Anda di halaman 1dari 28

ILMU PENYAKIT VIRAL

“HERPESVIRUS”

OLEH :
KELOMPOK 2
YOLANDA HENDRIKA LOPEZ KABOSU (1609010021)
YUSTINA INDRAWATI (1609010030)
MARIA MELANNY OVERA (1609010042)
ANDIANUS FRANSISKUS SURAK (1609010044)

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2018
PENDAHULUAN

Virus adalah mikroorganisme yang sangat aktif jika berada dalam sel inang. virus terdiri dari
dua jenis yaitu virus yang memiliki asam nukleat berupa DNA dan RNA. Virus DNA yaitu
papovirus, adenovirus, herpesvirus, poxvirus, parvovirus, dan hepadna. Pada resume ini
membahas tentang herpesvirus yang menyerang hewan, baik hewan besar maupun unggas.
Hal-hal yang dibahas adalah mengenai klasifikasi umum, karakteristik virion, replikasi virus
dan jenis jenis penyakit yang disebabkan oleh herpesvirus. Penyakit yang disebabkan oleh
herpesvirus terdapat beberapa jenis, namun pada resume ini hanya membahas 5 penyakit yaitu
Bovine Herpesvirus 1 (Infectious Bovine Rhinotracheitis and Infectious Pustular
Vulvovaginitis Viruses ), Bovine Herpesvirus 5 (Bovine Encephalitis Virus), Equid
Herpesvirus 1 (Equine Abortion), Malignant Catarrhal Fever Caused by Alcephine Herpesvirus
1 and Ovine Herpesvirus 2 dan Mareks diseases yang disebabakan oleh herpesvirus 2. Untuk
lebih memahami ke-5 penyakit tersebut akan dibahas mengenai gejala klinis, epidemologi,
patogenesis dan patologi, diagnosis serta imunitas, pengendalian dan kontrol.

TUJUAN

Tujuan dari resume ini adalah mampu menjelaskan aspek etiologi, gejala klinis, dan
epidemiologi, patogenesis dan patologi, diagnosis, imunitas, revensi dan pengendalian penyakit
virus yang berasal dari famili herpesviridae.
PEMBAHASAN

HERPESVIRUS

KLASIFIKASI
 Famili Herpesviridae yang mencakup virus herpes dari mamalia, burung, dan reptil
 Subfamili Alphaherpesvirinae
• Genus Simplexvirus : human herpesvirus 1 (herpes simplex virus 1)
• Genus Varicellovirus : human herpesvirus 3 (varicella-zoster virus)
• Genus Mardivirus : gallid herpesvirus 2 (Marek’s disease virus)
• Genus Iltovirus : gallid herpesvirus 1 (infectious laryngotracheitis virus)
 Subfamili Betaherpesvirinae
• Genus Cytomegalovirus
• Genus Muromegalovirus
• Genus Proboscivirus
• Genus Roseolovirus
 Subfamili Gammaherpesvirinae
• Genus Lymphocryptovirus
• Genus Macavirus
• Genus Percavirus
• Genus Rhadinovirus
 Famili Alloherpesiridae yang mencakup herpesvirus ikan dan katak
 Famili Malacoherpesviridae yang mengandung virus tiram (bivalve)

KARAKTERISTIK VIRION
Herpesvirus terdiri dari inti, kapsid dan tegumen. Herpesvirus mempunyai ukuran yang
bermacam-macam dengan kisaran 120-125 nm untuk diameternya. Genom adalah double
straine DNA. Replikasi terjadi di nukleus. Gen virus awal (α, β, dan γ), gen awal dan gen hasil
mengatur transkripsi dari gen sebelumnya. Replikasi dan pembungkusan (encapsidation)
terjadi di nukleus. Amplop diperoleh dari penyatuan lapisan dalam dari nukleus di bagian
amplop. Infeksi benda inklusi intranuklear bersifat eosinofilik. Infeksi menjadi tersembunyi /
tidak terlihat, kambuh / timbul kembali, dan berselang atau berkelanjutan dengan menyebar /
penyebaran virus.
Sumber : Fenner’s Veterinary Virology Fourth Edition. Maclachan, J. N. 2011.
Gambar 1. Morfologi herpesvirus. (Kiri) Rekonstruksi kapsul human herpesvirus 1(HHV-1)
yang dihasilkan dari gambar mikroskop cryo-elektron. Dilihat 2 kali lipat panjang sumbu.
Hexon diperlihatkan dengan warna biru, penton berwarna merah, dan triplex berwarna hijau.
(Courtesy of W. Chiu dan H. Zhou).(Tengah) skema representasi virion dengan diameter dalam
nm. (G) genom, (C) kapsid, (T) tegument, (E) amplop. (Kanan) gambar mikroskop cryo-
elektron dari virion HHV-1. (Direproduksi dari Rixon (1993) dengan izin dari Elsevier). [Dari
Taksonomi virus : laporan kedelapan dari komite internasionan untuk taksonomi virus (C. M
Fauquet, M.A.Mayo, J. Maniloff, U. Desselberger, L. A. Ball, eds), hal 193. Copyright Elsevier
(2005), with permission.]

REPLIKASI VIRUS FAMILI HERPESVIRIDAE

Sumber : Fenner’s Veterinary Virology Fourth Edition. Maclachan, J. N. 2011.


Gambar 2. Diagram yang menggambarkan transkripsi, translasi, dan replikasi DNA dari
herpesvirus. Transkripsi dan proses akhir transkripsi dalam nukleus, translasi di sitoplasma;
beberapa dari α dan β protein terlibat dalam transkripsi dan beberapa β protein terlibat dalam
replikasi DNA. Vhs Tegumen protein dikodekan oleh gen UL41 dan menghambat sintesis
protein sel inang. VP16, dikodekan oleh gen UL48, adalah protein tegumen lain faktor
transkripsi yang masuk dalam nukleus dan segera mengaktifkan gen virus.[dari Taxonomy
virus: eighth report of the international Committee on Taxonomy of viruses (C. M Fauquet,
M.A.Mayo, J. Maniloff, U. Desselberger, L. A. Ball, eds), hal 197. Copyright Elsevier (2005),
with permission.]
a. Virus melakukan penetrasi dan kemudian melepaskan amplop (uncoating).
b. Nukleokapsid akan masuk ke inti sel (nukleus).
c. Protein tegument dari virus yang dikodekan oleh gen UL41 (vsh) akan menghambat
sintesis protein sel inang.
d. Protein tegument dari virus yang dikodekan oleh gen UL48 (VP16) akan masuk bersama
nukleokapsid ke nukleus untuk mengaktifkan gel awal.
e. Gen awal (α dan β) RNA ini akan dibentuk oleh DNA awal yang dibantu oleh RNA
polimerase II.
f. α RNA akan membentuk α protein. α protein ini juga jika, dibantu oleh RNA polimerase
II membentuk β RNA yang nantinya akan membentuk β protein.
g. DNA awal dapat melakukan replikasi DNA dengan bantuan β protein.
h. Replikasi DNA dapat menghasilkan DNA baru atau γ RNA.
i. γ RNA akan membentuk γ protein di sitoplasma tepatnya di ribosom.
j. γ protein dapat membentuk kapsid di membran sitoplasma dan membran nukleus. Serta, γ
protein juga akan masuk ke dalam nukleus untuk membentuk DNA virus baru.
k. DNA baru yang ada di nukleus akan diregresi dan menyatu dengan kapsid membentuk
virus baru.

