Anda di halaman 1dari 5

Esai ini berangkat dari dua pertanyaan.

Pertama, apa peran yang diberikan ASEAN


kepada mahasiswa di dalam Masyarakat ASEAN? Kedua, apa pengaruh dari peran
yang demikian kepada mahasiswa dan masyarakat Asia Tenggara? Dalam esai ini,
hubungan antara ASEAN dengan mahasiswa dilihat sebagai hubungan antara
sistem politik dengan pemuda-pemuda yang akan meregenerasi sistem tersebut.
Mahasiswa didefinisikan sebagai pemuda yang tengah mengenyam pendidikan
tinggi. Umumnya, sistem politik akan menggunakan pemudanya untuk dua tujuan.
Pertama, pemuda digunakan untuk memenuhi tujuan-tujuan sistem politik. Kedua,
pemuda diharapkan menjadi pewaris dari nilai-nilai yang sudah mapan di dalam
sistem tersebut; yang umumnya direpresentasikan oleh nilai-nilai generasi tua.
Tetapi, kekuatan (power) yang dimiliki sistem politik dan pemuda tidaklah sama.
Pemuda umumnya berada dalam posisi lebih lemah. Imbasnya, peran pemuda,
pada awalnya, adalah peran yang diberikan oleh sistem politik dan bukan peran
yang mereka bangun sendiri. Dalam perkembangannya, peran yang diberikan
sistem bisa saja diterima, ditolak atau dimodifikasi oleh pemuda.

Esai ini berargumen bahwa ada dua peran yang diberikan ASEAN pada pemuda.
Pertama, ASEAN menginginkan agar pemuda kelak menjadi tenaga kerja yang
terampil sehingga mampu meningkatkan daya saing ASEAN di perekonomian
global. Kedua, ASEAN juga mengingkan agar pemuda dapat menjadi aktivis sosial
yang melindungi kaum marjinal. Meski demikian, ASEAN tidak memberikan
perhatian yang sama kepada dua peran pemuda ini. Berdasarkan pembacaan
terhadap teks-teks ASEAN, esai ini berargumen bahwa peran pertama lebih
diperhatikan ASEAN daripada peran kedua. Pilihan ASEAN ini memiliki resiko tinggi.
Sebab, dengan demikian, masyarakat sipil di ASEAN terancam dilemahkan. Jika hal
itu terjadi, maka kontrol terhadap negara akan melemah. Partisipasi masyarakat juga
terbatas. Bagi ASEAN sendiri, hal itu akan menggagalkan visi ASEAN sebagai
organisasi regional yang people-centered.

Untuk membuktikan argumen ini, esai ini, pertama-tama, akan menyajikan gambaran
pandangan ASEAN terhadap mahasiswa dan pemuda. Kedua, pandangan itu akan
diproblematisasi. Ketiga, esai ini berusaha merumuskan sikap terhadap pandangan
tersebut. Di titik itu, esai ini berusaha keluar dari konstruksi peran yang diberikan
ASEAN dan berusaha merumuskan peran apa yang semestinya diambil dan
diciptakan oleh mahasiswa dan pemuda Indonesia.

Mahasiswa dalam perspektif ASEAN

Pandangan ASEAN terhadap pemuda harus dibaca dalam kaitannya dengan


harapan ASEAN terhadap masa depannya sendiri. Harapan-harapan ASEAN ini
dapat dilihat dalam ASEAN Charter. Konstitusi ASEAN ini berbicara mengenai
gambaran ideal Masyarakat ASEAN (ASEAN Community) yang diharapkan oleh
ASEAN. Pertama, ASEAN berusaha menciptakan Asia Tenggara yang damai, stabil,
dan bebas dari ancaman yang berasal dari luar maupun dalam Asia Tenggara.
Kedua, ASEAN ingin membangun Asia Tenggara yang sejahtera. Ketiga, ASEAN
berusaha memperkuat demokrasi, perlindungan HAM, pelestarian lingkungan,
partisipasi masyarakat, dan pembangunan identitas bersama ASEAN (community-
building).

Lantas, bagaimana posisi mahasiswa dan pemuda di dalam masa depan Asia
Tenggara itu? Pertama, generasi muda ASEAN harus memiliki pemahaman
terhadap nilai-nilai perdamaian dan demokrasi. Kedua, generasi muda harus merasa
menjadi bagian dari ASEAN.. Ketiga, generasi muda perlu dibekali pengetahuan dan
keterampilan agar menjadi angkatan kerja yang baik dan produktif. Keempat,
generasi muda harus menjadi generasi yang aktif menjadi sukarelawan, khususnya
di bidang operasi kemanusiaan seperti bencana alam dan usaha peningkatan
kesadaran terhadap ASEAN di masyarakat.

Pandangan-pandangan di atas diambil dari dokumen-dokumen kunci yang


merupakan turunan dari ASEAN Charter yang terbit pada 2008 atau setelahnya.
Meski demikian, akan menjadi sebuah kekeliruan jika pandangan yang hadir dalam
dokumen itu dianggap muncul begitu saja. Pandangan ASEAN terhadap pemuda di
atas jusru merupakan hasil dari proses yang panjang.

Proses ini setidaknya dapat diamati sejak lahirnya Declaration of Principles to


Strengthening ASEAN Collaboration on Youth di Bangkok pada tahun 1983 hingga
kemunculan Manila Declaration on Strengthening Participation in Sustainable Youth
Employment pada tahun 2003. Declaration of Principles to Strengthening ASEAN
Collaboration on Youth tahun 1983 merupakan salah satu dokumen paling awal
ASEAN yang membahas pemuda. Dokumen ini, meskipun tidak secara jelas
memaparkan relevansi pemuda+ bagi ASEAN, menyatakan bahwa pengembangan
pemuda adalah hal yang penting bagi ASEAN. Alasan di balik pentingnya
pengembangan pemuda baru dipaparkan secara jelas dalam Kuala Lumpur Agenda
on ASEAN Youth Development tahun 1997. Menurut ASEAN, pemuda perlu
dikembangkan karena pemuda merupakan bagian besar dari populasi Asia
Tenggara. Oleh karena itu, pemuda dapat dimanfaatkan untuk mendukung tujuan-
tujuan ASEAN.

Sejak 1983 hingga 2003, ada dua dokumen yang paling penting, yaitu Yangon 2000
Declaration on Preparing ASEAN Youth for the Challenges of Globalisation (2000)
dan Manila Declaration on Strengthening Participation in Sustainable Youth
Employment (2003). Kedua dokumen ini bicara hal yang sama, yaitu tentang
bagaimana semestinya hubungan antara pemuda dengan globalisasi. Sejak
pertemuan di Kuala Lumpur tahun 1997, ASEAN secara resmi telah menempatkan
globalisasi sebagai masalah utama yang harus diperhatikan dalam membicarakan
pemuda.

Deklarasi Yangon dan Deklarasi Manila, meskipun bicara topik yang sama, memiliki
cara pandang yang cukup berbeda. Deklarasi Yangon berbicara tentang dua tugas
pemuda. Pertama, pemuda bertugas melakukan aktivisme sosial. Dengan pilihan
kata yang sangat eksplisit, ASEAN mendorong pemuda untuk membela kaum yang
rentan dan termarjinalisasi, serta menyebarluaskan nilai-nilai ASEAN. Pemuda
diharapkan turun hingga ke akar rumput dan menjalin kerjasama dengan berbagai
organisasi serta LSM. Kedua, ASEAN berusaha membekali pemuda dengan
keterampilan dan pengetahuan sehingga pemuda bisa menyesuaikan diri dengan
perekonomian global.

Deklarasi Manila mengambil pendekatan berbeda. Sejak awal, Deklarasi Manila


mempostulatkan bahwa masalah globalisasi adalah masalah pengangguran. Oleh
karena itu, berbeda dengan Deklarasi Yangon, Deklarasi Manila banyak berbicara
tentang pengembangan keterampilan dan pembibitan jiwa kewirausahaan. Institusi
pendidikan diminta untuk aktif dalam usaha-usaha ini. Aktivisme pemuda masih
disinggung dalam Deklarasi Manila. Tetapi, aktivisme dilihat dengan cara yang amat
berbeda. Menurut Deklarasi Manila, aktivisme pemuda hanyalah pelengkap bagi
kebijakan negara. Dengan kata lain, ASEAN mengeliminasi kemungkinan bahwa
aktivisme bisa menjadi oposisi bagi kebijakan negara. ASEAN tak melihat
kemungkinan itu.

Dengan demikian, ada tendensi tertentu dalam cara ASEAN memandang pemuda.
Sejak 1983, gagasan bahwa pemuda adalah pekerja masa depan___dan oleh
karena itu harus didesain agar memiliki daya saing___adalah gagasan yang tak
pernah hilang. Seiring dengan waktu, gagasan ini justru jadi begitu dominan.
Sementara itu, gagasan bahwa pemuda adalah aktivis sosial relatif menjadi gagasan
marjinal. Tidak seperti gagasan mengenai pemuda sebagai pekerja yang sudah ada
sejak dokumen 1983, gagasan pemuda sebagai aktivis baru memperoleh sedikit
ruang di ASEAN pada tahun 1997 ketika Deklarasi Kuala Lumpur menyinggung
pentingnya semangat voluntarisme. Gagasan ini memperoleh ruang yang besar
pada pertemuan tahun 2000 di Yangon dan kembali redup tiga tahun kemudian di
Manila.

