Anda di halaman 1dari 27

ILMU PENYAKIT VIRAL

HERPESVIRIDAE

OLEH :

KRISTOANDI POETIING (1709010001)

DEVILIA R. ATHANDAU (1709010034)

SUSANA M. DANGGA (1709010050)

RENDRO JANGGA NGARU (1709010056)

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Virus adalah mikroorganisme yang sangat aktif jika berada dalam sel
inang. Virus terdiri dari dua jenis yaitu virus yang memiliki asam
nukleat berupa DNA dan RNA. Virus DNA yaitu papovirus, adenovirus,
herpesvirus, poxvirus, parvovirus, dan hepadna. Virus RNA yaitu
Picarnoviridae (Enterovirus, Rhinovirus, Dan Calicivirus), reoviridae
(orbivirus, reovirus, dan rotavirus), togarviridae (alphavirus, rubivirus,
pestivirus, dan flavivirus), arenaviridae, coronaviridae, retroviridae,
bunyaviridae, orthomyxoviridae, paramyxoviridae (pneumovirus,
paramyxovirus, dan morbilivirus) dan Rhabdoviridae.
Pada makalah ini akan membahas tentang herpesvirus yang
menyerang hewan, baik hewan besar maupun unggas. Hal-hal yang
dibahas adalah mengenai klasifikasi umum, karakteristik virion,
replikasi virus dan jenis-jenis penyakit yang disebabkan oleh
herpesvirus. Penyakit yang disebabkan oleh herpesvirus terdapat
beberapa jenis, namun pada resume ini hanya membahas 3 penyakit
yaitu Bovine Herpesvirus 1 (Infectious Bovine Rhinotracheitis dan
Infectious Pustular Vulvovaginitis Viruses), Mareks Disease, Malignant
Catarrhal Fever Caused by Alcephine Herpesvirus 1 dan Ovine
Herpesvirus 2). Untuk lebih memahami ke-3 penyakit tersebut akan
dibahas mengenai gejala klinis, epidemologi, patogenesis dan patologi,
diagnosis serta imunitas, pengendalian dan kontrol.
1.2 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah mampu menjelaskan aspek etiologi,
gejala klinis, dan epidemiologi, patogenesis dan patologi, diagnosis,
imunitas, revensi dan pengendalian penyakit virus yang berasal dari
famili herpesviridae.
1.3 Manfaat

Manfaat dari makalah ini adalah mampu menjelaskan aspek etiologi,


gejala klinis, dan epidemiologi, patogenesis dan patologi, diagnosis,
imunitas, revensi dan pengendalian penyakit virus yang berasal dari
famili herpesviridae.

BAB II
PEMBAHASAN
HERPESVIRUS
KLASIFIKASI
 Famili Herpesviridae yang mencakup virus herpes dari mamalia,
burung, dan reptil
 Subfamili Alphaherpesvirinae
• Genus Simplexvirus : human herpesvirus 1 (herpes simplex virus 1)
• Genus Varicellovirus : human herpesvirus 3 (varicella-zoster virus)
• Genus Mardivirus : gallid herpesvirus 2 (Marek’s disease virus)
• Genus Iltovirus : gallid herpesvirus 1 (infectious laryngotracheitis
virus)
 Subfamili Betaherpesvirinae
• Genus Cytomegalovirus
• Genus Muromegalovirus
• Genus Proboscivirus
• Genus Roseolovirus
 Subfamili Gammaherpesvirinae
• Genus Lymphocryptovirus
• Genus Macavirus
• Genus Percavirus
• Genus Rhadinovirus
 Famili Alloherpesiridae yang mencakup herpesvirus ikan dan katak
 Famili Malacoherpesviridae yang mengandung virus tiram (bivalve)

KARAKTERISTIK VIRION
Herpesvirus terdiri dari inti, kapsid dan tegumen. Herpesvirus mempunyai
ukuran yang bermacam-macam dengan kisaran 120-125 nm untuk
diameternya. Genom adalah double straine DNA. Replikasi terjadi di
nukleus. Gen virus awal (α, β, dan γ), gen awal dan gen hasil mengatur
transkripsi dari gen sebelumnya. Replikasi dan pembungkusan
(encapsidation) terjadi di nukleus. Amplop diperoleh dari penyatuan lapisan
dalam dari nukleus di bagian amplop. Infeksi benda inklusi intranuklear
bersifat eosinofilik. Infeksi menjadi tersembunyi/tidak terlihat,
kambuh/timbul kembali, dan berselang atau berkelanjutan dengan
menyebar/penyebaran virus.

Sumber : Fenner’s Veterinary Virology Fourth Edition. Maclachan, J. N.


2011.
Gambar 1. Morfologi herpesvirus. (Kiri) Rekonstruksi kapsul human
herpesvirus 1(HHV-1) yang dihasilkan dari gambar mikroskop cryo-
elektron. Dilihat 2 kali lipat panjang sumbu. Hexon diperlihatkan dengan
warna biru, penton berwarna merah, dan triplex berwarna hijau. (Courtesy
of W. Chiu dan H. Zhou).(Tengah) skema representasi virion dengan
diameter dalam nm. (G) genom, (C) kapsid, (T) tegument, (E) amplop.
(Kanan) gambar mikroskop cryo-elektron dari virion HHV-1. (Direproduksi
dari Rixon (1993) dengan izin dari Elsevier). [Dari Taksonomi virus :
laporan kedelapan dari komite internasionan untuk taksonomi virus (C. M
Fauquet, M.A.Mayo, J. Maniloff, U. Desselberger, L. A. Ball, eds), hal 193.
Copyright Elsevier (2005), with permission.]

REPLIKASI VIRUS FAMILI HERPESVIRIDAE


Sumber : Fenner’s Veterinary Virology Fourth Edition. Maclachan, J. N.
2011.
Gambar 2. Diagram yang menggambarkan transkripsi, translasi, dan
replikasi DNA dari herpesvirus. Transkripsi dan proses akhir transkripsi
dalam nukleus, translasi di sitoplasma; beberapa dari α dan β protein terlibat
dalam transkripsi dan beberapa β protein terlibat dalam replikasi DNA. Vhs
Tegumen protein dikodekan oleh gen UL41 dan menghambat sintesis
protein sel inang. VP16, dikodekan oleh gen UL48, adalah protein tegumen
lain faktor transkripsi yang masuk dalam nukleus dan segera mengaktifkan
gen virus.[dari Taxonomy virus: eighth report of the international
Committee on Taxonomy of viruses (C. M Fauquet, M.A.Mayo, J. Maniloff,
U. Desselberger, L. A. Ball, eds), hal 197. Copyright Elsevier (2005), with
permission.]
a. Virus melakukan penetrasi dan kemudian melepaskan amplop
(uncoating).
b. Nukleokapsid akan masuk ke inti sel (nukleus).
c. Protein tegument dari virus yang dikodekan oleh gen UL41 (vsh) akan
menghambat sintesis protein sel inang.
d. Protein tegument dari virus yang dikodekan oleh gen UL48 (VP16)
akan masuk bersama nukleokapsid ke nukleus untuk mengaktifkan gel
awal.
e. Gen awal (α dan β) RNA ini akan dibentuk oleh DNA awal yang
dibantu oleh RNA polimerase II.
f. α RNA akan membentuk α protein. α protein ini juga jika, dibantu oleh
RNA polimerase II membentuk β RNA yang nantinya akan membentuk
β protein.
g. DNA awal dapat melakukan replikasi DNA dengan bantuan β protein.
h. Replikasi DNA dapat menghasilkan DNA baru atau γ RNA.
i. γ RNA akan membentuk γ protein di sitoplasma tepatnya di ribosom.
j. γ protein dapat membentuk kapsid di membran sitoplasma dan
membran nukleus. Serta, γ protein juga akan masuk ke dalam nukleus
untuk membentuk DNA virus baru.
k. DNA baru yang ada di nukleus akan diregresi dan menyatu dengan
kapsid membentuk virus baru.

JENIS-JENIS HERPESVIRUS
1. Bovine Herpesvirus 1 (Infectious Bovine Rhinotracheitis dan
Infectious Pustula Vulvovaginitis Viruses).
1.1 Gejala Klinis
Berdasarkan gejala klinisnya, agen penyebab penyakit virus BHV-1,
terbagi menjadi 2 subtipe, yaitu subtipe 1 dan subtipe 2. Virus BHV-1
subtipe 1 berhubungan dengan jalur yang dapat menyebabkan gangguan
pernapasan, sedangkan subtipe 2 adalah galur yang dapat menyebabkan
gangguan genital seperti Infectious Pustular Vulvovaginalis (IPV) dan
Infectious Pustular Balanoposthitis (IPB).

1.1.1 Gangguan Pernapasan


Virus masuk ke dalam saluran pernapasan umumnya melalui udara.
Utamanya, infeksi terjadi pada saluran pernapasan bagian atas, tetapi
kadang-kadang juga terjadi pada bagian bawah paru-paru. Setelah
berinkubasi selama 2-3 hari, ternak akan demam yang diikuti dengan
peningkatan frekuensi pernapasan, anoreksia, penurunan produksi susu
(pada sapi perah), serta menjadi kurus. Dalam jangka waktu satu atau
dua hari, terbentuk leleran hidung encer dan hidung tampak kemerahan.

Gambar 3.gangguan pernapasan


(terbentuk leleran hidung encer dan hidung tampak kemerahan)

1.1.2 Gangguan Reproduksi


Infectious Pustular Vulvovaginalis (IPV) merupakan infeksi vagina
dan vulva yang ditandai dengan ekor tidak kembali ke posisi biasa.
Kemudian timbul pustula (berdiameter 1-2 mm) yang menyebar melalui
permukaan mukosa dan kadang-kadang disertai dengan leleran
mukopurulen. Pustula yang lama, pecah meninggalkan bercak berwarna
merah muda yang mengikis lokasi infeksi. Pada IPV, leleran hidung
tidak tampak jelas (Figure 9.6).

Sumber : Fenner’s Veterinary Virology Fourth Edition. Maclachan, J. N.


2011.
Gambar 4. Gangguan pada organ reproduksi betina : Infectious Pustular
Vulvovaginalis (IPV)

Pada ternak jantan, penyakit Infectious Pustular Balanoposthitis


(IPB)berkembang setelah masa inkubasi 1-3 hari yang ditandai dengan lesi
pustula yang menyebar pada penis, timbulnya eksudat kecil dan demam.
Gambar 5. Gangguan pada organ reprosuksi jantan : Infectious Pustular
Balanoposthitis (IPB)

