Anda di halaman 1dari 10

Sekolah air, gunung dan laut

Curah hujan di Indonesia terhitung tinggi dan karena itu selama musim hujan air melimpah di mana-
mana. Seiring dengan pembangunan, kelimpahan air itu semakin tampak dan mudah dilihat karena air
hujan yang jatuh tidak segara meresap ke bumi, melainkan tertahan oleh hamparan tembok semen atau
lapisan artifisial lain.

Karena itu, air berlarian kian-kemari dulu di permukaan tanah mencari saluran dan bagian-bagian yang
tak tertutup tembok. Waktu mencari saluran dan resapan inilah potensi banjir muncul.

Musim hujan lewat dan datang musim kemarau panjang. Sawah dan kebun mengering. Lahan-lahan
menjadi gersang. Air yang terlihat sangat melimpah selama musim hujan, seperti menghilang. Mereka
yang menggunakan air bawah tanah dengan mesin pompa penyedot, merasakan airnya berkurang dan
kerena itu harus menambah kedalaman pipa penyedotnya beberapa meter lagi.

Di beberapa kawasan, orang-orang harus membeli air untuk kebutuhan sehari-hari. Di kawasan
perdesaan, sungai dan danau surut. Orang-orang harus berjalan berkilo-kilometer menenteng ember
dan jerigan ke sumber-sumber air yang masih tersisa.

Keadaan ekstrem seperti di atas berulang setiap tahun dan nyaris tak ada perubahan. Air berlimpah jadi
bencana. Kekeringan bencana pula.

Sementara, wacana tentang penanggulangan banjir dan kekeringan sudah lebih dari cukup melalui
serentetan seminar, lokakarya dan penyusunan konsep-konsep. Namun dari semua itu sedikit sekali
yang mewujud menjadi tindakan. BNPB termasuk badan yang bergelut dengan konsep-konsep tentang
air dan berbagai masalahnya.

Sebagai direktur Pengurangan Risiko Bencana [PRB], saya terdorong untuk bergerak lebih jauh. Ide dan
gagasan tidak boleh berhenti sebagai kertas konsep semata, tapi harus sampai kepada kesadaran dan
tindakan bersama.

Sementara berpikir dan berinisiatif demikian, saya menemukan ternyata di kalangan masyarakat juga
sudah ada berbagai inisiatif bahkan aksi swadaya untuk mengurangi risiko bencana banjir dan
menjadikan kelimpahan air sebagai anugrah, bukan bencana. Saya kira kalau inisiatif masyarakat ini
dipadukan dengan Pemerintah, dalam hal ini BNPB, melalui aksi bersama, kekuatannya akan menjadi
berlipat ganda dan hasilnya akan lebih nyata.

Program Desa Tangguh Bencana BNPB menjadi media terbaik untuk memadukan kekuatan pemerintah
dan masyarakat dalam suatu sinergi. Semangat untuk mewujudkan hal ini juga terpicu oleh usulan saya
sendiri dalam Konverensi Dunia mengenai Pengurangan Risiko Bencana [WCDRR]. Mewakili Indonesia,
saya menyampaikan dua usulan. Pertama, pengurangan risiko bencana berdasarkan daerah aliran sungai
[Water Catchment Area-based Disaster Risk Reduction] dan pengurangan risiko bencana berdasarkan
kepulauan [Archipelagic Disaster Risk Reduction].
Pemaduan potensi itu saya wujudkan melalui Sekolah Gunung, Sungai dan Laut [SSGL], tahun 2016. Ini
wadah untuk masyarakat saling belajar dan berbagi pengetahuan tentang lingkungan alam masing-
masing dan bagaimana mengembangkan kehidupan yang harmonis dengannya. Warga yang tinggal di
sekitar gunung berapi mendapat pengetahuan tentang kegunungapian sehingga bisa mengenali,
mengakrabi sifat-sifat gunungberapi dan membangun kehidupan terhindar dari kerusakan dan
kehancuran.

Warga yang tinggal di tempat yang dialiri sungai mendapat pengetahuan tentang sungai; akrab dengan
sifat-sifatnya, sehingga bisa mengembangkan kehidupan yang terjalin selaras dengan sungai sekaligus
siap menghadapi ancaman banjir dan longsor.

Demikian pula dengan warga yang tinggal di kawasan pesisir. Mereka mendapat pengetahuan tentang
ekologi laut, pola-pola badai dan gelombang pasang, cuaca dan tsunami. Sebagai negara kepulauan,
dengan kota-kota kebanyakan terletak di pinggir laut, pengetahuan tentang kelautan dan gejala-gejala
alam yang terkait dengannya menjadi sangat relevan. Sedikitnya 500 kabupaten dan kota di Indonesia
terancam bencana.

Pendirian SSGL ini juga sejalan dengan semangat dunia. Melalui sidang umumnya, pada bulan
September 2015, PBB mencanangkan Agenda 2030 yang mencakup 17 capaian perbangunan
berkelanjutan [17 Sustainable Development Goals], yang antara lain mencantumkan Clean Water and
Sanitation [Air bersih dan sanitasi], Sustainable Cities and Communities [Kota dan komunitas
berkelanjutan], Climate Action [Aksi terhdap perubahan iklim] , Life Below Water [Hidupan di bawah air],
Life on Land [Hidupan di atas tanah], dan partnerships to achieve the Goal [kemitraan untuk mencapai
tujuan-tujuan tersebut].

Ketika buku ini ditulis, SSGL telah melahirkan ribuan relawan yang menyebar ke daerah-daerah lain di
Pulau Jawa. Beberapa di antara mereka mendirikan sekolah serupa dengan cakupan yang lebih khusus
dan segera menjadi pusat baru gerakan masyarakat.

Sungai adalah juga ‘ruang kelas’ untuk masyarakat belajar dan berusaha meningkatkan kualitas hidup
dengan jalan menghormat dan menghargai sungai. SSGL diikuti sedikitnya seribu peserta setiap tahun
dari 15 kabupaten dan kota dan telah melahirkan ribuan relawan yang menyebar jke daearh-daerah lain
di Pulau Jawa.

Sejumlah tantangan berat sudah menunggu para relawan lulusan sekolah itu. Tantangan pertama tentu
saja melihat keadaan umum sungai sekarang sudah berubah dari sumber penghidupan menjadi sumber
penyakit, kesusahan dan ketidaknyamanan. Banyak pabrik-pabrik membuang limbah mereka langsung
ke sungai tanpa proses pengolahan limbah terlebih dahulu. Hal ini diperburuk dengan budaya
masyarakat membuang sampah ke sungai.

Sungai yang padat oleh sampah mudah mampat bila volume air naik, apakah oleh hujan deras atau
aliran air dari daerah lain. Air menjadi meluap. Bukan saja menimbulkan banjir, tapi juga menyebarkan
berbagai penyebab penyakit.

SSGL melatih dan membekali calon fasilitator yang mampu menjaga, mengelola dan memanfaatkan
sumber daya air dan sungai secara bijaksana, sebagai bagian dari gerakan PRB.
Bencana hidrometeorologis cenderung meningkat antara 2002 – 2015, sejalan dengan perubahan iklim.
Meski bencana bersifat hidro-meteorologis, tapi penyebab utamanya adalah factor anthropogenic, yakni
akfitiftas manusia. Kerugian dari bencana hidro-meteorologis juga semakin meningkat, terutama dari
banjir dan kebakaran hutan.

Sampai sekarang, BNPB telah mendirikan 42 Sekolah Sungai untuk PRB, termasuk memfasilitasi
pelaksanaan sekolah sungai melalui pembentukan komunitas sungai dan aksi bersih-bersih sungai di 23
Kabupaten/Kota, antara lain Pacitan, Ngawi, Madiun, Kota Madiun, Gresik, Lamongan, Tuban, Ponorogo,
Bojonegoro, Magetan, Malang, Wonogiri, Boyolali, Kota Surakarta, Karanganyar, Klaten, Sukoharjo,
Bandung,Sumedang, Indramayu, Cianjur, Kota Cimahi, Parigi Moutong.

Mengedepankan penanganan sungai dalam usaha pengurangan risiko bencana di Indonesia sangat
strategis karena 90persen bencana di negeri ini adalah bersifat hidro-meteorologi, yang terkait dengan
musim dan air.

Sebagai wilayah bercurah hujan tinggi, pola hidup dan pengetahuan masyarakat pastilah menyesuaikan
diri dengannya. Pengetahuan tradisional masyarakat yang terkait dengan sungai, sumber air dan musim
penghujan pastilah telah terbentuk melalui pengalaman dan pembelajaran langsung dari generasi ke
generasi. Dan kenyataannya memang demikian. Saya menemukan orang-orang tertentu yang menjadi
agen pengetahual tradisional masyarakatnya di berbagai tempat.

Sekolah Air Hujan Banyu Bening


Salah satu agen pengetahuan tradisional itu saya temukan di Dusun Tempursari, Desa Sardonoharjo,
Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, persisnya di Sekolah Air Hujan Banyu Bening
[SAHBB]. Sekolah ini, yang dikelola oleh Komunitas Banyu Bening, telah berdiri sejak tahun 2012, sebagai
tempat belajar dan berbagi pengetahuan tentang tentang air hujan dan pemanfaatannya untuk
kebutuhan hidup sehari-hari.

Kini, besama BNPB, Sekolah Air Hujan Banyu Bening [SAHBB] menjadi salah satu pusat gerakan
normalisasi sungai pemanfaatan air hujan.

Proses pertumbuhan kesadaran masyarakat untuk sampai ke tingkat seperti itu berlangsung melalui
rentang waktu cukup lama dan pengalaman belajar yang keras – belajar dari pengalaman langsung.
Sebelum mengkhususkan diri ke pemanfaatan air hujan, Sri Wahyuningsih, adalah penggerak pelestarian
sungai di tempatnya, yakni Sungai Bojong. Ia harus menghadapi berbagai tekanan – mental dan fisik –
dalam perjuangannya menjaga kelestarian sungai Boyong dari ekspolitasi perusahaan penggali pasir.

Sementara Sri dan kawan-kawannya bekerja memelihara, sejumlah perusahaan mengekspolitasi


kawasan pinggir Sungai Bojong tanpa mengindahkan keberlangsungannya. Perusahaan itu melihat
kegiatan konservasi sungai ebagai ancaman. Karena itulah mereka berusaha menghentikan kegiatan
para pemeduli sungai itu.

Bersama komunitas dan warga masyarakat, Sri Wahyuningsih menanami kawasan pinggir Sungai Bojong
dan secara berkala membersihkannya dari sampah. Setelah beberapa lama, kawasan pinggir sungai
menjadi lebih hijau dan elok, sehingga memiliki daya tersendiri bagi anak-anak dan mereka yang ingin
memnikmati waktu luang. Paling tidak, sungai bukan lagi tempat yang perlu dihindari seperti
sebelumnya karena berbau tak sedap, dipadati sampah, dan sangat tak elok dipandang.

Orang dan komunitas seperti itulah yang saya sebut sebagai kampiun pengetahuan local. Mereka
berkemampuan mengurangsi risiko bencana di daerahnya masing-masing. Bila mereka berhimpun dan
berkolaborasi dengan BNPB, mereka bisa meningkatkan ketangguhan bangsa terhadap bencana.

SAHBB ternyata tidak sekedar menyebarkan pengetahuan dan kebijaksanaan tentang sumber-sumber
air, tapi juga mengoreksi, mengubah, cara bepikir dan kebiasaan yang sudah terbentuk tapi tak sejalan
dengan pelestarian sumber air dan alam sekeliling.

Siapa pun bisa menghadiri kelas reguler SAHBB setiap Sabtu dan Minggu, tanpa batasan usia dan tanpa
biaya. Dari serentetan hasil belajar di sekolah ini, masyarakat mengetahui bahwa air hujan, yang selama
ini terbuang sia-sia, memiliki berbagai manfaat yang bisa meningkatkan kualitas hidup, baik dalam
ekonomi, kesehatan, sosial. Setelah merlalui proses tertentu, air hujan bisa digunakan untuk mencuci,
memasak, sebagai air minum, bahkan sebagai obat untuk beberapa penyakit tertentu.

 Memanen air hujan


Dengan memisahkan unsur air basa dan asam [ph], air hujan bisa dimanfaatkan untuk berbagai
keperluan dengan aman. Pemisahan unsur itu dinamakan proses elektrolisa. Setelah netral dari unsur
asam dan basa, rekayasa selanjutnya adalah menambahkan asam atau basa sesuai keperluan. Dengan
mengurangi unsur ph, air hujan menjadi aman untuk diminum.

Bila unsur basa ditambahkan, air hujan menjadi penyubur tanah yang efektif dan juga obat untuk
jerawat, beberapa penyakit kulit, sakit gigi, sariawan bahkan migran. Dengan mengurangi unsur ph-nya,
air hujan bisa bermanfaat untuk perawatan kulit dan wajah.

Kandungan mineral yang relatif rendah pada air hujan menyebabkan dahaga tak mudah hilang bila
meminumnya, karena kandungan mineral yang rendah itu cepat habis diserap oleh tubuh. Dalam air
hujan ada kandungan vitamin B12, yang sangat baik untuk pencernaan dan memproduksi jaringan sel
baru.

Semakin banyak warga dusun tersebut mengonsumsi air hujan, tentu karena sudah mengalami khasiat
dan keamanannya. ‘Pembuktian’ keamanan dan layak-konsumsi air hujan ini memerlukan waktu
sedikitnya lima tahun, melalui penyadaran, pencerahan, dan penyebaran pengetahuan di Sekolah Air
Hujan Banyu Bening.

Sebetulnya, pengolahan air hujan sampai ke tahap layak konsumsi tak memerlukan waktu lama – hanya
sekitar delapan jam setelah air hujan ditampung.

Ketika hujan mulai turun, tidak bisa langsung ditampung, karena guyuran pertama masih membawa
berbagai zat pencemar udara. Setelah 15 menit, diperkirakan berbagai zat pencemar itu sudah terbawa
jatuh ke bumi dan karena itu air hujan menjadi relatif bersih. Hujan yang jatuh di atap-atap dialirkan
melaui talang lalu ke pipa menuju tong penampungan.

Dari tong penampung, air hujan kemudian mengalir menuju sumur yang berfungsi sebagai biopori,
berdiameter sekitar 100 sentimeter. Dari situlah proses elektrolisa mulai. Setelah sekitar delapan jam,
air hujan sudah berubah menjadi air layak konsumsi.
Tapi apa itu elektrolisis?

Elektrolisis air adalah penguraian larutan elektrolit oleh arus listrik. Reaksi kimia yang timbul kemudian
mengubah energi listrik menjadi energi kimia. Terurai pula unsur oksigen (O2) dan hidrogen gas (H2),
yang kemudian membentuk gelembung pada elektroda. Gelembung ini bisa dikumpulkan dan
menghasilkan hidrogen dan hidrogen peroksida, yang belakangan dimanfaatkan sebagai bahan bakar
kendaraan.

Dengan terurainya unsur hidrogen, diketahuilah derajat keasaman [pH], yang selanjutnya bisa
diturunkan atau dinaikkan sesuai kebutuhan. Kadar pH air minum yang dianjurkan adalah antara 6,5
sampai 8,5, sesuai standar Kementrian Kesehatan dan Enviromental Protection Agency [EPA], Amerika
Serikat. Air berkadar pH di atas 9 dinyatakan tidak aman untuk orang sehat, tapi baik untuk orang sakit
karena memiliki daya detoks yang tinggi.

 Indusri air minum Sleman


Bila semakin banyak warga masyarakat mengkonsumsi air hujan, bagaimana dengan kelangsungan
industri air minum? Termasuk usaha isi ulang yang semakin masuk ke perdesaan? Dalam hal ini berlaku
hukum pasar. Usaha apapun tidak boleh menutup hak masyarakat atas barang dan jasa. Usaha
pengolahan air minum tidak boleh menutup hak masyarakat atas sumber air dan pengusahaannya.

Usaha yang tidak lestari, apa boleh buat, terkena hukum alam. Industri air minum di Sleman pun
mengekspolitasi kawasan hulu, yang seharusnya bebas dari usaha dan budidaya apapun selain
perlindungan dan pelestarian. Kenyataannya, daerah hulu itu sudah menjadi konsesi-konsesi yang
diperjualbelikan.

Lagi pula, seperti disampaikan Sri, mereka hanya meraup laba. Usaha-usaha itu tidak memberi
sumbangsih kepada pelestarian kawasan hulu dan sumber-sumber air. Jadi, kalau usaha-usaha itu tutup,
itu hukum alam, karena mereka tidak bersedia melestarikan sumber daya alam yang mereka gunakan.

Pengawasan hukum terhadap depot-depot air minum isi ulang itu pun terhitung lemah. Banyak Depot
Air Minum Isi Ulang [DAMIU] di Sleman tak memenuhi kelayakan higienis yang ditetapkan Dinas
Kesehatan setempat. Menurut laporan TribunNews tanggal 13 November 2013, dari 126 unit usaha
DAMIU yang terdaftar, hanya 12 unit yang telah memenuhi syarat layak minum yang ditetapkan. Banyak
DAMIU yang tak memiliki sertifikat lolos uji layak konsumsi. Ini berarti hanya 9,5persen depot air minum
isi ulang di Kabupaten Sleman yang produknya layak dikonsumsi. Sisanya, 90,5persen, meragukan.

Orang yang mengonsumsi air yang tidak lolos higienis sanitasi rawan terkena penyakit diare dan tipus,
karena air yang tidak higienis biasanya tercemar barkteri dan berbagai zat polutan.

 Kebijakan Pemanfaatan Air Tanah Kabupaten Sleman

Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pemanfaatan Air Tanah memberikan
perlindungan hukum terhadap hak warga masyarakat atas air tanah. Perda No 13 tahun 2004 mengatur
perizinan pengambilan air tanah dengan tujuan menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan.
Undang-Undang No 4 Tahun 2014, yang mengatur pengelolaan air tanah, menjelaskan lebih banyak
tentang hal-hal yang berkaitan dengan air, antara lain air tanah, cekungan air tanah, mata air dan
akuifer. Menurut Perda itu, air tanah semua air yang terdapat pada, di atas ataupun di bawah
permukaan tanah.

Termasuk dalam air tanah adalah air hujan dan air laut yang berada di darat. Air tanah adalah air yang
terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. Sedangkan Cekungan air tanah
adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis
seperti pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah. Mata air adalah air tanah yang muncul atau
mengalir secara alamiah ke permukaan tanah pada suatu tempat.

Sedangkan akuifer adalah lapisan batuan jenuh air tanah yang dapat menyimpan dan meneruskan air
tanah dalam jumlah cukup dan ekonomis.

Menurut peraturan yang sama, pengelolaan air tanah dimaksudkan untuk mewujudkan kemanfaatan air
yang seimbang, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Pengelolaan air tanah diselenggarakan berlandaskan pada kebijakan dan strategi pelaksanaan
pengolahan air tanah berlandaskan keseimbangan antara upaya konservasi dan pendayagunaan air
tanah.

Peraturan itu juga menegaskan peran dan hak masyarakat atas air tanah secara rinci, termasuk
pemberdayaan, pengendalian, pembinaan dan pengawasan terhadap pemanfaatan air tanah, berikut
sanksi pidana-perdata.

Dalam peraturan pelaksanaannya, pasal 2 Perda No 4 Tahun 2014, disebutkan bahwa pengelolaan air
tanah diselenggarakan berdasarkan pada asas-asas a) kelestarian; b) keseimbangan; c) kemanfaatan; d)
keterpaduan dan keserasian; e) keadilan; f) kemandirian; dan g) transparansi dan akuntabilitas. Pasal 3
ayat (2) menyatakan bahwa pengelolaan air tanah bertujuan untuk mewujudkan kemanfaatan air yang
seimbang, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Cukup banyak kasus Izin Pemanfaatan Air Tanah tetap diberikan meski mendapat protes dari warga
setempat, bahkan ketika keberatan masyarakat tersebut mendapat dukungan dari ormas-ormas,
mahasiswa, LSM dan para akademisi yang menyediakan fakta ilmiah bahwa terjadi penyusutan air tanah
dan karena itu ekspolitasi lebih lanjut akan membahayakan.

Dalam konflik kepentingan dengan perusahaan, hak-hak masyarakat rawan terabaikan. Negara dengan
undang-undangnya hadir justru untuk melindungi hak-hak masyarakat. Namun hang sering terjadi
adalah pemihakan oleh negara atau pemerintah terhadap perusahaan. Semakin bersar dan kuat modal
perusahaan itu, semakin kuat pula pemihakan pemerintah.

Pada bulan Oktober 2014, Pemerintah Pusat memberlakukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah, yang mengatur zona konservasi air tanah pada cekungan air tanah,
penerbitan izin pengeboran, izin penggalian, izin pemakaian, dan izin pengusahaan air tanah serta
penetapan nilai perolehan air tanah dalam daerah provinsi menjadi kewenangan pemerintah daerah
provinsi. Dengan undang-undang ini, Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Pemanfaatan Air Tanah menjadi tidak berlaku dan pengelolaan air tanah diatur dengan Peraturan
Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Air Tanah.
Terlihat bahwa dari segi perundangan-undangan, hak-hak warga masyarakat atas air tanah di Kabupaten
Sleman sudah terlindungi. Namun dalam tingkat pelaksanaan undang-undang dan peraturan, hak-hak
tersebut masih terabaikan.

Komunitas Peduli Sungai Cimahi


Dampak dari Sekolah Sungai, Gunung dan Laut BNPB juga terlihat di Kota Cimahi, Jawa Barat. Ipi
Mupliana, seorang muntahan SSGL, mendirikan pula Sekolah Sungai dan Forum Pengurangan Risiko
Bencana [FPRB] Kota Cimahi yang kemudian segera menjadi pusat gerakan masyarakat memulihkan
Sungai Cimahi.

