HERPESVIRIDAE
OLEH :
KUPANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
HERPESVIRUS
KLASIFIKASI
Famili Herpesviridae yang mencakup virus herpes dari mamalia,
burung, dan reptil
Subfamili Alphaherpesvirinae
• Genus Simplexvirus : human herpesvirus 1 (herpes simplex virus 1)
• Genus Varicellovirus : human herpesvirus 3 (varicella-zoster virus)
• Genus Mardivirus : gallid herpesvirus 2 (Marek’s disease virus)
• Genus Iltovirus : gallid herpesvirus 1 (infectious laryngotracheitis
virus)
Subfamili Betaherpesvirinae
• Genus Cytomegalovirus
• Genus Muromegalovirus
• Genus Proboscivirus
• Genus Roseolovirus
Subfamili Gammaherpesvirinae
• Genus Lymphocryptovirus
• Genus Macavirus
• Genus Percavirus
• Genus Rhadinovirus
Famili Alloherpesiridae yang mencakup herpesvirus ikan dan katak
Famili Malacoherpesviridae yang mengandung virus tiram (bivalve)
KARAKTERISTIK VIRION
Herpesvirus terdiri dari inti, kapsid dan tegumen. Herpesvirus mempunyai
ukuran yang bermacam-macam dengan kisaran 120-125 nm untuk
diameternya. Genom adalah double straine DNA. Replikasi terjadi di
nukleus. Gen virus awal (α, β, dan γ), gen awal dan gen hasil mengatur
transkripsi dari gen sebelumnya. Replikasi dan pembungkusan
(encapsidation) terjadi di nukleus. Amplop diperoleh dari penyatuan lapisan
dalam dari nukleus di bagian amplop. Infeksi benda inklusi intranuklear
bersifat eosinofilik. Infeksi menjadi tersembunyi/tidak terlihat,
kambuh/timbul kembali, dan berselang atau berkelanjutan dengan
menyebar/penyebaran virus.
JENIS-JENIS HERPESVIRUS
1. Bovine Herpesvirus 1 (Infectious Bovine Rhinotracheitis dan
Infectious Pustula Vulvovaginitis Viruses).
1.1 Gejala Klinis
Berdasarkan gejala klinisnya, agen penyebab penyakit virus BHV-1,
terbagi menjadi 2 subtipe, yaitu subtipe 1 dan subtipe 2. Virus BHV-1
subtipe 1 berhubungan dengan jalur yang dapat menyebabkan gangguan
pernapasan, sedangkan subtipe 2 adalah galur yang dapat menyebabkan
gangguan genital seperti Infectious Pustular Vulvovaginalis (IPV) dan
Infectious Pustular Balanoposthitis (IPB).
1.2 Epidemologi
Bovine Herpesvirus-1 (BHV-1) dan penyakit yang diakibatkannya
terjadi di seluruh dunia, walaupun beberapa negara di Uni Eropa baru-
baru ini membasmi virus tersebut (termasuk Denmark, Finlandia,
Swedia, Swiss, dan Austria), dan pemberantasan sedang dilakukan
dibeberapa negara lain. Bovine Herpesvirus-1 (BHV-1) merupakan
penyebab penyakit pada sapi yang secara signifikan merugikan. Penyakit
ini mempunyai morbiditas tinggi dan mortalitas rendah.
Kejadian klinis yang berat tergantung kepada jenis jalur virus yang
menginfeksi, status imunologik hewan, keadaan lingkungan, infeksi
sekunder dan umur hewan. Faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan
sindrom pernapasan kompleks yang disebut sebagai “demam
pengapalan” (shipping fever). Sindrom ini merupakan ciri khas infeksi
BHV-1 yang diikuti dengan infeksi sekunder (biasanya bakteri
Pasteurella haemolytica) yang mungkin dapat berpotensi menghasilkan
pneumonia yang fatal. Meskipun jarang, IBR dapat terjadi pada pedet
dan menyebabkan penyakit pernapasan yang ganas atau penyakit
sistemik yang fatal dan cepat menimbulkan kematian. Infeksi BHV-1
pada sapi yang baru lahir mungkin disebabkan oleh kekurangan antibodi
maternal dan komplikasi dengan faktor manajemen. Bila gejala klinis
pernapasan pada sapi bunting terus berlanjut, sudah dapat dipastikan
sekitar 25% ternak bunting akan mengalami keguguran. Lamanya masa
inkubasi pada sapi bunting terjadi keguguran antara 3-6 minggu dan
paling sering terjadi pada usia kebuntingan 5 dan 8 bulan.
1.3 Patogenesis dan Patologi
1.3.1 Melalui saluran pernafasan
Penularan langsung melalui pernafasan dari virus BHV-1 sangat
mudah dari satu ternak ke ternak lain atau dari kelompok satu ke
kelompok lainnya. Hal ini dkarenakan penyebaran virus dalam jumlah
yang sangat banyak pada saluran pernapasan, mata, dan saluran
reproduksi sapi yang terinfeksi. Virus dapat menyebar melalui sekresi
hidung atau percikan yang mengandung virus. Akibat mekanisme
penyebaran virus yang demikian, maka kontak langsung antar hewan
merupakan risiko transmisi yang sangat tinggi. Pada penggemukan sapi
yang penuh sesak, dan bercampurnya ternak satu dengan yang lain
mengakibatkan penyebaran virus akan lebih efektif.
1.3.2 Melalui Semen
Pada hewan jantan yang memperlihatkan balanopostitis atau pada
kondisi laten (virus terdedah tanpa ada gejala klinis), maka semen
menjadi sumber penularan virus yang sangat potensial. BHV-1 dapat
menyebar melalui kawin alam atau kawin buatan melalui IB.
1.4 Diagnosis
Diagnosis penyakit yang disebabkan oleh virus BHV-1 dapat
dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dengan isolasi dan identifikasi
virus dari sampel, uji serologi, pemeriksaan immunoassay, serta
pendeteksian genetik material melalui teknik molekuler biologi.
1.4.1 isolasi Virus
Bovine herpesvirus-1 seringkali ditemukan pada mukosa hidung,
mata dan preputium pada kasus balanopostitis. Pada kasus
balanopostitis, semen merupakan bagian yang sering terkontaminasi
oleh BHV-1 selama proses ejakulasi. Hal ini terjadi karena pada sapi
yang terinfeksi BHV-1, maka virus akan bereplikasi pada bagian mukosa
preputium sapi tersebut. Teknik yang sering digunakan di laboratorium
untuk mendiagnosis atau mendeteksi antigen BHV-1 diantaranya yaitu
dengan isolasi virus yang ada dalam sampel mukosa hidung, mata atau
semen pada kultur sel.
1.4.2 Uji Serologi
Uji serologi dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap
virus IBR dalam darah/serum hewan. Uji serologi meliputi uji netralisasi
serum dan ELISA. Pada uji netralisasi serum, uji ini menggunakan
media kultur sel dimana reaksi netralisasi antibodi oleh virus IBR dapat
diketahui, yaitu pada sel tidak terjadi efek sitofatik. Sementara uji
ELISA menggunakan reaksi enzimatik dengan indikator perubahan
warna substrat.
1.4.3 Teknik immunoassay
Sumber : Courtesy of
D. Knowles, Washington State University.
Gambar 7. Corneal opacity caused by malignant catarrhal fever in a bovine
Hewan yang sakit ataupun hewan yang sembuh dari Marek dan
menjadi karier akan mengeluarkan virus ke lingkungan. Penyakit
Marek menular secara horizontal, tetapi tidak secara vertikal
(CALNEK dan WITTER, 1997). Penularan penyakit secara horizontal
dapat secara langsung maupun tidak langsung secara per inhalasi ke
saluran pernafasan. Folikel bulu sampai saat ini dianggap sebagai
tempat yang paling produktif dalam perkembangan virus infeksius dan
sangat potensil menyebarkan infeksi, meskipun virus Marek dapat
berada dalam darah, pada mulut, hidung, mukosa trakhea dan kloaka.
SHANE (1998) menyatakan virus MD ini kemudian menkontaminasi
lingkungan (udara, litter, debu, peralatan kandang, petugas kandang,
dan lain-lain). Penularan penyakit dari sumber infeksi potensial
(folikel bulu dan debu kandang terkontaminasi virus MD, dan lain-
lain) paling
efektif
terjadi
3.4 Diagnosis
Penentuan diagnosis
terhadap penyakit
Marek berpedoman
pada aspek
epizootiologi, klinis dan
patologis. Menurut
RIDDELL (1996) gambaran histopatologi Marek dan Lymphoid
Leukosis akan sulit untuk dibedakan apabila lesi limfoproliferatif kedua
penyakit tidak jelas (subtle), sehingga perlu ditelusuri lesi serupa yang
berada pada organ non limfoid.
Ditinjau dari gejala syaraf dan kelainan pasca mati, Marek dapat
dikacaukan dengan LymphoidLeukosis, Erythroid Leukosis, Myeloid
Leukosis, Reticuloendotheliosis, defisiensi riboflavin, tuberkulosis,
histomoniasis, Newcastle Disease, AvianEncephalomyelitis, karsinoma
pada ovari dan organ lainnya, kelainan genetik pada mata, dan
kelumpuhan traumatik (CALNEK dan WITTER, 1997). Apabila dari
kriteria epizootiologi, klinis dan patologis (PA dan HP) masih belum
dapat diambil konfirmasi diagnosisnya, maka pewarnaan khusus
dengan methyl green pyronin atau Shorr’s pada preparat sentuh dari lesi
yang segar dapat dilakukan untuk melihat sitologi sel-sel tumor lebih
jelas. Disamping itu pewarnaan imunohistokimia untuk mendeteksi
antigen Marek atau teknik PCR dapat juga dilakukan untuk mendeteksi
secara spesifik DNA yang berasal dari virus Marek serotype 1
(CALNEK dan WITTER, 1997).
3.5 Imunitas, Pengendalian, dan Kontrol
Penyakit Marek tidak dapat diobati dengan efektif baik secara
individual maupun pada flok secara keseluruhan, meskipun
kesembuhan spontan dapat terjadi (CALNEK dan WITTER, 1984;
CHARLTON et al., 2000). Namun demikian kejadian penyakit Marek
dapat dicegah dengan melakukan berbagai cara, antara lain: vaksinasi,
pemilihan galur ayam yang lebih resisten terhadap Marek serta sistem
manajemen untuk meningkatkan sanitasi dan biosekuritas.
3.5.1 Vaksinasi
Sampai saat ini vaksinasi masih dianggap sebagai strategi utama
dalam mencegah penyakit Marek. Vaksin Marek dapat berbentuk
monovalen atau bivalen (CALNEK dan WITTER, 1997). Vaksin
monovalen biasanya berasal dari serotipe 1 yang diatenuasi (misalnya
Rispen) atau serotipe 3 (HVT), sedangkan vaksin bivalen biasanya
berupa gabungan serotipe 3 (HVT) dan serotipe 2 (misalnya SB-1 atau
301B) (CHARLTON et al., 2000). Vaksin bivalen ini dianggap lebih
bagus, akan tetapi menurut ALLAN et al. (1982) dan VENUGOPAL
(2000) vaksin monovalen berisi serotipe 1 adalah yang paling banyak
dipakai karena mampu melawan vvMDV dan vv+MDV. Beberapa
peternak ayam breeder lebih memilih vaksin monovalen serotipe 3
(HVT) karena harganya lebih murah. SHANE (1998) menganjurkan
agar ayam yang divaksin dengan serotipe 3 (HVT) maka disarankan
generasi berikutnya supaya divaksin dengan vaksin dari serotipe lain
untuk mencegah pengaruh antibodi maternal terhadap serotipe 3
(HVT). Selain itu, SHANE (1998) juga menambahkan bahwa khusus
untuk daerah dengan angka kejadian Marek yang tinggi, maka induk
ayam sebaiknya divaksin dengan vaksin serotipe 1, kemudian