1.2 Epidemologi
Bovine Herpesvirus-1 (BHV-1) dan penyakit yang diakibatkannya
terjadi di seluruh dunia, walaupun beberapa negara di Uni Eropa baru-
baru ini membasmi virus tersebut (termasuk Denmark, Finlandia,
Swedia, Swiss, dan Austria), dan pemberantasan sedang dilakukan
dibeberapa negara lain. Bovine Herpesvirus-1 (BHV-1) merupakan
penyebab penyakit pada sapi yang secara signifikan merugikan. Penyakit
ini mempunyai morbiditas tinggi dan mortalitas rendah.
Kejadian klinis yang berat tergantung kepada jenis jalur virus yang
menginfeksi, status imunologik hewan, keadaan lingkungan, infeksi
sekunder dan umur hewan. Faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan
sindrom pernapasan kompleks yang disebut sebagai “demam
pengapalan” (shipping fever). Sindrom ini merupakan ciri khas infeksi
BHV-1 yang diikuti dengan infeksi sekunder (biasanya bakteri
Pasteurella haemolytica) yang mungkin dapat berpotensi menghasilkan
pneumonia yang fatal. Meskipun jarang, IBR dapat terjadi pada pedet
dan menyebabkan penyakit pernapasan yang ganas atau penyakit
sistemik yang fatal dan cepat menimbulkan kematian. Infeksi BHV-1
pada sapi yang baru lahir mungkin disebabkan oleh kekurangan antibodi
maternal dan komplikasi dengan faktor manajemen. Bila gejala klinis
pernapasan pada sapi bunting terus berlanjut, sudah dapat dipastikan
sekitar 25% ternak bunting akan mengalami keguguran. Lamanya masa
inkubasi pada sapi bunting terjadi keguguran antara 3-6 minggu dan
paling sering terjadi pada usia kebuntingan 5 dan 8 bulan.
1.3 Patogenesis dan Patologi
1.3.1 Melalui saluran pernafasan
Penularan langsung melalui pernafasan dari virus BHV-1 sangat
mudah dari satu ternak ke ternak lain atau dari kelompok satu ke
kelompok lainnya. Hal ini dkarenakan penyebaran virus dalam jumlah
yang sangat banyak pada saluran pernapasan, mata, dan saluran
reproduksi sapi yang terinfeksi. Virus dapat menyebar melalui sekresi
hidung atau percikan yang mengandung virus. Akibat mekanisme
penyebaran virus yang demikian, maka kontak langsung antar hewan
merupakan risiko transmisi yang sangat tinggi. Pada penggemukan sapi
yang penuh sesak, dan bercampurnya ternak satu dengan yang lain
mengakibatkan penyebaran virus akan lebih efektif.
1.3.2 Melalui Semen
Pada hewan jantan yang memperlihatkan balanopostitis atau pada
kondisi laten (virus terdedah tanpa ada gejala klinis), maka semen
menjadi sumber penularan virus yang sangat potensial. BHV-1 dapat
menyebar melalui kawin alam atau kawin buatan melalui IB.
1.4 Diagnosis
Diagnosis penyakit yang disebabkan oleh virus BHV-1 dapat
dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dengan isolasi dan identifikasi
virus dari sampel, uji serologi, pemeriksaan immunoassay, serta
pendeteksian genetik material melalui teknik molekuler biologi.
1.4.1 isolasi Virus
Bovine herpesvirus-1 seringkali ditemukan pada mukosa hidung,
mata dan preputium pada kasus balanopostitis. Pada kasus
balanopostitis, semen merupakan bagian yang sering terkontaminasi
oleh BHV-1 selama proses ejakulasi. Hal ini terjadi karena pada sapi
yang terinfeksi BHV-1, maka virus akan bereplikasi pada bagian mukosa
preputium sapi tersebut. Teknik yang sering digunakan di laboratorium
untuk mendiagnosis atau mendeteksi antigen BHV-1 diantaranya yaitu
dengan isolasi virus yang ada dalam sampel mukosa hidung, mata atau
semen pada kultur sel.
1.4.2 Uji Serologi
Uji serologi dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap
virus IBR dalam darah/serum hewan. Uji serologi meliputi uji netralisasi
serum dan ELISA. Pada uji netralisasi serum, uji ini menggunakan
media kultur sel dimana reaksi netralisasi antibodi oleh virus IBR dapat
diketahui, yaitu pada sel tidak terjadi efek sitofatik. Sementara uji
ELISA menggunakan reaksi enzimatik dengan indikator perubahan
warna substrat.
1.4.3 Teknik immunoassay

Teknik immunofluorescence telah digunakan untuk mendeteksi


BHV-1 dalam sediaan usapan mukosa nasal, bilasan preputium, paru,
dan trakhea. Kelebihan teknik ini yaitu dapat mendeteksi BHV-1
dengan cepat.
1.4.4 Teknik molekuler biologi

Akhir-akhir ini, diagnostik virologi telah mengalami kemajuan pesat


dengan dikembangkan teknik asam nukleat untuk mendeteksi
keberadaan virus dalam sampel yang berasal dari hewan, baik yang
menunjukkan klinis maupun normal. Hibridisasi asam nukleat dan reaksi
berantai polimerase (polymerase chain reaction = PCR) telah
dikembangkan sebagai perangkat uji yang sangat ideal dan handal untuk
mendeteksi BHV-1 pada sampel karena uji tersebut sangat cepat, sensitif
dan spesifik.
1.5 Imunitas, Pengendalian dan Kontrol

Kesehatan ternak merupakan faktor kunci dalam mencapai


produktivitas dan reproduktivitas optimum sapi. Sehingga Pencegahan,
pengendalian, dan pemberantasan penyakit hewan menular strategis
secara komprehensif merupakan penentu pengamanan ternak sehat dan
produktif. Immunisasi atau vaksinasi dengan vaksin hidup atau vaksin
Inaktif BHV-1 isolat lapangan merupakan cara pencegahan penyakit ini.
Pengendalian secara umum dilakukan dengan regulasi penanggulangan,
karantina yang ketat, isolasi hewan sakit dan penyingkiran hewan sehat
dari daerah tercemar, disinfeksi kandang dan fasilitasnya, serta tindakan
sanitasi dan higiene bagi personalia yang kontak dengan hewan
penderita.
2. Malignant Catarrhal Fever Caused by Alcephine Herpesvirus 1 and
Ovine Herpesvirus 2

Sumber : Courtesy of
D. Knowles, Washington State University.
Gambar 7. Corneal opacity caused by malignant catarrhal fever in a bovine

Malignant catarrhal fever (MCF) merupakan penyakit degeneratif dan


limfoproliferatif yang bersifat sangat fatal dan menyerang sapi dan beberapa
ruminansia liar lainnya (rusa, bison,), terutama yang mempengaruhi jaringan
limfoid dan lapisan mukosa saluran pernapasan dan saluran pencernaan.
Dua pola epidemiologi infeksi yang berbeda diketahui, dari hanya satu yang
memiliki virus herpes telah diisolasi. Di Afrika (dan di dalam dan di sekitar
kebun binatang), epizootik penyakit terjadi pada ternak (dan ruminansia liar
yang tertawan dan rentan) setelah transmisi virus penyebab dari wildebeest
(Connochaetes gnu dan C. taurinus) terutama saat melahirkan. Virus herpes
(alcelaphine herpesvirus 1) telah diisolasi dari bentuk malignant catarrhal
fever Afrika.
Di luar Afrika dan kebun binatang, penyakit yang ditujukan pada malignant
catarrhal fever pada sapi, bison, dan rusa disebabkan oleh herpesvirus
herpes 2 saat spesies ini disimpan berdekatan dengan domba pembawa.
Bentuk Malignant catarrhal fever yang terkait dengan domba ini dapat
ditularkan melalui inokulasi sapi atau bison dengan sejumlah besar darah
dari hewan yang terkena dampak klinis atau oleh aerosol ke sapi atau bison
dengan sekresi hidung dari domba yang mengalami episode penumpahan
virus. Faktor iklim dapat mempengaruhi efisiensi transmisi heroinvirus
peternak 2 dari domba reservoir ke spesies rentan seperti bison. Ovine
herpesvirus 2 belum diisolasi. Genom heroinvirus 2, seperti herpesvirus 1,
telah diurutkan sepenuhnya, menunjukkan bahwa mereka terkait erat dengan
virus herpes.
2.1 Gejala Klinis dan Epidemologi
Virus herpes yaitu ovine herpesvirus 2 dan alcelaphine herpesvirus 1
menyebabkan sindrom dan lesi penyakit serupa pada host yang rentan
secara klinis. Secara umum, masa inkubasi sekitar 3-4 minggu,
Malignant catarrhal fever (MCF) ditandai dengan demam, depresi,
eksudat kental dari mata dan hidung, kelainan atau kebutaan kornea
(Gambar 1.1), beberapa manifestasi gejala syaraf. Terjadi pada mukosa
gastrointestinal. Epidemiologi dari dua jenis utama virus Malignant
catarrhal fever (MCF) khususnya alcelaphine herpesvirus 1 and ovine
herpesvirus 2. Virus yang hebat dari wildebeest terjadi terutama selama
90 hari pertama hidup, virus dari domba sampai usia 5 bulan. Malignant
catarrhal fever (MCF) yang berhubungan dengan wildebeest pada
ternak paling sering terjadi di Afrika selama musim kemarau,
sedangkan bentuk demam kataragala ganas yang terkait dengan domba
terjadi sepanjang tahun, dengan hanya sedikit kejadian yang meningkat
pada musim kawin. Pada bison Amerika, Malignant catarrhal fever
(MCF) biasanya merupakan penyakit musim dingin, tanpa puncak yang
jelas pada masa kawin. Virus yang terkait dengan domba tidak
ditransmisikan antara sapi atau bison.
2.2 Patogenesis dan Patologi
Temuan nekropsi pada hewan dengan Malignant catarrhal fever
(MCF), yang biasanya adalah sapi atau ungulata liar seperti bison,
bervariasi sesuai dengan durasi penyakitnya, namun bukan virus yang
menginfeksi (alcelaphine herpesvirus 1 atau heroinvirus di daerah
selatan). Hewan yang terkena sering menunjukkan kelainan kornea,
edema, dan perdarahan yang luas di seluruh saluran pencernaan,
termasuk rongga mulut. Ada limfadenopati generalisata: semua kelenjar
getah bening membesar, edematous, dan kadang-kadang hemorrhagic.
Seringkali ada beberapa fokus peradangan interstisial pada ginjal yang
tampak kasar seperti garis-garis putih diskrit di dalam korteks,
perdarahan difus di seluruh mukosa kandung kemih (sistitis kandung
kemih), dan perdarahan di dalam mukosa turbinat, laring, dan trakea.
Lapisan epitel dari moncong mungkin menguap. Secara histologis, ada
proliferasi limfosit dan limfoblast yang luas, dan daerah nekrosis
multifokal, berpusat pada pembuluh darah kecil, dan arteri kecil dapat
menunjukkan nekrosis fibrinoid khas dinding otot mereka. Lesi
histologis ini hadir di semua jaringan yang terkena, termasuk otak dan
mata. Meskipun kematian secara khas terjadi kurang dari 2-7 hari
setelah onset tanda klinis, tergantung pada spesies, sejumlah kecil
ternak dan rusa yang terkena dampak berkembang. Gambar 9.9
Keterbatasan kornea yang disebabkan oleh Malignant catarrhal fever
(MCF) di sapi. Tanda klinis penyakit bertahan, setidaknya untuk waktu
yang singkat, dengan bukti penyakit mata, arteriosklerosis, dan
persistensi virus seperti yang terdeteksi oleh PCR. Lesi limfoproliferatif
dan vaskular florid pada hewan dengan Malignant catarrhal fever
(MCF) menunjukkan bahwa penyakit ini dimediasi secara imunologis.
Memang, lesi meniru pada hewan yang kekurangan IL-2, seperti tikus
atau hewan yang mengalami perubahan genetik (IL-2 knockout) yang
kekurangan jumlah limfosit CD4 yang memproduksi IL-2. Lesi
vaskular yang menjadi ciri Malignant catarrhal fever (MCF) mungkin
bertanggung jawab atas nekrosis dan ulserasi yang terjadi di banyak
jaringan.
2.3 Diagnosis
Untuk diagnosis Malignant Catarrhal Fever (MCF) yaitu teknik
biologi molekular seperti PCR juga dimanfaatkan untuk mendiagnosa
MCF baik WA-MCF maupun SA-MCF. Wildebeest associated MCF-
Alcelaphine herpesvirus 1dilakukan dengan teknik isolasi dapat
diisolasi dari perifer yang dicuci leukosit darah pada sel tiroid anak
sapi. Inokulum bebas sel juga menghasilkan virus Ovine herpesvirus 2
belum disebarkanSheep associated MCF-Ovine Herpesvirus 2.
Dalam kultur sel, namun keberadaan virus ini bisa ditunjukkan
dengan uji PCR spesifik virus. Pengujian ini Mudah bisa mendeteksi
DNA virus penyebab SA-MCF dapat di deteksi pada pheripheral blood
leucocyite (PBL) yang terdapat di jaringan hewan yang sakit Malignant
Catarrhal Fever.
2.4 Imunitas, Pengendalian dan Kontrol
Malignant Catarrhal Fever dikendalikan dengan mencegah kontak
antara pembawa virus dengan host yang rentan. Upaya untuk
mengembangkan vaksin belum berhasil sampai saat ini.Salah satu cara
pengendalian MCF hanyalah berdasarkan pemisahan hewan dimana
sapi dipisahkan dari wildbeest untuk WA-MCF dan sapi dipisahkan dari
domba untuk SA-MCF.
3. Mareks Disease (MD)
Penyakit Marek adalah suatu penyakit neoplastik dan neuropathic
pada unggas, terutama ayam yang disebabkan oleh herpesvirus 1 yang
bersifat onkogenik (dapat menimbulkan tumor), sangat menular dan
limfoproliferatif (CALNEK dan WITTER, 1997). Virus ini bersifat cell-
associated karena sulit bertahan di luar sel induk semangnya.Penyakit ini
pertama kali dilaporkan oleh seorang ahli patologi dari Hungaria
bernama Jozsef Marek pada tahun 1907 yang menemukan ayam
menderita paralisis berhubungan dengan polyneuritis dengan gejala
utama berupa kerusakan saraf. Penyakit ini kemudian diketahui tersebar
luas di berbagai negara seperti tercatat di Amerika kerugian akibat
penyakit per tahun sebelum adanya program vaksinasi mencapai 150 juta
dollar (FENNER etal., 1987). Di luar negeri, pada periode antara tahun
1950 hingga 1960, kejadian Marek dilaporkan di banyak negara sehingga
banyak sekali penelitian yang dilakukan pada periode tersebut. Infeksi
buatan berhasil dilakukan pada tahun 1962 dan agen penyebabnya
diisolasi dan diidentifikasi pada tahun 1967. Pada tahun-tahun
selanjutnya kejadian Marek (mortalitas 30−60%) dapat ditekan secara
drastis dengan ditemukannya vaksin Marek pada tahun 1971. Meskipun
demikian, penyakit ini tetap ditakuti oleh peternak komersial karena
sejak tahun 1980 kejadian Marek secara sporadis masih dapat terjadi
pada ayam-ayam yang telah divaksinasi. Hal ini disebabkan oleh adanya
evolusi virus yang dapat memunculkan galur-galur virus baru yang lebih
virulen (CALNEK dan WITTER, 1997; PAYNE dan VENUGOPAL,
2000;CHARLTON et al., 2000).
3.1 Gejala Klinis
Pada tahun 1907 Jozsef Marek melihat gejala klinis berupa
kepincangan dan kerusakan syaraf kemudian HUNGERFORD (1969)
menambahkan bahwa Marek ditandai dengan gejala klinis tertentu
sesuai dengan kerusakan syaraf yang terlibat. Karena virus Marek dapat
menyerang syaraf bagian manapun, sehingga gejala klinis sangat
bervariasi (CALNEK dan WITTER, 1997).
Ada beberapa versi yang dibuat untuk mengklasifikasi gejala klinis
Marek. Menurut PAYNE (1985) Marek terbagi atas Marek klasik dan
akut. Marek klasik ditandai oleh kerusakan syaraf yang berakibat pada
kelumpuhan sehingga ayam dalam posisi satu kaki ditarik ke belakang,
satu kaki dijulurkan ke depan (RANDALL, 1985). Selain itu, dapat pula
terjadi kelumpuhan sayap, tortikolis dan sesak napas. Tumor superfisial
secara klinis dapat terlihat pada mata, dasar pial, kulit, jari kaki dan
folikel bulu. Marek yang akut adalah Marek yang tidak ditandai dengan
gejala klinis seperti di atas dan ayam tiba-tiba mati.
Selain Marek klasik dan akut ALLAN et al. (1982) menempatkan
transient paralysis (kelumpuhan sementara) sebagai gejala klinis yang
ketiga dimana ayam tiba-tiba terserang kelumpuhan 1 − 2 hari lalu
ayam sembuh kembali.
Menurut BAINS (1979) dan CALNEK dan WITTER (1997)
kematian akut tersebut sebelumnya ditandai oleh depresi dan ataksia,
tetapi jika penyakit menjadi kronis ayam terlihat pucat, anoreksia,
dehidrasi, diare, pincang, lumpuh sayap, buta, sesak napas, produksi
telur menurun, dan angka konversi pakan menurun. Secara klinis
RIDDELL (1996) membagi Marek atas tiga kelompok: Marek Klasik
sesuai dengan yang digambarkan oleh MAREK pada tahun 1907
dengan gejala utama berupa kerusakan syaraf kronis dan pembentukan
limfoma. Marek Akut yang bersifat lebih patogen dan mulai mewabah
pada tahun 1950-an di berbagai negara yang ditandai dengan limfoma
di berbagai organ. Marek Perakut yang bersifat paling patogen dan
mulai muncul pada tahun 1980-an sampai sekarang yang ditandai
dengan kematian mendadak atau earlymortality syndrome (EMS).
CALNEK dan WITTER (1997) sependapat dengan klasifikasi yang
disampaikan oleh RIDDELL (1996) tersebut, hanya mereka
menambahkan kategori keempat, yakni Marek kronis.
Untuk mengklarifikasi masalah gejala syaraf pada Marek, maka
GIMENO et al. (1999) melakukan infeksi buatan dengan menggunakan
galur ayam peka terhadap Marek dan galur ayam yang lebih resisten
terhadap Marek. Kedua galur ayam tersebut masing-masing diinfeksi
dengan bermacam-macam patotipe virus Marek. Dari hasil penelitian
tersebut disimpulkan bahwa ada empat gejala syaraf yang berbeda
berdasarkan skor/nilai pada derajat kelumpuhan, ataksia, tortikolis dan
tremor otot:

 Classical Transient Paralysis (Classical TP): terjadi 8 − 10 hari


pasca infeksi, berlangsung 1 − 2 hari lalu ayam sembuh.
 Acute Transient Paralysis (Acute TP): terjadi 8 − 10 hari pasca
infeksi, berlangsung 1 − 2 hari lalu ayam mati.
 Persistent Neurological Disease (PND): terjadi 12 − 15 hari pasca
infeksi, ayam sembuh tetapi masih menyisakan gejala syaraf sampai
akhir masa percobaan.
 Late Paralysis (LP): ayam secara klinis tampak normal tetapi pada
akhir masa percobaan ditemukan sindroma seperti pada Acute TP.
Setelah diamati lebih jauh, GIMENO et al. (1999)
menyimpulkan bahwa serotipe dan patotipe virus Classic TP sangat
mempengaruhi gejala klinis. Classic TP muncul pada ayam yang diberi
virus Marek patotipe virulen (vMDV). Persistent Neurological Disease
terjadi pada ayam yang diinfeksi dengan virus Marek patotipe sangat
virulen (vvMDV). Acute TP dan Late TP terjadi pada ayam yang
diinfeksi dengan virus Marek patotipe sangat virulen plus (vv+ MDV).
Selain itu, GIMENO et al. (1999) juga membuktikan bahwa galur ayam
mempengaruhi bentuk gejala syaraf yang timbul. Gejala TP, PND dan
LP pada galur ayam peka ternyata lebih akut sedangkan galur ayam yang
lebih resisten terhadap MDV mempunyai gambaran TP lebih klasik.
Secara biokimiawi, gambaran darah ayam yang terserang Marek akan
mengalami anemia, eritrosit menjadi rapuh (hemolisis) dan biasanya
Marek menimbulkan imunosupresi yang parah (PAYNE, 1985).

Gambar 8. Gangguan pada saraf


3.2 Epidemologi
Penyakit Marek yang disebabkan oleh virus herpes serotipe 1 paling
sering menyerang ayam yang berusia muda (PAYNE dan
VENUGOPAL, 2000) dan secara eksperimental dapat menginfeksi
kalkun, burung puyuh dan itik (HUNGERFORD, 1969). Manifestasi
penyakit sangat bervariasi karena dalam satu flok ayam dapat terserang
oleh satu atau kombinasi dari beberapa galur virus Marek (ALLAN et
al., 1982). Virus Marek ditularkan secara horizontal langsung maupun
tidak langsung melalui sel epitel pada folikel bulu yang mengandung
virus dan mengkontaminasi udara, kandang, peralatan dan petugas
kandang (SHANE, 1998). Lebih jauh SHANE (1998) menambahkan
bahwa virus ini sangat tahan terhadap lingkungan sehingga dapat
bertahan hingga akhir siklus produksi. Selain ditemukan pada folikel
bulu, virus juga ditemukan pada darah, mulut, hidung, mukosa trachea
dan kloaka, tetapi penularan yang efektif terjadi melalui saluran
pernapasan (ALLAN et al., 1982). Masa inkubasi penyakit dapat
diketahui dengan melakukan infeksi buatan, yaitu + 2 minggu dengan
derajat viremia tertinggi dicapai pada 3−5 minggu pasca infeksi
(CALNEK dan WITTER, 1997). Manifestasi gejala klinis dan patologis
sangat dipengaruhi oleh galur virus, dosis, rute infeksi, galur ayam,
umur ayam, jenis kelamin ayam dan status kekebalan ayam saat terjadi
infeksi (ALLAN et al., 1982). Menurut PAYNE dan VENUGOPAL
(2000) angka kejadian Marek jenis akut mencapai 10−30% dan dapat
mencapai 70% pada saat wabah. Sedangkan pada Marek jenis klasik
angka kematiannya berkisar antara 10 − 15%.
Kejadian Marek tersebar di seluruh dunia, tidak terkecuali di
Indonesia (IDERIS, 1993). Menurut data yang ada di Balitvet Marek
sudah dikenal di Indonesia sejak tahun 1956 meskipun wabah Marek
baru mendapat perhatian pada tahun 1972. Sebagai laboratorium
rujukan nasional Balitvet setiap tahun menerima sampel yang dicurigai
sebagai Marek ataupun leukosis kompleks yang lain. GINTING dan
RADJAGUKGUK (1980) melaporkan bahwa pada tahun 1972 − 1976
kasus Marek yang didiagnosis di bagian Patologi - Balitvet berkisar
antara 9,96% − 24,48% dari 596 sampel yang diperiksa. Sementara itu
penelitian di daerah Bogor dan sekitarnya menunjukkan bahwa dari 51
kasus dengan leukosis kompleks, 38 (74,5%) merupakan Marek
(HAMID, 1984). Sementara itu HUMINTO et al., (2000) melaporkan
tentang kasus Marek yang terdiri atas tujuh kasus yang berasal dari
peternakan ayam ras petelur (26 hari − 28 minggu) yang sudah divaksin
terhadap Marek dan satu kasus yang berasal dari peternakan ayam
kampung (16 minggu) yang dipelihara secara intensif. Kedelapan
sampel tersebut berasal dari flok yang berbeda dan didiagnosis di
laboratorium Patologi FKH-IPB. Hasil pemeriksaan histopatologi
menunjukkan tumor limfoid di ovarium dan sejumlah organ viseral
sehingga menghambat perkembangan folikel telur dan laju
pertumbuhan badan serta menimbulkan kelumpuhan dan kematian.
Selain itu berbagai kerusakan jaringan pada organ viseral dapat
mengganggu pola konsumsi, digesti, absorbsi dan metabolisme nutrisi
sehingga secara tidak langsung akan menghambat produksi dan
penambahan bobot badan (FATIMAH, 2000).
3.3 Patogenesis dan Patologi
Sebenarnya patogenesis penyakit Marek tergolong kompleks dengan
rute infeksi melalui inhalasi udara yang terkontaminasi masuk ke
saluran pernapasan (HUNGERFORD, 1969). Adapun menurut PAYNE
dan WARTAZOA Vol. 12 No. 2 Th. 2002 69 VENUGOPAL (2000)
terdapat 4 tahap kejadian yang melandasinya yaitu: infeksi sitolitik
awal, infeksi laten, infeksi sitolitik akhir dengan imunosupresi dan
transformasi neoplastik. Secara kronologis infiltrasi selular terjadi
mulai 5 hari setelah infeksi dan terus berlangsung sekitar 3 minggu,
diikuti dengan lesi neural yang khas, dengan maupun tanpa disertai
pembentukan limfoma (CALNEK dan WITTER, 1997). Virus Marek
bersifat limfotropik dengan target utama limfosit yang berperan dalam
sistem kekebalan tubuh. Pada tahap sitolitik awal sel B yang
memproduksi antibodi adalah sel yang pertama kali diserang (PAYNE
dan VENUGOPAL, 2000). Selanjutnya infeksi sitolitik terjadi pada sel
T yang diaktifasi dan terlibat dalam respon yang dijembatani oleh cell
mediatedimmunity (CMI). Dalam hal ini dapat dibuktikan bahwa sel T
tersebut didominasi oleh fenotip CD4 dan sedikit CD8 (OKADA et al.,
1997; VENUGOPAL, 2000). Reaksi ini berdampak pada atropi bursa
Fabrisius dan timus sehingga menyebabkan imunosupresi. Sementara
itu virus menyebar ke folikel bulu yang diduga keras merupakan tempat
yang paling produktif dalam menyebarkan infeksi. Setelah infeksi
sitolitik awal, infeksi beralih ke tahap laten pada sel T yang infektif
sehingga menimbulkan regresi organ limfoid. Hal ini diikuti oleh
pembentukan limfoma pada berbagai organ jeroan. Sejauh ini penyebab
lesi neural pada penyakit Marek diduga kuat dikontrol oleh gen MHC
dan sel B (CALNEK dan WITTER, 1997).
3.3.1 Masa Inkubasi
Oleh karena rumitnya pola patogenesis penyakit Marek yang
berhubungan dengan berbagai faktor tersebut di atas, maka masa
inkubasi penyakit sangat bervariasi, dari beberapa minggu sampai
beberapa bulan (PAYNE dan VENUGOPAL, 2000). Namun demikian
FENNER et al. (1987) menyatakan pada ayam umur sehari yang
sangat peka (tanpa kekebalan maternal dan peka secara genetik)
infeksi virus virulen mengakibatkan lesi mikroskopik yang dapat
terdeteksi paling cepat 1 − 2 minggu setelah infeksi. Lesi makroskopik
mulai tampak 3 − 4 minggu setelah infeksi. Sementara itu maksimum
pengeluaran virus terjadi pada 5 − 6 minggu setelah infeksi.
3.3.2 Hewan Karier
ALLAN et al. (1982) menyatakan bahwa meskipun penyakit
Marek tidak selalu berakhir dengan kematian namun sekali ayam
terinfeksi maka viremia akan tetap berlangsung sehingga ayam
menjadi karier yang berpotensi untuk menyebarkan infeksi.
5.3.3 Cara Penularan Penyakit

Hewan yang sakit ataupun hewan yang sembuh dari Marek dan
menjadi karier akan mengeluarkan virus ke lingkungan. Penyakit
Marek menular secara horizontal, tetapi tidak secara vertikal
(CALNEK dan WITTER, 1997). Penularan penyakit secara horizontal
dapat secara langsung maupun tidak langsung secara per inhalasi ke
saluran pernafasan. Folikel bulu sampai saat ini dianggap sebagai
tempat yang paling produktif dalam perkembangan virus infeksius dan
sangat potensil menyebarkan infeksi, meskipun virus Marek dapat
berada dalam darah, pada mulut, hidung, mukosa trakhea dan kloaka.
SHANE (1998) menyatakan virus MD ini kemudian menkontaminasi
lingkungan (udara, litter, debu, peralatan kandang, petugas kandang,
dan lain-lain). Penularan penyakit dari sumber infeksi potensial
(folikel bulu dan debu kandang terkontaminasi virus MD, dan lain-
lain) paling
efektif
terjadi

melalui inhalasi ke saluran pernapasan (ALLAN et al., 1982).


CALNEK dan WITTER (1997) menyatakan penularan penyakit
melalui vektor serangga dan koksidia tidak terjadi, kecuali sejenis
kumbang (darkling beetles/Alphitobius diaperinus) yang dapat
membawa virus secara pasif.

Gambar 9.Hati dengan


infiltrasi sel tumor
(limfoid,
pleomorfik) HE, 10x10
Gambar 10.Proventrikulus dengan infiltrasi sel tumor (limfoid,
pleomorfik), HE 4x10