JENIS-JENIS HERPESVIRUS

1 Bovine Herpesvirus 1 (Infectious Bovine Rhinotracheitis and Infectious Pustula


Vulvovaginitis viruses)

1.1 Gejala klinis


Berdasarkan gejala klinisnya, agen penyebab penyakit virus BHV-1, terbagi menjadi 2 subtipe,
yaitu subtipe 1 dan subtipe 2. Virus BHV-1 subtipe 1 berhubungan dengan jalur yang dapat
menyebabkan gangguan pernapasan, sedangkan subtipe 2 adalah galur yang dapat
menyebabkan gangguan genital seperti Infectious Pustular Vulvovaginalis (IPV) dan Infectious
Pustular Balanoposthitis (IPB).
1.1.1 Gangguan pernapasan
Virus masuk ke dalam saluran pernapasan umumnya melalui udara. Utamanya, infeksi terjadi
pada saluran pernapasan bagian atas, tetapi kadang-kadang juga terjadi pada bagian bawah
paru-paru. Setelah berinkubasi selama 2-3 hari, ternak akan demam yang diikuti dengan
peningkatan frekuensi pernapasan, anoreksia, penurunan produksi susu (pada sapi perah), serta
menjadi kurus. Dalam jangka waktu satu atau dua hari, terbentuk leleran hidung encer dan
hidung tampak kemerahan.

Gambar 3. gangguan pernapasan


(terbentuk leleran hidung encer dan hidung tampak kemerahan)

1.1.2 Gangguan reproduksi


Infectious Pustular Vulvovaginalis (IPV) merupakan infeksi vagina dan vulva yang ditandai
dengan ekor tidak kembali ke posisi biasa. Kemudian timbul pustula (berdiameter 1-2 mm)
yang menyebar melalui permukaan mukosa dan kadang-kadang disertai dengan leleran
mukopurulen. Pustula yang lama, pecah meninggalkan bercak berwarna merah muda yang
mengikis lokasi infeksi. Pada IPV, leleran hidung tidak tampak jelas (Figure 9.6).

Sumber : Fenner’s Veterinary Virology Fourth Edition. Maclachan, J. N. 2011.


Gambar 4. Gangguan pada organ reproduksi betina : Infectious Pustular Vulvovaginalis
(IPV)
Pada ternak jantan, penyakit Infectious Pustular Balanoposthitis (IPB) berkembang setelah
masa inkubasi 1-3 hari yang ditandai dengan lesi pustula yang menyebar pada penis, timbulnya
eksudat kecil dan demam.

Gambar 5. Gangguan pada organ reprosuksi jantan : Infectious Pustular Balanoposthitis


(IPB)

1.2 Epidemologi
Bovine Herpesvirus-1 (BHV-1) dan penyakit yang diakibatkannya terjadi di seluruh dunia,
walaupun beberapa negara di Uni Eropa baru-baru ini membasmi virus tersebut (termasuk
Denmark, Finlandia, Swedia, Swiss, dan Austria), dan pemberantasan sedang dilakukan
dibeberapa negara lain. Bovine Herpesvirus-1 (BHV-1) merupakan penyebab penyakit pada
sapi yang secara signifikan merugikan. Penyakit ini mempunyai morbiditas tinggi dan
mortalitas rendah.
Kejadian klinis yang berat tergantung kepada jenis jalur virus yang menginfeksi, status
imunologik hewan, keadaan lingkungan, infeksi sekunder dan umur hewan. Faktor-faktor
tersebut dapat menyebabkan sindrom pernapasan kompleks yang disebut sebagai “demam
pengapalan” (shipping fever). Sindrom ini merupakan ciri khas infeksi BHV-1 yang diikuti
dengan infeksi sekunder (biasanya bakteri Pasteurella haemolytica) yang mungkin dapat
berpotensi menghasilkan pneumonia yang fatal. Meskipun jarang, IBR dapat terjadi pada pedet
dan menyebabkan penyakit pernapasan yang ganas atau penyakit sistemik yang fatal dan cepat
menimbulkan kematian. Infeksi BHV-1 pada sapi yang baru lahir mungkin disebabkan oleh
kekurangan antibodi maternal dan komplikasi dengan faktor manajemen. Bila gejala klinis
pernapasan pada sapi bunting terus berlanjut, sudah dapat dipastikan sekitar 25% ternak
bunting akan mengalami keguguran. Lamanya masa inkubasi pada sapi bunting terjadi
keguguran antara 3-6 minggu dan paling sering terjadi pada usia kebuntingan 5 dan 8 bulan.
1.3 Patogenesis dan Patologi

1.3.1 Melalui saluran pernafasan


Penularan langsung melalui pernafasan dari virus BHV-1 sangat mudah dari satu ternak ke
ternak lain atau dari kelompok satu ke kelompok lainnya. Hal ini dkarenakan penyebaran virus
dalam jumlah yang sangat banyak pada saluran pernapasan, mata, dan saluran reproduksi sapi
yang terinfeksi. Virus dapat menyebar melalui sekresi hidung atau percikan yang mengandung
virus. Akibat mekanisme penyebaran virus yang demikian, maka kontak langsung antar hewan
merupakan risiko transmisi yang sangat tinggi. Pada penggemukan sapi yang penuh sesak, dan
bercampurnya ternak satu dengan yang lain mengakibatkan penyebaran virus akan lebih efektif.

1.3.2 Melalui semen


Pada hewan jantan yang memperlihatkan balanopostitis atau pada kondisi laten (virus terdedah
tanpa ada gejala klinis), maka semen menjadi sumber penularan virus yang sangat potensial.
BHV-1 dapat menyebar melalui kawin alam atau kawin buatan melalui IB.

1.4 Diagnosis
Diagnosis penyakit yang disebabkan oleh virus BHV-1 dapat dilakukan dengan berbagai cara,
yaitu dengan isolasi dan identifikasi virus dari sampel, uji serologi, pemeriksaan immunoassay,
serta pendeteksian genetik material melalui teknik molekuler biologi.

1.4.1 Isolasi virus


Bovine herpesvirus-1 seringkali ditemukan pada mukosa hidung, mata dan preputium pada
kasus balanopostitis. Pada kasus balanopostitis, semen merupakan bagian yang sering
terkontaminasi oleh BHV-1 selama proses ejakulasi. Hal ini terjadi karena pada sapi yang
terinfeksi BHV-1, maka virus akan bereplikasi pada bagian mukosa preputium sapi tersebut.
Teknik yang sering digunakan di laboratorium untuk mendiagnosis atau mendeteksi antigen
BHV-1 diantaranya yaitu dengan isolasi virus yang ada dalam sampel mukosa hidung, mata
atau semen pada kultur sel.

1.4.2 Uji serologi


Uji serologi dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap virus IBR dalam
darah/serum hewan. Uji serologi meliputi uji netralisasi serum dan ELISA. Pada uji netralisasi
serum, uji ini menggunakan media kultur sel dimana reaksi netralisasi antibodi oleh virus IBR
dapat diketahui, yaitu pada sel tidak terjadi efek sitofatik. Sementara uji ELISA menggunakan
reaksi enzimatik dengan indikator perubahan warna substrat.
1.4.3 Teknik immunoassay
Teknik immunofluorescence telah digunakan untuk mendeteksi BHV-1 dalam sediaan usapan
mukosa nasal, bilasan preputium, paru, dan trakhea. Kelebihan teknik ini yaitu dapat
mendeteksi BHV-1 dengan cepat.

1.4.4 Teknik molekuler biologi


Akhir-akhir ini, diagnostik virologi telah mengalami kemajuan pesat dengan dikembangkan
teknik asam nukleat untuk mendeteksi keberadaan virus dalam sampel yang berasal dari hewan,
baik yang menunjukkan klinis maupun normal. Hibridisasi asam nukleat dan reaksi berantai
polimerase (polymerase chain reaction = PCR) telah dikembangkan sebagai perangkat uji yang
sangat ideal dan handal untuk mendeteksi BHV-1 pada sampel karena uji tersebut sangat cepat,
sensitif dan spesifik.

1.5 Imunitas, Pengendalian dan Kontrol


Kesehatan ternak merupakan faktor kunci dalam mencapai produktivitas dan reproduktivitas
optimum sapi. Sehingga Pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit hewan
menular strategis secara komprehensif merupakan penentu pengamanan ternak sehat dan
produktif. Immunisasi atau vaksinasi dengan vaksin hidup atau vaksin Inaktif BHV-1 isolat
lapangan merupakan cara pencegahan penyakit ini. Pengendalian secara umum dilakukan
dengan regulasi penanggulangan, karantina yang ketat, isolasi hewan sakit dan penyingkiran
hewan sehat dari daerah tercemar, disinfeksi kandang dan fasilitasnya, serta tindakan sanitasi
dan higiene bagi personalia yang kontak dengan hewan penderita.

2 Bovine Herpesvirus 5 (Bovine Encephalitis Virus)

Subtipe bovine herpesvirus1 sebelumnya dikaitkan dengan ensefalitis, terutama di antara sapi
di Argentina, Brasil, dan Australia.Subtipe bovine herpesvirus telah diubah namanya menjadi
bovine herpesvirus 5. Ensefalitis yang disebabkan oleh virus herpes telah diketahui di beberapa
negara sebagai meningoencephalitis fatal pada anak sapi.Penyakit ini diperkirakan berasal dari
penyebaran saraf langsung dari rongga hidung, faring, dan amandel melalui cabang maksila
dan mandibular saraf trigeminal.Lesi awalnya terjadi di otak tengah dan kemudian melibatkan
seluruh otak.Karena hubungan antigenik yang erat dengan virus bovine herpesvirus 1 dan 5,
vaksin bovine herpesvirus 1 bersifat protektif terhadap infeksi virus bovine herpesvirus 5.
2.1 Gejala Klinis
Gejala klinis syaraf ditandai dengan kebutaan, opisthotonus, hiperestesia, perilaku abnormal,
ataksia, koma, serta kejang. Kematian mendadak dapat terjadi pada neonatus. Penyakit subakut
hampir selalu berakibat fatal, dapat sebabkan depresi, anorexsia, dan ataksia.

2.2 Epidemologi
Bovine herpesvirus type 5 (BoHV-5) adalah agen penyebab utama non-supuratif
meningoencephalitis pada sapi muda. Virus ini pertama kali diisolasi pada tahun 1962 dari
wabah penyakit neurologis di Australia. Setelah itu, virus tersebut telah diidentifikasi secara
sporadis dalam kasus meningoensefalitis di negara ini, di Amerika Serikat dan di Eropa.
Namun, penyakit ini memiliki kejadian yang tinggi di negara-negara Amerika Selatan, terutama
di Brasil Tengah dan Selatan serta Argentina. Alasan penyebaran geografis kasus neurologis
yang tidak jelas ini tidak diketahui.
BoHV-5 secara genetis dan antigen berhubungan dengan virus herpesvirus tipe 1 (BoHV-1),
virus yang bertanggung jawab untuk berbagai sindrom klinis, termasuk penyakit pernafasan,
konjungtivitis, aborsi dan infeksi genital.

2.3 Patogenesis dan Patologi


Pada bentuk pernafasan ditemukan lesi yang dimulai dari mulut, tekak, tenggorokan dan
bronchus. Apabila disertai infeksi sekunder dapat ditemukan bronchopneumonia.
Pembengkakan juga ditemukan pada kelenjar limfe retrofaringeal, bronchial dan mediastinal.
Hati pada janin bentuk genital dan keguguran menujukkan adanya radang nekrotik yang
bersifat lokal. Jaringan fetus pada umumnya mengalami autolisis. Pada bentuk neonatal
dijumpai jelas nekrosis pada kerongkongan dan lambung depan. Pedet yang mengalami
kematian pada bentuk ensefalik menunjukkan radang pada otak dan selaputnya.

2.4 Diagnosis
Antibodi monoklonal spesifik tersedia untuk BHV-5 dan dapat digunakan dengan pewarnaan
imunoperoksidase pada jaringan. PCR juga tersedia. Antibodi terhadap BHV-5 dapat dideteksi
dengan menggunakan sebagian besar peralatan ELISA yang dirancang untuk BHV-1 karena
kemiripan antigenik kedua virus tersebut.

2.5 Imunitas, Pengendalian dan Kontrol


Tidak ada vaksinasi yang tersedia untuk BHV-5 namun beberapa perlindungan silang dapat
diberikan dari beberapa vaksin BHV-1. Namun perlu dibuktikan untuk setiap vaksin yang
diberikan.
Pengendalian secara umum dapat dilakukan dengan regulasi penanggulangan, karantina yang
ketat, isolasi hewan sakit dan penyingkiran hewan sehat dari daerah tercemar, disinfeksi
kandang dan fasilitasnya, serta tindakan sanitasi dan higiene bagi personalia yang kontak
dengan hewan penderita.

3 Equid Herpesvirus 1 (Equine Abortion Virus)

3.1 Gejala Klinis dan Epidemologi


Rute utama infeksi eqid herpesvirus 1 melaluisaluran pernafasan.Setelah saluran pernapasan
terinfeksi maka terjadi viremia dan terkadang mengarah ke infeksi sistemik dan manifestasi
penyakit yang serius. Penyebab abortus pada kuda yang benar-benar rentan adalah equid
herpesvirus 1. Kasus abortus biasanya bersifat sporadis dan hanya mempengaruhi seekor kuda
betina tunggal namun jika sejumlah kuda yang rentan terkena konsepsi yang dibatalkan maka
terjadi wabah abortus yang luas. Kuda betina abortus tanpa tanda-tanda awal yang spesifik dan
janin biasanya lahir mati. Meskipun abortus biasa terjadi di awal kebuntingan namun sebagian
besar terjadi pada tiga bulan terakhir kebuntingan. Mungkin sulit untuk secara definitif
mengidentifikasi sumber virus yang bertanggung jawab terhadap penyebab wabah abortus.
Encephalomyelitis telah dikenal selama bertahun-tahunsebagai manifestasi klinis biasa dari
infeksi sistemik herpesvirus 1.Namun, wabah encephalomyelitis herpesvirus yang diindikasi
telah meningkatfrekuensi dalam beberapa tahun terakhir, terutama di Amerika
Serikat.Sejumlah trek balap besar, rumah sakit hewan, dan lainnyatempat di mana kuda
berkumpul telah ditutup dan dikarantinaKarena wabah penyakit ini.
Gejala-gejala klinis bervariasi begitu pila dengan tingkat keparahan, tergantung pada lokasi dan
luas dari lesi di dalam sistem saraf pusat, mulai dariataksia ringan dan inkontinensia urin sampai
kelumpuhan anggota tubuh dankematian.

3.2 Patogenesis dan Patologi


Janin yang mengalami abortus dapat menunjukan icterus, pewarnaan mekonium dari
integumen, cairan berlebihan(edema) distensi paru-paru, splenomegali dengan folikel limfoid
menonjol dan fokus necrosis pucat yang terlihat pada kapsul atau irisan permukaan hati.
Sumber : Fenner’s Veterinary Virology Fourth Edition. Maclachan, J. N. 2011.
Gambar 6. Herpesvirus pada kuda : pneumonia interstitial pada kuda yang mati karena
aborsi.

Lesi mikroskopis yang menciri berupa bronkiolitis dan pneumonitis interstisial, nekrosis parah
pada limpa dan nekrosis hati dan kelenjar adrenal dan adanya badan inklusi intranuklear
herpesvirus yang khas dalam lesi.
Equid herpesvirus 1 encephalomyelitis bukan hasil dariinfeksi neuron atau sel glia. Sebaliknya,
lesi berasal dariinfeksi virus dan replikasi pada sel endotel yang melapisi arteriol otak dan
sumsum tulang belakang.
Lesi ditandai oleh vaskulitis dengan trombosis dan nekrosis iskemikjaringan saraf yang
berdekatan. Lesi bersifat fokal dan identifikasi merekamungkin memerlukan pemeriksaan
menyeluruh terhadapotak dan sumsum tulang belakang kuda yang terkena dampak. Daerah
yang terkena ditandai oleh adanya perdarahan yang terdistribusi secara acak di dalam otak dan
atau sumsum tulang belakang kuda pebederita. Baru-baru ini, satu polimorfisme nukleotida
yang sesuaike satu perubahan asam amino dalam polymerase enzim (dikodekan dengan bingkai
bacaan, open reading frame, 30) telah diduga terkait dengan peningkatan neurovirulence dari
equidherpesvirus1; Namun, perubahan ini tidak ada pada semua virusterisolasi dari kasus
encephalomyelitis dan juga hadirdi beberapa strain yang samaherpesvirus 1 yang telah diisolasi
dari kuda tanpa penyakit neurologis.