Gerakan pemulihan sungai itu antara lain berbentuk kerjabakti berkala membersihkan Sungai Cimahi
dari sampah dan menanami pohon di sejumlah titik, dengan titik utama Kelurahan Cigugur Tengah.
Awalnya, Ipi hanya bergerak dengan dua relawan. Dalam waktu sekitar lima bilan, relawan FPRB Cimahi
sekarang sudah berjumlah 60 orang lebih.

Setelah jumlah mereka bertambah, para relawan ini berhasil menggerakkan aparat desa, babinsa,
pengurus RT, RW di Kota Cimahi membersihkan Sungai Cimahi dari sampah secara berkala dan
menanami lahan-lahan kosong di sejumlah titik pinggir Sungai Cimahi. Sekarang, telah terbentuk
Kelurahan Tangguh Bencana di Kota Cimahi, yang mencakup Kelurahan Cibabat, Kelurahan Melong dan
Kelurahan Cigugur Tengah.

Sejak tahun 2017, telah terbentuk Komunitas Peduli Sungai Cimahi [KPSC], yang memilik jaringan sampai
ke tingkat RT. Bila sekarang pengangkutan sampah di Kota Cimahi lebih tertib, tidak menimbulkan
gangguan kepada masyarakat umum, itu adalah salah satu hasil kerja komunitas ini.

KPSC tidak hanya bergerak di tingkat aksi lapangan, tapi juga di tataran konsep dan ide. Komunitas ini
berhasil menggandeng Universitas Ahmad Jani [Unjani] menyusun kurikulum PRB untuk mata kuliah
ekstrakurikuler di Unjani dan beberapa Sekolah Menengah Atas [SMA] Cimahi. Berbarengan dengan itu,
telah terbentuk Sekolah Aman Bencana se-kota Cimahi.

Seperti halnya Komunitas Banyu Wening di Sleman, KPSC pun menghadapi tantangan berat. Bahkan
sangat berat. Sungai-sungai di Cimahi umumnya menjadi saluran buangan limbah pabrik; banyak di
antaranya pabrik tekstil, sehingga warna air menjadi pekat dan berbau menyengat. Ditambah dengan
kebiasaan warga masyarakat membuang sampah ke sungai. Limbah peternakan tak kurang andilnya
alam pencemaran air sungai fi Cimahi.

Dalam keadaan tercemar berat, air baku dan air tanah tidak layak digunakan untuk minum dan mencuci.
Semua sungai di Cimahi, yakni Cimahi, Cisangkan, Cibabat, Cibaligo dan Cibeureum, dinyatakan tercemar
berat.

Di samping itu, setiap tahun, su ngai-sungai itu mengalami pendangkalan. Dan tingkatnya sudah pula
sampai pada tahap yang mengkhawatirkan. Bila hujan turun, sungai-sungai itu tak mampu lagi
menampung air hujan yang jatuh sehingga air meluap ke jalan atau pemukiman warga.

Selain pencemaran dan penangkalan, sungai-singai di Cimahi juga semakin menyempit. Bangunan-
bangunan, kecil dan besar, sementara dan permanen, di pinggir kiri-kanan sungai, menjadikan sungai-
sungai di Cimahi semakin kecil. Peraturan mendirikan bangunan, peraturan tentang sempadan sungai
yang harus bebas dari bangunan masih berlaku, dan pelanggaran terhadapnya terus berlangsung tanpa
sanksi.

Hilangnya daerah-daerah resapan selain sungai menambah beban berat bagi sungai-sungai yang sudah
lemah itu. Sebelumnya, daerah-daerah resapan di Cimahi menyerap 70persen air yang jatuh, 30
persennya mengalir ke sungai. Sekarang, daerah-daerah resapan hijau itu sudah berubah menjadi
pemukiman, air yang 70persen itu mengalir liar ke mana saja. Sungai-sungai jauh dari mampu untuk
menampung dan mengalirkannya. Terrjadilah banjir.

Tentu saja Dinas Pekerjaan Umum kota Cimahi melakukan pengerukan rutin dengan segala
keterbatasannya. Tapi intensitas pencemaran, pendangkalan, penyempitan, jauh berkali-kali lebih cepat
dari hasil pengerukan.

Keterlibatan KPSC dalam pembersihan sampah sangat menutupi keterbatasan pemerintah itu. Dengan
jaringannya yang lebih mengakar, sampai ke tingkat RT, maka dengan sendirinya unsur kecamatan,
kelurahan, RW dan RT bersama warga menjadi kekuatan lebih besar dalam membersihkan dan menjaga
kebersihan sungai.