keturunan selanjutnya divaksin dengan vaksin serotipe 3 (HVT) atau
gabungan serotipe 3 (HVT) dan serotipe 2. Vaksin Marek dapat
diberikan dengan cara menginjeksi embrio pada hari ke 18 (in ovo)
atau pada saat ayam baru menetas (sub kutan) (CHARLTON et al.,
2000). Oleh karena vaksinasi baru akan memberikan proteksi penuh
pada 7-10 hari pasca vaksinasi, maka pengawasan ketat terhadap
sanitasi amat dibutuhkan pada masa kritis ini (WITTER, 2001a). Jika
vaksinasi sudah diberikan tetapi wabah tetap terjadi maka revaksinasi
oleh vaksin sejenis percuma untuk dilakukan karena ini pertanda
bahwa ayam terserang oleh virus Marek dari jenis yang lebih virulen
(CALNEK dan WITTER, 1997; CHARLTON et al., 2000). Hal ini
memperlihatkan suatu kegagalan vaksinasi. PAYNE dan
VENUGOPAL (2000) menyatakan beberapa hal yang dapat
mengakibatkan kegagalan program vaksinasi, yaitu (1) ayam
terinfeksi oleh virus ganas sebelum vaksin bekerja sempurna dalam
tubuh ayam; (2) pembentukan respon kekebalan akibat vaksinasi
terhambat karena adanya antibodi maternal dalam tubuh ayam; (3)
ketidaksesuaian dalam aplikasi vaksin; (4) vaksin yang digunakan
berasal dari strain yang tidak protektif. Oleh karena adanya mutasi
virus Marek terjadi secara perlahan namun terus menerus maka
pengembangan vaksin diarahkan untuk memproduksi vaksin
rekombinan DNA (PAYNE dan VENUGOPAL, 2000; WITTER,
2001a dan b). Pendekatan immunomodulatory untuk meningkatkan
respon vaksin dan usaha untuk memanfaatkan sifat mutagenesis dari
galur virus Marek yang diatenuasi terus diupayakan karena beberapa
gen (terutama area U) dapat dihilangkan tanpa mempengaruhi
pertumbuhan virus (VENUGOPAL, 2000).
3.5.2 Resistensi Genetik
WITTER (2001a) menyatakan bahwa galur ayam dapat diseleksi
menjadi lebih resisten terhadap Marek melalui lokus B pada gen MHC
dan genome mapping yang menghasilkan Quantitative Trait Loci
(QTL) 14. Alternatif lain yaitu mentransfer gen asing dengan cara
menyisipkan gen virus Marek pada genom ayam sehingga terjadi
superinfeksi antigen protektif virus Marek (VENUGOPAL, 2000).
3.5.3 Sistem Manajemen
Menurut WITTER (2001b) penerapan sistem manajemen yang
semata-mata mengutamakan peningkatan produksi ayam dapat
mendukung terjadinya mutasi virus Marek. Dalam hal ini beberapa
contoh penerapan manajemen yang kurang baik, yaitu (1) kepadatan
populasi ayam terlalu tinggi sehingga ayam menjadi stres; (2) umur
ayam beragam (tidak memakai sistem all in all out); (3) vaksin tidak
sesuai, baik jenis maupun dosisnya (subprotektif/over protektif); (4)
desinfeksi kandang tidak dilakukan setiap kali selesai satu siklus
produksi; (5) biosekuritas tidak dijalankan dengan ketat, terutama
pada saat kritis dimana ayam baru lepas dari tetasan. Eradikasi
penyakit Marek sudah lama diusahakan akan tetapi sangat sulit, mahal
dan tidak efisien untuk dipraktekkan. Upaya-upaya tersebut seperti
menutup area kandang dengan sistem penyaringan udara; penggunaan
ayam specific pathogen free (SPF); desinfeksi kandang setiap kali
selesai siklus produksi dan pemanfaatan materi transgenik untuk
memblok replikasi virus secara in vivo (ALLAN et al., 1982;
WITTER, 2001b).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan