Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah

Kegagalan pernapasan merupakan indikasi yang paling umum pasien


untuk dirawat di unit perawatan intensif (ICU) rumah sakit. Kegagalan
pernapasan adalah suatu kondisi ketidakmampuan paru menjaga
keseimbangan atau homeostatis O2 dan CO2 didalam tubuh serta
ketidakmampuan paru menyediakan O2 yang cukup atau mengurangi
tumpukan CO2 didalam tubuh (Smeltzer et al, 2008). Menurut Ignatavicius
dan Workman (2006), kegagalan pernapasan dapat didefinisikan sebagai
kegagalan ventilasi dan atau kegagalan oksigenasi karena berbagai macam
faktor penyebab.
Pengelolaan airway atau jalan napas merupakan bagian yang penting
dalam suatu tindakan perawatan pada pasien yang mengalami kondisi kritis
karena alasan beberapa penyakit. Prioritas yang harus dilakukan pertama
adalah dengan membebaskan jalan napas dan mempertahankan jalan napas
tetap bebas. Salah satu upaya untuk mempertahankan jalan napas adalah
dengan melakukan intubasi yang dikalibrasikan dengan ventilasi mekanik
sehingga dapat membantu ventilasi paru untuk meningkatkan oksigenasi dan
mencegah kerusakan paru (Brudder & Suddart, 2010).
Menurut Smeltzer et al (2008), bantuan tersebut dilakukan untuk
memenuhi oksigenasi, mengurangi kerja pernapasan dan meningkatkan
oksigenasi jaringan atau mengoreksi terjadinya asidosis respiratorik. Intubasi
itu sendiri adalah suatu tindakan memasukan pipa ke dalam rongga saluran
pernapasan bagian atas. Alasan utama dilakukan intubasi adalah menyediakan
saluran udara yang bebas hambatan untuk ventilasi dalam jangka panjang,
serta meminimalkan risiko terjadinya aspirasi. Hingga akhirnya tindakan
intubasi ini akan berakhir dengan proses dilakukannya ekstubasi (Brudder &
Suddart, 2010).
Tindakan intubasi sudah banyak dilakukan dan mendapat banyak perhatian
dibandingkan dengan ekstubasi. Padahal banyak masalah yang akan terjadi

1
setelah dilakukan ekstubasi, seperti yang disampaikan oleh American Society
of Anesthesiology (ASA) Closed Claims Study antara tahun 1990 sampai
2007, bahwa efek merugikan terhadap sistem pernafasan setelah ekstubasi
sebesar 35 kasus dari 522 kasus (7%), yang meliputi ketidakadekuatan
ventilasi, obstruksi jalan nafas, spasme bronkus dan aspirasi. Laporan
menyatakan bahwa 4-9% kejadian yang serius terhadap respirasi terjadi
segera setelah ekstubasi (Beigmohammadi, et al, 2015).
Di Inggris, komplikasi yang terjadi sesaat sesudah ekstubasi mencapai 3
kali lipat dibandingkan masalah respirasi saat induksi anestesi, yaitu 12,6%
disbanding 4,6%. Batuk, desaturasi dan obstruksi jalan nafas relatif sering
terjadi saat ekstubasi dan lebih tinggi pada pasien yang memiliki riwayat
merokok (Gray, 2013; Seymour, Martinez, Christie, & Fuchs,2007).
Melihat angka kejadian kegagalan ekstubasi pada pasien yang semakin
tinggi mengindikasikan resiko pasien dilakukan reintubasi, perpanjangan
lama hari rawat, proses pemulihan memanjang, resiko perburukan penyakit
bertambah, serta angka kematian pasien akan meningkat di ruang Intensive
care unit (ICU) (Cavallone & Vannucci, 2013). Agar ekstubasi tidak akan
mengalami kegagalan harus dilakukan pengelolaan penyapihan (weaning)
dengan ventilasi non invasif dan pemberian steroid sebelum diekstubasi
(Thille, Richard, Brochard, 2013).
Berdasarkan hasil observasi awal yang dilakukan, terhitung dari bulan
Januari sampai Mei 2019 sebanyak 178 pasien yang dilakukan intubasi. Dan
sebanyak 155 pasien yang gagal dilakukan ekstubasi dan sebanyak 23 pasien
yang berhasil dilakukan ekstubasi. Pasien yang berhasil dilakukan ekstubasi
ini mengalami berbagai perbedaan kondisi penyakit, usia maupun setingan
ventilator. (Administrasi RSAS, 2019). .
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, rumusan masalah pada
penelitian ini adalah “Faktor-faktor Apakah yang Berhubungan dengan
Outcome Ekstubasi pada Pasien di Ruang ICU RSUD Prof. Dr. H. Aloei
Saboe Kota Grontalo” ?

2
1.3 Tujuan Mini Riset
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-
faktor apakah yang berhubungan dengan outcome ekstubasi pada pasien di
Ruang ICU RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Grontalo
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
a. Menggambarkan faktor-faktor yang berhubungan dengan outcome
ekstubasi pada pasien di Ruang ICU RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe
Kota Gorontalo
b. Menganalisis hubungan usia dengan outcome ekstubasi pada pasien di
Ruang ICU RSUD PROf. Dr. H. Aloe Saboe Kota Gorontalo
c. Menganalisis hubungan tekanan darah sistolik dengan outcome
ekstubasi pada pasien di Ruang ICU RSUD PROf. Dr. H. Aloe Saboe
Kota Gorontalo
d. Menganalisis hubungan FIO2 dengan outcome ekstubasi pada pasien
di Ruang ICU RSUD PROf. Dr. H. Aloe Saboe Kota Gorontalo
e. Menganalisis hubungan PEEP dengan outcome ekstubasi pada pasien
di Ruang ICU RSUD PROf. Dr. H. Aloe Saboe Kota Gorontalo
1.4 Manfaat Mini Riset
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pihak yang
terkait tentang. faktor-faktor apakah yang berhubungan dengan outcome
ekstubasi pada pasien di Ruang ICU RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota
Grontalo
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Institusi Pendidikan Keperawatan
Yakni sebagai referensi untuk menambah wawasan yang berkaitan
dengan mutu pelayanan keperawatan serta dapat memberikan
masukkan data untuk pengembangan ilmu khususnya dibidang
Intensive Care

3
b. Bagi Rumah Sakit
Diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukkan maupun
tambahan informasi tentang faktor yang berhubungan dengan
keberhasilan ekstubasi sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan
di rumah sakit khusunya ruangan Intensive Care
c. Bagi Mahasiswa
Dapat mengaplikasikan ilmu yang diperoleh selama pendidikan dan
penelitian serta dapat memperoleh gambaran tentang beberapa
indikator keberhasilan dilakukannya ekstubasi pada pasien di
ruaangan Intensive Care

4
BAB II
KAJIAN TEORITIS
2.1.Kajian Teoritis
2.1.1. Sistem Pernapasan
Sistem pernapasan atau sistem respirasi adalah sistem organ yang
digunakan untuk pertukaran gas. Sistem pernapasan umumnya termasuk saluran
yang digunakan untuk membawa udara ke dalam paru-paru di mana terjadi
pertukaran gas. Diafragma menarik udara masuk dan juga mengeluarkannya.
Paru merupakan salah satu organ vital yang memiliki fungsi utama sebagai alat
respirasi dalam tubuh manusia, paru secara spesifik memiliki peran untuk
terjadinya pertukaran oksigen (O2) dengan karbon dioksida (CO2). Sistem
pernafasan terdiri atas paru, saluran napas dan sistem saraf yang mengatur
ototpernafasan dan dinding dada (Sherwood, 2012).
2.1.2. Anatomi Sistem Pernapasan
1. Anatomi Saluran Pernapasan Atas
a. Lubang Hidung
Hidung dibentuk oleh tulang sejati (os) dan tulang rawan (kartilago).
Hidung dibentuk oleh sebagian kecil tulang sejati, sisanya terdiri atas
kartilago dan jaringan ikat (connective tissue). Bagian dalam hidung
merupakan suatu lubang yang dipisahkan menjadi lubang kiri dan kanan
oleh sekat (septum). Rongga hidung mengandung rambut (fimbriae) yang
berfungsi sebagai penyaring (filter) kasar terhadap benda asing yang
masuk. Pada permukaan (mukosa) hidung terdapat epitel bersilia yang
mengandung sel goblet. Sel tersebut mengeluarkan lendir sehingga dapat
menangkap benda asing yang masuk ke dalam saluran pernapasan. Kita
dapat mencium aroma karena di dalam lubang hidung terdapat reseptor.
Reseptor bau terletak pada cribriform plate, di dalamnya terdapat ujung
dari saraf kranial I (Nervous Olfactorius). Hidung berfungsi sebagai jalan
napas, pengatur udara, pengatur kelembaban udara (humidifikasi),
pengatur suhu, pelindung dan penyaring udara, indra pencium, dan
resonator suara (Somantri,2007).

5
Gambar 2.1. Anatomi hidung dan sinus
Sumber : www.ghorayeb.com
b. Sinus Paranasalis
Sinus paranasalis merupakan daerah yang terbuka pada tulang kepala.
Sinus adalah suatu rongga berisi udara dilapisi mukosa yang terletak di
dalam tulang wajah dan tengkorak.Ada empat sinus paranasal yaitu sinus
frontalis, sinus ethmoidalis, sinus sphenoidalis, dan sinus maxillaris.
Fungsi dari sinus paranasal sendiri yaitu membantu pengaturan tekanan
intranasal dan tekanan serum gas, kelembaban udara inspirasi, mendukung
pertahanan imun, meningkatkan area permukaan mucosa, meringankan
volume tengkorak, memberi resonansi suara, menyerap goncangan dan
mendukung pertumbuhan masase muka (Anggraini,2006).
c. Faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti
corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah serta
terletak pada bagian anterior kolum vertebra. Faring terbagi atas
nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring). Unsur-unsur faring
meliputi mukosa, palut lendir (mukosa blanket) dan otot (Joshi A, 2011).
d. Laring

6
Laring adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang
merupakan suatu rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong dan
terletak setinggi vertebra cervicalis IV – VI, dimana pada anak-anak dan
wanita letaknya relatif lebih tinggi. Laring pada umumnya selalu terbuka,
hanya kadang-kadang saja tertutup bila sedang menelan makanan (Sofyan,
2011).
Fungsi utama laring adalah untuk pembentukan suara, sebagai jalan
respirasi yaitu pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk
memperbesar rongga dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior terangsang
sehingga kontraksinya menyebabkan rima glotis terbuka,sebagai proteksi
jalan napas bawah dari benda asing dan untuk memfasilitasi proses
terjadinya batuk (Sofyan, 2011).
Laring terdiri atas: 1) Epiglotis, katup kartilago yang menutup dan
membuka selama menelan; 2) Glotis, lubang antara pita suara dan laring;
3) Kartilago tiroid, kartilago yang terbesar pada trakhea, terdapat bagian
yang membentuk jakun; 4) Kartilago krikoid, cincin kartilago yang utuh di
laring (terletak di bawah kartilago tiroid).5) Kartilago aritenoid, digunakan
pada pergerakan pita suara bersama dengan kartilago tiroid;6) Pita suara,
sebuah ligamen yang dikontrol oleh pergerakan otot yang menghasilkan
suara dan menempel pada lumen laring (Somantri, 2007)

Gambar 2.2 Laring


Sumber : www.dtc.pima.edu/~biology

7
2. Anatomi Saluran Pernapasan Bawah
a. Trakea
Trakhea merupakan perpanjangan laring pada ketinggian tulang
vertebra torakal ke-7 yang bercabang menjadi dua bronkhus. Ujung cabang
trakhea disebut carina. Trakhea bersifat sangat fleksibel, berotot, dan
memiliki panjang 12 cm dengan cincin kartilago berbentuk huruf C
(Somantri, 2007).
b. Bronkus dan Bronkhiolus
Bronkus merupakan saluran nafas yang terbentuk dari belahan dua
trakeapada ketinggian kira-kira vertebrata torakalis kelima, mempunyai
struktur serupadengan trakea dan dilapisi oleh jenis sel yang sama (Pino,
2013)
Bronkus berjalan ke arah bawah dan samping menuju paru dan
bercabangmenjadi dua, yaitu bronkus kanan dan bronkus kiri. Bronkus
kanan mempunyaidiameter lumen lebih lebar, ukuran lebih pendek dan
posisi lebih vertikal. Letaksedikit lebih tinggi dari arteri pulmonalis serta
mengeluarkan sebuah cabangutamayang melintas dibawah arteri, yang
disebut bronkus kanan lobus bawah. Sedangkan bronkus kiri memiliki
ukuran lebih panjang, diameterlumennya lebih sempit dibandingkan
bronkus kanan dan melintas di bawah arteripulmonalis sebelum di belah
menjadi beberapa cabang yang berjalan kelobus atas dan bawah (Moore,
1999).
3. Saluran Pernapasan Terminal
a. Alveoli
Parenkim paru-paru merupakan area yang aktif bekerja dari jaringan
paru-paru. Parenkim tersebut mengandung berjuta-juta unit alveolus.
Alveoli merupakan kantong udara yang berukuran sangat kecil, dan
merupakan akhir dari bronkhiolus respiratorus sehingga memungkinkan
pertukaran O2 dan CO2. Seluruh dari unit alveoli (zona respirasi) terdiri
ats bronkhiolus respiratorius, duktus alveolus, dan alveolar sacs (kantong

8
alveolus). Fungsi utama dari unit alveolus adalah pertukaran O2 dan CO2
diantara kapiler pulmoner dan aveoli (Somantri, 2007)

Gambar 2.3 Alveolus


Sumber: www.mercksource.com/pp/us/cns
b. Paru-paru
Paru terdiri atas 3 lobus pada paru sebelah kanan, dan 2 lobus pada
paru sebelah kiri. Pada paru kanan lobus – lobusnya antara lain yakni
lobus superior, lobus medius dan obus inferior. Sementara pada paru kiri
hanya terdapat lobus superior dan lobus inferior. Namun pada paru kiri
terdapat satu bagian di lobus superior paru kiri yang analog dengan lobus
medius paru kanan, yakni disebut sebagai lingual pulmonis. Di antara
lobus – lobus paru kanan terdapat dua fissura, yakni fissure horizontalis
dan fissura obliqua, sementara di antara lobus superior dan lobus inferior
paru kiri terdapat fissura obliqua (Stranding, 2009).

Gambar 2.4 Paru-paru


Sumber: medicalterms.info

9
c. Dada, Diafragma, Pleura
Tulang dada (sternum) berfungsi melindungi paru-paru, jantung, dan
pembuluh darah besar. Bagian luar rongga dada terdiri atas 12 pasang
tulang iga (costae). Bagian atas dada pada daerah leher terdapat dua otot
tambahan inspirasi yaitu otot scaleneus dan sternocleidomastoid.
Diafragma terletak di bawah rongga dada. Diafragma berbentuk seperti
kubah pada keadaan relaksasi. Pengaturan saraf diafragma (Nervus
Phrenicus) terdapat pada susunan saraf spinal (Somantri,2007).
Pleura merupakan membran serosa yang menyelimuti paru-paru.
Pleura ada dua macam yaitu pleura parietal yang bersinggungan dengan
rongga dada (lapisan luar paru-paru) dan pleura visceral yang menutupi
setiap paru-paru. Diantara kedua pleura terdapat cairan pleura seperti
selaput tipis yang memungkinkan kedua permukaan tersebut bergesekan
satu sama lain selama respirasi, dan mencegah pelekatan dada dengan
paru-paru. Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah daripada tekanan
atmosfer sehingga mencegah kolaps paruparu. Pada proses fisiologis aliran
cairan pleura, pleura parietal akan menyerap cairan pleura melalui stomata
dan akan dialirkan ke dalam aliran limfe pleura (Sherwood, 2007).

Gambar 2.5 Pleura


Sumber: classconnection.com

10
d. Sirkulasi Pulmoner
Paru-paru mempunyai dua sumber suplai darah yaitu arteri bronkhialis
dan arteri pulmonalis. Sirkulasi bronkhial menyediakan darah
teroksigenasi dari sirkulasi sistemik dan berfungsi memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan paru- paru. Arteri bronkhialis berasal dari aorta
torakalis dan berjalan sepanjang dinding posterior bronkhus. Vena
bronkhialis akan mengalirkan darah menuju vena pulmonalis. Arteri
pulmonallis berasal dari ventrikel kanan yang mengalirkan darah vena ke
paru-paru di mana darah tersebut mengambil bagian dalam pertukaran gas.
Jalinan kapiler paru-paru yang halus mengitari dan menutupi alveolus
merupakan kontak yang diperlukan untuk pertukaran gas antara alveolus
dan darah (Somantri, 2007)
2.1.3. Fisiologi Pernapasan
Sistem pernafasan atau disebut juga sistem respirasi yang berarti bernapas
lagi. Mempunyai peran atau fungsi menyediakan O2 serta mengeluarkan gas
CO2 dari tubuh. Fungsi penyediaan O2 serta pengeluaran CO2 merupakan
fungsi yang vital bagi kehidupan. O2 merupakan sumber tenaga bagi tubuh
yang harus di pasok terus menerus O2 merupakan sumber tenaga bagi tubuh
yang harus di pasok terus menerus, sedangkan CO2 merupakan bahan toksik
yang harus segera dikeluarkan dari tubuh. Bila tertumpuk didalam darah akan
menurunkan pH sehingga menimbulkan keadaan asidosis yang dapat
menganggu faal badan bahkan menyebabkan kematian (Ganong, 2010).
Proses respirasi berlangsung beberapa tahap, yaitu: 1) Ventilasi, yaitu
pergerakan udara kedalam dan keluar paru; 2) Distribusi, yaitu udara yang telah
memasuki saluran napas diantar keseluruh paru, kemudian masuk kedalam
alveolus; 3) Perfusi, yaitu sirkulasi darah di dalam pembuluh kapiler paru;
4) Difusi gas O2 dan CO2, yaitu perpindahan molekul oksigen dari rongga
alveolus, melewati membrane kapiler alveolar, kemudian melintasi plasma
darah, dan selanjutnya menembus dinding sel darah merah, dimana akhirnya

11
masuk ke interior sel darah merah hingga berikatan dengan hemoglobin
(Alsagaf, 1995).
Faal paru seseorang dikatakan normal jika hasil kerja proses ventilasi,
distribusi, perfusi, difusi, serta hubungan antara ventilasi dengan perfusi
pada orang tersebut dalam keadaan santai menghasilkan tekanan parsial gas
darah arteri (PaO2 dan PaCO2) yang normal. Yang dimaksud keadaan santai
adalah keadaan ketika jantung dan paru tanpa beban kerja yang berat
(Djojodibroto, 2009).
Tekanan parsial gas darah arteri yang normal adalah PaO2 sekitar
96 mmHg dan PaCO2 sekitar 40 mmHg. Tekanan parsial ini diupayakan
dipertahankan tanpa memandang kebutuhan oksigen yang berbeda-beda,
yaitu saat tidur kebutuhan oksigen 100 mL/menit dibandingkan dengan saat ada
beban kerja (exercise), 2000-3000 mL/menit (Djojodibroto, 2009).
Proses pertukaran gas memerlukan 4 proses yang mempunyai
ketergantungan satu sama lain yaitu: 1) Proses yang berkaitan dengan
volume udara napas dan distribusi ventilasi; 2) Proses yang berkaitan
dengan volume darah di paru dan distribusi aliran darah; 3) Proses yang
berkaitan dengan difusi O2 dan CO2; 4) Proses yang berkaitan dengan regulasi
pernapasan (Djojodibroto,2009).
2.1.4. Airway Management
Menurut ATLS (Advance Trauma Life Support) (2008), Airway
manajemen merupakan hal yang terpenting dalam resusitasi dan membutuhkan
keterampilan yang khusus dalam penatalaksanaan keadaan gawat darurat, oleh
karena itu hal pertama yang harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas, yang
meliputi pemeriksaan jalan nafas yang dapat disebabkan oleh benda asing,
fraktur tulang wajah, fraktur manibula atau maksila,fraktur laring atau trakea.
Gangguan airway dapat timbul secara mendadak dan total, perlahan-lahan dan
sebagian, dan progresif dan/atau berulang.
Kejadian yang berupa kematian-kematian dini karena masalah airway
seringkali masih dapat dicegah, dan dapat disebabkan oleh kegagalan
mengetahui adanya kebutuhan airway, ketidakmampuan untuk membuka airway,

12
kegagalan mengetahui adanya airway yang dipasang secara keliru, perubahan
letak airway yang sebelumnya telah dipasang, kegagalan mengetahui adanya
kebutuhan ventilasi dan aspirasi isi lambung (ATLS (Advance Trauma Life
Support,2008). Dalam airway manajemen terdapat tiga jenis airway definitif
yaitu: pipa orotrakeal, pipa nasotrakeal, dan airway surgical (krikotiroidotomi
atau trakeostomi). Penentuan pemasangan airway efinitif didasarkan pada
penemuan-penemuan klinis antara lain adanya apnea, ketidakmampuan
mempertahankan airway yang bebas dengan cara-cara yang lain, kebutuhan
untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah atau vomitus,
ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway, adanya cedera kepala
yang membutuhkan bantuan nafas (GCS<8), ketidakmampuan mempertahankan
oksigenasi yang adekuat dengan dan pemberian oksigen tambahan lewat masker
wajah (ATLS (Advance Trauma Life Support), 2008).
Intubasi orotrakeal dan nasotrakeal merupakan cara yang paling sering
digunakan. Adanya kemungkinan cedera servikal merupakan hal utama yang
harus diperhatikan pada pasien yang membutuhkan perbaikan airway. Faktor
yang paling menentukan dalam pemilihan intubasi orotrakeal atau nasotrakeal
adalah pengalaman dokter. Kedua teknik tersebut aman dan efektif apabila
dilakukan dengan tepat. Ketidakmampuan melakukan intubasi trakea
merupakan indikasi yang jelas untuk melakukan airway surgical. Apabila
pernafasan membaik, jaga agar jalan nafas tetap terbuka dan periksa dengan
cara ATLS (Advance Trauma Life Support) (2008):
a. Lihat (look), melihat naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan
dinding dada yang adekuat.
b. Dengar (listen), mendengar adanya suara pernafasan pada kedua sisi dada.
c. Rasa (feel), merasa adanya hembusan nafas.
2.1.5. Intubasi Endotracheal
1. Pengertian Intubasi
Menurut Latief (2007) intubasi adalah memasukan pipa trakea ke
dalam trakea melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-
kira dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Intinya

13
intubasi endotrakhea adalah tindakan memasukan pipa endotrakhea ke
dalam trakhea sehingga jalan nafas bebas hambatan dan pertukaran gas
adekuat.
Intubasi endotracheal tube (ETT) adalah tindakan memasukan pipa
trakea ke dalam trakea melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya
berada kira-kira di pertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio
trakea (Dachlan,2007). Intubasi endotrakea dapat dilakukan melalui
beberapa lintasan antara lain melalui hidung (nasotrakeal), mulut
(orotrakeal) dan melalui tindakan trakeostomi (Latief,2007).
2. Indikasi Intubasi
Indikasi intubasi trakhea sangat bervariasi dan umumnya digolongkan
sebagai berikut (Latief, 2007):
a. Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun
Kelainan anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan
sekret jalan nafas dan lain-lain.
b. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
Misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan
efisien, ventilasi jangka panjang.
c. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.
Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal dan
lidah dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi 4
gradasi (Latief, 2007).
2.1.6. Ekstubasi
1. Pengertian Ekstubasi
Ekstubasi adalah tindakan pencabutan pipa endotrakea dari posisinya.
Ekstubasi dilakukan pada saat yang tepat bagi pasien untuk menghindari
terjadinya reintubasi dan kompilkasi lain. Tujuan dilakukannya ekstubasi
adalah
a. Meminimalisasi komplikasi yang mungkin terjadi
b. Pemantauan dini komplikasi dan penatalaksanaan segera dari
komplikasi yang akan terjadi

14
c. Keamanan dan kenyaman pasien terjamin selama pelaksanaan
prosedur
a. Tujuan Ekstubasi
- Untuk menjaga agar pipa endotrakeal tidak menimbulkan trauma
- Untuk mengurangi reaksi jaringan laringeal dan menurunkan resiko
setalah ekstubasi
b. Kriteria ekstubasi berhasil apabila :
- Kesadaran yang adekuat untuk mempertahankan refleks protektif jalan
napas dan refleks batuk untuk mempertahankan jalan napas
- Cadangan paru yang adekut :
 Laju paru < 30 menit
 FVC > 15 ml/kg
 PaO2/FIO2 > 200
- Kardiovaskuler dan metabolic stabil
- Pada pasien pasca pembedahan jalan napas atas atau edema jalan
napas atas, edema jalan napas atas telah minimal atau ditandai dengan
adanya kebocoran udara yang adekuat setelah cuff pipa endotrakea
dikosongkan
- Pasien bedah plastik atau THT bila memungkinkan dibicarakan
terlebih dahulu dengan dokter bedah plastic atau THT sebelum
ekstubasi. Pasien dengan intermaksillary fixation yang masih
terpasang membutuhkan dokter bedah plastic dan pemotongan kawat
bila akan diekstubasi
- Pasien-pasien khusus seperti PPOK, pasien dengan kesadaran tidak
baik, membutuhkan diskusi dengan konsultan ICU yang bertugas
untuk dilakukan ekstubasi
2.1.7. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Outcome Ekstubasi
1. Usia
Usia diatas > 65 tahun beresiko mengalami kegagalam ekstubasi. Hal
ini disebabkan karena dengan semakin bertambahnya usia seseorang
menyebabkan perubahan anatomi dan fungsi dalam tubuh. Perubahan

15
tersebut terjadi pada otot pernapasan yang akan mengalami kelemahan
akibat atrofi, elastisitas jaringan parenkim paru menurun, volume dan
kapasitas paru menurun, dan ketidakseimbangan ventilasi paru Feng,
Adjepong, Kaufman, Gheorge, dan Manthous (2009).
Ketika seseorang akan dilakukan ekstubasi banyak faktor yang harus
di perhatikan demi keberhasilan suatu ekstubasi yaitu salah sattunya
dengan persiapan penyapihan (weaning ventilator). Semakin cepat
pelaksanaan weaning ventilator semakin baik, namun bila proses weaning
ventilator terlalu cepat dilakukan maka akan mengakibatkan proses
adaptasi terhadap fungsi pernapasan juga semakin cepat, sehingga sering
menimbulkan intubasi ulang. Weaning ventilator mampu melatih
kemampuan pasien untuk beradaptasi dan mampu mengembalikan fungsi
fisiologis pernafasan pasien (Boles et al,2007).
2. Tekanan Darah Sistolik
Tekanan darah sistolik adalah tekanan yang terjadi didalam pembuluh
darah ketika jantung berkontraksi memompa darah. Tekanan darah sistolik
lebih dari 90 mmHg mampu memprediksi keberhasilan ekstubasi pada
pasien. Pada pasien dengan tekanan darah sistolik lebih dari 90 mmHg
menjelaskan bahwa sistem kardiovaskuler pada pasien baik dan dapat
menunjang vaskulerisasi dalam tubuh, yaitu mampu membawa oksigen
keseluruh jaringan tubuh (Gray, Ross, & Green, 2013 ; Schweickert, et al.,
2009).
Respon hemodinamik pasien ketika dilakukan intubasi akan
mengalami peningkatan hal tersebut diakibatkan karena penurunan tonus
vagal ataupun peningkatan aktivitas simpatoadernal. Peningkatan tekanan
darah lebih disebabkan karena adanya peningkatan curah jantung (CO)
darpada peningkatan tahanan pembuluh darah sistemik (SVR).
Peningkatan respon hemodinamik terjadi Karen jalan napas atas
(laring, trakea dan karina) memiliki refleks sistem saraf simpatis yang
dapat bereaksi tidak hanya dengan substansi atau subjek yang berkontak
lansung padanya, tetapi juga terhadap faktor lain seperti level anestesi

16
yang ringan. Refleks penutupan glottis adalah respon motorik jalan napas
atas terhadap light anesthesia.
Respon kardiovaskuler pada saat tindakan intubasi dimediasi oleh
sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Respon saraf parasimpatis adalah
terjadinya sinus bradikardi. Hal ini terjadi karena peningkatan tonus vagal
pada nodus sinoatrial, hal ini menunjukan adanya suatu respon
monosimpatik terhadap stimulus yang terjadi. Sedangkan respon saraf
simpatis berupa sinus takikardi. Hal ini terjadi karena aktivitas jalur-jalur
efferent simpatik. Jalur-jalur polisinaptik yang berasal dari serabut afferent
vagal dan glosofaringeus ke sistem simpatik, batang otak dan medulla
spinalis meyakinkan adanya suatu otonomi, pelepasan norepineprin dari
terminal saraf adrenergic dan pelepasan epineprin dari medulla adrenal.
3. FIO2
FIO2 (Fraksi oksigen yang dihirup) adalah Persentase oksigen yang
dihantarkan untuk mengoptimalkan pertukaran gas. Proses penyapihan
yang melewati proses SBT ditentukan terlebih dahulu kelayakan untuk
terpenuhinya penyapihan. Kriteria yang ditentukan meliputi kepatenan
jalan nafas, refleks batuk spontan, tidak ada pemakaian sedasi, sekret tidak
berlebih, dan haemodinamik dalam keadaan stabil. Sedasi dihentikan
sebelum evaluasi penyapihan, kemudian dilanjutkan proses SBT yang
dinilai selama 3 menit dengan melihat nilai FiO2 = 0.5. Jika nilai FiO2 =
0.4 maka pasien akan dilakukan SBT untuk waktu 30-120 menit, hingga
status haemodinamik stabil tahap selanjutnya dilakukan tindakan
ekstubasi. Nilai FiO2 =0.4 mengindikasikan semakin baik kondisi pasien
dalam tingkat kemandirian untuk bernafas kadar oksigen selama inspirasi
lebih banyak, sehingga kebutuhan ekstubasi segera terpenuhi (Khoury,
Panos, Ying, & Almoosa, 2010) Nilai FiO2 yang direkomendasikan untuk
pasien ekstubasi adalah lebih dari 40%. Ada literatur lain yang
menjelaskan bahwa nilai FiO2 lebih dari 50% memiliki tingkat
keberhasilan ekstubasi yang tinggi pada pasien (Bailey, et al., 2007; Ko,
Ramos, & Chalela, 2009)..

17
4. PEEP
Tekanan positif akhir ekspirasi atau PEEP digunakan untuk
mepertahankan tekanan paru positif pada akhir ekspirasi untuk mencegah
terjadiya kolaps paru dan meningkatkan pertukaran gas dalam alveoli.
Oleh karena itu, pada pasien dengan pemasangan ventilasi mekanik dalam
menentukan tekanan PEEP tidak terlalu tinggi untuk mengurangi
gangguan dalam proses pertukaran gas dalam alveoli yang menyebabkan
kegagalan ekstubasi pada pasien yang terpasang ventilasi mekanik.
Beberapa rekomendasi bahwa pasien diperbolehkan dilakukan ekstubasi
yaitu dilihat dari nilai PEEP. Nilai PEEP 5-10 cmH2O merupakan salah
satu syarat pasien boleh diekstubasi dan didukung tekanan sekitar 7
cmH2O (Tobin, 2012).
PEEP harus disesuaikan yaitu kurang dari kurang dari 10 cmH2O
untuk memungkinkan FiO2 diatas 60%, dan mencegah terjadinya
toksisitas oksigen. PEEP digunakan untuk meningkatkan oksigenasi arteri
oleh alveolar dan meningkatkan fungsional kapasitas residu, sehingga
mengurangi shunting intrapulmonary. Tekanan maksimum inspirasi juga
merupakan salah satu parameter yang bisa digunakan untuk memprediksi
keberhasilan ekstubasi (Bien, et al., 2015).
2.2.Kajian Penelitian yang Relevan
1. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Waladani, Mediani dan Anna
(2015) tentang “ Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan outcome
ekstubasi di ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto “
dengan menggunakan desain penelitian retrospektif kohort dengan jumlah
sampel sebanyak 96 orang. Hasil penelitian didapatkan bahwa ada
hubungan antara usia, tidal volume, tekanan darah sistolik, FIO2, dan PEEP
dengan outcome ekstubasi, sedangkan GCS tidak ada hubungannya dengan
outcome ekstubasi pada pasien di ruang ICU

18
2. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Feng, Adjepong, Kaufman,
Gheorge, dan Manthous (2009) tentang “ Perbandingan usia dengan durasi
pemakaian ventilasi mekanik “ dengan menggunakan desain retrospektif
yang dilakukan pada tahun 2003-2008 dengan responden sebanyak 9.912
orang. Hasil penelitian didapatkan bahwa usia >65 tahun mengalami durasi
pemasangan ventilasi mekanik paling lama yaitu >7 hari dibandingkan
dengan dengan usia yang dibawah 65 tahun. Lamanya rawat inap dan
terpasangnya ventilasi mekanik >7 hari mengakibatkan kondisinya
semakin menurun.
3. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Vidoto, Sogame, Gaxxoti,
Prandini, dan Jardim (2012) tentang “ Analisis faktor resiko kegagalan
ekstubasi pada pembedahan intracranial “ dengan menggunakan desain
studi observasional kohort restrospektif yang dilakukan selama 48 bulan
berturut-turut pada 317pasien. Hasil penelitian didapatkan bahwa ada 26
orang dari 317 orang yang gagal dilakukan ekstubasi setelah operasi.
Kegagalan tersebut diakibatkan karena tingkat kesadaran (GCS) < 7
memiliki resiko kegagalan dilakukan ekstubasi
4. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Boles, et al (2097) tentang “
Penyapihan ventilasi mekanik “ dilakukan penelitian pada sejumlah pasien
yang akan dilakukan tindakan ekstubasi dimana didapatkan tidal volume
>10 ml,/kg berhasil dilakukan ekstubasi dengan tanpa penyulit dari saluran
pernafasan seperti edema paru atau ARDS. Berdasarkan uraian tersebut
hasil penelitian terhadap tidal volume sudah sesuai karena nilai tidal
volume dalam penelitian ini adalah >6 ml/kg.
5. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Camp et al (2009) tentang “
Meprediksi waktu ekstubasi trakea “ penelitian dilakukan pada tahun
2002-2006 ada 1164 pasien menjalani ekstubasi trakea dini (<6 jam setelah
operasi) dan 1571 memiliki ekstubasi konvensional (> 6 jam setelah
operasi). Hasil penelitian menunjukan keberhasilan ekstubasi pada pasien
dengan post pembedahan jantung meliputi kestabilan haemodinamik.
Evaluasi status haemodinamik dapat dilakukan 6 jam setelah tindakan

19
pembedahan. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya lebih optimal dilakukan
setelah 9 jam pembedahan. Status haemodinamik yang diharapkan adalah
tekanan darah sistolik dengan nilai >90 atau <180 mmHg.

20
BAB III
METODE MINI RISET
3.1 Tempat dan Waktu Mini Riset
Mini riset ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. H.
Aloei Saboe Kota Gorontalo Di Ruang Intensive Care Unit (ICU) pada
tanggal 1 - 6 Juli 2019.
3.2 Desain Mini Riset
Desain mini riset atau rancangan mini riset merupakan wadah untuk
menjawab pertanyaan penelitian atau menguji kesahihan hipotesis (Nursalam,
2016). Adapun mini riset ini menggunakan Analitik Korelasional dengan
desain Kohort retrospektif . penelitian ini akan dilakukan dengan melihat
kebelakang pada pasien yang dilakukan ekstubasi dengan menghubungkan
beberapa komponen yang berpengaruh terhadap perlakuan tersebut
3.3 Variabel Mini Riset
Variabel mini riset adalah konsep dari berbagai level abstrak uang
didefinisikan sebagai suatu fasilitas untuk pengukuran dan atau manipulasi
suatu penelitian (Nursalam, 2016).
1. Variabel Bebas (Independen)
Variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi atau
nilainya menentukan variabel lain. Variabel bebas biasanya dimanipulasi,
diamati dan diukur untuk diketahui hubungannya atau pengaruhnya
terhadap variabel lain. Dalam ilmu keperawatan variabel independen
biasanya merupakan stimulus atau intervensi keperawatan yang diberikan
kepada klien untuk mempengaruhi tingkah laku klien (Nursalam, 2016).
Adapun yang menjadi variabel independen atau variabel bebas dalam mini
riset ini adalah faktor-faktor yang berhubungan
2. Variabel Terikat (Dependen)
Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi nilainya
ditentukan oleh variabel lain. Dalam ilmu perilaku, variabel terikat adalah
aspek tingkah laku yang diamati dari suau organisme yang dikenai
stimulus. Dengan kata lain, variabel dependen adalah faktor yang diamati

21
dan diukur untuk menentukan ada tidaknya hubungan atau pengaruh dari
variabel independen (Nursalam, 2016). Adapun yang menjadi variabel
dependen atau variabel terikat dalam mini riset ini adalah outcome
ekstubasi
3.4 Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan definisi variabel-variabel yang akan
diteliti secara operasional di lapangan. Definisi operasional bermanfaat
untuk mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan terhadap
variabel-variabel yang akan diteliti serta untuk pengembangan instrument.
Dengan definisi operasional yang tepat maka ruang lingkup atau
pengertian variabel-variabel yang diteliti menjadi terbatas dan penelitian
akan lebih fokus (Riyanto, 2011).
Tabel 3.1. Definisi Operasional
Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Penelitian Operasional
1 2 3 4 5
Variabel Bebas : Satuan waktu Lembar 1 : Usia < 65 Tahun Nominal
1. Usia yang mengukur observasi 2 : Usia ≥ 65 Tahun
waktu
keberadaan
suatu makhluk .

2. Tekanan darah Tekanan darah Lembar 1 : >90 mmHg Nominal


sistolik pada saat terjadi Observasi 2 : ≤90 mmHg
kontraksi
3. FIO2 Persentase Lembar 1 : >40 % Nominal
oksigen yang Observasi 2 : ≤40 %
dihantarkan
untuk
mengoptimalka
n pertukaran gas
4. PEEP Suatu tekanan Lembar 1 : < 5 cmH2O Nominal
di paru-paru Observasi 2 : ≥ 5 cmH2O
diatas tekanan
atmosfer yang
terjadi pada saat
ekspirasi
Variabel Terikat : Pengembalian Rekam 1 : Ekstubasi Berhasil Nominal
Outcome fungsi respirasi Medik 2 : Ekstubasi Gagal

22
Ekstubasi agar jalan napas RSAS, 2019
tetap bebas dan
stabil

3.5 Populasi dan Sampel


1. Populasi
Populasi adalah seluruh subjek atau data dengan karakteristik
tertentu yang akan diteliti (Nursalam, 2016). Populasi yang dimaksud
dalam mini riset ini adalah seluruh data pasien yang telah dilakukan
ekstubasi di ruang ICU RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo

2. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki
oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2016). Sampel terdiri atas populasi
terjangkau yang dapat dipergunakan sebagai subjek penelitian melalui
sampling (Nursalam, 2016).
Teknik pengambilan sampel adalah berbagai cara yang ditempuh
untuk pengambilan sampel agar mendapatkan sampel yang benar-benar
sesuai dengan seluruh subjek penelitian tersebut (Nursalam, 2013).
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Purposive Sampling. Purposive sampling adalah teknik
penetapan sampel dengan cara memilih sampel dengan cara memilih
sampel diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti
(tujuan/masalah dalam peneliti, sehingga sampel tersebut dapat
mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya.
(Nursalam, 2016).
Agar karakteristik sampel tidak menyimpang dari populasinya,
maka sebelum dilakukan pengambilan sampel perlu ditentukan kriteria
sebagai berikut :

23
1. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu
populasi target yang terjangkau dan akan diteliti (Nursalam, 2013).
Kriteria inklusi adalah sebagai berikut :
a. Pasien dewasa dan anak
b. Pasien post intubasi
c. Pasien berhasil di ekstubasi.
2. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi adalah menghilangkan/mengeluarkan subjek yang
memenuhi kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab (Nursalam,
2013). Kriteria eksklusi adalah sebagai berikut :
a. Pasien yang reintubasi
b. Pasien meninggal
3.6 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek dan
proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu
penelitiaan. Langkah-langkah dalam pengumpulan data bergantung pada
rancangan penelitian dan teknik instrument yang digunakan (Nursalam,
2016).
1. Jenis Data
Data primer adalah pengambilan data yang dihimpun langsung oleh
penelitian (Riyanto, 2011). Dalam penelitian ini data sekunder yaitu
jawaban yang diperoleh dari sumber yang sudah ada.
2. Instrument Mini Riset
Instrument penelitian adalah alat-alat yang digunakan untuk
pengumpulan data (Notoadmodjo, 2012). Adapun instrument yang
digunakan dalam mini riset ini adalah lembar observasi.
3.7 Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data
1. Teknik Pengolahan Data
Kegiatan pengumpulan dan pengolahan data dalam mini riset selalu
berhubungan. Dalam pengumpulan data digunakan alat pengumpul data

24
atau sering disebut instrument penelitian. Langkah-langkah pengolahan
tergantung pada bentuk instrument atau kuesioner yang digunakan untuk
mengumpulkan data (Notoadmodjo, 2012).
Menurut (Notoadmodjo, 2012) dalam proses pengolahan data terdapat
langkah-langkah yang harus ditempuh, diantaranya :
a. Editing (Penyuntingan data)
Setelah data terkumpul peneliti akan memeriksa kelengkapan data
menurut karakteristiknya masing-masing.
b. Coding (Pemberian kode)
Data yang telah terkumpul diberi kode menurut pengamatan yang
dilakukan.
c. Scoring (Penilaian)
Pada tahap ini peneliti member nilai pada data sesuai dengan skor yang
telah ditentukan
d. Data Entry (Memasukkan data)
Kegiatan ini memasukkan data dalam program komputer untuk
dilakukan analisa selanjutnya.
e. Processing
Setelah diedit dan diberi kode, data diproses melalui program computer.
f. Tabulating
Untuk memudahkan analisa data maka data dikelompokkan kedalam
tabel sesuai dengan tujuan penelitian atau yang diinginkan peneliti.
g. Pembersihan Data
Apabila semua data dari setiap responden selesai dimasukkan, perlu
dicek kembali untuk melihat kemungkinan-kemungkinan adanya
kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan dan sebagainya,
kemudian dilakukan koreksi.
2. Teknik Analisa Data
Analisa data merupakan suatu proses yang dilakukan terhadap data
yang telah dikumpulkan oleh peneliti dengan tujuan supaya Trend dan
Relantionship bisa dideteksi (Nursalam, 2016). Sugiyono, 2016

25
mengemukakan analisa data merupakan kegiatan setelah data dari seluruh
responden atau sumber data lain terkumpul.
a. Analisa Univariat
Analisa univariat bertujuan untuk menjelaskan dan mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian.
b. Analisa Bivariat
Penelitian ini menggunakan analisa bivariat. Analisa bivariat dilakukan
untuk mengetahui hubungan antara usia, tekanan darah sistolik, FIO2,
serta PEEP dengan outcome ekstubasi pada pasien di ruang ICU. Uji
statistic yang digunakan adalah Chi-Square yang merupakan uji
parametrik (distribusi data normal). Apabila uji Chi-Square tidak
memenuhi memenuhi syarat (nilai expected count ada yang kurang dari
5) maka dipilih uji alternatif yaitu Fisher Exact Test dan dilakukan
dengan menggunakan komputerisasi program SPSS.
3.8 Etika Mini Riset
Dalam melaksanakan mini riset, peneliti mengajukan permohonan ijin
kepada direktur RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo untuk
mendapatkan persetujuan, kemudian peneliti melakukan penelitian dengan
memperhatikan hal-hal atau masalah etika penelitian (Hidayat, 2007)
sebagai berikut :
1. Anonymity
Peneliti tidak mencantumkan nama responden pada lembar
pengumpulan data dan hanya menuliskan inisial dan diberi kode tertentu.
Hal ini dilakukan untuk menjaga kerahasiaan identitas responden.
2. Confidentiality
Peneliti menjamin kerahasiaan informasi responden yang dijadikan
sampel dalam penelitian. Hanya kelompok data tertentu yang sesuai
dengan tujuan peneliti yang disajikan dalam hasil mini riset.

26
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1.Gambaran Umum Lokasi Penelitian


Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. H. Aloei Saboe merupakan Rumah
Sakit umum terbesar di wilayah Provinsi Gorontalo yang terletak di Jalan Prof.
Dr. H. Aloei Saboe Kelurahan Wongkaditi, Kecamatan Kota Utara Kota
Gorontalo. Rumah Sakit ini juga meruapakan salah satu Rumah Sakit alternatif
dan rujukan utama berobat bagi masyarakat di Provinsi Gorontalo.
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. H. Aloei
Saboe Kota Gorontalo pada tanggal 1 – 6 Juli 2019. Ruangan Intensive Care Unit
(ICU) merupakan salah satu fasilitas yang dimiliki RSUD Prof. Dr. h. Aloei
Saboe yang memberikan pelayanan selama 24 jam serta memberikan pelayanan
yang intensif kepada seluruh pasien sesuai dengan standar perawatan pelayanan
yang telah ditentukan.
Ruangan ICU dilengkapi dengan fasilitas yang mendukung untuk proses
pelayanan secara intensif seperti monitor central dan juga ventilator. Selain itu,
perawat-perawat diruangan telah mengikuti pelatihan tentang ICU Dasar sehingga
mendukung untuk memberikan pelayanan secara optimal.

27
4.2. Karakteristik Responden
Gambaran umum responden merupakan suatu karakteristik dari responden
penelitian, dalam hal ini yakni pasien yang berhasil dan gagal dilakukan ekstubasi
di Ruang ICU Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo. Gambaran umum
responden dalam penelitian ini dikombinasikan dengan uji univariat agar data
yang disajikan oleh peneliti lebih akurat dan lebih mudah dimengerti.
4.2.1. Distribusi Responden Berdasarkan Umur
Adapun gambaran umum yang menjadi responden penelitian berdasarkan
umur disajikan dalam tabel berikut ini :
Tabel 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Umur
No. Umur Siswa Jumlah (%)
1. 6-11 Tahun 1 3,2
2. 12-16 Tahun 2 6,2
3. 17-25 Tahun 4 12,5
4. 26-35 Tahun 7 21,9
5. 36-45 Tahun 8 25,0
6. 46-55 Tahun 4 12,5
7. 56-65 Tahun 2 6,2
8. >65 Tahun 4 12,5
Total 32 100
Sumber : Data Primer, 2019

Dari tabel 4.1 diatas dapat dilihat bahwa responden yang berumur 6-11
tahun berjumlah 1 orang (3,2%), responden yang berumur 12-16 tahun berjumlah
2 orang (6,2%), responden yang berumur 17-25 tahun berjumlah 4 orang (12,5%),
responden yang berumur 26-35 tahun berjumlah 7 orang (21,9%), responden yang
berumur 36-45 tahun berjumlah 8 orang (25,0%), responden yang berumur 46-55
tahun berjumlah 4 orang (12,5%), responden yang berumur 46-65 tahun
berjumlah 2 orang (6,2%), dan responden yang berumur > 65 tahun berjumlah 4
orang (12,5%). Berdasarkan penjelasan diatas, maka responden yang dominan
dalam penelitian ini adalah umur 36-45 tahun yakni sebanyak 8 orang (25,0%).
4.2.2. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Adapun gambaran umum yang menjadi responden penelitian berdasarkan


jenis kelamin disajikan dalam tabel berikut ini :

28
Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
No. Jenis Kelamin Jumlah (%)
1. Laki-laki 17 53,1
2. Perempuan 15 46,9
Total 32 100
Sumber : Data Primer, 2019

Dari tabel 4.2 diatas dapat dilihat bahwa responden yang berjenis kelamin
Laki-laki berjumlah 17 orang (53,1%), dan responden yang berjenis kelamin
perempuan berjumlah 15 orang (46,9%). Berdasarkan penjelasan diatas, maka
responden yang dominan dalam penelitian ini adalah laki-laki yakni sebanyak 17
orang (53,1%).
4.3. Analisa Univariat
4.3.1. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
Adapun gambaran umum yang menjadi responden penelitian berdasarkan
Usia disajikan dalam tabel berikut ini :
Tabel 4.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
No, Usia Jumlah (%)
1. < 65 Tahun 28 87,5
2. ≥ 65 Tahun 4 12,5
Total 32 100
Sumber : Data Primer, 2019

Dari tabel 4.3 diatas dapat dilihat bahwa responden dengan usia < 65 tahun
berjumlah 28 orang (87,5%), dan responden dengan usia ≥ 65 tahun berjumlah 4
orang (12,5%). Berdasarkan penjelasan diatas, maka responden yang dominan
dalam penelitian ini adalah responden dengan usia < 65 tahun yakni sebanyak 28
orang (87,5%).
4.3.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Tekanan Darah Sistolik
Adapun gambaran umum yang menjadi responden berdasarkan tekanan
darah sistolik disajikan dalam tabel berikut ini :
Tabel 4.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Tekanan Darah Sistolik
No, Tekanan Darah Sistolik Jumlah (%)
1. > 90 mmHg 27 84,4
2. ≤ 90 mmHg 5 15,6
Total 32 100
Sumber : Data Primer, 2019

29
Dari tabel 4.4 diatas dapat dilihat bahwa responden dengan tekanan darah
sistolik >90 mmHG berjumlah 27 orang (84,4%), dan responden dengan tekanan
darah sistolik ≤90 mmHg berjumlah 5 orang (15,6%). Berdasarkan penjelasan
diatas, maka responden yang dominan dalam penelitian ini adalah responden
dengan tekanan darah sistolik >90 mmHg yakni sebanyak 27 orang (84,4%).
4.3.3. Karakteristik Responden Berdasarkan FIO2
Adapun gambaran umum yang menjadi responden berdasarkan FIO2
disajikan dalam tabel berikut ini :
Tabel 4.5 Karakteristik Responden Berdasarkan FIO2
No. FIO2 Jumlah (%)
1. > 40 % 24 75,0
2. ≤ 40 % 8 25,0
Total 32 100
Sumber : Data Primer, 2019

Dari tabel 4.5 diatas dapat dilihat bahwa responden dengan FIO2 >40
sebanyak 24 orang (75,0%) dan responden dengan FIO2 ≤40 % sebanyak 8 orang
(25,0%). Berdasarkan penjelasan diatas, maka responden yang dominan dalam
penelitian ini adalah responden dengan FIO2 >40 % yakni sebanyak 24 orang
(75,0%).
4.3.4. Karateristik Responden Berdasarkan PEEP
Adapun gambaran umum yang menjadi responden berdasarkan PEEP
disajikan dalam tabel berikut ini :
Tabel 4.6 Karakteristik Responden Berdasarkan PEEP
No. PEEP Jumlah (%)
1. < 5 cmH2O 3 9,4
2. ≥ 5 cmH2O 29 90,6
Total 32 100
Sumber : Data Primer, 2019

Dari tabel 4.6 diatas dapat dilihat bahwa responden berdasarkan PEEP <5
cmH2O sebanyak 3 orang (9,4%), dan responden berdasarkan PEEP ≥5 cmH2O
sebanyak 29 orang (90,6%). Berdasarkan penjelasan diatas, maka responden yang
dominan dalam penelitian ini adalah responden dengan PEEP ≥5 cmH2O yakni
sebanyak 29 orang (90,6%).

30
4.3.5. Karakteristik Responden Berdasarkan Ekstubasi
Adapun gambaran umum yang menjadi responden penelitian berdasarkan
ekstubasi disajikan dalam tabel berikut ini :
Tabel 4.7 Distribusi Responden Berdasarkan Ekstubasi
No. Ekstubasi Jumlah (%)
1. Berhasil 27 84,4
2. Gagal 5 15,6
Total 32 100
Sumber : Data Primer, 2019

Dari tabel 4.7 diatas dapat dilihat bahwa responden yang berhasil
dilakukan ekstubasi berjumlah 27 orang (84,4%), dan responden yang gagal
dilakukan ekstubasi berjumlah 5 orang (15,6%). Berdasarkan penjelesan diatas,
maka responden yang dominan dalam penelitian ini adalah responden yang
berhasil dilakukan ekstubasi yakni sebanyak 27 orang (84,4%).
4.4. Analisa Bivariat
Untuk mengetahui hubungan antara Usia, Tekanan Darah Sistolik, FIO2,
PEEP dengan Outcome Ekstubasi pada pasien di Ruang ICU RSUD Prof. Dr. H.
Aloei Saboe Kota Gorontalo menggunakan analisis uji statistik Chi-Square yang
merupakan uji parametrik (distribusi data normal). Apabila uji Chi-Square tidak
memenuhi memenuhi syarat (nilai expected count ada yang kurang dari 5) maka
dipilih uji alternatif yaitu Fisher Exact Test,
4.4.1. Hubungan usia dengan outcome ekstubasi
Pengujian menggunakan uji statistik Fisher Exact Test karena ada data
yang tidak memenuhi syarat dimana ada nilai expected count yang kurang dari 5.
Tabel 4.8 Hubungan usia dengan outcome ekstubasi
Ekstubasi
Usia
Berhasil Gagal Total P-Value
N % N % N %
< 65 Tahun 26 81,3 2 6,2 28 87,5 0,008
≥ 65 Tahun 1 3,1 3 9,4 4 12,5
Jumlah 27 84,4 5 15,6 32 100
Sumber Data Primer, 2019

31
Berdasrakan tabel 4.10 distribusi frekuensi hubungan usia dengan outcome
ekstubasi diketahui bahwa dari 32 responden ada 28 responden (87,5%) dengan
usia < 65 tahun. Dimana, sebanyak 26 responden (81,3%) berhasil diekstubasi dan
2 responden (6,2%) gagal diekstubasi. Sementara itu, responden dengan usia ≥ 65
tahun sebanyak 4 responden (12,5%). Dimana, responden yang gagal diesktubasi
sebanyak 3 responden (9,4%) dan yang berhasil diekstubasi sebanyak 1 responden
(3,1%). Responden terbanyak yakni responden dengan usia < 65 tahun dan
berhasil dilakukan ekstubasi yaitu sebanyak 26 responden (81,3%).
Berdasarkan hasil analisis Fisher Exact Test ditemukan nilai sig (2-sided)
sebesar 0,008. Nilai signifikan (P-Value) ini masih lebih kecil dibandingkan
dengan nilai alpha yang digunakan (0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan outcome ekstubasi.
4.4.2. Hubungan tekanan darah sistolik dengan outcome ekstubasi
Pengujian menggunakan uji statistik Fisher Exact Test karena ada data
yang tidak memenuhi syarat dimana ada nilai expected count yang kurang dari 5.
Tabel 4.9 Hubungan tekanan darah sistolik dengan outcome ekstbasi

Ekstubasi
Tekanan Total P-Value
Darah Sistolik Berhasil Gagal
N % N % N %
>90 mmHG 25 78,1 2 6,3 27 84,4 0,018
≤90 mmHg 2 6,3 3 9,3 5 15,6
Jumlah 27 84,4 5 15,6 32 100
Sumber :Data Primer, 2019

Berdasarkan tabel 4.9 distribusi frekuensi hubungan tekanan darah sistolik


dengan outcome ekstubasi, diketahui bahwa dari 32 responden ada 27 responden
(84,4%) dengan tekanan darah sistolik >90 mmHg. Dimana 25 responden (78,1%)
berhasil diesktubasi dan 2 responden (6,3%) gagal diekstubasi. Sementara itu,
sebanyak 5 responden (15,6%). Dimana 3 responden (9,3%) gagal diekstubasi dan
2 responden (6,2%) berhasil diesktubasi. Responden terbanyak yakni responden
dengan tekanan darah sistolik >90 mmHg dan berhasil diekstubasi yaitu sebanyak
25 responden (78,1%).

32
Berdasarkan hasil analisis Fisher Exact Test ditemukan nilai sig (2-sided)
sebesar 0,018. Nilai signifikan (P-Value) ini masih lebih kecil dibandingkan
dengan nilai alpha yang digunakan (0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tekanan darah sistolik dengan
outcome ekstubasi.
4.4.3. Hubungan FIO2 dengan outcome ekstubasi
Pengujian menggunakan uji statistik Fisher Exact Test karena ada data
yang tidak memenuhi syarat dimana ada nilai expected count yang kurang dari 5.
Tabel 4.10 Hubungan FIO2 dengan outcome ekstubasi

Ekstubasi
FIO2 Total P-Value
Berhasil Gagal
N % N % N %
>40 % 23 71,9 1 3,1 24 75,0 0,009
≤40 % 4 12,5 4 12,5 8 25,0
Jumlah 27 84,4 5 15,6 32 100
Sumber :Data Primer, 2019

Berdasarkan tabel 4.10 distribusi frekuensi hubungan FIO2 dengan


ourtcome ekstubasi, diketahui bahwa dari 32 responden, ada 24 responden
(75,0%) dengan FIO2 >40 %. Dimana, sebanyak 23 responden yang berhasil
diekstubasi (71,9%) dan 1 responden gagal diekstubasi (3,1%). Sementara itu,
responden dengan FIO2 ≤40 % sebanyak 8 responden (25,0). Dimana, 4 responden
(12,5%) berhasil diekstubasi dan 4 responden (12,5%) gagal diekstubasi.
Responden terbanyak yakni dengan FIO2 >40 % dan berhasil diektubasi yaitu
sebanyak 23 responden (71,9%).
Berdasarkan hasil analisis Fisher Exact Test ditemukan nilai sig (2-sided)
sebesar 0,009. Nilai signifikan (P-Value) ini masih lebih kecil dibandingkan
dengan nilai alpha yang digunakan (0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara FIO2 dengan outcome ekstubasi.
4.4.4. Hubungan PEEP dengan outcome ekstubasi
Pengujian menggunakan uji statistik Fisher Exact Test karena ada data
yang tidak memenuhi syarat dimana ada nilai expected count yang kurang dari 5.

33
Tabel 4.11 Hubungan PEEP dengan outcome ekstubasi

Ekstubasi
PEEP Total P-Value
Berhasil Gagal
N % N % N %
<5 cmH2O 0 0 3 9,4 3 9,3 0,002
≥5 cmH2O 27 84,4 2 6,2 29 90,7
Jumlah 27 84,4 8 15,6 32 100
Sumber :Data Primer, 2018

Berdasarkan tabel 4.11 distribusi frekuensi hubungan PEEP dengan


outcome ekstubasi, diketahui bahwa dari 32 responden, ada 29 responden (90,7%)
dengan PEEP ≥5 cmH2O. Dimana, sebanyak 27 responden (84,4%) berhasil
diekstubasi dan 2 responden (6,2%) gagal diekstubasi. Sementara itu, responden
dengan PEEP <5 cmH2O dan gagal diekstubasi sebanyak 3 responden (9,4%).
Responden terbanyak yakni pada responden dengan PEEP ≥5 cmH2O dan
berhasil diekstubasi yaitu sebanyak 27 responden (84,4%).
Berdasarkan hasil analisis Fisher Exact Test ditemukan nilai sig (2-sided)
sebesar 0,002. Nilai signifikan (P-Value) ini masih lebih kecil dibandingkan
dengan nilai alpha yang digunakan (0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara PEEP dengan outcome ekstubasi.
4.5. Pembahasan
4.5.1. Hubungan usia dengan outcome ekstubasi
Dari hasil penelitian yang dilakukan pada 32 responden diperoleh dengan
uji alternatif Chi Square yakni Fisher Exact Test dengan nilai P-Value = 0,008,
dimana nilia ini lebih kecil dari α = 0,005. Hal ini menunjukan bahwa terdapat
hubungan yang sugnifikan antara usia dengan outcome ekstubasi pada pasien di
Ruang ICU RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo. Dengan usia <65
tahun dan berhasil diekstubasi sebanyak 26 responden (81,3%).
Pasien dengan pemasangan ventilasi mekanik memiliki resiko terganggu
saluran pernafasan maupun sistem yang lain. Dalam penelitian didapatkan bahwa
usia <65 tahun sebanyak 26 responden (81,3%) berhasil diekstubasi dan 2
responden (6,2%) gagal diekstubasi, dan usia ≥65 tahun sebanyak 1 responden

34
(3,1%) berhasil diekstubasi dan 3 responden (9,4%) gagal diekstubasi. Hal ini
menunjukan bahwa semakin usianya lanjut, resiko tinggi untuk terjadi kegagalan
ekstubasi juga semakin tinggi.
Hal ini disebabkan karena dengan semakin bertambahnya usia seseorang
menyebabkan perubahan anatomi dan fungsi dalam tubuh. Perubahan tersebut
terjadi pada otot pernapasan yang akan mengalami kelemahan akibat atrofi,
elastisitas jaringan parenkim paru menurun, volume dan kapasitas paru menurun,
dan ketidakseimbangan ventilasi paru Feng, Adjepong, Kaufman, Gheorge, dan
Manthous (2009).
Ketika ekstubasi akan dilakukan terlebih dahulu dilakukan dengan
persiapan penyapihan (weaning ventilator). Weaning ventilator mampu melatih
mengembalikan fungsi fisiologis pernafasan pasien. Ketika proses Weaning
ventilator dilakukan dan seseorang tidak mampu untuk bertahan dalam kondisi
tersebut akibat dari ketidakmampuan paru untuk memberikan ventilasi yang
aekuat maka tindakan reintubasi akan dilakukan.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Feng,
Adjepong, Kaufman, Gheorge, dan Manthous (2009), dimana penelitian ini
membandingkan usia dengan durasi pemasangan ventilasi mekanik pada pasien
yang mengalami kondisi kritis di ICU. Didapatkan usia >65 tahun mengalami
durasi pemasangan ventilasi mekanik paling lama yaitu >7 hari dibandingkan
dengan dengan usia yang dibawah 65 tahun. Lamanya rawat inap dan
terpasangnya ventilasi mekanik >7 hari mengakibatkan kondisinya semakin
menurun.
4.5.2. Hubungan tekanan darah sistolik dengan outcome ekstubasi
Dari hasil penelitian yang dilakukan pada 32 responden diperoleh dengan
uji alternatif Chi Square yakni Fisher Exact Test dengan nilai P-Value = 0,018,
dimana nilia ini lebih kecil dari α = 0,005. Hal ini menunjukan bahwa terdapat
hubungan yang sugnifikan antara tekanan darah sistolik dengan outcome ekstubasi
pada pasien di Ruang ICU RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo.
Dengan tekanan darah sistolik >90 mmHg dan berhasil diekstubasi sebanyak 25
responden (78,1%).

35
Pasien dengan tekanan darah sistolik >90 mmHg atau <180 mmHg
menunjukan kestabilan haemodinamik, dimana yang akan mempengaruhi
sirkulasi perjalanan pembuluh darah yang membawa oksigen ke otak. Oksigen
yang dibawa ke otak dapat berjalan dengan lancar mengurangi angka kejadian
gangguan pernafasan yang menghambat tindakan ekstubasi pasien yang terpasang
ventilasi mekanik.
Tekanan darah sistolik adalah tekanan yang terjadi didalam pembuluh
darah ketika jantung berkontraksi memompa darah. Tekanan darah sistolik lebih
dari 90 mmHg mampu memprediksi keberhasilan ekstubasi pada pasien. Pada
pasien dengan tekanan darah sistolik lebih dari 90 mmHg menjelaskan bahwa
sistem kardiovaskuler pada pasien baik dan dapat menunjang vaskulerisasi dalam
tubuh, yaitu mampu membawa oksigen keseluruh jaringan tubuh (Gray, Ross, &
Green, 2013 ; Schweickert, et al., 2009).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Camp et
al (2009) Hasil penelitian menunjukan keberhasilan ekstubasi pada pasien dengan
post pembedahan jantung meliputi kestabilan haemodinamik. Evaluasi status
haemodinamik dapat dilakukan 6 jam setelah tindakan pembedahan. Akan tetapi,
dalam pelaksanaannya lebih optimal dilakukan setelah 9 jam pembedahan. Status
haemodinamik yang diharapkan adalah tekanan darah sistolik dengan nilai >90
atau <180 mmHg.
4.5.3. Hubungan FIO2 dengan outcome ekstubasi
Dari hasil penelitian yang dilakukan pada 32 responden diperoleh dengan
uji alternatif Chi Square yakni Fisher Exact Test dengan nilai P-Value = 0,009,
dimana nilia ini lebih kecil dari α = 0,005. Hal ini menunjukan bahwa terdapat
hubungan yang sugnifikan antara FIO2 dengan outcome ekstubasi pada pasien di
Ruang ICU RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo. Dengan FIO2 >40 %
dan berhasil diekstubasi sebanyak 23 responden (71,9%).
Hal ini disebabkan karena dengan nilai FIO2 >40% menunjukan bahwa
semakin baik kondisi pasien dalam kemampuan untuk bernafas karena kadar
oksigen yang diberikan selama inspirasi lebih banyal, sehingga kebutuhan
oksigenasi terpenuhi dan tindakan ekstubasi bisa segera dilakukan. Proses

36
penyapihan yang melewati proses SBT (Spontaneous Breathing Trials) ditentukan
terlebih dahulu kelayakan untuk terpenuhinya penyapihan. Kriteria yang
ditentukan untu menentukan pasien dilakukan ekstubasi meliputi kepatenan jalan
nafas, refleks batuk spontan, tidak ada pemakaian sedasi, sekret tidak berlebih,
dan haemodinamik dalam keadaan stabil. Pemberian obat sedasi akan dihentikan
sebelum evaluasi penyapihan dan dilanjutkan dengan proses SBT.
Ketika nilai FiO2 ≥50% maka pasien akan dilakukan SBT kemudian dinilai
selama 3 menit, sedangkan untuk nilai FiO2 <50% akan dilakukan SBT selama 30-
120 menit hingga tindakan ekstubasi bisa dilakukan. Nilai FiO2 yang
direkomendasikan untuk pasien ekstubasi adalah lebih dari 40%. Ada literatur lain
yang menjelaskan bahwa nilai FiO2 lebih dari 50% memiliki tingkat keberhasilan
ekstubasi yang tinggi pada pasien (Bailey, et al., 2007; Ko, Ramos, & Chalela,
2009).
4.5.4. Hubungan PEEP dengan outcome ekstubasi
Dari hasil penelitian yang dilakukan pada 32 responden diperoleh dengan
uji alternatif Chi Square yakni Fisher Exact Test dengan nilai P-Value = 0,002,
dimana nilia ini lebih kecil dari α = 0,005. Hal ini menunjukan bahwa terdapat
hubungan yang sugnifikan antara PEEP dengan outcome ekstubasi pada pasien di
Ruang ICU RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo. Dengan PEEP ≥5
cmH2O dan berhasil diekstubasi sebanyak 27 responden (84,4%).
Tekanan positif akhir ekspirasi atau PEEP digunakan untuk
mepertahankan tekanan paru positif pada akhir ekspirasi dalam mencegah paru
agar tidak kolaps serta meningkatkan pertukaran gas dalam alveoli. Oleh karena
itu, pada pasien dengan pemasangan ventilasi mekanik dalam menentukan
tekanan PEEP tidak terlalu tinggi untuk mengurangi gangguan dalam proses
pertukaran gas dalam alveoli yang menyebabkan kegagalan ekstubasi pada pasien
yang terpasang ventilasi mekanik. PEEP ini juga digunakan untuk meningkatkan
oksigenasi arteri oleh alveolar dan meningkatkan fungsional kapasitas residu,
sehingga mengurangi shunting intrapulmonary
Pasien yang nyaman bernapas menggunakan bantuan alat ventilasi dan
mendapat dukungan tekanan atau PEEP yang tidak sesuai sebelum ekstubasi, akan

37
mengalami gangguan pernafasan setelah ekstubasi, disertai dengan hipoksia dan
gangguan kardiorespirasi. Oleh karena itu, nilai PEEP 5-10 cmH2O merupakan
salah satu syarat pasien boleh diekstubasi, dengan tekanan seperti itu
memungkinkan FIO2 juga berada diatas 60% sehingga mencegah terjadinya
pasien mengalami toksisitas oksigen.
4.6. Keterbatasan Mini riset
Beberapa keterbatasan penelitian yang dirasakan oleh peneliti adalah
sebagai berikut :
1. Penelitian dengan menggunakan metode observasional analitic melalui
pendekatan Kohort Retrospektif butuh data sekunder yang lengkap dan berisiko
untuk hilangnya sampel penelitian karena data yang sudah tidak ada.
2. Pengetahuan peneliti tentang metodologi penelitian masih kurang karena
ini merupakan pengalaman pertama bagi peneliti dalam melakukan penelitian.
3. Keterbatasan waktu penelitian yang terlalu singkat menyebabkan sampel
yang didapat kurang

38
BAB V
PENUTUP
1.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahsan, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1. Terdapat hubungan usia dengan outcome ekstubasi pada pasien di Ruang
ICU RSUD Prof Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo dengan presentase responden
dengan umur <65 tahun dan berhasil diekstubasi sebanyak 26 responden (81,3%)
dengan nilai P-Value = 0,008 < α = 0,05.
2. Terdapat hubungan tekanan darah sistolik dengan outcome ekstubasi pada
pasien di Ruang ICU RSUD Prof Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo dengan
presentase responden dengan tekanan darah sistolik >90 mmHg dan berhasil
diekstubasi sebanyak 25 responden (78,1%) dengan nilai P-Value = 0,018 < α =
0,05.
3. Terdapat hubungan FIO2 dengan outcome ekstubasi pada pasien di Ruang
ICU RSUD Prof Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo dengan presentase responden
dengan FIO2 >40% dan berhasil diekstubasi sebanyak 23 responden (71,9%)
dengan nilai P-Value = 0,009 < α = 0,05.
4. Terdapat hubunganPEEP dengan outcome ekstubasi pada pasien di Ruang
ICU RSUD Prof Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo dengan presentase responden
dengan PEEP ≥5 cmH2O dan berhasil diekstubasi sebanyak 27 responden
(84,4%) dengan nilai P-Value = 0,008 < α = 0,05.

39
1.2. Saran
1. Bagi Rumah Sakit
Diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran untuk dapat lebih
mengetahui faktor-faktor yang dapat menentukan keberhasilan ekstubasi pada
pasien di Ruang ICU RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo
2. Bagi Institusi
Diharapkan dapat dijadikan sebagai ilmu pengetahuan yang baru dan
sebagai referensi untuk kesempurnaan penelitian-penelitian selanjutnya.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Diharapkan untuk penelitian selanjutnya agar melihat secara langsung
kondisi pasien dari awal dilakukan intubasai sampai berhasil diekstubasi untuk
memungkinkan data yang didapat lebih optimal dan dapat menambahkan faktor-
faktor lain yang dapat menentukan keberhasilan suatu ekstubasi. Misalnya dengan
melakukan penelitian di tempat lain, menambah sampel penelitian dan dengan
mengubah metode penelitian.

40

Anda mungkin juga menyukai