa. Disamping itu, penanda molekuler

dapat digunakan sebagai penanda epidemiologi (epidemiology marker) untuk melacak

dinamika penyebaran rabies melalui teknik biologi molekuler.

Perubahan nukleotida terjadi secara tidak merata pada setiap gen dalam genom virus.

Gen yang berbeda akan memiliki laju substitusi yang berbeda dan dapat diukur secara

kuantitatif (Fenner et al., 1993; Murphy et al., 2007). Talbi et al. (2009) mengungkapkan

bahwa laju mutasi gen (N) nukleoprotein virus rabies pada anjing di Afrika sebesar

3,82x10-4 substitusi per site per tahun, sementara laju mutasi pada gen G yang menyandi

glikoprotein adalah sebesar 3,25x10-4 substitusi per site per tahun. Kajian serupa telah pula

dilakukan oleh Ming et al. (2010) terhadap varian–varian virus rabies di China dan

menunjukkan hasil laju mutasi gen G sebesar 3,961 x 10 -4 substitusi per site per tahun.

Sementara Hughes et al. (2005) melaporkan laju mutasi gen N virus rabies pada kelelawar

di Amerika Utara adalah sebesar 2,32 x 10-4 substitusi per site per tahun.

2.5 Hospes Peka Terhadap Rabies

Perbedaan genetik mempengaruhi kepekaan hewan terhadap suatu penyakit. Semua

hewan mamalia peka terhadap rabies (Nel, 2013). Hewan yang tidak termasuk mamalia
seperti unggas juga pernah dilaporkan dapat tertular virus Rabies (Nicholson, 2000; Akoso,

2007; Carterdan Saunders, 2007). Perbedaan spesies berpengaruh pada tingkat kepekaan

mamalia terhadap virus rabies, sementara perbedaan ras anjing, jenis kelamin, dan umur

tidak ada perbedaan yang signifikan (Putra, 2009; Arsani et al., 2012). Hewan yang

memiliki kepekaan ini dipengaruhi oleh konsentrasi reseptor pada membran plasma yang

dimiliki oleh masing–masing hospes (Fenner et al., 1993). Kepekaan spesies hewan

terhadap infeksi virus rabies diuraikan menjadi 4 kelompok yakni 1) hewan dengan

tingkat kepekaan sangat tinggi (rubah, serigala, jackal, dan coyote, 2) tingkat kepekaan

tinggi (hamster, musang, mongoose, rakun, kucing, kelelawar, tikus, sapi), 3) tingkat

kepekaan sedang (anjing, domba, kambing, kuda, primata), dan 4) tingkat kepekaan rendah

adalah tupai (opossum) (Wagner, 1990; Geering et al., 1995).

2.5 Cara Penularan Rabies

Rabies pada umumnya ditularkan oleh hewan penderita melalui gigitan atau luka

yang terkontaminasi virus (Yang et al., 2013). Penularan dari manusia ke manusia melalui

transplantasi organ mata, ginjal, dan hati dari donor terinfeksi virus rabies pernah terjadi

(Houff et al., 1979; Srinivasan et al., 2005). Semua hewan mamalia peka terhadap rabies,

namun pada dasarnya hewan yang efisien menularkan rabies adalah spesies dari carnivora

dan chiroptera (kelelawar) (Nadin-Davis et al., 2001; Scott et al., 2013; Kuzmina et al.,

2013). Rabies di negara tertentu seperti Amerika Latin ditularkan oleh kelelawar

(haematophagous vampire bats) yang menyebabkan kematian pada manusia dan ribuan

sapi setiap tahunnya (Nicholson, 2000). Reservoir rabies di Eropa adalah rubah merah

(Vulpes vulpes), sedangkan di Korea adalah rakun (Nyctereutes procyonoides koreensis)


(Yang et al., 2013). Sementara di negara–negara berkembang termasuk Indonesia, anjing

merupakan hospes dan vektor utama rabies ke manusia. Menurut Knobel et al. (2005) dan

WHO (2005), 99% kasus rabies pada manusia disebabkan oleh gigitan anjing.

