Disusun Oleh :
I.
II.
Tujuan Pembelajaran
A. Tujuan Instruksional umum
Mahasiswa mampu memahami MK yang dipelajari melalui implementasi integrasi dan
sinergi antar MK untuk saling melengkapi / meningkatkan / mempertajam dan berbagi
konsep keilmuan, keterampilan dan perilaku.
B. Tujuan Instruksional khusus
Mampu memahami agen penyebab Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR), sifat virus,
mekanisme infeksi dan patogenesisnya. Mampu memahami perubahan patologis yang
terjadi serta patologi klinis yang muncul dengan menginterpretasikan data laboratorik.
Serta memahami cara pengobatan, pengendalian dan pencegahan dari penyakit ini.
III.
Skema Pembelajaran
SKENARIO III :
ngaitkan data dari berbagai laboratorium, melakukan interpretasi data, diagnosis, prognosis, terapi
IV.
Bahasan Diskusi
A. Etiologi Virus
1. Karakteristik
Bovine Herpesvirus type 1 termasuk ke dalam keluarga herpesviridae, subfamili
Alphaherpesviridae dan genus Varicellovirus. Bovine Herpesvirus type 1 (BHV-1)
merupakan penyakit virus yang patogen baik bagi ruminansia domestik maupun liar
yang telah tersebar ke suluruh dunia dan secara ekonomi sangat signifikan merugikan
bagi industri peternakan di berbagai negara. Virus BHV-1 juga merupakan penyebab
penyakit
gangguan
pernapasan
(Infectious
bovine
rhinotracheitis,
IBR),
(TCID50) per ml dari bilasan preputium atau semen telah terdeteksi selama fase
akut pada kasus infeksi alami maupun buatan (SPILKI et al., 2004). Selama
masa pengeluaran kembali virus baik secara spontan maupun melalui
rangsangan alami atau perlakuan dengan rangsangan buatan, titer virus sangat
bervariasi yaitu titer virus antara 101 dan 105,2 TCID50 per ml asal bilasan
praeputium atau semen telah pula dilaporkan (MEDINA et al., 2009). Akan
tetapi virus tidak terdeteksi lagi setelah 14 pasca infeksi (SPILKI et al., 2004).
Dosis yang diperlukan untuk menginfeksi sapi setelah inokulasi intra-nasal atau
intra-vagina dengan menggunakan BHV-1 galur lapang yaitu 3,2 TCID50 (VAN
OIRSCHOT, 1995). Virus IBR dalam semen beku (extended semen) yang
disimpan pada suhu 4C akan tahan selama 7 hari, sementara bila semen
tersebut disimpan pada suhu ruang akan tahan selama 5 hari. Selanjutnya,
DREW et al. (1987) juga melaporkan bahwa virus IBR dalam semen beku tidak
akan kehilangan sifat infektivitas setelah dilakukan 5 kali proses pembekucairan (freezing-thawing). Penerapan IB yang menggunakan semen terinfeksi
BHV-1 akan menyebabkan penurunan angka kelahiran, memperpendek siklus
estrus, dan memicu endometritis (VAN ENGELENBURG et al., 1995).
3. Gejala Klinis
Berdasarkan gejala klinisnya, agen penyebab penyakit IBR yaitu virus BHV-1, terbagi
menjadi 2 subtipe, yaitu subtipe 1 dan subtipe 2. Virus BHV-1 subtipe 1 berhubungan
dengan galur yang dapat menyebabkan gangguan pernapasan, sedangkan subtype 2
adalah galur yang dapat menyebabkan gangguan genital seperti Infectious Pustular
Vulvovaginalis (IPV) dan Infectious Pustular Balanoposthitis (IPB) (RADOSTIT et
al., 2000).
Gejala klinis sapi penderita IBR. A dan B) Bentuk pernafasan C) Bentuk konjungtival; D dan E)
Bentuk genital
a. Gangguan pernapasan
2007). Hal inilah yang menjadi alasan bahwa pejantan pada pusat inseminasi
buatan (IB) harus memiliki seronegatif terhadap BHV-1.
c. Gangguan syaraf (ensefalitis)
Meskipun BHV-1 dapat menyebabkan gangguan pada organ syaraf, ensefalitis
jarang sekali terjadi pada sapi. Ensefalitis diperkirakan terjadi sebagai
suatuproses
lanjutan
yang
berhubungan
dengan
pernapasanakut
atau
setelah
terjadinya
infeksi
olehalphahervesvirus
yaitu
terjadinya gangguan syaraf dan mengakibatkan infeksi laten yang menetap pada
sistemsyaraf tepi inang (PRESTON, 2000). Gejala klinis syaraf ditandai
dengan tidak terkoordinasi, berputar-putar,otot gemetar, berbaring, kehilangan
keseimbangan, kebutaan, selalu menjilat panggul dan akhirnya mati(ENQUIST
et al., 2002). Kasus sporadis BHV-1 yang berhubungan dengan ensefalitis sudah
umum terjadi diAustralia dan Argentina. Galur BHV-1 yang menunjukkan
neuropatogenik
yang
berpotensi
mewakili
bvarian
antigenik
dan
dikelompokkan sebagai BHV-5. Gejala klinis lain yang berkaitan dengan BHV1termasuk kekeruhan pada kornea mata, mastitis, enteritis, dan dermatitis
(WYLER et al., 1989)
d. Bentuk konjungtival
Gejala edema kornea dan konjungtiva akan menghasilkan eksudat yang bersifat
serous sampai mukopurulen. Bentuk radang difterik pada konjungtiva dapat
dijumpai pada penderita yang parah. Bentuk ini juga sering disebut winter pink
eye.
e. Bentuk ensefalitik
Bentuk ini sering didapatkan pada anak sapi umur 2-3 bulan.Timbulnya
meningoensefalitis dapat dikarenakan adanya perkembangbiakan virus pada
otak. Gejala yang timbul dapat berupa depresi, gelisah, konvulsi, hiperestesi,
eksitasi , inkoordinasi dan kebutaan.
f. Bentuk genital dan keguguran
Infeksi virus pada mukosa vagina dan vulva menyebabkan penyakit ini dikenal
dengan Infectious Pustular Vulvovaginitis (IPV). Pada sapi jantan virus
menginfeksi alat kelamin jantan, sehingga disebut balanopostitis. Infeksi akut
terjadi 1-3 hari pasca koitus, dengan gejala bervariasi. Pada infeksi yang berat
sapi memperlihatkan gelisah, rasa sakit dan sering kencing, vulva membengkak
disertai adanya eksudat yang kental melekat pada rambut vulva. Pada hewan
bunting, keguguran dapat terjadi pada trimester terakhir. Pada sapi jantan
dijumpai luka pada preputium disertai adanya reaksi peradangan dan eksudat
yang kental. Virus banyak ditemukan pada hati dan ginjal janin yang
diabortuskan.
g. Bentuk Neonatal
Bentuk neonatal Infeksi ini biasanya dimulai ketika pedet masih dalam
kandungan. Gejala umum adalah demam, anoreksia, depresi, dipsnoea,
keluarnya eksudat serous dari mata, serta diare yang persisten.
B. Gambaran Patologi
Pada bentuk pernafasan ditemukan lesi yang dimulai dari mulut, tekak, tenggorokan dan
bronchus. Apabila disertai infeksi sekunder dapat ditemukan bronchopneumonia.
Pembengkakan juga ditemukan pada kelenjar limfe retrofaringeal, bronchial dan
mediastinal. Hati pada janin bentuk genital dan keguguran menujukkan adanya radang
nekrotik yang bersifat lokal. Jaringan fetus pada umumnya mengalami autolisis. Pada
bentuk neonatal dijumpai jejas nekrosis pada kerongkongan dan lambung depan. Pedet
yang mengalami kematian pada bentuk ensefalik menunjukkan radang pada otak dan
selaputnya.
Patologi anantomi sapi penderita IBR. A) Infl amasi akut pada laring dan trachea, B) ulser pada
oesofagus
C. Diagnosa Patologi Klinis IBR
Diagnosa didasarkan atas anamnese, gejala klinis, patologi. Secara laboratorium dapat
dilakukan secara histopatologi dan virologi. Pemeriksaan adanya virus dapat dilakukan
secara isolasi dari usapan vagina atau trachea atau organ dari saluran pernafasan dan
reproduksi yang diinokulasikan pada biakan sel /sel (Mardin Darby Bovine Kidney)
MDBK, kemudian dilihat adanya kerusakan sel berupa adanya CPE (Cytopathogenic
Effect). Identifi kasi virus dilakukan secara FAT (Fluorecent Antibody Test).
Pemeriksaan adanya zat kebal dilakukan dengan uji serum neutralization (SN) dengan
menggunakan biakan sel, AGDT (Agar Gel Diffusion Test) atau CFT (Complement
Fixation Test).
Usaha untuk mendeteksi BHV-1 pada semen sapi yang digunakan untuk IB dan swab
(sediaan ulas) dari mukosa organ hewan yang terserang hanya dilakukan dengan cara
isolasi virus. Hal ini menimbulkan banyak hambatan dan membutuhkan waktu cukup
lama. Selain itu, teknik pewarnaan imunohistokimia (IHK) juga dilakukan untuk
mendeteksi antigen pada organ hewan yang terinfeksi BHV-1. Isolasi virus IBR di
Indonesia diperoleh dari kasus hewan yang mengalami stres buatan dan dari semen
hewan asal Balai Inseminasi Buatan (BIB) telah berhasil dilakukan (SUDARISMAN,
1992) akan tetapi uji patogenitas untuk dipelajari sifatsifatnya belum diuji. Keganasan
isolat dapat dilihat dari respon klinis, patologi anatomis, histopatologis dan sebaran
antigen BHV-1 pada organ yang terinfeksi.
Penyakit ini dapat dikelirukan dengan Pasteurellosis, Bovine Viral Diarrhea (BVD),
Diphteria, Shipping Fever, rhinitis karena alergi, dan Malignant Catarrhal Fever (MCF)
D. Pengobatan dan Pengendalian IBR
Pengendalian penyakit didasarkan kepada ukuran kesehatan yang normal di peternakan.
Hal yang penting dilakukan adalah adanya masa karantina dari hewan baru di peternakan
yang dilakukan selama 2 3 minggu (OIE, 2008). Hanya sapi-sapi yang seronegatif
yang diperbolehkan masuk ke peternakan.
program pemusnahan. Program vaksinasi dilakukan sesuai jadwal yang disarankan oleh
pabrik pembuat vaksin dan dokter hewan setempat. Tetapi harus dipahami bahwa vaksin
tidak dapat mencegah infeksi, tetapi dapat mengurangi kejadian klinis IBR dan
mengurangi shedding virus IBR (MARS et al., 2001; BOSCH et al., 1998). Hal ini
penting artinya apabila kita ingin beternak sapi dan memulainya dengan sapi yang bebas
IBR. Program vaksinasi juga tidak boleh melupakan uji serologis untuk serum-serum
hewan paska vaksinasi dan kita juga harus mengetahui apakah vaksin yang kita gunakan
cukup baik respon kekebalannya, melalui uji serologis (KRAMPS et al., 1993). Uji
serologis dapat dilakukan dengan ELISA (Enzyme linked immunosorbent assay) ataupun
uji serum netralisasi (Serum neutralisation test). Sehingga bila terjadi sesuatu yang tidak
kita inginkan kita dapat mengetahuinya secara baik, ilmiah, dan comprehensive.