Gambar 11.Otak dengan demyelinasi segmental, HE, 4x10

3.4 Diagnosis
Penentuan diagnosis
terhadap penyakit
Marek berpedoman
pada aspek
epizootiologi, klinis dan
patologis. Menurut
RIDDELL (1996) gambaran histopatologi Marek dan Lymphoid
Leukosis akan sulit untuk dibedakan apabila lesi limfoproliferatif kedua
penyakit tidak jelas (subtle), sehingga perlu ditelusuri lesi serupa yang
berada pada organ non limfoid.
Ditinjau dari gejala syaraf dan kelainan pasca mati, Marek dapat
dikacaukan dengan LymphoidLeukosis, Erythroid Leukosis, Myeloid
Leukosis, Reticuloendotheliosis, defisiensi riboflavin, tuberkulosis,
histomoniasis, Newcastle Disease, AvianEncephalomyelitis, karsinoma
pada ovari dan organ lainnya, kelainan genetik pada mata, dan
kelumpuhan traumatik (CALNEK dan WITTER, 1997). Apabila dari
kriteria epizootiologi, klinis dan patologis (PA dan HP) masih belum
dapat diambil konfirmasi diagnosisnya, maka pewarnaan khusus
dengan methyl green pyronin atau Shorr’s pada preparat sentuh dari lesi
yang segar dapat dilakukan untuk melihat sitologi sel-sel tumor lebih
jelas. Disamping itu pewarnaan imunohistokimia untuk mendeteksi
antigen Marek atau teknik PCR dapat juga dilakukan untuk mendeteksi
secara spesifik DNA yang berasal dari virus Marek serotype 1
(CALNEK dan WITTER, 1997).
3.5 Imunitas, Pengendalian, dan Kontrol
Penyakit Marek tidak dapat diobati dengan efektif baik secara
individual maupun pada flok secara keseluruhan, meskipun
kesembuhan spontan dapat terjadi (CALNEK dan WITTER, 1984;
CHARLTON et al., 2000). Namun demikian kejadian penyakit Marek
dapat dicegah dengan melakukan berbagai cara, antara lain: vaksinasi,
pemilihan galur ayam yang lebih resisten terhadap Marek serta sistem
manajemen untuk meningkatkan sanitasi dan biosekuritas.
3.5.1 Vaksinasi
Sampai saat ini vaksinasi masih dianggap sebagai strategi utama
dalam mencegah penyakit Marek. Vaksin Marek dapat berbentuk
monovalen atau bivalen (CALNEK dan WITTER, 1997). Vaksin
monovalen biasanya berasal dari serotipe 1 yang diatenuasi (misalnya
Rispen) atau serotipe 3 (HVT), sedangkan vaksin bivalen biasanya
berupa gabungan serotipe 3 (HVT) dan serotipe 2 (misalnya SB-1 atau
301B) (CHARLTON et al., 2000). Vaksin bivalen ini dianggap lebih
bagus, akan tetapi menurut ALLAN et al. (1982) dan VENUGOPAL
(2000) vaksin monovalen berisi serotipe 1 adalah yang paling banyak
dipakai karena mampu melawan vvMDV dan vv+MDV. Beberapa
peternak ayam breeder lebih memilih vaksin monovalen serotipe 3
(HVT) karena harganya lebih murah. SHANE (1998) menganjurkan
agar ayam yang divaksin dengan serotipe 3 (HVT) maka disarankan
generasi berikutnya supaya divaksin dengan vaksin dari serotipe lain
untuk mencegah pengaruh antibodi maternal terhadap serotipe 3
(HVT). Selain itu, SHANE (1998) juga menambahkan bahwa khusus
untuk daerah dengan angka kejadian Marek yang tinggi, maka induk
ayam sebaiknya divaksin dengan vaksin serotipe 1, kemudian
keturunan selanjutnya divaksin dengan vaksin serotipe 3 (HVT) atau
gabungan serotipe 3 (HVT) dan serotipe 2. Vaksin Marek dapat
diberikan dengan cara menginjeksi embrio pada hari ke 18 (in ovo)
atau pada saat ayam baru menetas (sub kutan) (CHARLTON et al.,
2000). Oleh karena vaksinasi baru akan memberikan proteksi penuh
pada 7-10 hari pasca vaksinasi, maka pengawasan ketat terhadap
sanitasi amat dibutuhkan pada masa kritis ini (WITTER, 2001a). Jika
vaksinasi sudah diberikan tetapi wabah tetap terjadi maka revaksinasi
oleh vaksin sejenis percuma untuk dilakukan karena ini pertanda
bahwa ayam terserang oleh virus Marek dari jenis yang lebih virulen
(CALNEK dan WITTER, 1997; CHARLTON et al., 2000). Hal ini
memperlihatkan suatu kegagalan vaksinasi. PAYNE dan
VENUGOPAL (2000) menyatakan beberapa hal yang dapat
mengakibatkan kegagalan program vaksinasi, yaitu (1) ayam
terinfeksi oleh virus ganas sebelum vaksin bekerja sempurna dalam
tubuh ayam; (2) pembentukan respon kekebalan akibat vaksinasi
terhambat karena adanya antibodi maternal dalam tubuh ayam; (3)
ketidaksesuaian dalam aplikasi vaksin; (4) vaksin yang digunakan
berasal dari strain yang tidak protektif. Oleh karena adanya mutasi
virus Marek terjadi secara perlahan namun terus menerus maka
pengembangan vaksin diarahkan untuk memproduksi vaksin
rekombinan DNA (PAYNE dan VENUGOPAL, 2000; WITTER,
2001a dan b). Pendekatan immunomodulatory untuk meningkatkan
respon vaksin dan usaha untuk memanfaatkan sifat mutagenesis dari
galur virus Marek yang diatenuasi terus diupayakan karena beberapa
gen (terutama area U) dapat dihilangkan tanpa mempengaruhi
pertumbuhan virus (VENUGOPAL, 2000).
3.5.2 Resistensi Genetik
WITTER (2001a) menyatakan bahwa galur ayam dapat diseleksi
menjadi lebih resisten terhadap Marek melalui lokus B pada gen MHC
dan genome mapping yang menghasilkan Quantitative Trait Loci
(QTL) 14. Alternatif lain yaitu mentransfer gen asing dengan cara
menyisipkan gen virus Marek pada genom ayam sehingga terjadi
superinfeksi antigen protektif virus Marek (VENUGOPAL, 2000).
3.5.3 Sistem Manajemen
Menurut WITTER (2001b) penerapan sistem manajemen yang
semata-mata mengutamakan peningkatan produksi ayam dapat
mendukung terjadinya mutasi virus Marek. Dalam hal ini beberapa
contoh penerapan manajemen yang kurang baik, yaitu (1) kepadatan
populasi ayam terlalu tinggi sehingga ayam menjadi stres; (2) umur
ayam beragam (tidak memakai sistem all in all out); (3) vaksin tidak
sesuai, baik jenis maupun dosisnya (subprotektif/over protektif); (4)
desinfeksi kandang tidak dilakukan setiap kali selesai satu siklus
produksi; (5) biosekuritas tidak dijalankan dengan ketat, terutama
pada saat kritis dimana ayam baru lepas dari tetasan. Eradikasi
penyakit Marek sudah lama diusahakan akan tetapi sangat sulit, mahal
dan tidak efisien untuk dipraktekkan. Upaya-upaya tersebut seperti
menutup area kandang dengan sistem penyaringan udara; penggunaan
ayam specific pathogen free (SPF); desinfeksi kandang setiap kali
selesai siklus produksi dan pemanfaatan materi transgenik untuk
memblok replikasi virus secara in vivo (ALLAN et al., 1982;
WITTER, 2001b).

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.1.1 Klasifikasi Herpesviruses terdiri atas tiga famili yaitu Famili


Herpesviridae (Subfamili Alphaherpesvirinae, Subfamili Betaherpesvirinae,
Subfamili Gammaherpesvirinae), Famili Alloherpesiridae, dan Famili
Malacoherpesviridae.
3.1.2 Herpesvirus terdiri dari inti, kapsid dan tegumen.
3.1.3 Bovine Herpesvirus-1 (BHV-1) dapat menyebabkan penyakit
Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) dan Infectious Pustular
Vulvovaginitis (IPV).
3.1.4 Malignant catarrhal fever caused by alcelaphine herpesvirus 1 and
ovine herpesvirus 2 merupakan penyakit degeneratif dan limfoproliferatif
yang bersifat sangat fatal dan menyerang sapi dan beberapa ruminansia liar
lainnya (rusa, bison,).
3.1.5 Penyakit Marek adalah suatu penyakit neoplastik dan neuropathic pada
unggas, terutama ayam yang disebabkan oleh herpesvirus 1 yang bersifat
onkogenik (dapat menimbulkan tumor), sangat menular dan
limfoproliferatif .

Anda mungkin juga menyukai