Anda di halaman 1dari 6

Keliping kesultanan banten

Disusun oleh:
Dela Febi muniar
Kelas: IV A
Awal Berdirinya Kesultanan Banten

Sebelum tahun 1400an wilayah Banten boleh dikatakan sebagai wilayah yang sepi dari
perdagangan. Hal ini dapat dipahami karena Selat Sunda pada waktu itu berada diluar jalur pelayaran
dan perdagangan. Laut Jawalah yang lebih berperan sebagai jalur penghubung perlayaran dan
perdagangan. Menjelang datangnya Islam peranan Banten mulai agak berarti, Banten yang saat itu
masih dalam kekuasaan pajaran berperan sebagai pelabuhan lada. Kedudukannya menempati urutan
kedua setelah Sunda Kelapa.

Portugis sangat berkempentingan dengan kedua pelabuhan lada di Sunda itu. Sebaliknya
kerajaan Pajajaran pun memandang Portugis akan dapat membantunya dalam menghadapi orang
Islam yang di Jawa Tengah telah berhasil mengambil alih kekuasaan dari tangan raja-raja
bawahan maharaja Majapahit. Karenanya pada 1522 Raja Pajajaran yang mengambil gelar
Samiam (Sang Hyang atau Sang Dewa) bersedia mengadakan perjanjian persahabatan dengan
Portugis yang diwakili oleh Palnglima Henrique Leme.

Namun sebelum orang-orang portugis sempat mengambil manfaat dari perjanjian yang
menguntungkan mereka, yaitu mendirikan pos perdaganan, kedua pelabuhan Pajajaran itu telah
diduduki oleh orang-orang Islam Nurullah atau Syarif Hidayatullah yang kemudian bergelar
Sunan Gunung Jati telah berhasil menduduki Banten beberapa tahun sesudah 1522 dan pada
tahun 1527 berhasil merebut Bandar Sunda kelapa.

Nurullah sendiri datang ke Banten pada tahun 1525 atau 1526 atas perintah dari Sultan
Demak saat itu yaitu Sultan Trenggono. Kedatangannya, di Jawa bagian barat itu membawa misi
menyebarkan Islam, dan memperluas wilayah kekuasaaan Demak. Menurut cerita Jawa-Banten,
sesudah sampai di Banten, ia segera berhasil meningkirkan bupati Sunda disitu untuk mengambil
pemerintahan atas kota pelabuhan tersebut. Dalam hal itu ia mendapat bantuan militer dari
Demak.

Langkah berikutnya untuk mengislamkan Jawa Barat ialah menduduki kota pelabuhan
yang sudah tua, Sunda Kelapa, kira-kira tahun 1527. Perebutan kota yang sangat penting bagi
perdagangan kerajaan Padjajaran ini berlangsung cukup sengit, karena letaknya tidak telalu jauh
dari pusat kerajaan di Pakuan (Bogor). Sebagai tanda kota ini penting bagi masa depan Agama
Islam, maka kota itu diberi nama Jayakarta. Orang Portugis yang tidak tahu kota itu telah
diduduki orang-orang Islam, datang pada tahun 1527 untuk mendirikan pos perdagangan sebagai
realisasi perjanjian dengan Sang Hyang pada tahun 1522 mendapat perlawanan bersenjata
Sunan Gunung Jati

Sebagai tanda penghargaan atas hasil yang dicapai oleh penguasa baru Banten, Sunan
Gunung Jati, pada 1528-1529 Sultan Trenggana menghadiahkan sepucuk meriam besa buatan
Demak yang dibubui dengan anja tahun itu juga. Meriam ini dinamakan Para Banya yang
kemudian hari selalu disebut Ki Jimat.

Sunan Gunung Jati sesudah mengusai Banten dan Jayakarta rupanya tidak berusaha
menyerang ibu kota Pajajaran, Pakuan. Bahkan ia tinggal di Banten hanya sampai 1552. Ini
disebabkan puteranya Pangeran Pasareyan yang dijadikan sebagai wakilnya di Cirebon
meninggal, semenjak itu Sunan Gunung Jati pindah ke Cirebon untuk selama-lamanya dan
menyerahkan Banten kepada putera keduanya Hasanuddin.

