“HERPESVIRUS”
OLEH :
KELOMPOK 2
YOLANDA HENDRIKA LOPEZ KABOSU (1609010021)
YUSTINA INDRAWATI (1609010030)
MARIA MELANNY OVERA (1609010042)
ANDIANUS FRANSISKUS SURAK (1609010044)
Virus adalah mikroorganisme yang sangat aktif jika berada dalam sel inang. virus terdiri dari
dua jenis yaitu virus yang memiliki asam nukleat berupa DNA dan RNA. Virus DNA yaitu
papovirus, adenovirus, herpesvirus, poxvirus, parvovirus, dan hepadna. Pada resume ini
membahas tentang herpesvirus yang menyerang hewan, baik hewan besar maupun unggas.
Hal-hal yang dibahas adalah mengenai klasifikasi umum, karakteristik virion, replikasi virus
dan jenis jenis penyakit yang disebabkan oleh herpesvirus. Penyakit yang disebabkan oleh
herpesvirus terdapat beberapa jenis, namun pada resume ini hanya membahas 5 penyakit yaitu
Bovine Herpesvirus 1 (Infectious Bovine Rhinotracheitis and Infectious Pustular
Vulvovaginitis Viruses ), Bovine Herpesvirus 5 (Bovine Encephalitis Virus), Equid
Herpesvirus 1 (Equine Abortion), Malignant Catarrhal Fever Caused by Alcephine Herpesvirus
1 and Ovine Herpesvirus 2 dan Mareks diseases yang disebabakan oleh herpesvirus 2. Untuk
lebih memahami ke-5 penyakit tersebut akan dibahas mengenai gejala klinis, epidemologi,
patogenesis dan patologi, diagnosis serta imunitas, pengendalian dan kontrol.
TUJUAN
Tujuan dari resume ini adalah mampu menjelaskan aspek etiologi, gejala klinis, dan
epidemiologi, patogenesis dan patologi, diagnosis, imunitas, revensi dan pengendalian penyakit
virus yang berasal dari famili herpesviridae.
PEMBAHASAN
HERPESVIRUS
KLASIFIKASI
Famili Herpesviridae yang mencakup virus herpes dari mamalia, burung, dan reptil
Subfamili Alphaherpesvirinae
• Genus Simplexvirus : human herpesvirus 1 (herpes simplex virus 1)
• Genus Varicellovirus : human herpesvirus 3 (varicella-zoster virus)
• Genus Mardivirus : gallid herpesvirus 2 (Marek’s disease virus)
• Genus Iltovirus : gallid herpesvirus 1 (infectious laryngotracheitis virus)
Subfamili Betaherpesvirinae
• Genus Cytomegalovirus
• Genus Muromegalovirus
• Genus Proboscivirus
• Genus Roseolovirus
Subfamili Gammaherpesvirinae
• Genus Lymphocryptovirus
• Genus Macavirus
• Genus Percavirus
• Genus Rhadinovirus
Famili Alloherpesiridae yang mencakup herpesvirus ikan dan katak
Famili Malacoherpesviridae yang mengandung virus tiram (bivalve)
KARAKTERISTIK VIRION
Herpesvirus terdiri dari inti, kapsid dan tegumen. Herpesvirus mempunyai ukuran yang
bermacam-macam dengan kisaran 120-125 nm untuk diameternya. Genom adalah double
straine DNA. Replikasi terjadi di nukleus. Gen virus awal (α, β, dan γ), gen awal dan gen hasil
mengatur transkripsi dari gen sebelumnya. Replikasi dan pembungkusan (encapsidation)
terjadi di nukleus. Amplop diperoleh dari penyatuan lapisan dalam dari nukleus di bagian
amplop. Infeksi benda inklusi intranuklear bersifat eosinofilik. Infeksi menjadi tersembunyi /
tidak terlihat, kambuh / timbul kembali, dan berselang atau berkelanjutan dengan menyebar /
penyebaran virus.
Sumber : Fenner’s Veterinary Virology Fourth Edition. Maclachan, J. N. 2011.
Gambar 1. Morfologi herpesvirus. (Kiri) Rekonstruksi kapsul human herpesvirus 1(HHV-1)
yang dihasilkan dari gambar mikroskop cryo-elektron. Dilihat 2 kali lipat panjang sumbu.
Hexon diperlihatkan dengan warna biru, penton berwarna merah, dan triplex berwarna hijau.
(Courtesy of W. Chiu dan H. Zhou).(Tengah) skema representasi virion dengan diameter dalam
nm. (G) genom, (C) kapsid, (T) tegument, (E) amplop. (Kanan) gambar mikroskop cryo-
elektron dari virion HHV-1. (Direproduksi dari Rixon (1993) dengan izin dari Elsevier). [Dari
Taksonomi virus : laporan kedelapan dari komite internasionan untuk taksonomi virus (C. M
Fauquet, M.A.Mayo, J. Maniloff, U. Desselberger, L. A. Ball, eds), hal 193. Copyright Elsevier
(2005), with permission.]
JENIS-JENIS HERPESVIRUS
1.2 Epidemologi
Bovine Herpesvirus-1 (BHV-1) dan penyakit yang diakibatkannya terjadi di seluruh dunia,
walaupun beberapa negara di Uni Eropa baru-baru ini membasmi virus tersebut (termasuk
Denmark, Finlandia, Swedia, Swiss, dan Austria), dan pemberantasan sedang dilakukan
dibeberapa negara lain. Bovine Herpesvirus-1 (BHV-1) merupakan penyebab penyakit pada
sapi yang secara signifikan merugikan. Penyakit ini mempunyai morbiditas tinggi dan
mortalitas rendah.
Kejadian klinis yang berat tergantung kepada jenis jalur virus yang menginfeksi, status
imunologik hewan, keadaan lingkungan, infeksi sekunder dan umur hewan. Faktor-faktor
tersebut dapat menyebabkan sindrom pernapasan kompleks yang disebut sebagai “demam
pengapalan” (shipping fever). Sindrom ini merupakan ciri khas infeksi BHV-1 yang diikuti
dengan infeksi sekunder (biasanya bakteri Pasteurella haemolytica) yang mungkin dapat
berpotensi menghasilkan pneumonia yang fatal. Meskipun jarang, IBR dapat terjadi pada pedet
dan menyebabkan penyakit pernapasan yang ganas atau penyakit sistemik yang fatal dan cepat
menimbulkan kematian. Infeksi BHV-1 pada sapi yang baru lahir mungkin disebabkan oleh
kekurangan antibodi maternal dan komplikasi dengan faktor manajemen. Bila gejala klinis
pernapasan pada sapi bunting terus berlanjut, sudah dapat dipastikan sekitar 25% ternak
bunting akan mengalami keguguran. Lamanya masa inkubasi pada sapi bunting terjadi
keguguran antara 3-6 minggu dan paling sering terjadi pada usia kebuntingan 5 dan 8 bulan.
1.3 Patogenesis dan Patologi
1.4 Diagnosis
Diagnosis penyakit yang disebabkan oleh virus BHV-1 dapat dilakukan dengan berbagai cara,
yaitu dengan isolasi dan identifikasi virus dari sampel, uji serologi, pemeriksaan immunoassay,
serta pendeteksian genetik material melalui teknik molekuler biologi.
Subtipe bovine herpesvirus1 sebelumnya dikaitkan dengan ensefalitis, terutama di antara sapi
di Argentina, Brasil, dan Australia.Subtipe bovine herpesvirus telah diubah namanya menjadi
bovine herpesvirus 5. Ensefalitis yang disebabkan oleh virus herpes telah diketahui di beberapa
negara sebagai meningoencephalitis fatal pada anak sapi.Penyakit ini diperkirakan berasal dari
penyebaran saraf langsung dari rongga hidung, faring, dan amandel melalui cabang maksila
dan mandibular saraf trigeminal.Lesi awalnya terjadi di otak tengah dan kemudian melibatkan
seluruh otak.Karena hubungan antigenik yang erat dengan virus bovine herpesvirus 1 dan 5,
vaksin bovine herpesvirus 1 bersifat protektif terhadap infeksi virus bovine herpesvirus 5.
2.1 Gejala Klinis
Gejala klinis syaraf ditandai dengan kebutaan, opisthotonus, hiperestesia, perilaku abnormal,
ataksia, koma, serta kejang. Kematian mendadak dapat terjadi pada neonatus. Penyakit subakut
hampir selalu berakibat fatal, dapat sebabkan depresi, anorexsia, dan ataksia.
2.2 Epidemologi
Bovine herpesvirus type 5 (BoHV-5) adalah agen penyebab utama non-supuratif
meningoencephalitis pada sapi muda. Virus ini pertama kali diisolasi pada tahun 1962 dari
wabah penyakit neurologis di Australia. Setelah itu, virus tersebut telah diidentifikasi secara
sporadis dalam kasus meningoensefalitis di negara ini, di Amerika Serikat dan di Eropa.
Namun, penyakit ini memiliki kejadian yang tinggi di negara-negara Amerika Selatan, terutama
di Brasil Tengah dan Selatan serta Argentina. Alasan penyebaran geografis kasus neurologis
yang tidak jelas ini tidak diketahui.
BoHV-5 secara genetis dan antigen berhubungan dengan virus herpesvirus tipe 1 (BoHV-1),
virus yang bertanggung jawab untuk berbagai sindrom klinis, termasuk penyakit pernafasan,
konjungtivitis, aborsi dan infeksi genital.
2.4 Diagnosis
Antibodi monoklonal spesifik tersedia untuk BHV-5 dan dapat digunakan dengan pewarnaan
imunoperoksidase pada jaringan. PCR juga tersedia. Antibodi terhadap BHV-5 dapat dideteksi
dengan menggunakan sebagian besar peralatan ELISA yang dirancang untuk BHV-1 karena
kemiripan antigenik kedua virus tersebut.
Lesi mikroskopis yang menciri berupa bronkiolitis dan pneumonitis interstisial, nekrosis parah
pada limpa dan nekrosis hati dan kelenjar adrenal dan adanya badan inklusi intranuklear
herpesvirus yang khas dalam lesi.
Equid herpesvirus 1 encephalomyelitis bukan hasil dariinfeksi neuron atau sel glia. Sebaliknya,
lesi berasal dariinfeksi virus dan replikasi pada sel endotel yang melapisi arteriol otak dan
sumsum tulang belakang.
Lesi ditandai oleh vaskulitis dengan trombosis dan nekrosis iskemikjaringan saraf yang
berdekatan. Lesi bersifat fokal dan identifikasi merekamungkin memerlukan pemeriksaan
menyeluruh terhadapotak dan sumsum tulang belakang kuda yang terkena dampak. Daerah
yang terkena ditandai oleh adanya perdarahan yang terdistribusi secara acak di dalam otak dan
atau sumsum tulang belakang kuda pebederita. Baru-baru ini, satu polimorfisme nukleotida
yang sesuaike satu perubahan asam amino dalam polymerase enzim (dikodekan dengan bingkai
bacaan, open reading frame, 30) telah diduga terkait dengan peningkatan neurovirulence dari
equidherpesvirus1; Namun, perubahan ini tidak ada pada semua virusterisolasi dari kasus
encephalomyelitis dan juga hadirdi beberapa strain yang samaherpesvirus 1 yang telah diisolasi
dari kuda tanpa penyakit neurologis.
3.3 Diagnosis
Diagnosisinfeksi herpesvirus 1 secara bersamaan biasanya dimulai dengan presentasi klinis
khas abortus. Diagnosis dapat segera dikonfirmasi dengan pewarnaan imunohistokimia
menggunakan antisera spesifik equidherpesvirus 1. Diagnosis pasti aborsi equid herpesvirus 1
bergantung pada identifikasi virus baik dengan virus specific PCR ataudengan isolasi virus.
Sampel yang lebih disukai untuk deteksi virusadalah paru-paru janin, timus, dan
limpa.Identifikasi dariPenyebab virus penting karena, meski abortus memangbiasanya
berhubungan dengan equidherpesvirus 1, kasus sporadisdisebabkan oleh infeksi
equidherpesvirus 4. Antibodi yang meningkat pada tes enzyme-linked immunosorbent pada
kuda yang terkena dapat digunakan untuk konfirmasi abortusequid herpesvirus 1.
Malignant catarrhal fever (MCF) merupakan penyakit degeneratif dan limfoproliferatif yang
bersifat sangat fatal dan menyerang sapi dan beberapa ruminansia liar lainnya (rusa, bison,),
terutama yang mempengaruhi jaringan limfoid dan lapisan mukosa saluran pernapasan dan
saluran pencernaan. Dua pola epidemiologi infeksi yang berbeda diketahui, dari hanya satu
yang memiliki virus herpes telah diisolasi. Di Afrika (dan di dalam dan di sekitar kebun
binatang), epizootik penyakit terjadi pada ternak (dan ruminansia liar yang tertawan dan rentan)
setelah transmisi virus penyebab dari wildebeest (Connochaetes gnu dan C. taurinus) terutama
saat melahirkan. Virus herpes (alcelaphine herpesvirus 1) telah diisolasi dari bentuk malignant
catarrhal fever Afrika.
Di luar Afrika dan kebun binatang, penyakit yang ditujukan pada malignant catarrhal fever
pada sapi, bison, dan rusa disebabkan oleh herpesvirus herpes 2 saat spesies ini disimpan
berdekatan dengan domba pembawa. Bentuk Malignant catarrhal fever yang terkait dengan
domba ini dapat ditularkan melalui inokulasi sapi atau bison dengan sejumlah besar darah dari
hewan yang terkena dampak klinis atau oleh aerosol ke sapi atau bison dengan sekresi hidung
dari domba yang mengalami episode penumpahan virus. Faktor iklim dapat mempengaruhi
efisiensi transmisi heroinvirus peternak 2 dari domba reservoir ke spesies rentan seperti bison.
Ovine herpesvirus 2 belum diisolasi. Genom heroinvirus 2, seperti herpesvirus 1, telah
diurutkan sepenuhnya, menunjukkan bahwa mereka terkait erat dengan virus herpes.
4.3 Diagnosis
Untuk diagnosis Malignant Catarrhal Fever (MCF) yaitu teknik biologi molekular seperti PCR
juga dimanfaatkan untuk mendiagnosa MCF baik WA-MCF maupun SA-MCF.
Wildebeest associated MCF-Alcelaphine herpesvirus 1dilakukan dengan teknik isolasi dapat
diisolasi dari perifer yang dicuci leukosit darah pada sel tiroid anak sapi. Inokulum bebas sel
juga menghasilkan virus Ovine herpesvirus 2 belum disebarkanSheep associated MCF-Ovine
Herpesvirus 2.
Dalam kultur sel, namun keberadaan virus ini bisa ditunjukkan dengan uji PCR spesifik virus.
Pengujian ini Mudah bisa mendeteksi DNA virus penyebab SA-MCF dapat di deteksi pada
pheripheral blood leucocyite (PBL) yang terdapat di jaringan hewan yang sakit Malignant
Catarrhal Fever.
Penyakit Marek adalah suatu penyakit neoplastik dan neuropathic pada unggas, terutama ayam
yang disebabkan oleh herpesvirus 1 yang bersifat onkogenik (dapat menimbulkan tumor),
sangat menular dan limfoproliferatif (CALNEK dan WITTER, 1997). Virus ini bersifat cell-
associated karena sulit bertahan di luar sel induk semangnya. Penyakit ini pertama kali
dilaporkan oleh seorang ahli patologi dari Hungaria bernama Jozsef Marek pada tahun 1907
yang menemukan ayam menderita paralisis berhubungan dengan polyneuritis dengan gejala
utama berupa kerusakan saraf. Penyakit ini kemudian diketahui tersebar luas di berbagai negara
seperti tercatat di Amerika kerugian akibat penyakit per tahun sebelum adanya program
vaksinasi mencapai 150 juta dollar (FENNER et al., 1987). Di luar negeri, pada periode antara
tahun 1950 hingga 1960, kejadian Marek dilaporkan di banyak negara sehingga banyak sekali
penelitian yang dilakukan pada periode tersebut. Infeksi buatan berhasil dilakukan pada tahun
1962 dan agen penyebabnya
diisolasi dan diidentifikasi pada tahun 1967. Pada tahun-tahun selanjutnya kejadian Marek
(mortalitas 30−60%) dapat ditekan secara drastis dengan ditemukannya vaksin Marek pada
tahun 1971. Meskipun demikian, penyakit ini tetap ditakuti oleh peternak komersial karena
sejak tahun 1980 kejadian Marek secara sporadis masih dapat terjadi pada ayam-ayam yang
telah divaksinasi. Hal ini disebabkan oleh adanya evolusi virus yang dapat memunculkan galur-
galur virus baru yang lebih virulen (CALNEK dan WITTER, 1997; PAYNE dan
VENUGOPAL, 2000;CHARLTON et al., 2000).