Hal ini menjelaskan mengapa dalam cetak-biru Masyarakat ASEAN 2015, aktivisme
pemuda relatif jarang disinggung. Melanjutkan semangat Deklarasi Manila, aktivisme
pemuda dalam Masyarakat ASEAN, idealnya, menurut ASEAN, hanya menjadi
pelengkap kebijakan negara. Oleh karena itu, aktivisme pemuda dalam Masyarakat
ASEAN akan didukung oleh ASEAN sejauh aktivisme itu dilakukan untuk aksi
humanitarian seperti penanganan bencana alam dan sosialisasi ASEAN kepada
masyarakat. Keduanya adalah aktivisme yang semata-mata melengkapi negara.

Komitmen ASEAN untuk mengalokasikan sumber dayanya bagi pengembangan


keterampilan pemuda jauh lebih besar. ASEAN bahkan mengarahkan institusi-
institusi pendidikan untuk berperan aktif dalam membekali pemuda dengan
keterampilan-keterampilan. Pandangan ini menjadi dominan karena, seperti yang
disebutkan Deklarasi Manila, masalah globalisasi adalah masalah pengangguran.
Kesimpulan ini berbeda jauh dengan, misalnya, tendensi Deklarasi Kuala Lumpur
yang cenderung melihat masalah globalisasi sebagai masalah benturan nilai Barat
dengan moralitas dan spiritualitas Timur.

Masalah dalam pandangan ASEAN

Esai ini telah menunjukkan bahwa ASEAN memiliki kecenderungan untuk


mengutamakan gagasan pemuda sebagai pekerja di atas gagasan pemuda sebagai
aktivis. Implikasinya, sumber daya yang dimiliki ASEAN tidak diarahkan untuk
menciptakan aktivisme pemuda di luar koridor yang dikehendaki ASEAN. Bagian ini
berusaha menunjukkan bahwa tendensi ASEAN yang demikian bersifat problematis.

Pandangan ASEAN yang demikian akan menjadi bermasalah jika pandangan


tersebut dibenturkan dengan realitas ASEAN maupun negara anggotanya. Pertama,
tidak seluruh negara anggota ASEAN merupakan negara yang demokratis. Negara-
negara di Asia Tenggara masih berkutat dengan masalah seperti pelanggaran HAM
dan diskriminasi minoritas. Diskriminasi yang disponsori negara, misalnya, terjadi
terhadap etnis Rohingya di Myanmar dan Pattani di Thailand. Sentimen rasial secara
terbuka sering dijadikan bahan kampanye di Malaysia. Kasus pelanggaran HAM di
Indonesia belum juga berhasil dituntaskan meskipun Indonesia termasuk salah satu
negara paling demokratis di kawasan ini.

Kedua, ASEAN, sebagai organisasi internasional, tidak memiliki kemampuan untuk


menekan negara anggota yang bermasalah. ASEAN dibatasi oleh prinsip non-
intervensi yang melarang tiap negara untuk ikut campur dalam urusan domestik
negara lain. Dalam kasus diskriminasi Rohingya di Myanmar, ASEAN tidak dapat
melakukan tindakan serius. Keterlibatan Indonesia di Myanmar pun tidak dilakukan
dalam kapasitasnya sebagai negara ASEAN, melainkan sebagai anggota Organisasi
Konferensi Islam (OKI). Prinsip non-intervensi ini banyak dikritik karena
menyebabkan ASEAN tidak memiliki taring untuk berbuat sesuatu.

Ketiga, ASEAN memiliki tendensi elitis yang sangat kuat. ASEAN mengalami
fenomena yang disebut ‘defisit demokrasi’. Defisit demokrasi adalah kondisi dimana
keputusan diambil oleh elit tanpa melibatkan masyarakat. Imbasnya, ASEAN
bukanlah sesuatu yang ada di dalam pikiran masyarakat. ASEAN hanya menjadi
urusan elit politik pemimpin negara.

Ketiga poin di atas berusaha bicara tentang pentingnya keberadaan masyarakat


sipil. Poin pertama menyatakan bahwa negara di Asia Tenggara sering berada
dalam posisi ambigu terhadap ketidakadilan. Negara seringkali diam atau bahkan
menjadi penyokong ketidakadilan. Poin kedua berusaha menyampaikan bahwa
ASEAN, sebagai organisasi internasional, tidak memiliki taring untuk menekan
negara anggotanya. Ketiga, ASEAN punya kecenderungan untuk membatasi
partisipasi masyarakat. Ketika negara seringkali bermasalah dan tidak ada aktor
formal yang mampu menekannya, maka di saat itulah keberadaan masyarakat sipil
menjadi begitu vital. Tetapi, masyarakat sipil tak bisa lahir tanpa kesadaran politis.

