Maksila
Maksila
I. Pendahuluan
Tumor adalah jaringan baru (neoplasma) yang timbul dalam tubuh akibat pengaruh
berbagai faktor penyebab dan menyebabkan jaringan setempat pada tingkat gen dan
adanya kehilangan kendali normal atas pertumbuhannya. Istilah neoplasma pada dasarnya
memiliki makna sama dengan tumor. Keganasan merujuk kepada segala penyakit yang
ditandai hiperplasia sel ganas, termasuk berbagai tumor ganas dan leukemia. Tumor
dapat dibagi menjadi tumor odontogenik dan non-odontogenik. Tumor odontogenik
adalah neoplasma yang melibatkan jaringan perkembangan gigi. Tumor odontogenik
dibagi lagi menjadi tumor yang berasal dari ektodermal, mesodermal, dan campuran
mesio-ektodermal. Sedangkan tumor non-odontogenik dibagi menjadi tumor osteogenik
tumor jaringan vaskuler, dan tumor jaringan syaraf. Pertumbuhan tumor tersebut dapat
terjadi dimana saja, salah satunya pada daerah rahang, yang disebut dengan tumor
rahang.
Rahang tersusun atas banyak jaringan, yaitu tulang, otot, kelenjar, dan mukosa, oleh
karena itu setiap jaringan tersebut rentan untuk terjadi pertumbuhan yang abnormal.
Terkadang terdapat kerancuan dalam mendiagnosa tumor yang terjadi pada pasien. Untuk
menghindari kesalahan dalam mendiagnosis serta penatalaksanaan kasus tumor jinak dan
ganas, diperlukan pemahaman lebih lanjut mengenai perbedaan setiap tumor yang ada
pada daerah rahang.
II. ANATOMI
Maksila dibentuk oleh tulang maksila dan palatum, yang merupakan tulang terbesar
setelah mandibula (rahang bawah). Masing-masing maksila mempunya bagian:
1. Corpus : yang berbentuk pyramid dengan 4 permukaan dinding:
a. Facies orbitalis yang ikut membentuk dasar cavum orbi
b. Facies nasalis yang ikut membentuk dinding lateral cavum nasi
c. Facies infra temporalis yang menghadap postero-lateral
d. Facies anterior.
2. Processus : ada 4 proscessus yaitu
a. Proc. Frontalis yang bersendi dengan os. Frontale, nasal dan lacrimale
b. Proc. Zygomaticus yang bersendi dengan os. Zygomaticus
c. Proc. Alveolaris yang ditempati akar gigi
d. Proc. Palatines yang memisahkan cavum nasi dengan cavum oris.
IV. Klasifikasi
Klasifikasi tumor odontogenik regio rahang:
A. Tumor jinak. (Kramer, Pindborg, Shear-1992)
a. Tumor odontogenik epithelium : hanya melibatkan jaringan epitel
odontogenik tanpa partisipasi odontogenik ektomesenkimal.
1. Ameloblastoma
- Tumor jinak epitel yang bersifat infiltratif, tumbuh lambat, diawali
dengan asimptomatik, tidak berkapsul, berdiferensiasi baik. Berasal
dari lamina dentalis atau unsur-unsurnya. Kasus tumor ini terjadi
lebih banyak di rahang bawah, khususnya di daerah posterior dan
ramus, dibandingkan dengan maksila dengan perbandingan 5:1
- Gambaran radiologi: unilocular atau multilocular radioluscent dalam
berbagai bentuk dan ukuran, yang biasa disebut sebagai soap bubble
atau honeycomb-like appearance.
3. Odontogenic myxoma
Tumor ini lebih sering pada wanita berusia 10-30 tahun. Tumor ini biasa
berhubungan dengan kelainan congenital atau gigi yang tidak tererupsi.
Pertumbuhan tumor ini lambat, dapat atau tidak disertai dengan nyeri,
pergeseran gigi, ulserasi, parestesia. Tumor ini dipercaya berasal dari
periodontal ligament. Dapat menyerang daerah maxillary sebesar 25%
kasus. Predileksi: posterior mandibular. Gambaran: batas tidak jelas,
jellylike tumor (myxoid)
4. Squamous odontogenic tumour
- Tumor ini adalah sebuah proliferasi neoplasma dari epitel
odontogenik, kemungkinan berasal dari sisa-sisa Malassez dalam
PDL dari permukaan lateral gigi yang terupsi.
- Lokasi yang paling sering yaitu di maxillary incisor-canine dan
mandibular molar. Biasa lesi asimptomatik namun terkadang
menyebabkan nyeri ringan, tidak nyaman, atau gangguan mobilitas
gigi.
