Desain - SPDM Geospasial or Id PDF
Desain - SPDM Geospasial or Id PDF
Ringkasan
Sistem Koordinat Planimetrik Nasional (SKPN), selama ini lebih dikenal sebagai sistem proyeksi
transverse mercator yaitu TM6 atau Universal Transverse Mercator (UTM) dan TM3. SKPN
didesain untuk memudahkan dalam menggunakan koordinat planimetrik 2-dimensi bagi
praktisi survei dan pemetaan, teknik rekayasa, sistem/sains informasi geografi, sistem informasi
kadaster, dan pekerjaan lainnya, yang sekaligus bersamaan dengan menggunakan Datum
Geodesi Nasional yang saat ini dinamakan Sistem Referensi Geospasial Indonesia (SRGI). Aspek
fungsionalisasi SKPN dan SRGI, akan tidak optimal dalam implementasinya bila hal-hal berikut
menjadikan tidak atau enggan diterima oleh khalayak, yaitu: (1) Jarak-jarak di peta pada
kenyataannya berbeda signifikan dengan jarak-jarak horizontal ‘sebenarnya’ di tanah, (2) pada
umumnya praktisi dan pengguna akan menghindari hal yang membuat rumit dan tidak
dipahami mereka, dan (3) manfaat yang diperoleh tidak menjadi pembenaran dengan melalui
hitungan rumit dan ekstra data. Namun, ketiga hambatan tersebut dapat diatasi melalui
pendidikan, pelatihan dan spesifikasi teknis, dan dengan ketersediaan kecanggihan
instrumentasi ukur dan/atau rekam ditambah begitu digdayanya mesin hitungan komputer di-
era serba digital, berbagai solusi hanya tinggal memilih. Dan dari pilihan yang tersedia, sudah
pada saatnya untuk men.de.sa.in ulang kebijakan SKPN yang selama ini digunakan. Satu
alternatif pilihan logis adalah dengan mengimplementasikan ‘Sistem Proyeksi Distorsi
Minimum’ atau SPDM, agar perbedaan signifikan jarak-jarak di peta dan jarak-jarak horizontal
‘sebenarnya’ di tanah, secara virtual terminimalisir. SPDM layak diimplementasikan, supaya
seluruh data geospasial (DG) dan produk informasi geospasial (IG) dapat inter-operabilitas, dan
upaya mewujudkan Satu Peta Indonesia Raya menjadi suatu keniscayaan. Pada konteks
kekinian melakukan jalan pintas ‘map rubber-sheeting and/or rubber-cheating’ harus
dihindarkan, hari gini ... apa kata dunia?. Tulisan ini mengulas algoritma ‘Sistem Proyeksi
Distorsi Minimum’ sebagai suatu alternatif dari SKPN yang digunakan selama ini, untuk
mendukung terwujudnya Kebijakan Satu Peta atau One Map Policy supaya dalam
implementasinya menjadi lebih mudah.
Latar Belakang
Tuntutan dari para pengguna akan ketersediaan produk DG dan IG berkualitas dengan
ketelitian tinggi pada saat ini dan mendatang, adalah merupakan suatu keharusan. Hal ini
terjadi, karena kebutuhan suatu sistem koordinat yang menghasilkan jarak-jarak di bidang
proyeksi atau peta, baik di lembaran kertas maupun di basis data geospasial digital, dapat
sedekat mungkin dengan jarak-jarak ‘sebenarnya’ dipermukaan rupabumi dari hasil pengukuran
terestris.
2
Sistem koordinat proyeksi dipastikan mengandung distorsi—ini suatu kenyataan adanya. Suatu
distorsi linier adalah terdapat perbedaan antara jarak 2 titik berkoordinat dibidang proyeksi
atau peta dan jarak horizontal ‘sebenarnya’ di 2 titik yang sama dipermukaan rupabumi.
Perbedaan jarak akibat distorsi ini, dapat signifikan dan menimbulkan keraguan tentang jarak
mana yang ‘benar’. Jarak horizontal ‘sebenarnya’ pada 2 titik dipermukaan rupabumi = 1000 m,
di peta TM6 atau UTM dengan faktor-skala: 0,9996 di meridian sentral, jaraknya = 999,6 m,
artinya terjadi distorsi sebesar 40 cm. Hal yang sama, di peta TM3 dengan faktor-skala: 0,9999
di meridian sentral, jaraknya = 999,9 m, terjadi distorsi sebesar 10 cm. Dan titik-titik yang
lokasinya makin jauh dari meridian sentral, distorsi membesar.
Walaupun, distorsi tersebut tidak dapat dieliminir, tetapi masih dapat diminimalisir sekecil
mungkin, diantaranya dengan ‘Sistem Proyeksi Distorsi Minimum’. Dan SPDM adalah masih
merupakan sistem proyeksi peta konformal TM, yang bertujuan untuk membuat cakupan area
seluas mungkin dengan distorsi linier minimal, dan tetap dapat mempertahankan bentuk, jarak,
dan lebih lanjut sudut dan azimuth.
Desain SPDM adalah untuk lebih memudahkan antar produk survei terestris dengan data
sistem/sains informasi geografi dan data sistem informasi kadaster terjadi interoperabilitas.
Sehingga, kondisi dan letak objek-objek “sebenarnya” dipermukaan rupabumi atau di-tanah
dapat ter-representasi-kan dengan “seamless” pada seluruh DG dan produk IG, serta dalam
pelayanannya untuk pemanfaatan bersama.
Pada aspek ‘solid geometry’, nilai koordinat ‘sebenarnya’ dari suatu penentuan posisi di
permukaan rupabumi adalah yang berawal atau mengacu pada pusat massa gayaberat Bumi,
Earth Center Earth Fixed (ECEF). Dan dinyatakan dalam Sistem Koordinat Kartesian X, Y, Z (Xo,
Yo, Zo = Geosentris).
