PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Obstructive sleep apnea (OSA) merupakan bentuk gangguan napas dalam
tidur yang paling sering dijumpai. Kelainan respiratorik kronis ditandai oleh
episode apneu dan hypopnea dikarenakan obstruksi saluran napas saat tidur
disebut dengan OSA.1
Prevalensi OSA di negara maju mencapai 2-4% pada pria dan 1-2% pada
wanita. Berdasarkan penelitian kesehatan kardiovaskular di Amerika Serikat yang
meliputi penduduk yang berusia 40-60 tahun, terdapat 33% pria dan 19% wanita
mengalami OSA. Pada penelitian Puji dkk 2011 didapatkan prevalensi OSA
berdasarkan
kuesioner
Berlin
sebesar
19,8%
sedangkan
berdasarkan
polisomnografi yang merupakan standar emas pemeriksaan OSA (nilai AHI >5)
adalah 9,9%.2,3
Pada penelitian Aulia 2010 OSA, berhubungan erat dengan kejadian
penyakit kardiovaskuler seperti penyakit janutng koroner (PJK), penyakit jantung
iskemik (PJI), dan hipertensi. Pengetahuan yang holistik mengenai hal-hal yang
dapat menyebabkan OSA dapat menjadi landasan dalam pencegahan terjadinya
OSA dan penyakit kardiovaskular akibat OSA.4,5
Dari hasil sejumlah penelitian yang dilakukan oleh Aylin et al menyebutkan
bahwa OSA berhubungan erat dengan kejadian obstruksi saluran napas atas.
Beberapa penyakit yang tergolong ke dalam penyakit obstruksi saluran napas atas
adalah septum deviasi, polip nasi, tonsilitis, rinosinusitis dan rinitis alergi.6
Obstruksi saluran napas atas adalah terganggunya aliran udara akibat tiga
faktor utama yaitu terganggunya aktivitas musculus dilator faring, tekanan negatif
selama fase inspirasi dan kelainan struktural anatomi saluran napas atas. Studi
klinis menunjukan bahwa prevalensi septum deviasi meningkat seiring dengan
usia, Van der Veken menunjukan prevalensi septum deviasi pada anak-anak
meningkat dari 16-72% secara linier dari usia 3 hingga 20 tahun. Prevalensi polip
nasi dilaporkan 1-2% di Eropa dan 4,3% di Finlandia. Di Indonesia studi
epidemiologi menunjukan bahwa perbandingan pria dan wanita 2-3:1 dengan
1.4.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Saluran Pernapasan
Saluran Pernapasan merupakan saluran yang dilalui oleh udara
berupa oksigen yang berasal dari luar menuju ke ductus alveolar agar
terjadinya pertukaran udara. Saluran pernapasan digolongkan menjadi dua
bagian berdasarkan letak anatominya yaitu11:
1. Saluran Pernapasan Bagian Atas (Upper Respiratory Airway)
Saluran Pernapasan Bagian Atas dengan fungsi utama sebagai
berikut: 1)Air conduction (penyalur udara), sebagai saluran yang
meneruskan udara menuju saluran napas bagian bawah untuk pertukaran
gas, 2)Protection (perlindungan), sebagai pelindung saluran napas bagian
bawah dari masuknya benda asing, 3) Warming, filtrasi, dan humudifikasi
yakni sebagai bagian yang menghangatkan, menyaring, dan memberi
kelembaban udara yang diinspirasi (dihirup).12
Hidung dibentuk oleh tulang sejati (os) dan tulang rawan (kartilago).
Hidung dibentuk oleh sebagian kecil tulang sejati, sisanya terdiri atas
kartilago dan jaringan ikat (connective tissue). Bagian dalam hidung
merupakan suatu lubang yang dipisahkan menjadi lubang kiri dan kanan
oleh sekat (septum). Rongga hidung mengandung rambut (fimbriae) yang
berfungsi sebagai penyaring (filter) kasar terhadap benda asing yang
masuk. Pada permukaan (mukosa) hidung terdapat epitel bersilia yang
mengandung sel goblet. Sel tersebut mengeluarkan lendir sehingga dapat
menangkap benda asing yang masuk ke dalam saluran pernapasan. Kita
dapat mencium aroma karena di dalam lubang hidung terdapat reseptor.