- Gambaran radiologi: semicircular atau triangular radiolucent dengan
sklerotik atau berbatas tegas,
5. Tumor odontogenik adenomatoid
- Tumor ini paling sering menyerang pasien wanita berusia dibawah
30 tahun. Tumor ini jinak dan tidak infasif. Tumor tumbuh dari sisa
odontogenik epithelium. Tumor biasa terdapat pada maxilla yang
melibatkan caninus dan premolar. Pertumbuhan tumor lambat namun
akan berlanjut menginfiltrasi tulang untuk menggantikan gigi.
- Biasanya tanpa gejala dan seringkali ditemukan ketika melakukan
pemeriksaan radiografi rutin. Tumor tersebut tampak berbatas,
unilokular radiolucent (fine calcified deposit).
Tumor Ganas
a. Odontogenic carcinomas:
- Metastasizing ameloblastoma: ameloblasatoma yang bermetastase
terlepas dari gambaran histologi yang jinak. Tumor ini tidak
memiliki gejala khas. Predileksi metastasis ameloblastoma adalah
pada pulmo. Diagnosis tumor ini adalah sama seperti ameloblastoma
dengan tambahan gejala metastasis ke tempat lain (paling sering:
paru)
- Ameloblastic carcinoma – tipe primer: keganasan yang sangat jarang
yang menkombinasikan fitur histologi dari ameloblastoma dengan
sitologik yang atipikal. Predileksi di mandibular. Karakteristik
histologisnya ditandai dengan adanya sel-sel ganas dengan
kombinasi gambaran histologis dari ameloblastoma.
- Ameloblastic carcinoma – tipe sekunder (Ca ex intraosseous
ameloblastoma): karsinoma yang tumbuh dari lokasi yang
sebelumnya ameloblastoma jinak. Gejalanya adalah sama seperti
ameloblastoma yang ditandai dengan gejala lanjutan yang mengarah
ke keganasan. Predileksi di mandibular.
A. Jinak :
a. Osteogenic neoplasma : cemento-ossifying fibroma
Tumor yang karakteristiknya menggantikan tulang normal dengan
jaringan fibrosa dan material cementum-like.Tumor ini tidak menimbulkan
nyeri dan pertumbuhan lambat. Tumor ini biasa pada orang berumur 30-40
tahunan dan lebih banyak pada wanita. Tempat paling sering ditemui di
mandibular dan region premolar-molar
b. Non-neoplastic bone lesion
i. Fibrous dysplasia
Tumor yang ditandai dengan perkembangan kondisi tumor-like dan
bercirikan tergantinya tulang normal dengan jaringan fibrosa yang
berlebihan bercampur dengan tulang trabecular yang tak beraturan.
Tumor ini bersifat unilateral, progresif lambat dalam pembesarannya
dan menjadikan fasial asimetris, sakit yang sangat cepat berkembang,
obstruksi nasal, dan exophthalmos.
Pada gambaran radiologi terlihat ground glass appearance pada stage
matur
b. Burkitt’s Lymphoma
iv. Burkitt’s lymphoma adalah suatu keganasan dari non-Hodgkin’s B-
cell limfoma yang dapat terjadi pada beberapa kasus tumor rahang.
Burkitt’s limfoma muncul karena adanya aktivasi dari onkogen c-myc
melalui resiprokal translokasi kromosom (8:14). Lebih dari 95% kasus
kasus tersebut berhubungan dengan Epstein-Barr virus dan selain itu
berhubungan dengan pasien infeksi HIV. Pada kasus endemic
(biasanya Africa), limfoma ini menyerang anak-anak dimana puncak
usia adalah 3-8 tahun. Keikutsertaan rahang adalah masalah yang
umum dan berhubungan dengan usia dimana 90% dari pasien berusia
kurang dari 3 tahun dan 25% berusia lebih dari 15 tahun. Limfoma ini
lebih sering menyerang daerah maksila daripada mandibula. Pada
kasus sporadic (Amerika), biasanya menyerang usia 10-12 tahun dan
lebih sering melibatkan mandibula daripada maksila.
v. Lesi pada rahang oleh karena Burkitt’s limfoma berkembang dengan
cepat dan tampak sebagai pembengkakan wajah atau massa eksofitik.
Tumor ini dapat memengaruhi mobilitas dari gigi, nyeri yang
berlebihan, dan paresthesia.
vi. Gambaran radiografi: adanya proses osteolitik yang tidak beraturan
dan batas tidak jelas.
vii. Menurut fakta, tumor ini memiliki proliferasi yang sangat tinggi dari
semua neoplasma manusia.
viii. Apabila tidak diobati, akan menyebabkan kematian dalam waktu 4-6
bulan sejak terdiagnosa.
c. Ewing’s sarcoma
ix. Ewing’s sarcoma adalah tumor dari kelompok primitive
neuroektodermal. Tumor ini disebabkan oleh translokasi kromosal
yang terdeteksi dari 85% kasus.
x. Biasanya tumor ini menyerang tulang ekstremitas bawah dan pelvis,
akan tetapi dapat menyerang daerah rahang dengan presentase kurang
dari 3%. Pada daerah rahang, lokasi yang paling sering adalah
posterior dari mandibula dimana maksila sangat jarang.
xi. Gambaran radiografi: proses osteolitik yang irregular dengan batas
tidak tegas. Dapat dilihat adanya pergeseran gigi dan resorpsi akar.
xii. Tumor ini bertumbuh dengan cepat dan destruksi tulang yang hebat
serta sangat berprospek untuk metastasis terutama di tulang dan paru-
paru (15% kasus).
