Anda di halaman 1dari 15

Evidence Based Medicine

Critical Appraisal
“A Comparison of HbA1c and Fasting Blood Sugar Tests in General
Population”

Silma Yuniarty Rammang


102014037, D2
Mahasiswi Semester 7 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat Korespondensi: Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11510
silma.2014fk037@civitas.ukrida.ac.id

Prinsip penyelesaian masalah dengan prinsip EBM

Banyak kalangan yang tidak mengetahui bahwa evidence-based medicine


sesungguhnya merupakan istilah baru penerapan epidemiologi klinik dalam pelayanan
pasien. Epidemiologi klinik adalah penerapan prinsip epidemiologi populasi untuk
pelayanan klinis pasien. Epidemiologi klinik merupakan ilmu yang berasal dari dua
disiplin induk yaitu kedokteran klinis (clinical medicine) dan epidemiologi
(epidemiology).1
Disebut clinical karena epidemiologi klinik bertujuan membantu klinisi untuk
membuat keputusan klinis dengan lebih baik untuk pelayanan pasien, menyangkut diagnosis,
kausa, prognosis, terapi, maupun pencegahan. Epidemiologi klinik disebut epidemiology
karena semua prinsip, konsep, dan metode yang digunakan untuk membuat keputusan klinis
pasien diadopsi dari prinsip, konsep dan metode kuantitatif epidemiologi populasi.1
Pada tahun 1996 Sackett dan para pakar epidemiologi klinik pada McMaster
University mendefinsikan EBM "the conscientious, explicit and judicious use of current
best evidence in making decisions about the care of the individual patient. It means
integrating individual clinical expertise with the best available external clinical evidence
from systematic research" – EBM adalah penggunaan bukti terbaik saat ini dengan hati-
hati, jelas, dan bijak, untuk pengambilan keputusan pelayanan individu pasien. EBM
memadukan keterampilan klinis dengan bukti klinis eksternal terbaik yang tersedia dari
riset”.2
Pada tahun 2000 Sackett et al. (2000) mendefinisikan EBM: “the integration of
best research evidence with clinical expertise and patient values” – EBM adalah integrasi
bukti-bukti riset terbaik dengan keterampilan klinis dan nilai-nilai pasien. Ketiga elemen
itu disebut triad EBM.3

Bukti klinis terbaik


yang tersedia

klinis pasien
yang lebih baik

Keterampilan klinis Nilai-nilai dan


ekspektasi
Gambar 1 Triad EBM

1.Tujuan EBM

EBM bertujuan membantu klinisi memberikan pelayanan medis yang lebih baik
agar diperoleh hasil klinis (clinical outcome) yang optimal bagi pasien, dengan cara
memadukan bukti terbaik yang ada, keterampilan klinis, dan nilai- nilai pasien. Dua
strategi digunakan untuk merealisasi tujuan EBM. Pertama, EBM mengembangkan
sistem pengambilan keputusan klinis berbasis bukti terbaik, yaitu bukti dari riset yang
menggunakan metodologi yang benar. Metodologi yang benar diperoleh dari penggunaan
prinsip, konsep, dan metode kuantitatif epidemiologi. Praktik klinis EBM
memberdayakan klinisi sehingga klinisi memiliki pandangan yang independen dalam
membuat keputusan klinis, dan bersikap kritis terhadap klaim dan kontroversi di bidang
kedokteran. Bukti ilmiah terbaik yang ada perlu dipadukan dengan keterampilan/
keahlian klinis dokter. Keterampilan klinis diperoleh secara akumulatif seorang klinisi
melalui pendidikan, pengalaman klinis, dan praktik klinis. Keterampilan klinisi yang
tinggi diwujudkan dalam berbagai bentuk, khususnya penentuan diagnosis yang lebih
akurat dan efisien, pemilihan terapi yang lebih bijak, yang memperhatikan preferensi
pasien.4
Pengalaman dan keterampilan klinis dokter merupakan komplemen penting bagi
bukti- bukti, yang diperlukan untuk menghasilkan pelayanan medis yang efektif. Tetapi
penggunaan pengalaman dan keterampilan klinis saja tidak menjamin pelayanan medis
yang dapat diandalkan. Paradigma baru EBM mengajarkan, pembuatan keputusan klinis
yang baik tidak cukup jika hanya didasarkan pada pengalaman klinis yang tidak
sistematis, intuisi, maupun alasan patofisiologi, khususnya jika masalah klinis pasien
yang dihadapi kompleks.
EBM mengembalikan fokus perhatian dokter dari pelayanan medis berorientasi penyakit
ke pelayanan medis berorientasi pasien (patient-centered medical care). EBM bertujuan
meletakkan kembali pasien sebagai principal atau pusat pelayanan medis. EBM
mengembalikan fokus perhatian bahwa tujuan sesungguhnya pelayanan medis adalah
untuk membantu pasien hidup lebih panjang, lebih sehat, lebih produktif, dengan
kehidupan yang bebas dari gejala ketidaknyamanan.4
Implikasi dari re-orientasi praktik kedokteran tersebut, bukti-bukti yang dicari
dalam EBM bukan bukti-bukti yang berorientasi penyakit (Disease-Oriented Evidence,
DOE), melainkan bukti yang berorientasi pasien (Patient-Oriented Evidence that
Matters, POEM). Praktik EBM menuntut dokter untuk mengambil keputusan medis
bersama pasien (shared decision making), dengan memperhatikan preferensi,
keprihatinan, nilai-nilai, ekspektasi, dan keunikan biologis individu pasien. Sistem nilai
pasien meliputi pertimbangan biaya, keyakinan agama dan moral pasien, dan otonomi
pasien, dalam menentukan pilihan yang terbaik bagi dirinya. Bukti klinis eksternal bisa
memberikan informasi tentang pilihan yang lebih baik untuk suatu terapi, tetapi tidak bisa
menggantikan hak pasien, sistem nilai pasien, preferensi pasien, dan harapan pasien,
tentang cara yang baik untuk mengatasi masalah klinis pasien. Alasan rasional, bukti
eksternal yang terbaik yang dihasilkan riset merupakan inferensi yang bersifat umum di
tingkat populasi. Karena bersifat umum maka bukti tersebut tidak bisa mengabaikan
keunikan masing-masing individu pasien ketika sebuah tes diagnostik atau terapi akan
diterapkan pada masing-masing individu pasien.4

Dua alasan utama diperlukan EBM sebagai berikut. Pertama, jumlah publikasi
medis tumbuh sangat cepat, sehingga para dokter dan mahasiswa kedokteran
kewalahan untuk mengidentifikasi bukti yang relevan, berguna, dan dapat
dipercaya (Del Mar et al., 2004). Suatu intervensi diagnostik maupun terapetik yang
efektif dalam memberikan perbaikan klinis kepada pasien bisa pada saat yang sama
mengandung risiko kerugian dan biaya bagi pasien. Para dokter dan tenaga kesehatan
profesional lainnya perlu mengasah keterampilan untuk memilah dan memilih bukti-
bukti terbaik yang bisa memberikan informasi yang relevan dan terpercaya, dengan cara
yang efektif, produktif, dan efisien (cepat). 5
Pada saat yang sama para ahli epidemiologi mengembangkan strategi untuk
menemukan, mengevaluasi, dan menilai kritis tes diagnostik, terapi, dan aplikasi lainnya,
untuk mendukung praktik EBM. Metode EBM memudahkan para dokter untuk
mendapatkan informasi kedokteran yang dapat dipercaya dari database primer dan
sekunder. Kegiatan EBM meliputi proses mencari dan menyeleksi bukti dari artikel hasil
riset, menganalisis dan menilai bukti, dan menerapkan bukti kepada pasien.5

Kedua, melunturnya “trust” (kepercayaan) masyarakat terhadap integritas


pelayanan kedokteran dan praktisi yang memberikan pelayanan medis. Muncul
keprihatinan para stakeholders tentang mutu pelayanan kesehatan. Menurut WHO
mengemukakan lima masalah serius pelayanan kesehatan di dunia: (1) inverse care; (2)
impoverishing care; (3) fragmented care; (4) unsafe care; (5) misdirected care.
Berbagai masalah tersebut mencakup penggunaan prosedur diagnostik yang tidak
memiliki nilai informasi, terapi yang tidak efektif, biaya pelayanan kesehatan yang tinggi,
pelayanan berkualitas rendah, kesalahan dalam praktik medis (medical error), pelayanan
medis yang tidak manusiawi, pengambilan keputusan klinis tanpa dasar bukti ilmiah riset
yang kuat. Berbagai masalah tersebut sebagian besar bisa diatasi jika dokter menerapkan prinsip
EBM. Perdefinisi EBM merupakan pendekatan baru dalam memberikan pelayanan kesehatan,
terdiri atas trilogi: (1) penggunaan bukti-bukti ilmiah terbaik, (2) keterampilan klinis, dan (3)
pemenuhan nilai dan ekspektasi pasien. Hasil penelitian menunjukkan, pendekatan EBM dapat
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan mencegah kesalahan medis.6

Sebuah strategi yang efisien untuk menerapkan EBM adalah strategi ―push and
pull. Dengan ―PUSH (JUST IN CASE) dimaksudkan, bukti-bukti riset terbaik tentang
masalah klinis pasien yang sering atau banyak dijumpai di tempat praktik secara proaktif
dicari dan dipelajari SEBELUM pasien mengunjungi praktik klinis, lalu bukti-bukti
tersebut disimpan ke dalam file atau memori dokter. Dengan ―PULL‖ (JUST IN TIME)
dimaksudkan, bukti- bukti riset terbaik yang tersimpan dalam file atau memori dokter
―ditarik, diambil, dan digunakan KETIKA pasien mengunjungi praktik klinis. Intinya,
praktik EBM terdiri atas lima langkah (Tabel 1).7
Tabel 1 Lima langkah Evidence-Based Medicine
Langkah 1 Rumuskan pertanyaan klinis tentang pasien, terdiri atas empat

Langkah 2 komponen: Patient, Intervention,


Temukan bukti-bukti Comparison,
yang bisa menjawab dan Outcome
pertanyaan itu. Salah
satu sumber database yang efisien untuk mencapai tujuan itu
Langkah 3 Lakukan penilaian
adalah PubMed kritis
Clinical apakah bukti-bukti benar (valid),
Queries.
penting (importance), dan dapat diterapkan di tempat praktik
Langkah 4 Terapkan bukti-bukti kepada pasien. Integrasikan hasil penilaian
(applicability)
kritis dengan keterampilan klinis dokter, dan situasi unik biologi,
Langkah 5 Lakukan
nilai-nilaievaluasi dan perbaiki
dan harapan pasien efektivitas dan efisiensi dalam
menerapkan keempat langkah tersebut

Kelima langkah EBM bisa disingkat ―5A: asking, acquiring, appraising, applying,
assessing.

Langkah 1: Merumuskan pertanyaan klinis

BACKGROUND QUESTIONS. Ketika seorang dokter memberikan pelayanan


medis kepada pasien hampir selalu timbul pertanyaan di dalam benaknya tentang
diagnosis, kausa, prognosis, maupun terapi yang akan diberikan kepada pasien. Sebagian
dari pertanyaan itu cukup sederhana atau merupakan pertanyaan rutin yang mudah
dijawab, disebut pertanyaan latar belakang (background questions).8 Contoh
pertanyaan klinis yang mudah dijawab/ background questions sesuai kasus pada
skenario:

(1) Apakah tanda-tanda klinis pada diabetes melitus?

(2) Apakah penyebab dari diabetes melitus?

(3) Apa saja pemeriksaan penunjang yang di butuhkan


untuk mendiagnosis diabetes melitus?

(4) Bagaimana patofisiologi dari penyakit diabetes melitus?

(5) Apakah kontra-indikasi pemberian metformin?

Pertanyaan latar belakang dikemukakan untuk memperoleh pengetahuan medis


yang bersifat umum yang lazim dikemukakan oleh mahasiswa kedokteran, misalnya
fisiologi dan pato-fisiologi penyakit. Bagi kebanyakan dokter praktik, pertanyaan latar
belakang mudah dijawab dengan menggunakan pengetahuan yang diperoleh dari
pendidikan dokter, pengalaman praktik klinis, mengikuti seminar, continuing medical
education (CME), membuka buku teks, ataupun membaca kajian pustaka.

FOREGROUND QUESTIONS. Banyak pertanyaan klinis lainnya yang sulit


dijawab, yang tidak memadai untuk dijawab hanya berdasarkan pengalaman, membaca
buku teks, atau mengikuti seminar. Pertanyaan yang sulit dijawab disebut pertanyaan
latar depan (foreground questions).8 Pertanyaan latar depan bertujuan untuk
memperoleh informasi spesifik yang dibutuhkan untuk membuat keputusan klinis.
Contoh pertanyaan klinis yang sulit dijawab/ foreground questions sesuai kasus pada
skenario :
1. Manakah yang lebih baik, pemeriksaan gula darah puasa atau HbA1C untuk
mengidentifikasi diabetes melitus?

Pertanyaan latar depan tentang keakuratan diagnosis, kebenaran kausa, keakuratan


prognosis, efektivitas dan kerugian terapi, tidak memadai dan tidak dibenarkan jika
diperoleh jawabnya hanya berdasarkan mengikuti seminar, membaca tinjauan pustaka
dan buku teks. Pertanyaan latar depan memerlukan upaya yang lebih sistematis untuk
menjawabnya, dengan menggunakan bukti-bukti dari sumber database hasil riset yang
otoritatif dan terpercaya kebenarannya. Jawaban yang benar atas pertanyaan latar depan
memerlukan keterampilan dokter untuk menilai kritis kualitas bukti hasil riset.8

 Klasifikasi masalah ilmiah secara PICO (Problem/patient, Intervention,


Comparison Group, Outcome)
Agar jawaban yang benar atas pertanyaan klinis latar depan bisa diperoleh dari database,
maka pertanyaan itu perlu dirumuskan dengan spesifik, dengan struktur terdiri atas empat
komponen, disingkat PICO :

1. Patient and problem


2. Intervention
3. Comparison
4. Outcome

Pada skenario, seorang pria berusia 40 tahun datang ke Rumah Sakit dengan
keluhan banyak makan, banyak minum dan banyak kencing. Berat badan (BB) pasien
diketahui juga menurun walaupun nafsu makan biasa. Pasien ingin mengetahui apakah
diagnosis pasien diabetes atau tidak dan ingin bertanya apakah pemeriksaan yang lebih
baik gula darah puasa atau HbA1c. Pertanyaan klinis yang baik dirumuskan dengan
spesifik sebagai berikut, “Manakah yang lebih baik, pemeriksaan gula darah puasa
atau HbA1C untuk mengidentifikasi diabetes melitus?”

Patient and problem


Pertanyaan klinis perlu mendeskripsikan dengan jelas karakteristik pasien dan
masalah klinis pasien yang dihadapi pada praktik klinis. Karakteristik pasien dan
masalahnya perlu dideskripsikan dengan eksplisit agar bukti-bukti yang dicari dari
database hasil riset relevan dengan masalah pasien dan dapat diterapkan, yaitu bukti-
bukti yang berasal dari riset yang menggunakan sampel pasien dengan karakteristik
serupa dengan pasien/ populasi pasien yang datang pada praktik klinik.9

Keserupaan antara karakteristik demografis, morbiditas, klinis, dari sampel


penelitian dan pasien yang datang pada praktik klinik penting untuk diperhatikan, karena
mempengaruhi kemampuan penerapan bukti-bukti (applicability). Jika karakteristik
kedua populasi berbeda, maka bukti-bukti yang dicari tidak dapat diterapkan, atau dapat
diterapkan dengan pertimbangan yang hati-hati dan bijak (conscientious and judicious
judgment). Masalah klinis yang dihadapi dokter dan perlu dijawab dengan metode EBM
perlu dirumuskan dengan jelas apakah mengenai kausa/ etiologi penyakit pasien, akurasi
tes diagnostik, manfaat terapi, kerugian (harm) dari terapi, atau prognosis.9
Intervention

Pertanyaan klinis perlu menyebutkan dengan spesifik intervensi yang ingin


diketahui manfaat klinisnya. Intervensi diagnostik mencakup tes skrining, tes/ alat/
prosedur diagnostik, dan biomarker. Intervensi terapetik meliputi terapi obat, vaksin,
prosedur bedah, konseling, penyuluhan kesehatan, upaya rehabilitatif, intervensi medis
dan pelayanan kesehatan lainnya.9
Tetapi intervensi yang dirumuskan dalam pertanyaan klinis bisa juga merupakan paparan
(exposure) suatu faktor yang diduga merupakan faktor risiko/ etiologi/ kausa yang
mempengaruhi terjadinya penyakit/ masalah kesehataan pada pasien. Intervensi bisa juga
merupakan faktor prognostik yang mempengaruhi terjadinya akibat-akibat penyakit,
seperti kematian, komplikasi, kecacatan, dan sebagainya (bad outcome) pada pasien.9

Comparison

Prinsipnya, secara metodologis untuk dapat menarik kesimpulan tentang manfaat


suatu tes diagnostik, maka akurasi tes diagnostik itu perlu dibandingkan dengan
keberadaan penyakit yang sesungguhnya, tes diagnostik yang lebih akurat yang disebut
rujukan standar (standar emas), atau tes diagnostik lainnya. Hanya dengan melakukan
perbandingan maka dapat disimpulkan apakah tes diagnostik tersebut bermanfaat atau
tidak bermanfaat untuk dilakukan. Sebagai contoh, jika hasil tes diagnostik mendekati
keberadaan penyakit yang sesungguhnya, atau mendekati hasil tes diagnostik standar
emas, maka tes diagnostik tersebut memiliki akurasi yang baik, sehingga bermanfaat untuk
dilakukan.9

Demikian pula untuk menarik kesimpulan tentang efektivitas terapi, maka hasil dari
pemberian terapi perlu dibandingkan dengan hasil tanpa terapi. Jika terapi memberikan
perbaikan klinis pada pasien, tetapi pasien tanpa terapi juga menunjukkan perbaikan
klinis yang sama, suatu keadaan yang disebut ‗efek plasebo‘, maka terapi tersebut tidak
efektif.9

Pembanding yang digunakan tidak harus tanpa intervensi (―do nothing‖) ataupun
plasebo. Pembanding bisa juga merupakan intervensi alternatif atau terapi standar yang
digunakan selama ini (―status quo‖). Jenis pembanding yang digunakan sangat penting
untuk dicermati karena sangat mempengaruhi kesimpulan dan penerapan temuan. Contoh,
sebuah terapi baru mungkin memberikan perbaikan klinis cukup besar dan secara statistik
signifikan ketika dibandingkan dengan tanpa terapi. Dinyatakan dalam ukuran efek terapi
yang disebut NNT (number needed to treat), terapi baru mungkin memiliki NNT cukup
rendah sehingga cukup efektif dibandingkan dengan plasebo. Tetapi terapi baru
sesungguhnya tidak memberikan perbaikan inkremental klinis dengan cukup besar dan
secara statistik tidak signifikan jika dibandingkan dengan terapi standar. Jika efek terapi
dinyatakan dalam NNT, terapi baru mungkin memiliki NNT yang tidak cukup kecil untuk
bisa disebut efektif jika dibandingkan dengan terapi lama (standar). Bila dalam aspek
kerugian (harm, adverse events) serta biaya yang diakibatkan oleh terapi baru dan terapi
standar sama, maka tidak ada alasan untuk menyimpulkan terapi baru lebih baik daripada
terapi standar.9
Outcome

Efektivitas intervensi diukur berdasarkan perubahan pada hasil klinis (clinical outcome).
Konsisten dengan triad EBM, EBM memandang penting hasil akhir yang berorientasi
pasien (patient-oriented outcome) dari sebuah intervensi medis (Shaugnessy dan
Slawson, 1997). Patient-oriented outcome dapat diringkas menjadi ―3D‖: (1) Death; (2)
Disability; dan (3) Discomfort. Intervensi medis seharusnya bertujuan untuk mencegah
kematian dini, mencegah kecacatan, dan mengurangi ketidaknyamanan.9

1. Death. Death (kematian) merupakan sebuah hasil buruk (bad outcome) jika
terjadi dini atau tidak tepat waktunya. Contoh, balita yang mati akibat dehidrasi
pasca diare, kematian mendadak (sudden death) yang dialami laki-laki usia 50
tahun pasca serangan jantung, merupakan kematian dini yang seharusnya bisa
dicegah.9
2. Disability. Disability (kecacatan) adalah ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas sehari-hari di rumah, di tempat bekerja, melakukan aktivitas sosial, atau
melakukan rekreasi. Contoh, kebutaan karena retinopati diabetik pada pasien
diabetes melitus, hemiplegi pasca serangan stroke, merupakan kecacatan yang
seharusnya bisa dihindari. Kecacatan mempengaruhi kualitas hidup pasien, diukur
dengan QALY (quality-adjusted life year), DALY (disability-adjusted life year),
HYE (healthy years equivalent), dan sebagainya.9
3. Discomfort. Discomfort (ketidaknyamanan) merupakan gejala-gejala seperti
nyeri, mual, sesak, gatal, telinga berdenging, cemas, paranoia, dan aneka gejala
lainnya yang mengganggu kenyamanan kehidupan normal manusia, dan
menyebabkan penderitaan fisik dan/ atau psikis manusia. Contoh, dispnea pada
pasien dengan asma atau kanker paru, merupakan ketidaknyamanan yang
menurut ekspektasi pasien penting, yang lebih penting untuk diatasi daripada
gambaran hasil laboratorium yang ditunjukkan tentang penyakit itu sendiri.
Ketidaknyamanan merupakan bagian dari kualitas hidup pasien. 9
 Melakukan telusur ilmiah yang sesuai dengan prinsip EBM
EBM dapat diartikan sebagai pemanfaatan bukti ilmiah secara seksama, ekplisit dan
bijaksana dalam pengambilan keputusan tatalaksana pasien. artinya mengintegrasikan
kemampuan klinis individu dengan bukti ilmiah yang terbaik yang diperoleh dengan
penelusuran informasi secara sistematis. Bukti ilmiah itu tidak dapat menetapkan
kesimpulan sendiri, melainkan membantu menunjang penatalaksanaan pasien. integrasi
penuh dari ketiga komponen ini dalam proses pengambilan keputusan akan
meningkatkan probabilitas untuk mendapatkan hasil pelayanan yang optimal dan
kualitas hidup yang lebih baik.10

 Melakukan critical appraisal singkat pada jurnal


Kemampuan menelaah secara kritis terhadap suatu artikel dengan tata cara tertentu
sudah dikenal sejak lama, namun EMB memperkenalkan tata cara telaah kritis
menggunakan lembar kerja yang spesifik untuk tiap jenis penelitian (diagnostik, terapi,
prognosis, metaanalisis, pedoman pelayanan medic dll). Tiga hal penting merupakan
patokan telaah kritis, yaitu (1) validitas penelitian, yang dapat dinilai dari metodologi /
bahan dan cara, (2) pentingnya hasil penelitian yang dapat dilihat dari bagian hasil
penelitian, serta (3) aplikabilitas hasil penelitian tersebut pada lingkungan kita, yang
dapat dinilai dari bagian diskusi artikel tersebut.10

Contoh jurnal dengan judul “Perbandingan Uji Gula Darah HbA1c dan Puasa pada
Populasi Umum” Penelitian ini menggunakan metode berbasis populasi cross-sectional
dilakukan di kota Jerman. Jumlahnya adalah 604 orang. HbA1c dan FBS diuji.
Hubungan antara HbA1c dan FBS juga sensitivitas, spesifisitas dan nilai prediktif
dalam mendeteksi nilai abnormal satu sama lain ditentukan. Hasil penelitian kami
menunjukkan bahwa hubungan HbA1c dengan FBS relatif kuat terutama pada subjek
diabetes. Umumnya, FBS adalah prediktor HbA1c yang lebih akurat dibandingkan
dengan HbA1c sebagai prediktor FBS. Meskipun titik potong optimum HbA1c> 6,15%,
ketepatannya sebanding dengan titik potong konvensional HbA1c> 6%. Koefisien
korelasi Pearson FBS dan HbA1c adalah 0,74 (P <.001); Namun, koefisien korelasi ini
secara signifikan lebih besar pada mereka yang memiliki FBS> 126 mg / dl (r = 0,73, n
= 79 versus r = 0,23, n = 525, P <0,001). Berdasarkan temuan ini, dibuat model
hubungan kedua variabel ini dan juga sensitivitas dan spesifisitasnya yang
dikelompokkan oleh FBS karena pola asosiasi yang berbeda pada subjek diabetes dan
non-diabetes. Dalam analisis univariat, hubungan antara FBS dan HbA1c dengan
variabel seks, BMI dan usia signifikan (P <0,001) hanya pada penderita diabetes.
Namun, analisis tersebut tidak signifikan dalam analisis multivariat. Koefisien regresi
kasar dan adjusted dari FBS dalam prediksi HbA1c lebih besar pada sub kelompok
FBS> 126 mg / dl dibandingkan dengan mereka yang memiliki FBS normal (koefisien
kasar: 0,18 versus 0,13, koefisien yang disesuaikan: 0,18 berbanding 0,09) yang berarti
bahwa FBS bisa memprediksi HbA1c pada penderita diabetes lebih tepat. Demikian
pula, koefisien regresi HbA1c mentah dan disesuaikan dalam prediksi FBS lebih besar
pada sub kelompok FBS> 126 mg / dl dibandingkan dengan mereka yang memiliki
koefisien FBS normal (koefisien kasar: 2,91 melawan 0,38, koefisien yang disesuaikan:
2,89 vs 0,27) yang berarti bahwa HbA1c dapat memprediksi FBS pada penderita
diabetes lebih tepat. Berdasarkan titik cutoff konvensional sebesar 6%, sensitivitas,
spesifisitas, nilai prediksi positif dan nilai prediksi negatif HbA1c dalam prediksi FBS>
126 mg / dl masing-masing adalah 86%, 78%, 36%, dan 97%. HbA1c> 6 meningkatkan
kemungkinan penderita diabetes hampir sebesar 23% (pre-test = 13% sampai post-test =
36%), sementara HbA1c≤6 meningkatkan kemungkinan non-diabetes sebesar 10% (dari
87% menjadi 97%) . Kesimpulan penelitian pada jurnal ini yaitu, FBS terdengar lebih
handal untuk membedakan penderita diabetes dari non-penderita diabetes. Namun,
bagaimanapun juga, seseorang ingin menggunakan HbA1c dalam skrining, titik potong
konvensional sebesar 6% adalah ambang batas yang dapat diterima untuk diskriminasi
penderita diabetes dan non-penderita diabetes, meskipun 6,15% sedikit meningkatkan
keakuratan keseluruhan.10
Sebagian ahli beranggapan bahwa EBM merubah kebiasaan para dokter untuk
menilai sebuah artikel dari membaca abstraknya saja, menjadi suatu kebiasaan
menelaah secara kritis suatu artikel untuk kepentingan pasien dan dengan sendirinya
memperluas basis pengetahuan dokter tersebut.

Kesimpulan
EBM merupakan suatu pendekatan medis yang didasarkan pada bukti-bukti ilmiah
terkini untuk keperluan pelayanan kesehatan penderita. Dan EBM mengintegrasikan
tiga faktor yaitu : (1) Bukti – bukti ilmiah yang berasal dari studi yang terpercaya (best
research evidence), (2) Keahlian klinis ( clinical expertise), (3) Nilai- nilai yang ada
pada masyarakat ( patient values) EBM bertujuan mengembalikan fokus perhatian
dokter dari pelayanan medis berorientasi penyakit ke pelayanan medis berorientasi
pasien
DAFTAR PUSTAKA

1. SackettDL,StrausSE,RichardsonWS,RosenbergWM.Evidencebasedmedicine: how to
practice and teach EBM. 2nd ed. Toronto: ChurchillLivingstone; 2000.

2. Scott JG, Cohen D, DiCicco-Bloom B, Miller WL, Stange KC, Crabtree BF.
Understanding healing relationships in primary care. Ann Fam Med; 2008.h.315-322.

3. WHO. The World Health Report 2008. Primary health care: Now more thanever. World
Health Organization: Geneve. http://www.who.int/whr/2008/whr08_en.pdf. Diakses 26
Desember2010.

4. Straus SE, Richardson WS, Glasziou P, Haynes RB. Evidence-based medicine:


howtopracticeandteachEBM.Edisiketiga.Edinburgh:ChurchillLivingstone; 2005.

5. Murti B. Pengantar evidence-based medicine. Surakarta: Fakultas Kedokteran


Universitas SebelasMaret; 2010.h.7-
6. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6.
Jakarta: EGC; 2006. h.1260.
7. Halin SL, Iskandar I, Edward H, Kosasih R, Sudiono H. Kimia klinik. Edisi ke-2.
Jakarta:Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Ukrida;2013.h.60.
8. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jakarta: InternaPublishing;2015.h.2326.
9. Hamzah C.Telaah kritis, pemahaman data dan interpretasi. Solo:UNS press; 2008. H.163-
5.
10. Ghazanfari Z, Haghdoost AA, Alizadeh SM, Atapour J, Zolala F. A Comparison of HbA1c
and Fasting Blood Sugar Tests in General Population. Kerman: Int J Prev Med; 2010
Summer; 1(3); h.187-194.

10
10
10
10

Anda mungkin juga menyukai