Para pengguna dalam penentuan posisi geodetik, dapat mengakses langsung nilai koordinat
‘sebenarnya’ ITRF pada stasiun-stasiun geodetik referensi global, yang pada umumnya dapat
dilakukan dengan penentuan posisi berbasis konstelasi satelit Global Positioning System
(GPS)/Global Navigation Satellite System (GNSS). Kualitas tingkat ketelitian koordinat yang
diperoleh dari penentuan posisi-posisi tersebut, sangat tergantung pada metode pengamatan,
piranti lunak yang digunakan, dan strategi proses hitung perataan jaringan data lanjutan yang
dapat mengeliminir sumber-sumber kesalahan teridentifikasi.
Selanjutnya, dari nilai koordinat posisi-posisi yang ditentukan dipermukaan rupabumi tersebut
dan dinyatakan dalam koordinat Kartesian X, Y, Z, di-konversi keberbagai sistem koordinat
lainnya disesuaikan dengan kebutuhan pengguna. Diagram 1. menggambarkan alur proses dari
koordinat X, Y, Z di-konversi ke sistem koordinat lainnya.
Diagram 1.
Proses konversi dari koordinat X, Y, Z ke koordinat lainnya
Dalam proses hitungan konversi koordinat metode ‘langsung’, setelahnya sangat disarankan
melakukan proses hitungan konversi koordinat metode ‘terbalik’, untuk dapat dikembalikan ke
koordinat semula sebelum konversi. Hal ini dimaksudkan selain untuk validasi rumus atau
persamaan yang digunakan, juga dikembalikan ke koordinat semula, utamanya: ke koordinat
lintang (), bujur (), tinggi (h) dan/atau X,Y,Z adalah untuk memudahkan pengintegrasian
berbagai jenis data. Seluruh proses hitungan konversi koordinat didokumentasikan dengan
lengkap dan rapih, sebagai metadata!!.
Untuk pemberian koreksi dari perubahan koordinat linier dan/atau non-linier akibat proses
aktifitas seismik atau perubahan koordinat sebab-sebab lainnya, hanya dapat
diimplementasikan pada nilai koordinat toposentrik (e,n,u).
Pada proses hitungan suatu proyeksi peta, dipastikan akan terjadi distorsi, hal yang tidak dapat
dihindarkan. Terjadinya distorsi adalah merupakan konsekuensi dari suatu upaya
merepresentasikan permukaan rupabumi dari bidang lengkung dengan variasi elevasi (3-
Dimensi=3D) ke bidang datar (=2D). Dan distorsi tersebut dapat diartikan sebagai terjadinya
suatu perubahan pada hubungan antara lokasi titik-titik yang ‘benar’ di permukaan rupabumi
dan titik-titik yang direpresentasikan di-bidang datar atau peta. Distorsi tidak dapat dieliminir.
Apa yang masih dapat dilakukan adalah meminimalisir efek-efek yang mengakibatkannya.
Secara umum, terdapat 2 tipe distorsi pada proyeksi peta, yaitu:
1. Distorsi linier, adalah beda jarak antara koordinat dua titik di-bidang proyeksi atau peta
dan dibandingkan dengan jarak horizontal “sebenarnya” pada dua titik yang sama di
permukaan rupabumi atau di-tanah. Dan dinyatakan dengan simbol .
Dapat dinyatakan sebagai rasio dari panjang distorsi dan panjang jarak:
misal. meter dari distorsi per-km; dan dinyatakan dengan satuan part-per-million
(=mm/km) 0,3 m/1,5 km = 200 ppm = 200 mm/km.
Distorsi linier bisa positif atau negatif:
distorsi NEGATIF, menunjukkan bahwa panjang jarak di-peta LEBIH PENDEK daripada
panjang jarak horizontal “sebenarnya” di-tanah.
distorsi POSITIF, menunjukkan bahwa panjang jarak di-peta LEBIH PANJANG daripada
panjang jarak horizontal “sebenarnya” di-tanah.
2. Distorsi sudut, pada proyeksi konformal TM sama dengan sudut konvergensi peta, dan
dinyatakan dengan simbol . Sudut konvergensi adalah beda sudut antara Utara-grid (peta)
dan Utara-sebenarnya (geodetik). parameter yang sangat dibutuhkan untuk aplikasi
pengukuran terestris dan teknik rekayasa.
Sudut konvergensi sama dengan nol di meridian-sentral (MS) proyeksi, positif di timur
dari meridian-sentral, dan negatif di barat meridian-sentral (Gambar 1.).
Makin jauh dari meridian-sentral sudut konvergensi makin besar, dan laju perbesarannya
mengikuti besaran lintang koordinat. Misal, pada lintang 0 dan 1,6 km dari MS, maka
konvergensi sebesar 0 00' 00ʺ; pada lintang 5 dan 1,6 km dari MS, maka konvergensi
sebesar ±0 00' 05ʺ, dan seterusnya.
Pada umumnya konvergensi tidak begitu berpengaruh signifikan sebagai suatu distorsi,
dan dapat diminimalkan selama area proyeksi dekat atau disekitar MS atau disekitar
ekuator.
Akan halnya bahwa distorsi linier tidak dapat dihindarkan, sebagai konsekuensi dari suatu
bidang lengkung 3-D dengan variasi elevasi dipermukaan rupabumi yang diproyeksikan ke
bidang datar 2-D, maka distorsi linier juga akan makin besar dengan perbedaan elevasi makin
tinggi terhadap permukaan ellipsoida referensi. Dan dapat diasumsikan bahwa fungsi “elevasi”
terhadap ellipsoida memberikan kontribusi signifikan pada distorsi linier.