V. Patofisiologi
Riwayat alami dari infeksi odontogenik biasanya dimulai dengan terjadinya
kematian pulpa, invasi bakteri dan perluasan proses infeksi ke arah periapikal. Terjadinya
keradangan yang terlokalisir (osteitis periapikal kronis) atau abses periapikal akut,
(penghancuran jaringan dengan pembentukan eksudat purulent) tergantung dari virulensi
kuman, dan efektivitas pertahanan hospes. Kerusakan pada ligamentum periodontium
bisa memberikan kemungkinan masuknya bakteri dan akhirnya terjadi abses periodontal
akut. Apabila gigi tidak erupsi sempurna, mukosa yang menutupi sebagian gigi tersebut
mengakibatkan terperangkap dan terkumpulnya bakteri dan debris, sehingga
mengakibatkan abses perikoronal. Dengan pertahanan tubuh hospes yang efektif atau
terapi yang benar, suatu infeksi akut bisa dikurangi menjadi subakut atau kronis, dapat
bertahan seperti itu atau akhirnya sembuh. Durasi yang lama dan sifat kronis hampir
sinonim dan mengandung makna bahwa keseimbangan hospes/pathogen mengalami
gangguan. Indicator klinis utama pada jaringan lunak sehubungan dengan kekronisan
adalah terbentuknya jaringan granulasi dan terjadinya fistulasi yang bisa mendrainase
daerah yang mengalami infeksi kronis.
Bila terdapat keganasan pada sinus maxillaris, maka lesi yang paling sering adalah
karsinoma, dan daerah yang terkena atau terlibat biasanya adalah pada infrastruktur sinus.
Perluasan lesi ini pada prosesus alveolaris menyebabkan penyebaran dan timbulnya lesi
pada gingiva (berupa ulserasi) dan kegoyangan gigi. Keganasan yang timbul pada
prosesus alveolaris maksila juga dapat melibatkan antrum. Keganasan sinus maxillaris
yang mengenai orbita atau fossa infratemporalis merupakan keadaan yang sering
ditemukan.
Penyebaran tumor maxilla adalah melalui local infiltrasi yaitu menyebar secara
sentrifugal dalam jaringan lunak tetapi akan berubah ketika sudah mengenai tulang.
Apabila sudah mengenai tulang, penyebaran dapat melalui:
VII. Diagnosa
Hal yang terpenting dalam penanganan kelainan odontogenik adalah anamnesa yang
lengkap dan melalui pemeriksaan fisik. Perlu ditanyakan mengenai sakitnya, gigi
yang lepas, masalah gigi terakhir, keterlambatan erupsi gigi, pembengkakan,
dysthesia, atau adanya perdarahan intraoral (biasa berhubungan dengan tumor atau
kista odontogenik). Gejala-gejala seperti paresthesia, trismus, dan maloklusi yang
tampak dapat mengindikasikan suatu proses keganasan. Onset serta lama dari
perkembangan dari massa sangat diperlukan.
Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan kepala dan leher secara general
yang harus mencakup inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi pada bagian rahang
dan gigi yang terlibat secara teliti.
Pemeriksaan radiologi (rontgen foto dan CT scan) sangat berperan penting dan
biasanya merupakan pilihan prosedur utama dalam mengevaluasi tumor atau kista
pada rahang. Setelah itu, untuk menyingkirkan diagnose banding, diperlukan
identifikasi histopatologi dari lesi tersebut yaitu dengan menggunakan fine needle
aspiration biopsy (FNAB).
VIII. Tatalaksana
A. Drainage/Debridement
Drainage adekuat (seperti nasoantral window) seharusnya dibuka pada pasien dengan
sinusitis sekunder dan pada pasien yang mendapat terapi radiasi sebagai pengobatan
primer.
B. Resection
Surgical resection selalu direkomendasikan dengan tujuan kuratif. Palliative excision
dipertimbangkan untuk mengurangi nyeri yang parah, untuk dekompresi cepat dari
struktur-struktur vital, atau untuk debulking lesi massif, atau untuk membebaskan
penderita dari rasa malu. Pembedahan merupakan penatalaksanaan tunggal untuk tumor
maligna traktus sinonasal dengan angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 19% hingga
86%.
