Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Obstructive sleep apnea (OSA) merupakan bentuk gangguan napas dalam
tidur yang paling sering dijumpai. Kelainan respiratorik kronis ditandai oleh
episode apneu dan hypopnea dikarenakan obstruksi saluran napas saat tidur
disebut dengan OSA.1
Prevalensi OSA di negara maju mencapai 2-4% pada pria dan 1-2% pada
wanita. Berdasarkan penelitian kesehatan kardiovaskular di Amerika Serikat yang
meliputi penduduk yang berusia 40-60 tahun, terdapat 33% pria dan 19% wanita
mengalami OSA. Pada penelitian Puji dkk 2011 didapatkan prevalensi OSA
berdasarkan

kuesioner

Berlin

sebesar

19,8%

sedangkan

berdasarkan

polisomnografi yang merupakan standar emas pemeriksaan OSA (nilai AHI >5)
adalah 9,9%.2,3
Pada penelitian Aulia 2010 OSA, berhubungan erat dengan kejadian
penyakit kardiovaskuler seperti penyakit janutng koroner (PJK), penyakit jantung
iskemik (PJI), dan hipertensi. Pengetahuan yang holistik mengenai hal-hal yang
dapat menyebabkan OSA dapat menjadi landasan dalam pencegahan terjadinya
OSA dan penyakit kardiovaskular akibat OSA.4,5
Dari hasil sejumlah penelitian yang dilakukan oleh Aylin et al menyebutkan
bahwa OSA berhubungan erat dengan kejadian obstruksi saluran napas atas.
Beberapa penyakit yang tergolong ke dalam penyakit obstruksi saluran napas atas
adalah septum deviasi, polip nasi, tonsilitis, rinosinusitis dan rinitis alergi.6
Obstruksi saluran napas atas adalah terganggunya aliran udara akibat tiga
faktor utama yaitu terganggunya aktivitas musculus dilator faring, tekanan negatif
selama fase inspirasi dan kelainan struktural anatomi saluran napas atas. Studi
klinis menunjukan bahwa prevalensi septum deviasi meningkat seiring dengan
usia, Van der Veken menunjukan prevalensi septum deviasi pada anak-anak
meningkat dari 16-72% secara linier dari usia 3 hingga 20 tahun. Prevalensi polip
nasi dilaporkan 1-2% di Eropa dan 4,3% di Finlandia. Di Indonesia studi
epidemiologi menunjukan bahwa perbandingan pria dan wanita 2-3:1 dengan

prevalensi 0,2%-4,3%. Prevalensi rinitis alergi di Amerika Utara sekitar 10-20%.


Prevalensi rinitis alergi di Jakarta sekitar 23,47%. Berdasarkan data epidemiologi
penyakit THT di tujuh provinsi di Indonesia, prevalensi tonsilitis kronis mencapai
3,8%. Penelitian di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassarmenunjukan
jumlah kunjungan pasien baru dengan tonsilitis kronis mulai Juni 2008-Mei 2009
sebanyak 63 orang. Hal ini menunjukan bahwa tonsilitis kronis merupakan
penyakit yang terjadi di tenggorokan terutama terjadi pada kelompok usia
muda.Sedangkan untuk kejadian rinosinusitis di Indonesia, prevalensinya
termasuk tinggi. Hal ini dapat diketahui berdasarkan data DEPKES RI tahun 2003
yang menyebutkan bahwa penyakit tersebut berada pada urutan ke-25 dari 50 pola
penyakit peringkat utama.7,8,9
Kejadian obstruksi saluran nafas atas diduga memiliki hubungan dengan
terjadinya OSA. Penelitian oleh Ibrahim dkk sekitar 77% pasien dengan obstruksi
saluran napas atas mengalami snoring. Penelitian oleh Murat et al juga
menjelaskan adanya hubungan antara patologi nasal terhadapa kejadia OSA. 10
Meskipun demikian, hubungan yang jelas antara keduanya masih kontroversi.
Ditengah kontroversi hasil penelitian sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk
mencari hubungan yang jelas antara obstruksi saluran nafas atas terhadap faktor
risiko OSA.Dengan mengetahui hubungan tersebut, beberapa penyakit yang
merupakan dampak dari adanya OSA dapat dicegah.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan landasan teori diatas maka dapat diidentifikasi rumusan
masalah yaitu apakah terdapat hubungan faktor-faktor penyebab obstruksi saluran
nafas atas terhadap faktor risiko obstructive sleep apnea (OSA) di poliklinik THT
RSUDZA Banda Aceh.

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan peneliti melakukan penelitian ini yakni:
1.3.1 Menilai hubungan masing-masing faktor penyebab obstruksi saluran nafas
1.3.2

atas terhadap faktor risiko obstructive sleep apnea (OSA)


Mengetahui faktor yang paling dominan dari obstruksi saluran napas atas
terhadap OSA

1.4.1

1.4. Manfaat Penelitian


Manfaat Teoritis
Manfaat penelitian bagi institusi pendidikan adalah sebagai bahan referensi
bagi peneliti dan klinisi mengenai hubungan faktor-faktor penyebab
obstruksi saluran napas atas terhadap faktor risiko OSA
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Manfaat penelitian bagi pelayanan kesehatan agar menjadi masukan kepada
pelayan kesehatan untuk meningkatkan mutu pelayanan dalam penanganan
obstruksi saluran napas atas secara adekuat
2. Manfaat penelitian bagi penderita obstruksi saluran napas atas untuk
memberi informasi mengenai gambaran keluhan OSA sehingga menjadi
bahan preventif untuk pendekatan klinis terapi yang komprehensi
1.5. Hipotesis
Terdapat hubungan antara faktor-faktor obstruksi saluran napas atas
terhadap faktor risiko OSA di Poliklinik THT RSUDZA Banda Aceh.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Saluran Pernapasan
Saluran Pernapasan merupakan saluran yang dilalui oleh udara
berupa oksigen yang berasal dari luar menuju ke ductus alveolar agar
terjadinya pertukaran udara. Saluran pernapasan digolongkan menjadi dua
bagian berdasarkan letak anatominya yaitu11:
1. Saluran Pernapasan Bagian Atas (Upper Respiratory Airway)
Saluran Pernapasan Bagian Atas dengan fungsi utama sebagai
berikut: 1)Air conduction (penyalur udara), sebagai saluran yang
meneruskan udara menuju saluran napas bagian bawah untuk pertukaran
gas, 2)Protection (perlindungan), sebagai pelindung saluran napas bagian
bawah dari masuknya benda asing, 3) Warming, filtrasi, dan humudifikasi
yakni sebagai bagian yang menghangatkan, menyaring, dan memberi
kelembaban udara yang diinspirasi (dihirup).12
Hidung dibentuk oleh tulang sejati (os) dan tulang rawan (kartilago).
Hidung dibentuk oleh sebagian kecil tulang sejati, sisanya terdiri atas
kartilago dan jaringan ikat (connective tissue). Bagian dalam hidung
merupakan suatu lubang yang dipisahkan menjadi lubang kiri dan kanan
oleh sekat (septum). Rongga hidung mengandung rambut (fimbriae) yang
berfungsi sebagai penyaring (filter) kasar terhadap benda asing yang
masuk. Pada permukaan (mukosa) hidung terdapat epitel bersilia yang
mengandung sel goblet. Sel tersebut mengeluarkan lendir sehingga dapat
menangkap benda asing yang masuk ke dalam saluran pernapasan. Kita
dapat mencium aroma karena di dalam lubang hidung terdapat reseptor.
Reseptor bau terletak pada cribriform plate, di dalamnya terdapat ujung
dari saraf kranial I (Nervous Olfactorius). Hidung berfungsi sebagai jalan
napas, pengatur udara, pengatur kelembaban udara (humidifikasi),
pengatur suhu, pelindung dan penyaring udara, indra pencium, dan
resonator suara.12.13

Gambar 2.1. Anatomi Hidung dan Sinus.11

Sinus paranasalis merupakan daerah yang terbuka pada tulang kepala.


Dinamakan sesuai dengan tulang tempat dia berada yaitu sinus frontalis, sinus
ethmoidalis, sinus sphenoidalis, dan sinus maxillaris. Sinus berfungsi untuk: 1.
Membantu menghangatkan dan humidifikasi, 2. Meringankan berat tulang
tengkorak, 3. Mengatur bunyi suara manusia dengan ruang resonansi.11
Faring merupakan pipa berotot berbentuk cerobong yang letaknya bermula
dari dasar tengkorak sampai persambungannya dengan esofagus pada ketinggian
tulang rawan (kabrtilago) krikoid. Faring digunakan pada saat digestion
(menelan) seperti pada saat bernapas. Berdasarkan letaknya faring dibagi menjadi
tiga yaitu di belakanghidung (naso-faring), belakang mulut (oro-faring), dan
belakang laring (laringo-faring).12
Naso-faring terdapat pada superior di area yang terdapat epitel bersilia
(pseudo stratified) dan tonsil (adenoid), serta merupakan muara tube eustachius.
Tenggorokan dikelilingi oleh tonsil, adenoid, dan jaringan limfoid lainnya.
Struktur tersebut penting sebagai mata rantai nodus limfatikus untuk menjaga
tubuh dari invasi organisme yang masuk ke dalam hidung dan tenggorokan.
Orofaring berfungsi untuk menampung udara dari naso-faring dan makanan dari
mulut. Pada bagian ini terdapat tonsili platina (posterior) dan tonsili lingualis
(dasar lidah).12

Laring sering disebut dengan voice box dibentuk oleh struktur


epiteliumlined yang berhubungan dengan faring (di atas) dan trakhea (di bawah).
Laring terletak di anterior tulang belakang (vertebrae) ke-4 dan ke-6. Bagian atas
dari esofagus berada di posterior laring. Fungsi utama laring adalah untuk
pembentukan suara, sebagai proteksi jalan napas bawah dari benda asing dan
untuk memfasilitasi proses terjadinya batuk. Laring terdiri atas: 1. Epiglotis; katup
kartilago yang menutup dan membuka selama menelan, 2. Glotis; lubang antara
pita suara dan laring, 3. Kartilago tiroid; kartilago yang terbesar pada trakhea,
terdapat bagian yang membentuk jakun, 4. Kartilago krikoid; cincin kartilago
yang utuh di laring (terletak di bawah kartilago tiroid), 5. Kartilago aritenoid;
digunakan pada pergerakan pita suara bersama dengan kartilago tiroid, 6. Pita
suara; sebuah ligamen yang dikontrol oleh pergerakan otot yang menghasilkan
suara dan menempel pada lumen laring.12

Gambar 2.2. Anatomi Laring11

2. Saluran Pernapasan Bagian Bawah (Lower Airway)


Saluran Pernapasan Bagian Bawah secara umum dibagi menjadi dua
komponen ditinjau dari fungsinya, yaitu: 1) Saluran udara konduktif, sering
disebut sebagai percabangan trakheobronkhialis (tracheobronchial tree) yang
terdiri atas trakea, bronkus, dan bronkhiolus, 2) Saluran respiratoris terminal yang
berfungsi sebagai penyalur (konduksi) gas masuk dan keluar dari satuan
respiratorius terminal (saluran pernapasan yang paling ujung), yang merupakan
tempat pertukaran gas yang sesungguhnya.11,12

2.2. Fisiologi Pernapasan


Fungsi paru-paru adalah melakukan pertukaran gas oksigen dan karbon
dioksida melalui sistem respirasi. Oksigen masuk melalui trakea dan pipa
bronkhial ke alveoli pada waktu bernapas dan menjalin hubungan erat dengan
darah di dalam kapiler pulmonaris melalui proses difusi. Membran alveoli-kapiler
merupakan satu-satunya lapisan membran yang memisahkan oksigen dari darah.
Oksigen menembus membran tersebut dan diikat oleh hemoglobin sel darah
merah lalu dibawa ke jantung untuk dipompa didalam arteri ke semua bagian
tubuh. Darah meninggalkan paru-paru pada tekanan oksigen 100 mmHg dan pada
tingkat tersebut hemoglobin memiliki kadar 95 persen jenuh oksigen.13
Karbon dioksida merupakan salah satu hasil buangan metabolisme yang
menembus membran alveoli-kapiler dari kapiler darah ke alveoli dan setelah
melalui pipa bronkhial dan trakhea akan dihembuskan keluar melalui hidung dan
mulut. Empat proses yang berhubungan dengan pernafasan pulmoner atau
pernafasan eksterna, yaitu : (1). Ventilasi pulmoner, atau gerak pernafasan yang
menukar udara dalam alveoli dengan udara luar, (2). Arus darah melalui paruparu, (3). Distribusi arus udara dan arus darah sedemikian sehingga jumlah tepat
dari setiapnya dapat mencapai semua bagian tubuh dan (4). Difusi gas yang
menembusi membran pemisah alveoli dan kapiler. CO2 lebih mudah berdifusi
daripada oksigen.12,13
Seluruh proses pernafasan pulmoner diatur sedemikian rupa sehingga darah
yang meninggalkan paru-paru menerima jumlah tepat antara CO2 dan O2.
Peningkatan aktivitas tubuh menyebabkan darah yang masuk ke paru-paru
membawa terlalu banyak CO2 namun terlampau sedikit O2. Jumlah CO2 tersebut
tidak dapat dikeluarkan sehingga menyebabkan peningkatan kadar CO2 dalam
arteri. Proses tersebut merangsang pusat pernapasan dalam otak untuk
meningkatkan kecepatan dan kedalaman proses ventilasi untuk meningkatkan
pengeluaran CO2 dan mengikat lebih banyak O2.12,13
Darah yang telah terpenuhi dengan hemoglobin yang jenuh dengan oksigen
(oksihemoglobin) mengitari seluruh tubuh dan mencapai kapiler sehingga darah
bergerak sangat lambat. Sel jaringan mengikat oksigen dari hemoglobin untuk
memungkinkan oksigen diikat oleh darah dan sebagai gantinya berupa hasil
buangan metabolisme yaitu karbondioksida. Perubahan-perubahan tersebut terjadi

pada komposisi udara dalam alveoli akibat pernapasan eksterna dan pernapasan
interna atau penapasan jaringan. Udara (atmosfer) yang dihirup berupa nitrogen :
79 %, oksigen : 20 % dan karbondioksida : 0-0,4 % dengan suhu dan kelembaban
atmosfer. Udara yang dihembuskan berupa nitrogen : 79 %, oksigen : 16 % dan
karbon dioksida : 4-0,4. 12,13
Udara yang dihembuskan merupakan udara jenuh uap air dan mempunyai
suhu yang sama dengan badan. Sekitar 20% panas badan hilang akibat pemanasan
udara yang dikeluarkan. Daya muat udara oleh paru-paru besarnya sekitar 4.500
ml sampai 5.000 ml udara dan hanya sekitar 1/10 dari jumlah tersebut yang
berkisar 500 ml merupakan udara pasang surut (tidal air), yaitu yang dihirup
masuk dan dihembuskan ke luar pada pernapasan biasa dengan tenang. Volume
udara yang dapat dicapai masuk dan keluar paru-paru saat penarikan dan
pengeluaran napas paling kuat disebut kapasitas vital paru-paru yang diukur
dengan alat spirometer.kapasitas vital paru-paru pada laki-laki normalnya sekitar
4-5 liter dan pada perempuan sekitar 3-4 liter. Kapasitas tersebut berkurang
apabila terdapat penyakit paru-paru, penyakit jantung yang menimbulkan kongesti
paru-paru dan kelemahan otot pernapasan. 12,13
Mekanisme pernapasan diatur dan dikendalikan oleh dua faktor utama, yaitu
kimiawi dan pengendalian oleh saraf. Beberapa faktor tertentu merangsang pusat
pernapasan yang terletak di dalam medula oblongata dan apabila dirangsang maka
pusat pernafasan akan mengeluarkan impuls yang disalurkan oleh saraf spinalis ke
otot pernapasan, yaitu otot diafragma dan otot interkostalis. 11,13
a. Pengendalian oleh saraf
Pusat pernapasan merupakan pusat otomatik di dalam medula oblongata
yang mengeluarkan impuls eferen ke otot pernapasan.Impuls tersebut dihantarkan
melalui beberapa radiks saraf servikalis ke diafragma oleh saraf frenikus dan ke
bagian yang lebih rendah pada sumsum belakang. Impuls tersebut berjalan dari
daerah toraks melalui saraf interkostalis untuk merangsang otot interkostalis serta
menimbulkan kontraksi ritmik pada otot diafragma dan interkostal yang
kecepatannya kira-kira lima belas kali per menit. Impuls aferen yang dirangsang
oleh peningkatan gelembung udara dan diantarkan oleh saraf vagus ke pusat
pernapasan di dalam medula oblongata. 13

b. Pengendalian secara kimiawi


Faktor kimiawi ialah faktor utama dalam pengendalian dan pengaturan
frekuensi, kecepatan dan dalamnya gerakan pernapasan. Pusat pernapasan di
dalam sumsum sangat peka pada reaksi sehingga kadar alkali darah harus
dipertahankan. Karbondioksida adalah produk asam dari metabolisme yang
merangsang pusat pernapasan untuk mengirim keluar impuls saraf yang bekerja
atas otot pernapasan. Pengendalian melalui saraf dan secara kimiawi penting
untuk mempertahankan proses ventilasi. paralisis otot pernapasan seperti otot
interkostal dan diafragma menyebabkan perlunya penggunaan alat ventilasi paruparu atau suatu alat pernapasan buatan lainnya untuk melanjutkan pernapasan
dikarenakan

dada

harus

bergerak

terus-menerus

supaya

udara

dapat

dikeluarmasukkan paru-paru. 12
Faktor tertentu lainnya menyebabkan penambahan kecepatan dan dalamnya
pernapasan. Gerakan badan yang kuat yang memakai banyak oksigen dalam otot
untuk memberi energi yang diperlukan untuk pekerjaan, akan menimbulkan
kenaikan pada jumlah karbon dioksida di dalam darah dan akibatnya pembesaran
ventilasi paru-paru. Emosi, rasa takut dan sakit misalnya, menyebabkan impuls
yang merangsang pusat pernapasan dan menimbulkan penghirupan udara secara
kuat. Hal yang kita ketahui semua. Impuls aferen dari kulit menghasilkan efek
serupa- bila badan dicelup dalam air dingin atau menerima guyuran air dingin,
maka penarikan napas kuat menyusul.13
Pengendalian secara sadar atas gerakan pernapasan mungkin terjadi tetapi
tidak dapat dijalankan secara lama dikarenakan gerakannya bersifat otomatik.
Suatu usaha untuk menahan napas dalam waktu lama akan gagal akibat
pertambahan karbondioksida yang melebihi normal didalam darah sehingga
menimbulkan rasa tak enak. Kecepatan pernapasan pada wanita lebih tinggi
daripada pria. Pernapasan secara normal berupa inspirasi yang disusul ekspirasi
dan kemudian memasuki fase istirahat sesaat sehingga diurutkan menjadi
inspirasi-ekspirasi-istirahat. Urutan tersebut berubah terbalik pada bayi yang sakit
sehingga urutannya menjadi ; inspirasi-istirahat-ekspirasi yang disebut pernapasan
terbalik. Kecepatan normal setiap menit :

Bayi baru lahir 30-40

Dua belas bulan 30

10

Dari dua sampai lima tahun 24

Orang dewasa 10-20

Inspirasi adalah proses aktif yang diselenggarakan oleh kerja otot berupa
kontraksi diafragma untuk meluaskan rongga dada dari atas sampai bawah secara
vertikal. Penaikan iga-iga dan sternum yang ditimbulkan oleh kontraksi otot
interkostalis akan meluaskan rongga dada ke dua sisi dan dari belakang ke depan.
Paru-paru yang bersifat elastis mengembang untuk mengisi ruang tersebut
sehingga udara ditarik masuk ke dalam saluran udara. Otot interkostal eksterna
diberi peran sebagai otot tambahan, hanya bila inspirasi menjadi gerak sadar. 12,13
Proses ekspirasi akan timbul apabila udara dipaksa keluar oleh pengendoran
otot dan kemudian paru-paru mengempis kembali secara pasif disebabkan sifat
elastis

paru-paru.

Gerakan

dada

bertambah

ketika

pernapasan

sangat

kuat.Kebutuhan tubuh terhadap oksigen dalam banyak keadaan dapat diatur


menurut keperluan. Kerusakan pada otak dapat terjadi akibat terhentinya pasokan
oksigen selama lebih dari empat menit yang tidak dapat diperbaiki dan biasanya
pasien meninggal. 12
2.3 Obstruksi Saluran Napas Atas (OSNA)
2.3.1.

Definisi Obstruksi saluran napas atas (OSNA)

Obstruksi saluran napas adalah sumbatan pada saluran napas atas yang
disebabkan oleh adanya radang, benda asing, trauma, tumor, dan kelumpuhan
nervus rekuren bilateral sehingga ventilasi pada saluran pernapasan terganggu.
Obstruksi saluran nafas atas (OSNA) merupakan penyumbatan saluran nafas atas
yang mermelukan tindakan medis segera, berbagai macam keadaan dapat
menyebabkan OSNA seperti abses parafaring, abses retrofaring, benda asing,
paralisis nervus rekuren bilateral, reaksi alergi, sindrom croup,tumor laring,
trauma. Namun yang paling menimbulkan kegawat daruratan adalah obstruksi
pada bagian laring. Gejala klinis yang umum pada OSNA , antara lain sesak nafas,
warna muka pucat sampai menjadi sianosis karena hipoksia, penurunan kesadaran,
tersedak, weezing, stridor, dan cenkungan yang terdapat saat inspirasi di
suprasternal, epigastrium, supraklavikula dan intercostals. Cekungan terjadi

11

sebagai upaya dari otot-otot pernapasan untuk mendapatkan oksigen yang


adekuat. 14
2.3.2. Etiologi dan Gejala Klinis OSNA
OSNA disebabkanoleh trauma, tumor, infeksi akut, kelainan kongenital
hidung atau laring, difteri, paralisis satu atau ke dua plika vokalis, kemudian
pangkal lidah jatuh kebelakang pada penderita yang tidak sadar karena sakit,
cedera, norkose maupun karena benda asing.. 14,15,16
Penyebab lain terjadinya OSNA antara lain :
1. Abses parafaring
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi secara langsung, yaitu akibat
tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi atau proses supurasi kelenjer
limfe leher bagian atas dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus, paranasal,
mastoid, dan vertebra servikal serta penjalaaran infeksi dari ruang peritonsil.
2. Abses retrofaring
Abses retrofaring merupakan salah satu jenis abses leher dalam, keadaan
yang dapat menyebabkan terjadinya abses di ruang retrofaring ialah infeksi
saluran nafas atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring, trauma dinding
belakang faring oleh benda asing, tuberkolosis vertebra servikal atas.
3. Benda asing
Benda asing dapat dibedakan menjadi benda yang berasal dari dalam tubuh
(endogen) dan dari luar tubuh (eksogen). Benda asing eksogen terdiri dari benda
padat, cair, atau gas. Benda asing eksogen padat terdiri dari, seperti kacangkacangan (yang berasal dari tumbuh-tumbuhan). Tulang (yang berasal dari
kerangka binatang) dan zat anorganik seperti paku, jarum, peniti, batu dan lainlain. Benda asing endogen dapat berupa secret kental, darah, nanah, hipersekresi
mucus, membran difteri.

12

4. Paralisis nervus laringeus rekuren bilateral


Pada umumnya, parilisis terjadi setelah operasi tiroid akibat cedera nervus
laringeus rekuren dan bermanifestasi sebagai parilisi pika vokalis bilateral yang
berada pada linea mediana. Awalnya pita suara terletak pada posisi paramedian,
sehingga terjadi gejala disfonia berat walaupun tanpa obstruksi saluran nafas.
Setelah beberapa lama pita suara berpindah perlahan-lahan ke garis tengah akibat
perbakain suara namun terjadi sesak nafas. Waktu yang diperlukan sampai
terjadinya peralihan sesak nafas berat bervariasi anatara beberapa hari dan hingga
berbulan.
5. Reaksi alergi
Reaksi dimana jaringan areola longgar di sekitar glotitis merupakan organ
syok yang dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas secara cepat. Edema
obstruksi dapat timbul hanya dalam beberapa menit setelah kontak dengan suatu
antigen eksitasi.
6. Sindroma croup
Croup adalah suatu infeksi laring yang berkembang cepat, menimbulkan
stridor dan obstruksi jalan napas. Permukaan laryngeal dari epiglotis dan daerah di
bawah korda vokalis pada laring mengandung jaringan aerolar longgar yang
cenderung membengkak bila meradang. Maka, croup dapat dibedakan menjadi
supraglotitis (epiglotitis) akut dan laryngitis subglotis akut. Meskipun keduanya
dapat bersifat akut dan berat, namun epiglotitis cenderung lebih berat, seringkali
berakibat fatal dalam beberapa jam tanpa terapi.
7. Tumor laring
Sumbatan jalan napas dapat terjadi pada tiap tumor.Sumbatan jalan napas ini
menimbulkan gejala dispnea dan stridor. Gejala tersebut disebabkan oleh
gangguan jalan napas oleh massa tumor, penumpukan sekret maupun akibat
fiksasi pita suara. Sumbatan yang terjadi perlahan-lahan dapat dikompensasi oleh

13

pasien. Pada umumnya gejala sumbatan jalan napas adalah tanda prognosis yang
kurang baik.

8. Trauma
Trauma pada laring dapat berupa trauma tumpul atau trauma tajam. Trauma
laring dapat menyebabkan edema dan hematoma di plika ariepiglotika dan plika
ventrikularis oleh karena jaringan submukosa di daerah ini mudah membengkak.
Tulang rawan laring dan persendiaanya dapat mengalami fraktur dan dislokasi.
Kerusakan pada perikondrium dapat menyebabkan hematoma, nekrosis tulang
rawan, dan perikondritis yang mengakibatkan menyempitnya lumen laring dan
trakea.
2.3.3. Klasifikasi OSNA
1. Tonsilitis
1.1 Definisi
Tonsilitis Kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi pada
tonsila palatina yang menetap. Tonsilitis Kronis disebabkan oleh serangan ulangan
dari Tonsilitis Akut yang mengakibatkan kerusakan yang permanen pada tonsil.
Organisme patogen dapat menetap untuk sementara waktu ataupun untuk waktu
yang lama dan mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan tubuh
penderita mengalami penurunan. Anamnesa dan pemeriksaan fisik diagnostik
diperlukan untuk menegakkan diagnosa penyakit ini. Pada Tonsilitis Kronis tonsil
dapat terlihat normal, namun ada tanda-tanda spesifik untuk menentukan diagnosa
seperti plika anterior yang hiperemis, pembesaran kelenjar limfe, dan
bertambahnya jumlah kripta pada tonsil. 17,7
1.2. Patofisiologi
Adanya infeksi berulang pada tonsil maka pada suatu waktu tonsil tidak
dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil.

14

Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang
infeksi (fokal infeksi) dan satu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh
tubuh misalnya pada saat keadaan umum tubuh menurun. Karena proses radang
berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid terkikis,
sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut
yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik kripta ini
tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil
dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan disekitar fossa tonsilaris.
Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submandibula. 17
Tonsilitis Kronis terjadi akibat pengobatan yang tidak tepat sehingga
penyakit pasien menjadi Kronis. Faktor-faktor yang menyebabkan kronisitas
antara lain: terapi antibiotika yang tidak tepat dan adekuat, gizi atau daya tahan
tubuh yang rendah sehingga terapi medikamentosa kurang optimal, dan jenis
kuman yag tidak sama antara permukaan tonsil dan jaringan tonsil Gejala klinis
Tonsilitis Kronis yaitu: 1) Sangkut menelan. Dalam penelitiaa mengenai aspek
epidemiologi faringitis mendapatkan dari 63 penderita Tonsilitis Kronis, sebanyak
41,3% diantaranya mengeluhkan sangkut menelan sebagai keluhan utama. 2) Bau
mulut (halitosis) yang disebabkan adanya pus pada kripta tonsil. Pada penelitian
tahun 2007 di Sao Paulo Brazil, mendapatkan keluhan utama halitosis atau bau
mulut pada penderita Tonsilitis Kronis didapati terdapat pada 27% penderita. 3)
Sulit menelan dan sengau pada malam hari (bila tonsil membesar dan menyumbat
jalan nafas. 4) Pembesaran kelenjar limfe pada leher. 5) Butiran putih pada
tonsil. 17,8
1.3. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dibagi menjadi penatalaksanaan dengan:
1. Medikamentosa
Yaitu dengan pemberian antibiotika sesuai kultur. Pemberian antibiotika
yang bermanfaat pada penderita Tonsilitis Kronis Cephaleksin ditambah
metronidazole, klindamisin ( terutama jika disebabkan mononukleosis atau abses),
amoksisilin dengan asam klavulanat ( jika bukan disebabkan mononukleosis). 8
2.

Operatif

15

Dengan tindakan tonsilektomi. Pada penelitian Khasanov et al mengenai


prevalensi dan pencegahan keluarga dengan Tonsilitis Kronis didapatkan data
bahwa sebanyak 84 ibu-ibu usia reproduktif yang dengan diagnosa Tonsilitis
Kronis,

sebanyak

36

dari

penderita

mendapatkan

penatalaksanaan

tonsilektomi.Penelitian yang dilakukan di Skotlandia dengan menggunakan


kuisioner terhadap 15.788 penduduk mendapatkan data sebanyak 4.646
diantaranya memiliki gejala Tonsilitis, dari jumlah itu sebanyak 1.782 (38,4%)
penderita mendapat penanganan dari dokter umum dan 98 (2,1%) penderita
dirujuk ke rumah sakit. 8
2. Rinosinusitis Kronis
2.1. Definisi
Rinosinusitis kronis adalah inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal
yang dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari
12 minggu, dan sesuai dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2
kriteria minor.18
Gejala Mayor: nyeri sinus, hidung buntu, ingus purulen, post nasal drip,
gangguan penghidu, Sedangkan Gejala Minor: nyeri kepala, nyeri geraham, nyeri
telinga, batuk, demam, halitosis. Sesuai anatomi sinus yang terkena, sinusitis
dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan
sinusitis sfenoid. Bila mengenai beberapa sinus disebutnmultisinusitis, sedangkan
bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis Sinusitis yang paling
sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan
sinusitis sfenoid lebih jarang. 19
2.2. Patofisiologi
Pada umumnya penyebab rinosinusitis adalah rinogenik, yang merupakan
perluasan infeksi dari hidung. Walaupun gejala klinis yang dominan merupakan
manifestasi gejala infeksi dari sinus frontal dan maksila, tetapi kelainan dasarnya
tidak pada sinus-sinus itu sendiri melainkan pada dinding lateral rongga hidung.
Kompleks ostiomeatal (KOM) atau celah sempit di etmoid anterior yang
merupakan serambi muka bagi sinus maksila dan frontal memegang peranan

16

penting dalam terjadinya sinusitis. Bila terdapat gangguan didaerah KOM seperti
peradangan, udema atau polip maka hal itu akan menyebabkan gangguan drainase
sehingga terjadi sinusitis. Bila ada kelainan anatomi seperti deviasi atau spina
septum, konka bulosa atau hipertrofi konka media, maka celah yang sempit itu
akan bertambah sempit sehingga memperberat gangguan yang ditimbulkannya.
Infundibulum etmoid dan resesus frontal yang termasuk bagian dari KOM,
berperan penting pada patofisiologi sinusitis. Permukaan mukosa ditempat ini
berdekatan satu sama lain dan transportasi lendir pada celah yang sempit ini dapat
lebih efektif karena silia bekerja dari dua sisi atau lebih. Apabila terjadi udema,
mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak
dan lendir tidak dapat dialirkan, maka akan terjadi gangguan drainase dan
ventilasi sinus maksila dan frontal. Karena gangguan ventilasi, maka akan terjadi
penurunan pH dalam sinus, silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi
menjadi lebih kental sehingga merupakan media yang baik untuk tumbuh kuman
patogen. 20
Patogenesis dari rinosinusitis kronis berawal dari adanya suatu inflamasi
dan infeksi yang menyebabkan dilepasnya mediator diantaranya vasoactive
amine, proteases, arachidonic acid metabolit, imune complek, lipolisaccharide
dan lain-lain. Hal tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan mukosa hidung dan
akhirnya menyebabkan disfungsi mukosiliar yang mengakibatkan stagnasi mukos
dan menyebabkan bakteri semakin mudah untuk berkolonisasi dan infeksi
inflamasi akan kembali terjadi. Bakteri dapat berkembang menjadi kuman patogen
bila lingkungannya sesuai. Bila sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia
dan retensi lendir, sehingga bakteri anaerob akan berkembang baik. Bakteri juga
akan memproduksi toksin yang akan merusak silia. Selanjutnya dapat terjadi
perubahan jaringan menjadi hipertropi, polipoid atau terbentuk polip dan kista.
Kuman didalam sinus dapat berasal dari rongga hidung sebelum ostium tertutup
ataupun merupakan kuman komensal didalam rongga sinus. Virus dan bakteri
yang masuk kedalam mukosa akan menembus kedalam submukosa, yang diikuti
adanya infiltrasi sel polimorfonuklear, sel mast dan limfosit, kemudian akan
diikuti lepasnya zat-zat kimia seperti histamin dan prostaglandin. Zat-zat kimia ini

17

akan menyebabkan vasodilatasi kapiler, sehingga permeabilitas pembuluh darah


meningkat dan terjadilah udema di submukosa.19
Selain virus dan bakteri sebagai penyebab infeksi pada peradangan rongga
sinus juga dipengaruhi oleh faktor predisposisi lokal dan sistemik. Faktor
predisposisi lokal antara lain: septum deviasi, udema/hipertrofi konka, rinitis
alergi/rinitis vasomotor, barotrauma, korpus alienum, rinolit dan sebagainya.
Sedang faktor predisposisi sistemik yang mempengaruhi adalah: infeksi saluran
nafas atas oleh karena virus, keadaan umum yang lemah, malnutrisi, DM yang
tidak terkontrol dan iritasi udara sekitar. Faktor yang lebih penting untuk diketahui
dan merupakan dasar patofisiologi terjadinya infeksi sinus adalah: adanya
gangguan dari mukosa sinus, mukosa osteum sinus dan sekitarnya (komplek
ostiomeatal). 20
Infeksi saluran nafas atas menyebabkan terjadinya reaksi peradangan pada
mukosa hidung, mukosa sinus termasuk juga mukosa ostium sinus. Keadaan ini
akan mempersempit ostium sinus yang secara keseluruhan sudah sempit dan
letaknya tersembunyi atau bahkan menyebabkan obstruksi ostium. Oksigen yang
ada dalam rongga sinus akan diresorbsi oleh kapiler submukosa sehingga terjadi
hipoksia dan tekanan oksigen yang rendah didalam rongga sinus. Keadaan
hipooksigen juga akan menyebabkan vasodilatasi kapiler di submukosa,
permeabilitas pembuluh darah meningkat dan terjadilah proses transudasi.
Transudat yang terbentuk sebagian diresorbsi oleh submukosa sehingga akan
menambah udema submukosa dan sebagian lagi akan terperangkap didalam
rongga sinus. Tekanan oksigen yang rendah juga akan mengganggu fungsi sinus
dimana kelumpuhan gerak silia ini akan menambah timbunan transudat didalam
rongga sinus. Transudat yang tertimbun, kadar oksigen yang terendah, gerak silia
yang berkurang dan sempitnya ostium merupakan kondisi yang baik untuk
pertumbuhan kuman. 21
Rinosinusitis kronis berbeda dari rinosinusitis akut dalam berbagai aspek.
Rinosinusitis

kronis

umumnya

sukar

disembuhkan

dengan

pengobatan

medikamentosa saja. Harus dicari faktor penyebab dan faktor predisposisinya.


Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan mukosa
hidung. Perubahan mukosa hidung juga dapat disebabkan alergi dan defisiensi

18

imunologik. Perubahan mukosa hidung akan mempermudah terjadinya infeksi dan


infeksi menjadi kronis apabila pengobatan pada sinusitis akut tidak sempurna.
Adanya infeksi akan menyebabkan edema konka, sehingga drainase sekret akan
terganggu. Drainase sekret yang terganggu dapat menyebabkan silia rusak dan
seterusnya. 21

2.3. Gejala dan Tanda Klinis


A. Gejala Subjektif
a. Nyeri
Sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau mungkin tidak.
Secara anatomi, apeks gigi-gigi depan atas (kecuali gigi insisivus) dipisahkan dari
lumen sinus hanya oleh lapisan tipis tulang atau mungkin tanpa tulang hanya oleh
mukosa, karenanya sinusitis maksila sering menimbulkan nyeri hebat pada gigigigi ini. 21
b. Sakit kepala
Merupakan tanda yang paling umum dan paling penting pada sinusitis.
Wolff menyatakan bahwa nyeri kepala yang timbul merupakan akibat adanya
kongesti dan udema di ostium sinus dan sekitarnya. Penyebab sakit kepala
bermacam-macam, oleh karena itu bukanlah suatu tanda khas dari peradangan
atau penyakit pada sinus. Jika sakit kepala akibat kelelahan dari mata, maka
biasanya bilateral dan makin berat pada sore hari, sedangkan pada penyakit sinus
sakit kepala lebih sering unilateral dan meluas kesisi lainnya.Sakit kepala yang
bersumber di sinus akan meningkat jika membungkukkan badan kedepan dan jika
badan tiba-tiba digerakkan. Sakit kepala ini akan menetap saat menutup mata, saat
istirahat ataupun saat berada dikamar gelap. Nyeri kepala pada sinusitis kronis
biasanya terasa pada pagi hari, dan akan berkurang atau hilang setelah siang hari.
Penyebabnya belum diketahui dengan pasti, tetapi mungkin karena pada malam
hari terjadi penimbunan ingus dalam rongga hidung dan sinus serta adanya statis
vena. 20
c. Nyeri pada penekanan

19

Nyeri bila disentuh dan nyeri pada penekanan jari mungkin terjadi pada
penyakit di sinus-sinus yang berhubungan dengan permukaan wajah.

d. Gangguan penghindu
Indra penghindu dapat disesatkan (parosmia), pasien mencium bau yang
tidak tercium oleh hidung normal.Keluhan yang lebih sering adalah hilangnya
penghindu (anosmia).Hal ini disebabkan adanya sumbatan pada fisura olfaktorius
didaerah konka media. Oleh karena itu ventilasi pada meatus superior hidung
terhalang, sehingga menyebabkan hilangnya indra penghindu.Pada kasus kronis,
hal ini dapat terjadi akibat degenerasi filament terminal nervus olfaktorius,
meskipun pada kebanyakan kasus, indra penghindu dapat kembali normal setelah
infeksi hilang. 21
B. Gejala Objektif
a. Pembengkakan dan udem
Jika sinus yang berbatasan dengan kulit terkena secara akut, dapat terjadi
pembengkakan dan udem kulit yang ringan akibat periostitis. Palpasi dengan jari
mendapati sensasi seperti pada penebalan ringan atau seperti meraba beludru. 20
b. Sekret nasal
Mukosa hidung jarang merupakan pusat fokus peradangan supuratif, sinussinuslah yang merupakan pusat fokus peradangan semacam ini. Adanya pus dalam
rongga hidung seharusnya sudah menimbulkan kecurigaan adanya suatu
peradangan dalam sinus. Pus di meatus medius biasanya merupakan tanda
terkenanya sinus maksila, sinus frontal atau sinus etmoid anterior, karena sinussinus ini bermuara ke dalam meatus medius. 20
2.4. Penatalaksanaan
Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti deviasi
septum, kelainan atau variasi anatomi KOM, hipertrofi adenoid pada anak, polip,
kista,

jamur,

gigi

penyebab

sinusitis,

dianjurkan

untuk

melakukan

penatalaksanaan yang sesui dengan kelainan yang ditemukan. Jika tidak

20

ditemukan faktor predisposisi, diduga kelainan adalah bakterial yang memerlukan


pemberian antibiotik dan pengobatan medik lainnya. 22
A. Medikamentosa
1. Antibiotika
Meskipun tidak memegang peran penting, antibiotika dapat diberikan
sebagai terapi awal. Pilihan antibiotika harus mencakup -laktamase seperti pada
terapi sinusitis akut lini ke II, yaitu amoksisillin klavulanat atau ampisillin
sulbaktam, sefalosporin generasi kedua, makrolid, klindamisin. Jika ada perbaikan
antibiotik diteruskan mencukupi 10 14 atau lebih jika diperlukan. Jika tidak ada
perbaikan dapat dipilih antibiotika alternatif seperti siprofloksasin, golongan
kuinolon atau yang sesuai dengan kultur. Jika diduga ada bakteri anaerob, dapat
diberi metronidazol.Jika dengan antibiotika alternatif tidak ada perbaikan, maka
eveluasi kembali apakah ada faktor predisposisi yang belum terdiagnosis dengan
pemeriksaan nasoendoskopi maupun CT-Scan. 22
2. Terapi Medik Tambahan
Dekongestan,

Dekongestan

berperan

penting

sebagai

terapi

awal

mendampingi antibiotik.Dekongestan oral menstimulasi reseptor -adrenergik


dimukosa hidung dengan efek vasokontriksi yang dapat mengurang keluhan
sumbatan

hidung,

meningkatkan

diameter

ostium

dan

meningkatkan

ventilasi.Preparat yang umum adalah pseudoefedrine dan phenyl-propanolamine.


Karena efek peningkatan tekanan darah tinggi dan penyakit jantung harus
dilakukan dengan hati-hati. Dekongestan topikal mempunyai efek yang lebih
cepat terhadap sumbatan hidung, namun efeknya ini sebetulnya tidak fisiologik
dan pemakaian jangka lama (lebih dari 7 hari) akan menyebabkan rinitis medika
mentosa. Antihistamin, Alergi berperan sebagai penyebab sinusitis kronis pada
lebih dari 50% kasus, karenanya penggunaan antihistamin justru dianjurkan,
demikian juga kemungkinan imunoterapi. Karena antihistamin generasi pertama
mempunyai efek antikolinergik yang tinggi, generasi kedua lebih disukai seperti
azelastine, acrivastine, cetirizine, fexofenadine dan loratadine.Kortikosteroid, ada
2 jenis kortikosteroid, yaitu kortikosteroid topikal dan kortikosteroid oral,
kortikosteroid topikal mempunyai efek lokal terhadap bersin, sekresi lendir,

21

sumbatan hidung dan hipo/anosmia. Penemuannya merupakan perkembangan


besar dalam pengobatan rinitis dan sinusitis. Penggunaannya kortikosteroid
topikal meluas pada kelainan alergi dan non-alergi. Meskipun obat semprot ini
tidak mencapai komplek osteomeatal, keluhan pasien berkurang karena udema di
rongga hidung dan meatus medius hilang. Sedangkan kortikosteroid oral dapat
mencapai seluruh rongga sinus. Terapi singkat selama dua minggu sudah efektif
menghilangkan beberapa keluhan. Preparat oral dapat diberikan mendahului yang
topikal, obat oral dapat membuka sumbatan hidung terlebih dahulu sehingga
distribusi obat semprot merata. 22
B. Penatalaksanaan Operatif
Sinusitis kronis yang tidak sembuh dengan pengobatan medik adekuat dan
optimal serta adanya kelainan mukosa menetap merupakan indikasi tindakan
bedah. Beberapa macam tindakan bedah mulai dari antrostomi meatus inferior,
Caldwel-Luc, trepanasi sinus frontal, dan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional
(BSEF) dapat dilaksanakan. 20,23
Bedah sinus konvensional tidak memperlihatkan usaha pemulihan drainase
dan ventilasi sinus melalui ostium alami. Namun dengan berkembangnya
pengetahuan patogenesis sinusitis, maka berkembang pula modifikasi bedah sinus
konvensional misalnya operasi Caldwel-Luc yang hanya mengangkat jaringan
patologik dan meninggalkan jaringan normal agar tetap berfungsi dan melakukan
antrostomi meatus medius sehingga drainase dapat sembuh kembali. Bedah Sinus
Endoskopi Fungsional (BSEF) merupakan kemajuan pesat dalam bedah sinus.
Jenis operasi ini lebih dipilih karena merupakan tindakan konservatif yang lebih
efektif dan fungsional. Keuntungan BSEF adalah penggunaan endoskop dengan
pencahayaan yang sangat terang, sehingga saat operasi kita dapat melihat lebih
jelas dan rinci adanya kelainan patologi dirongga-rongga sinus.Jaringan patologik
yang diangkat tanpa melukai jaringan normal dan ostium sinus yang tersumbat
diperlebar. Dengan ini ventilasi sinus lancar secara alami, jaringan normal tetap
berfungsi dan kelainan didalam sinus maksila dan frontal akan sembuh sendiri.22,23

3. Polip Nasi

22

3.1. Definisi
Polip nasi adalah suatu proses inflamasi kronis pada mukosa hidung dan
sinus paranasi yang ditandai dengan adanya massa yang edematous pada rongga
hidung. Polip nasi dapat pula didefinisikan sebagai kantong mukosa yang edema,
jaringan fibrosus, pembuluh darah, sel-sel inflamasi dan kelenjar. Polip nasi
muncul seperti anggur pada rongga hidung bagian atas, yang berasal dari dalam
kompleks ostiomeatal. Polip nasi terdiri dari jaringan ikat longgar, edema, sel-sel
inflamasi dan beberapa kelenjar dan kapiler dan ditutupi dengan berbagai jenis
epitel, terutama epitel pernafasan pseudostratified dengan silia dan sel goblet. 24

Gambar 2.3. Polip Nasi


3.2. Etiologi dan Patogenesis
Banyak teori yang menyatakan bahwa polip merupakan manifestasi utama
dari inflamasi kronis, oleh karena itu kondisi yang menyebabkan inflamasi kronis
dapat menyebabkan polip nasi. Beberapa kondisi yang berhubungan dengan polip
nasi seperti alergi dan non alergi, sinusitis alergi jamur, intoleransi aspirin, asma,
sindrom Churg-Strauss (demam, asma, vaskulitis eosinofilik, granuloma), fibrosis
kistik, Primary ciliary dyskinesia, Kartagener syndrome (rinosinusitis kronis,
bronkiektasis, situs inversus), dan Young syndrome (sinopulmonary disease,
azoospermia, polip nasi). 24
Beberapa mekanisme lain terbentuknya polip nasi juga telah dikemukakan
antara lain ketidak seimbangan vasomotor, gas NO, superantigen, gangguan

23

transportasi ion transepitel, gangguan polisakarida, dan ruptur epitel. Patogenesis


polip nasi masih belum diketahui. Perkembangan polip telah dihubungkan dengan
inflamasi kronik, disfungsi sistem saraf autonom dan predisposisi genetik.
Berbagai keadaan telah dihubungkan dengan polip nasi, yang dibagi menjadi
rinosinusitis kronik dengan polip nasi eosinofilik dan rinosinuritis kronik dengan
polip nasi non eosinofilik, biasanya neutrofilik. 24,25
Pada penelitian akhir-akhir ini dikatakan bahwa polip berasal dari adanya
epitel mukosa yang rupture oleh karena trauma, infeksi, dan alergi yang
menyebabkan edema mukosa, sehingga jaringan menjadi prolaps. Fenomena
Bernoulli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui tempat yang sempit
akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya. Jaringan yang lemah
akan terisap oleh tekanan negatif sehingga mengakibatkan edema mukosa dan
pembentukan polip. Fenomena ini menjelaskan mengapa polip kebanyakan
berasal dari area yang sempit di kompleks ostiomeatal di meatus media.Walaupun
demikian polip dapat timbul dari tiap bagian mukosa hidung atau sinus paranasi
dan sering kali bilateral atau multiple.25
3.3. Penatalaksanaan
Polip nasi sangat mengganggu pada kebanyakan pasien. Penyakit ini sering
berulang dan memerlukan pengobatan yang lama sampai bertahun-tahun. Dengan
demikian

pengobatannya

bertujuan

untuk

mengurangi

besarnya

atau

menghilangkan polip agar aliran udara hidung menjadi lapang dan penderita dapat
bernafas dengan baik. Selanjutnya gejala-gejala rinitis dapat dihilangkan dan
fungsi penciuman kembali normal. Terdapat beberapa pilihan pengobatan untuk
polip nasi mulai dari pemberian obat-obatan, pembedahan konvensional sederhana
dengan menggunakan snare polip sampai pada bedah endoskopi yang memakai
alat lebih lengkap. Walaupun demikian, angka kekambuhan masih tetap tinggi
sehingga memerlukan sejumlah operasi ulang.26
Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi adalah menghilangkan
keluhan-keluhan, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip. Pemberian
kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga polipektomi
medikamentosa. Dapat di berikan topikal atau sistemik. Polip eosinofilik

24

memberikan respon yang lebih baik terhadap pengobatan kortikosteroid intranasi


dibandingkan polip tipe neutrofilik. Kasus polip yang tidak membaik dengan
terapi medikamentosa atau polip yang sangat masif dipertimbangkan untuk terapi
bedah. Penanganan polip nasi adalah obat-obatan, pembedahan atau kombinasi
antara keduanya. Pembedahan merupakan pengangkatan polip dari rongga hidung
atau pembedahan yang lebih ekstensif melibatkan sinus-sinus paranasal.27
Tujuan dari penanganan polip nasi adalah untuk mengeliminasi atau secara
signifikan mengurangi ukuran polip nasi sehingga meredakan gejala hidung
tersumbat, beringus, perbaikan dalam drainase sinus, restorasi penciuman dan
pengecapan.26,27
4. Rinitis alergi
4.1. Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada
hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.28
4.2. Klasifikasi rinitis alergi
Pada awalnya rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu28:
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)
Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya.
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu
berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :

25

1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau


kurang dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4
minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi :
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut yang
dijelaskan diatas.
4.3. Patofisiologi rinitis alergi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase
yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam.29,30

Gambar 2.4 Patofisiologi alergi (rinitis, eczema, asma) paparan


alergen pertama dan selanjutnya
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan

26

menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah


diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung
dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major
Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper
(Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1)
yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.29
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E
(IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE
di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini
menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama,
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator
kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain
histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2
(PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet
Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang
disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).30
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
akan menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf
Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).29
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini
tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai
puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan

27

jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan
mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan
Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada
sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah
akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major
Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO).29
Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik
dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan
cuaca dan kelembaban udara yang tinggi. Secara mikroskopik tampak adanya
dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel
pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan
membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa
dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan.
Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat
terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi
perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia
mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya antigen
asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari30:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini.Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan
ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag
berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau
memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi
respon tersier.
3. Respon tersier

28

Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini


dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh
tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau
reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3
atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed
hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di
bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi.29,30
4.4. Penatalaksanaan rinitis alergi
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance)
dan eliminasi.
2. Simptomatis
Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang
bekerja secara inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan
preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan
rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan
dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan
antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin
generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak
(mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik.
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan
hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau tropikal.
Namun pemakaian secara tropikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk
menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila
gejala trauma sumbatan hidung akibat respons fase lambat berhasil diatasi dengan
obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid tropikal (beklometosa,
budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan triamsinolon). Preparat
antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi
rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor.31,32
Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu
dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan

29

cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau troklor asetat.Imunoterapi - Jenisnya


desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan hiposensitasi membentuk
blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat,
berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan.31,32
5. Septum Deviasi
5.1. Definisi
Deviasi septum nasi diartikan sebagai bentuk septum yang tidak lurus di
tengah sehingga membentuk deviasi ke arah salah satu rongga hidung atau kedua
rongga hidung yang akan menyebabkan penyempitan pada rongga hidung. Bentuk
septum normal adalah lurus di tengah rongga hidung tetapi pada orang dewasa
biasanya septum nasi tidak lurus sempurna ditengah. Angka kejadian septum yang
benar-benar lurus hanya sedikit dijumpai, biasanya terdapat pembengkokan
minimal atau terdapat spina pada septum nasi. Bila kejadian ini tidak
menimbulkan gangguan respirasi, maka tidak dikategorikan sebagai abnormal.33,34
5.2. Epidemiologi
Brazil pada tahun 2004, insiden deviasi septum nasi mencapai 60,3 %
dengan keluhan sumbatan hidung sebanyak 59,9%. Pada tahun 1995, Min dkk
menemukan prevalensi deviasi septum nasi di Korea mencapai 22,38% dari
populasi, dengan penderita yang terbanyak adalah laki-laki. Pada tahun 2002, di
Turki, Ugyur dkk melaporkan 15,6% bayi baru lahir dengan persalinan normal
mengalami deviasi septum nasi.33,34
5.3. Patofisiologi dan Gejala Klinis
Deviasi dan dislokasi septum nasi dapat disebabkan oleh gangguan
pertumbuhan yang tidak seimbang antara kartilago dengan tulang septum,
traumatik akibat fraktur fasial, fraktur nasal, fraktur septum atau akibat trauma
saat lahir. Gejala utama adalah hidung tersumbat, biasanya unilateral dan dapat
intermitten, hiposmia atau anosmia dan sakit kepala dengan derajat yang
bervariasi. Deviasi yang cukup berat dapat menyebabkan obstruksi hidung yang
mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi atau bahkan

30

menimbulkan gangguan estetik wajah karena tampilan hidung menjadi bengkok.


Gejala sumbatan hidung dapat menurunkan kualitas hidup dan aktivitas penderita.
Penyebab sumbatan hidung dapat bervariasi dari berbagai penyakit dan kelainan
anatomis.Salah satu penyebabnya dari kelainan anatomi yang terbanyak adalah
deviasi septum nasi. Tidak semua deviasi septum nasi memberikan gejala
sumbatan hidung. Gejala lain yang mungkin muncul dapat seperti hiposmia,
anosmia, epistaksis dan sakit kepala. 35,36
5.4. Klasifikasi Septum Deviasi
Untuk itu para ahli berusaha membuat klasifikasi deviasi septum nasi untuk
memudahkan diagnosis dan penatalaksanaannya. Mladina membagi septum
deviasi menjadi beberapa tipe, yaitu Tipe I: terdapat tonjolan unilateral tetapi
belum mengganggu aliran udara. Tipe II: tonjolan unilateral sudah mengganggu
aliran udara tetapi masih belum menunjukkan gejala klinis yang bermakna. Tipe
III: deviasi terdapat pada konka media (area osteomeatal dan turbinasi tengah).
Tipe IV: Septum posterior ke sisi satunya dan anterior ke sisi lainnya (S
septum). Tipe V: tonjolan besar unilateral didasar septum tetapi di sisi lain masih
normal. Tipe VI: gabungan tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral,
sehingga menunjukkan rongga hidung yang asimetris, Tipe VII: gabungan lebih
dari satu tipe misalnya tipe I-tipe VI.37,38

31

Gambar 2.5.Kasifikasi deviasi septum nasi menurut Mladina.


2.4. Obstructive Sleep Apnue
2.4.1. Definisi
Obstructive sleep apnue merupakan sindrom terhentinya aliran pernapasan
tetapi masih memiliki usaha untuk mempertahan napas.Sindrom ini terjadi ketika
tidur. Sindrom ini penghentian napas terjadi lebih dari 10 detik dan berulang
hingga mencapai 20-60 kali per jam.(7) Sindrom ini juga dapat menyebabkan
penurunan saturasi oksigen sebesar 4%. Obtrucstive sleep apneu dibagi menjadi
beberapa macam tipe antara lain: tipe sentral, tipe campuran dan tipe obstruksif.
(7) Tipe sentral didapatkan pada orang usia tua yang berhubungan dengan faktor
komorbid seperti gagal jantung. Tipe obstruksi terjadi pada kalangan usia lebih
muda. Sampai saat ini tenaga kesehatan termasuk dokter sangat jarang sadar akan
kondisi pasien.39
2.4.2. Epidemiologi

Prevalensi OSA di Amerika pada populasi dewasa usia pertengahan sangat


bervariasi. Prevalensi OSA tanpa kantuk yang berlebihan di siang hari adalah 24%
terjadi pada pria dan 9% terjadi pada wanita usia 30-60 tahun. Sedangkan OSA
dengan mengantuk berlebihan di siang hari terjadi pada 2-4% dari populasi orang
dewasa antara usia 30 dan 60 tahun.39
Berdasarkan beberapa studi kohort yang telah dilakukan, apabila terdapat
obesitas dengan Body Mass Index (BMI) 25-28 diperkirakan 1 dari 5 laki-laki
diantaranya mengalami OSA dengan derajat berat, sedangkan OSA derajat sedang
adalah 1 dari 15 laki-laki diantaranya. Berbagai penelitian epidemiologi juga telah
dilakukan terutama di negara maju, mendapatkan kejadian OSA yang seringkali
berhubungan dengan berbagai penyakit atau keadaan tertentu sebagai faktor
predisposisinya.39
Prevalensi OSA pada anak-anak sekitar 3% dengan frekuensi tertinggi pada
usia 2-5 tahun. Penyebab utama OSA pada anak-anak adalah hipertrofi tonsil dan
adenoid, tetapi dapat juga akibat kelainan struktur kraniofasial seperti pada
sindrom Pierre Robin dan Down. Frekuensi OSA mencapai puncaknya pada

32

dekade 5-6 dan menurun pada usia di atas 60-an. Tetapi secara umum frekuensi
OSA meningkat secara progresif sesuai dengan penambahan usia.38
2.4.3. Etiologi dan Faktor Risiko

Etiologi OSA adalah keadaan kompleks yang saling mempengaruhi berupa


neural, hormonal, muskular dan struktur anatomi, seperti kegemukan pada tubuh
bagian atas merupakan pertimbangan sebagai risiko utama untuk terjadinya OSA.
Angka prevalensi OSA pada orang obesitas 42-48% terjadi pada laki-laki dan 838% pada perempuan. Penambahan berat badan akan meningkatkan gejala-gejala
OSA.40
OSA umumnya terjadi pada dewasa muda, biasanya antara umur 4050
tahun, meskipun dapat terjadi juga pada anakanak dan remaja. Mayoritas pasien
OSA adalah kelebihan berat badan, tidak semua obesitas. Evaluasi anatomi jalan
nafas atas merupakan bagian dari pemeriksaan fisik penderita OSA. Inspeksi
terdapatnya abnormalitas struktur atau sempitnya saluran napas atas sering terjadi
pada pasien OSA. OSA juga berhubungan dengan beberapa penyakit paru seperti
PPOK, penyakit paru restriktif, penyakit neuromuscular.39,40
Faktor risiko terjadinya OSA adalah41:
A. Terdapat tiga faktor risiko yang diketahui:
1.

Umur, dimana prevalensi dan derajat OSA meningkat sesuai dengan


bertambahnya umur.

2.

Jenis kelamin. Resiko laki-laki untuk menderita OSA adalah 2 kali lebih
tinggi dibandingkan perempuan sampai menopause.

3.

Ukuran dan bentuk jalan napas:


a. Struktur kraniofasial (palatum yang bercelah, retroposisi mandibular)
b. Micrognathia (rahang yang kecil)
c. Macroglossia (lidah yang besar), pembesaran adenotonsillar.
d. Trakea yang kecil (jalan napas yang sempit)
B. Faktor risiko penyakit, seperti kegagalan kontrol pernapasan yang
dihubungkan dengan:

1.

Emfisema dan asma.

33

2.

Penyakit neuromuscular (polio, myasthenia gravis, dll).

3.

Obstruksi (sumbatan) nasal.

4.

Hypothyroid, akromegali, paralisis pita suara, sindroma postpolio, kelainan


neuromuskular, Marfan's syndrome dan Down syndrome.
C. Risiko gaya hidup.

1.

Merokok

2.

Obesitas, dimana 30-60% pasien OSA adalah orang yang berbadan gemuk.
a) Penurunan berat badan akan menurunkan gejala-gejala OSA.
b) Penurunan berat badan akan mempermudah pasien diobati dengan
menggunakan nasal CPAP.

2.4.4. Patogenesis
Obtrucstive sleep apneu diakibatkan karena terjadinya pendorongan lidah
dan palatum ke bagian belakang sehingga terjadi aposisi dengan dinding faring
bagian posterior. Proses ini yang menyebabkan terjadinya oklusi nasofaring serta
orofaring. Saat tidur oklusi pada saluran napas dapat menyebabkan terjadinya
henti aliran udara tetapi pernapasan masih dapat berlangsung sehingga timbul
apnea. Obtrucstive sleep apneu dapat menyebabkan asfiksia yang nantinya
memberi respon terbangunya tidur dalam waktu yang singkat. Ketika terbangun
akan terjadi perbaikan patensi saluran napas atas sehingga aliran udara dapat
diteruskan kembali. Dengan perbaikan asfiksia, penderita tidur kembali sampai
kejadian berikutnya terulang kembali.41
Tekanan faring negatif dapat menyebabakan saluran napas atas kolaps.
Penderita dengan penyempitan saluran napas yang diakibat, retrognatia,
mikrognatia, hipertropi adenotosilar, akromegali, atau magroglossia. Reduksi
ukuran orofaring menyebabkan komplien saluran napas atas meningkat sehingga
cenderung kolaps jika ada tekanan negatif. Tiga faktor yang berperan pada
patogenesis Obtrucstive sleep apnea.40,41
Faktor pertama, obstruksi saluran napas di faring yang akibat oleh
pendorongan lidah dan palatum ke arah belakang yang menyebabkan oklusi pada
nasofaring serta orofaring, yang dapat menyebabkan terhentinya aliran udara

34

masuk kedalam paru, walaupun pernapasan berjalan pada saat tidur. Hal inilah
yang menyebabkan terjadinya apnea, asfiksia sampai periode arousal.41
Faktor kedua adalah ukuran dari lumen faring sendiri. Dinding faring
dibentuk oleh otot-otot dilator faring (m. pterigoid medial, m. tensorveli palatini,
m. genioglosus, m. geniohiod, dan 4 m. sternohioid) dan memiliki fungsi untuk
menjaga keseimbangan tekanan faring pada saat terjadinya tekanan negatif
intratorakal akibat kontraksi diafragma. Kelainan fungsi kontrol neuromuskular
pada otot dilator faring juga memiliki peran terhadap kolapsnya saluran napas.40
Faktor ketiga adalah kelainan pada kraniofasial yang dimulai dari hidung
sampai dengan hipofaring yang bisa menyebabkan terjadinya penyempitan pada
saluran napas bagian atas. Kelainan pada daerah ini juga dapat menyebabkan
tahanan yang tinggi. Tahanan ini merupakan salah satu faktor predisposisi yang
menyebabkan kolapsnya saluran napas bagian atas. Kejadian kolapsnya
nasofaring ditemukan pada 81% dari 64 pasien OSA dan pada 75% pasien
ditemukanya penyempitan saluran napas atas lebih dari satu.39,40,41
2.4.5. Gejala klinis
Obtrucstive sleep apnea sering sulit untuk terdeteksi hal ini dikarenakan
Obtrucstive sleep apnea terjadi saat pasien sedang tidur. Gejala Obtrucstive sleep
apnea dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu gejala malam dan gejala
siang hari. Daytime hypersomnolence adalah Gejala utama Obtrucstive sleep
apnea. Gejala ini tidak dapat dinilai secara kuantitatif karena pasien sering sulit
membedakan rasa mengantuk dengan kelelahan. Daytime hypersomnolence terjadi
dikarenakan adanya gangguan tidur, sehingga membuat tidur menjadi terputusputus. Hal ini merupakan respons saraf pusat yang berulang dikarenakan
gangguan pernapasan saat tidur.1
Gejala malam yang paling sering terjadi adalah adanya suara berupa
dengkuran yang keras disebabkan oleh adanya penyempitan pada jalan napas.
Akhir setiap episode dari apnea biasanya akan terjadi hembusan napas berupa
dengkuran keras yang kemudian akan diikuti oleh gerakan tubuh, pasien biasanya
tidak akan menyadari hal ini akan tetapi biasanya keluhan dikeluhkan oleh teman
tidurnya.2

35

Akibat gangguan pola tidur normal, penderita sering merasa mengantuk,


seing terjadi gangguan konsentrasi serta gangguan aktifitas pada siang hari.
Termasuk didalamnya depresi, iritabiliti, sulit belajar, gangguan seksual dan
tertidur saat bekerja atau saat menyetir kendaraan. Diperkirakan sampai 50%
penderita apnea tidur mempunyai tekanan darah tinggi meskipun tidak diketahui
dengan jelas apakah merupakan penyebab atau efek apnea tidur. Risiko serangan
jantung dan stroke meningkat pada penderita apnea tidur.1,2
2.4.6. Diagnosis
Diagnosis OSA dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik, seperti evaluasi
sistemik, pemeriksaan kepala dan leher, hidung, rongga mulut, dan hipofaring.
Pada evaluasi sistemik, dilakukan pengukuran tekanan darah, IMT, dan lingkar
leher. Pengukuran tekanan darah dilakukan untuk menilai apakah pasien
hipertensi karena hipertensi berhubungan dengan beratnya penyakit OSA. Selain
itu pengukuran IMT dan lingkar leher juga dilakukan karena pada beberapa
penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara IMT dan lingkar leher
dengan OSA. Dipaparkan bahwa ada hubungan antara IMT > 27.8 kg/m2; lingkar
leher > 17 inches pada pria dan IMT > 27.3 kg/m2; lingkar leher > 15 inches pada
wanita dengan kejadian OSA. Pemeriksaan kepala dan leher, hidung, rongga
mulut, dan hipofaring dilakukan untuk menilai apakah ada kelainan anatomi
kraniofasial, obstruksi nasal, obstruksi retropalatal ataupun obstruksi retroglossal
yang bisa menjadi faktor risiko kejadian OSA.42
Beratnya sleep apnea dapat dilihat dari Apnea-Hypopnea Index (AHI) yaitu
jumlah apnea dan hipopnea perjam tidur. Peningkatan berat badan mempengaruhi
peningkatan frekuensi AHI dan penurunan berat badan mempengaruhi penurunan
AHI. Diagnosa OSA ditegakkan bila terdapat AHI > 5 dan terdapat gejala kantuk
yang berlebih di siang hari. OSA berhubungan erat dengan obesitas dan terdapat
hubungan langsung antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan indeks AHI.39
Untuk mengukur saturasi oksigen selama tidur dapat digunakan oksimetri,
namun sepertiga pasien OSA tidak mengalami penurunan saturasi oksigen. Maka
dari itu diagnostik baku pemeriksaan OSA adalah polisomnografi nocturnal yang
mencakup.42

36

1. Elektroensefalografi (EEG) untuk merekam gelombang listrik saraf pusat.


2. Oksimetri untuk mencatat saturasi oksigen.
3. Monitor Holter untuk mencatat rekaman jantung.
4. Elektromiografi (EMG) untuk mencatat gerakan otot pernapasan selama tidur dan
memonitor posisi tidur.
Seseorang dikatakan menderita OSA jika terdapat42:
1.

Keadaan mengantuk berat sepanjang hari yang tidak dapat dijelaskan karena

sebab lain.
2.

Dua atau lebih keadaan seperti tersedak sewaktu tidur, terbangun beberapa

kali ketika tidur, tidur yang tidak menyebabkan rasa segar, perasaan lelah
sepanjang hari dan gangguan konsentrasi.
3.

Hasil PSG menunjukkan AHI 5 (jumlah total apnea ditambah terjadi

hipopnea perjam selama tidur).


4.

Hasil PSG negatif untuk gangguan tidur lainnya.


Screening OSA dapat dilakukan dengan kuesioner Berlin yang bertujuan

untuk menjaring pasien yang mempunyai risiko tinggi terjadi OSA. Kuesioner ini
terdiri dari 3 bagian. Kuesioner Berlin dapat di lihat pada lampiran 5.
Pertanyaan-pertanyaan pada kuesioner dipilih berdasarkan faktor-faktor
risiko (obesitas, hipertensi) dan prilaku (mendengkur, rasa kantuk yang berlebihan
pada siang hari) yang berhubungan dengan timbulnya gangguan pernapasan saat
tidur. Kuesioner Berlin terdiri dari 10 pertanyaan, yaitu satu pertanyaan utama dan
empat pertanyaan tambahan untuk menilai gejala mendengkur; tiga pertanyaan
utama dan satu pertanyaan tambahan untuk menilai gejala EDS, dan satu
pertanyaan tunggal untuk menilai riwayat tekanan darah tinggi. Pertanyaanpertanyaan tersebut dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu41

Kategori1 (pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan gejala


mendengkur)

Kategori 2 (pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan gejala EDS)

Kategori 3 (pertanyaan tentang riwayat tekanan darah tinggi).


Interpretasi pada kuesioner Berlin adalah apakah seseorang berisiko tinggi

atau berisiko rendah menderita OSA. Pada kategori 1, seseorang berisiko tinggi

37

jika terdapat gejala yang persisten (lebih dari 3 atau 4 kali per minggu) pada 2
pertanyaan mengenai gejala mendengkur. Pada kategori 2, seseorang berisiko
tinggi jika gejala EDS, mengantuk saat mengendarai kendaraan, atau keduanya
persisten (lebih dari 3 atau 4 kali per minggu). Pada kategori 3, seseorang berisiko
tinggi jika memiliki riwayat tekanan darah tinggi dan/atau IMT 30k g/m2. Jika
seseorang berisiko tinggi 2 kategori pada kuesioner Berlin, maka orang tersebut
memiliki risiko tinggi menderita OSA. Sedangkan jika seseorang berisiko tinggi
1 kategori pada kuesioner Berlin, maka orang tersebut berisiko rendah menderita
OSA.41
2.4.7. Klasifikasi
Klasifikasi derajat OSA berdasarkan nilai Apnea Hypopnea Index (AHI)
yang ditetapkan oleh The American Academy of Sleep Medicine, dapat dibagi
menjadi 3 golongan:
1. Ringan (nilai AHI 5-15), saturasi oksigen 86%.
2. Sedang (nilai AHI 15-30), saturasi oksigen 80-85% dengan keluhan mengantuk
dan sulit berkosentrasi.
3. Berat (nilai AHI >30), saturasi oksigen < 80% dan gangguan tidur.
Faktor-faktor lain yang juga berpengaruh pada derajat OSA adalah
desaturasi oksigen, kualitas hidup dan tingkat mengantuk di siang hari.6
2.5 Hubungan OSNA dengan OSA
Keterkaitan antara Obstruktif Saluran Nafas atas dengan obstructive sleep
apnea dijelaskan dibeberapa lilteratur berkaitan dengan perubahan laju udara serta
tekanan intraluminal saluran nafas atas. Pada awalnya OSNA terjadi akibat 3
mekanisme utama yaitu, Kelainan aktivitas muskulus dilator faring, tekanan
negatif selama inspirasi akibat sumbatan, dan kelainan struktur anatomi saluran
nafas atas. OSNA yang diakibatkan oleh terganggunya aktifitas muskulus dilator
faring biasanya berhubungan dengan kelainan neuromuskular. Pada kelainan
neurologis bisa diakibatkan tidak adekuatnya persarafan pada otot saluran nafas
atas sehingga menimbulkan kolapsnya lumen pada saluran nafas. Selanjutnyaan
osna yang diakibatkan oleh tekanan negatif selama inspirasi berhubungan dengan

38

terjadinya sumbatan oleh karena cairan ataupun masa serta peyempitan lumen
saluran nafas atas. Tekanan negatif timbul apabila lumen terisi oleh sumbatan
patologis seperti rhinosinusitis, rinitis alergi, polip nasi, tonsilitis. OSNA juga
dapat disebabkan oleh kelainan struktur anatomi saluran nafas atas baik
kongenital maupun akibat trauma. Salah satunya penyakit OSNA yang terjadi
akibat kelainan anaatomi ini adalah septum deviasi.14,15
Patogenesis terjadinya OSA yang disebabkan oleh OSNA berawal dari
terjadinya sumbatan aliran udara pada saluran nafas atas yang diperparah saat
malam hari dalam keadaan tidur. Penjelasan mengenai hubungan sumbatan
terhadap terjadinya OSA dijelaskan melalui hukum bernolli yang meyebutkan
bahwa tekanan dari fluida yang bergerak seperti udara berkurang ketika fluida
tersebut bergerak lebih cepat. Pada OSNA terjadinya sumbatan oleh karena cairan
atau massa atau perubahan struktur anatomi menyebabkan udara melalui lumen
saluran nfas atas yang lebih sempit dari sebelumnya sehingga terjadi peningkatan
kecepatan laju udara dalam rongga saluran nafas atas. Peningkatan laju udara pada
saluran nafas atas akan menurunkan tekanan intralumen saluran nafas atas yang
mengakibatkan kolapsnya lumen yang semakin memperparah sumbatan saluran
nafas atas. Kejadian ini akan diperparah pada saat tidur dimana otot-otot dilator
faring akan cenderung mengalami relaksasi sehingga lumen faring menyempit
serta lidah dan palatum cenderung jatuh kebagian belakang semakin yang
memperparah obstruksi. Meningkatnya resistensi saluran nafas atas dikompensasi
dengan terbukanya mulut untuk membantu proses inspirasi. Namun, kejadian ini
berujung pada semakin meningkatnya kolapsibilitas saluran nafas atas serta
meningkatkan turbulensi udara lumen faring. Turbelensi udara tersebut akan
menghasilkan geteran yang diinterpretesikan sebagai suara mendengkur atau
snooring yang selanjutnya disebut dengan OSA.43,44

39

2.6.

Kerangka Teori

Obstruksi saluran
nafas atas (OSNA)

Kelainan aktivitas
muskulus dilator faring

tekanan negatif selama


inspirasi akibat sumbatan

kelainan struktur anatomi


saluran nafas atas

tonsilitis
Polip nasi

rhinosinusitis

Rinitis alergi

Peningkatan sumbatan
aliran nafas atas

Septum deviasi

40

Peningkatan laju udara


saluran nafas atas

Penurunan tekanan intra


lumen saluran nafas atas

Peyempitan lumen faring


dan laring

Terjadi OSA

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional yang bertujuan
untuk mengetahui hubungan faktor-faktor penyebab obstruksi saluran nafas atas
terhadap faktor resiko (OSA). Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini
adalah pendekatan cross-sectional yaitu dengan cara melakukan pengambilan data
dan wawancara dalam satu waktu yang sama.
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Poliklinik THT RSUD dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh pada tanggal 25/01/2015 s/d tanggal 25/02/2015.
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien obstruksi saluran
pernafasan atas di Poliklinik THT RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
3.3.2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini diambil dengan cara non probablity sampling
dan menggunakan teknik accidental sampling. Sampel dalam penelitian ini adalah
sebagian pasien obstruksi saluran nafas atas di Poliklinik THT RSUD dr. Zainoel
Abidin Banda Aceh pada 28/01/2015 sampai 28/02/2015 yang memenuhi kriteria
penelitian.
3.3.3. KriteriaSampel
a. Kriteria Inklusi
1. Pasien yang dengan umur 20-55 tahun.
2. Pasien yang kooperatif.

41

42

3. Pasien yang didiagnosa oleh dr. spesialis (polip nasi, rhinitis alergi,
septum deviasi, tonsillitis dan rinosinusitis)
b. Kriteria Ekslusi
1. Pasien yang memiliki riwayat merokok
2. Pasien yang memiliki IMT > 25 (obesitas)
3. Pasien yang memiliki riwayat asma
3.3.4. Besar sampel penelitian
Pasien dengan OSNA di Poliklinik THT RSUD dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh pada 28/01/2015 sampai 28/02/2015 didapatkan 75 orang.
3.4. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian merupakan kerangka antara konsep-konsep
yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan. Pada
penelitian ini kerangka konsep dapat dilihat pada Gambar 3.1 sebagai berikut:
Variabel Independen (bebas)

Variabel Dependen (terikat)

Obstruksi saluran nafas


atas (OSNA)

Obtrucstive Sleep
Apnea(OSA)

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian


3.5. Variabel Penelitian Dan Definisi Operasional
3.5.1. Identifikasi variabel penelitian
Variabel terikat (dependen) : Obtrucstive sleep apneu(OSA)
Variabel bebas (independen) : obstruksi saluran nafas atas
3.5.2. Definisi Operasional
1. Obstruksi saluran nafas atas adalah terganggu laju aliran udara pada saluran
pernapasan bagian atas yang disebabkan oleh kelainan struktur anatomi,kelainan
muskulus dilator faring,dan kelainan yang disebakan adanya massa. Pada

43

penelitian ini penyakit yang tergolong dalam obstruksi sumbatan nafas atas adalah
polip nasi, rhinitis alergi, septum deviasi, tonsillitis dan rinosinusitis.
Hasil Akhir : polip nasi, rhinitis alergi, septum deviasi, tonsillitis dan
rinosinusitis
Skala Ukur : nominal
Alat Ukur : menggunakan rekam medik
2. Obstructive sleep apnea (OSA) adalah suatu gangguan yang ditandai dengan
kolapsnya saluran nafas bagian atas secara periodik pada saat tidur sehingga
menyebabkan apnea, hypopnea, atau keduanya. Kuesioner Berlin dapat digunakan
untuk menilai risiko terjadinya OSA.. Penelitian dilakukan dengan memberikan
kuesioner Berlin dan mengkategorikan responden sesuai dengan skor yang
didapat :
a) Risiko tinggi : apabila terdapat 2 atau lebih kategori postif
b) Risiko redah : apabila terdapat 1 atau tidak ada kategori positif

Hasil akhir : Risiko tinggi atau risiko rendah

Skala ukur : ordinal

Alat ukur : Kuesioner Berlin

3.6. Alat / Instrumen Penelitian


1. Kuesioner Berlin
Kuesioner baku yang digunakan untuk menilai tinggi-rendahnya risiko
Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada responden
2. Spigmonanometer
Spigmonanometer digunakan untuk mengukur tekanan darah pasien sesuai
dengan item dari kuesioner Berlin
3. Timbangan badan
Timbangan badan digunakan untuk mengukur berat badan serta BMI sesuai
dengan item yang terdapat di kuesioner Berlin
4. Mikrotoise
Mikrotoise digunakan untuk mengukur tinggi badan pasien sesuai dengan
item di kuesioner Berlin.
5. Surat informed consent

44

Surat informed conset digunakan sebagai bukti persetujuan responden


terhadap perlakuan penelitian.
6. Lembar data pene litian
Lembar data penelitian digunakan untuk mencatat indetitas pasien dan data
penyakit obstruksi saluran nafas atas yang diderita.
3.7. Teknik Pengumpulan Data
3.7.1. Sumber Data
Pada penelitian ini, data yang dikumpulkan berupa data primer dan data
sekunder.Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari responden.
Pengumpulan data primer menggunakan hasil pencatatan rekam medic dan
kuesioner baku berlin Obstructive Sleep Apnea (OSA), sedangkan data sekunder
merupakan data yang diambil dari status pasien. Data sekunder merupakan data
yang tersedia sebelum penilaian dimulai.
3.7.2. Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan pengisian
kuesioner Berlin Obstructive Sleep Apnea (OSA) oleh responden secara
wawancara terpimpin. Peneliti tetap menemani responden, jika responden terdapat
kesulitan maka responden dapat bertanya kepada peneliti.
3.8. Teknik pengolahan data
Pengolahan

data

hasil

penelitian

dilakukan

secara

manual

dan

komputerisasi, sehingga dapat memberikan informasi kepada peneliti.Pada tahap


awal, melakukan koreksi terhadap kesalahan ataupun kekurangan dalam
pengambilan data rekam medis dan pengisian kuesioner oleh peneliti
(editing).Setelah seluruh data yang di butuh telah lengkap, dilakukan pemberian
kode (coding).Data yang telah di beri kode lalu dimasukkan ke program komputer
(entry) berdasarkan kategori yang sudah ditentukan.Setelah itu peneliti mengecek
kembali untuk mengetahui kemungkinan adanya kesalahan.Lalu di lanjutkan
dengan analisis data.

45

3.9. Prosedur penelitian


1. Peneliti mengurus surat pengantar dari Fakultas Kedokteran Universitas
Syiah Kuala dan meminta izin dari direktur Rumah Sakit Umum dr. Zainoel
Abidin (RSUDZA) Banda Aceh untuk melakukan penelitian di Poliklinik
THT RSUDZA.
2. Subjek penelitian didapatkan dengan menggunakan metode non-probability
sampling dengan teknik consecutive sampling. Selanjutnya subjek yang
memenuhi kriteria penelitian akan menjadi sampel penelitian.
3. Penelitian melakukan pengambilan data primer pada subjek penelitian
berupa pemeriksaan dengan menggunakan catatan rekam medik dan
pemberian kuesioner baku Berlin Obstructive Sleep Apnea (OSA).
4. Hasil yang didapatkan dari data primer dan sekunder yang didapatkan
menggunakan analisis univariat dan bivariat. Proporsi data akan disajikan
dalam bentuk tabel ataupun grafik.
3.10. Analisis Data
Analisis data penelitian ini menggunakan analisis univariat, bivariat.Data
dianalisis berdasarkan pencatatan rekam medik responden, dan pengisian
kuesioner baku Berlin OSA di Poliklinik THT Rumah Sakit umum Daerah dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh. Data yang dikumpulkan kemudian diolah dan
disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.
3.10.1. Analisis Univariat
Analisis Univariat dilakukan pada kedua variabel dependen dan variabel
independen.Analisis ini bertujuan untuk mendeskripsikan frekuensi pada tiap
variabel. Analisis univariat pada penelitian ini menggunakan rumus:

P n=

fn
N

x 100

46

Keterangan:
Pn

= Persentase data yang diamati

Fn= Frekuensi data yang diamati


N = Jumlah seluruh responden

3.10.2. Analisis Bivariat


Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara faktor-faktor
penyebab obstruksi saluran nafas atas terhadap faktor risiko Obstructive Sleep
Apnea (OSA). Pengukuran dilakukan dengan menggunakan uji chi square, dengan
rumus :

Keterangan :
x2 = chi square
= jumlah
O = observer
E = expected
Untuk melihat hasil kemaknaan perhitungan statistik digunakan batas
kemaknaan () = 0.1 dengan CI 90% dan kriteria hubungan ditetapkan
berdasarkan p value :
a) Jika p value >0,05 maka tidak ada hubungan antara kedua variabel
b) Jika p value 0,05 maka terdapat adanya hubungan antara kedua variabel.

47

3.11

Alur Penelitian

Populasi
Sampel memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
Pasien yang didiagnosa oleh dr. spesialis
Polip nasi, rhinitis alergi, septum deviasi,
tonsillitis dan rinosinusitis
Penjelasan dan informed consent dari peneliti
Pengukuran tinggi, berat badan, tekanan darah
Wawancara terpimpin dengan mengunakan
kuesioner Berlin untuk menilai tinggi dan rendah
risiko OSA
Pengumpulan data

Analisa data

Anda mungkin juga menyukai