Masing-masing negara mempunyai bentuk penularan rabies yang berbeda. Bentuk

epidemiologi siklus penularan rabies yang dikenal yakni urban rabies dan silvatik rabies

(Cheong et al., 2014). Urban rabies adalah siklus penularan rabies yang terjadi pada anjing

domestik di perkotaan. Anjing-anjing domestik termasuk anjing yang diliarkan bertindak

sebagai pelestari siklus rabies, sedangkan silvatik rabies adalah siklus penularan rabies

yang terjadi pada hewan–hewan liar di hutan (James dan Real, 2007). Rabies pada musang

pernah dilaporkan di Indonesia (Hardjosworo,1984), akan tetapi Hardjosworo (1984) tidak

menjelaskan secara rinci asal musang yang diperoleh dan keberadaan siklus rabies silvatik

di Indonesia belum pernah dibuktikan. Susetya et al. (2008) menyatakan bentuk siklus

epidemiologi rabies di Indonesia adalah urban rabies.

Kecepatan penyebaran rabies di perkotaan/pedesaan sangat tergantung pada

intervensi manusia seperti contoh penyebaran kasus di Pulau Flores (Dibia, 2007). Siklus

rabies silvatik pada musang yang terjadi di Eropa dilaporkan mempunyai kecepatan

penyebaran 25–50 km per tahun (Gerring et al., 1995). Anjing dan satwa liar umumnya

mempunyai wilayah teritori (homerange). Kecenderungan anjing rabies yang berkelana

tanpa tujuan karena hilangnya daya ingat dapat memicu semakin meluasnya penularan

rabies. Proses penularan rabies dapat terjadi secara berantai antar anjing karena terjadi

perkelahian sewaktu anjing memasuki daerah asing (Akoso, 2007).


2.6 Distribusi Rabies di Indonesia

Kasus rabies di Indonesia pertama kali dilaporkan di Jawa Barat pada tahun 1884,

kemudian pada tahun 1953 rabies ditemukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, selanjutnya

menyebar ke Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta (1971), dan Daerah Khusus Ibukota (DKI)

Jakarta pada tahun 1972 (Temaja, 1984). Setelah program pemberantasan di Pulau Jawa

dilaksanakan secara intensif, maka pada tahun 1997 Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah

dan DI Yogyakarta dinyatakan bebas rabies. Selanjutnya pada tahun 2004, Provinsi

Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat dinyatakan pula sebagai daerah bebas rabies. Namun,

pada tahun 2005, rabies muncul kembali di Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat dan

pada tahun 2008 di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Dalam sejarah penyebaran rabies di Indonesia tercatat bahwa Pulau Sumatra tertular

rabies pertama kali pada tahun 1953 yakni di Sumatra Barat, selanjutnya pada tahun 1958

dilaporkan terjadi di Pulau Sulawesi yaitu di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi

Utara. Menurut Hardjosworo dan Partoatmodjo (1977) kasus rabies di Pulau Kalimantan

dilaporkan pertama kali pada tahun 1974 di Samarinda, Kalimantan Timur.Berikutnya,

pada akhir tahun 1997, kasus rabies dilaporkan pula terjadi di Pulau Flores. Penyebaran

rabies di Indonesia terus berlanjut hingga Provinsi Maluku tertular pada tahun 2003.

Dalam kurun waktu dua tahun yakni pada tahun 2005, rabies terus menyebar ke Provinsi

Maluku Utara. Provinsi terakhir yang tertular rabies di Indonesia adalah Provinsi Bali pada

tahun 2008. Saat ini lima provinsi yaitu Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung,

Nusa Tenggara Barat, Papua dan Papua Barat masih berstatus sebagai daerah bebas rabies

secara historis.
2.7 Patogenesis Rabies

Patogenesis merupakan perkembangan atau tahapan proses suatu penyakit infeksi

dari interaksi antara agen patogen dan hospes. Memahami patogenesis virus rabies

merupakan pengetahuan penting dalam penanganan kasus (Jackson, 2007). Virus rabies

bersifat neurotropik, yang pada dasarnya memiliki kecenderungan untuk menginfeksi

jaringan saraf di sistem saraf pusat (SSP). Virus tersebut mencapai jaringan saraf secara

neurogenik yaitu melalui serabut saraf. Bukti virus menyebar secara hematogenik tidak ada

sama sekali (Mahardika et al., 2009).

Virus pada umumnya masuk ke dalam tubuh hewan mamalia atau manusia melalui

gigitan hewan penderita atau luka yang terkontaminasi air liur yang mengandung virus

rabies. Sementara, virus rabies tidak dapat masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang utuh.