Dengan kemajuan-kemajuan terbaru dalam preoperative imaging, intraoperative image-
guidance system, endoscopic instrumentation dan material untuk hemostasis, teknik
sinonasal untuk mengangkat tumor nasal dan sinus paranasal mungkin merupakan
alternatif yang dapat dilakukan untuk traditional open technique. Pendekatan endoskopik
dapat dipakai untuk melihat tumor dalam rongga nasal, etmoid, sfenoid, medial frontal
dan sinus maksilaris medial. Frozen section harus digunakan untuk melihat batas bebas
tumor.
C. Pendekatan bedah lainnya
o Endoskopi
o Transoral / transpalatal
o Midfacial degloving terdiri dari 3 langkah: bilateral maxillary vestibular
approach dan diseksi subperiosteal; insisi sirkular dari nasal; buka bagian
hidung, radix nasal, dan daerah ethmoid.
o Weber-Ferguson (lateral rhinotomy)
o Gabungan pendekatan kraniofasial
D. Rehabilitasi
Tujuan utama rehabilitasi post operasi adalah penyembuhan luka primer, memelihara atau
rekonstruksi bentuk wajah dan pemulihan oronasal yang terpisah kemudian
memperlancar proses bicara dan menelan. Rehabilitasi setelah reseksi pembedahan dapat
dicapai dengan dental prosthesis atau reconstructive flap seperti flap otot temporalis
dengan atau tanpa inklusi tulang kranial, pedicled atau microvascular free myocutaneous
dan cutaneous flap.
E. Terapi Radiasi
Radiasi digunakan sebagai metode tunggal untuk membantu pembedahan atau
sebagai terapi paliatif. Radiasi post operasi dapat mengontrol secara lokal tetapi
tidak menyebabkan kelangsungan hidup spesifik atau absolut. Sel-sel tumor yang
sedikit dapat dibunuh, pinggir tumor non radiasi dapat dibatasi sepanjang
pembedahan dan penyembuhan luka post operasi lebih dapat diperkirakan
F. Kemoterapi
Peran kemoterapi untuk pengobatan tumor traktus sinonasal biasanya paliatif,
penggunaan efek cytoreductive untuk mengurangi rasa nyeri dan penyumbatan, atau
untuk mengecilkan lesi eksternal massif. Penggunaan cisplatin intrarterial dosis
tinggi dapat digunakan secara bersamaan dengan radiasi pada pasien dengan
karsinoma sinus paranasal. Angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 53%. Pasien
yang menunjukkan resiko pembedahan yang buruk dan yang menolak untuk
dilakukan operasi dipertimbangkan untuk mendapatkan kombinasi radiasi dan
kemoterapi
Cisplatin dan 5flurouracil dapat diberikan bersama dengan radioterapi. Pengobatan ini
sering dipakai dalam kasus-kasus lanjutan keganasan yang melibatkan rahang atas sinus.
* Jika tumor terbatas pada bagian inferior rahang atas yang kondisi paling baik dikelola
dengan maxillectomy parsial diikuti oleh radiasi. Sedangkan tumor yang melibatkan
seluruh rahang atas dapat dikelola dengan total maxillectomy diikuti oleh
radiasi. Keterlibatan orbita dapat dikelola dengan menggabungkan exenteration orbital
bersama dengan total maxillectomy.
Apabila tumor rahang memanjang sampai fossa infratemporal dapat dikelola
dengan diperpanjang maxillectomy menggunakan teknik Barbosa dengan menambahkan
sayatan lateral dalam lipatan gingivobuccal mandibula dari gigi taring ke daerah
retromolar (Maxillectomy dikombinasikan dengan condylectomy dan reseksi piring
pterygoideus dan otot-otot yang melekat padanya). Diseksi leher dapat terpaksa
dilakukan apabila terdapat keterlibatan nodus leher.
DAFTAR PUSTAKA
1. Neville, Brad W. et al. Oral and Maxillofacial Pathology (3rd Ed.). UK: Elsevier. 2009
2. Odontogenic and Non-odontogenic Tumour. (2014, Apr 2). Retrieved from:
http://www.jaypeedigital.com/books/9788180616372/Chapter%20wise%20Pdf/10155/Ch
apter-13_Odontogenic%20and%20Non-odontogenic%20Tumors.pdf
3. Pedersen, Gordon W. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut (Oral Surgery) / Gordon W.
Pedersen, alih bahasa, Purwanto, Basoeseno; editor. Lilian Yuwono – Jakarta: EGC,
1996.
4. Pogrel, A. & Schmidt, B. Clinical Pathology: Odontogenic and Nonodontogenic Tumors
of the Jaws. Retrieved from:
https://www.us.elsevierhealth.com/media/us/samplechapters/9780443100536/978044310
0536.pdf