3.3 Diagnosis
Diagnosisinfeksi herpesvirus 1 secara bersamaan biasanya dimulai dengan presentasi klinis
khas abortus. Diagnosis dapat segera dikonfirmasi dengan pewarnaan imunohistokimia
menggunakan antisera spesifik equidherpesvirus 1. Diagnosis pasti aborsi equid herpesvirus 1
bergantung pada identifikasi virus baik dengan virus specific PCR ataudengan isolasi virus.
Sampel yang lebih disukai untuk deteksi virusadalah paru-paru janin, timus, dan
limpa.Identifikasi dariPenyebab virus penting karena, meski abortus memangbiasanya
berhubungan dengan equidherpesvirus 1, kasus sporadisdisebabkan oleh infeksi
equidherpesvirus 4. Antibodi yang meningkat pada tes enzyme-linked immunosorbent pada
kuda yang terkena dapat digunakan untuk konfirmasi abortusequid herpesvirus 1.

3.4 Imunitas, Pengendalian dan Kontrol


Virus herpes beredar secara asimfomatik pada ternak dengan infeksi enzimatik oleh karena itu
pengendalian penyakit terkait dicapai melalui kombinasi praktik pengelolaan dan vaksinasi.
Kuda betina umumnya divaksinasi secara teratur untuk mengurangi frekuensi abortus dan
berbagai vaksin yang tidak aktif dan aktif tersedia dan banyak digunakan. Vaksinasi dengan
vaksin yang tidak aktif sering digunakan selama wabah abortus dalam upaya meminimalkan
kerugian.

4 Malignant Catarrhal Fever Caused by Alcephine Herpesvirus 1 and Ovine


Herpesvirus 2

Sumber : Courtesy of D. Knowles, Washington State University.


Gambar 7. Corneal opacity caused by malignant catarrhal fever in a bovine.

Malignant catarrhal fever (MCF) merupakan penyakit degeneratif dan limfoproliferatif yang
bersifat sangat fatal dan menyerang sapi dan beberapa ruminansia liar lainnya (rusa, bison,),
terutama yang mempengaruhi jaringan limfoid dan lapisan mukosa saluran pernapasan dan
saluran pencernaan. Dua pola epidemiologi infeksi yang berbeda diketahui, dari hanya satu
yang memiliki virus herpes telah diisolasi. Di Afrika (dan di dalam dan di sekitar kebun
binatang), epizootik penyakit terjadi pada ternak (dan ruminansia liar yang tertawan dan rentan)
setelah transmisi virus penyebab dari wildebeest (Connochaetes gnu dan C. taurinus) terutama
saat melahirkan. Virus herpes (alcelaphine herpesvirus 1) telah diisolasi dari bentuk malignant
catarrhal fever Afrika.
Di luar Afrika dan kebun binatang, penyakit yang ditujukan pada malignant catarrhal fever
pada sapi, bison, dan rusa disebabkan oleh herpesvirus herpes 2 saat spesies ini disimpan
berdekatan dengan domba pembawa. Bentuk Malignant catarrhal fever yang terkait dengan
domba ini dapat ditularkan melalui inokulasi sapi atau bison dengan sejumlah besar darah dari
hewan yang terkena dampak klinis atau oleh aerosol ke sapi atau bison dengan sekresi hidung
dari domba yang mengalami episode penumpahan virus. Faktor iklim dapat mempengaruhi
efisiensi transmisi heroinvirus peternak 2 dari domba reservoir ke spesies rentan seperti bison.
Ovine herpesvirus 2 belum diisolasi. Genom heroinvirus 2, seperti herpesvirus 1, telah
diurutkan sepenuhnya, menunjukkan bahwa mereka terkait erat dengan virus herpes.

4.1 Gejala Klinis dan Epidemologi


Virus herpes yaitu ovine herpesvirus 2 dan alcelaphine herpesvirus 1 menyebabkan sindrom
dan lesi penyakit serupa pada host yang rentan secara klinis. Secara umum, masa inkubasi
sekitar 3-4 minggu, Malignant catarrhal fever (MCF) ditandai dengan demam, depresi, eksudat
kental dari mata dan hidung, kelainan atau kebutaan kornea (Gambar 1.1), beberapa
manifestasi gejala syaraf. Terjadi pada mukosa gastrointestinal. Epidemiologi dari dua jenis
utama virus Malignant catarrhal fever (MCF) khususnya alcelaphine herpesvirus 1 and ovine
herpesvirus 2. Virus yang hebat dari wildebeest terjadi terutama selama 90 hari pertama hidup,
virus dari domba sampai usia 5 bulan. Malignant catarrhal fever (MCF) yang berhubungan
dengan wildebeest pada ternak paling sering terjadi di Afrika selama musim kemarau,
sedangkan bentuk demam kataragala ganas yang terkait dengan domba terjadi sepanjang tahun,
dengan hanya sedikit kejadian yang meningkat pada musim kawin. Pada bison Amerika,
Malignant catarrhal fever (MCF) biasanya merupakan penyakit musim dingin, tanpa puncak
yang jelas pada masa kawin. Virus yang terkait dengan domba tidak ditransmisikan antara sapi
atau bison.

4.2 Patogenesis dan Patologi


Temuan nekropsi pada hewan dengan Malignant catarrhal fever (MCF), yang biasanya adalah
sapi atau ungulata liar seperti bison, bervariasi sesuai dengan durasi penyakitnya, namun bukan
virus yang menginfeksi (alcelaphine herpesvirus 1 atau heroinvirus di daerah selatan). Hewan
yang terkena sering menunjukkan kelainan kornea, edema, dan perdarahan yang luas di seluruh
saluran pencernaan, termasuk rongga mulut. Ada limfadenopati generalisata: semua kelenjar
getah bening membesar, edematous, dan kadang-kadang hemorrhagic. Seringkali ada beberapa
fokus peradangan interstisial pada ginjal yang tampak kasar seperti garis-garis putih diskrit di
dalam korteks, perdarahan difus di seluruh mukosa kandung kemih (sistitis kandung kemih),
dan perdarahan di dalam mukosa turbinat, laring, dan trakea. Lapisan epitel dari moncong
mungkin menguap. Secara histologis, ada proliferasi limfosit dan limfoblast yang luas, dan
daerah nekrosis multifokal, berpusat pada pembuluh darah kecil, dan arteri kecil dapat
menunjukkan nekrosis fibrinoid khas dinding otot mereka. Lesi histologis ini hadir di semua
jaringan yang terkena, termasuk otak dan mata. Meskipun kematian secara khas terjadi kurang
dari 2-7 hari setelah onset tanda klinis, tergantung pada spesies, sejumlah kecil ternak dan rusa
yang terkena dampak berkembang. Gambar 9.9 Keterbatasan kornea yang disebabkan oleh
Malignant catarrhal fever (MCF) di sapi. Tanda klinis penyakit bertahan, setidaknya untuk
waktu yang singkat, dengan bukti penyakit mata, arteriosklerosis, dan persistensi virus seperti
yang terdeteksi oleh PCR. Lesi limfoproliferatif dan vaskular florid pada hewan dengan
Malignant catarrhal fever (MCF) menunjukkan bahwa penyakit ini dimediasi secara
imunologis. Memang, lesi meniru pada hewan yang kekurangan IL-2, seperti tikus atau hewan
yang mengalami perubahan genetik (IL-2 knockout) yang kekurangan jumlah limfosit CD4
yang memproduksi IL-2. Lesi vaskular yang menjadi ciri Malignant catarrhal fever (MCF)
mungkin bertanggung jawab atas nekrosis dan ulserasi yang terjadi di banyak jaringan.

4.3 Diagnosis
Untuk diagnosis Malignant Catarrhal Fever (MCF) yaitu teknik biologi molekular seperti PCR
juga dimanfaatkan untuk mendiagnosa MCF baik WA-MCF maupun SA-MCF.
Wildebeest associated MCF-Alcelaphine herpesvirus 1dilakukan dengan teknik isolasi dapat
diisolasi dari perifer yang dicuci leukosit darah pada sel tiroid anak sapi. Inokulum bebas sel
juga menghasilkan virus Ovine herpesvirus 2 belum disebarkanSheep associated MCF-Ovine
Herpesvirus 2.
Dalam kultur sel, namun keberadaan virus ini bisa ditunjukkan dengan uji PCR spesifik virus.
Pengujian ini Mudah bisa mendeteksi DNA virus penyebab SA-MCF dapat di deteksi pada
pheripheral blood leucocyite (PBL) yang terdapat di jaringan hewan yang sakit Malignant
Catarrhal Fever.

4.4 Imunitas, Pengendalian dan Kontrol


Malignant Catarrhal Fever dikendalikan dengan mencegah kontak antara pembawa virus
dengan host yang rentan. Upaya untuk mengembangkan vaksin belum berhasil sampai saat ini.
Salah satu cara pengendalian MCF hanyalah berdasarkan pemisahan hewan dimana sapi
dipisahkan dari wildbeest untuk WA-MCF dan sapi dipisahkan dari domba untuk SA-MCF.

5 Mareks diseases (MD)

Penyakit Marek adalah suatu penyakit neoplastik dan neuropathic pada unggas, terutama ayam
yang disebabkan oleh herpesvirus 1 yang bersifat onkogenik (dapat menimbulkan tumor),
sangat menular dan limfoproliferatif (CALNEK dan WITTER, 1997). Virus ini bersifat cell-
associated karena sulit bertahan di luar sel induk semangnya. Penyakit ini pertama kali
dilaporkan oleh seorang ahli patologi dari Hungaria bernama Jozsef Marek pada tahun 1907
yang menemukan ayam menderita paralisis berhubungan dengan polyneuritis dengan gejala
utama berupa kerusakan saraf. Penyakit ini kemudian diketahui tersebar luas di berbagai negara
seperti tercatat di Amerika kerugian akibat penyakit per tahun sebelum adanya program
vaksinasi mencapai 150 juta dollar (FENNER et al., 1987). Di luar negeri, pada periode antara
tahun 1950 hingga 1960, kejadian Marek dilaporkan di banyak negara sehingga banyak sekali
penelitian yang dilakukan pada periode tersebut. Infeksi buatan berhasil dilakukan pada tahun
1962 dan agen penyebabnya
diisolasi dan diidentifikasi pada tahun 1967. Pada tahun-tahun selanjutnya kejadian Marek
(mortalitas 30−60%) dapat ditekan secara drastis dengan ditemukannya vaksin Marek pada
tahun 1971. Meskipun demikian, penyakit ini tetap ditakuti oleh peternak komersial karena
sejak tahun 1980 kejadian Marek secara sporadis masih dapat terjadi pada ayam-ayam yang
telah divaksinasi. Hal ini disebabkan oleh adanya evolusi virus yang dapat memunculkan galur-
galur virus baru yang lebih virulen (CALNEK dan WITTER, 1997; PAYNE dan
VENUGOPAL, 2000;CHARLTON et al., 2000).

5.1 Gejala klinis


Pada tahun 1907 Jozsef Marek melihat gejala klinis berupa kepincangan dan kerusakan syaraf
kemudian HUNGERFORD (1969) menambahkan bahwa Marek ditandai dengan gejala klinis
tertentu sesuai dengan kerusakan syaraf yang terlibat. Karena virus Marek dapat menyerang
syaraf bagian manapun, sehingga gejala klinis sangat bervariasi (CALNEK dan WITTER,
1997).
Ada beberapa versi yang dibuat untuk mengklasifikasi gejala klinis Marek. Menurut PAYNE
(1985) Marek terbagi atas Marek klasik dan akut. Marek klasik ditandai oleh kerusakan syaraf
yang berakibat pada kelumpuhan sehingga ayam dalam posisi satu kaki ditarik ke belakang,
satu kaki dijulurkan ke depan (RANDALL, 1985). Selain itu, dapat pula terjadi kelumpuhan
sayap, tortikolis dan sesak napas. Tumor superfisial secara klinis dapat terlihat pada mata, dasar
pial, kulit, jari kaki dan folikel bulu. Marek yang akut adalah Marek yang tidak ditandai dengan
gejala klinis seperti di atas dan ayam tiba-tiba mati.
Selain Marek klasik dan akut ALLAN et al. (1982) menempatkan transient paralysis
(kelumpuhan sementara) sebagai gejala klinis yang ketiga dimana ayam tiba-tiba terserang
kelumpuhan 1 − 2 hari lalu ayam sembuh kembali.
Menurut BAINS (1979) dan CALNEK dan WITTER (1997) kematian akut tersebut
sebelumnya ditandai oleh depresi dan ataksia, tetapi jika penyakit menjadi kronis ayam terlihat
pucat, anoreksia, dehidrasi, diare, pincang, lumpuh sayap, buta, sesak napas, produksi telur
menurun, dan angka konversi pakan menurun. Secara klinis RIDDELL (1996) membagi Marek
atas tiga kelompok: Marek Klasik sesuai dengan yang digambarkan oleh MAREK pada tahun
1907 dengan gejala utama berupa kerusakan syaraf kronis dan pembentukan limfoma. Marek
Akut yang bersifat lebih patogen dan mulai mewabah pada tahun 1950-an di berbagai negara
yang ditandai dengan limfoma di berbagai organ. Marek Perakut yang bersifat paling patogen
dan mulai muncul pada tahun 1980-an sampai sekarang yang ditandai dengan kematian
mendadak atau early mortality syndrome (EMS). CALNEK dan WITTER (1997) sependapat
dengan klasifikasi yang disampaikan oleh RIDDELL (1996) tersebut, hanya mereka
menambahkan kategori keempat, yakni Marek kronis.
Untuk mengklarifikasi masalah gejala syaraf pada Marek, maka GIMENO et al. (1999)
melakukan infeksi buatan dengan menggunakan galur ayam peka terhadap Marek dan galur
ayam yang lebih resisten terhadap Marek. Kedua galur ayam tersebut masing-masing diinfeksi
dengan bermacam-macam patotipe virus Marek. Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan
bahwa ada empat gejala syaraf yang berbeda berdasarkan skor/nilai pada derajat kelumpuhan,
ataksia, tortikolis dan tremor otot:
 Classical Transient Paralysis (Classical TP): terjadi 8 − 10 hari pasca infeksi,
berlangsung 1 − 2 hari lalu ayam sembuh.
 Acute Transient Paralysis (Acute TP): terjadi 8 − 10 hari pasca infeksi, berlangsung 1
− 2 hari lalu ayam mati.
 Persistent Neurological Disease (PND): terjadi 12 − 15 hari pasca infeksi, ayam
sembuh tetapi masih menyisakan gejala syaraf sampai akhir masa percobaan.
 Late Paralysis (LP): ayam secara klinis tampak normal tetapi pada akhir masa
percobaan ditemukan sindroma seperti pada Acute TP.
Setelah diamati lebih jauh, GIMENO et al. (1999) menyimpulkan bahwa serotipe dan patotipe
virus Classic TP sangat mempengaruhi gejala klinis. Classic TP muncul pada ayam yang diberi
virus Marek patotipe virulen (vMDV). Persistent Neurological Disease terjadi pada ayam yang
diinfeksi dengan virus Marek patotipe sangat virulen (vvMDV). Acute TP dan Late TP terjadi
pada ayam yang diinfeksi dengan virus Marek patotipe sangat virulen plus (vv+ MDV). Selain
itu, GIMENO et al. (1999) juga membuktikan bahwa galur ayam mempengaruhi bentuk gejala
syaraf yang timbul. Gejala TP, PND dan LP pada galur ayam peka ternyata lebih akut
sedangkan galur ayam yang lebih resisten terhadap MDV mempunyai gambaran TP lebih
klasik. Secara biokimiawi, gambaran darah ayam yang terserang Marek akan mengalami
anemia, eritrosit menjadi rapuh (hemolisis) dan biasanya Marek menimbulkan imunosupresi
yang parah (PAYNE, 1985).

Gambar 8. Gangguan pada saraf

5.2 Epidemologi
Penyakit Marek yang disebabkan oleh virus herpes serotipe 1 paling sering menyerang ayam
yang berusia muda (PAYNE dan VENUGOPAL, 2000) dan secara eksperimental dapat
menginfeksi kalkun, burung puyuh dan itik (HUNGERFORD, 1969). Manifestasi penyakit
sangat bervariasi karena dalam satu flok ayam dapat terserang oleh satu atau kombinasi dari
beberapa galur virus Marek (ALLAN et al., 1982). Virus Marek ditularkan secara horizontal
langsung maupun tidak langsung melalui sel epitel pada folikel bulu yang mengandung virus
dan mengkontaminasi udara, kandang, peralatan dan petugas kandang (SHANE, 1998). Lebih
jauh SHANE (1998) menambahkan bahwa virus ini sangat tahan terhadap lingkungan sehingga
dapat bertahan hingga akhir siklus produksi. Selain ditemukan pada folikel bulu, virus juga
ditemukan pada darah, mulut, hidung, mukosa trachea dan kloaka, tetapi penularan yang efektif
terjadi melalui saluran pernapasan (ALLAN et al., 1982). Masa inkubasi penyakit dapat
diketahui dengan melakukan infeksi buatan, yaitu + 2 minggu dengan derajat viremia tertinggi
dicapai pada 3−5 minggu pasca infeksi (CALNEK dan WITTER, 1997). Manifestasi gejala
klinis dan patologis sangat dipengaruhi oleh galur virus, dosis, rute infeksi, galur ayam, umur
ayam, jenis kelamin ayam dan status kekebalan ayam saat terjadi infeksi (ALLAN et al., 1982).
Menurut PAYNE dan VENUGOPAL (2000) angka kejadian Marek jenis akut mencapai
10−30% dan dapat mencapai 70% pada saat wabah. Sedangkan pada Marek jenis klasik angka
kematiannya berkisar antara 10 − 15%.
Kejadian Marek tersebar di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia (IDERIS, 1993).
Menurut data yang ada di Balitvet Marek sudah dikenal di Indonesia sejak tahun 1956
meskipun wabah Marek baru mendapat perhatian pada tahun 1972. Sebagai laboratorium
rujukan nasional Balitvet setiap tahun menerima sampel yang dicurigai sebagai Marek ataupun
leukosis kompleks yang lain. GINTING dan RADJAGUKGUK (1980) melaporkan bahwa
pada tahun 1972 − 1976 kasus Marek yang didiagnosis di bagian Patologi - Balitvet berkisar
antara 9,96% − 24,48% dari 596 sampel yang diperiksa. Sementara itu penelitian di daerah
Bogor dan sekitarnya menunjukkan bahwa dari 51 kasus dengan leukosis kompleks, 38 (74,5%)
merupakan Marek (HAMID, 1984). Sementara itu HUMINTO et al., (2000) melaporkan
tentang kasus Marek yang terdiri atas tujuh kasus yang berasal dari peternakan ayam ras petelur
(26 hari − 28 minggu) yang sudah divaksin terhadap Marek dan satu kasus yang berasal dari
peternakan ayam kampung (16 minggu) yang dipelihara secara intensif. Kedelapan sampel
tersebut berasal dari flok yang berbeda dan didiagnosis di laboratorium Patologi FKH-IPB.
Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan tumor limfoid di ovarium dan sejumlah organ
viseral sehingga menghambat perkembangan folikel telur dan laju pertumbuhan badan serta
menimbulkan kelumpuhan dan kematian. Selain itu berbagai kerusakan jaringan pada organ
viseral dapat mengganggu pola konsumsi, digesti, absorbsi dan metabolisme nutrisi sehingga
secara tidak langsung akan menghambat produksi dan penambahan bobot badan (FATIMAH,
2000).

5.3 Patogenesis dan patologi


Sebenarnya patogenesis penyakit Marek tergolong kompleks dengan rute infeksi melalui
inhalasi udara yang terkontaminasi masuk ke saluran pernapasan (HUNGERFORD, 1969).
Adapun menurut PAYNE dan WARTAZOA Vol. 12 No. 2 Th. 2002 69 VENUGOPAL (2000)
terdapat 4 tahap kejadian yang melandasinya yaitu: infeksi sitolitik awal, infeksi laten, infeksi
sitolitik akhir dengan imunosupresi dan transformasi neoplastik. Secara kronologis infiltrasi
selular terjadi mulai 5 hari setelah infeksi dan terus berlangsung sekitar 3 minggu, diikuti
dengan lesi neural yang khas, dengan maupun tanpa disertai pembentukan limfoma (CALNEK
dan WITTER, 1997). Virus Marek bersifat limfotropik dengan target utama limfosit yang
berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Pada tahap sitolitik awal sel B yang memproduksi
antibodi adalah sel yang pertama kali diserang (PAYNE dan VENUGOPAL, 2000).
Selanjutnya infeksi sitolitik terjadi pada sel T yang diaktifasi dan terlibat dalam respon yang
dijembatani oleh cell mediated immunity (CMI). Dalam hal ini dapat dibuktikan bahwa sel T
tersebut didominasi oleh fenotip CD4 dan sedikit CD8 (OKADA et al., 1997; VENUGOPAL,
2000). Reaksi ini berdampak pada atropi bursa Fabrisius dan timus sehingga menyebabkan
imunosupresi. Sementara itu virus menyebar ke folikel bulu yang diduga keras merupakan
tempat yang paling produktif dalam menyebarkan infeksi. Setelah infeksi sitolitik awal, infeksi
beralih ke tahap laten pada sel T yang infektif sehingga menimbulkan regresi organ limfoid.
Hal ini diikuti oleh pembentukan limfoma pada berbagai organ jeroan. Sejauh ini penyebab lesi
neural pada penyakit Marek diduga kuat dikontrol oleh gen MHC dan sel B (CALNEK dan
WITTER, 1997).

5.3.1 Masa inkubasi


Oleh karena rumitnya pola patogenesis penyakit Marek yang berhubungan dengan berbagai
faktor tersebut di atas, maka masa inkubasi penyakit sangat bervariasi, dari beberapa minggu
sampai beberapa bulan (PAYNE dan VENUGOPAL, 2000). Namun demikian FENNER et al.
(1987) menyatakan pada ayam umur sehari yang sangat peka (tanpa kekebalan maternal dan
peka secara genetik) infeksi virus virulen mengakibatkan lesi mikroskopik yang dapat
terdeteksi paling cepat 1 − 2 minggu setelah infeksi. Lesi makroskopik mulai tampak 3 − 4
minggu setelah infeksi. Sementara itu maksimum pengeluaran virus terjadi pada 5 − 6 minggu
setelah infeksi.

5.3.2 Hewan karier


ALLAN et al. (1982) menyatakan bahwa meskipun penyakit Marek tidak selalu berakhir
dengan kematian namun sekali ayam terinfeksi maka viremia akan tetap berlangsung sehingga
ayam menjadi karier yang berpotensi untuk menyebarkan infeksi.