Reseptor bau terletak pada cribriform plate, di dalamnya terdapat ujung
dari saraf kranial I (Nervous Olfactorius). Hidung berfungsi sebagai jalan
napas, pengatur udara, pengatur kelembaban udara (humidifikasi),
pengatur suhu, pelindung dan penyaring udara, indra pencium, dan
resonator suara.12.13
pada komposisi udara dalam alveoli akibat pernapasan eksterna dan pernapasan
interna atau penapasan jaringan. Udara (atmosfer) yang dihirup berupa nitrogen :
79 %, oksigen : 20 % dan karbondioksida : 0-0,4 % dengan suhu dan kelembaban
atmosfer. Udara yang dihembuskan berupa nitrogen : 79 %, oksigen : 16 % dan
karbon dioksida : 4-0,4. 12,13
Udara yang dihembuskan merupakan udara jenuh uap air dan mempunyai
suhu yang sama dengan badan. Sekitar 20% panas badan hilang akibat pemanasan
udara yang dikeluarkan. Daya muat udara oleh paru-paru besarnya sekitar 4.500
ml sampai 5.000 ml udara dan hanya sekitar 1/10 dari jumlah tersebut yang
berkisar 500 ml merupakan udara pasang surut (tidal air), yaitu yang dihirup
masuk dan dihembuskan ke luar pada pernapasan biasa dengan tenang. Volume
udara yang dapat dicapai masuk dan keluar paru-paru saat penarikan dan
pengeluaran napas paling kuat disebut kapasitas vital paru-paru yang diukur
dengan alat spirometer.kapasitas vital paru-paru pada laki-laki normalnya sekitar
4-5 liter dan pada perempuan sekitar 3-4 liter. Kapasitas tersebut berkurang
apabila terdapat penyakit paru-paru, penyakit jantung yang menimbulkan kongesti
paru-paru dan kelemahan otot pernapasan. 12,13
Mekanisme pernapasan diatur dan dikendalikan oleh dua faktor utama, yaitu
kimiawi dan pengendalian oleh saraf. Beberapa faktor tertentu merangsang pusat
pernapasan yang terletak di dalam medula oblongata dan apabila dirangsang maka
pusat pernafasan akan mengeluarkan impuls yang disalurkan oleh saraf spinalis ke
otot pernapasan, yaitu otot diafragma dan otot interkostalis. 11,13
a. Pengendalian oleh saraf
Pusat pernapasan merupakan pusat otomatik di dalam medula oblongata
yang mengeluarkan impuls eferen ke otot pernapasan.Impuls tersebut dihantarkan
melalui beberapa radiks saraf servikalis ke diafragma oleh saraf frenikus dan ke
bagian yang lebih rendah pada sumsum belakang. Impuls tersebut berjalan dari
daerah toraks melalui saraf interkostalis untuk merangsang otot interkostalis serta
menimbulkan kontraksi ritmik pada otot diafragma dan interkostal yang
kecepatannya kira-kira lima belas kali per menit. Impuls aferen yang dirangsang
oleh peningkatan gelembung udara dan diantarkan oleh saraf vagus ke pusat
pernapasan di dalam medula oblongata. 13
dada
harus
bergerak
terus-menerus
supaya
udara
dapat
dikeluarmasukkan paru-paru. 12
Faktor tertentu lainnya menyebabkan penambahan kecepatan dan dalamnya
pernapasan. Gerakan badan yang kuat yang memakai banyak oksigen dalam otot
untuk memberi energi yang diperlukan untuk pekerjaan, akan menimbulkan
kenaikan pada jumlah karbon dioksida di dalam darah dan akibatnya pembesaran
ventilasi paru-paru. Emosi, rasa takut dan sakit misalnya, menyebabkan impuls
yang merangsang pusat pernapasan dan menimbulkan penghirupan udara secara
kuat. Hal yang kita ketahui semua. Impuls aferen dari kulit menghasilkan efek
serupa- bila badan dicelup dalam air dingin atau menerima guyuran air dingin,
maka penarikan napas kuat menyusul.13
Pengendalian secara sadar atas gerakan pernapasan mungkin terjadi tetapi
tidak dapat dijalankan secara lama dikarenakan gerakannya bersifat otomatik.
Suatu usaha untuk menahan napas dalam waktu lama akan gagal akibat
pertambahan karbondioksida yang melebihi normal didalam darah sehingga
menimbulkan rasa tak enak. Kecepatan pernapasan pada wanita lebih tinggi
daripada pria. Pernapasan secara normal berupa inspirasi yang disusul ekspirasi
dan kemudian memasuki fase istirahat sesaat sehingga diurutkan menjadi
inspirasi-ekspirasi-istirahat. Urutan tersebut berubah terbalik pada bayi yang sakit
sehingga urutannya menjadi ; inspirasi-istirahat-ekspirasi yang disebut pernapasan
terbalik. Kecepatan normal setiap menit :
10
Inspirasi adalah proses aktif yang diselenggarakan oleh kerja otot berupa
kontraksi diafragma untuk meluaskan rongga dada dari atas sampai bawah secara
vertikal. Penaikan iga-iga dan sternum yang ditimbulkan oleh kontraksi otot
interkostalis akan meluaskan rongga dada ke dua sisi dan dari belakang ke depan.
Paru-paru yang bersifat elastis mengembang untuk mengisi ruang tersebut
sehingga udara ditarik masuk ke dalam saluran udara. Otot interkostal eksterna
diberi peran sebagai otot tambahan, hanya bila inspirasi menjadi gerak sadar. 12,13
Proses ekspirasi akan timbul apabila udara dipaksa keluar oleh pengendoran
otot dan kemudian paru-paru mengempis kembali secara pasif disebabkan sifat
elastis
paru-paru.
Gerakan
dada
bertambah
ketika
pernapasan
sangat
Obstruksi saluran napas adalah sumbatan pada saluran napas atas yang
disebabkan oleh adanya radang, benda asing, trauma, tumor, dan kelumpuhan
nervus rekuren bilateral sehingga ventilasi pada saluran pernapasan terganggu.
Obstruksi saluran nafas atas (OSNA) merupakan penyumbatan saluran nafas atas
yang mermelukan tindakan medis segera, berbagai macam keadaan dapat
menyebabkan OSNA seperti abses parafaring, abses retrofaring, benda asing,
paralisis nervus rekuren bilateral, reaksi alergi, sindrom croup,tumor laring,
trauma. Namun yang paling menimbulkan kegawat daruratan adalah obstruksi
pada bagian laring. Gejala klinis yang umum pada OSNA , antara lain sesak nafas,
warna muka pucat sampai menjadi sianosis karena hipoksia, penurunan kesadaran,
tersedak, weezing, stridor, dan cenkungan yang terdapat saat inspirasi di
suprasternal, epigastrium, supraklavikula dan intercostals. Cekungan terjadi
11
12
13
pasien. Pada umumnya gejala sumbatan jalan napas adalah tanda prognosis yang
kurang baik.
8. Trauma
Trauma pada laring dapat berupa trauma tumpul atau trauma tajam. Trauma
laring dapat menyebabkan edema dan hematoma di plika ariepiglotika dan plika
ventrikularis oleh karena jaringan submukosa di daerah ini mudah membengkak.
Tulang rawan laring dan persendiaanya dapat mengalami fraktur dan dislokasi.
Kerusakan pada perikondrium dapat menyebabkan hematoma, nekrosis tulang
rawan, dan perikondritis yang mengakibatkan menyempitnya lumen laring dan
trakea.
2.3.3. Klasifikasi OSNA
1. Tonsilitis
1.1 Definisi
Tonsilitis Kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi pada
tonsila palatina yang menetap. Tonsilitis Kronis disebabkan oleh serangan ulangan
dari Tonsilitis Akut yang mengakibatkan kerusakan yang permanen pada tonsil.
Organisme patogen dapat menetap untuk sementara waktu ataupun untuk waktu
yang lama dan mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan tubuh
penderita mengalami penurunan. Anamnesa dan pemeriksaan fisik diagnostik
diperlukan untuk menegakkan diagnosa penyakit ini. Pada Tonsilitis Kronis tonsil
dapat terlihat normal, namun ada tanda-tanda spesifik untuk menentukan diagnosa
seperti plika anterior yang hiperemis, pembesaran kelenjar limfe, dan
bertambahnya jumlah kripta pada tonsil. 17,7
1.2. Patofisiologi
Adanya infeksi berulang pada tonsil maka pada suatu waktu tonsil tidak
dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil.
14
Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang
infeksi (fokal infeksi) dan satu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh
tubuh misalnya pada saat keadaan umum tubuh menurun. Karena proses radang
berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid terkikis,
sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut
yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik kripta ini
tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil
dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan disekitar fossa tonsilaris.
Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submandibula. 17
Tonsilitis Kronis terjadi akibat pengobatan yang tidak tepat sehingga
penyakit pasien menjadi Kronis. Faktor-faktor yang menyebabkan kronisitas
antara lain: terapi antibiotika yang tidak tepat dan adekuat, gizi atau daya tahan
tubuh yang rendah sehingga terapi medikamentosa kurang optimal, dan jenis
kuman yag tidak sama antara permukaan tonsil dan jaringan tonsil Gejala klinis
Tonsilitis Kronis yaitu: 1) Sangkut menelan. Dalam penelitiaa mengenai aspek
epidemiologi faringitis mendapatkan dari 63 penderita Tonsilitis Kronis, sebanyak
41,3% diantaranya mengeluhkan sangkut menelan sebagai keluhan utama. 2) Bau
mulut (halitosis) yang disebabkan adanya pus pada kripta tonsil. Pada penelitian
tahun 2007 di Sao Paulo Brazil, mendapatkan keluhan utama halitosis atau bau
mulut pada penderita Tonsilitis Kronis didapati terdapat pada 27% penderita. 3)
Sulit menelan dan sengau pada malam hari (bila tonsil membesar dan menyumbat
jalan nafas. 4) Pembesaran kelenjar limfe pada leher. 5) Butiran putih pada
tonsil. 17,8
1.3. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dibagi menjadi penatalaksanaan dengan:
1. Medikamentosa
Yaitu dengan pemberian antibiotika sesuai kultur. Pemberian antibiotika
yang bermanfaat pada penderita Tonsilitis Kronis Cephaleksin ditambah
metronidazole, klindamisin ( terutama jika disebabkan mononukleosis atau abses),
amoksisilin dengan asam klavulanat ( jika bukan disebabkan mononukleosis). 8
2.
Operatif
15
sebanyak
36
dari
penderita
mendapatkan
penatalaksanaan
16
penting dalam terjadinya sinusitis. Bila terdapat gangguan didaerah KOM seperti
peradangan, udema atau polip maka hal itu akan menyebabkan gangguan drainase
sehingga terjadi sinusitis. Bila ada kelainan anatomi seperti deviasi atau spina
septum, konka bulosa atau hipertrofi konka media, maka celah yang sempit itu
akan bertambah sempit sehingga memperberat gangguan yang ditimbulkannya.
Infundibulum etmoid dan resesus frontal yang termasuk bagian dari KOM,
berperan penting pada patofisiologi sinusitis. Permukaan mukosa ditempat ini
berdekatan satu sama lain dan transportasi lendir pada celah yang sempit ini dapat
lebih efektif karena silia bekerja dari dua sisi atau lebih. Apabila terjadi udema,
mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak
dan lendir tidak dapat dialirkan, maka akan terjadi gangguan drainase dan
ventilasi sinus maksila dan frontal. Karena gangguan ventilasi, maka akan terjadi
penurunan pH dalam sinus, silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi
menjadi lebih kental sehingga merupakan media yang baik untuk tumbuh kuman
patogen. 20
Patogenesis dari rinosinusitis kronis berawal dari adanya suatu inflamasi
dan infeksi yang menyebabkan dilepasnya mediator diantaranya vasoactive
amine, proteases, arachidonic acid metabolit, imune complek, lipolisaccharide
dan lain-lain. Hal tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan mukosa hidung dan
akhirnya menyebabkan disfungsi mukosiliar yang mengakibatkan stagnasi mukos
dan menyebabkan bakteri semakin mudah untuk berkolonisasi dan infeksi
inflamasi akan kembali terjadi. Bakteri dapat berkembang menjadi kuman patogen
bila lingkungannya sesuai. Bila sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia
dan retensi lendir, sehingga bakteri anaerob akan berkembang baik. Bakteri juga
akan memproduksi toksin yang akan merusak silia. Selanjutnya dapat terjadi
perubahan jaringan menjadi hipertropi, polipoid atau terbentuk polip dan kista.
Kuman didalam sinus dapat berasal dari rongga hidung sebelum ostium tertutup
ataupun merupakan kuman komensal didalam rongga sinus. Virus dan bakteri
yang masuk kedalam mukosa akan menembus kedalam submukosa, yang diikuti
adanya infiltrasi sel polimorfonuklear, sel mast dan limfosit, kemudian akan
diikuti lepasnya zat-zat kimia seperti histamin dan prostaglandin. Zat-zat kimia ini
17
kronis
umumnya
sukar
disembuhkan
dengan
pengobatan
18
19
Nyeri bila disentuh dan nyeri pada penekanan jari mungkin terjadi pada
penyakit di sinus-sinus yang berhubungan dengan permukaan wajah.
d. Gangguan penghindu
Indra penghindu dapat disesatkan (parosmia), pasien mencium bau yang
tidak tercium oleh hidung normal.Keluhan yang lebih sering adalah hilangnya
penghindu (anosmia).Hal ini disebabkan adanya sumbatan pada fisura olfaktorius
didaerah konka media. Oleh karena itu ventilasi pada meatus superior hidung
terhalang, sehingga menyebabkan hilangnya indra penghindu.Pada kasus kronis,
hal ini dapat terjadi akibat degenerasi filament terminal nervus olfaktorius,
meskipun pada kebanyakan kasus, indra penghindu dapat kembali normal setelah
infeksi hilang. 21
B. Gejala Objektif
a. Pembengkakan dan udem
Jika sinus yang berbatasan dengan kulit terkena secara akut, dapat terjadi
pembengkakan dan udem kulit yang ringan akibat periostitis. Palpasi dengan jari
mendapati sensasi seperti pada penebalan ringan atau seperti meraba beludru. 20
b. Sekret nasal
Mukosa hidung jarang merupakan pusat fokus peradangan supuratif, sinussinuslah yang merupakan pusat fokus peradangan semacam ini. Adanya pus dalam
rongga hidung seharusnya sudah menimbulkan kecurigaan adanya suatu
peradangan dalam sinus. Pus di meatus medius biasanya merupakan tanda
terkenanya sinus maksila, sinus frontal atau sinus etmoid anterior, karena sinussinus ini bermuara ke dalam meatus medius. 20
2.4. Penatalaksanaan
Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti deviasi
septum, kelainan atau variasi anatomi KOM, hipertrofi adenoid pada anak, polip,
kista,
jamur,
gigi
penyebab
sinusitis,
dianjurkan
untuk
melakukan
20
Dekongestan
berperan
penting
sebagai
terapi
awal
hidung,
meningkatkan
diameter
ostium
dan
meningkatkan
21
3. Polip Nasi
22
3.1. Definisi
Polip nasi adalah suatu proses inflamasi kronis pada mukosa hidung dan
sinus paranasi yang ditandai dengan adanya massa yang edematous pada rongga
hidung. Polip nasi dapat pula didefinisikan sebagai kantong mukosa yang edema,
jaringan fibrosus, pembuluh darah, sel-sel inflamasi dan kelenjar. Polip nasi
muncul seperti anggur pada rongga hidung bagian atas, yang berasal dari dalam
kompleks ostiomeatal. Polip nasi terdiri dari jaringan ikat longgar, edema, sel-sel
inflamasi dan beberapa kelenjar dan kapiler dan ditutupi dengan berbagai jenis
epitel, terutama epitel pernafasan pseudostratified dengan silia dan sel goblet. 24
23
pengobatannya
bertujuan
untuk
mengurangi
besarnya
atau
menghilangkan polip agar aliran udara hidung menjadi lapang dan penderita dapat
bernafas dengan baik. Selanjutnya gejala-gejala rinitis dapat dihilangkan dan
fungsi penciuman kembali normal. Terdapat beberapa pilihan pengobatan untuk
polip nasi mulai dari pemberian obat-obatan, pembedahan konvensional sederhana
dengan menggunakan snare polip sampai pada bedah endoskopi yang memakai
alat lebih lengkap. Walaupun demikian, angka kekambuhan masih tetap tinggi
sehingga memerlukan sejumlah operasi ulang.26
Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi adalah menghilangkan
keluhan-keluhan, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip. Pemberian
kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga polipektomi
medikamentosa. Dapat di berikan topikal atau sistemik. Polip eosinofilik
24
25
26
27
jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan
mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan
Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada
sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah
akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major
Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO).29
Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik
dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan
cuaca dan kelembaban udara yang tinggi. Secara mikroskopik tampak adanya
dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel
pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan
membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa
dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan.
Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat
terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi
perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia
mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya antigen
asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari30:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini.Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan
ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag
berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau
memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi
respon tersier.
3. Respon tersier
28
29
30
31
32
dekade 5-6 dan menurun pada usia di atas 60-an. Tetapi secara umum frekuensi
OSA meningkat secara progresif sesuai dengan penambahan usia.38
2.4.3. Etiologi dan Faktor Risiko
2.
Jenis kelamin. Resiko laki-laki untuk menderita OSA adalah 2 kali lebih
tinggi dibandingkan perempuan sampai menopause.
3.
1.
33
2.
3.
4.
1.
Merokok
2.
Obesitas, dimana 30-60% pasien OSA adalah orang yang berbadan gemuk.
a) Penurunan berat badan akan menurunkan gejala-gejala OSA.
b) Penurunan berat badan akan mempermudah pasien diobati dengan
menggunakan nasal CPAP.
2.4.4. Patogenesis
Obtrucstive sleep apneu diakibatkan karena terjadinya pendorongan lidah
dan palatum ke bagian belakang sehingga terjadi aposisi dengan dinding faring
bagian posterior. Proses ini yang menyebabkan terjadinya oklusi nasofaring serta
orofaring. Saat tidur oklusi pada saluran napas dapat menyebabkan terjadinya
henti aliran udara tetapi pernapasan masih dapat berlangsung sehingga timbul
apnea. Obtrucstive sleep apneu dapat menyebabkan asfiksia yang nantinya
memberi respon terbangunya tidur dalam waktu yang singkat. Ketika terbangun
akan terjadi perbaikan patensi saluran napas atas sehingga aliran udara dapat
diteruskan kembali. Dengan perbaikan asfiksia, penderita tidur kembali sampai
kejadian berikutnya terulang kembali.41
Tekanan faring negatif dapat menyebabakan saluran napas atas kolaps.
Penderita dengan penyempitan saluran napas yang diakibat, retrognatia,
mikrognatia, hipertropi adenotosilar, akromegali, atau magroglossia. Reduksi
ukuran orofaring menyebabkan komplien saluran napas atas meningkat sehingga
cenderung kolaps jika ada tekanan negatif. Tiga faktor yang berperan pada
patogenesis Obtrucstive sleep apnea.40,41
Faktor pertama, obstruksi saluran napas di faring yang akibat oleh
pendorongan lidah dan palatum ke arah belakang yang menyebabkan oklusi pada
nasofaring serta orofaring, yang dapat menyebabkan terhentinya aliran udara
34
masuk kedalam paru, walaupun pernapasan berjalan pada saat tidur. Hal inilah
yang menyebabkan terjadinya apnea, asfiksia sampai periode arousal.41
Faktor kedua adalah ukuran dari lumen faring sendiri. Dinding faring
dibentuk oleh otot-otot dilator faring (m. pterigoid medial, m. tensorveli palatini,
m. genioglosus, m. geniohiod, dan 4 m. sternohioid) dan memiliki fungsi untuk
menjaga keseimbangan tekanan faring pada saat terjadinya tekanan negatif
intratorakal akibat kontraksi diafragma. Kelainan fungsi kontrol neuromuskular
pada otot dilator faring juga memiliki peran terhadap kolapsnya saluran napas.40
Faktor ketiga adalah kelainan pada kraniofasial yang dimulai dari hidung
sampai dengan hipofaring yang bisa menyebabkan terjadinya penyempitan pada
saluran napas bagian atas. Kelainan pada daerah ini juga dapat menyebabkan
tahanan yang tinggi. Tahanan ini merupakan salah satu faktor predisposisi yang
menyebabkan kolapsnya saluran napas bagian atas. Kejadian kolapsnya
nasofaring ditemukan pada 81% dari 64 pasien OSA dan pada 75% pasien
ditemukanya penyempitan saluran napas atas lebih dari satu.39,40,41
2.4.5. Gejala klinis
Obtrucstive sleep apnea sering sulit untuk terdeteksi hal ini dikarenakan
Obtrucstive sleep apnea terjadi saat pasien sedang tidur. Gejala Obtrucstive sleep
apnea dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu gejala malam dan gejala
siang hari. Daytime hypersomnolence adalah Gejala utama Obtrucstive sleep
apnea. Gejala ini tidak dapat dinilai secara kuantitatif karena pasien sering sulit
membedakan rasa mengantuk dengan kelelahan. Daytime hypersomnolence terjadi
dikarenakan adanya gangguan tidur, sehingga membuat tidur menjadi terputusputus. Hal ini merupakan respons saraf pusat yang berulang dikarenakan
gangguan pernapasan saat tidur.1
Gejala malam yang paling sering terjadi adalah adanya suara berupa
dengkuran yang keras disebabkan oleh adanya penyempitan pada jalan napas.
Akhir setiap episode dari apnea biasanya akan terjadi hembusan napas berupa
dengkuran keras yang kemudian akan diikuti oleh gerakan tubuh, pasien biasanya
tidak akan menyadari hal ini akan tetapi biasanya keluhan dikeluhkan oleh teman
tidurnya.2
35
36
Keadaan mengantuk berat sepanjang hari yang tidak dapat dijelaskan karena
sebab lain.
2.
Dua atau lebih keadaan seperti tersedak sewaktu tidur, terbangun beberapa
kali ketika tidur, tidur yang tidak menyebabkan rasa segar, perasaan lelah
sepanjang hari dan gangguan konsentrasi.
3.
untuk menjaring pasien yang mempunyai risiko tinggi terjadi OSA. Kuesioner ini
terdiri dari 3 bagian. Kuesioner Berlin dapat di lihat pada lampiran 5.
Pertanyaan-pertanyaan pada kuesioner dipilih berdasarkan faktor-faktor
risiko (obesitas, hipertensi) dan prilaku (mendengkur, rasa kantuk yang berlebihan
pada siang hari) yang berhubungan dengan timbulnya gangguan pernapasan saat
tidur. Kuesioner Berlin terdiri dari 10 pertanyaan, yaitu satu pertanyaan utama dan
empat pertanyaan tambahan untuk menilai gejala mendengkur; tiga pertanyaan
utama dan satu pertanyaan tambahan untuk menilai gejala EDS, dan satu
pertanyaan tunggal untuk menilai riwayat tekanan darah tinggi. Pertanyaanpertanyaan tersebut dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu41
atau berisiko rendah menderita OSA. Pada kategori 1, seseorang berisiko tinggi
37
jika terdapat gejala yang persisten (lebih dari 3 atau 4 kali per minggu) pada 2
pertanyaan mengenai gejala mendengkur. Pada kategori 2, seseorang berisiko
tinggi jika gejala EDS, mengantuk saat mengendarai kendaraan, atau keduanya
persisten (lebih dari 3 atau 4 kali per minggu). Pada kategori 3, seseorang berisiko
tinggi jika memiliki riwayat tekanan darah tinggi dan/atau IMT 30k g/m2. Jika
seseorang berisiko tinggi 2 kategori pada kuesioner Berlin, maka orang tersebut
memiliki risiko tinggi menderita OSA. Sedangkan jika seseorang berisiko tinggi
1 kategori pada kuesioner Berlin, maka orang tersebut berisiko rendah menderita
OSA.41
2.4.7. Klasifikasi
Klasifikasi derajat OSA berdasarkan nilai Apnea Hypopnea Index (AHI)
yang ditetapkan oleh The American Academy of Sleep Medicine, dapat dibagi
menjadi 3 golongan:
1. Ringan (nilai AHI 5-15), saturasi oksigen 86%.
2. Sedang (nilai AHI 15-30), saturasi oksigen 80-85% dengan keluhan mengantuk
dan sulit berkosentrasi.
3. Berat (nilai AHI >30), saturasi oksigen < 80% dan gangguan tidur.
Faktor-faktor lain yang juga berpengaruh pada derajat OSA adalah
desaturasi oksigen, kualitas hidup dan tingkat mengantuk di siang hari.6
2.5 Hubungan OSNA dengan OSA
Keterkaitan antara Obstruktif Saluran Nafas atas dengan obstructive sleep
apnea dijelaskan dibeberapa lilteratur berkaitan dengan perubahan laju udara serta
tekanan intraluminal saluran nafas atas. Pada awalnya OSNA terjadi akibat 3
mekanisme utama yaitu, Kelainan aktivitas muskulus dilator faring, tekanan
negatif selama inspirasi akibat sumbatan, dan kelainan struktur anatomi saluran
nafas atas. OSNA yang diakibatkan oleh terganggunya aktifitas muskulus dilator
faring biasanya berhubungan dengan kelainan neuromuskular. Pada kelainan
neurologis bisa diakibatkan tidak adekuatnya persarafan pada otot saluran nafas
atas sehingga menimbulkan kolapsnya lumen pada saluran nafas. Selanjutnyaan
osna yang diakibatkan oleh tekanan negatif selama inspirasi berhubungan dengan
38
terjadinya sumbatan oleh karena cairan ataupun masa serta peyempitan lumen
saluran nafas atas. Tekanan negatif timbul apabila lumen terisi oleh sumbatan
patologis seperti rhinosinusitis, rinitis alergi, polip nasi, tonsilitis. OSNA juga
dapat disebabkan oleh kelainan struktur anatomi saluran nafas atas baik
kongenital maupun akibat trauma. Salah satunya penyakit OSNA yang terjadi
akibat kelainan anaatomi ini adalah septum deviasi.14,15
Patogenesis terjadinya OSA yang disebabkan oleh OSNA berawal dari
terjadinya sumbatan aliran udara pada saluran nafas atas yang diperparah saat
malam hari dalam keadaan tidur. Penjelasan mengenai hubungan sumbatan
terhadap terjadinya OSA dijelaskan melalui hukum bernolli yang meyebutkan
bahwa tekanan dari fluida yang bergerak seperti udara berkurang ketika fluida
tersebut bergerak lebih cepat. Pada OSNA terjadinya sumbatan oleh karena cairan
atau massa atau perubahan struktur anatomi menyebabkan udara melalui lumen
saluran nfas atas yang lebih sempit dari sebelumnya sehingga terjadi peningkatan
kecepatan laju udara dalam rongga saluran nafas atas. Peningkatan laju udara pada
saluran nafas atas akan menurunkan tekanan intralumen saluran nafas atas yang
mengakibatkan kolapsnya lumen yang semakin memperparah sumbatan saluran
nafas atas. Kejadian ini akan diperparah pada saat tidur dimana otot-otot dilator
faring akan cenderung mengalami relaksasi sehingga lumen faring menyempit
serta lidah dan palatum cenderung jatuh kebagian belakang semakin yang
memperparah obstruksi. Meningkatnya resistensi saluran nafas atas dikompensasi
dengan terbukanya mulut untuk membantu proses inspirasi. Namun, kejadian ini
berujung pada semakin meningkatnya kolapsibilitas saluran nafas atas serta
meningkatkan turbulensi udara lumen faring. Turbelensi udara tersebut akan
menghasilkan geteran yang diinterpretesikan sebagai suara mendengkur atau
snooring yang selanjutnya disebut dengan OSA.43,44
39
2.6.
