KOLONIAL
oleh
1. HENDRIKO R. ASAMAL
2. AMELIA C. BANAKAMENG
3. NOVIA V. TAKLASI
KUPANG
2023
A. Periodeisasi Perjuangan Lokal
Setelah berhasil menguasai Malaka pada 1511, Bangsa Portugis melanjutkan perjalanan
ke Maluku. Tujuan utamanya menguasai rempah-rempah di Ternate atau Maluku.
Awalnya kedatangan Bangsa Portugis disambut hangat oleh raja serta rakyat Ternate.
Bahkan Portugis diberi kesempatan mendirikan benteng dan hak monopoli perdagangan
cengkeh.
Keserakahan Portugis dan ketentuan harga cengkeh yang terlalu rendah, membuat rakyat
Ternate atau Maluku sengsara. Permusuhan antar keduanya pun tidak dapat dihindarkan.
Akibatnya Portugis harus memindahkan kegiatan dagang mereka ke Nusa Tenggara.
Upaya Portugis dalam mencegah atau menghentikan pedagang Aceh tidak berhasil.
Karena kapal milik Aceh lebih canggih, gesit dan dilengkapi senjata serta prajurit. Tidak
hanya itu, Aceh juga meminta bantuan dari Turki serta India.
Perlawanan Kerajaan Aceh berhasil dilakukan saat Sultan Ali Mughayat Syah memimpin
kerajaan tersebut. Setelah itu, perlawanan dilanjutkan oleh Sultan Alaudin Riayat Syah
al-Qahar dengan meminta bantuan Turki.
Perlawanan terhadap kekuasaan kolonial Belanda dari tahun 1653 hingga 1942
melibatkan berbagai bentuk perlawanan dari masyarakat pribumi di wilayah jajahan
Belanda, yang mencakup wilayah yang s ekarang menjadi bagian dari Indonesia.
Perlawanan tersebut meliputi perang gerilya, pemberontakan, protes politik, dan upaya
diplomasi untuk melawan kekuasaan kolonial Belanda.
Salah satu bentuk perlawanan yang terkenal adalah Perang Diponegoro (1825-
1830), yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah. Perang ini merupakan
salah satu perlawanan terbesar terhadap kekuasaan kolonial Belanda dan menimbulkan
kerugian besar bagi pihak Belanda. Selain itu, terdapat juga perlawanan dari masyarakat
pribumi di luar Jawa, seperti Pemberontakan Bonjol di Sumatera Barat yang dipimpin
oleh Tuanku Imam Bonjol.
Selain itu, perlawanan juga terjadi di luar Jawa, seperti Pemberontakan Pattimura
di Maluku pada tahun 1817. Pemberontakan ini dipimpin oleh Kapitan Pattimura dan
merupakan respons terhadap kecurigaan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial
Belanda. Meskipun akhirnya pemberontakan ini juga berhasil dipadamkan, namun hal ini
menunjukkan bahwa perlawanan terhadap kekuasaan Hindia Belanda VOC tidak hanya
terbatas di satu wilayah saja.
Salah satu organisasi paling signifikan pada periode ini adalah Sarekat Islam (SI),
yang didirikan pada tahun 1912 namun terus berpengaruh sepanjang tahun 1920-an dan
1930-an. Sarekat Islam awalnya bermula sebagai organisasi sosial keagamaan yang
bertujuan membantu umat Islam di Jawa, namun kemudian menjelma menjadi partai
politik nasionalis yang memperjuangkan kemerdekaan dari kekuasaan kolonial Belanda.
Aktivitas dan pengaruh organisasi ini berkontribusi pada kebangkitan kesadaran nasional
di kalangan masyarakat Indonesia dan meletakkan dasar bagi gerakan nasionalis di masa
depan.
Portugis telah sampai di pulau Timor pada tanggal 7 juli tahun 1514 ( Timor Paquena
Monografia, 1970 ) tetapi kedudukan Portugis secara tetap baru dimulai tahun 1561 di pulau
Solor sampai tahun 1646. Karena Solor direbut dan diduduki pasukan VOC, pusat kedudukan
Portugis kemudian dipindahkan dari solor ke Larantuka tahun 1646-1701. Tahun 1701-1769
pusat kedudukan Portugis di pindahkan ke Lifao. Sejak tahun 1769 kedudukan Portugis
dipindahkan lagi ke Dili ( Sejarah Gereja Katolik Indonesia 1974 jilid 1). Kegiatan Portugis yang
di ikut memberi warna perlawanan local di-NTT antara lain :
Tahun 1642 terjadi perlawanan Ratu Mena terhadap Portugis. 27 orang rakyat
terbunuh, beberapa orang Portugis dan keturunan campuran ikut terbunuh.
Tahun 1696 Dominggus da Costa pemimpin Kase Metan mengangkat senjata
melawan Gubernur baru Choelo Guereiro. Ia bertekad mendirikan sebuah republic
di Timor yang bebas dari jajahan Portugis. Gubernur baru yang berangkat dengan
2 kapal S. Antonio dan S. Pedro dari Macao sewaktu akan mendarat di Larantuka
oleh Dominggus da Costa dihadang dengan tembakan Meriam. Dua kapal terkena
tenmbakan dan nahkoda luka-luka. Mereka melanjutkan perjalanan ke Lifao,
namun sewaktu akan mendarat juga dihadang pasukan Dominggus da Costa
sehingga terjadi pertempuran sebelum masuk Lifao, korban tewas 36 orang
( Hagerdal, 2003, Sejarah Gereja Katolik Indonesia 1,1974).
Tahun 1703, Sonbai bersekutu dengan Ambenu, Amanuban, Boro, Asem, Mena,
Maubara, Mutael, dan Liquisa mengangkat senjata melawan Portugis.
Tahun 1711 Liurai Sonbai Don Pedro Bersama Manbai mengangkat senjata
melawan Portugis dengan kekuatan 1000 prajurit. Perlawanan ini karna dipicuh
oleh penculikan istri Sonbai sewaktu upacara penguburan putri Dominggus da
Costa di Lifao. 300 prajurit Sonbai tewas dalam pertempuran. (Hagerdal, 2003).
Tahun 1719 beberapa Liurai mengadakan pertemuan rahasia di Kamanasa.
Mereka melakukan sumpah darah Bersama dan bertekad tidak akan berhenti
berjuang sampai Portugis putih keluar dari pualu Timor. Pada masa Gubernur
Anton Mones Mcedo 1725-1729 Kamanasa mengangkat senjata kepada Portugis.
(Joliffe, 1978, Sejarah Gereja Katolik Indonesia 1,1974)
Rakyat desa perbatasan di Fatuhun Kota Faul Feha dan Sukati Kaihun
melakukan perlawanan kepada pasukan Portugis yang bertindak kejam di Pos
Sukaiti Kahun. Awalnya perlawanan ini berhasil mengusir pasukan Portugis,
namun Ketika bala bantuan datang mereka tak mampu membendung nya sehingga
penduduk mengungsi dan pindah di Fatu Malaka.(Sejarah Gereja Katolik di
Timor jilid 1, 2003)
Raja Bere Bau dari Lakmaras melakukan perlawanan terhadap pasukan
Portugis pada tahun 1913. Pasukan Portugis yang di pimpin Senor Kafi dan
Kabalaria berhasil membakar 3 kampung Lakmaras, Henes, Ekin dan Abis. Meo
Bei Malirin terbunuh beserta 12 prajurit di pihak Portugis Komandan Kafir Bau
Mali tewas.