Vaksin dengan marker/DIVA (differentiation of infected from vaccinated animals) kini
ada di pasaran internasional. Vaksin mati dan vaksin hidup yang dilemahkan didasarkan
pada virus mutan ataupun vaksin sub unit dari virion. Penggunaan vaksin marker ada
hubungannya dengan uji diagnosa yang membedakan antara sapi- sapi infeksi dan
vaksinasi.
Berdasarkan informasi dan bukti yang ada, termasuk sifat penyakit dan perkembangan
situasi penyakit IBR di Indonesia, maka secara hipotetik strategi pengendalian penyakit
IBR pada ternak sapi di Indonesia disarankan untuk dilakukan secara bertahap dan
dimulai dari hulu (sumber bibit/benih) yang kemudian sampai ke hilir (peternakan
rakyat) serta dengan beberapa prasyarat sebagai berikut:
1. Untuk pengendalian penyakit diperlukan perangkat pendukung, berupa teknik
diagnosis (deteksi virus, deteksi antibodi) yang telah dikuasai oleh laboratorium
veteriner.
2. Tersedia vaksin IBR tidak aktif dalam jumlah yang cukup sebagai pencegah infeksi
pada populasi yang dinamis dan sulit dikendalikan melalui tindakan biosekuriti.
3. Tersedia perangkat lunak berupa peraturan/kebijakan dan petunjuk operasional
pengendalian penyakit yang jelas, tegas, aplikatif di lapangan, serta para peternak telah
menerima informasi yang cukup tentang penyakit IBR.
4. Tersedia dana yang cukup untuk pelaksanaan program pengendalian penyakit.
5. Strategi pengendalian penyakit dilakukan dari hulu ke hilir secara tuntas dan bertahap
sesuai kemampuan pendanaan.
benih.
Penerapan
biosekuriti
peternakan
yang
ketat
mutlak
dilaksanakan terhadap calon sapi bibit yang akan memasuki kawasan. Hanya ternak
yang bebas IBR yang diperbolehkan memasuki kawasan dan kemudian menjadi
bibit/sumber benih. Biosekuriti juga diterapkan bagi petugas pengelola hewan yang
dan yang akan masuk kawasan melalui desinfeksi, penggunaan pakaian kandang,
kebersihan diri, dll. Biosekurit juga diterapkan untuk pakan hijauan. Sumber hijauan
pakan tidak berasal dari padang rumput dimana digembalakan ternak sapi/kerbau.
Biosekuriti termasuk mencegah kontak ternak rakyat dengan kawasan dan ternak di
dalamnya. Dengan demikian, lokasi kawasan telah didesain memiliki jarak yang
cukup jauh dengan peternakan rakyat.
2. Prioritas kedua adalah pembebasan penyakit IBR
Pada sapi bibit di peternakan rakyat/VBC. Upaya yang dilakukan adalah menerapkan
persyaratan bahwa semen yang digunakan untuk inseminasi buatan (IB) adalah
semen berasal dari pusat pusat IB yang bebas dari IBR. Jika menggunakan pejantan
unggul, maka pejantan unggul berasal dari pusat-pusat perbibitan yang bebas dari
IBR atau bila pejantan berasal dari VBC maka pejantan tersebut telah dibuktikan
secara laboratorium bebas dari penyakit IBR. Semua sapi betina bibit telah
dibuktikan bebas dari penyakit IBR, atau bibit sapi betina berasal dari pusat-pusat
perbibitan yang bebas dari penyakit IBR. Monitoring penyakit dilakukan secara
berkala untuk mengetahui adanya dan ternak reaktor dikeluarkan dari kawasan dan
tidak digunakan lagi sebagai bibit. perlakuan vaksinasi pada sapi betina bibit dapat
dipertimbangkan tergantung pada situasi apakah pergerakan sapi bibit atau
pencegahan kontak dengan sapi lainnya milik rakyat dapat dikendalikan. Sapi
pejantan tetap tidak divaksin, bila menjadi reaktor maka pejantan dikeluarkan dari
kawasan dan tidak digunakan sebagai pemacek. Lalu lintas ternak melewati kawasan
3.
tingkat kesulitan yang tinggi terkait situasi dan kondisi sistem peternakan yang ada,
aspek sosial dan budaya masyarakat yang kompleks.
V.
Kesimpulan
A. Virus BHV-1 juga merupakan penyebab penyakit gangguan pernapasan (Infectious
bovine rhinotracheitis, IBR), konjungtivitis, vulvovaginitis, balanopostitis, shipping
fever (demam pengapalan), dan infeksi sistemik lainnya
B. Penularan langsung melalui pernafasan dari virus BHV-1 sangat mudah dari satu ternak
ke ternak lain atau dari kelompok satu ke kelompok lainnya. Hal ini disebabkan virus
shedding dalam jumlah yang sangat banyak pada saluran pernapasan, mata, dan saluran
reproduksi sapi yang terinfeksi.
C. Berdasarkan gejala klinisnya, agen penyebab penyakit IBR yaitu virus BHV-1, terbagi
menjadi 2 subtipe, yaitu subtipe 1 dan subtipe 2. Virus BHV-1 subtipe 1 berhubungan
dengan galur yang dapat menyebabkan gangguan pernapasan, sedangkan subtype 2
adalah galur yang dapat menyebabkan gangguan genital seperti Infectious Pustular
Vulvovaginalis (IPV) dan Infectious Pustular Balanoposthitis (IPB)
D. Pada bentuk pernafasan ditemukan lesi yang dimulai dari mulut, tekak, tenggorokan dan
bronchus. Apabila disertai infeksi sekunder dapat ditemukan bronchopneumonia.
E. Pemeriksaan adanya virus dapat dilakukan secara isolasi dari usapan vagina atau trachea
atau organ dari saluran pernafasan dan reproduksi yang diinokulasikan pada biakan sel
/sel (Mardin Darby Bovine Kidney) MDBK, kemudian dilihat adanya kerusakan sel
berupa adanya CPE (Cytopathogenic Effect)
F. vaksin tidak dapat mencegah infeksi, tetapi dapat mengurangi kejadian klinis IBR dan
mengurangi shedding virus IBR
G. Vaksin dengan marker/DIVA (differentiation of infected from vaccinated animals) kini
ada di pasaran internasional
VI.
Daftar Pustaka
Anonim. 1996. Manual of Standards for Diagnostic test and vaccines. Offi ce Interiational Des
Epizooties. world Organization for Animal health. 281 -290.
Anonim. 1999. Manual Diagnostik Penyakit Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Japan
International Cooperation Agency (JICA), Jakarta. The Merek Veterinary Manual, Merek & Co Inc.
Rahway. N Y USA, seventh edition.
Cottral GE 1978. Manual of Standardized Methods for Veterinary Microboloty. Comsock
Publishing Assosiates. Cornell University Press, fi rst edition.
Sudarisman. 2001. Respom klinis Sapi Bali Yang DivaskinTerhadap Uji Tantang Dengan Bovine
Herpesvirus-1 Isolat Lokal. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner Vol. 6 No.3 Th. 2001
Damayanti, R dan Sudarisman. 2005. {atogenitas Isolat Lokal Virus BHV-1 sebagai Penyebab
Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) Pada sapi bali. JITV Vol. 10 No. 3 Th. 2005
http://homepage.usask.ca/~vim458/virology/studpages2009/VirusWebsite/ibr_ virus.jpg
http://www.vetnext.com.
http://www.drostproject.org/en_bovrep/images/bvvv42.jpg.
http://bbalitvet.litbang.pertanian.go.id/eng/index.php/component/content/article/37-headlines/374ibr
http://ocw.tufts.edu/data/72/1362316/1368474/1373930_xlarge.jpg