Sayangnya, ASEAN tidak berusaha serius menyemai kesadaran politis itu di


kalangan pemuda. Padahal, di sejumlah negara, seperti Indonesia dan Filipina,
pemuda adalah elemen tradisional masyarakat sipil. Di Thailand, kampus juga
pernah menjadi poros pergerakan. Gerakan Bersih 1.0, 2.0 dan 3.0 di Malaysia
dapat menjadi contoh terbaru bahwa pemuda di Asia Tenggara dapat menjadi
kekuatan besar untuk mengontrol praktek negara. Akan tetapi, seperti yang telah
dibahas pada bagian dua, bagi ASEAN, pemuda dengan kesadaran kritis tidaklah
sama pentingnya dengan pemuda berketerampilan tinggi. Aktivisme pemuda,
merujuk Deklarasi Manila, sebenarnya tidak sepenuhnya dibutuhkan kecuali untuk
mempertajam kebijakan negara. Dalam Deklarasi Manila, ASEAN seolah menampik
kenyataan bahwa negara anggotanya masih diliputi berbagai masalah serius,
meskipun dalam Deklarasi Yangon, ASEAN secara implisit mengakui bahwa masih
ada kaum yang termarjinalisasi di dalam kawasannya.

Maka, kondisi apa yang berpotensi dihadapi Asia Tenggara di masa depan? Jika
keadaan ini berlanjut begitu saja, maka masyarakat Asia Tenggara beresiko
mengalami ketidakadilan tanpa ada ruang melawan balik. Namun, tidak ada alasan
untuk membiarkan keadaan itu terjadi.

Apa yang bisa kita lakukan?


Dalam Undang-Undang No. 40 tahun 2009, pemuda Indonesia memiliki dua tugas.
Pertama, pemuda dipersiapkan menjadi calon pekerja profesional. Kedua, pemuda
diharapkan menjadi agen yang mampu mengadvokasi kepentingan masyarakat di
sekitarnya. Sayangnya, sama seperti yang terjadi di ASEAN, dua tugas ini tidak
diberi perhatian yang sama oleh negara. Dalam Undang-Undang No. 12 tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi, universitas lebih menitikberatkan tugas pemuda sebagai
pekerja daripada sebagai aktivis. Berdasarkan undang-undang itu, kesadaran kritis
tidak disemai lewat kelas. Tugas mengembangkan kesadaran kritis diberikan kepada
organisasi mahasiswa.

Maka, pemuda di Indonesia dan, barangkali, pemuda di negara ASEAN lain


menghadapi kondisi yang sama: ASEAN dan negara-negara anggotanya
membutuhkan masyarakat sipil yang kuat untuk menjamin adanya kontrol terhadap
negara, tetapi, ASEAN dan negara__dalam konteks ini, Indonesia___tidak menaruh
perhatian yang besar terhadap pembangunan masyarakat sipil. Pemuda, baik
sebagai elemen masyarakat sipil maupun sebagai generasi masa depan, tidak
sungguh-sungguh dirancang untuk membela kaum yang rentan dan termarjinalisasi.

ASEAN dan negara memang lebih mendukung gagasan pemuda ideal tertentu di
atas gagasan yang lain. Tetapi, bukan berarti pemuda hanya bisa mengikuti opsi
yang disediakan. Pada akhirnya, pemudalah yang akan menentukan masa depan
seperti apa yang ia inginkan.

Masalah yang terdapat di ASEAN bukanlah bahwa pemuda dilarang menjadi


seorang aktivis. Pemuda hanya tidak didukung sistem politik untuk menjadi seorang
aktivis. Dengan kata lain, pemuda, jika ia berkehendak, hanya dituntut untuk
mengandalkan sumber daya dari aktor-aktor non-negara agar memiliki pengetahuan
dan keterampilan sebagai aktivis. Pemuda, di ranah ASEAN, dapat memanfaatkan
forum organisasi non-pemerintah se-Asia Tenggara seperti ASEAN People Forum
(APF) untuk menimba pengetahuan dan memperluas jejaring. Pada akhirnya,
keberanian dan komitmen pemuda untuk keluar dari konstruksi sosial yang
membatasi dirinya akan menjadi faktor yang menentukan. Tetapi, beranikah
mereka? Maukah mereka? Mengutip Pramoedya Ananta Toer, “Hanya angkatan
muda yang bisa menjawab”.

Anda mungkin juga menyukai