Dengan demikian, suatu kombinasi distorsi linier yang disebabkan oleh faktor kelengkungan
bumi dan variasi elevasi di rupabumi terhadap ellipsoida referensi adalah sebagai total distorsi
linier horizontal. Dan besarnya distorsi relatif dari tiap komponen koordinat tergantung pada
variasi elevasi rupabumi dan luas cakupan area proyeksi.
Secara terminologi meridian-sentral (MS) sama dengan ‘sumbu proyeksi’ adalah sepanjang garis
dimana skala proyeksi konstan dan minimum (distorsi terhadap ellipsoida). Distorsi linier
horizontal daripada koordinat proyeksi yang disebabkan oleh kelengkungan bumi pada
berbagai lebar zona proyeksi ditampilkan secara ringkas pada Tabel 1.
Table1. Distorsi linier horizontal dari koordinat proyeksi yang disebabkan kelengkungan bumi
Distorsi linier yang disebabkan oleh faktor kelengkungan bumi adalah sebesar ±5 ppm untuk
cakupan area dengan lebar 56 km (tegak lurus terhadap sumbu proyeksi atau MS), dan sebagai
ilustrasi ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Sketsa distorsi linier pada koordinat proyeksi disebabkan oleh kelengkungan bumi.
Distorsi linier horizontal daripada koordinat proyeksi yang disebabkan oleh variasi elevasi
dipermukaan rupabumi terhadap ellipsoida referensi ditampilkan secara ringkas pada Tabel 2.
Tabel 2. Distorsi linier horizontal daripada koordinat proyeksi yang disebabkan oleh variasi
elevasi dipermukaan rupabumi diatas ellipsoida referensi.
Distorsi akibat perubahan elevasi (tinggi) dipermukaan rupabumi adalah sebesar ±5 ppm pada
ketinggian ±30 m, sebagai ilustrasi ditampilkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Sketsa distorsi linier yang disebabkan oleh perubahan tinggi diatas ellipsoida.
Objektif dari desain SPDM adalah untuk meminimalkan distorsi linier pada cakupan area
(proyeksi) seluas mungkin. Dan sebagaimana diketahui, bahwa dalam setiap proses proyeksi
peta, suatu distorsi tidak dapat dihindarkan, maka dari itu desain SPDM bertujuan untuk
pengoptimalan upaya dalam mengatasi masalah distorsi tersebut. Dengan perkataan lain, suatu
desain SPDM adalah agar produk koordinat-koordinat proyeksi dan ikutannya yaitu jarak-jarak
di bidang proyeksi atau peta, dapat “sedekat mungkin” dengan “nilai sebenarnya” dipermukaan
rupabumi atau di-tanah, tanpa mengabaikan kaidah-kaidah sistem proyeksi peta.
1. Pendefinisian distorsi untuk cakupan area proyeksi dan penentuan tinggi ellipsoida (= h)
yang dapat mewakili seluruh cakupan area (hrata-rata). Walaupun, tinggi ellipsoida rata-rata
seringkali belum dapat mewakili untuk desain faktor-skala (=ko) ideal, yang disebabkan
oleh faktor kelengkungan bumi dan/atau variasi (ekstrem) elevasi rupabumi, terkecuali
untuk area proyeksi relatif datar dan cakupan area kecil.
Objektif untuk “distorsi minimum” secara umum adalah ±20 ppm (± 0,020 m/km),
tetapi hal ini kemungkinan tidak dapat dicapai disebabkan oleh variasi beda tinggi
rupabumi dan/atau luasnya desain cakupan area proyeksi. Namun demikian, sebagai
patokan apa yang digambarkan pada Gambar 2, Gambar 3, Tabel 1 dan Tabel 2 dapat
dijadikan petunjuk untuk digunakan sebagai desain awal.
Desain ukuran/luas area. Distorsi yang disebabkan oleh faktor kelengkungan bumi
adalah ±5 ppm untuk lebar cakupan area 56 km. Dan lebar cakupan area tersebut
adalah tegak-lurus terhadap “sumbu proyeksi” atau meridian-sentral kearah barat
dan timur. Dan efek distorsi tidak linier: besarnya distorsi kelengkungan bumi
Variasi tinggi ellipsoida referensi di rupabumi. Distorsi yang disebabkan oleh faktor
perubahan tinggi adalah ±5 ppm untuk ketinggian ±30 m. Hanya saja efek
distorsinya linier, misalkan, perubahan ketinggian ke ±100 m sebanding dengan
distorsi ±16 ppm.
Pada suatu cakupan area dengan tinggi ellipsoida rata-rata (hrata-rata), akan dijumpai
hrata-rata tidak memadai untuk dapat mewakili tinggi untuk seluruh area-proyeksi,
utamanya di area pegunungan.
Untuk area pegunungan tidak perlu mengestimasi hrata-rata sampai dengan tingkat
ketelitian ±6 m yang sebanding dengan distorsi ±1 ppm. Tetapi, pada tahap awal
dalam penentuan faktor-skala proyeksi (=ko) yang menggunakan hrata-rata, akan
diperbaiki pada tahapan proses desain sampai maksimal (kompromistis).
2. Pilih dan tempatkan koordinat Bujur-awal “sumbu proyeksi” peta atau MS, menurut
pembagian zona sistem proyeksi TM standar (lihat pada Apendiks A), atau tempatkan
koordinat Bujur-awal MS di sentral cakupan suatu area proyeksi.
3. Penentuan faktor-skala (=ko) “sumbu proyeksi” peta atau MS, mewakili tinggi di-tanah
Rm adalah nilai rata-rata radius kelengkungan bumi geometrik di meridian () dan di
vertikal utama ( ), diringkas pada Tabel 3., dan diilustrasikan pada Gambar 4.:
Tabel 3. Nilai rata-rata radius kelengkungan bumi geometrik Rm di-meridian () dan vertikal
utama () untuk wilayah NKRI sebagai fungsi dari koordinat Lintang ().
Gambar 4. Sketsa hubungan antara jarak: di-tanah; di-ellipsoida (geodetik); di-peta; dan radius
rata-rata kelengkungan bumi.
Desain Sistem Proyeksi Distorsi Minimum
Untuk Pengintegrasian Berbagai Skala Peta
Dalam Mewujudkan Satu Peta Indonesia Raya
csubarya@gmail.com
10
4. Penentuan distorsi di seluruh cakupan area proyeksi dan perbaikan parameter desain
Dengan melakukan hitungan distorsi di suatu titik proyeksi (pada tinggi ellipsoida h):
Rm
k
1
Rm h
Dimana, k = faktor-skala di suatu titik dibidang proyeksi, yaitu, distorsi di titik itu
terhadap ellipsoida referensi. Dan nilai k, diperoleh dari hasil proses proyeksi TM,
atau dengan menggunakan persamaan (Stem, 1990, halaman 32-35) berikut ini:
Untuk mendapatkan nilai distorsi , pada satuan parts per million (ppm), dikalikan
1000000.
Untuk mendapatkan distorsi minimum pada seluruh cakupan area dan menghasilkan
distorsi peta, adalah dengan melakukan evaluasi kembali pada nilai ko yang berbeda,
sampai mendapatkan nilai ko terbaik. Hal ini dengan memindahkan koordinat Bujur-
awal (o) “sumbu proyeksi” atau MS, sampai di tempat yang terbaik.
Definisikan ko dengan nilai angka desimal setelah tanda koma (,) tidak lebih dari 6
angka. Contoh: 0,999918 (eksak).
Suatu perubahan 1 angka pada 6 angka desimal (±1 ppm), akan menimbulkan distorsi
terhadap komponen tinggi ±6 m.
Definisikan bujur meridian-sentral o dan lintang awal grid peta sampai dengan
bilangan menit integer. Misalkan: o = 106 30' 00ʺ BT atau 106,5 BT.
Definisikan koordinat awal (origin) grid peta pada bilangan integer (misal, koordinat
timur semu, xsemu = 200000 m, dan koordinat utara semu, ysemu = 1500000 m untuk
wilayah di selatan ekuator, dan ysemu = 0 m untuk wilayah di utara ekuator). Dalam
pendefinisian koordinat awal grid peta, tidak akan mempunyai pengaruh sama sekali
terhadap distorsi proyeksi peta.
Untuk menghindari nilai koordinat SPDM sama dengan nilai koordinat TM6 (UTM)
dan/atau TM3, sebaiknya pendefisian koordinat awal (origin) grid peta SPDM
dapat diawali dengan nomor zona (misal, xTM3= 238589,759 m; yTM3= 782284,027 m
xSPDM = 238593,464 m = 488593,464 m (48 = nomor zona); ySPDM = 782215,120 m =
482215,120 m (48 = nomor zona).
Akan lebih baik dalam pendefinisian nilai koordinat awal grid peta pada komponen
timur (x) dan utara (y) berbeda untuk setiap daerah yang dipetakan.
6. Pendefinisian satuan (unit) linier dan sistem referensi ‘solid geometric’ (= datum
geodetik)
Suatu realisasi sistem referensi (‘datum tag’ = tanda tahun realisasi datum) selama
ini belum (sepenuhnya) direalisasikan dalam pendefinisian sistem koordinat
planimetrik nasional, baik TM6 dan/atau TM3. Padahal, tuntutan akan seluruh DG
dan produk IG dimasa datang menjadi suatu kebutuhan, bila ingin mendapatkan
produk IG berkualitas dengan ketelitian memadai, untuk saling bersinergi dan dapat
terintegrasi. Dan tanda tahun realisasi datum biasanya diletakkan dalam tanda
kurung () setelah nama datum geodetik, yang menunjukkan produk daftar koordinat
stasiun-stasiun geodetik referensi hasil proses data hitung perataan jaringan selesai
dan dinyatakan sah. Misal, SRGI2013 epoch 2012 (2013.??? = ‘datum tag’).
Bilamana sistem referensi ‘solid geometric’ dengan tanda tahun realisasi datum
diimplementasikan, artinya setiap terdapat perubahan koordinat linier dan non-
linier yang disebabkan oleh aktivitas proses seismik, evolusi ITRF sebagai acuan, dan
sebab-sebab lainnya, nilai-nilai perubahan koordinat tersebut hanya dapat
diimplementasikan pada sistem koordinat toposentrik (lihat Diagram 1.).
Pendefinisian sistem referensi ‘solid geometric’ dengan tanda tahun realisasi datum,
yaitu SRGI2013 epoch 2012 (tttt.hhh: t=tahun; h=hari kalender tahun) fungsi
utamanya adalah didesain supaya seluruh DG dan produk IG berintegrasi pada satu
sistem koordinat referensi dalam mewujudkan Kebijakan Satu Peta Indonesia Raya.
Namun, sistem referensi ‘solid geometric’ dengan tanda tahun realisasi datum ini
sangat berrisiko tinggi, yang berpotensi menambah akumulasi kerumitan
dikemudian hari. Terkecuali, tahapan proses pengumpulan DG sampai jadi produk
IG dilaksanakan dengan tertib, taat aturan spesifikasi teknis komprehensip tanpa
kompromi. Selain daripada itu, dengan ketersediaan fasilitas serba ada dan canggih,
pola pikir dan paradigma ber-kinerja cara sebelumnya sangat segera harus dirubah.
Misal, Sistem Koordinat Planimetrik Nasional yang selama ini digunakan, dapat
ditinjau ulang dengan mengimplementasikan Sistem Proyeksi Distorsi Minimum.
Bila masih “keukeuh” nyaman dengan paradigma lama, hakul yakin pengintegrasian
Informasi Geospasial Dasar akan menghadapi kesulitan tingkat tinggi dan hampir
mustahil dapat menghasilkan ‘map edge matching and/or seamless’, apalagi untuk
pengintegrasian Informasi Geospasial Tematik.
Dan yang terbangun malahan hanya IGD (Informasi Geometrik Darurat) dan IGT
(Informasi Gaya Tampilan), dengan syarat dan ketentuan berlaku pada kalangan
sendiri-sendiri dan terbatas.
Sistem Koordinat
Pada konteks sistem koordinat proyeksi peta, terdapat 4 jenis sistem koordinat yang berkaitan
erat satu sama lain. Ke-4 jenis sistem koordinat tersebut, yaitu: Kartesian Geosentrik; Kartesian
Lokal Toposentrik; Geodetik; dan Kartesian Planimetrik.
Bagaimanapun, suatu jarak horizontal antara 2 titik atau stasiun sangat diperlukan dalam
kompilasi peta, tetapi bukan jarak miring. Maka, untuk mendapatkan suatu jarak horizontal
terlebih dahulu harus dilakukan suatu konversi dari koordinat Kartesian XYZ ke koordinat
geodetik lintang, bujur dan tinggi diatas ellipsoida referensi. Kemudian dari koordinat
geodetik tersebut, jarak horizontal dan/atau jarak geodesik dapat dihitung.
Koordinat Kartesian Lokal Toposentrik, ‘Timur (e): Utara (n): Vertikal (up)’ atau ‘enu’.
[notasi e, n, up digunakan untuk membedakan dengan koordinat planimetrik peta ‘timur
(x) dan utara (y)’]. Koordinat Kartesian Lokal Toposentrik (lihat pada Diagram 1.) adalah
sistem koordinat yang berguna dalam mengeksaminasi secara statistik jarak-jarak basis
(baselines) GPS, dan pendifinisiannya adalah sebagai suatu sumbu lokal ‘enu’ ditengah-
tengah suatu area-kerja atau pada/diatas permukaan rupabumi.
Pada prinsipnya sistem koordinat ‘enu’ mirip dengan sistem koordinat Kartesian geosentrik
‘XYZ’, dan keduanya mempunyai tiga sumbu koordinat bersama yang saling tegak lurus dan
koordinatnya merupakan jarak dari titik awal (origin) geosentrik. Sesungguhnya, setiap titik
pada sistem koordinat ‘enu’ adalah sistem koordinat ‘XYZ’ yang di-translasi-kan dari
geosentris ke titik awal (origin) lokal, dan kemudian di-rotasi-kan sedemikian rupa hingga
sumbu-Y menjadi komponen sumbu-Utara (n), sumbu-X menjadi komponen sumbu-Timur
(e), dan sumbu-Z menjadi komponen sumbu-Vertikal (up).
Untuk mengkonversi dari ‘XYZ’ ke ‘enu’ pada suatu titik atau stasiun lokal dipermukaan
rupabumi, terlebih dahulu dibutuhkan koordinat geodetik lintang (), bujur () dan
koordinat (X, Y, Z) dari titik tersebut, dengan melalui persamaan berikut:
e sin cos sin sin cos X T
x
n sin cos 0 Y T
y
up cos cos cos sin sin Z T
z
Sistem koordinat ‘enu’, tidak diartikan sebagai suatu sistem proyeksi, yang sesungguhnya
adalah merupakan bentuk dari suatu translasi dan rotasi dari sistem koordinat ‘XYZ’.
Walaupun, dalam pendefinisiannya sistem koordinat ‘enu’ titik awal lokal toposentrik
‘tangent’, disinggungkan atau bertemu dipermukaan ellipsoida referensi pada satu titik,
dan sistem koordinat ‘enu’ diproyeksikan ke bidang permukaan ellipsoida. Untuk itu hampir
seperti sistem koordinat proyeksi, arah komponen Timur dan Utara pada sistem koordinat
‘enu’ deviasinya bertambah terhadap Timur-Utara geodetik begitu jaraknya membesar dari
titik awal. Dan fenomena ini dikenal sebagai konvergensi (lihat pada Gambar 1.).
Koordinat Geodetik, adalah koordinat geodetik lintang (), bujur () dan tinggi diatas
ellipsoida referensi (h). Lintang geodetik merupakan suatu sudut yang terbentuk dimana
radius kelengkungan bumi di vertikal utama bertemu dengan bidang ekuatorial (lihat pada
Diagram 1.). Dan tinggi ellipsoida adalah panjang vektor dimulai dari permukaan dan
‘normal’ terhadap ellipsoida referensi yang berakhir di suatu titik dipermukaan rupabumi.
Untuk mengkonversi dari sistem koordinat ‘XYZ’ ke koordinat geodetik dengan solusi
langsung tanpa iterasi (hanya dapat mencapai ketelitian sentimeter untuk tinggi < 1 km),
dengan menggunakan persamaan berikut:
2 Za a2 b2
dimana: p X Y 2 ;
a tan ;
e 2
pb b2
dan, = radius kelengkungan bumi di vertikal utama,
a = setengah sumbu panjang ellipsoida referensi
b = setengah sumbu pendek ellipsoida referensi
f = faktor pegepengan ellipsoida referensi
e2 = 2f – f2
Variasi Skala, tidak ada satupun sistem proyeksi yang dapat mempertahankan faktor-
skala secara konstan diseluruh cakupan area proyeksi. Dan distorsi skala kebanyakan
dihitung pada arah meridian (sentral) dan paralelnya, yang diberi notasi ‘k ’. Sebagai
ilustrasi di sketsakan pada Gambar 5 dan 6, berikut:
Jarak
Pada bahasan ini, mendefinisikan dan membandingkan berbagai jarak dari produk hitungan
dengan sistem koordinat yang dijelaskan diatas, adalah untuk dapat membedakan antara jarak
di-tanah, jarak di-ellipsoida referensi (geodesik), dan jarak di bidang proyeksi atau peta., yang
ketiganya saling berbeda nilainya (lihat pada Gambar 7.).
Jarak antara 2 titik atau lebih di permukaan rupabumi dinamakan jarak di-tanah. Sesuai dengan
perkembangan teknologi instrumentasi ukur dan/atau rekam dan metoda hitungan, jarak
dipermukaan rupabumi diperoleh mulai dengan melakukan pengukuran menggunakan rantai-
ukur, odometer beroda terkalibrasi, sipat-datar trigonometri, EDM, dan TS-EDM.
Pada umumnya, sebelum melaksanakan suatu pekerjaan selalu dilakukan suatu perencanaan
teknis, untuk membuat desain tata-letak pekerjaan sesuai cakupan area kerja, supaya dalam
pelaksanaannya berjalan efektif dan efisien. Dalam pembuatan suatu desain pekerjaan, peta
berkualitas mempunyai peran penting dan strategis, dan yang dinamakan peta berkualitas
adalah peta dengan distorsi linier geometris minimum, artinya adalah IG di peta posisinya dapat
sedekat mungkin dengan yang ada ‘sebenarnya’ dipermukaan rupabumi.
Reduksi Jarak, selama ini jarak horizontal pada bidang lokal di-tanah (=B, lihat pada
Gambar 8.) hasil pengukuran terestris, terlebih dahulu harus di-reduksi ke jarak di-
ellipsoida referensi (jarak geodesik), kemudian ke jarak reduksi dibidang proyeksi atau peta
(Jreduksi-C) UTM dan/atau TM3, dengan mengaplikasikan faktor-skala (ko).
Gambar 8. Sketsa geometri reduksi jarak horizontal di bidang lokal ke ellipsoida referensi
R
dan rasio dari dapat dikatakan sebagai suatu faktor skala untuk didefinisikan
R h m
R
sebagai fakto-skala tinggi (= FST), maka: FST = .
R h m
Bila, jarak di bidang proyeksi atau peta (= Jpeta) sebagai suatu garis lurus, maka:
Jpeta = GSF x B
Selanjutnya, nilai koordinat geodetik kedua stasiun GPS tersebut, di konversi ke standar
TM6 pada faktor-skala, ko = 0,9996, dengan ‘metode hitungan langsung’ menggunakan
formula Redfearn; Gauss-Krüger; atau lainnya, yang umum digunakan. Maka akan
diperoleh:
dan jarak-di-peta ANCOL-PRIOK pada faktor skala, ko = 0,9996, dapat dihitung dengan
persamaan:
Bila, nilai koordinat geodetik kedua stasiun GPS tersebut, di konversi ke standar TM3
pada faktor skala, ko = 0,9999, dengan ‘metode hitungan langsung’ menggunakan
formula yang sama. Dan xsemu = 200000 m ; ysemu = 1500000 m, maka akan diperoleh:
dan jarak-di-peta ANCOL-PRIOK pada faktor skala, ko = 0,9999, dapat dihitung dengan
persamaan:
Jpeta = [(242309,301 240387,887)2 + (824406,392 823519,815)2]1/2
= 2116,093 m.
dengan cara yang sama, untuk menentukan jarak-horizontal-di-tanah dari jarak-di-peta,
tentukan nilai krata-rata = (kancol + kpriok)/2 = (0,999920 + 0,999922)/2 = 0,999921, maka:
Jditanah = Jpeta : krata-rata = 2116,093 m : 0,999921 = 2116,260 m.
Selanjutnya bila, nilai koordinat geodetik kedua stasiun GPS tersebut, di konversi ke TM
dengan menggunakan ‘Sistem Proyeksi Distorsi Minimum (SPDM)’ pada faktor skala, ko
= 0,999996 dengan memperhitungkan tinggi ellipsoida rata-rata antara 2 stasiun (hm),
dengan ‘metode hitungan langsung’ menggunakan formula yang sama. Dan xsemu =
35000 m ; ysemu = 2000000 m ; o = 106 49' 00ʺBT ; o = 5 30' 00ʺLS, maka akan
diperoleh:
dan jarak-di-peta ANCOL-PRIOK pada faktor skala, ko = 0,999996, dapat dihitung dengan
persamaan:
Sebagai uji komparatif, pada hitungan reduksi jarak horizontal di-tanah ‘ANCOL-PRIOK’
dari jarak di-peta menggunakan TM faktor-skala, masing-masing: 0,9996; 0,9999; dan
0,999996, kemudian dibandingkan ‘kedekatan’ antara nilai jarak di-peta dan jarak di-
tanah, yang diringkas seperti pada Tabel 4.
Tabel 4. Ringkasan ‘kedekatan’ antara nilai jarak di-peta dan jarak di-tanah.
JARAK [AncolPriok]
(meter)
faktor-skala di-peta di-tanah
(ko) beda-jarak ()
2116,541 2116,261
0,9996 0,280
2116,093 2116,260
0,9999 0,167
2116,253 2116,260
0,999996 0,007
ko: 0,999996 adalah faktor-skala ‘Sistem Proyeksi Distorsi Minimum’.
Pada Tabel 4., hasil hitungan reduksi jarak horizontal di-tanah ‘ANCOL-PRIOK’ dari jarak
di-peta, menunjukkan bahwa jarak di-peta produk ‘SPDM-TM’ pada faktor-skala =
0,999996 adalah nilai yang paling mendekati jarak horizontal di-tanah ‘sebenarnya’,
dengan beda-jarak sebesar -0,007 m.
Sesungguhnya, selama ini peta-peta TM6 atau UTM dan TM3 nilai-nilai koordinatnya
bukan berada dipermukaan rupabumi melainkan di perut-bumi (dalam-dangkalnya
tergantung tinggi diatas ellipsoida referensi), dan ter-distorsi linier horizontal. Sedangkan,
pengukuran terestris, kadaster, konstruksi, sistem/sains informasi geografi, desain
pekerjaan, perencanaan tata ruang wilayah dan banyak lagi, semua imaginasi spasialnya
di(atas)permukaan rupabumi.
Sehingga, supaya nilai-nilai koordinat pada semua objek-objek yang direpresentasikan di-
peta-peta, mendekati keadaan ‘sebenarnya’ dipermukaan rupabumi (the real world),
adalah dengan mengimplementasikan ‘Sistem Proyeksi Distorsi Minimum’. Suatu pilihan
terbaik, untuk menjawab tantangan kebutuhan masa-depan, diantara banyak alternatif.
Berikut adalah desain ‘SPDM’ untuk suatu daerah yang akan dipetakan, dengan variasi elevasi
permukaan rupabumi relatif datar (di wilayah provinsi DKI-Jakarta dan sekitarnya) dan
pegunungan (di wilayah kota Palu dan sekitarnya, provinsi Sulawesi-Tengah).
Data-data stasiun-kontrol geodetik yang digunakan adalah dengan nilai koordinat faktual
produk hitung perataan jaringan data GPS relatif terhadap IGb2008 epoch 2012.00 berdasarkan
ITRF2008 epoch 2005.00. Daftar koordinat stasiun-kontrol GPS dengan nilai koordinat geodetik
(, ,h) dan koordinat planimetrik (x,y), selengkapnya dapat dilihat di Apendiks B.
Untuk uji komparatif, dilakukan dengan jarak antara tiap dua stasiun-GPS produk hitungan jarak
di-peta dan direduksi ke jarak di-tanah dari koordinat planimetrik (TM6 atau UTM; TM3; dan
SPDM) menggunakan faktor-skala (k) dimasing-masing titik-proyeksi.
Desain pasangan titik yang akan dibandingkan, dimulai dari titik/stasiun kontrol geodetik yang
posisinya paling Barat dan mendekat ke Meridian-Sentral (MS) sistem proyeksi, dan/atau dari
sekitar MS dan menjauh ke Timur.
Desain ‘SPDM’ di wilayah DKI-Jakarta dan sekitarnya yang diasumsikan datar, dengan desain
area; barat-timur 63 km ( 31,5 km barat-timur dari MS) dan utara-selatan 118 km; menurut
pada Tabel 1. desain area barat-timur dengan lebar zona 56 km, distorsi linier horizontal
maksimum adalah ±5 ppm; dan MS awal Bujur ( o) = 106 49' 00ʺ BT dan awal Lintang (o) = 5
30' 00ʺ LS dengan xsemu = 35000 m dan ysemu = 2000000 m. Dengan tinggi diatas ellipsoida
referensi WGS84(G1762), hrata-rata 27 m, maka diperoleh ko = 0,999996.
Pada sistem proyeksi standar TM6 atau UTM, wilayah DKI-Jakarta berada di Timur MS awal
Bujur ( o) = 105 00' 00ʺ BT dan awal Lintang (o) = 0 0' 0ʺ di ekuator dengan xsemu = 500000 m
dan ysemu = 10000000 m, ko = 0,9996, pada Zona 48 (lihat pada Apendiks A.).
Dan pada sistem proyeksi standar TM3, wilayah DKI-Jakarta juga masih berada di Timur MS
awal Bujur ( o) = 106 30' 00ʺ BT dan awal Lintang (o) = 0 0' 0ʺ di ekuator dengan xsemu =
200000 m dan ysemu = 1500000 m, ko = 0,9999, pada Zona 48-2 (lihat pada Apendiks A.). Dan,
posisi stasiun kontrol geodetik paling barat dari MS pada desain ‘SPDM’, berdekatan dengan
MS TM3.
Uji komparatif, dengan jarak antara tiap dua stasiun-GPS produk hitungan jarak di-peta dan di-
tanah dari koordinat planimetrik (TM6 atau UTM; TM3; dan SPDM), diringkas pada Tabel 5.,
dengan penjelasan: Beda () = jarak di-tanah minus jarak di-peta ; distorsi linier horizontal (),
dan Rm (nilainya didapatkan pada Tabel3.), dihitung dengan persamaan:
Rm 6357217 ,307
k
1 , misalkan: = 0,9999965 x 1 = 12,7 ppm
Rm h 6357217 ,307 58,429
Tabel 5. Ringkasan Beda jarak di-peta dan di-tanah dan distorsi linier horizontal
diarea desain ‘SPDM’ relatif datar, untuk contoh diwilayah DKI-Jakarta
JARAK
Dari Ke Sistem Di-peta Di-tanah Beda () Distorsi
Proyeksi (m) (m) (m) (ppm)
TM6 76375,232 76378,402 3,170 -42
0288-0298 TM3 76370,795 76378,433 7,638 -100
SPDM 76379,019 76378,408 -0,611 3
TM6 25102,424 25102,964 0,540 -22
0298-jk23 TM3 25100,486 25102,971 2,485 -99
SPDM 25103,090 25102,965 -0,126 2
TM6 60680,003 60679,548 -0,455 7
jk23-ctgr TM3 60673,659 60679,545 5,886 -97
SPDM 60679,594 60679,533 -0,061 -6
TM6 14970,865 14970,475 -0,390 26
ctgr-jku9 TM3 14969,045 14970,467 1,422 -95
SPDM 14970,454 14970,469 0,015 -8