Untuk kepentingan ke depan, KPSC telah berinisiatif untuk menjadikan pelestarian sungai sebagai bagian
dari pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi. Inisiatif ini mendapat sambutan baik dari pihak
pendidikan. Unjani bahkan menawarkan salah satui ruangannya digunakan untuk kegiatan pelestarian
sungai dan pendidikan yang terkait dengannya. Demikian pula SMA-SMA di Kota Cimahi. Mereka
menjadikan pelestarian sungai sebagai salah satu sasaran kegiatan ekstra kurikuler mereka.

BNPB juga mencoba mendorong komunitas-komunitas seperti itu untuk tumbuh. Tidak hanya di Yogya
dan Cimahi aja, tetapi di tempat-tempat lain di Indonesia. Dan SSGL bukan hanya telah melahirkan
relawan-relawan, tapi juga memperluas jaringan PRB di kalangan masyarakat. Bencana yang terkait
dengan sungai bukan hanya banjir dan longsor, yang lebih massif adalah kekeringan.

Banjir lebih sering berisifat lokal. Sedangkan kekeringan melanda kawasan dan manusia lebih luas dan
lebih lama. BNPB memusatkan perhatian bada bencana yang bersifat slow on set, yakni bencana yang
muncul perlahan tapi makin terasa dan pasti. Penanganan bencana seperti ini butuh waktu lebih lama
dan keterlibatan lebih banyak orang. Kekeringan adalah salah satu bentuk bencana yang bersifat slow on
set.

Provinsi Nusa Tenggara Timur, setiap tahun mengalami kekeringan. Program pemanfaatan air hujan
sangat cocok dikembangkan di wilayah itu. Dalam hal ini terjadi aksi masyarakat yang sangat positif,
yakni seling belajar.

Penanganan parsial
Sementara para relawan itu mendapat pengetahuan ideal tentang sungai, mereka segera dihadapkan
pada kenyataan yang berbeda. Kawasan pinggir sungai tak luput dari ekspansi manusia. Mereka
membangun ladang, sawah, rumah, tempat peristihatan, bahkan sampai pabrik, toko dan gedung
perkantoran di dalam sempadan sungai.
Bila kawasan pinggir sungai itu harus terbebas dari bangunan, lalu kenapa ada pihak yang mengizinkan
bangunan-bangunan itu berdiri? Dan bila sebuah sungai tercemar berat, mampat, dan airnya meluap.
Tugas siapakah, lembaga manakah, untuk menanganinya? PUPR kah? Kemen-KLHK kah? Balai Wialayah
Sungaikah? Atau masyarakat setempatkah?

Ada sederet lembaga pemerintah yang terkait dengan tugas dan tanggungjawab pengelolaan sungai,
namun sungguh mengherankan melihat banyak ganggugan terhadap sungai terabaikan berlarut-larut
dalam waktu lama.

Setidaknya, ada empat lembaga pemerintah yang bertanggungjawab terhadap kelestarian dan kondisi
sungai. Mereka adalah PUPR, Balai Sungai, KemenKLKH, dan Pemerintah Daerah. Meskipun sungai
adalah satu kestuan sistem ekologi, tapi masing-masing lembaga itu mengambil bagian tertentu sebagai
ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya. Bahkan dalam beberapa hal, mereka menyebut bagian
yang sama dari satu sungai dengan istilah berbeda.

Kawasan pinggir sungai, misalnya, disebut secara berbeda. PUPR menyebutnya ‘sempadan sungai’. KLHK
menyebutnya ‘bantaran sungai’. Pemerintah Daerah menyebutnya ‘wilayah sungai’. LSM dan beberapa
lembaga lain menyebutnya Daerah Aliran sungai.

Tak ada masalah dengan istilah kalau berhenti sebagai istilah. Tapi istilah masing-masing lembaga
pemerintah itu mengindikasikan perbedaan kebijakan bahkan penentuan batas bentangan lahan sungai.
Menurut PU, garis sempadan sungai adalah garis maya di kiri dan kanan palung sungai yang ditetapkan
sebagai batas perlindungan sungai.

Sempadan sungai meliputi ruang di kiri dan kanan palung sungai di antara garis sempadan dan tepi
palung sungai untuk sungai tidak bertanggul, atau di antara garis sempadan dan tepi luar kaki tanggul
untuk sungai bertanggul.

Untuk sungai yang tidak bertanggul, seperti di kawasan perkotaan, jarak minimal adalah 10 (sepuluh)
meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai, dengan kedalaman sungai kurang
dari atau sama dengan 3 (tiga) meter.