Hasanuddin diangkat dan dipandang sebagai Raja Banten yang pertama. Dalam tradisi
Banten memang Hasanuddin dianggap sebagai pendiri dinasti sultan-sultan Banten, bukannya
Sunan Gunung Jati. Dua alasan mungkin menjadi penyebabnya. Pertama, Sunan Gunung Jati
tidak lama berkedudukan di Banten dan Kedua, selama masa pemerintahan Sunan Gunung Jati di
Banten, kedudukan Banten masih terikat oleh Demak dan Hasanuddin lah yang mulai
melepaskan diri dari segala ikatan Demak, sejak sekitar tahun 1568 saat Demak mengalami
kekacauan.

Perkembangan Kesultanan Banten


1. Maulana Hasanuddin

Hasanuddin penguasa kedua Banten, melanjutkan cita-cita ayahnya untuk meluaskan


pengaruh Islam di tanah Banten. Banyak tindakan progresif yang ia lakukan dalam rangka
memberikan arah terhadap kesultanan yang baru muncul tersebut. Masjid agung Banten, dan
sarana pendidikan berupa pesantren di Kasunyatan merupakan karya nyata yang monumentalnya
terhadap generasi penerusnya.

Dalam hal perluasan wilayah kerajaan dan menyebarkan agama Islam, sultan Hasanuddin
memperluas wilayahnya ke Lampung dan daerah-daerah disekitarnya di Sumatera selatan.
Daerah-daerah taklukan pada Maulana Hasanuddin ini ternyata adalah daerah penghasil utama
merica. Perdagangan merica itu membuat Banten menjadi kota pelabuhan penting, yang
disinggahi oleh kapal-kapal dagang dari Cina, India, dan Eropa.

Hasanuddin memperbesar dan memperindah kota pelabuhan Banten yang diberinya nama
Sura-Saji (Surosuwan). Kota ini lebih penting kedudukannya dibanding kota lama Banten
Girang. Pada tahun 1570 M sultan pertama Banten itu wafat dan digantikan putra sulungnya,
Pangeran Yusuf. Setelah meninggal Maulana Hasanuddin terkenal dengan nama anumerta
“Pangeran Saba Kingking”.

2. Maulana Yusuf

Periode pemerintahan Pangeran Yusuf, kharisma Banten naik selangkah lebih tinggi dari
sebelumnya. Proses Islamisasi pun nampak bertambah sempurna. Seluruh wilayah Banten, baik
di pusat kota Banten Girang, Banten Surosuwan maupun daerah selatan telah mengikuti agama
Islam.

Pesantren Kasunyatan yang telah dirintis oleh Sultan Hasanuddin dikembangkannya secara
intensif sehingga mampu mengorbitkan kader-kader agama yang handal dan bertanggungjawab.
Pada masa ini Masjid Agung Banten bukan saja sebagai saran ibadah mahdah tetapi juga
difungsikan sebagai tempat dakwah dan diskusi problematika agama, bagi ulama-ulama saat itu.

Sultan Maulana Yusuf merupakan Sultan yang giat dalam perluasan wilayah. Maulana Yusuf
dikenal sebagai penguasa yang gagah perkasa dan memiliki ketrampilan istimewa dalam
berperang. Dengan bantuan prajurit dan tokoh agama Maulana Yusuf menyerang Pajajaran,
hasilnya pada 1579 Pakuan, ibu kota Pajajaran berhasil direbut oleh kerajaan Banten.
Penyerangan ini dilakukan pada waktu panembahan Yusuf sudah 9 tahun memerintah.
Setelah berhasil merebut Pakuan, Panembahan Yusuf mulai membangun Banten Surosowan sebagai ibu
kotanya yang baru. Pada tahun 1980 tepatnya satu tahun setelah pelah penaklukan Pakuwan, Maulana
Yusuf meninggal dan dikenang dengan nama Pangeran Pasareyan.[9] Dan meninggalkan pewaris tahta
yang baru berusia 9 tahun.

3. Maulana Muhammad

Pengganti Maulana Yusuf ialah putranya Maulana Muhammad. Akan tetapi karena Malulana
Muhammad masih berumur 9 tahun. Selama Maulana masih di bawah umur kekuasaan
pemerintahan dipegang oleh seorang mangkubumi. Sebelum Maulana beranjak dewasa, terjadi
peperangan antara Banten dengan Jepara.

Pangeran Aria Jepara (adik Maulana Yusuf yang diasuh dan menggantikan Ratu Kalimanyat)
datang di Banten dan menuntut diakui sebagai pewaris tahta kerajaan Banten. Pangeran Jepara
yang datang melalui laut membawa pasukan bersenjata untuk mengakuisisi kekuasaan, namun
sesampainya disana ternyata penobatan Maulana Muhammad sebagai Sultan Banten, telah
dilakukan, hal ini membuat Pangeran Jepara naik pitam, sehingga perang tidak bisa dihindarkan.
Dalam peperangan ini Demang Laksamana Jepara gugur, yang menyebabkan Pangeran Aria
Jepara mengurungkan niatnya dan kembali ke Jepara.[10]

Setelah Maulana Muhammad dewasa ia terkenal sebagai orang yang shalih dan memiliki
gairah yang kuat untuk menyebarluaskan Islam, ia banyak mengarang kitab serta membangun
sarana ibadah sampe ke pelosok desa. Walaupun kemajuan yang diperoleh Maulana Muhammad
tidak setinggi ayahnya, tapi ada peristiwa yang menonjol pada masanya, yaitu ekspansi ke
Palembang.

Palembang pada masa itu sangat maju dibawah kekuasaan Ki Gede Ing Suro. Pada saat
ekspansi tersebut, hampir saja Palembang dapat dikuasai, namun pada saat kemenangan hampir
diraih, Sultan Banten gugur terkena peluru. Maka serangan terpaksa dihentikan, dan tentara
kembali pulang. Maulana Muhammad yang gugur pada usia relatif muda, karena baru bertahta 5
bulan.[11]

4. Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir

Sultan Abdul Mufhakir dinobatkan ketika ia masih balita, maka untuk yang kedua kalinya
kesultanan Banten diserahkan kuasanya kepada Mangkubumi Jayanegara, ia termasuk abdi yang
mempunyai loyalitas tinggi, sehingga Banten tetap dalam kondisi stabil.

Akan tetapi semenjak Mangkubumi Jayanegara wafat tahun 1602, otomatis jabatan
Mangkubumi menjadi incaran, banyak pangeran yang berambisi menduduki jabatan bergengsi
itu.[12]Mangkubumi pengganti Jayanegara, membuat kebijakan yang sangat terbuka dengan
hubungannya dengan bangsa Barat. Hal ini menyebabkan kecurigaan dan iri hati beberapa
pangeran lain, sehingga pengkhianatan pun banyak terjadi dimana-mana. Aksi pengkhianatan ini
berhasil melumpuhkan Mangkubumi dan membunuhnya.

Aksi pemberontakan baru bisa diredam berkat kerja sama antara pasukan Sultan, pasukan
Pangeran Ranumganggala,dan bantuan Pangeran Jayakarta, sehingga pemberontakan tersebut
berhasil ditumpas. Sebagai pengganti jabatan Mangkubumi diangkatlah Pangeran Arya
Ranumanggala.

Setelah menjabat sebagai Mangkubumi ia segera mengadakan penertiban-penertiban, baik


keamanan dalam negeri maupun merekontruksi kebikjasanaan Mangkubumi sebelumnya
terhadap pedagang-pedagang Eropa. Pajak ditingkatkan terutama untuk kompeni, tindakan ini
dilakukan agar para pedagang asing pergi dari Banten. Karena ia sudah mengetahui maksud lain
mereka selain berniaga mereka juga ingin mencampuri urusan dalam negeri.

Tindakan tegas Arya Ranumanggala ini memaksa kompeni untuk memalingkan orientasi
niaganya ke Jayakarta. Di Jayakarta mereka disambut ramah Pangeran Wijayakrama, ia berdalih
kedatangan mereka mampu meramaikan perlabuhan Sunda Kelapa.
Melihat hubungan erat Pangeran Jayakarta dengan Kompeni membuat Mangkubumi Arya
terusik. Sebagai pemegang kendali Banten yang membawahi Jayakarta, ia mengutus Pangeran
Upatih untuk menghancurkan benteng-benteng asing yang ada di kawasan Banten. Dalam upaya
ini orang-orang Inggris dapat didesak hingga kembali ke kapal, pasukan juga dapat mendesak
Belanda, akan tetapi Belanda tetap defensif dan tidak mau menyerah, hingga bantuan dari
Maluku tiba.

Setelah bantuan datang (dipimpin J.P. Coon) pada bulan maret 1619 kepungan banten tak ada
artinya lagi dan mereka kembali dengan membawa kekecewaan. Saat itulah secara resmi
Jayakarta dikuasai oleh Kompeni dan dirubah namanya menjadi Batavia.[13]

Sejak peristiwa itu kontak senjata antara Banten dengan kompeni agak tenang, walaupun
secara kecil-kescilan masih tetap berlanjut. Hal ini disebabkan oleh faktor intern istana, peralihan
kekuasaan dari Mangkubumi Arya kepada Sultan Abdul Mufakhir yang sudah menjadi dewasa,
serta adanya usaha Mataram untuk mengambil alih Banten melalui perantaraan Cirebon
(1650).[14]

Pada masa Sultan Abdul Mufakhir inilah penguasa Banten yang bergelar sultan, ia juga
dikenal sebagai pribadi yang menentang VOC, ia menolak keinginan Belanda untuk memonopoli
perdagangan. Kemudian terjadi konflik akibat hal tersebut, VOC memblokade jalur ke
pelabuhan Banten sehingga terjadi perang pada november 1633, perang berakhir dengan
perjanjian damai kedua pihak. Meskipun setelahnya masih muncul ketegangan-ketegangan kedua
belah pihak.[15]

5. Sultan Ageng Tirtayasa

Sultan Ageng Tirtayasa naik tahta menggantikan kakeknya yang meninggal pada tahun
1651. Banten mengalami perkembangan pesat semenjak diperintah Sultan Ageng Tirtayasa, baik
di bidang politik, sosial budaya, dan terutama perekonomiannya.

Hubungan dagang dengan Perisa, Surat, Mekkah, Karamandel, Benggala, Siam, Tonkin dan
China cukup mengancam kedudukan VOC yang bermarkas di Batavia.[16] Pada masa ini juga
dibangun sebuah sistem pengairan besar, yang mana ini bertujuan untuk mengembangkan
pertanian. Antara 30km dan 40km kanal dibangun untuk pengairann 40 ribu hektar lahan sawah
baru dan ribuan hektar perkebunan kelapa.[17]

Sebagai seorang yang taat dalam beragama ia sangat antipati kepada Belanda.
Penyerangan secara gerilya beliau lancarkan melalui darat dan laut untjuk mematahkan
pertahanan Belanda yang bermarkas di Batavia. Aksi teror dan sabotase yang diarahkan ke
kapal-kapal dagang sangat membahayakan Belanda. Kurang lebih dua puluh tahun lamanya
Banten dalam suasanan aman dan tentram dibawah kekuasaan Sulten Ageng Tirtayasa.

Akan tetapi, ketentraman itu berbah setelah putranya sulungnya, Sultan Haji kembali dari tanah
suci (1676) sebab ia lebih berpihak terhadap Belanda ketimbang orang-orang yang dekat dengan
ayahnya. Sultan Haji yang ditunjuk membantu urusan dalam negeri, malah berkompromi dengan
Kompeni untuk menghancurkan ayahnya sendiri.

Pada tahun1681, Sultan Ageng Tirtayasa benar-benar mengalami kesulitan sebab


putranya melakukan kudeta ke istana dengan bantuan pasukan VOC dari Batavia. Akhirnya,
karena dirasa sulit untuk meluruskan jalan pemikiran anaknya yang sudah terseret rayuan
kompeni. Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya memutuskan hijrah ke Tirtayasa dan membentuk
front disana beserta pengikut setianya. Keadaan ini adalah hasil nyata keberhasilan politik adu
domba Belanda.[18]
Meskipun harus berhadapan dengan putranya sendiri, ia tetap tegar pada pendiriannya. Front
bentukan Sultan Ageng Tirtayasa ini terus melancarkan serangan kepada Belanda yang
pengaruhnya di istana Surosowan semakin kuat. Pada 27 februari 1682 istana Surosuwan
diserbu, dan berhasil diduduki untuk sementara waktu, akan tetapi berkat bantuan Belanda Sultan
Haji berhasil mempertahankan kekuasaanya.[19]

Perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa baru berhenti setelah ia ditangkap dan dipenjarakan
oleh Kompeni sampai wafatnya tahun 1692. Dengan ditanda tanganinya perjanjian antara
Kompeni dan Sultan haji pada agustus 1682, maka kekuasaan mutlak sultan atas daerahnya
berakhir. status Sultan di sini hanya sebagai simbol boneka pemerintahan Belanda.[20] Sehingga
pada perkembangan kerajaan Banten, hal ini terus berlanjut hingga runtuhnya kesultanan
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai