Anda di halaman 1dari 16

(Muhammad Amir) Konflik Tanete dengan Belanda di Sulawesi Selatan 1824

KONFLIK TANETE DENGAN BELANDA


DI SULAWESI SELATAN 1824

TANETE KINGDOM AND DUTCH CONFLIC


IN SOUTH SULAWESI IN 1824

Muhammad Amir
Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar
Jl. Sultan Alauddin Km 7 Talasapang Makassar 90221
Telp. (0411) 885119, Fax (0411) 865166
E-mail: muhammad­­­_ amir66@rocketmail.com atau muhabpnb@yahoo co.id
HP 081343797300

Naskah diterima 22 Juli 2012, diterima setelah perbaikan 10 Juni 2014,


disetujui untuk dicetak 20 Juli 2014

ABSTRAK
Kajian ini bertujuan mengungkap dan menjelaskan konflik antara Kerajaan Tanete dengan pemerintah
kolonial Belanda 1824. Metode yang digunakan adalah metode sejarah, yang menjelaskan suatu persoalan
berdasakan perspektif sejarah. Prosedurnya terdiri atas heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi
dalam bentuk kisah. Hasil kajian menunjukkan bahwa benih-benih konflik yang telah tumbuh sejak zaman
VOC, kembali bergolak ketika Belanda kembali dan mulai menata kedudukan dan kekuasaan pemerintahan
kolonialnya di Sulawesi Selatan. Oleh karena Belanda bukan hanya mendesak Tanete untuk melepaskan
kekuasaan atas daerah-daerah yang diduduki, seperti Segeri, Labbakang, Pangkajene, dan Maros, tetapi
pemerintah kolonial Belanda juga memaksakan pembaharuan Kontrak Bungaya kepada Tanete. Penolakan
Tanete atas semua tuntutan itu, mendorong Gubernur Jenderal Van der Capellen memutuskan untuk
melancarkan ekspedisi militer terhadap Tanete. Meskipun Tanete memberikan perlawanan atas serangan
itu, namun mereka akhirnya harus menerima kenyataan tunduk di bawah kekuasaan pemerintah kolonial
Belanda.

Kata kunci: konflik, Kerajaan Tanete, Belanda, dan Sulawesi Selatan

ABSTRACT
This study aims to reveal and explain the conflict between of the Tanete Kingdom against the Dutch colonial
government in 1824. The method used in this study is the historical method, which explains an issue by
historical perspective. The procedure used by the four stages, are heuristics, source criticism, interpretation,
and historiography in the form of stories. The study results showed that the embryo of conflict that have
grown since VOC era, re turbulent when the Dutch returned and began to arrange the position and power of
colonial rule in South Sulawesi. Therefore the Ducth is not only urged the Tanete Kingdom to give up power
over the occupied areas, like, Segeri, Labbakang, Pangkajene, and Maros, but also the Ducth colonial
government impose renewaling Bungaya Contract to the Tanete Kingdom. Rejection of the Tanete Kingdom
of all demands encourages the Governor-General Van der Capellen decided to launch a military expedition
against Tanete. Although the Tanete Kingdom provide resistance for the attack, but it eventually had to
accept subject to the power of the Dutch colonial government.

Keywords: Conflict, Tanete Kingdom, Dutch, and South Sulawesi

­A. PENDAHULUAN merupakan salah satu tindak perlawanan


Konflik antara Kerajaan Tanete dengan dari serangkaian peristiwa dalam perjuangan
pemerintah kolonial Belanda pada 1824, menentang kekuasaan kolonial yang menarik

125
Jnana Budaya Volume 19, Nomor 2, Agustus 2014 (125 - 140)

untuk dikaji. Sebab peristiwa yang mengandung dan dijelaskan serta dipahami dalam kehidupan
nilai patriotisme dan persatuan tersebut, belum berbangsa dan bernegara.
terungkap secara utuh sehingga kurang diketahui Berdasarkan uraian singkat tersebut,
oleh masyarakat. Jelas, konsekuensinya adalah maka yang menjadi pokok persoalan kajian
suatu kerugian besar bagi masyarakat, karena ini adalah mengapa konflik antara Kerajaan
peristiwa itu bukan hanya sebagai bukti dan Tanete dengan pemerintah kolonial Belanda
bagian yang tidak terpisahkan dari rangkaian terjadi. Oleh karena itu, kajian ini tidak hanya
perlawanan terhadap ekspedisi militer bertujuan mengungkap dan menjelaskan latar
Belanda di Sulawesi Selatan pada 1824. Tetapi belakang dan dinamika koflik antara Tanete
peristiwa itu juga merupakan fakta dari mata dengan Belanda, tetapi juga menyangkut
rantai perjuangan dalam menentang kekuasaan berbagai hal yang berkaitan dengan peristiwa
pemerintah kolonial Belanda abad ke-19. itu. Persoalan-persoalan yang terkandung
Oleh kerana itu, untuk memahami secara utuh di dalamnya, mengacu kepada hal-hal
dinamika sejarah perjuangan bangsa dalam yang berkaitan dengan sebab-musabab dan
menentang penjajahan di wilayah ini, peristiwa faktor-faktor kondisional yang mendasari
itu tidak dapat diabaikan. Itulah sebabnya terjadinya konflik antara antara kedua belah
Sartono Kartodirdjo, salah seorang sejarawan pihak. Sementara manfaatnya adalah dapat
yang banyak meneliti tentang gerakan sosial, meningkatkan pengetahuan dan membuka
menyatakan bahwa abad ke-19 merupakan cakrawala pemikiran dalam memahami berbagai
periode yang penting dalam lembaran peristiwa masa lampau yang mempunyai
sejarah Indonesia karena merupakan periode makna historis dalam kehidupan berbangsa dan
pergerakan sosial yang tumbuh bagaikan jamur bernegara. Selain itu, juga dapat meningkatkan
di musim hujan (Kartodirdjo,1984:13). pemahaman dan kesadaran tentang dinamika
Selain itu, konflik antara Tanete dengan sejarah perjuangan bangsa dalam menentang
Belanda juga menunjukkan bahwa upaya kekuasaan pemerintah kolonial Belanda,
pemerintah kolonial Belanda dalam memperluas serta bermanfaat untuk kajian lebih lanjut dan
hegemoni kekuasaan di Sulawesi Selatan, mendalam, ataupun sebagai bahan informasi
senantiasa mendapat perlawanan dari rakyat di kalangan masyarakat pada umumnya dalam
dan para penguasa kerajaan di wilayah tersebut. membangun karakter dan jatidiri bangsa.
Berbagai peristiwa yang mewarnai dinamika Kajian ini secara tematik dapat
sejarah perjuangan menentang penjajahan, dikategorikan sebagai sejarah lokal (Taufik,
seperti perlawanan Tanete, Suppa, Bone, 1985:310-323), dengan fokus perhatian pada
dan Mandar bukan hanya merupakan bukti konflik antara Kerajaan Tanete terhadap
penolakan terhadap kehadiran atau kembalinya pemerintah kolonial Belanda pada 1824.
Belanda seusai penyerahan kekuasaan atas Oleh karena itu, metode yang dipergunakan
wilayah Sulawesi dan daerah sekitarnya adalah metode sejarah, yaitu suatu proses
dari Inggris, tetapi juga merupakan tindak penelitian yang meninjau suatu persoalan
perlawanan terhadap usaha Belanda dalam berdasarkan perspektif sejarah (Garraghan,
menata dan memulihkan kembali kedudukan 1975:33; Gottschalk, 1986:18). Pada intinya
dan kekuasaan pemerintahan kolonialnya di metode penelitian sejarah ini, terdiri atas
daerah ini. Kenyataan itulah yang mendasari heuristik (pencarian dan pengumpulan sumber,
pemerintah kolonial memberikan julukan baik berupa dokumen yang tersimpan di
kepada daerah ini sebagai “pulau keonaran” lembaga kearsipan maupun sumber tertulis
atau de onrust eiland (PaEni, dkk.2002:2; Amir, lainnya berupa manuskrip lokal (lontarak),
2014:96). Oleh karena itu, penulis memandang surat kabar, majalah, dan hasil penelitian);
bahwa peristiwa tersebut patut diungkapkan kritik (analisa sumber); interpretasi

126
(Muhammad Amir) Konflik Tanete dengan Belanda di Sulawesi Selatan 1824

(penafsiran); dan historiografi (penulisan tetap mempunyai arti yang sangat penting, sebab
sejarah). Prosedur kerjanya dilakukan secara bukan hanya menginspirasi dan mendorong
sistematis. Maksudnya, kritik dilakukan penulis untuk mengkaji persitiwa itu, tetapi
setelah data terkumpul, begitu pula interpretasi juga memberi pencerahanan bagi penulis,
dilakukan setelah melalui tahap kritik sumber terutama dalam memahami dinamika internal
(Notosusanto,1978:17; Gottschalk, 1986:34). Kerajaan Tanete dan akar-akar konflik antara
Hal ini dimaksudkan, tidak hanya untuk Kerajaan Tanete dengan pemerintah Hindia
memastikan otentitas dan validitasnya, tetapi Belanda). Namun sumber lain menunjukkan
juga untuk dapat memberikan keterangan bahwa ekspedisi penaklukan Kerajaan Tanete
dan ulasan yang objektif dan bermanfaat, terjadi pada Juli 1824, dan dilakukan sebelum
sehingga hasil yang diperoleh dapat dipercaya penaklukan terhadap Kerajaan Suppa (Stuers,
dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah. 1854:374). Kajian lainnya adalah Sejarah
Tahapan terakhir dari seluruh rangkaian kajian Kerajaan Tanete (Gising,2002), Iyanae
ini adalah penulisan naskah hasil penelitian Poada Adaengngi Attoriolongnge ri Tanete
(historiografi) dalam bentuk kisah sejarah yang (Musa,1990), Sejarah Perlawanan Terhadap
bersifat deskripsi analitis, tanpa mengabaikan Imperialisme dan Kolonialisme di Sulawesi
penggunaan bahasa yang baik dan benar. Selatan (Abduh,1985), dan karya Abdurrazak
Sesungguhnya terdapat sejumlah sarjana Daeng Patunru tentang “sejarah Tenete”
yang mengkaji tentang Tanete dan konflik (2004). Selain itu, terdapat pula beberapa
tersebut, di antaranya Hasan Walinono (1979), tulisan tentang Tenete dari aparat pemerintah
Edward Lambertus Poelinggomang (2005), kolonial Belanda, yaitu, J.A. Bakkers yang
dan A. Rasyid Asba (2010). Hasan Walinono menulis Tanette en Baroe (1862) dan H. van
mengkaji tentang proses perkembangan sistem de Stuers yang menulis De Ekpeditie Tegen
politik Tanete, dengan fokus anilisis pada salah Tanette en Soepa in 1824 (1854). Kedua
satu sistem politik, yaitu golongan elite. Hasil penulis asing ini tidak menguraikan dinamika
kajiannya menunjukkan bahwa, dalam proses internal Kerajaan Tenete dan latar belakang
hubungan kekuasaan di Tanete terdapat tiga konflik antara Tanete dengan pemerintah
golongan elite, yaitu elite adat, elite agama, kolonial Belanda. Meskipun demikian, kajian-
dan elite Indonesia. Sementara Poelinggomang kajian tersebut tetap sangat membantu karena
mengkaji tentang sejarah Tanete dari mengandung sejumlah informasi yang penting
Agangnionjo hingga terbentuknya Kabupaten sehingga menjadi rujukan dalam kajian ini.
Barru. Dalam uraian dan pembahasanan tentang
hubungan antara Tanete dengan pemerintah B. PEMBAHASAN
Hindia Belanda pada abad ke-19 (bab tujuh), a. Sekilas Tentang Tanete
antara lain disebutkan bahwa setelah Suppa Tenete merupakan salah satu kerajaan
berhasil ditaklukan, serangan berikutnya dari sejumlah kerajaan di Sulawesi Selatan.
ditujukan kepada Kerajaan Tanete pada Oktober Kerajaan ini terletak di pesisir pantai Selat
1824 (Poelinggomang,2005b: 113). Demkian Makassar dengan jarak sekitar 80 kilometer
pula dengan Asba yang mengkaji gerakan di sebelah utara Kota Makassar. Tepatnya
Raja Tanete Lapatau menentang Belanda terletak di antara 4°26 dan 4°46 Lintang
menyebutkan bahwa ekspedisi Belanda di Selatan serta 119°33 dan 119°48 Bujur Timur.
bawah pimpinan H. De Stuers menyerang Luas wilayah kerajaan ini sekitar 55.617 hektar
Tanete pada Oktober 1824 (Asba, 210:111) atau 10,1 Km persegi, tidak termasuk daerah
(Meskipun demikian kedua karya sejarawan Lajoanging dan Amarung yang diserahkan oleh
(Dr. Edward L. Poelinggomang dan Prof. Dr. Kerajaan Lamuru kepada Tanete pada 1907,
A. Rasyid Asba) yang merupakan guru penulis, yang mencakup sekitar sepersepuluh bagian

127
Jnana Budaya Volume 19, Nomor 2, Agustus 2014 (125 - 140)

dari luas Tenete. Kerajaan ini berbatasan mereka gunakan adalah bahasa Bugis dan
dengan sejumlah kerajaan, yaitu di sebelah memeluk agama Islam. Namun hanya sebagian
utara berbatasan dengan Kerajaan Barru, di kecil yang menjalangkan syariat agama
sebelah timur berbatasan dengan Kerajaan Islam. Sebagian besar penduduk, terutama di
Soppeng, di sebelah selatan berbatasan dengan kampung-kampung, umat Islam hanya sebatas
Lamuru (Kerajaan Bone) dan Onderafdeling pada khitanan dan tidak makan babi. Karena
Pangkajene, serta di sebelah barat berbatasan itu, kepercayaan animisme masih memainkan
dengan dengan Selat Makassar (Asba,2010:9). peranan penting dalam kehidupan masyarakat.
Wilayah Kerajaan Tanete meliputi Bahkan jika terjadi pertentangan antara adat
daerah Patappa, Gattarang, Lompo ri Tengnga, kebiasaan dengan syariat Islam, maka yang
Lompo ri Lau, dan Lompo ri Aja. Selain itu, diikuti terkadang bukan yang berdasarkan
juga terdapat lima palili (daerah vasal), yaitu syariat Islam melainkan yang sesuai dengan
Pancana, Cinoko, Lalolang, Pao Pai, dan adat dan kebiasaan. Sebagai pimpinan
Lipukasi. Daerah-daerah ini secara umum kelompok rohaniawan adalah puang kali
merupakan daerah perbukitan dan bergunung. yang dibantu imang, katte, bidala, dan doja
Hanya bagian barat yang mencakup daerah (Bakkers,1862:262; Asba,2010:20).
pantai dengan datarannya sepanjang 14 paal Perkembangan Kerajaan Tanete tidak
(1 paal = 1.506 meter) persegi yang tertututp terlepas dari keberadaan Pancana sebagai
dengan persawahan. Rangkaian pegunungan bandar niaga yang banyak memberikan
di wilayah ini umumnya membentang dari sumber ekonomi bagi kerajaan. Kedudukannya
utara ke selatan, dengan diselingi sejumlah sebagai bandar niaga sangat dipengaruhi oleh
sungai yang mengalir dari timur ke barat dan posisinya yang strategis di jalur perdagangan
mengairi lembah di sepanjang pesisir pantai. maritim. Oleh karena bandar niaga ini, bukan
Tercatat sejumlah pegungungan atau gunung, hanya diapit oleh dua buah sungai (Lipukasi
seperti Gunung Buludua, Alipang, Lapaso, di sebelah selatan dan Pancana di bagian
Jarome, Bonto Suwa, Jamai, Ungae Turung, utara), tetapi juga karena terletak di antara
Paciro, Boto Pakka, Tille, Maruku, Mareno, lembah Pegunungan Soppeng dan Bone
dan Tapolowara. Sementara sungai-sungai yang luas dan subur di sebelah timur serta
yang mengalir di daerah ini, antara lain Sungai lautan dengan banyak pulau-pulau kecil di
Selomenrong, Ralla, Gattarang, Cinoko, depannya yang bertebaran di Selat Makassar.
Punraga, Tanete, Lipukasi, dan Pancana. Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan
Cabang atau anak sungai-sungai tersebut yang strategis Pancana terletak pada peranannya
setiap musim hujan meluap, bukan hanya sebagai titik simpul yang menghubungkan
menggenangi dataran rendah dan persawahan, antara daerah pedalaman dengan hamparan
tetapi juga mengendapkan banyak lumpur laut lepas yang menjadi jalur perdagangan
sehingga sangat baik untuk tanaman padi yang maritim. Itulah sebabnya orang-orang dari
manfaatkan oleh penduduk sehingga daerah ini negeri-negeri pedalaman yang menjadi latar
menjadi penghasil beras yang penting (Asba, belakang kehidupan bandar niaga, mempunyai
2010:10-15; Bakkers,1862:258). kepentingan apabila hendak berhubungan
Penduduk Tanete termasuk suku Bugis dengan dunia luar dan menjadikan Pancana
yang memiliki sifat, adat, kebiasaan, pakaian, sebagai pangkalan niaga mereka. Demikian
cara bermukin, dan bahasa yang tidak banyak pula para pelaut dan pedang yang berlayar
berbeda dengan orang Bugis lainnya. Menurut dari bagian barat Nusantara (Malaka, Sumatra,
J.A. Bakkers, bahwa jumlah penduduk pada dan Jawa) untuk mencapai pulau rempah-
1861 mencapai 13.362 jiwa. Bahasa yang rempah di bagian timut Nusantara, selain dapat

128
(Muhammad Amir) Konflik Tanete dengan Belanda di Sulawesi Selatan 1824

menyinggahi bandar niaga Makassar, mereka VOC (Verenigde Oost Indche Compagnie)
juga dapat mengalihkan perhatiannya pada untuk menguasai perdagangan maritim
bandar niaga Pancana (Asba,2010:23). di kawasan timur Nusantara abad ke-17,
Kedudukan itulah yang melapangkan telah terjadi tindak perlawanan menentang
Kerajaan Tenete, bukan hanya sebagai salah monopoli perdagangan VOC. Itulah sebabnya
satu pintu masuk bagi bahan perdagangan dari ketika terjadi konflik antara Kerajaan Gowa
luar ke daerah pedalaman Sulawesi Selatan, dengan VOC, Kerajaan Tanete yang berada di
tetapi juga menjadi sumber berbagai komoditi bawah pengaruh kekuasaan Gowa senantiasa
ekspor, khususnya hasil bumi, peternakan, memberikan dukungan dan bantuan kepada
pertanian dan lainnya dari daerah sekitarnya. Gowa. Namun dalam pergumulan atau konflik
Jika kita merujuk pada gambaran Bakkers yang berujung pada Perang Makassar itu,
mengenai daerah ini, tampaknya sektor industri pihak VOC bersama sekutunya (Bone, Buton,
masih kurang berarti. Meskipun orang dapat dan Ternate) yang keluar sebagai pemenang
menemukan beberap tukang emas dan perak di yang ditandai dengan Perjanjian Bungaya pada
antara penduduk, pandai besi dan tukang kayu, 18 November 1667. Sejak itu kedudukan dan
pembuatan kapal yang masih terbatas pada pengaruh kekuasaan Gowa berangsur-angsur
perahu sungai (lepalepa dan sampan). Industri meredup dan peran politiknya kemudian
tenun dikelola oleh wanita dan ekspor sarung digantikan oleh Bone, sehingga hampir seluruh
sudah berlangsung sejak lama. Demikian pula Sulawesi Selatan berada di bawah pengaruh
industri kerajinan, seperti anyaman bambu, kekuasaan Bone. Ketika kedudukan VOC
rotan, dan daun lontar, termasuk anyaman tikar mengalami kemerosotan pada akhir abad ke-18,
dan keranjang yang banyak ditekuni. Selain itu, Kerajaan Bone dan Tanete menduduki sejumlah
terdapat pula sejumlah barang dagangan, seperti daerah kekuasaan VOC di Zuider Provincie
jagung, kelapa, dan tembakau dari sektor hasil dan Noorder Provincie (Sulawesi Selatan) dan
bumi; gula merah, kayu jati, dan rotan dari menguasainya hingga berakhirnya kekuasaan
sektor kehutanan; ikan asin kering, tripang, Inggris (Amir, dkk.2012:110) (Sejumlah
sirip ikan, dan penyu dari sektor kelautan daerah yang dimaksud adalah bantaeng dan
(Bakkares,1862:263-273;Asba, 2010:24). Bulukumba di Zuider Provincie (Provinsi
Kenyataan inilah yang mendasari sehingga Bagian Selatan) serta Maros, Pangkajene,
Tanete selalu menjadi sasaran dari perluasan Labbakkang, dan Segeri di Noorder Provincie
wilayah dan kekuasaan kerajaan-kerajaan besar (Provinsi Bagian Utara). Daerah-daerah
di Sulawesi Selatan, seperti Kerajjan Gowa tersebut, sesungguhnya merupakan daerah
dan Kerajaan Bone serta pemerintah kolonial penghasil utama beras di Sulawesi Selatan
Belanda yang kemudian memicu terjadinya dan merupakan wilayah kekuasaan langsung
konflik, baik konflik antarkerajaan maupun Kompeni Belanda atau VOC sejak tahun 1667
dengan pemerintah pemerintah kolonial (pasca Perang Makassar). Namun menjelang
Belanda. akhir kekuasaan VOC hingga zaman kekuasaan
Inggris, daerah-daerah tersebut berhasil direbut
b. Latar Belakang Konflik dan diduduki oleh Bone dan Tanete. Hal inilah
Konflik antara Kerajaan Tanete dengan yang memicu terjadinya konflik antara kedua
pemerintah kolonial Belanda, tampaknya kerajaan itu dengan pemerintah kolonial
bukanlah hal yang baru tampak setelah Belanda).
Belanda mengambil alih kedudukan kekuasaan Benih-benih konflik yang telah tumbuh
Inggris pada awal abad ke-19. Sebab jauh sejak lama tersebut, kembali bergolak ketika
sebelumnya, yaitu sejak kehadiran dan usaha pemerintah kolonial Belanda kembali dan

129
Jnana Budaya Volume 19, Nomor 2, Agustus 2014 (125 - 140)

mulai menata kedudukan kekuasaannya di bagi kerajaan-kerajaan yang ada di daerah ini
Sulawesi Selatan, terutama setelah menerima dalam berhubungan dengan VOC (Keuntungan
penyerahan wilayah atas Makassar dan daerah lain yang diperoleh oleh Arung Palakka dan
sekitarnya dari Inggris pada 1816. Oleh karena Kerajaan Bone adalah terbebasnya Kerajaan
mereka diperhadapkan dengan sikap sejumlah Bone dari cengkraman kekuasaan Kerajaan
kerajaan yang menolak dan menentang Gowa). Oleh karena itu, kerajaan ini tumbuh
kehadirannya, seperti Kerajaan Bone, Kerajaan menjadi satu-satunya kerajaan yang terkuat di
Suppa, Kerajaan Tanete, dan Konfederasi jazirah selatan Sulawesi. Ketika Arung Palakka
Mandar (Amir, 2011:215). Penolakan sejumlah menjadi Raja Bone (1667-1696), ia berusaha
kerajaan itu, mulai tampak ketika Komisaris untuk memperluas wilayah dan pengaruh
Belanda, Peter Theoderus Chasse yang kekuasaannya. Selain melakukan penaklukan
didampingi oleh Letkol Bischeff dan Kapten terhadap kerajaan-kerajaan lain yang dianggap
Laut Dieta tiba di Makassar dan mengundang sering membangkang, ia juga mengembangkan
para pengauasa kerajaan untuk menghadiri kekuasaannya melalui perkawinan politik,
serah terima kekuasaan dari pihak Inggris pada sehingga jaringan kekeluargaan Bone
7 Oktober 1816 (Anonim, 1854:174). Sebab, menjangkau hampir seluruh kerajaan di
pada upacara serah terima itu, hanya sebagian Sulawesi Selatan (Andaya, 2004: 375-380).
penguasa kerajaan yang datang menghadiri Itulah sebabnya ketika Bone berkonflik dengan
undangan pemerintah kolonial Belanda, pemerintah kolonial, tidak sedikit dari kerajaan
seperti Kerajaan Gowa, Sidenreng, Soppeng, yang mempunyai jaringan kekeluargaan
dan Konfederasi Turatea. Sedangkan Kerajaan memihak dan memberikan bantuan kepada
Bone, Suppa, Tanete, dan kerajaan-kerajaan di Bone, termasuk Suppa, Tanete, Konfederasi
Mandar menolak untuk menghadiri undangan Mandar yang berada di bawah pengaruh
tersebut. Itulah sebabnya hubungan antara kekuasaan Bone.
Bone, Suppa, dan Tanete dengan pemerintah Penolakan Bone dan sekutunya (terutama
kolonial Belanda menjadi tegang. Bahkan Tanete dan Suppa) terhadap kehadiran kembali
Belanda kemudian mendesak dan memaksa pemerintah kolonial Belanda di Sulawesi
Bone dan Tanete untuk melepaskan kekuasaan Selatan, bukan hanya karena mengancam
atas daerah-daerah yang diduduki, seperti eksistensi kerajaan-kerajaan itu, tetapi juga
Bulukumba, Bantaeng, Maros, Pangkajene, mengancam pengaruh dan kekuasaan mereka
Labbakang, dan Segeri (Kadir, dkk., 1978:51- atas daerah-daerah yang diduduki. Oleh karena
52; Mattulada, 1998:333). itu, penolakan mereka terhadap kembalinya
Persoalannya mengapa Bone, Suppa, Belanda, antara lain karena mereka tidak
dan Tanete menolak kembalinya kolonial rela pengaruh dan kedudukan kekuasaan atas
Belanda di Sulawesi Selatan. Penolakan itu sejumlah daerah dan kerajaan di wilayah ini
sesungguhnya berpangkal pada perkembangan beralih kepada pemerintah kolonial Belanda.
keadaan politik di Sulawesi Selatan setelah Selain itu, juga dilatari oleh kekecewaan
Perang Makassar (1667-1669). Perang yang terhadap Belanda yang telah menyerahkan
diakhiri dengan Perjanjian Bungaya itu, bukan kekuasaan tanpa perlawanan kepada Inggris atas
hanya menjadi awal bagi kejayaan Kerajaan wilayah Makassar dan daerah sekitarnya pada
Bone dalam sejarah di Sulawesi Selatan, tetapi 1812. Padahal berdasarkan Perjanjian Bungaya
juga telah memberikan konstribusi yang sangat (Pasal 6) bahwa Portugis dan Inggris harus
besar bagi Bone dalam perkembangannya. diusir dari Makassar. Oleh karena itu, Bone
Satu di antara sekian banyak keuntungan yang dan sekutunya menganggap bahwa Belanda
didapat oleh kerajaan ini adalah konsensus telah tidak mematuhi Perjanjian Bungaya yang
yang menempatkan Bone sebagai perantara memperbolehkan Inggris berkuasa di daerah ini

130
(Muhammad Amir) Konflik Tanete dengan Belanda di Sulawesi Selatan 1824

pada 1812-1816. Di samping itu, juga karena pasukan dan senjata kepada pemerintah
keengganan Belanda untuk mengakui hak- kolonial di Batavia pada Oktober 1821, untuk
hak istimewa Bone yang diperolehnya pada menaklukkan kerajaan-kerajaan di Sulawesi
masa VOC (Hak-hak istimewa Kerajaan Bone Selatan yang tidak mau mengakui kekuasaan
itu antara lain, Bone merupakan mitra setara pemerintah kolonial Belanda. Mayor Jenderal
dengan Belanda, sebagai ketua persekutuan de Kock pada dasarnya dapat menyetujui
kerajaan-kerajaan sekutu di Sulawesi Selatan, permintaan itu, tetapi tidak dapat memenuhinya
dan semua kerajaan yang akan berhubungan dalam waktu singkat, karena pasukan kolonial
dengan Belanda harus melalui perantaraan Belanda harus pula dikerahkan untuk
Bone). Hal inilah yang menyebabkan menghadapi perlawanan di daerah lainnya di
hubungan antara Bone dan sekutunya dengan Indonesia (Sumber Arsip, 1971: 34-35 dan
pemerintah kolonial Belanda menjadi tegang 121-133; Poelinggomang, 2005a:220).
yang kemudian berujung pada timbulnya Gubernur Jenderal Hindia Belanda,
konflik terbuka berupa antara Tanete, Suppa, Godert Alexander Gerard Philip van der
dan Bone dengan pemerintah kolonial Belanda Capellen dalam menghadapi sikap penolakan
(Mappangara, 1996: 98; Amir, dkk. 2012:272) sejumlah kerajaan dan tindak perlawanan di
(Pada awalnya Bone bersikap lunak terhadap Sulawesi Selatan, ia membentuk sebuah komisi
pemerintah Hindia Belanda dengan harapan pada Februari 1824. Komisi ini beranggotakan
bahwa mereka dapat mengembalikan hak-hak Van Schelle (gubernur Makassar) dan Mr.
istimewa Bone, yang selama Inggris berkuasa Johan Hendrik Tobias (utusan pemerintah
tidak diakui lagi. Namun harapan itu tidak pusat di Batavia). Tugas komisi itu adalah
kunjung datang, bahkan pemerintah Hindia meneliti dan menyusun laporan mengenai
Belanda melanjutkan kebijakan yang telah keadaan politik di Sulawesi Selatan yang akan
diambil Inggris. Penolakan pemerintah Hindia disampaikan kepada gubernur jenderal, dan
Belanda atas keinginan Bone itu, dibalas pula mempersiapkan kunjungan Van der Capellen
dengan penolakan Bone atas kehadiran Belanda ke Makassar untuk bertemu dengan raja-raja di
kembali di Sulawesi Selatan). Sulawesi Selatan guna membicarakan kontrak
Meskipun mendapat penolakan dari baru sebagai pengganti Cappaya ri Bungaya
sejumlah kerajaan, namun tidak menyurutkan (Perjanjian Bungaya) 1667 yang dipandang
usaha pemerintah kolonial Belanda untuk sudah tidak sesuai dengan keadaan yang sudah
memperluas wilayah dan memperkuat berubah. Untuk itu maka diselenggarakan
kembali kedudukan kekuasaannya di Sulawesi suatu pertemuan antara anggota komisi dengan
Selatan. Berbagai cara yang ditempuh untuk sejumlah raja atau penguasa di Sidenreng pada
membujuk kerajaan-kerajaan di kawasan ini, Mei 1824. Hadir dalam pertemuan itu antara
agar mereka bersedia menerima pemerintah lain raja dan para pembesar dari Kerajaan
kolonial Belanda sebagai sahabat dan sekutu, Sidenreng, Wajo, dan Luwu. Komisi diwakili
tetapi tetap tidak mengalami kemajuan oleh Tobias dan ditemani oleh M. Francis
sebagaimana yang diharapkan. Sebab Kerajaan sebagai pencatat. Sementara Kerajaan Tanete,
Bone bersama Tenete dan sekutu-sekutunya Suppa, dan Bone tidak hadir karena masih
tetap memperlihatkan sikap permusuhan dan berkonflik dengan pemerintah kolonial Belanda
tidak percaya lagi terhadap maksud “baik” (Sumber Arsip, 1973:265; Poelinggomang,
pemerintah kolonial Belanda. Itulah sebabnya 2002:64).
Gubernur Makassar dan daerah sekitarnya, Berdasarkan hasil pertemuan di
Kolonel Jan David van Schelle (1821-1825), Sidenreng, dan laporan hasil penelitian yang
yang merangkap sebagai komandan pasukan dibuat oleh komisi, maka Gubernur Jenderal
Belanda di wilayah ini, meminta bantuan Van der Capellen berangkat ke Makassar pada

131
Jnana Budaya Volume 19, Nomor 2, Agustus 2014 (125 - 140)

Juli 1824. Ia mengundang raja-raja di Sulawesi untuk melakukan penaklukan terhadap


Selatan untuk diajak berunding mengenai kerajaan-kerajaan yang telah bekerjasama
penataan pemerintahan kolonial Belanda di dengan Bone menentang pemerintah kolonial
wilayah ini. Komisaris Tobias diperintahkan Belanda, terutama Kerajaan Tanete dan
menyampaikan surat undangan kepada raja- Suppa. Tindakan tersebut juga dimaksudkan
raja di Sulawesi Selatan. Selain mengirimkan sebagai ancaman langsung kepada Bone,
surat, Tobias juga melakukan langkah-langkah agar segera dapat mengubah sikap politiknya
diplomasi dengan mengadakan kunjungan (Mattulada, 1998: 334; Daeng Patunru,1989:
dan berbicara langsung kepada sejumlah 236; Leyds,1940:39). Namun dalam laporan
penguasa kerajaan untuk memulihkan kembali pimpinan ekspedisi militer Belanda, H. van
kedudukan kekuasaan pemerintah kolonial de Stuers, antara lain disebutkan bahwa tujuan
Belanda di daerah ini. Namun usaha Tobias itu ekspedisi atau serangan militer tersebut adalah
tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan, untuk menduduki Kerajaan Tanete, memaksanya
karena sejumlah kerajaan bukan hanya tidak untuk menyerah, menangkap rajanya, dan
bersedia menerima Tobias dan utusan lainnya, menguasai kembali daerah-daerah di sebelah
tetapi juga mereka menolak menghadiri utara Makassar, yaitu Maros, Labbakang, dan
undangan pertemuan yang diselenggarakan Pangkajene (Stuers, 1854:374).
oleh pemerintah kolonial Belanda, termasuk Berdasarkan rencana serangan militer
Kerajaan Tanete dan Suppa (Anonim, 1854:178; terhadap Kerajaan Tanete tersebut, maka
Mattulada,1998:336; Mappangara,1996:104). dipersiapkan suatu pasukan ekspedisi militer
Penolakan sejumlah kerajaan tersebut, di bawah pimpinan Letkol H. van de Stuers.
tidak menghalangi pelaksaan pertemuan. Ekspedisi yang terdiri atas pasukan angkatan
Oleh karena itu, pertemuan tetap dapat darat dan angkatan laut ini melibatkan 180
diselenggarakan sesuai dengan rencana, orang serdadu Eropa dan 175 orang serdadu
namun hanya dihadiri oleh sebagian raja- pribumi, serta 10 huzaar (pasukan berkuda)
raja di Sulawesi Selatan. Adapun raja-raja dan 4 pucuk meriam yang ditarik dengan empat
yang hadir dalam perundingan itu, antara lain ekor kuda dari garnisum Makassar. Jumlah
adalah raja Gowa, Sidenreng, Sanrobone, keseluruhan perwira dan serdadu yang diambil
Binamu, Bangkala, Laikang, dan Buton. atau dikerahkan dari garnisum ini adalah
Sedangkan raja-raja yang tidak hadir adalah sebanyak 366 orang. Selain itu, ekspedisi ini
raja Bone, Tanete, Suppa, Soppeng, Luwu, juga melibatkan 48 orang marinir dari kapal
dan Konfederasi Mandar. Dalam perundingan Eurydice di bawah pimpinan Letnan van Pelt,
yang dimulai sejak 4 Juli 1824, tidak berhasil dan dua peleton kelasi di bawah pimpinan
merumuskan keputusan-keputusan seperti yang Letnan Laut d’Abblaing dan van Cattenburg.
diharapkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Di samping itu, Letnan Pinet dan van Dedel
Sebab terdapat banyak kendala yang sangat dengan penuh semangat, keduanya dari kapal
berarti, bukan hanya karena keinginan Belanda Eurydice juga menawarkan diri untuk ikut serta
memaksakan kehendaknya, tetapi juga karena dalam ekspedisi dan bertindak sebagai ajudan
Bone bersama Tanete dan sekutu-sekutunya Kolonel H. van de Stuers. Dengan demikian,
tidak ikhlas menerima kedatangan kembali seluruh kekuatan ekspedisi ini terdiri atas 20
kekuasaan pemerintah kolonial Belanda di orang perwira, 570 orang bintara dan serdadu
Sulawesi Selatan. Namun setelah beberapa hari (termasuk 200 orang Eropa), dan 28 ekor kuda.
perundingan berlangsung, Van der Capellen Sementara angkatan laut yang berada di bawah
mengambil keputusan untuk menunda pimpinan Letnan Kolonel Buys, mengerahkan
perundingan dan akan dilanjutkan kembali 5 kapal pengangkut, 2 kapal meriam, dan
pada 30 Juli 1824. Selain itu, juga diputuskan satu kapal tongkang (Stuers,1954:374; Asba,
2010:111).

132
(Muhammad Amir) Konflik Tanete dengan Belanda di Sulawesi Selatan 1824

c. Dinamika Konflik Bungaya (Asba, 2010:111; Sagimun,1964:490;


Pemerintah kolonial Belanda mulai Abduh, 1985:72). Namun tuntutan itu ditolak
memerintahkan pasukan ekspedisi militernya atau tidak direspon oleh raja Tenete sebagaimana
untuk berlayar menuju Tanete pada 14 Juli yang diharapkan. Oleh karena itu, utusan
1824. Ekspedisi itu juga diperkuat dengan pimpinan ekpedisi militer Belanda kembali
sejumlah besar perahu pribumi dan bantuan dengan jawaban, yang antara lain menyebutkan
pasukan dari raja-raja yang sudah memihak bahwa raja Tanete hanya bersedia membayar
kepada pemerintah kolonial Belanda, seperti denda atas hukuman yang dijatuhkan (menurut
Gowa, Sidenreng, Sanrobone, dan Turatea kebiasaan selama ini sebanyak 44.444 rupiah),
(Bangkala, Binamu, dan Laikang). Tanggal 16 dan segera menyerahkan seperempat bagian
Juli semua armada telah sampai pada tempat sebagai bukti kepatuhannya, tetapi harus
tujuan dan berlabuh pada posisi perairan dilakukan sesuai keputusan yang dibuat oleh
dengan kedalaman 5 vadem (vadem=1,88m) raja Bone dengan pemerintah kolonial Belanda
dari pantai di sebelah utara Pancana, yang (Stuers,1954:375;Asba,2010:111). Jawaban
berjarak atau ditempuh sekitar satu jam raja Tanete itu menunjukkan bahwa pada
berlayar dari pantai Tanete. Pantainya bagus hakikatnya ia menolak tuntutan yang diajukan
dan indah, bentuknya datar, dan lereng gunung oleh pemerintah kolonial Belanda.
terlihat dalam jarak satu jam perjalanan dari Tuntutan pemerintah kolonial Belanda
pantai. Perahu-perahu mampu mendekati dan kedatangan ekspedisi militer tersebut,
pantai yang berupa bentangan pasir miring dan tampaknya tidak menggoyahkan sikap
sempit. Setelah itu terdapat bentangan berupa dan pendirian tegas Raja Tanete Lapatau.
pepohonan tanaman kayu selebar 20 kaki yang Ia bahkan menyatakan bahwa tuntutan
diselingi dengan rumah-rumah penduduk. pemerintah kolonial Belanda itu merupakan
Berikutnya terbentang hamparan persawahan penghinaan terhadap dirinya. Dalam Lontarak
yang indah yang saat itu mengering sampai ke Attoriolongnge ri Tanete, antara lain disebutkan
lereng pegunungan. Terdapat sekitar 10 kubu bahwa Lapatau menyatakan “Betul kata tuan
pertahanan yang dilengkapi dengan meriam Kolonele itu. Saya sekarang ini dalam keadaan
di pantai itu, dan yang terpenting adalah kubu nerere babang (terjepit)” (Musa, 1990:162;
pertahanan yang terletak di sebelah kiri muara Gising,2002:140). Karena penolakan raja
Sungai Pancana. Sebab, selain berfungsi Tanete itu, pasukan ekspedisi Belanda mulai
sebagai kubu pertahanan, tempat itu juga melakukan penembakan meriam ke kubu
sebagai pangkalan niaga dan sekaligus sebagai pertahanan Kerajaan Tanete. Tembakan itu
gudang beras dan garam milik raja Tanete dibalas dengan tembakan meriam pula oleh
(Arsip Makassar, No.1:1; Stuers, 1954:374; pihak Tanete dari benteng Pancana, sehingga
Abduh, 1985:71). tembak menembak meriam dan perang antara
Setelah seluruh armada pasukan militer kedua belah pihak mulai berkobar. Setelah
Belanda tiba di perairan Pancana, Kolonel tembak menembak dan pemantauan yang
H. van de Stuers selaku pimpinan ekspedisi dilakukan selama beberapa saat, pasukan
segera mengirim utusan untuk menyampaikan Belanda memutuskan untuk melakukan
tuntutan pemerintah kolonial Belanda kepada pendaratan. Tempat pendaratan yang dianggap
Raja Tanete Lapatau. Tuntutan itu berupa aman dan ditetapkan sebagai sasaran pendaratan
permintaan agar raja Tanete mengubah sikap adalah dekat hutan belukar, jaraknya sekitar
dan pendiriannya yang menolak dan menentang setengah jam perjalanan di sebelah utara
kehadiran Belanda serta bersedia bekerjasama benteng Pancana. Sebab, di tempat itu tidak
dengan pemerintah kolonial Belanda dan diperkuat kubu pertananan laskar Tanete.
bersedia menerima pembaharuan Kontrak Kubu pertahanan laskar Tanete yang diperkuat

133
Jnana Budaya Volume 19, Nomor 2, Agustus 2014 (125 - 140)

dengan meriam dipusatkan di benteng Pancana. bergerak menyusuri sepanjang pantai hingga
Pada pusat pertahanan ini banyak rakyat yang ke Pancana. Sementara pimpinan ekspedisi
berkumpul untuk menyongsong pendaratan Kolonel H. de Stuers bersama dengan kekuatan
dan melakukan perlawanan terhadap pasukan utama pasukan Belanda bergerak menuju
ekspedisi militer Belanda (Stuers,1954:375; pusat pertahanan laskar Tenete dengan melalui
Arsip Makassar, No.1:2). daratan yang dirintangi oleh sejumlah parit
Pada dini hari 17 Juli 1824, sebagian besar yang harus terlebih dahulu diratakan untuk
pasukan ekspedisi Belanda mulai bergerak melewatkan meriam. Gerak maju pasukan
untuk melakukan pendaratan yang didahului Belanda yang disertai dengan tembakan meriam
dengan tembakan meriam. Sasarannya adalah itu, memaksa laskar Tanete yang menempatkan
menyerang kubu-kubu pertahanan laskar Tanete dan memperkuat kubu-kubu pertahanan di
di pesisir pantai Pancana. Selain itu, juga untuk sepanjang pesisir pantai mengundurkan diri.
mencegah mereka yang berkumpul di daratan Setelah tembak-menembak antara kedua belah
dan bergerak menuju ke muara Sungai Pancana pihak, pasukan Belanda berhasil menguasai
untuk menduduki benteng utama di sana. Sebab, seluruh pantai dan mendekati Sungai Pancana
benteng Pancana ini bukan hanya merupakan menjelang pukul 11.00 siang. Pasukan Belanda
kubu pertahanan terkuat, tetapi juga menjadi kemudian berusaha untuk menyeberangi sungai
penghalang yang dapat mencegat jalur serangan yang kedalaman airnya sekitar empat kaki.
ke pusat pemerintahan Tanete. Ketika fajar Pada kesempatan itu, sejumlah kedudukan
baru saja merebak, pasukan perintis di bawah laskar Tanete berhasil direbut dengan korban
pimpinan Mayor Wachs mulai melakukan beberapa orang. Meskipun ada larangan dari
pendaratan di pantai yang bergelombang pimpinan pasukan ekspedisi, namun aksi
akibat gemuruh ombak. Meskipun pendaratan penjarahan senantiasa terjadi setelah mereka
itu mendapat perlawanan dari pihak Tanete, berhasil memukul mundur laskar Tenete.
namun pasukan Belanda dapat mengatasi dan Penjarahan itu bukan hanya dilakukan oleh
berhasil mendesak laskar Tanete. Setengah jam pasukan Belanda, tetapi juga dilakukan oleh
setelah pendaratan, pasukan Belanda bergerak pasukan batuan dari kerajaan sekutu yang
maju dengan empat pucuk meriam di bawah tersebar untuk menjarah dan menghancurkan
pimpinan Kapten Ham. Para serdadu Belanda rumah warga. Hal ini menimbulkan ketakutan
lainnya segera menyusul dan turun dari rakit warga setempat, sehingga mereka melarikan
yang tidak dapat merapat ke darat karena kondisi diri ke pegunungan (Stuers, 1854:375; Arsip
air yang dangkal. Mereka diperintahkan untuk Makassar, No.1:5).
memperpendek ikatan tas pelurunya melalui Keberhasilan pasukan Belanda dalam
tali dan tidak boleh dilepaskan agar peluru melancarkan serangan tersebut, tidak terlepas
tidak basah (Stuers,1954:375; Asba, 2010:112; dari dukungan pasukan angkatan laut di bawah
Abduh,1985:75). pimpinan Letnan Kolonel Buys. Sebab, mereka
Pendaratan itu mendorong beberapa tidak hanya senantiasa membantu gerakan
orang warga muncul yang menurut kebiasaan pasukan darat Belanda dengan tembakan
setempat menari-nari mengelilingi untuk meriam dari kapal-kapalnya, tetapi juga
menyambut kehadairan pasukan ekspedisi. mengirimkan perbekalan pasukan tepat waktu
Namun pasukan Belanda seakan tidak dan memerintahkan kapal tongkang bersenjata
memperdulikan penyambutan warga. Mereka berlabuh di Sungai Pancana. Meskipun
meneruskan gerakan menyisir pantai dan demikian, kerugian yang diderita oleh pihak
sebagian berhasil mendesak dan merebut pasukan Belanda dalam serangan itu tidak
kedudukan laskar Tanete. Satu peleton infantri sedikit. Tercatat tiga orang terbunuh, termasuk
dengan dua pucuk meriam diperintahkan Letnan Burger dan dua puluh satu orang

134
(Muhammad Amir) Konflik Tanete dengan Belanda di Sulawesi Selatan 1824

terluka termasuk Letnan Pinet dan van Dedel. pemerintah kolonial Belanda (Arsip Makassar,
Sementara Letnan Bock dan sembilan orang No.1:6; Stuers,1854:376).
kelasi dari kapal meriam Nomor 14 terluka Pengunduran diri Lapatau sebagai raja
oleh ledakan peluru 18 pon. Kerugian di pihak Tanete tersebut, bukan hanya melapangkan
pasukan bantuan dari kerajaan sekutu tidak saudaranya, Daeng Tanisangan menduduki
diketahui. Namun dalam serangan itu, pasukan tahta Kerajaan Tanete, tetapi pasukan Belanda
Belanda berhasil pula merebut sebanyak 14 juga gagal menangkap dan menawan Lapatau
meriam berukuran 3, 4, dan 6 pon; 4 meriam karena melarikan ke Bone. Meskipun
berukuran 2 pon, dan 15 lila dari musuh. demikian serangan yang dilancarkan oleh
Selain itu, sejumlah senapan dan tombak yang pasukan ekspedisi Belanda di bawah pimpinan
digunakan oleh laskar Tanete berhasil direbut Kolonel H. de Stuers terhadap Tanete, berhasil
pasukan Belanda (Stuers, 1854:375-376; Asba, mendesak laskar Tanete dan merebut sejumlah
2010:112). kubu pertahanan Kerajaan Tanete. Selain itu,
Tanggal 18 Juli 1824, Mayor Wach perlawanan laskar Tanete terhadap serangan
berangkat dengan 100 orang serdadu Eropa dan pasukan Belanda juga mengakibatkan jutuhnya
200 orang serdadu pribumi untuk menyerang korban jiwa yang tidak sedikit, yaitu sebanyak
laskar Tanete dengan tembakan meriam yang 277 orang dengan rincian 42 orang tewas
masih bersembunyi dan bertahan pada kubu- dan 185 orang terbunuh dengan senjata api
kubu pertahanan antara benteng Pancana (Asba, 2010:112-113). Lebih lanjut menurut
dengan Tanete. Namun raja Tanete tetap Asba bahwa karena banyaknya korban yang
berusaha bertahan dengan sekuat tenaga di jatuh, sehingga Lapatau memutuskan untuk
Tanete. Oleh karena itu, sekali lagi pimpinan mengundurkan diri dan mengungsi ke daerah
pasukan ekspedisi Belanda mengirimkan pedalaman atau pegunungan. Namun sebelum
seorang utusan kepada raja Tanete. Utusan Lapatau mengungsi, ia mengirim utusan
itu, tidak hanya menyampaikan tuntutan agar Daeng Manassa kepada saudarinya, Daeng
menyerah dan berangkat ke Makassar, tetapi Tanisanga agar mengambil alih tahta kerajaan
juga harus memberikan jaminan atas denda dan melakukan perundingan dengan Belanda
yang dijatuhkan kepadanya. Sebagai tanda untuk menghindari korban yang lebih banyak.
menyerah raja Tanete harus mengibarkan Selain itu, ia juga berpesan agar mengangkat
sebuah bendera putih. Setelah itu pasukan Kadhi Pancana, Daeng Masabbi untuk menjadi
Belanda akan maju bergerak ke Tanete tanpa Kadhi Tanete dan Pabbicara Daeng PaliE
melepaskan tembakan apapun. Beberapa sebagai pendampingnya dalam melakukan
orang utusan berjalan mondar-mandir untuk perundingan. Setelah itu, Lapatau kemudian
menyampaikan balasan pesan Raja Tanete mengumumkan kepada rakyatnya bahwa atas
Lapatau kepada pimpinan pasukan Belanda persetujuan dewan adat, ia telah menyerahkan
hari itu, yang meminta penundaan sampai pada tampuk kekuasaan pemerintahan kepada Daeng
malam hari. Tidak lama kemudian, seorang Tanisanga (Asba, 2010:113; Lontarak Tanete).
utusan datang menghadap kepada Stuers, Persoalannya mengapa Lapatau
yang memberitahukan bahwa rakyat telah mengundurkan diri sebagai raja Tanete dan
menurunkan rajanya dan sebagai gantinya menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada
mengangkat saudarinya Daeng Tanisanga saudarinya, Daeng Tanisanga. Hal ini tampaknya
untuk menduduk tahta kerajaan. Semuanya bukan hanya sebagai upaya untuk menghindari
dilakukan menurut kebiasaan adat. Sementara korban yang lebih banyak semata, tetapi juga
Lapatau mengundurkan atau melarikan diri sebagai taktik dan strategi dalam melanjutkan
ke Bone dan menjalin kerjasama dengan raja perjuangan melawan pasukan Belanda. Itulah
Bone untuk melakukan perlawanan terhadap sebabnya ia mengungsi ke daerah pedalaman

135
Jnana Budaya Volume 19, Nomor 2, Agustus 2014 (125 - 140)

dan kemudian ke Bone untuk mengokohkan pasukan Belanda kemudian bergerak menuju
jalinan kerjasama yang telah terbina dalam puncak Gunung Tanete yang berfungsi sebagai
perjuangan menentang kekuasaan pemerintah pertahanan. Tempat itu dikelilingi dinding yang
kolonial Belanda. Oleh karena itu pasukan terjal dan sulit ditembus sehingga merupakan
Belanda di bawah pimpinan Stuers tetap pertahanan yang bagus. Selain terdapat beberapa
melanjutkan penyerangan dan mulai bergerak lila, kubu pertahanan ini juga diperkuat empat
menuju pusat pemerintahan Kerajaan Tanete pucuk meriam berukuran 3 pon yang terbuat
pada dini hari 19 Juli 1824. Untuk menjaga dari logam (Stuers,1854:376-377).
perkemahan yang ditinggalkan pasukan oleh Sesuai dengan yang telah dijanjikan,
Belanda, maka diperintahkan sebanyak 70 pimpinan pasukan Belanda kemudian berangkat
orang kelasi dan segera melakukan pendaratan menemui Ratu Tanete Daeng Tanisanga.
yang dilengkapi dengan meriam kapal untuk Dalam pertemuan itu, ratu Tanete bersama
melaksanan tugas itu. Sementara pasukan pemangku adat Tanete disuruh menghadap
bantuan dari kerajaan sekutu mendapat perintah kepada pemerintah kolonial Belanda di
untuk segera bergerak setelah mendengar Makassar. Sang ratu pun menyetujuinya dan
tembakan dilepaskan. Sekitar pukul 07.00 pagi mengucapkan terima kasih atas perhatian yang
pasukan Belanda telah mencapai dan berdiri di dicurahkan kepada rakyatnya serta menjanjikan
perbukitan dekat Tanete. Beberapa orang ulama bahwa pada hari yang sama ia akan kembali
dan pemangku adat datang dengan bendera putih dan menghuni rumahnya sehingga suasana
menghadap kepada Stuers ketika itu. Utusan menjadi tenang. Pada pukul 11.00 siang,
Ratu Tanete Daeng Tanisanga itu dipimpin oleh tanggal 19 Juli 1824 pasukan Belanda kembali
Kadhi Tenete Daeng Massabi, yang ditugaskan ke perkemahan. Pasukan Belanda kemudian
untuk menemui pimpinan pasukan Belanda kembali ke Makassar melalui jalan darat untuk
dalam rangkah melakukan gencatan senjata dan menaklukkan sejumlah daerah di Distrik-
mengadakan perundingan. Selain itu, utusan itu distrik Bagian Utara. Mereka tiba kembali di
juga menyampaikan bahwa ratu Tanete tidak Makassar 29 Juli 1824, setelah terlebih dahulu
dapat datang karena berhalangan. Permohonan menaklukkan Segeri, Labbakkang, Pangkajene,
dikabulkan dan pimpinan pasukan Belanda dan Maros. Daerah-daerah tersebut, bukan
berjanji akan mengunjungi sang ratu pada hari hanya pernah direbut oleh Kerajaan Tanete
itu (Stuers, 1854:376; Asba, 2010:113). dan Bone dari kekuasaan Kompeni Belanda
Pimpinan ekspedisi militer Belanda dan (VOC), tetapi daerah-daerah itu juga melakukan
para utusan ratu Tanete kemudian bersama- pembontakan terhadap pemerintah kolonial
sama mendekati suatu pemukiman yang Belanda atas hasutan Bone (Stuers, 1854:377-
disertai beberapa orang perwira dan serdadu 379; Abduh, 1985:72).
huzaar, namun tempat itu telah ditinggalkan Sementara itu, semua pasukan bantuan
oleh warganya. Tampaknya penduduk telah dari kerajaan sekutu, seperti Gowa, Sanrobone,
meninggalkan daerah itu seiring dengan Turatea, dan Sidenreng diperintahkan segera
semakin mendekatnya pasukan Belanda dan naik kapal dan berangkat atau berlayar
melarikan diri ke pemukiman lain yang berjarak menuju ke tempat asal mereka. Oleh karena
atau ditempuh seperempat jam perjalanan. selain sudah tidak ada lagi perlawanan dari
Pada pemukiman itu, Stuers hanya menjumpai laskar Tanete, pasukan bantuan dari kerajaan
beberapa orang pria, wanita, dan anak-anak sekutu ini senantiasa melakukan penjarahan
yang bersembunyi. Mereka kemudian diminta dan pengangkutan ternak penduduk. Tidak
untuk kembali ke tempat asalnya pada hari beberapa lama kemudian, utusan dari
itu. Oleh karena tidak mendapat perlawanan pemerintah kolonial Belanda yang bernama
dari laskar Tanete, Stuers bersama sejumlah Ince I Sariba datang menjemput Ratu Tanete

136
(Muhammad Amir) Konflik Tanete dengan Belanda di Sulawesi Selatan 1824

Daeng Tanisanga bersama pembesar kerajaan Karaeng Cinropoli semakin menunjukkan


termasuk Daeng Masabbi dan Pabbicara sikap permusuhan terhadap pemerintah
Daeng PaliE untuk berangkat ke Makassar. kolonial Belanda. Itulah sebabnya gubernur
Kedatangan dan kesediaan Daeng Tanisanga Sulawesi dan panglima militer Bischoff
menerima tuntutan Belanda, bukan hanya kembali mengirimkan pasukan Belanda di
melapangkan pengukuhan kedudukannya bawah pimpinan Mayor van Coehoorn untuk
sebagai ratu Tanete, tetapi juga telah membuka melakukan penyerangan terhadap kedudukan
babakan baru jalinan kerjasama dengan Lapatau pada 31 Mei 1827. Kekuatan pasukan
pemerintah kolonial Belanda. Setelah itu, Belanda itu terdiri atas 250 serdadu yang dibantu
Ratu Tanete Daeng Tanisanga menandatangani oleh kapal layar Orestes, kapal pengangkut
pembaharuan Kontrak Bungaya pada 7 Circe, dan kapal meriam Nomor 12. Sementara
Agustus 1824 (Anonim, 1854:179; Asba, raja Sidenreng bersama pasukannya menyerang
2010: 113). Itulah sebabnya Kerajaan Tanete dari utara dan Asisten Residen Noorder
tercatat sebagai salah kerajaan yang turut serta Districten dari selatan bergerak menuju Tanete.
mendatangani pembaharuan Kontrak Bungaya Mayor van Coehoorn dan pasukannya mendarat
1824, meskipun pada awalnya menolak di dekat Sungai Pancana, dan segera bergerak
menghadiri pertemuan dengan pemerintah menyusuri tepi barat daya sepanjang Sungai
kolonial Belanda. Pancana menuju Cerowali, serta melewati
Penandatanganan pembaharuan Kontrak sejumlah daerah sebelum memasuki Tanete.
Bungaya oleh Ratu Tanete Daeng Tanisanga Meskipun serangan itu mendapat perlawanan
bersama dewan pemangku adat Kerajaan dari Lapatau, pasukan Belanda akhirnya
Tanete tersebut, memberi harapan baru bagi berhasil merebut dan menduduki ibu kota serta
penyelesaian konflik antara pemerintah kolonial menguasai seluruh Kerajaan Tenete (Anonim,
Belanda dengan Kerajaan Tanete. Namun 1854:185-186).
harapan itu kembali sirna ketika Lapatau Sumber lain menyebutkan bahwa Lapatau
bersama pengikutnya yang menjalin kerjasama bersama dengan raja-raja lainnya seperti raja
dengan laskar Kerajaan Bone kembali Barru, Sawitto, dan Alitta kembali mengangkat
melakukan perlawanan terhadap Belanda dan senjata melawan Belanda pada 1826. Selain
bergiat menduduki kembali sejumlah daerah itu, juga karena Lapatau melindungi seorang
di Distrik-distrik Bagian Utara (Noorder musuh Belanda, yaitu Petta Ambarala. Oleh
Districten) pada September 1824. Bahkan karena itu, Kolonel Bischoff bertindak tegas
Lapatau kembali ke Tanete dan kemudian dan menumpas perlawanan tersebut dengan
memimpin pasukannya menyerang pos mengirimkan pasukan yang dilengkapi
Belanda yang berada di Tanete. Serangan yang dengan senjata berat di bawah pimpinan
dilancarkan oleh Lapatau bersama pasukannya Mayor Coehoorn van Houwerda. Pasukan
itu, memaksa pasukan Belanda yang dipimpin ini dibantu oleh angkatan laut di bawah
oleh Letnan Ulps harus meninggalkan posnya di pimpinan Letnan Rambaldo dan pasukan
Tanete dengan kapal Natilus menuju Makassar dari raja Sidenreng, Maros, dan Pangkajene.
(Abduh, 1985:73; Anonim,1854:180. Dari pihak sipil, ikut serta Residen Maiyor
Kenyataan itu mendorong Lapatau dan Mesman sebagai Komisaris Pemerintah
kembali tinggal di Tanete dan berhasil merebut Belanda. Serangan itu mendapat perlawanan
kekuasaan atas Tanete pada 1826. Oleh karena dari Lapatau bersama pasukannya, sehingga
itu, Ratu Tanete Daeng Tanisanga terpaksa kembali terjadi pertempuran dengan hebatnya.
mengungsi dan meminta perlindungan pada Meskipun demikian, pasukan Belanda
pemerintah kolonial Belanda di Fort Rotterdam, akhirnya berhasil menaklukkan Tanete pada
Makassar. Sementara Lapatau bersama 1827. Keberhasilan serangan pasukan Belanda

137
Jnana Budaya Volume 19, Nomor 2, Agustus 2014 (125 - 140)

itu, memaksa Lapatau harus melepaskan dipisahkan dari Tanete dan dipinjamkan
kembali kedudukannya sebagai raja Tanete. kekuasaannya kepada putra mahkota lainnya.
Sementara Daeng Tanisanga yang berada dalam Selain itu, perubahan status kerajaan itu juga
perlindungan pemerintah kolonial Belanda, merupakan salah satu tonggak sejarah yang
kembali diangkat menjadi ratu Tanete atau penting dalam hubungan antara Kerajaan
dipulihkan kembali kedudukannya atas tahta Tanete dengan pemerintah kolonial Belanda.
Kerajaan Tanete. Namun dengan kedudukan Sebab, sejak itu campur tangan pemerintah
yang berbeda, sebab ia hanya diangkat sebagai kolonial Belanda secara langsung dalam proses
“raja pinjaman” (leenvorst) Kerajaan Tanete pergantian penguasa di Tanete semakin jauh.
(Abduh, 1985:73-74;Walinono, 1979:39). Bahkan para penguasa Tanete selanjutnya,
Pengangkatan kembali Daeng Tanisanga bukan hanya diangkat dan diberhentikan
menjadi ratu Tanete, menunjukkan bahwa dengan surat keputusan Gubernur Sulawesi
ia dianggap tidak terlibat dalam gerakan dan daerah sekitarnya, melainkan juga harus
perlawanan Lapatau bersama pasukannya. mendapat mengukuhan dari Gubernur Jenderal
Itulah sebabnya pemerintah kolonial Hindia Belanda (Poelinggomang,2005:115-
Belanda kemudian mengukuhkannya 116;Walinono,1979:39-40).
setelah menandatangani kontrak politik
yang menyatakan bahwa Kerajaan Tanete C. PENUTUP
bersatatus sebagai “kerajaan pinjaman” Konflik antara Kerajaan Tanete dengan
(leen voerstendom). Maksudnya, kerajaan pemerintah kolonial Belanda, bukan hanya
taklukan yang tidak dikuasai secara langsung dilatari oleh ketidakharmonisan hubungan
dan kedudukan kekuasaan pemerintahannya antara kedua belah pihak sejak zaman VOC,
dipinjamkan oleh pemerintah kolonial Belanda tetapi juga karena penolakan Tanete terhadap
kepada pihak pemerintah lokal, Daeng kembalinya pemerintah kolonial Belanda
Tanisanga (saudara perempuan Lapatau). setelah menerima penyerahan kekuasaan
Meskipun pemberian status baru itu sangat atas wilayah Makassar dan daerah sekitarnya
mengecewakan Lapatau, tetapi ia tidak dapat diri pihak Inggris pada 1816. Konflik antara
berbuat selain menerimanya. Itulah sebabnya, kedua belah pihak semakin memuncak ketika
dengan dalih ingin memperbaiki hubungan Belanda mendekak Tanete untuk melepaskan
dengan pemerintah kolonial Belanda, ia kekuasaan atas daerah-daerah yang diduduki,
mengirim utusan untuk menyampaikan seperti Segeri, Labbakang, Pangkajene, dan
permohonan maaf dan kesediaannya Maros. Selain itu, juga karena penolakan
bekerjasama. Berkat permohonan itu, Lapatau Kerajaan Tanete untuk menghadiri undangan
mendapat pengampunan dari pemerintah pertemuan dengan pemerintah kolonial Belanda
kolonial Belanda dan diperkenankan kembali tentang pembaharuan Kontrak Bungaya yang
ke Tanete. Bahkan ia kemudian diangkat diselenggarakan di Makassar pada Juli 1824.
menjadi raja pinjaman (leenvorst) pada 1829 Itulah sebabnya Gubernur Jenderal Van der
(Asba, 2010:114; Poelinggomang, 2005:115). Capellen memutuskan untuk melancarkan
Pengangkatan Lapatau sebagai raja serangan militer terhadap Tanete. Serangan
pinjaman (1829-1840) tampaknya dimaksud­ militer inilah yang memicu terjadinya konflik
kan untuk meredam konflik atau gerakan berupa perang terbuka atau konflik antara kedua
perlawanan terhadap kedudukan kekuasaan belah pihak mencapai klimaksnya. Meskipun
pemerintah kolonial Belanda. Kekuasaan laskar Tanete di bawah pimpinan Raja Tanete
atas wilayah Tanete kemudian dipinjamkan Lapatau memberikan perlawanan atas serangan
kepada Lapatau, sementara wilayah lainnya itu, namun pasukan kolonial kolonial akhirnya
seperti Lipukasi, Pancana, dan Lalolang berhasil menaklukkan kerajaan itu sehingga

138
(Muhammad Amir) Konflik Tanete dengan Belanda di Sulawesi Selatan 1824

harus menerima pembaharuan Kontrak Daeng Patunru, Abdurrazak. 2004. Tenete,


Bungaya 1824 dan kenyataan tunduk di bawah dalam Bingkisan Patunru, Sejarah Lokal
kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Sulawesi Selatan. Makassar: Pusat Kajian
Indonesia Timur bekerjasama dengan
DAFTAR PUSTAKA Universitas Hasanuddin.
Abduh, Muhammad. 1985. Sejarah Garraghan, Gilberr J. 1957. A Guide to
Perlawanan Terhadap Imperialisme Historical Method. New York: Fordam
dan Kolonialisme di Sulawesi Selatan. University Press.
Jakarta: Depdikbud. Gising, Basrah. 2002. Sejarah Kerajaan Tenete.
Abdullah, Taufik. 1985. Sejarah Lokal di Makassar: Sama Jaya Makassar.
Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah
University Press. (Diterjemahkan Nugroho Noto-susanto).
Amir, Muhammad. 2011. Konflik Balanipa- Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Belanda di Mandar 1862-1872. Makassar: Kadir, Harun. 1978. Sejarah Daerah Sulawesi
Tesis Program Pascasarjana Universitas Selatan. Jakarta: Depdikbud.
Hasanuddin. Kartodirdjo, Sartono. 1984. Pemberontakan
Amir, Muhammad. 2014. Gerakan Mara’dia Petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka
Tokape di Mandar 1870-1873. Makassar: Jaya.
de la macca. Leyds, W.J. 1940. Memori van Overgave,
Amir, Muhammad, Syahrir Kila, Rosdiana Assistant Resident Mandar. Majene: 9
Hafid. 2012. Konflik dan Perubahan Februari 1940.
Sosial; Sejarah Perlawanan Tiga Mappangara, Suriadi. 1996. Kerajaan Bone
Kerajaan Terhadap Pemerintah Kolonial Abad XIX (Konflik Kerajaan Bone-
Belanda di Sulawesi Selatan Abad XIX. Belanda 1816-1860). Yogyakarta: Tesis
Makassar: de la macca. Program Pascasarjana Universitas
Andaya, Leonard Y. 2004. Warisan Arung Gadjah Mada.
Palakka, Sejarah Sulawwsi Selatan Abad Mattulada. 1998. Sejarah, Masyarakat, dan
Ke-17. Makassar Ininnawa. Kebudayaan Sulawesi Selatan. Makassar:
Anonim. 1854. Bijdragen tot de Geschiedenis Hasanuddin University Press.
van Celebes, dalam Tijschrift voor Musa, Abd. Gaffar. 1990. Iyanae Poada
Nederlandsch-Indie (TNI), Jilid II, hlm. Adaengngi Attoriolongnge ri Tanete.
149-220. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Asba, A. Rasyid. 2010. Gerakan Sosial di Tanah Kebudayaan.
Bugis: Raja Tanete Lapatau Menentang Notosusanto, Nugroho. 1978. Masalah
Belanda. Yogyakarta: Ombak. Penelitian Sejarah Kontemporer. Jakarta:
Arsip Makassar No. 1 (1-11). Politik Verslag Idayu.
van het Gouvernement Celebes en PaEni, Mukhlis, Edward L. Poelinggomang,
Onderhoorigheden over het jaar 1855- dan Ina Mirawati. 2002. Batara Gowa,
1865. Koleksi Arsip Nasional Republik Messianisme Dalam Gerakan Sosial di
Indonesia (ANRI), Jakarta. Makassar. Yogyakarta: Gadjah Mada
Bakkers, J.A. 1862. Tenette en Baroe, dalam University Press.
Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Poelinggomang, Edward L.. 2002. Makassar
Volkenkunde (TBG), Jilid XII. Abad XIX, Studi Tentang Kebijakan
Daeng Patunru, Abdurrazak. 1989, Sejarah Perdagangan Maritim. Jakarta:
Bone. Ujung Pandang: Yayasan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
Kebudayaan Sulawesi Selatan.

139
Jnana Budaya Volume 19, Nomor 2, Agustus 2014 (125 - 140)

Poelinggomang, Edward L.. 2004. Perubahan Sumber Arsip. 1971. Staakundig Overzicht
Politik dan Hubungan Kekuasaan van Nederlandsh Indie, 1837 (Laporan
Makassar 1906-1942. Yogyakarta: Politik Tahun 1837). Djakarta: Penerbitan
Ombak. Sumber-Sumber Sedjarah Arsip Nasional
Poelinggomang, Edward L. 2005a. Sejarah Republik Indonesia No. 4.
Sulawesi Selatan Jilid 1. Makassar: Sumber Arsip. 1973. Ikhtisar Keadaan Politik
Balitbangda Propinsi Sulaesi Selatan. Hindia Belanda Tahun 1839-1848.
Poelinggomang, Edward L. 2005b. Sejarah Djakarta: Penerbitan Sumber-sumber
Tanete, Dari Angangnionjo Hingga Sedjarah Arsip Nasional Republik
Kabupaten Barru. Pemerintah Kabupaten Indonesia No.5.
Barru. Stuers, H. van de. 1854. De Expeditie Tegen
Sagimun, M.D. 1964. Perang Sulawesi Selatan. Tanette en Soepa in 1824, dalam
Jakarta: Panitia Museum Sejarah Tugu Tijdschrift voor Nederlandsch Indie
Nasional. (TNI) , Volume 59, hlm. 373-389.
Walinono, Hasan. 1979. Tanete Suatu Studi
Sosiologi Politik. Ujung Pandang:
Disertasi Universitas Hasanuddin.

140

Anda mungkin juga menyukai