Hewan dan manusia yang terinfeksi virus rabies memiliki periode inkubasi yang sangat

bervariasi (Nathanson dan Murphy, 2007). Inkubasi berkisar antara 13 hari sampai 2 tahun

(Black, 2008) bahkan 6 tahun (WHO, 2005), tetapi umumnya antara 14 dan 90 hari

(Murphy et al., 2007). Periode inkubasi tergantung pada jumlah virus dalam luka gigitan,

lokasi gigitan dan kehebatan luka (Yang et al., 2013). Virus dapat masuk secara langsung

ke ujung saraf tepi pada tempat gigitan atau virus dapat bereplikasi pada sel-sel otot lurik

di lokasi gigitan setelah terjadi gigitan hewan penderita rabies (Warrell dan Warrell, 2004;

Nathanson dan Murphy, 2007). Virus bertahan di lokasi gigitan selama 1–4 hari (Black,

2008) bahkan 60 hari (Nathanson dan Murphy, 2007). Virus rabies pada ujung serabut

saraf tepi mengikatkan diri pada permukaan sel yakni pada reseptor-reseptor nicotinic

acetylcholine yang terdapat pada neuromuscular junction. Virus rabies masuk ke dalam sel
saraf tepi melalui proses endositosis yang diperantarai clathrin (Carter dan Saunders,

2007). Virus selanjutnya secara sentripetal berjalan melalui aliran retrograde axoplasmic

dalam akson-akson motorik dan sensorik saraf tepi ke SSP dengan kecepatan 50-100 mm

per hari.

Virus pada SSP terus bereplikasi secara massive. Virus kemudian bergerak secara

sentrifugal dari SSP ke saraf-saraf perifer melalui aliran anterograde axoplasmic (WHO,

2005) menuju berbagai organ seperti kelenjar ludah, kulit, kornea, pankreas, ginjal, dan

saraf sekitar folikel rambut (Jackson, 2007). Virus di kelenjar ludah bereplikasi pada sel-

sel asinar dan virus dikeluarkan bersama air liur (Nathanson dan Murphy, 2007; Mahardika

et al., 2009; Cheong et al., 2014). Periode infektif rabies pada anjing dan kucing

dipertimbangkan 10 hari sebelum gejala klinis terlihat (OIE, 2012). Skema patogenesis

virus rabies dapat dilihat pada Gambar 2.4.


Gambar 2.4. Patogenesis rabies (Jackson, 2007).

2.8 Gejala Klinis

Gejala klinis pada setiap jenis hewan yang terserang rabies tidak selalu sama,

umumnya akan menunjukkan tempramen dan tingkah laku yang berbeda dari keadaan

normal. Berdasarkan stadium eksitasi, ada dua bentuk gejala klinis pada hewan (khususnya

anjing) yaitu bentuk tenang dan galak. Bentuk tenang dicirikan dengan stadium eksitasi

yang singkat, sedangkan bentuk galak dicirikan dengan stadium eksitasi yang lebih lama.

Proses perjalanan penyakit pada stadium prodromal adalah hewan tampak acuh dan

sembunyi, kemudian dilanjutkan dengan stadium eksitasi yang ditandai dengan agresif,

galak dan menyerang hewan lain, manusia atau benda-benda yang bergerak di sampingnya.
Stadium paralisis adalah stadium akhir perjalanan penyakit dengan gejala hipersalivasi,

sempoyongan, lumpuh dan mati (Akoso, 2007). Hewan biasanya mati 1-10 hari setelah

gejala klinis pertama kali muncul (Tepsumethanon et al., 2008). Menurut Carrara et al.

(2013) rabies secara cepat dapat didiagnosa ketika menunjukkan bentuk klinis furious,

sementara bentuk paralitik atau yang tidak tipikal menyulitkan diagnosa.

2.9 Pengendalian Rabies

Pengendalian penyakit rabies umumnya dilakukan dengan vaksinasi dan eliminasi

anjing liar/diliarkan, disamping program sosialisasi, dan pengawasan lalu lintas hewan

penular rabies (HPR). Vaksinasi massal merupakan cara yang efektif untuk pencegahan

dan pengendalian rabies (Adjid et al., 2005). Upaya untuk mengendalikan rabies dengan

vaksinasi dan eliminasi anjing yang tidak optimal tidak banyak memberikan hasil. Di

daerah-daerah tertentu, kasus rabies bahkan semakin meningkat. Demikian juga halnya

yang terjadi di Bali. Itu terbukti dengan semakin luasnya wilayah yang terkena rabies. Hal

ini mungkin disebabkan karena cakupan vaksinasi yang tidak memadai. Cakupan vaksinasi

merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam pengendalian suatu penyakit,

disamping kualitas vaksin, teknik aplikasi dan waktu pelaksanaan vaksinasi.