5.3.3 Cara penularan penyakit


Hewan yang sakit ataupun hewan yang sembuh dari Marek dan menjadi karier akan
mengeluarkan virus ke lingkungan. Penyakit Marek menular secara horizontal, tetapi tidak
secara vertikal (CALNEK dan WITTER, 1997). Penularan penyakit secara horizontal dapat
secara langsung maupun tidak langsung secara per inhalasi ke saluran pernafasan. Folikel bulu
sampai saat ini dianggap sebagai tempat yang paling produktif dalam perkembangan virus
infeksius dan sangat potensil menyebarkan infeksi, meskipun virus Marek dapat berada dalam
darah, pada mulut, hidung, mukosa trakhea dan kloaka. SHANE (1998) menyatakan virus MD
ini kemudian menkontaminasi lingkungan (udara, litter, debu, peralatan kandang, petugas
kandang, dan lain-lain). Penularan penyakit dari sumber infeksi potensial (folikel bulu dan debu
kandang terkontaminasi virus MD, dan lain-lain) paling efektif terjadi melalui inhalasi ke
saluran pernapasan (ALLAN et al., 1982). CALNEK dan WITTER (1997) menyatakan
penularan penyakit melalui vektor serangga dan koksidia tidak terjadi, kecuali sejenis kumbang
(darkling beetles/Alphitobius diaperinus) yang dapat membawa virus secara pasif.

Gambar 9. Hati dengan infiltrasi sel tumor (limfoid, pleomorfik) HE, 10x10

Gambar 10. Proventrikulus dengan infiltrasi sel tumor (limfoid, pleomorfik), HE 4x10
Gambar 11. Otak dengan demyelinasi segmental, HE, 4x10

5.4 Diagnosis
Penentuan diagnosis terhadap penyakit Marek berpedoman pada aspek epizootiologi, klinis dan
patologis. Menurut RIDDELL (1996) gambaran histopatologi Marek dan Lymphoid Leukosis
akan sulit untuk dibedakan apabila lesi limfoproliferatif kedua penyakit tidak jelas (subtle),
sehingga perlu ditelusuri lesi serupa yang berada pada organ non limfoid. Ditinjau dari gejala
syaraf dan kelainan pasca mati, Marek dapat dikacaukan dengan Lymphoid Leukosis, Erythroid
Leukosis, Myeloid Leukosis, Reticuloendotheliosis, defisiensi riboflavin, tuberkulosis,
histomoniasis, Newcastle Disease, Avian Encephalomyelitis, karsinoma pada ovari dan organ
lainnya, kelainan genetik pada mata, dan kelumpuhan traumatik (CALNEK dan WITTER,
1997).
Apabila dari kriteria epizootiologi, klinis dan patologis (PA dan HP) masih belum dapat diambil
konfirmasi diagnosisnya, maka pewarnaan khusus dengan methyl green pyronin atau Shorr’s
pada preparat sentuh dari lesi yang segar dapat dilakukan untuk melihat sitologi sel-sel tumor
lebih jelas. Disamping itu pewarnaan imunohistokimia untuk mendeteksi antigen Marek atau
teknik PCR dapat juga dilakukan untuk mendeteksi secara spesifik DNA yang berasal dari virus
Marek serotype 1 (CALNEK dan WITTER, 1997).

5.5 Immunitas, pengendalian dan control


Penyakit Marek tidak dapat diobati dengan efektif baik secara individual maupun pada flok
secara keseluruhan, meskipun kesembuhan spontan dapat terjadi (CALNEK dan WITTER,
1984; CHARLTON et al., 2000). Namun demikian kejadian penyakit Marek dapat dicegah
dengan melakukan berbagai cara, antara lain: vaksinasi, pemilihan galur ayam yang lebih
resisten terhadap Marek serta sistem manajemen untuk meningkatkan sanitasi dan biosekuritas.
5.5.1 Vaksinasi
Sampai saat ini vaksinasi masih dianggap sebagai strategi utama dalam mencegah penyakit
Marek. Vaksin Marek dapat berbentuk monovalen atau bivalen (CALNEK dan WITTER,
1997). Vaksin monovalen biasanya berasal dari serotipe 1 yang diatenuasi (misalnya Rispen)
atau serotipe 3 (HVT), sedangkan vaksin bivalen biasanya berupa gabungan serotipe 3 (HVT)
dan serotipe 2 (misalnya SB-1 atau 301B) (CHARLTON et al., 2000). Vaksin bivalen ini
dianggap lebih bagus, akan tetapi menurut ALLAN et al. (1982) dan VENUGOPAL (2000)
vaksin monovalen berisi serotipe 1 adalah yang paling banyak dipakai karena mampu melawan
vvMDV dan vv+MDV. Beberapa peternak ayam breeder lebih memilih vaksin monovalen
serotipe 3 (HVT) karena harganya lebih murah. SHANE (1998) menganjurkan agar ayam yang
divaksin dengan serotipe 3 (HVT) maka disarankan generasi berikutnya supaya divaksin
dengan vaksin dari serotipe lain untuk mencegah pengaruh antibodi maternal terhadap serotipe
3 (HVT). Selain
itu, SHANE (1998) juga menambahkan bahwa khusus untuk daerah dengan angka kejadian
Marek yang tinggi, maka induk ayam sebaiknya divaksin dengan vaksin serotipe 1, kemudian
keturunan selanjutnya divaksin dengan vaksin serotipe 3 (HVT) atau gabungan serotipe 3
(HVT) dan serotipe 2. Vaksin Marek dapat diberikan dengan cara menginjeksi embrio pada
hari ke 18 (in ovo) atau pada saat ayam baru menetas (sub kutan) (CHARLTON et al., 2000).
Oleh karena vaksinasi baru akan memberikan proteksi penuh pada 7-10 hari pasca vaksinasi,
maka pengawasan ketat terhadap sanitasi amat dibutuhkan pada masa kritis ini (WITTER,
2001a). Jika vaksinasi sudah diberikan tetapi wabah tetap terjadi maka revaksinasi oleh vaksin
sejenis percuma untuk dilakukan karena ini pertanda bahwa ayam terserang oleh virus Marek
dari jenis yang lebih virulen (CALNEK dan WITTER, 1997; CHARLTON et al., 2000). Hal
ini memperlihatkan suatu kegagalan vaksinasi. PAYNE dan VENUGOPAL (2000)
menyatakan beberapa hal yang dapat mengakibatkan kegagalan program vaksinasi, yaitu (1)
ayam terinfeksi oleh virus ganas sebelum vaksin bekerja sempurna dalam tubuh ayam; (2)
pembentukan respon kekebalan akibat vaksinasi terhambat karena adanya antibodi maternal
dalam tubuh ayam; (3) ketidaksesuaian dalam aplikasi vaksin; (4) vaksin yang digunakan
berasal dari strain yang tidak protektif. Oleh karena adanya mutasi virus Marek terjadi secara
perlahan namun terus menerus maka pengembangan vaksin diarahkan untuk memproduksi
vaksin rekombinan DNA (PAYNE dan VENUGOPAL, 2000; WITTER, 2001a dan b).
Pendekatan immunomodulatory untuk meningkatkan respon vaksin dan usaha untuk
memanfaatkan sifat mutagenesis dari galur virus Marek yang diatenuasi terus diupayakan
karena beberapa gen (terutama area U) dapat dihilangkan tanpa mempengaruhi pertumbuhan
virus (VENUGOPAL, 2000).

5.5.2 Resistensi genetik


WITTER (2001a) menyatakan bahwa galur ayam dapat diseleksi menjadi lebih resisten
terhadap Marek melalui lokus B pada gen MHC dan genome mapping yang menghasilkan
Quantitative Trait Loci (QTL) 14. Alternatif lain yaitu mentransfer gen asing dengan cara
menyisipkan gen virus Marek pada genom ayam sehingga terjadi superinfeksi antigen protektif
virus Marek (VENUGOPAL, 2000).

5.5.3 Sistem manajemen


Menurut WITTER (2001b) penerapan sistem manajemen yang semata-mata mengutamakan
peningkatan produksi ayam dapat mendukung terjadinya mutasi virus Marek. Dalam hal ini
beberapa contoh penerapan manajemen yang kurang baik, yaitu (1) kepadatan populasi ayam
terlalu tinggi sehingga ayam menjadi stres; (2) umur ayam beragam (tidak memakai sistem all
in all out); (3) vaksin tidak sesuai, baik jenis maupun dosisnya (subprotektif/over protektif);
(4) desinfeksi kandang tidak dilakukan setiap kali selesai satu siklus produksi; (5) biosekuritas
tidak
dijalankan dengan ketat, terutama pada saat kritis dimana ayam baru lepas dari tetasan.
Eradikasi penyakit Marek sudah lama diusahakan akan tetapi sangat sulit, mahal dan tidak
efisien untuk dipraktekkan. Upaya-upaya tersebut seperti menutup area kandang dengan sistem
penyaringan udara; penggunaan ayam specific pathogen free (SPF); desinfeksi kandang setiap
kali selesai siklus produksi dan pemanfaatan materi transgenik untuk memblok replikasi virus
secara in vivo (ALLAN et al., 1982; WITTER, 2001b).
DAFTAR PUSTAKA

1. Adjid, A.M.R., Saepulloh, M. 2010. Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis Pada Sapi
di Indonesia dan Strategi Pengendaliannya. Bogor: Balai Besar Penelitian Veteriner.
2. ALLAN, W.H., D.J. ALEXANDER, P.M. BIGGS, R.F. GORDON, F.T.W. JORDAN and
J.B. MCFERRAN. 1982. Viral Diseases. In: Poultry Diseases. 2nd Ed. R.F. GORDON
and F.T.W. JORDAN (Eds.). Bailliere Tindall, London. pp. 76-96.
3. BAINS, B.S. 1979. A Manual of Poultry Diseases. F. Hoffmann. La Roche and Co. Basle,
Switzerland.
4. BECKER, Y., Y ASHER, E. TABOR, I. DAVIDSON, M.MALKINSON dan Y.
WEISMAN. 1992. Polymerase chain reaction for differentiation between pathogenic and
nonpathogenic serotype 1 Marek’s disease viruses (MDV) and vaccine viruses of MDV
serotypes 2 and 3. J. Virolog. Methods 40: 306-322.
5. CALNEK, B.W. and R.L. WITTER. 1997. Marek’s Disease. In: Diseases of Poultry. 10th
Ed. B.W. CALNEK, H.J. BARNES, C.W. BEARD, L.R. MC DOUGALD and Y. M. SAIF
(Eds.). Iowa State University Press. Ames, Iowa. USA. pp. 369-398.
6. CHARLTON, B.R., A.J. BERMUDEZ, M. BODIANNE, D.A. HALVORSON, J.S.
JEFFREY, L.J. NEWMAN, J.E. SANDER and P.S. WAKENEL. 2000. Avian Viral
Tumor. In: Avian Disease Manual. 5th Ed. pp. 22-31.
7. Maclachan, J. N. 2011. Fener’s Veterinary Virology Fourth Edition. Academic Press.
London.
8. http://en.wikivet.net/Bovine_Herpesvirus_5, diakses 24 Februari 2018.2011.Veterinary
Virology 4th. USA: Academic Press.179-201.
Latihan Soal
Pilihan Ganda

1. Dibawah ini yang merupakan subfamili dari herpesviridae berturut-turus adalah


a. Alphaherpesvirinae, Betaherpesvirinae, Gammaherpesvirinae
b. Alphaherpesvirinae, Alloherpesiridae, Malacoherpesviridae
c. Alphaherpesvirinae, Alloherpesiridae, Gammaherpesvirinae
d. Alphaherpesvirinae, Betaherpesvirinae, Malacoherpesviridae

2. Yang termasuk dalam karakteristik virion herpesvirus adalah


a. Inti c. Tegumen
b. Kapsid d. RNA

3. Yang berfungsi sebagai pembentuk kapsid pada replikasi herpesviridae adalah


a. α RNA c. RNA polimerase II
b. β RNA dan γ RNA d. γ protein

4. Penyakit yang disebabkan oleh Bovine Herpesvirus-1 (BHV-1) adalah


a. Infectious Pustular Vulvovaginitis (IPV) dan Malignant catarrhal fever (MCF)
b. Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) dan Infectious Pustular Vulvovaginitis
(IPV)
c. Bovine Encephalitis Virus dan Malignant catarrhal fever (MCF)
d. Infectious Pustular Vulvovaginitis (IPV) dan Bovine Encephalitis Virus

5. Untuk mendiagnosa Bovine Herpesvirus-1 (BHV-1) dapat digunakan beberapa cara,


kecuali
a. Isolasi virus c. Teknik immunoassay
b. Uji serologi d. Teknik kultur

6. Dibawah ini adalah pengendalian penyakit dari bovine herpesvirus 5, kecuali


a. Karantina yang ketat
b. Disinfeksi kadang dan fasilitasnya
c. Isolasi hewan sakit
d. Hewan sakit tidak disingkirkan dari daerah tercemar
7. Berikut yang benar mengenai proses terjadinya abortus pada kuda akibat equine
herpesvirus I adalah
a. Virus teringesti – usus – rektum – infeksi saluran reproduksi - abortus
b. Virus penetrasi – viremia – infeksi saluran reproduksi - abortus
c. Virus masuk melalui saluran pencernaan – transmisi di usus – viremia – infeksi
saluran reproduksi - abortus
d. Virus masuk melalui saluran pernapasan – viremia – infeksi sistemik – infeksi
saluran reproduksi - abortus

8. Teknik pengendalian penyakit dan kontrol terhadap infeksi equine herpesvirus I yang
benar adalah
a. Vaksin aktif dan tidak aktif
b. Vaksin aktif dan tidak aktif namun vaksin aktif lebih efektif digunakan selama wabah
abortus
c. Vaksin aktif dan tidak aktif namun vaksin tidak aktif lebih efektif digunakan selama
wabah abortus
d. Pemisahan gen yang resisten

9. Penyakit marek menyerang pada hewan


a. Anjing c. Kuda
b. Sapi d. Ayam

10. Menurut RIDDELL (1996) membagi Marek atas tiga kelompok yaitu
a. Marek Klasik, Marek Akut, Marek Perakut
b. Marek Klasik, Marek Akut, Marek Otak
c. Marek Otak, Marek Opthalmitis, Marek Sederhana
d. Marek Klasik, Marek Otak, Marek Opthalmitis

Isian
1. Gejala klinis yang ditimbulkan Malignant catarrhal fever (MCF) ?
2. Bagaimana pengendalian dan kontrol pada penyakit Malignant catarrhal fever (MCF) ?
Pertanyaan
Penanya : Agata Sada Ua (NIM : 1609010043)
Protein tegumen fungsinya untuk apa ?

Penanya : Diana Rambu N. A. Awa (NIM : 1609010037)


Mengapa malignant catarrhal fever (MCV) sering terjadi pada musim hujan dan bagaimana
saat musim panas ?

Penanya : Jemris Sabneno (NIM : 1609010010)


Bagaimana proses regresi virus herpes, apakah sitolitik saja atau budding saja ataukah
keduanya ?

Penanya : Deswandi W. Saputra Berri (NIM : 1609010013)


1. Jelaskan peran α, β dan γ DNA pada replikasi virus ?
2. Mengapa malignant catarrhal fever (MCF) belum ada vaksinnya ?

Penanya : Marito Britos Gomes (NIM : 1609010050)


Rute infeksi lewat respirasi, tapi kenapa bisa menginfeksi pada fetus hingga terjadi aborsi ?

Anda mungkin juga menyukai