Anda di halaman 1dari 6

Mimpi Masa Kecil

Karya: Mochamad Yusup Hamdani

Di sebuah kampung, ada seorang anak yang sedang berdiam di rumahnya, ya itu aku. Karena
saat itu sedang hujan. Aku hanya berdiam diri mendengarkan rintik-rintik hujan sambil menikmati
dinginnya udara. Saat bosan, aku buka hp dan memainkan game Epep. Epep merupakan game yang
populer, khusunya di Indonesia. Karena ukuran size nya yang kecil dan asik untuk dimainkan
bersama teman

Saat sedang asyik ngepush, adikku datang ke kamarku. Sebut saja Dede. Dan Dede itu
bungsu. Aku dan Dede hanya beda setahun, lebih tepatnya 14 bulan. Meskipun beda setahun, tapi
badan Dede lebih besar dariku. Malah Dede gendut, aku kurus. Aku gak tahu kenapa bisa begitu.

“Kak, lagi ngapain?”

“Lagi main.”

“Main apa?”

“Epep, tanggung mau DM nih”

“Wih, mabar kuy.”

“Hayu, tunggu Booyah dulu ya.”

“Halah, bentar lagi juga mati.”

“Liat aja.”

Dan benar saja, aku mati digangbang satu squad. Dan gak punya medkit, es kepal juga gak punya.
Aku pun mabar bersama Dede. Lumayan Dede jago main epep. Tapi aku tak akan kalah.

Kami ngepush bareng dengan serius karena ingin naik pangkat ke DM. Kami main serius seperti
sedang turnamen. Setelah beberapa menit kemudian, kami mendapatkan Booyah. Dan skor aku kill
10, Dede kill 9. Kami booyah tapi belum mencapai tier DM atau Diamond
“Katanya jago epep, tapi kalah kill”

“Halah, kau kill 2 bot, aku semua nya kill player.”

“Kalah mah kalah aja.”

“Ayo main lagi “

Saat lagi ngepush bareng, ada seseorang yang ke rumahku. Aku pun keluar untuk melihat
siapa yang datang saat hujan gerimis. Tapi, tidak lupa karakter epep ku simpan di tempat yang aman.
Aku sebenarnya malas membuka pintu, tapi ibuku selalu menyuruhku kalau ada tamu, tolong buka
kan dulu pintunya. Saat buka pintu, ternyata itu temanku.

“Hey, ada apa ke rumahku?”

“Aku ingin pinjam obat luka, soalnya di rumahku habis. Tadinya aku mau beli, tapi warung obat luka
nya tutup.”

“Lah, emang kenapa?”

“Adikku jatuh ke selokan, dia lari-lari dan terpeleset”

“Aduh, yasudah aku izin ke mamahku dulu.”

“Terimakasih ya, aku tunggu dirumahku.”

Temannya pulang menunggu kehadiranku. Semoga saja aku tidak membuat temanku menunggu
lama. Karena aku tidak suka membuat orang menunggu.

Setelah mendengar kabar itu, aku meminta izin untuk meminjam obat luka ke ibuku. Karena
membawa sesuatu tanpa izin itu dosa. Itulah yang dikatakan oleh guru ngajiku. Kalau misalnya aku
gak ngaji, mungkin aku akan langsung membawanya tanpa tahu bahwa itu salah.

“Mah aku ingin pinjam Betadine.”

“Buat apa?”

“Itu temanku jatuh ke selokan. Tadi ada kakaknya kemari. Sebentar doang kok.”

“Ya sudah, kalau begitu, di sana jangan main-main, langsung pulang!”

“Iya mah.”

Saat aku mau pergi ke rumah temanku, Dede bertanya kepadaku sambil fokus ke hpnya.

“Kak, mau kemana?”

“Mau ke rumah teman.”

“Terus, epep gimana?”

“Nanti aja deh, itu teman jatuh.

“Innalillahi. Aku ikut.”


“Dia belum meninggal.”

“Hehe.”

Aku membiarkan adikku ikut, dan membiarkan turun pangkat epep. Biarlah, teman lebih utama
daripada game. Nanti juga bisa naik lagi.

Setelah sampai ke rumah temanku, aku pun melihat temanku. Dan benar saja, temanku
terbaring lemas karena luka-luka setelah jatuh ke selokan. Temanku demam juga. Mungkin karena
hujan-hujanan. Aku langsung memberi obat luka. Karena kalau dibiarkan lama, akan terkena infeksi.
Jadi harus segera diobati. Seperti itu yang ibuku katakan.

“Terimakasih ya, setidaknya luka adikku sudah bersih.”

“Sama-sama. Kalau mau minta bantuan, jangan segan-segan. Kita ini teman, kan?”

“Sekali lagi terimakasih ya.”

“Iya, kalau gitu kami pulang dulu.”

“Hati-hati di jalan.”

“Assalamualaikum.”

“Waalaikum salam.”

Setelah selesai mengobati, aku langsung pulang. Tapi, tak terasa aku sudah 1 jam berada di
rumah temanku. Dan hujan semakin deras. Karena hujan deras, aku memutuskan untuk berteduh
sebentar sampai hujan sedikit mereda. Tapi, sudah sekian lama aku menunggu, hujan masih deras.

“Ahh, lama sekali, kalau begitu aku hujan-hujanan aja deh. Yuhuuu.” Dede malah hujan-hujanan
karena sudah tak sabar menunggu.

“Hei, tunggu.”

Aku masih menunggu. Namun, akhirnya kesabaranku juga mulai habis. Aku pun ikut hujan-hujanan.
Karena pikirku, kalau kelamaan akan magrib.

Aku dan Dede bermain hujan-hujanan di halaman rumah temanku. Saat bermain, aku baru
ingat kalau ada kolam ikan di belakang rumah temanku. Aku bertanya kepada Dede untuk
memastikan.

“De, bukannya ada kolam ikan di belakang rumah ini ya?”

“Oh iya, kenapa kita gak kesana daritadi?”

“Ayolah tunggu apalagi, berangkat!”

Aku dan Dede meloncat ke kolam ikan. Kami berenang, main perang air, tahan nafas siapa yang kuat
dia pemenangnya, dan permainan seru yang lain. Aku berlarian kesana, kemari dan tertawa
menikmati tetes-tetes air yang menyerang tubuhku. Rasanya sangat segar.
Karena sudah mau magrib, aku memutuskan untuk melakukan permainan penutup. Yaitu
lempar tangkap botol. Saat aku melempar, lemparan itu terlalu jauh. Sehingga Dede malas untuk
membawanya. Karena itupun, Dede langsung pulang. Aku berjalan untuk membawanya, karena
botol itu taperware dari rumah. Kalau taperware hilang, ibuku akan malah

“Kak, jangan kesana!!!”

Aku sempat mendengar perkataan Dede, tapi langkahku tidak berhenti. Aku seperti pindah ke alam
lain. Penglihatanku hanya hijau air kolam ikan. Aku tidak bisa merasakan apa-apa. Dan aku sadar,
mungkin aku akan meninggal. Saat itu, aku teringat perkataan ibuku sebelum aku ke rumah
temanku. Aku menyesalinya, sangat menyesalinya. Entah kenapa, saat itu aku malah teringat
kejadian tenggelam di serial tv sinetron.

“Mah, maafkan aku. Aku sudah berbohong kepadamu.” Di dalam hati aku terus mengatakan itu. Saat
sedang menyesali perkataan aku melihat ada ikat lewat. Dan aku sadar, bahwa aku tenggelam.
Tubuhku lemas, dan semakin lemas. Tiba-tiba, ada sesuatu yang menarik rambutku. Aku panik,
karena aku mengira kalau yang menarik rambutku itu, hantu. Ternyata, itu temanku yang menarikku
keluar. Ya, aku diselamatkan temanku, karena kelalaianku.

Saat tenggelam, aku tidak merasakan apa-apa, tapi saat sudah keluar dan bisa bernafas, aku
mulai merasa engap di dada.

“Ucapkan astaghfirullah!” Kata temanku

“Astagfirullah.. Astaghfirullah.. Astaghfirullah.” Aku mengucapkannya sambil menangis.

“Sudah, sekarang kalian pulang saja, sudah magrib.”

“Iya.”

Aku pulang tanpa sepatah kata apapun, tanpa mengucapkan terimakasih aku pulang karena masih
syok.

“Makanya kalau dibilangin itu, dengerin!”

“Aku udah bilang, jangan kesana.”

“Aku sempat mendengarmu, tapi entah kenapa langkahku tidak berhenti.”

“Untung aku memanggil temanmu itu, bahwa kau tenggelam.”

“Maaf dan terimakasih.”

“Iya, sudah jangan menangis.”

Aku pulang dengan rasa takut dimarahi karena sudah berbohong kepada ibuku. Bagaimana
reaksi ibuku saat mengetahui aku tenggelam? Mungkin aku akan dimarahi karena sudah berbohong
dan membahayakan nyawaku.

Kami tiba di rumah. Dede mencari ibu untuk bilang apa yang sudah terjadi. Dede mencari
ibu, tapi tidak ada. Dede terus mencari.
“Maahh, mamah dimana?”

“Kenapa De? Mamah lagi di dapur.”

“Mah, kakak tenggelam.”

“Apa? Terus sekarang dia dimana?”

“Itu masih di luar.”

Ibu keluar sambil menarikku ke dalam rumah.

“Mah, maaf aku berbohong. Aku malah hujan-hujanan.”

“Aduhh, makanya kalau orangtua bilang itu dengerin dan lakukan!”

“Yasudah, sekarang kalian mandi! Takut masuk angin.”

“Iya mah.”

Aku pun mandi. Saat mandi, aku masih kepikiran bahwa aku sudah mengalami sesuatu yang
buruk sampai membahayakan nyawaku. Aku juga masih merasa bersalah karena sudah berbohong.
Saat itu pun aku bertekad, aku akan berusaha untuk tidak akan berbohong lagi. Apalagi berbohong
kepada orang tua.

Setelah sudah mandi, aku memakai baju dan langsung tidur. Mungkin tidur akan meredakan
rasa syok dan aku tidak akan kepikiran terus. Aku mencoba tidur tapi tidak bisa. Aku berusaha
memejamkan mataku tapi tetap tidak bisa. Aku terus berusaha tidur sambil membacakan do'a tidur
berulang kali. Setelah beberapa menit memejamkan mata sambil baca do'a, aku pun terlelap.

“Hah... Hah... Hahh..” aku terbangun berkeringat.

“Ada apa ini?” aku bingung, apa yang sudah terjadi?

“Oh iya, kemarin aku kan tenggelam.”

“Tapi apakah aku benar-benar tenggelam?” samar-samar aku tidak mengingat apa yang sudah
terjadi.

Aku penasaran dan bertanya kepada Dede.

“De, kemarin ada sesuatu?”

“Sesuatu apaan? Kemarin kan kau hanya tidur dari sore sampai malam.”

“Hah? Bukannya kita kemarin ke rumah teman?”

“Apaan sih, ngelantur kau.”

Aku semakin bingung, apa yang sebenarnya sudah terjadi? Apakah tadi itu hanya mimpi?

“Oh iya, saat tidur, kau ngelindur seperti sedang mimpi. Kau engap engap gajelas.”
Ternyata benar ya, tadi itu hanya mimpi. Ternyata itu semua tidak terjadi. Tapi aku akan tetap
bertekad untuk berusaha agar tidak berbohong kepada orang tua. Aku mencoba menenangkan
pikiran dengan ngepush epep lagi.

“De, ngepush kuy! Kemarin kita mabar tapi malah turun.”

“Mabar kapan coba? Tapi...Hayu.”

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai