Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PEDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Gambar : Rumoh Beusoe dulu

Rumoh Beusoe dulu dan sekarang! Di bawah pohon sawo, Tuanku Manyak, duduk

bersila. Sesekali, pria 70 tahun itu menyedot dalam rokok kretek di tangannya. Mata tuanya

liar menatap sekeliling bangunan rumah pangung berdiameter 4×8 meter, yang ditempatinya.

Hari itu, ia seakan kembali menatap masa lalu. “Di sinilah berdiri Rumoh Beusoe (Rumah

Besi). Ini bekas pertapakan rumah Raja Idi, keluarga saya,” katanya pekan lalu. Rumah yang

ditempati Tuanku Manyak itu berada di Desa Keude Blang, Kecamatan Idi Rayeuk, Aceh

Timur. Warga di situ menyebutnya kawasan Lam Kuta atau kawasan raja. Berdiri di atas

tanah seluas dua kali lapangan bola, pohon-pohon kelapa menghiasi sekitar rumah. Tidak ada

yang istimewa dari rumah itu. Tak mirip bekas istana kerajaan. “Yang sekarang ini bukan

Rumoeh Beusoe, rumah itu dibongkar sekitar tahun 1975, dulu keluarga saya ribut-ribut soal

harta warisan, besi rumah dijual satu persatu oleh saudara tiri ibu saya,” sebutnya. Menurut

Tuanku Manyak, hampir seluruh bagian dari Rumoeh Beusoe terbuat dari besi. Tinggnya

mencapai lima meter. Selain tiang penyangga, siku rumah, kuda-kuda atap, tangga rumah itu

juga terbuat dari besi. Rumah tersebut menjadi istana Kerajaan Idi, sebelum kerajaan itu

runtuh, saat Belanda masuk menjajah. Dia mengisahkan, Rumoh Besoe dibangun saat

kerajaan Idi dipimpin oleh Tuanku Chik Bin Guci, sekitar tahun 1880-an. Saat itu, Idi yang

merupakan salah satu kawasan perdagangan di kawasan timur Aceh, banyak disinggahi para

1
pedagang dari berbagai belahan dunia untuk memburu hasil bumi. Tak terkecuali etnis

tionghoa. Pada suatu waktu, saudagar Tionghoa, menghadap Tuanku Chik Bin Guci. Sang

saudagar memohon agar diizinkan mendirikan Vihara sebagai tempat mereka beribadah.

“orang Cina itu sebelumnya menetap di Malaysia, karena dia punya usaha di Idi, akhirnya dia

menetap disini,” sebutnya. Raja mengabulkan permohonan itu. Syaratnya, mereka harus

membangun sebuah rumah dari besi untuk ditempati raja, serta membuat sebuah komplek

pekuburan kerajaan. Tak seperti Rumoh Beusoe yang tinggal cerita, vihara tionghoa masih

berdiri kokoh di pusat pasar Idi, sekitar dua kilometer dari Rumoh Beusoe. Memang, tak ada

lagi aroma asap dupa yang menusuk hidung. Bangunannya pun terlihat lusuh. Cat merah

yang membalut seluruh bagunan kini telah memudar. Tapi dua patung naga yang bertengger

di atap bangunan itu masih tampak garang. Mereka berdiri bak binatang penjaga Vihara

Murni Sakti. Meski dari luar terlihat sepi, ternyata vihara itu masih ada yang urus. Rudinyo,

salah satu pengelola vihara bilang, bangunan itu berdiri tahun 1888. Katanya, vihara itu salah

satu yang tertua di Sumatera. “Vihara ini sudah sekitar 10 tahun lebih tidak ada kegiatan,

kami sedang memperbaikinya kembali,” kata pria berusia 50 tahun. Menurut Rudinyo, Vihara

Murni Sakti merupakan simbol kerukunan beragama di Aceh. Etnis minoritas Tionghoa yang

memeluk agama Budha, ternyata bisa hidup berdampingan dengan warga Idi yang beragam

Islam. Vihara ini juga merupakan saksi sejarah etnis Tionghoa pernah berjaya di sana.

Umumnya mereka berprofesi sebagai pedagang. Petaka datang tahun 1998. Saat itu,

gelombang anti Tionghoa muncul di seantero negeri, tak terkecuali Idi. Aksi serupa juga

muncul di Panton Labu, Geudong dan Lhokseumawe. Kala itu, ratusan preman berpakaian

pramuka mengobrak-abrik tempat usaha warga Tionghoa. Harta benda mereka dihancurkan

dan dibakar. Vihara Murni Sakti juga tak luput dari aksi perusakan. Patung-patung Budha

satu persatu dirusak. Setelah peristiwa itu, Vihara tak lagi difungsikan. “Tapi itu konflik

politik, bukan agama,” ujar Rudiyanto. Setelah kejadian itu, hampir semua orang Tionghoa

2
angkat kaki dari Idi. Menurut Rudi, mereka pindah ke Jakarta, Batam dan Medan. “Mereka

takut dibunuh,” ujar pria yang akrab disapa Bing-Hoe itu. Rudi sendiri memilih tinggal di Idi.

Kini, dia bersama belasan warga Tionghoa yang masih tinggal di Idi berupaya menghidupkan

kembali vihara itu. Pembangunan kembali dimulai sejak 2009. Rencananya vihara akan

dirombak menjadi dua lantai. Namun, rencana itu batal karena diprotes tokoh agama

setempat. “Kami diminta mempertahankan bangunan lama, tidak membangun dua lantai.

Kami harus menyanggupi permintaan itu,” katanya. Rudi tak mempersoalkan pelarangan itu.

Ru
Gambar : rumoh Beuso Sekarang

Baginya, asal masih diperbolehkan beribadah di vihara saja sudah cukup. “Yang

penting kami masih bisa sembahyang disitu,” sebutnya. Apalagi, vihara itu hadir disana atas

persetujuan Raja Idi di masa lalu. Jika warga Tionghoa punya dana merawat peninggalan

nenek moyangnya, Tuanku Manyak hanya bisa mengurut dada. Tak sekalipun situs sejarah

peninggalan kerajaan Idi itu dipugar. Alih-alih dipugar, rumah bekas istana raja, malah dijual

seperti barang loakan. Meskipun tanpa Rumoeh Besoe, di komplek Kerajaan Idi masih

terdapat kuburan raja dan benteng kerajaaan. Sisa benteng itu terletak dibelakang komplek,

dekat aliran krueng Idi. Kondisinya juga tak kalah memprihatinkan. Benteng itu hampir

amblas akibat longsoran sungai yang tak pernah dibuatkan tanggul. “Kemarin itu ada anak-

anak mahasiswa yang bantu mengecat dinding kuburan, sebelumya tidak pernah,” katanya.

Kini, Tuanku Manyak mengawal lokasi komplek Kerajaan Idi itu sendirian. Dia adalah satu-

satunya keturunan raja Idi yang masih menetap di sana. Manyak adalah anak ketiga dari Cut

3
Nyak Fatimahsyam, putri tunggal dari Tuanku Chik bin Guci. Kakaknya yang pertama

bernama Cut Nyak Cek, kini telah meninggal. Abangnya, Tuanku Cut, juga telah meninggal

November tahun lalu. Mereka memilik adik kandung perempuan bernama Cut Nyak Puspa

yang kini menetap di Jakarta. Meski kekuasaan monarki raja Idi telah runtuh, warga Keude

Blang masih memperlakukan Tuanku Manyak sebagai orang yang dihormati. Saat ada warga

yang menggelar kenduri dan acara pesta kampung lainnya, rumah Tuanku Manyak pasti

kebanjiran makanan. Bahkan, setiap hari ada saja yang mengantar makanan untuknya.

“Orang kampung disini selalu mengantarkan kuah dan makanan untuk saya, mereka

semuanya yang menjaga saya” ujarnya. Tuanku Manyak pernah diajak adiknya menetap di

Jakarta. Tapi, ia menolak. Dia tak ingin membiarkan makam peninggalan keluarganya

terusik. Di sisa umurnya, Tuanku Manyak hanya punya satu harapan, ia ingin ada yang

menjaga dan merawat komplek peninggalan Kerajaan Idi

Anda mungkin juga menyukai