Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN HASIL DISKUSI

FOCUS GROUP DISCUSSION


SKENARIO 3 : HERPESVIRUS PADA SAPI

Disusun Oleh :

Armanda Dwi Prayugo


13/349530/KH/7794

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015

I.

Judul / Topik Diskusi


Herpesvirus Pada Sapi

II.

Tujuan Pembelajaran
A. Tujuan Instruksional umum
Mahasiswa mampu memahami MK yang dipelajari melalui implementasi integrasi dan
sinergi antar MK untuk saling melengkapi / meningkatkan / mempertajam dan berbagi
konsep keilmuan, keterampilan dan perilaku.
B. Tujuan Instruksional khusus
Mampu memahami agen penyebab Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR), sifat virus,
mekanisme infeksi dan patogenesisnya. Mampu memahami perubahan patologis yang
terjadi serta patologi klinis yang muncul dengan menginterpretasikan data laboratorik.
Serta memahami cara pengobatan, pengendalian dan pencegahan dari penyakit ini.

III.

Skema Pembelajaran

SKENARIO III :
ngaitkan data dari berbagai laboratorium, melakukan interpretasi data, diagnosis, prognosis, terapi

IV.

Bahasan Diskusi
A. Etiologi Virus
1. Karakteristik
Bovine Herpesvirus type 1 termasuk ke dalam keluarga herpesviridae, subfamili
Alphaherpesviridae dan genus Varicellovirus. Bovine Herpesvirus type 1 (BHV-1)
merupakan penyakit virus yang patogen baik bagi ruminansia domestik maupun liar

yang telah tersebar ke suluruh dunia dan secara ekonomi sangat signifikan merugikan
bagi industri peternakan di berbagai negara. Virus BHV-1 juga merupakan penyebab
penyakit

gangguan

pernapasan

(Infectious

bovine

rhinotracheitis,

IBR),

konjungtivitis, vulvovaginitis, balanopostitis, shipping fever (demam pengapalan),


dan infeksi sistemik lainnya.
Genom virus berupa double stranded deoxyribonucleic acid (ds-DNA), dengan berat
molekul 29.000-250.000. Virus herpes berbentuk kuboid simetri dengan kapsid
icosahedral, diameter 100- 150 m.
Penyakit ini pada hewan yang peka dapat bersifat laten, seperti kebanyakan penyakit
kausa herpesvirus lainnya. Oleh sebab itu, pendekatan penanggulangan penyakit ini
perlu diselaraskan dengan sifat agen penyakit dan perlu penanganan khusus untuk itu
2. Mekanisme Infeksi dan Patogenesis
a. Melalui saluran pernafasan
Penularan langsung melalui pernafasan dari virus BHV-1 sangat mudah dari
satu ternak ke ternak lain atau dari kelompok satu ke kelompok lainnya. Hal ini
disebabkan virus shedding dalam jumlah yang sangat banyak pada saluran
pernapasan, mata, dan saluran reproduksi sapi yang terinfeksi. Virus dapat
menyebar melalui sekresi hidung atau percikan yang mengandung virus (MARS
et al., 2000). Dikarenakan mekanisme penyebaran virus yang demikian, maka
kontak langsung antar hewan merupakan risiko transmisi yang sangat tinggi.
Pada penggemukan sapi yang penuh sesak, dan bercampurnya ternak satu
dengan yang lain mengakibatkan penyebaran virus akan lebih efektif (VAN
DONKERSGOED dan BABIUK, 1991).
b. Melalui semen
Pada hewan jantan yang memperlihatkan balanopostitis atau pada kondisi laten
(virus terdedah tanpa ada gejala klinis), maka semen menjadi sumber penularan
virus yang sangat potensial. Virus IBR dapat menyebar melalui kawin alam atau
kawin buatan melalui IB (WYLER et al., 1989). Penularan penyakit melalui
semen sapi pejantan terjadi sebagai berikut, yaitu sapi pejantan akan mulai
terinfeksi BHV-1 pada preputium antara 2 dan 7 hari setelah infeksi pertama.
Setelah infeksi pertama, virus seringkali sulit untuk diisolasi (HUCK et al.,
1971). Namun, sekali-sekali (intermitten) secara spontan dan seringkali terjadi
virus shedding. Infeksi laten pada sapi akan mengakibatkan pengeluaran
kembali virus apabila ternak tersebut mengalami cekaman, seperti saat
transportasi, atau diberi perlakuan kortikosteroid (misalnya: dexamethazone).
Dengan cara spontan atau perlakuan buatan akan memicu virus shedding dan
seringkali tidak menunjukkan klinis dan virus tersebut dapat terdeteksi untuk
waktu yang lama, bahkan dapat mencapai satu tahun setelah infeksi pertama
MUYLKENS et al., 2007).
Pada umumnya, BHV-1 diekskresikan lebih banyak konsentrasinya pada tahap
infeksi pertama dari pada infeksi kedua atau berikutnya yang hanya bersifat
putus-sambung. Titer antara 105 108,5 Tissue Culture Infective Dose

(TCID50) per ml dari bilasan preputium atau semen telah terdeteksi selama fase
akut pada kasus infeksi alami maupun buatan (SPILKI et al., 2004). Selama
masa pengeluaran kembali virus baik secara spontan maupun melalui
rangsangan alami atau perlakuan dengan rangsangan buatan, titer virus sangat
bervariasi yaitu titer virus antara 101 dan 105,2 TCID50 per ml asal bilasan
praeputium atau semen telah pula dilaporkan (MEDINA et al., 2009). Akan
tetapi virus tidak terdeteksi lagi setelah 14 pasca infeksi (SPILKI et al., 2004).
Dosis yang diperlukan untuk menginfeksi sapi setelah inokulasi intra-nasal atau
intra-vagina dengan menggunakan BHV-1 galur lapang yaitu 3,2 TCID50 (VAN
OIRSCHOT, 1995). Virus IBR dalam semen beku (extended semen) yang
disimpan pada suhu 4C akan tahan selama 7 hari, sementara bila semen
tersebut disimpan pada suhu ruang akan tahan selama 5 hari. Selanjutnya,
DREW et al. (1987) juga melaporkan bahwa virus IBR dalam semen beku tidak
akan kehilangan sifat infektivitas setelah dilakukan 5 kali proses pembekucairan (freezing-thawing). Penerapan IB yang menggunakan semen terinfeksi
BHV-1 akan menyebabkan penurunan angka kelahiran, memperpendek siklus
estrus, dan memicu endometritis (VAN ENGELENBURG et al., 1995).
3. Gejala Klinis
Berdasarkan gejala klinisnya, agen penyebab penyakit IBR yaitu virus BHV-1, terbagi
menjadi 2 subtipe, yaitu subtipe 1 dan subtipe 2. Virus BHV-1 subtipe 1 berhubungan
dengan galur yang dapat menyebabkan gangguan pernapasan, sedangkan subtype 2
adalah galur yang dapat menyebabkan gangguan genital seperti Infectious Pustular
Vulvovaginalis (IPV) dan Infectious Pustular Balanoposthitis (IPB) (RADOSTIT et
al., 2000).

Gejala klinis sapi penderita IBR. A dan B) Bentuk pernafasan C) Bentuk konjungtival; D dan E)
Bentuk genital
a. Gangguan pernapasan

IBR merupakan penyakit pernapasan pada sapi yang secara signifikan


merugikan, khususnya bagi usaha perbibitan ternak sapi. Virus masuk ke dalam
saluran pernapasan umumnya melalui udara (mengandung partikel air) yang
mengandung virus IBR berasal dari hewan penderita. Utamanya, infeksi terjadi
pada saluran pernapasan bagian atas, tetapi kadangkadang juga terjadi pada
bagian bawah paru-paru. Setelah berinkubasi selama 2 3 hari, ternak akan
demam yang diikuti dengan peningkatan frekuensi pernapasan, anoreksia,
penurunan produksi susu (pada sapi perah), serta menjadi kurus. Dalam jangka
waktu satu atau dua hari, terbentuk leleran hidung encer dan hidung tampak
kemerahan (GIBBS dan RWEYEMAMU, 1977). Pada tahap berikutnya, leleran
hidung yang encer menjadi mukopurulen. Tahap akut ini terjadi sekitar 5 10
hari setelah ternak sembuh dari demam. Kejadian klinis yang berat tergantung
kepada jenis galur virus yang menginfeksi, status imunologik hewan, keadaan
lingkungan, infeksi sekunder dan umur hewan. Faktor-faktor tersebut dapat
menyebabkan sindrom pernapasan kompleks yang disebut sebagai demam
pengapalan (shipping fever). Sindrom ini merupakan ciri khas infeksi BHV-1
yang diikuti dengan infeksi sekunder (biasanya bakteri Pasteurella haemolytica)
yang mungkin dapat berpotensi menghasilkan pneumonia yang fatal (BABIUK
et al., 1988). Meskipun jarang, IBR dapat terjadi pada pedetdan menyebabkan
penyakit pernapasan yang ganas atau penyakit sistemik yang fatal dan cepat
menimbulkan kematian. Infeksi IBR pada sapi yang baru lahir mungkin
disebabkan oleh kekurangan antibody maternal dan komplikasi dengan faktor
manajemen (MECHOR et al., 1987). Bila gejala klinis pernapasan pada sapi
bunting terus berlanjut, sudah dapat dipastikan sekitar 25% ternak bunting akan
mengalami keguguran. Lamanya masa inkubasi pada sapi bunting terjadi
keguguran antara 3 6 minggu dan paling sering terjadi pada usia kebuntingan
5 dan 8 bulan (MUYLKENS et al., 2007).
b. Gangguan reproduksi
IPV merupakan infeksi vagina dan vulva yang ditandai dengan ekor tidak
kembali ke posisi biasa. Kemudian timbul pustula (berdiameter 1 2 mm) yang
menyebar melalui permukaan mukosa dan kadangkadang disertai oleh leleran
mukopurulen. Pustula yang lama, pecah meninggalkan bercak berwarna merah
muda yang mengikis lokasi infeksi. Pada IPV, leleran hidung tidak tampak jelas.
Penyakit pada tahap akut terjadi antara 2 4 hari, dan lesi hilang dengan
sendirinya setelah 10 14 hari dari saat terjadinya penyakit. Jika infeksi
sistemik terjadi pada sapi bunting, maka akan terjadi keguguran (MUYLKENS
etal., 2007). Pada ternak jantan, penyakit IPB berkembang setelah masa
inkubasi 1 3 hari yang ditandai dengan lesi pustula yang menyebar pada penis,
timbulnya eksudat kecil dan demam. Infeksi pada pejantan dapat menularkan
IPB ke sapi lain walaupun tidak terdapat adanya lesi (MUYLKENS et al.,

2007). Hal inilah yang menjadi alasan bahwa pejantan pada pusat inseminasi
buatan (IB) harus memiliki seronegatif terhadap BHV-1.
c. Gangguan syaraf (ensefalitis)
Meskipun BHV-1 dapat menyebabkan gangguan pada organ syaraf, ensefalitis
jarang sekali terjadi pada sapi. Ensefalitis diperkirakan terjadi sebagai
suatuproses

lanjutan

yang

berhubungan

dengan

pernapasanakut

atau

pengaktifan kembali virus laten dari gangliatrigeminal dan cenderung


mendekati penyebarannya kepusat otak. Berbagai gejala klinis yang
dapatditimbulkan

setelah

terjadinya

infeksi

olehalphahervesvirus

yaitu

terjadinya gangguan syaraf dan mengakibatkan infeksi laten yang menetap pada
sistemsyaraf tepi inang (PRESTON, 2000). Gejala klinis syaraf ditandai
dengan tidak terkoordinasi, berputar-putar,otot gemetar, berbaring, kehilangan
keseimbangan, kebutaan, selalu menjilat panggul dan akhirnya mati(ENQUIST
et al., 2002). Kasus sporadis BHV-1 yang berhubungan dengan ensefalitis sudah
umum terjadi diAustralia dan Argentina. Galur BHV-1 yang menunjukkan
neuropatogenik

yang

berpotensi

mewakili

bvarian

antigenik

dan

dikelompokkan sebagai BHV-5. Gejala klinis lain yang berkaitan dengan BHV1termasuk kekeruhan pada kornea mata, mastitis, enteritis, dan dermatitis
(WYLER et al., 1989)

d. Bentuk konjungtival
Gejala edema kornea dan konjungtiva akan menghasilkan eksudat yang bersifat
serous sampai mukopurulen. Bentuk radang difterik pada konjungtiva dapat
dijumpai pada penderita yang parah. Bentuk ini juga sering disebut winter pink
eye.
e. Bentuk ensefalitik
Bentuk ini sering didapatkan pada anak sapi umur 2-3 bulan.Timbulnya
meningoensefalitis dapat dikarenakan adanya perkembangbiakan virus pada
otak. Gejala yang timbul dapat berupa depresi, gelisah, konvulsi, hiperestesi,
eksitasi , inkoordinasi dan kebutaan.
f. Bentuk genital dan keguguran
Infeksi virus pada mukosa vagina dan vulva menyebabkan penyakit ini dikenal
dengan Infectious Pustular Vulvovaginitis (IPV). Pada sapi jantan virus
menginfeksi alat kelamin jantan, sehingga disebut balanopostitis. Infeksi akut
terjadi 1-3 hari pasca koitus, dengan gejala bervariasi. Pada infeksi yang berat
sapi memperlihatkan gelisah, rasa sakit dan sering kencing, vulva membengkak
disertai adanya eksudat yang kental melekat pada rambut vulva. Pada hewan
bunting, keguguran dapat terjadi pada trimester terakhir. Pada sapi jantan
dijumpai luka pada preputium disertai adanya reaksi peradangan dan eksudat
yang kental. Virus banyak ditemukan pada hati dan ginjal janin yang
diabortuskan.

g. Bentuk Neonatal
Bentuk neonatal Infeksi ini biasanya dimulai ketika pedet masih dalam
kandungan. Gejala umum adalah demam, anoreksia, depresi, dipsnoea,
keluarnya eksudat serous dari mata, serta diare yang persisten.
B. Gambaran Patologi
Pada bentuk pernafasan ditemukan lesi yang dimulai dari mulut, tekak, tenggorokan dan
bronchus. Apabila disertai infeksi sekunder dapat ditemukan bronchopneumonia.
Pembengkakan juga ditemukan pada kelenjar limfe retrofaringeal, bronchial dan
mediastinal. Hati pada janin bentuk genital dan keguguran menujukkan adanya radang
nekrotik yang bersifat lokal. Jaringan fetus pada umumnya mengalami autolisis. Pada
bentuk neonatal dijumpai jejas nekrosis pada kerongkongan dan lambung depan. Pedet
yang mengalami kematian pada bentuk ensefalik menunjukkan radang pada otak dan
selaputnya.

Patologi anantomi sapi penderita IBR. A) Infl amasi akut pada laring dan trachea, B) ulser pada
oesofagus
C. Diagnosa Patologi Klinis IBR
Diagnosa didasarkan atas anamnese, gejala klinis, patologi. Secara laboratorium dapat
dilakukan secara histopatologi dan virologi. Pemeriksaan adanya virus dapat dilakukan
secara isolasi dari usapan vagina atau trachea atau organ dari saluran pernafasan dan
reproduksi yang diinokulasikan pada biakan sel /sel (Mardin Darby Bovine Kidney)
MDBK, kemudian dilihat adanya kerusakan sel berupa adanya CPE (Cytopathogenic
Effect). Identifi kasi virus dilakukan secara FAT (Fluorecent Antibody Test).
Pemeriksaan adanya zat kebal dilakukan dengan uji serum neutralization (SN) dengan
menggunakan biakan sel, AGDT (Agar Gel Diffusion Test) atau CFT (Complement
Fixation Test).
Usaha untuk mendeteksi BHV-1 pada semen sapi yang digunakan untuk IB dan swab
(sediaan ulas) dari mukosa organ hewan yang terserang hanya dilakukan dengan cara
isolasi virus. Hal ini menimbulkan banyak hambatan dan membutuhkan waktu cukup
lama. Selain itu, teknik pewarnaan imunohistokimia (IHK) juga dilakukan untuk
mendeteksi antigen pada organ hewan yang terinfeksi BHV-1. Isolasi virus IBR di
Indonesia diperoleh dari kasus hewan yang mengalami stres buatan dan dari semen
hewan asal Balai Inseminasi Buatan (BIB) telah berhasil dilakukan (SUDARISMAN,
1992) akan tetapi uji patogenitas untuk dipelajari sifatsifatnya belum diuji. Keganasan

isolat dapat dilihat dari respon klinis, patologi anatomis, histopatologis dan sebaran
antigen BHV-1 pada organ yang terinfeksi.
Penyakit ini dapat dikelirukan dengan Pasteurellosis, Bovine Viral Diarrhea (BVD),
Diphteria, Shipping Fever, rhinitis karena alergi, dan Malignant Catarrhal Fever (MCF)
D. Pengobatan dan Pengendalian IBR
Pengendalian penyakit didasarkan kepada ukuran kesehatan yang normal di peternakan.
Hal yang penting dilakukan adalah adanya masa karantina dari hewan baru di peternakan
yang dilakukan selama 2 3 minggu (OIE, 2008). Hanya sapi-sapi yang seronegatif
yang diperbolehkan masuk ke peternakan.

Bahkan apabila diperlukan dilakukan

program pemusnahan. Program vaksinasi dilakukan sesuai jadwal yang disarankan oleh
pabrik pembuat vaksin dan dokter hewan setempat. Tetapi harus dipahami bahwa vaksin
tidak dapat mencegah infeksi, tetapi dapat mengurangi kejadian klinis IBR dan
mengurangi shedding virus IBR (MARS et al., 2001; BOSCH et al., 1998). Hal ini
penting artinya apabila kita ingin beternak sapi dan memulainya dengan sapi yang bebas
IBR. Program vaksinasi juga tidak boleh melupakan uji serologis untuk serum-serum
hewan paska vaksinasi dan kita juga harus mengetahui apakah vaksin yang kita gunakan
cukup baik respon kekebalannya, melalui uji serologis (KRAMPS et al., 1993). Uji
serologis dapat dilakukan dengan ELISA (Enzyme linked immunosorbent assay) ataupun
uji serum netralisasi (Serum neutralisation test). Sehingga bila terjadi sesuatu yang tidak
kita inginkan kita dapat mengetahuinya secara baik, ilmiah, dan comprehensive.
Vaksin dengan marker/DIVA (differentiation of infected from vaccinated animals) kini
ada di pasaran internasional. Vaksin mati dan vaksin hidup yang dilemahkan didasarkan
pada virus mutan ataupun vaksin sub unit dari virion. Penggunaan vaksin marker ada
hubungannya dengan uji diagnosa yang membedakan antara sapi- sapi infeksi dan
vaksinasi.
Berdasarkan informasi dan bukti yang ada, termasuk sifat penyakit dan perkembangan
situasi penyakit IBR di Indonesia, maka secara hipotetik strategi pengendalian penyakit
IBR pada ternak sapi di Indonesia disarankan untuk dilakukan secara bertahap dan
dimulai dari hulu (sumber bibit/benih) yang kemudian sampai ke hilir (peternakan
rakyat) serta dengan beberapa prasyarat sebagai berikut:
1. Untuk pengendalian penyakit diperlukan perangkat pendukung, berupa teknik
diagnosis (deteksi virus, deteksi antibodi) yang telah dikuasai oleh laboratorium
veteriner.
2. Tersedia vaksin IBR tidak aktif dalam jumlah yang cukup sebagai pencegah infeksi
pada populasi yang dinamis dan sulit dikendalikan melalui tindakan biosekuriti.
3. Tersedia perangkat lunak berupa peraturan/kebijakan dan petunjuk operasional
pengendalian penyakit yang jelas, tegas, aplikatif di lapangan, serta para peternak telah
menerima informasi yang cukup tentang penyakit IBR.
4. Tersedia dana yang cukup untuk pelaksanaan program pengendalian penyakit.
5. Strategi pengendalian penyakit dilakukan dari hulu ke hilir secara tuntas dan bertahap
sesuai kemampuan pendanaan.