2.10 Diagnosa Rabies

Diagnosa Lapangan. Untuk memperoleh tingkat akurasi yang tinggi, cara yang

paling tepat adalah dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1) riwayat penggigitan,

2) ada tidaknya provokasi, 3) jumlah penderita gigitan. Penahanan dan observasiklinis

selama 10 - 15 hari dilakukan terhadap anjing, kucing yang walaupun tampak sehat dan

diketahui telah menggigit orang. Berdasarkan pengalaman di lapangan, anjing menggigit


lebih dari satu orang tanpa didahului oleh adanya provokasi dan anjing tersebut mati dalam

masa observasi yang kemudian specimen otaknya diperiksa dilaboratorium hasilnya adalah

positif rabies, selanjutnya indikasi kecenderungan rabies di lapangan tanpa adanya

tindakan provokasi dapat ditentukan sebagai berikut : 1) hewan menggigit 1 orang tanpa

provokasi kemungkinan (positif) rabies 25 %. 2) hewan menggigit 2 orang tanpa provokasi

kemungkinan (positif) rabies 50 %., 3) hewan menggigit 3 orang tanpa provokasi

kemungkinan (positif) rabies 75 %, 4) hewan menggigit 4 orang tanpa provokasi

kemungkinan (positif) rabies 100 % (Direktorat Kesehatan Hewan, 2001).

Diagnosa Laboratorium. Diagnosa rabies secara laboratorium dapat dilakukan

dengan pewarnaan Sellers, histopatologi, MIT, FAT dan RT-PCR

2.10.1 Fluorescent Antibody Technique

Fluorescent Antibody Technique (FAT) dikembangkan oleh Coons dan Kaplan

pada tahun 1950, kemudian dimodifikasi untuk diagnosa rabies oleh Goldwasser dan

Kissling pada tahun 1958 (Dean et al., 1996). Fluorescent Antibody Technique (FAT)

merupakan salah satu uji untuk mendeteksi antigen rabies dalam jaringan. Prinsip uji FAT

adalah deteksi ikatan antigen dengan antibodi spesifik yang dilabel dengan fluorochrome

yaitu suatu pewarna untuk menandai antigen yang dilacak. Fluorochrome yang digunakan

yakni fluorescein isothiocyanate (FITC). Antibodi monoklonal (AbMo) nucleocapsid

digunakan pada pengujian FAT karena AbMo memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang

tinggi. Ikatan antigen dan antibodi yang dilabel tersebut bila dilihat di bawah mikroskop

fluorescent akan menghasilkan warna berpendar kuning kehijauan dengan latar belakang
gelap merata (CDC, 2003; Trimarchi dan Nadin-Davis, 2007; Direktorat Kesehatan

Hewan, 2009).

Spesimen untuk FAT yang paling baik digunakan adalah jaringan segar atau dalam

keadaan segar dingin. Jaringan yang telah disimpan dalam keadaan dingin beku atau

dengan pengawet gliserin 50% masih dapat diuji dengan baik menggunakan metode FAT.

Spesimen disiapkan dari jaringan otak, sedangkan kasus pada orang (intravitam) dilakukan

dengan menggunakan sediaan ulas air liur dan sediaan sentuh kornea yang difiksasi dengan

aseton. Fluorescent Antibodi Test (FAT) memberikan hasil positif 98-100% dari kasus-

kasus rabies (McColl danLunt, 2003; Franka et al., 2004; Tepsumethanon et al., 2004).

Meskipun demikian sensitivitas FAT sangat dipengaruhi oleh kualitas spesimen,

conjugate, peralatan dan ketrampilan staf diagnostik (McElhinney et al., 2008).

Kespesifikan dan kesensitifan yang tinggi (Silva et al., 2013) serta kecepatan telah

membuat FAT menjadi uji yang direkomendasi oleh Badan Kesehatan Hewan Dunia

(Office International des Epizooties) dan Badan Kesehatan Dunia (World Health

Organisation) sebagai metode standar diagnosa rabies (OIE, 2008). Hasil pengujian yang

cepat dan akurat sangat penting sebagai pedoman tindak pengendalian atau pengobatan

selanjutnya terhadap pasien atau orang yang digigit hewan rabies (Akoso, 2007).