5.2 Epidemologi
Penyakit Marek yang disebabkan oleh virus herpes serotipe 1 paling sering menyerang ayam
yang berusia muda (PAYNE dan VENUGOPAL, 2000) dan secara eksperimental dapat
menginfeksi kalkun, burung puyuh dan itik (HUNGERFORD, 1969). Manifestasi penyakit
sangat bervariasi karena dalam satu flok ayam dapat terserang oleh satu atau kombinasi dari
beberapa galur virus Marek (ALLAN et al., 1982). Virus Marek ditularkan secara horizontal
langsung maupun tidak langsung melalui sel epitel pada folikel bulu yang mengandung virus
dan mengkontaminasi udara, kandang, peralatan dan petugas kandang (SHANE, 1998). Lebih
jauh SHANE (1998) menambahkan bahwa virus ini sangat tahan terhadap lingkungan sehingga
dapat bertahan hingga akhir siklus produksi. Selain ditemukan pada folikel bulu, virus juga
ditemukan pada darah, mulut, hidung, mukosa trachea dan kloaka, tetapi penularan yang efektif
terjadi melalui saluran pernapasan (ALLAN et al., 1982). Masa inkubasi penyakit dapat
diketahui dengan melakukan infeksi buatan, yaitu + 2 minggu dengan derajat viremia tertinggi
dicapai pada 3−5 minggu pasca infeksi (CALNEK dan WITTER, 1997). Manifestasi gejala
klinis dan patologis sangat dipengaruhi oleh galur virus, dosis, rute infeksi, galur ayam, umur
ayam, jenis kelamin ayam dan status kekebalan ayam saat terjadi infeksi (ALLAN et al., 1982).
Menurut PAYNE dan VENUGOPAL (2000) angka kejadian Marek jenis akut mencapai
10−30% dan dapat mencapai 70% pada saat wabah. Sedangkan pada Marek jenis klasik angka
kematiannya berkisar antara 10 − 15%.
Kejadian Marek tersebar di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia (IDERIS, 1993).
Menurut data yang ada di Balitvet Marek sudah dikenal di Indonesia sejak tahun 1956
meskipun wabah Marek baru mendapat perhatian pada tahun 1972. Sebagai laboratorium
rujukan nasional Balitvet setiap tahun menerima sampel yang dicurigai sebagai Marek ataupun
leukosis kompleks yang lain. GINTING dan RADJAGUKGUK (1980) melaporkan bahwa
pada tahun 1972 − 1976 kasus Marek yang didiagnosis di bagian Patologi - Balitvet berkisar
antara 9,96% − 24,48% dari 596 sampel yang diperiksa. Sementara itu penelitian di daerah
Bogor dan sekitarnya menunjukkan bahwa dari 51 kasus dengan leukosis kompleks, 38 (74,5%)
merupakan Marek (HAMID, 1984). Sementara itu HUMINTO et al., (2000) melaporkan
tentang kasus Marek yang terdiri atas tujuh kasus yang berasal dari peternakan ayam ras petelur
(26 hari − 28 minggu) yang sudah divaksin terhadap Marek dan satu kasus yang berasal dari
peternakan ayam kampung (16 minggu) yang dipelihara secara intensif. Kedelapan sampel
tersebut berasal dari flok yang berbeda dan didiagnosis di laboratorium Patologi FKH-IPB.
Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan tumor limfoid di ovarium dan sejumlah organ
viseral sehingga menghambat perkembangan folikel telur dan laju pertumbuhan badan serta
menimbulkan kelumpuhan dan kematian. Selain itu berbagai kerusakan jaringan pada organ
viseral dapat mengganggu pola konsumsi, digesti, absorbsi dan metabolisme nutrisi sehingga
secara tidak langsung akan menghambat produksi dan penambahan bobot badan (FATIMAH,
2000).
Gambar 9. Hati dengan infiltrasi sel tumor (limfoid, pleomorfik) HE, 10x10
Gambar 10. Proventrikulus dengan infiltrasi sel tumor (limfoid, pleomorfik), HE 4x10
Gambar 11. Otak dengan demyelinasi segmental, HE, 4x10
5.4 Diagnosis
Penentuan diagnosis terhadap penyakit Marek berpedoman pada aspek epizootiologi, klinis dan
patologis. Menurut RIDDELL (1996) gambaran histopatologi Marek dan Lymphoid Leukosis
akan sulit untuk dibedakan apabila lesi limfoproliferatif kedua penyakit tidak jelas (subtle),
sehingga perlu ditelusuri lesi serupa yang berada pada organ non limfoid. Ditinjau dari gejala
syaraf dan kelainan pasca mati, Marek dapat dikacaukan dengan Lymphoid Leukosis, Erythroid
Leukosis, Myeloid Leukosis, Reticuloendotheliosis, defisiensi riboflavin, tuberkulosis,
histomoniasis, Newcastle Disease, Avian Encephalomyelitis, karsinoma pada ovari dan organ
lainnya, kelainan genetik pada mata, dan kelumpuhan traumatik (CALNEK dan WITTER,
1997).
Apabila dari kriteria epizootiologi, klinis dan patologis (PA dan HP) masih belum dapat diambil
konfirmasi diagnosisnya, maka pewarnaan khusus dengan methyl green pyronin atau Shorr’s
pada preparat sentuh dari lesi yang segar dapat dilakukan untuk melihat sitologi sel-sel tumor
lebih jelas. Disamping itu pewarnaan imunohistokimia untuk mendeteksi antigen Marek atau
teknik PCR dapat juga dilakukan untuk mendeteksi secara spesifik DNA yang berasal dari virus
Marek serotype 1 (CALNEK dan WITTER, 1997).
1. Adjid, A.M.R., Saepulloh, M. 2010. Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis Pada Sapi
di Indonesia dan Strategi Pengendaliannya. Bogor: Balai Besar Penelitian Veteriner.
2. ALLAN, W.H., D.J. ALEXANDER, P.M. BIGGS, R.F. GORDON, F.T.W. JORDAN and
J.B. MCFERRAN. 1982. Viral Diseases. In: Poultry Diseases. 2nd Ed. R.F. GORDON
and F.T.W. JORDAN (Eds.). Bailliere Tindall, London. pp. 76-96.
3. BAINS, B.S. 1979. A Manual of Poultry Diseases. F. Hoffmann. La Roche and Co. Basle,
Switzerland.
4. BECKER, Y., Y ASHER, E. TABOR, I. DAVIDSON, M.MALKINSON dan Y.
WEISMAN. 1992. Polymerase chain reaction for differentiation between pathogenic and
nonpathogenic serotype 1 Marek’s disease viruses (MDV) and vaccine viruses of MDV
serotypes 2 and 3. J. Virolog. Methods 40: 306-322.
5. CALNEK, B.W. and R.L. WITTER. 1997. Marek’s Disease. In: Diseases of Poultry. 10th
Ed. B.W. CALNEK, H.J. BARNES, C.W. BEARD, L.R. MC DOUGALD and Y. M. SAIF
(Eds.). Iowa State University Press. Ames, Iowa. USA. pp. 369-398.
6. CHARLTON, B.R., A.J. BERMUDEZ, M. BODIANNE, D.A. HALVORSON, J.S.
JEFFREY, L.J. NEWMAN, J.E. SANDER and P.S. WAKENEL. 2000. Avian Viral
Tumor. In: Avian Disease Manual. 5th Ed. pp. 22-31.
7. Maclachan, J. N. 2011. Fener’s Veterinary Virology Fourth Edition. Academic Press.
London.
8. http://en.wikivet.net/Bovine_Herpesvirus_5, diakses 24 Februari 2018.2011.Veterinary
Virology 4th. USA: Academic Press.179-201.
Latihan Soal
Pilihan Ganda
8. Teknik pengendalian penyakit dan kontrol terhadap infeksi equine herpesvirus I yang
benar adalah
a. Vaksin aktif dan tidak aktif
b. Vaksin aktif dan tidak aktif namun vaksin aktif lebih efektif digunakan selama wabah
abortus
c. Vaksin aktif dan tidak aktif namun vaksin tidak aktif lebih efektif digunakan selama
wabah abortus
d. Pemisahan gen yang resisten
10. Menurut RIDDELL (1996) membagi Marek atas tiga kelompok yaitu
a. Marek Klasik, Marek Akut, Marek Perakut
b. Marek Klasik, Marek Akut, Marek Otak
c. Marek Otak, Marek Opthalmitis, Marek Sederhana
d. Marek Klasik, Marek Otak, Marek Opthalmitis
Isian
1. Gejala klinis yang ditimbulkan Malignant catarrhal fever (MCF) ?
2. Bagaimana pengendalian dan kontrol pada penyakit Malignant catarrhal fever (MCF) ?
Pertanyaan
Penanya : Agata Sada Ua (NIM : 1609010043)
Protein tegumen fungsinya untuk apa ?