Strategi pelaksanaan pengendalian penyakit IBR dilakukan dengan tahapan prioritas


sebagai berikut:
1. Prioritas pertama adalah pembebasan penyakit IBR pada sapi di pusat-pusat
perbibitan dan inseminasi buatan (IB).
Upaya yang dilakukan adalah menerapkan persyaratan bahwa seluruh ternak yang
ada di lokasi tersebut harus bebas dari penyakit IBR. Ternak bibit tidak divaksinasi
untuk memudahkan pemantauan bila ternak kemudian berubah menjadi reaktor.
Penerapan surveilans serologis/pendeteksian agen yang ketat untuk mengetahui
sedini mungkin terhadap adanya hewan menjadi reaktor. Hewan yang dinyatakan
sebagai maka hewan dikeluarkan dari kawasan dan tidak digunakan lagi sebagai
bibit/sumber

benih.

Penerapan

biosekuriti

peternakan

yang

ketat

mutlak

dilaksanakan terhadap calon sapi bibit yang akan memasuki kawasan. Hanya ternak
yang bebas IBR yang diperbolehkan memasuki kawasan dan kemudian menjadi
bibit/sumber benih. Biosekuriti juga diterapkan bagi petugas pengelola hewan yang
dan yang akan masuk kawasan melalui desinfeksi, penggunaan pakaian kandang,
kebersihan diri, dll. Biosekurit juga diterapkan untuk pakan hijauan. Sumber hijauan
pakan tidak berasal dari padang rumput dimana digembalakan ternak sapi/kerbau.
Biosekuriti termasuk mencegah kontak ternak rakyat dengan kawasan dan ternak di
dalamnya. Dengan demikian, lokasi kawasan telah didesain memiliki jarak yang
cukup jauh dengan peternakan rakyat.
2. Prioritas kedua adalah pembebasan penyakit IBR
Pada sapi bibit di peternakan rakyat/VBC. Upaya yang dilakukan adalah menerapkan
persyaratan bahwa semen yang digunakan untuk inseminasi buatan (IB) adalah
semen berasal dari pusat pusat IB yang bebas dari IBR. Jika menggunakan pejantan
unggul, maka pejantan unggul berasal dari pusat-pusat perbibitan yang bebas dari
IBR atau bila pejantan berasal dari VBC maka pejantan tersebut telah dibuktikan
secara laboratorium bebas dari penyakit IBR. Semua sapi betina bibit telah
dibuktikan bebas dari penyakit IBR, atau bibit sapi betina berasal dari pusat-pusat
perbibitan yang bebas dari penyakit IBR. Monitoring penyakit dilakukan secara
berkala untuk mengetahui adanya dan ternak reaktor dikeluarkan dari kawasan dan
tidak digunakan lagi sebagai bibit. perlakuan vaksinasi pada sapi betina bibit dapat
dipertimbangkan tergantung pada situasi apakah pergerakan sapi bibit atau
pencegahan kontak dengan sapi lainnya milik rakyat dapat dikendalikan. Sapi
pejantan tetap tidak divaksin, bila menjadi reaktor maka pejantan dikeluarkan dari
kawasan dan tidak digunakan sebagai pemacek. Lalu lintas ternak melewati kawasan
3.

diperketat sebagai upaya biosekuriti agen penyakit.


Prioritas terakhir adalah pengendalian penyakit IBR
Pada ternak milik rakyat. Secara umum adalahbdengan penggunaan semen untuk
inseminasi buatan (IB) berasal dari pusat-pusat IB yang bebas dari IBR, atau
pejantan bebas penyakit IBR, serta melakukan vaksinasi rutin. Tahap ini
dilaksanakan setelah dilakukan analisis peluang keberhasilan dan nilai ekonomi. Hal
ini karena untuk kegiatan ini dana yang tidak sedikit, waktu yang panjang serta

tingkat kesulitan yang tinggi terkait situasi dan kondisi sistem peternakan yang ada,
aspek sosial dan budaya masyarakat yang kompleks.

V.

Kesimpulan
A. Virus BHV-1 juga merupakan penyebab penyakit gangguan pernapasan (Infectious
bovine rhinotracheitis, IBR), konjungtivitis, vulvovaginitis, balanopostitis, shipping
fever (demam pengapalan), dan infeksi sistemik lainnya
B. Penularan langsung melalui pernafasan dari virus BHV-1 sangat mudah dari satu ternak
ke ternak lain atau dari kelompok satu ke kelompok lainnya. Hal ini disebabkan virus
shedding dalam jumlah yang sangat banyak pada saluran pernapasan, mata, dan saluran
reproduksi sapi yang terinfeksi.
C. Berdasarkan gejala klinisnya, agen penyebab penyakit IBR yaitu virus BHV-1, terbagi
menjadi 2 subtipe, yaitu subtipe 1 dan subtipe 2. Virus BHV-1 subtipe 1 berhubungan
dengan galur yang dapat menyebabkan gangguan pernapasan, sedangkan subtype 2
adalah galur yang dapat menyebabkan gangguan genital seperti Infectious Pustular
Vulvovaginalis (IPV) dan Infectious Pustular Balanoposthitis (IPB)
D. Pada bentuk pernafasan ditemukan lesi yang dimulai dari mulut, tekak, tenggorokan dan
bronchus. Apabila disertai infeksi sekunder dapat ditemukan bronchopneumonia.
E. Pemeriksaan adanya virus dapat dilakukan secara isolasi dari usapan vagina atau trachea
atau organ dari saluran pernafasan dan reproduksi yang diinokulasikan pada biakan sel
/sel (Mardin Darby Bovine Kidney) MDBK, kemudian dilihat adanya kerusakan sel
berupa adanya CPE (Cytopathogenic Effect)
F. vaksin tidak dapat mencegah infeksi, tetapi dapat mengurangi kejadian klinis IBR dan
mengurangi shedding virus IBR
G. Vaksin dengan marker/DIVA (differentiation of infected from vaccinated animals) kini
ada di pasaran internasional

VI.

Daftar Pustaka

Anonim. 1996. Manual of Standards for Diagnostic test and vaccines. Offi ce Interiational Des
Epizooties. world Organization for Animal health. 281 -290.
Anonim. 1999. Manual Diagnostik Penyakit Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Japan
International Cooperation Agency (JICA), Jakarta. The Merek Veterinary Manual, Merek & Co Inc.
Rahway. N Y USA, seventh edition.
Cottral GE 1978. Manual of Standardized Methods for Veterinary Microboloty. Comsock
Publishing Assosiates. Cornell University Press, fi rst edition.
Sudarisman. 2001. Respom klinis Sapi Bali Yang DivaskinTerhadap Uji Tantang Dengan Bovine
Herpesvirus-1 Isolat Lokal. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner Vol. 6 No.3 Th. 2001
Damayanti, R dan Sudarisman. 2005. {atogenitas Isolat Lokal Virus BHV-1 sebagai Penyebab
Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) Pada sapi bali. JITV Vol. 10 No. 3 Th. 2005
http://homepage.usask.ca/~vim458/virology/studpages2009/VirusWebsite/ibr_ virus.jpg
http://www.vetnext.com.
http://www.drostproject.org/en_bovrep/images/bvvv42.jpg.
http://bbalitvet.litbang.pertanian.go.id/eng/index.php/component/content/article/37-headlines/374ibr
http://ocw.tufts.edu/data/72/1362316/1368474/1373930_xlarge.jpg

Anda mungkin juga menyukai