2.10.2 Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)

Reaksi berantai polimerase (Polymerase Chain Reaction, PCR) adalah suatu metode

enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida spesifik

dengan ukuran tertentu. Metode ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1985 oleh Kary

B. Mullis (Yuwono, 2006). Saat ini teknologi PCR banyak digunakan dalam bidang
biologi molekuler dan secara luas digunakan untuk konfirmasi diagnosa, survei

epidemiologi dan juga dalam bidang-bidang terapan lainnya (McElhinney et al., 2008).

Teknik PCR sebenarnya mengekploitasi berbagai proses alami replikasi DNA di dalam sel.

Polimerase-DNA menggunakan DNA untai tunggal sebagai cetakan (template) untuk

mensintesis untai baru yang komplementer (Mahardika, 2003; Sudjadi, 2008). Reverse

Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) merupakan pengembangan dari

teknik PCR klasik. Melalui proses transkripsi balik (reverse transcription, RT), untai RNA

disalin menjadi complementary DNA (cDNA). Molekul cDNA tersebut digunakan sebagai

cetakan dalam proses PCR yang memungkinkan untuk melakukan analisis terhadap

molekul RNA (McPherson dan Moller, 2000).

Empat komponen utama pada proses PCR adalah 1) DNA cetakan, yaitu fragmen

DNA yang akan dilipatgandakan, 2) oligonukleotida primer, yaitu suatu sekuen

oligonukleotida pendek yang digunakan untuk mengawali sintesis rantai DNA, 3)

deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), terdiri atas dATP, dCTP, dGTP, dTTP, dan 4)

enzim DNA polimerase, yaitu suatu enzim yang melakukan katalis reaksi sintesis rantai

DNA. Komponen lain yang juga penting adalah senyawa buffer (Yuwono, 2006).

Proses PCR berlangsung dalam beberapa siklus dengan pengaturan suhu dan waktu.

Setiap siklus amplifikasi terdiri atas tiga tahap yakni denaturasi, annealing dan

polimerisasi. Denaturasi bertujuan untuk memutuskan ikatan hidrogen DNA double

stranded yang diamplikasi. Hasil yang diperoleh merupakan DNA cetakan untai tunggal

untuk penempelan oligonukleotida primer dalam tahap annealing. Ikatan hidrogen baru

antara untai tunggal DNA cetakan dengan oligonukleotida primer terbentuk pada tahap
annealing. Polimerisasi merupakan tahap pemanjangan rantai tunggal oligonukleotida

primer dari ujung 3’ dengan katalis enzim DNA polimerase (Toha, 2001).

Siklus pertama pada tahap sintesis, DNA yang baru terbentuk bekerja sebagai

cetakan yang akan digunakan pada siklus kedua. Proses pada siklus kedua, untai DNA asli

dan untai yang baru saja disintesis pada siklus pertama, didenaturasi dan kemudian

hibridisasi dengan masing-masing primer. Sintesis pada siklus kedua menghasilkan untai

yang panjang dan untai DNA yang kedua ujungnya mengandung primer dan komplemen

primer (cetakan pendek). Selanjutnya pada siklus ketiga, untai pendek, untai panjang dan

untai asli dihibridisasi oleh primer dan kemudian polimerisasi. Tahapan berikutnya, akan

terakumulasi untai pendek. Hasilnya adalah setelah n kali siklus amplifikasi campuran

reaksi mengandung sebanyak 2n fragmen DNA serat ganda (Mahardika, 2003).

Keberhasilan PCR sangat ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu 1) deoksiribo

nukleotida trifosfat (dNTP), 2) oligonukleotida primer, 3) DNA cetakan (template), 4)

komposisi larutan buffer, 5) jumlah siklus reaksi, dan 6) enzim yang digunakan, dan faktor

lainnya, misalnya kontaminasi. Suhu yang digunakan khususnya suhu penempelan primer

sangat tergantung pada urutan nukleotida primer yang digunakan. Polymerase chain

reaction terlebih dahulu dioptimasi untuk menentukan suhu yang paling tepat. Demikian

pula halnya dengan waktu reaksi yang diperlukan untuk denaturasi, penempelan primer

maupun reaksi polimerasi juga dioptimasi (Yuwono, 2006).

Anda mungkin juga menyukai