Anda di halaman 1dari 7

BANJIR SEBAGAI PROSES PENYADARAN Banjir adalah suatu bencana yang mengganggu kehidupan manusia berupa genangan air

dari yang terkecil sampai terbesar yang disebabkan faktor-faktor baik manusia maupun alam atau aliran air yang tinggi, dan tidak tertampung oleh aliran sungai dan air itu meluap ke daratan yang lebih rendah dan inilah yang disebut banjir. bencana banjir yang melanda Jakarta dan sekitarnya pada pertengahan Januari 2013 yang menyebabkan Jakarta dinyatakan dalam keadaan darurat. Banjir ini sebenarnya sudah dimulai sejak Desember 2012, dan baru mencapai puncaknya pada Januari 2013. Selain curah hujan yang tinggi sejak Desember 2012, sistem drainase yang buruk, dan jebolnya berbagai tanggul di wilayah Jakarta, banjir ini juga disebabkan meningkatnya volume 13 sungai yang melintasi Jakarta. Tercatat Bogor, Bekasi, Depok, dan Tangerang juga mengalami hal yang sama pada masa ini. Jakarta mengalami banjir dan kebanjiran, bukan baru terjadi kemarin, dan kemarin, serta kemarin, setelah SBY memimpin Indonesia dan Jokowi-Ahok berkuasa di DKI Jakarta; sehingga ada orang yang salahkan mereka, terutama Jokowi-Ahok. Kiriman air bah yang menggenangi Jakarta/Betawi/Jayakarta/Sunda Kelapa, sudah terjadi jauh sebelum negeri ini bernama Indonesia. Bahkan sejak era Tarumanegara, Banten, VOC, Kolonial, Jakarta sudah digenangi banjir besar, misalnya pada tahun 1621, 1654, 1872, 1909, 1913, dan seterusnya. Untuk mencegah, mengurangi dampak kiriman air dari wilayah Puncak-Jabar tersebut, penguasa pada masa lalu (dan yang kemudian), membuat sungai buatan/banjir kanal dalam rangka mengendalikan-mengatur arah jalur air; sampai saat ini, konsep pengendali banjir tersebut belum rampung, [Mungkin saja, ini adalah konsep/rencana dan pembanggunan yang paling lama, dan belum terselesaikan, dalam sejarah manusia; silahkan anda bayangkan sejak kapan rencana tersebut ada; dan sejak kapan pula, pembangunan tersebut dimulai.

Ada tiga faktor sangat berpengaruh penyebab banjir terjadi.


Pertama kerusakan lingkungan, hal ini ditandai peningkatan suhu rata-rata
atmosfer, laut, dan daratan bumi (pemanasan global). Para pakar dan ilmuwan lingkungan yang tergabung dalam Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memprediksi peningkatan temperatur rata-rata global akan meningkat 1,1 hingga 6,4 derajat Celcius atau setara dengan 2,0 hingga 11,5 derajat fahrenheit antara tahun 1990 dan 2100. Kondisi bumi yang memanas

menyebabkan perubahan iklim semakin tidak stabil. Dampak perubahan iklim bagi Indonesia dapat dirasakan dengan semakin keringnya musim kemarau dan intensitas air hujan yang semakin tinggi di musim penghujan. Naiknya permukaan air laut disebabkan dataran es di kutub mencair serta merta membuat abrasi pantai semakin cepat. Kedua fenomena alam tersebut membuat terbenamnya daratan yang biasanya kering dan dapat ditinggali oleh manusia atau biasa kita kenal dengan istilah banjir.

Faktor kedua adalah sistem pengelolaan lingkungan.


Pengelolaan lingkungan semakin berpengaruh terhadap kehadiran bencana banjir, seiring dengan kecenderungan semakin meningkatnya wilayah perkotaan. Pertambahan jumlah penduduk, terutama di wilayah perkotaan, berdampak pada peningkatan kebutuhan akan tempat tinggal dan daya dukung perkotaan. Meluasnya wilayah pemukiman memiliki pengaruh langsung terhadap berkurangnya daerah resapan air, karena hampir seluruh permukaan tanah berganti dengan aspal atau beton. Kondisi tersebut diperparah dengan penataan bangunan dan wilayah yang kurang memperhatikan sistem pembungan air. Kurang ketersediaan pepohonan yang dapat berfungsi sebagai peresapan air merupakan kombinasi yang semakin sempurna untuk mendatangkan bencana banjir. Hampir sebagian besar kota-kota besar di Indonesia belum memiliki sistem drainase yang terpadu.

Faktor ketiga yang lebih penting dari kedua faktor diatas adalah perilaku manusia. Perbedaan mencolok antara desa dengan kota selain
dilihat dari tingkat

kepadatannya adalah pola hidup. Orang di desa

lebih mampu bersahabat dengan alam sekitarnya sedangkan di kota seringkali tidak menghiraukan aspek lingkungan. Buktinya adalah di kota-kota besar, gedung bertingkat dan jalanan beton menggusur tanah- tanah resapan air, bahkan situ atau danau ditimbun kemudian dibangun mall. Keegoisan manusia telah menyebabkan bencana banjir selalu dekat dengan kehidupan kita. Industrialisasi juga berawal dari kota, ditandai dengan bangunan pabrik-pabrik penggerak roda ekonomi , sehingga menjadikan kota juga sebagai penghasil polusi. Karena berbagai alasan orang dikota lebih senang mempergunakan kendaraan bermotor sehingga menghasilkan polusi lebih besar lagi. Pada satu titik tertentu, aktifitas manusia yang melepaskan karbondioksida

(CO2) ke udara jauh melebihi kecepatan dan kemampuan alam untuk menguranginya. Hal tersebut telah berkontribusi kepada perubahan iklim yang semakin tidak bersahabat terhadap manusia. Tingkah laku manusia yang mengesankan keegoisannya terhadap alam juga dapat dilihat dari persoalan sampah yang berada pada sungai-sungai. Perilaku manusia dalam sistem pembuangan sampah juga memiliki andil dalam kehadiran bencana banjir. Setidaknya Walhi mencatat bahwa pada tahun 2000, kota Jakarta menghasilkan 25.700 m3 sampah per hari. Sehingga volume sampah selama tahun 2000 dapat mencapai 170 kali besar Candi Borobudur (volume Candi Borobudur adalah 55.000 m3). Perilaku membuang sampah sembarangan telah berakibat pada terganggunya sistem pembuangan air dan pada gilirannya ketika musim hujan tiba akan mengakibatkan tergenangnya area di sekitar saluran air yang terhambat tersebut. Keegoisan tingkah laku manusia lainnya yang berkontribusi terhadap bencana banjir adalah pengrusakan alam secara membabi buta. Atas nama keuntungan pribadi seringkali hutan kita ditebang secara serampangan dan melupakan upaya penanaman kembali. Padahal pohon tersebut memiliki peran sebagai penyerap dan penahan air yang tidak dapat fungsinya digantikan oleh apapun. Selain itu pepohonan juga dapat berfungsi sebagai para-paru alam. Situasi yang cukup mengenaskan adalah adanya fakta tentang penggundulan hutan di sekitar daerah aliran sungai. Jadi sebenarnya penyebab kerusakan di bumi adalah ulah manusia dan yang akan merasakan dampaknya adalah manusia juga. Sebelum kepunahan ras manusia akibat dari perilaku manusia, terutama terkait dengan persahabatannya dengan alam, maka perlu langkah-langkah sistematis untuk menghadapi ketiga faktor penyebab utama bencana banjir. Persoalan tersulit sepertinya adalah bagaimana merubah tingkah laku manusia supaya dapat menciptakan keharmonian dengan alam. Merubah perilaku manusia secara keseluruhan sebenarnya dapat dimulai dengan mencobanya pada diri kita sendiri. Setelah itu, kita pun harus mulai bisa berperan memberikan penyadaran kepada masyarakat di sekitar kita. Sebagai mahluk sosial, tentunya manusia dapat mengupayakan sesuatu yang lebih besar lagi bagi kehidupan yang lebih baik. Manusia pun mampu untuk merencanakan sebuah sistem pengendalian banjir yang lebih terpadu dan memperhatikan keharmonisan hubungan antara manusia dengan alam. Kita pun dapat berupaya untuk menghasilkan generasi yang ramah terhadap alam. Dan Untuk menciptakan manusia yang bersahabat dengan alam, pastinya harus melibatkan alam dalam kegiatan belajar mengajar.

Ilmu pengetahuan biologi, ekologi, geografi, fisika, kimia dan lain sebagainya dapat memberikan pemahaman kepada murid tentang banjir yang kerap terjadi ketika musim penghujan. Akan tetapi kebanyakan proses belajar hanya sebatas penyampaian informasi seperti di kelas. Padahal menurut penganut behaviourisme, seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Bloom (1956) seperti memperkuat pendapat kaum behaviour melalui taksonomi tujuan pendidikan yang memandang belajar itu harus meliputi tiga aspek yaitu kognitif (intelektual), afektif (emosi) serta psikomotor (perilaku). Konklusi sederhananya jika manusia belum mampu bersahabat dengan alam lingkungannya bahkan perilakunya merusak dan menyebabkan bencana, dapat saya katakan bahwa proses belajar tesebut telah gagal. Mungkin selama ini metode yang dipergunakan hanya sebatas ceramah dan menghapal rumus semata. Perubahan perilaku hidup yang ramah lingkungan bukan dibuktikan dengan teori maupun rumus semata tetapi dengan tingkah laku . Pendekatan metode pembelajaran dengan mengedepankan ranah afektif dan psikomotor harus lebih diutamakan. Metode live in adalah cara mengajar dengan memperkenalkan siswa terhadap objek belajar seperti sungai kemudian mencoba mempraktekkan pola hidup yang ramah terhadap lingkungan. Siswa berproses membangun makna atau pemahaman terhadap informasi dan pengalaman dengan dibantu oleh seorang guru (tutor). Pengajaran seperti ini mungkin dapat diterapkan pada berbagai kampung wisata atau pun sekolah alam. Penyadaran seperti ini yang akan mengubah perilaku manusia dalam memperlakukan alam dengan bijaksana sehingga bencana banjir dapat direduksi.

FLOOD AWARENESS AS A PROCESS Flooding is a disaster that disrupted the lives of human beings in the form of a pool of water from the smallest to the largest are caused by factors both human and natural or high water flow, and not accommodated by the flow of the river and the water was overflowing into the lower mainland and is called flooding. catastrophic floods that hit Jakarta and surrounding areas in mid-January 2013 that led to Jakarta declared in a state of emergency. Flooding is already started since December 2012, and reached its peak in January 2013. In addition to the high rainfall since December 2012, poor drainage

system, and the collapse of many levees in the Jakarta area, flooding is also due to the increased volume of 13 rivers across Jakarta. Noted Bogor, Bekasi, Depok, Tangerang and also experienced the same thing at this time. Jakarta floods and flooding, not only yesterday, and yesterday, and yesterday, after Yudhoyono led Indonesia and Jokowi-Ahok ruling in Jakarta; so there are people who blame them, especially Jokowi-Ahok. Posts flood that inundated Jakarta / Betawi / Jayakarta / Sunda Kelapa, had occurred long before this country called Indonesia. Even since the era Tarumanegara, Banten, VOC, Colonial, Jakarta has flooded large, such as in 1621, 1654, 1872, 1909, 1913, and so on. To prevent, reduce the shipment of water from the Peak-Jabar, the authorities in the past (and later), make artificial river / flood-control channel in order to set the direction of the waterway; until now, the concept has not yet been completed flood control, [Perhaps, this is a concept / plan and pembanggunan the longest, and unresolved, in human history; please imagine since when the plan is there, and since when did, construction began. There are three most influential factors causing the flooding. First of environmental damage, this marked increase in the average temperature of the atmosphere, ocean, and land earth (global warming). Experts and environmental scientists who are members of the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) predicts an increase in global average temperatures will rise 1.1 to 6.4 degrees Celsius, equivalent to 2.0 to 11.5 degrees Fahrenheit between 1990 and 2100. The condition of the warming of the earth causing climate change increasingly unstable. Impact of climate change for Indonesia can be felt by the dry season and the intensity of the higher rainfall in the rainy season. Rising sea levels caused by melting polar ice plains necessarily make more rapid coastal erosion. Both natural phenomenon makes the setting of land that is usually dry and uninhabitable by humans or usually familiar with the term flooding. The second factor is the environmental management system. Management of the environmental impact of floods presence, along with the growing trend of urban areas. Increase the number of people, especially in urban areas, the impact on increased demand for housing and urban carrying capacity. Widespread residential areas have a direct impact on reduction in water catchment areas, because almost the entire surface of the soil replaced with asphalt or concrete. This condition is exacerbated by the arrangement of buildings and areas less attention pembungan water systems. Lack of availability of trees that can serve as a water catchment is the perfect combination to bring about flooding. Most of the big cities in Indonesia does not have an

integrated drainage system. The third factor is more important than the two above factors is human behavior. Striking differences between the village and the town other than the level of density is seen from the pattern of life. People in the village are better able to make friends with the surrounding nature, while the city is often ignored environmental aspects. The proof is in the big cities, buildings and concrete streets lands displacing watersheds, and even dumped there or lake then built mall. Human selfishness have caused flood disaster is always close to our lives. Industrialization also came from the city, marked by building factories wheel drive economy, making the city as well as a producer of pollution. For various reasons people in the city prefer to use a motor vehicle resulting in greater pollution. At one point, the human activities that release carbon dioxide (CO2) into the air far beyond the speed and natural ability to reduce them. It has contributed to climate change is increasingly unfriendly to humans. Impressive human behavior selfishness of nature can also be seen from the waste problem that is on the rivers. Human behavior in disposal systems also have contributed to the presence of flooding. At least Walhi noted that in 2000, the city produces 25,700 m3 of waste per day. So the volume of waste during 2000 can reach 170 times the Borobudur (Borobudur volume is 55,000 m3). Littering behavior has resulted in the disruption of drainage systems and in turn, when the rainy season will cause tergenangnya area around the drains were blocked. Selfishness other human behavior that contribute to the destruction of natural flood was blindly. In the name of personal gain often recklessly cut down our forests and replanting efforts forget. Though the tree has a role as an absorbent and water-retaining function can not be replaced by anything. Besides trees can also serve as the natural lung. The situation is quite pathetic is the fact about deforestation of the watershed. So actually cause damage on Earth is man-made and that will feel the impact are people too. Prior to the extinction of the human race due to human behavior, especially in relation to his friendship with nature, it is necessary to systematic measures to address the three major causes of floods. The issue is how difficult it seems to change people's behavior in order to create harmony with nature. Changing human behavior as a whole could have started by trying it on ourselves. After that, we must begin to act giving awareness to the community around us. As social beings, humans must be able to seek something bigger for a better life. Man has been able to plan a system of flood control and a more concerted attention to the harmonious relationship between

man and nature. We can also attempt to produce a generation that is friendly to nature. And to create a friendly man with nature, must be involved in the nature of teaching and learning. The science of biology, ecology, geography, physics, chemistry and others can provide insight to students about the flooding that often occurs when the rainy season. However, most of the learning process was limited to giving information in the classroom. Yet according to adherents of behaviorism, a person is considered to have learned something if he can show changes in behavior. Bloom (1956) as the behavior reinforces the idea through the taxonomy of educational objectives should include the study looked at three aspects of cognitive (intellectual), affective (emotional) and psychomotor (behavioral). The simple conclusion if humans have not been able to make friends with the natural world and even their behavior and cause catastrophic damage, I can say that the process of learning proficiency level have failed. Maybe all this method used only a lecture and memorize the formula alone. Changes in environmentally friendly behavior is not evidenced by the theory and the formula itself but with the behavior. Learning methods with the advanced approach affective and psychomotor domains should be preferred. The method of teaching how to live in is to introduce students to the learning object like a river and then tried to practice the lifestyle that is friendly to the environment. Students proceed to construct meaning or understanding of the information and experience assisted by a teacher (tutor). Such teaching may be applied to a variety of tourist village or school nature. Such awareness that will change human behavior in a natural treats wisely so that floods can be reduced.
Kesimpulan Pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali menyebabkan peningkatankebutuhan hidup yang signifikan, seperti kebutuhan akan pangan dan energy.Kebutuhan pangan yang mengalami peningkatan menyebabkan dilakukannyapembukaan lahan pertanian yang jika dilakukan dengan cara yang salah (alihfungsi lahan) akan mengakibatkan kerusakan ekosistem, penurunan diversitasbiologi, dan terganggunya siklus biogeokimia. Namun jika sudah terjadi kerusakandi ekosistem dapat dilakukan perbaikan kondisi ekosistem melalui restorasiekologi. Sedangkan pemenuhan kebutuhan energi yang semakin besar jumlahnyaakan menyebabkan sumber daya semakin menipis. Hal ini memunculkan energialternatif dan energi masa depan sebagai solusi mengatasi penipisan sumber dayayang ada. Saran Bagi pemerintah: Menggalakan program KB untuk mengatasi ledakan penduduk yang secaratidak langsung mengurangi jumlah kebutuhan akan pangan dan energi, juga kapasitas bumisehingga mengurangi kerusakan ekosistem. Selain itu, pemerintah juga membuat tata kota yangseimbang dan menindak tegas oknum-oknum yang melakukan tindakan pengalih fungsian lahantanpa izin.Bagi masyarakat: tidak melakukan pengrusakan lingkungan, menghemat penggunaan energi,mengganti energi yang tidak dapat diperbaharui dengan energi alternatif yang lebih ramahlingkungan dan dapat diperbaharui.

Anda mungkin juga menyukai