Critical Appraisal
“A Comparison of HbA1c and Fasting Blood Sugar Tests in General
Population”
klinis pasien
yang lebih baik
1.Tujuan EBM
EBM bertujuan membantu klinisi memberikan pelayanan medis yang lebih baik
agar diperoleh hasil klinis (clinical outcome) yang optimal bagi pasien, dengan cara
memadukan bukti terbaik yang ada, keterampilan klinis, dan nilai- nilai pasien. Dua
strategi digunakan untuk merealisasi tujuan EBM. Pertama, EBM mengembangkan
sistem pengambilan keputusan klinis berbasis bukti terbaik, yaitu bukti dari riset yang
menggunakan metodologi yang benar. Metodologi yang benar diperoleh dari penggunaan
prinsip, konsep, dan metode kuantitatif epidemiologi. Praktik klinis EBM
memberdayakan klinisi sehingga klinisi memiliki pandangan yang independen dalam
membuat keputusan klinis, dan bersikap kritis terhadap klaim dan kontroversi di bidang
kedokteran. Bukti ilmiah terbaik yang ada perlu dipadukan dengan keterampilan/
keahlian klinis dokter. Keterampilan klinis diperoleh secara akumulatif seorang klinisi
melalui pendidikan, pengalaman klinis, dan praktik klinis. Keterampilan klinisi yang
tinggi diwujudkan dalam berbagai bentuk, khususnya penentuan diagnosis yang lebih
akurat dan efisien, pemilihan terapi yang lebih bijak, yang memperhatikan preferensi
pasien.4
Pengalaman dan keterampilan klinis dokter merupakan komplemen penting bagi
bukti- bukti, yang diperlukan untuk menghasilkan pelayanan medis yang efektif. Tetapi
penggunaan pengalaman dan keterampilan klinis saja tidak menjamin pelayanan medis
yang dapat diandalkan. Paradigma baru EBM mengajarkan, pembuatan keputusan klinis
yang baik tidak cukup jika hanya didasarkan pada pengalaman klinis yang tidak
sistematis, intuisi, maupun alasan patofisiologi, khususnya jika masalah klinis pasien
yang dihadapi kompleks.
EBM mengembalikan fokus perhatian dokter dari pelayanan medis berorientasi penyakit
ke pelayanan medis berorientasi pasien (patient-centered medical care). EBM bertujuan
meletakkan kembali pasien sebagai principal atau pusat pelayanan medis. EBM
mengembalikan fokus perhatian bahwa tujuan sesungguhnya pelayanan medis adalah
untuk membantu pasien hidup lebih panjang, lebih sehat, lebih produktif, dengan
kehidupan yang bebas dari gejala ketidaknyamanan.4
Implikasi dari re-orientasi praktik kedokteran tersebut, bukti-bukti yang dicari
dalam EBM bukan bukti-bukti yang berorientasi penyakit (Disease-Oriented Evidence,
DOE), melainkan bukti yang berorientasi pasien (Patient-Oriented Evidence that
Matters, POEM). Praktik EBM menuntut dokter untuk mengambil keputusan medis
bersama pasien (shared decision making), dengan memperhatikan preferensi,
keprihatinan, nilai-nilai, ekspektasi, dan keunikan biologis individu pasien. Sistem nilai
pasien meliputi pertimbangan biaya, keyakinan agama dan moral pasien, dan otonomi
pasien, dalam menentukan pilihan yang terbaik bagi dirinya. Bukti klinis eksternal bisa
memberikan informasi tentang pilihan yang lebih baik untuk suatu terapi, tetapi tidak bisa
menggantikan hak pasien, sistem nilai pasien, preferensi pasien, dan harapan pasien,
tentang cara yang baik untuk mengatasi masalah klinis pasien. Alasan rasional, bukti
eksternal yang terbaik yang dihasilkan riset merupakan inferensi yang bersifat umum di
tingkat populasi. Karena bersifat umum maka bukti tersebut tidak bisa mengabaikan
keunikan masing-masing individu pasien ketika sebuah tes diagnostik atau terapi akan
diterapkan pada masing-masing individu pasien.4
Dua alasan utama diperlukan EBM sebagai berikut. Pertama, jumlah publikasi
medis tumbuh sangat cepat, sehingga para dokter dan mahasiswa kedokteran
kewalahan untuk mengidentifikasi bukti yang relevan, berguna, dan dapat
dipercaya (Del Mar et al., 2004). Suatu intervensi diagnostik maupun terapetik yang
efektif dalam memberikan perbaikan klinis kepada pasien bisa pada saat yang sama
mengandung risiko kerugian dan biaya bagi pasien. Para dokter dan tenaga kesehatan
profesional lainnya perlu mengasah keterampilan untuk memilah dan memilih bukti-
bukti terbaik yang bisa memberikan informasi yang relevan dan terpercaya, dengan cara
yang efektif, produktif, dan efisien (cepat). 5
Pada saat yang sama para ahli epidemiologi mengembangkan strategi untuk
menemukan, mengevaluasi, dan menilai kritis tes diagnostik, terapi, dan aplikasi lainnya,
untuk mendukung praktik EBM. Metode EBM memudahkan para dokter untuk
mendapatkan informasi kedokteran yang dapat dipercaya dari database primer dan
sekunder. Kegiatan EBM meliputi proses mencari dan menyeleksi bukti dari artikel hasil
riset, menganalisis dan menilai bukti, dan menerapkan bukti kepada pasien.5
Sebuah strategi yang efisien untuk menerapkan EBM adalah strategi ―push and
pull. Dengan ―PUSH (JUST IN CASE) dimaksudkan, bukti-bukti riset terbaik tentang
masalah klinis pasien yang sering atau banyak dijumpai di tempat praktik secara proaktif
dicari dan dipelajari SEBELUM pasien mengunjungi praktik klinis, lalu bukti-bukti
tersebut disimpan ke dalam file atau memori dokter. Dengan ―PULL‖ (JUST IN TIME)
dimaksudkan, bukti- bukti riset terbaik yang tersimpan dalam file atau memori dokter
―ditarik, diambil, dan digunakan KETIKA pasien mengunjungi praktik klinis. Intinya,
praktik EBM terdiri atas lima langkah (Tabel 1).7
Tabel 1 Lima langkah Evidence-Based Medicine
Langkah 1 Rumuskan pertanyaan klinis tentang pasien, terdiri atas empat
Kelima langkah EBM bisa disingkat ―5A: asking, acquiring, appraising, applying,
assessing.
Pada skenario, seorang pria berusia 40 tahun datang ke Rumah Sakit dengan
keluhan banyak makan, banyak minum dan banyak kencing. Berat badan (BB) pasien
diketahui juga menurun walaupun nafsu makan biasa. Pasien ingin mengetahui apakah
diagnosis pasien diabetes atau tidak dan ingin bertanya apakah pemeriksaan yang lebih
baik gula darah puasa atau HbA1c. Pertanyaan klinis yang baik dirumuskan dengan
spesifik sebagai berikut, “Manakah yang lebih baik, pemeriksaan gula darah puasa
atau HbA1C untuk mengidentifikasi diabetes melitus?”
Comparison
Demikian pula untuk menarik kesimpulan tentang efektivitas terapi, maka hasil dari
pemberian terapi perlu dibandingkan dengan hasil tanpa terapi. Jika terapi memberikan
perbaikan klinis pada pasien, tetapi pasien tanpa terapi juga menunjukkan perbaikan
klinis yang sama, suatu keadaan yang disebut ‗efek plasebo‘, maka terapi tersebut tidak
efektif.9
Pembanding yang digunakan tidak harus tanpa intervensi (―do nothing‖) ataupun
plasebo. Pembanding bisa juga merupakan intervensi alternatif atau terapi standar yang
digunakan selama ini (―status quo‖). Jenis pembanding yang digunakan sangat penting
untuk dicermati karena sangat mempengaruhi kesimpulan dan penerapan temuan. Contoh,
sebuah terapi baru mungkin memberikan perbaikan klinis cukup besar dan secara statistik
signifikan ketika dibandingkan dengan tanpa terapi. Dinyatakan dalam ukuran efek terapi
yang disebut NNT (number needed to treat), terapi baru mungkin memiliki NNT cukup
rendah sehingga cukup efektif dibandingkan dengan plasebo. Tetapi terapi baru
sesungguhnya tidak memberikan perbaikan inkremental klinis dengan cukup besar dan
secara statistik tidak signifikan jika dibandingkan dengan terapi standar. Jika efek terapi
dinyatakan dalam NNT, terapi baru mungkin memiliki NNT yang tidak cukup kecil untuk
bisa disebut efektif jika dibandingkan dengan terapi lama (standar). Bila dalam aspek
kerugian (harm, adverse events) serta biaya yang diakibatkan oleh terapi baru dan terapi
standar sama, maka tidak ada alasan untuk menyimpulkan terapi baru lebih baik daripada
terapi standar.9
Outcome
Efektivitas intervensi diukur berdasarkan perubahan pada hasil klinis (clinical outcome).
Konsisten dengan triad EBM, EBM memandang penting hasil akhir yang berorientasi
pasien (patient-oriented outcome) dari sebuah intervensi medis (Shaugnessy dan
Slawson, 1997). Patient-oriented outcome dapat diringkas menjadi ―3D‖: (1) Death; (2)
Disability; dan (3) Discomfort. Intervensi medis seharusnya bertujuan untuk mencegah
kematian dini, mencegah kecacatan, dan mengurangi ketidaknyamanan.9
1. Death. Death (kematian) merupakan sebuah hasil buruk (bad outcome) jika
terjadi dini atau tidak tepat waktunya. Contoh, balita yang mati akibat dehidrasi
pasca diare, kematian mendadak (sudden death) yang dialami laki-laki usia 50
tahun pasca serangan jantung, merupakan kematian dini yang seharusnya bisa
dicegah.9
2. Disability. Disability (kecacatan) adalah ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas sehari-hari di rumah, di tempat bekerja, melakukan aktivitas sosial, atau
melakukan rekreasi. Contoh, kebutaan karena retinopati diabetik pada pasien
diabetes melitus, hemiplegi pasca serangan stroke, merupakan kecacatan yang
seharusnya bisa dihindari. Kecacatan mempengaruhi kualitas hidup pasien, diukur
dengan QALY (quality-adjusted life year), DALY (disability-adjusted life year),
HYE (healthy years equivalent), dan sebagainya.9
3. Discomfort. Discomfort (ketidaknyamanan) merupakan gejala-gejala seperti
nyeri, mual, sesak, gatal, telinga berdenging, cemas, paranoia, dan aneka gejala
lainnya yang mengganggu kenyamanan kehidupan normal manusia, dan
menyebabkan penderitaan fisik dan/ atau psikis manusia. Contoh, dispnea pada
pasien dengan asma atau kanker paru, merupakan ketidaknyamanan yang
menurut ekspektasi pasien penting, yang lebih penting untuk diatasi daripada
gambaran hasil laboratorium yang ditunjukkan tentang penyakit itu sendiri.
Ketidaknyamanan merupakan bagian dari kualitas hidup pasien. 9
Melakukan telusur ilmiah yang sesuai dengan prinsip EBM
EBM dapat diartikan sebagai pemanfaatan bukti ilmiah secara seksama, ekplisit dan
bijaksana dalam pengambilan keputusan tatalaksana pasien. artinya mengintegrasikan
kemampuan klinis individu dengan bukti ilmiah yang terbaik yang diperoleh dengan
penelusuran informasi secara sistematis. Bukti ilmiah itu tidak dapat menetapkan
kesimpulan sendiri, melainkan membantu menunjang penatalaksanaan pasien. integrasi
penuh dari ketiga komponen ini dalam proses pengambilan keputusan akan
meningkatkan probabilitas untuk mendapatkan hasil pelayanan yang optimal dan
kualitas hidup yang lebih baik.10
Contoh jurnal dengan judul “Perbandingan Uji Gula Darah HbA1c dan Puasa pada
Populasi Umum” Penelitian ini menggunakan metode berbasis populasi cross-sectional
dilakukan di kota Jerman. Jumlahnya adalah 604 orang. HbA1c dan FBS diuji.
Hubungan antara HbA1c dan FBS juga sensitivitas, spesifisitas dan nilai prediktif
dalam mendeteksi nilai abnormal satu sama lain ditentukan. Hasil penelitian kami
menunjukkan bahwa hubungan HbA1c dengan FBS relatif kuat terutama pada subjek
diabetes. Umumnya, FBS adalah prediktor HbA1c yang lebih akurat dibandingkan
dengan HbA1c sebagai prediktor FBS. Meskipun titik potong optimum HbA1c> 6,15%,
ketepatannya sebanding dengan titik potong konvensional HbA1c> 6%. Koefisien
korelasi Pearson FBS dan HbA1c adalah 0,74 (P <.001); Namun, koefisien korelasi ini
secara signifikan lebih besar pada mereka yang memiliki FBS> 126 mg / dl (r = 0,73, n
= 79 versus r = 0,23, n = 525, P <0,001). Berdasarkan temuan ini, dibuat model
hubungan kedua variabel ini dan juga sensitivitas dan spesifisitasnya yang
dikelompokkan oleh FBS karena pola asosiasi yang berbeda pada subjek diabetes dan
non-diabetes. Dalam analisis univariat, hubungan antara FBS dan HbA1c dengan
variabel seks, BMI dan usia signifikan (P <0,001) hanya pada penderita diabetes.
Namun, analisis tersebut tidak signifikan dalam analisis multivariat. Koefisien regresi
kasar dan adjusted dari FBS dalam prediksi HbA1c lebih besar pada sub kelompok
FBS> 126 mg / dl dibandingkan dengan mereka yang memiliki FBS normal (koefisien
kasar: 0,18 versus 0,13, koefisien yang disesuaikan: 0,18 berbanding 0,09) yang berarti
bahwa FBS bisa memprediksi HbA1c pada penderita diabetes lebih tepat. Demikian
pula, koefisien regresi HbA1c mentah dan disesuaikan dalam prediksi FBS lebih besar
pada sub kelompok FBS> 126 mg / dl dibandingkan dengan mereka yang memiliki
koefisien FBS normal (koefisien kasar: 2,91 melawan 0,38, koefisien yang disesuaikan:
2,89 vs 0,27) yang berarti bahwa HbA1c dapat memprediksi FBS pada penderita
diabetes lebih tepat. Berdasarkan titik cutoff konvensional sebesar 6%, sensitivitas,
spesifisitas, nilai prediksi positif dan nilai prediksi negatif HbA1c dalam prediksi FBS>
126 mg / dl masing-masing adalah 86%, 78%, 36%, dan 97%. HbA1c> 6 meningkatkan
kemungkinan penderita diabetes hampir sebesar 23% (pre-test = 13% sampai post-test =
36%), sementara HbA1c≤6 meningkatkan kemungkinan non-diabetes sebesar 10% (dari
87% menjadi 97%) . Kesimpulan penelitian pada jurnal ini yaitu, FBS terdengar lebih
handal untuk membedakan penderita diabetes dari non-penderita diabetes. Namun,
bagaimanapun juga, seseorang ingin menggunakan HbA1c dalam skrining, titik potong
konvensional sebesar 6% adalah ambang batas yang dapat diterima untuk diskriminasi
penderita diabetes dan non-penderita diabetes, meskipun 6,15% sedikit meningkatkan
keakuratan keseluruhan.10
Sebagian ahli beranggapan bahwa EBM merubah kebiasaan para dokter untuk
menilai sebuah artikel dari membaca abstraknya saja, menjadi suatu kebiasaan
menelaah secara kritis suatu artikel untuk kepentingan pasien dan dengan sendirinya
memperluas basis pengetahuan dokter tersebut.
Kesimpulan
EBM merupakan suatu pendekatan medis yang didasarkan pada bukti-bukti ilmiah
terkini untuk keperluan pelayanan kesehatan penderita. Dan EBM mengintegrasikan
tiga faktor yaitu : (1) Bukti – bukti ilmiah yang berasal dari studi yang terpercaya (best
research evidence), (2) Keahlian klinis ( clinical expertise), (3) Nilai- nilai yang ada
pada masyarakat ( patient values) EBM bertujuan mengembalikan fokus perhatian
dokter dari pelayanan medis berorientasi penyakit ke pelayanan medis berorientasi
pasien
DAFTAR PUSTAKA
1. SackettDL,StrausSE,RichardsonWS,RosenbergWM.Evidencebasedmedicine: how to
practice and teach EBM. 2nd ed. Toronto: ChurchillLivingstone; 2000.
2. Scott JG, Cohen D, DiCicco-Bloom B, Miller WL, Stange KC, Crabtree BF.
Understanding healing relationships in primary care. Ann Fam Med; 2008.h.315-322.
3. WHO. The World Health Report 2008. Primary health care: Now more thanever. World
Health Organization: Geneve. http://www.who.int/whr/2008/whr08_en.pdf. Diakses 26
Desember2010.
10
10
10
10