Untuk sungai yang berkedalaman tiga sampai 20 meter, jarak minimal adalah 15 meter dari tepi kiri dan
kanan palung sungai sepanjang alur sungai. Sedangkan untuk sungai yang berkedalaman lebih dari 20
meter, jarak minimal adalah 30 (tiga puluh) meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur
sungai.

Untuk sungai di luar kawasan perkotaan yang tidak bertanggul, garis sempadan sungai adalah 100
meter paling sedikit untuk sungai besar, dan 50 meter paling sedikit untuk sungai kecil.

Sungai, termasuk kawasan pinggirnya, adalah satu kesatuan sistem ekologi. Namun secara umum
terbagi menjadi tiga bagian: Hulu, tengah dan hilir. Bagian hulu adalah sumber utama air, sehingga
nilainya ‘terpenting’ dalam satuan sistem ekologi tersebut. Bagian tengah adalah penyalur air dari
sumber utama itu, juga dari sumber-sumber non-hulu. Fungsi penyalur inilah yang memungkin air itu
menimbulkan manfaat luas bagi manusia, hewan dan tumbuhan. Bagian hilir adalah tempat penyediaan
air bagi berbagai kebutuhan hidup.

Bagian hulu, tengah dan hilir sama-sama penting untuk kelangsungan hidup dank arena itu perlu
mendapat perlindungan. Semua kebijakan pemerintah atau lembaga terkait pada dasarnya bertujuan
untuk menjaga keberlangsungan sungai. Bagian hulu dilindungi melalui penetapan kawasan lindung.
Bagian tengah dilindungi melalui penjagaan kawasan pinggir sungai dari hunian dan berbagai
peruntukkan selain keberlangsungan sungai. Bagian hilir dilindungi melalui berbagai peraturan
pemanfaatan untuk menghindari konflik atau perseteruan.

Sungai dengan kawasan pinggirnya adalah satu kesatuan ekologi, tapi meliwati dua, tiga, atau lebih
wilayah administrasi pemerintahan. Setiap wilayah administgrasi pemerintahan memiliki wewenang dan
tanggung jawab sesuai batas wilayahnya. Batasan-batasan wilayah tanggung jawab ini kemudian
menimbulkan masalah pengelolaan. Bila suatu bagian sungai, katakanlah di bagian tengah, dipadati
sampah atau tercemar berat, siapakah yang paling bertanggung jawab atau berkewajiban
menanganinya? Pemerintah daerah setempatkah? Bagaimana bila unsur-unsur pencemar itu berasal
dari wilayah lain?

Sementara itu, sistem otonomi pemerintah daerah meniscayakan penyelenggaraan pemerintahan


secara mandiri, termasuk dalam penyediaan sumber dana pembangunan.

Sementara itu, kawasan pinggir sungai memiliki nilai ekonomi tersendiri sebagai tempat peristirahatan,
wisata, bahkan industri manufaktur. Pada saat yang sama, sistem otonomi pemerintah daerah menuntut
pencarian sumber pendapatan sendiri. Maka kawasan pinggir sungai pun menjadi sumber Pendapat Asli
Daerah [PAD]. Namun, apa boleh buat, kepetningan meraup pemasukan ini sering mengalahkan
kepentingan penjagaan dan pelestarian.

Kalaupun pemda-pemda yang wilayahnya terlewati sungai itu melaksanakan fungsi pengawasan dan
pemeliharaan, namun intensitas dan tingkat kesungguhannya berbeda-beda. Hal ini menimbulkan
masalah tersendiri.

Untuk memadukan penanganan sungai, di beberapa daerah sudah terbentuk sekretariat bersama antar
pemda, namun sekretarian itu lebih banyak membahas pemanfaatan ekonomi. Disorientasi seperti ini
malah memperburuk keadaan sungai.

Data KLHK menunjukkan 2.145 DAS di Indonesia dalam keadaan kritis dan perlu dipulihkan. Bila tidak
segera ditangani, maka dampak jangka pendek kerusakan DAS adalah bencana hidrometeorologi seperti
banjir, tanah longsor, atau kekeringan. Dalam jangka panjang, keadaan itu bisa menimbulkan konflik
sosial.

Banyaknya lembaga yang terlibat dalam pengelolaan sungai malah menambah panjang proses birokrasi
yang menyulitkan penanganan sungai secara cepat dan efisien. Tentu tak mudah mengumpulkan KLKH,
Kementrian PUPR, Kementrian Dalam Negeri, Bakosurtanal, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten/kota, perusahaan swasta, LSM dan masyarakat dalam satu forum atau pertemuan rutin.

Anda mungkin juga menyukai