Kerangka Teori
Obstruksi saluran
nafas atas (OSNA)
Kelainan aktivitas
muskulus dilator faring
tonsilitis
Polip nasi
rhinosinusitis
Rinitis alergi
Peningkatan sumbatan
aliran nafas atas
Septum deviasi
40
Terjadi OSA
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional yang bertujuan
untuk mengetahui hubungan faktor-faktor penyebab obstruksi saluran nafas atas
terhadap faktor resiko (OSA). Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini
adalah pendekatan cross-sectional yaitu dengan cara melakukan pengambilan data
dan wawancara dalam satu waktu yang sama.
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Poliklinik THT RSUD dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh pada tanggal 25/01/2015 s/d tanggal 25/02/2015.
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien obstruksi saluran
pernafasan atas di Poliklinik THT RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
3.3.2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini diambil dengan cara non probablity sampling
dan menggunakan teknik accidental sampling. Sampel dalam penelitian ini adalah
sebagian pasien obstruksi saluran nafas atas di Poliklinik THT RSUD dr. Zainoel
Abidin Banda Aceh pada 28/01/2015 sampai 28/02/2015 yang memenuhi kriteria
penelitian.
3.3.3. KriteriaSampel
a. Kriteria Inklusi
1. Pasien yang dengan umur 20-55 tahun.
2. Pasien yang kooperatif.
41
42
3. Pasien yang didiagnosa oleh dr. spesialis (polip nasi, rhinitis alergi,
septum deviasi, tonsillitis dan rinosinusitis)
b. Kriteria Ekslusi
1. Pasien yang memiliki riwayat merokok
2. Pasien yang memiliki IMT > 25 (obesitas)
3. Pasien yang memiliki riwayat asma
3.3.4. Besar sampel penelitian
Pasien dengan OSNA di Poliklinik THT RSUD dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh pada 28/01/2015 sampai 28/02/2015 didapatkan 75 orang.
3.4. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian merupakan kerangka antara konsep-konsep
yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan. Pada
penelitian ini kerangka konsep dapat dilihat pada Gambar 3.1 sebagai berikut:
Variabel Independen (bebas)
Obtrucstive Sleep
Apnea(OSA)
43
penelitian ini penyakit yang tergolong dalam obstruksi sumbatan nafas atas adalah
polip nasi, rhinitis alergi, septum deviasi, tonsillitis dan rinosinusitis.
Hasil Akhir : polip nasi, rhinitis alergi, septum deviasi, tonsillitis dan
rinosinusitis
Skala Ukur : nominal
Alat Ukur : menggunakan rekam medik
2. Obstructive sleep apnea (OSA) adalah suatu gangguan yang ditandai dengan
kolapsnya saluran nafas bagian atas secara periodik pada saat tidur sehingga
menyebabkan apnea, hypopnea, atau keduanya. Kuesioner Berlin dapat digunakan
untuk menilai risiko terjadinya OSA.. Penelitian dilakukan dengan memberikan
kuesioner Berlin dan mengkategorikan responden sesuai dengan skor yang
didapat :
a) Risiko tinggi : apabila terdapat 2 atau lebih kategori postif
b) Risiko redah : apabila terdapat 1 atau tidak ada kategori positif
44
data
hasil
penelitian
dilakukan
secara
manual
dan
45
P n=
fn
N
x 100
46
Keterangan:
Pn
Keterangan :
x2 = chi square
= jumlah
O = observer
E = expected
Untuk melihat hasil kemaknaan perhitungan statistik digunakan batas
kemaknaan () = 0.1 dengan CI 90% dan kriteria hubungan ditetapkan
berdasarkan p value :
a) Jika p value >0,05 maka tidak ada hubungan antara kedua variabel
b) Jika p value 0,05 maka terdapat adanya hubungan antara kedua variabel.
47
3.11
Alur Penelitian
Populasi
Sampel memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
Pasien yang didiagnosa oleh dr. spesialis
Polip nasi, rhinitis alergi, septum deviasi,
tonsillitis dan rinosinusitis
Penjelasan dan informed consent dari peneliti
Pengukuran tinggi, berat badan, tekanan darah
Wawancara terpimpin dengan mengunakan
kuesioner Berlin untuk menilai tinggi dan rendah
risiko OSA
Pengumpulan data
Analisa data