TM6 5624,009 5623,818 -0,191 34
jku9-jku5 TM3 5623,286 5623,814 0,529 -94
SPDM 5623,807 5623,818 0,011 -5
TM6 14234,100 14233,552 -0,548 39
jku5-jk21 TM3 14232,213 14233,544 1,331 -93
SPDM 14233,523 14233,551 0,028 -5
TM6 26708,018 26706,790 -1,228 46
jk21-jku3 TM3 26704,300 26706,771 2,470 -93
SPDM 26706,718 26706,785 0,067 -7
TM6 17891,583 17890,339 -1,244 69
jku3-jku1 TM3 17888,737 17890,338 1,601 -89
SPDM 17890,280 17890,342 0,063 -13
TM6 14041,953 14040,696 -1,257 90
jku1-bpnp TM3 14039,480 14040,695 1,215 -86
SPDM 14040,641 14040,697 0,056 -16
TM6 7816,006 7815,240 -0,766 98
bpnp-jk10 TM3 7814,573 7815,237 0,664 -85
SPDM 7815,208 7815,239 0,031 -12
TM6 9300,133 9299,105 -1,028 110
jk10-jku8 TM3 9298,334 9299,106 0,772 -83
SPDM 9299,070 9299,108 0,037 -9
TM6 26055,883 26052,861 -3,022 116
jku8-bako TM3 26050,726 26052,862 2,136 -82
SPDM 26052,756 26052,860 0,104 -20
TM6 41283,354 41278,318 -5,036 122
bako-pcol TM3 41274,974 41278,318 3,344 -81
SPDM 41278,149 41278,314 0,165 -18
Pada Tabel 5., bahwa diarea desain ‘Sistem Proyeksi Distorsi Minimum’ (SPDM) diwilayah
dengan permukaan rupabumi relatif datar, menunjukkan distorsi linier horizontal minimum,
bila dibandingkan dengan sistem proyeksi standar TM6 atau UTM dan TM3. Distorsi linier
horizontal minimum pada ‘SPDM’ > 10 ppm, adalah disebabkan oleh stasiun kontrol geodetik
yang terhubung pada variasi elevasi h > 100 m, seperti stasiun yang terhubung dengan stasiun
‘bako’ (h = 158,118 m) dan stasiun-stasiun kontrol geodetik diatas gedung (misal, bpnp [h =
74,941 m] atau jku2 [h = 85,973 m]). Namun, diarea pada ketinggian rata-rata, nilai distorsi
linier horizontal minimum << 10 ppm.
Selanjutnya, desain ‘SPDM’ diarea pegunungan diwilayah kota Palu dan sekitarnya, provinsi
Sulawesi-Tengah dengan variasi elevasi dipermukaan rupabumi dari ketinggian pada stasiun
kontrol geodetik h = 62 m sampai pada ketinggian h = 1314 m (h, tinggi diatas ellipsoida
referensi WGS84). Dengan desain area; barat-timur 60 km (30 km barat-timur dari MS) dan
utara-selatan 122 km; dan MS awal Bujur ( o) = 119 51' 00ʺ BT dan awal Lintang (o) = 0 00'
00ʺ di ekuator, dengan xsemu = 30000 m dan ysemu = 120000 m. Dengan tinggi diatas ellipsoida
referensi WGS84(G1762), hrata-rata 341 m, maka diperoleh ko = 0,999946.
Pada sistem proyeksi standar TM6 atau UTM, wilayah kota Palu dan sekitarnya persis berada
di 2-Zona sistem proyeksi, Zona 50 dan 51 yang dibatasi Bujur () = 120BT (lihat pada Apendiks
A.). Sehingga, hitungan dilakukan pada Zona 50 dengan MS awal Bujur (o) = 117BT dan pada
Zona 51 dengan MS awal Bujur ( o) = 123BT dan kedua Zona dengan awal Lintang (o) = 0 0'
0ʺ di ekuator dengan xsemu = 500000 m dan ysemu = 10000000 m, ko = 0,9996.
Demikian pula, pada sistem proyeksi standar TM3, wilayah kota Palu dan sekitarnya persis
berada di 2-Zona sistem proyeksi, Zona 50-2 dan 51-1 yang dibatasi Bujur ( ) = 120BT (lihat
pada Apendiks A.). Sehingga, hitungan dilakukan pada Zona 50-2 dengan MS awal Bujur ( o) =
118 30' 00ʺBT dan pada Zona 51-1 dengan MS awal Bujur ( o) = 121 30' 00ʺBT dan kedua
Zona dengan awal Lintang (o) = 0 0' 0ʺ di ekuator dengan xsemu = 200000 m dan ysemu =
1500000 m, ko = 0,9999.
Dengan cara yang sama uji komparatif seperti area desain ‘SPDM’ diwilayah DKI-Jakarta,
dengan jarak antara tiap dua stasiun-GPS produk hitungan jarak di-peta dan di-tanah dari
koordinat planimetrik (TM6 atau UTM; TM3; dan SPDM), untuk wilayah pegunungan
diwilayah kota Palu dan sekitarnya, diringkas pada Tabel 6.
Tabel 6. Ringkasan Beda jarak di-peta dan di-tanah dan distorsi linier horizontal
diarea desain ‘SPDM’ pegunungan, untuk contoh diwilayah kota Palu.
JARAK
Dari Ke Sistem Di-peta Di-tanah Beda () Distorsi( )
Proyeksi (m) (m) (m) (ppm)
TM6 10184,765 10178,195 -6,570 646
watp-pl02 TM3 10179,102 10177,458 -1,644 161
SPDM 10177,732 10178,190 0,458 -56
TM6 9133,945 9127,707 -6,239 684
pl02-pl03 TM3 9128,669 9127,701 -0,968 106
SPDM 9127,263 9127,706 0,443 -58
TM6 4826,029 4822,564 -3,465 719
pl03-pl04 TM3 4823,147 4822,563 -0,584 121
SPDM 4822,321 4822,565 0,244 -71
TM6 29488,451 29466,057 -22,394 760
pl04-domb TM3 29470,171 29466,061 -4,111 139
SPDM 29464,517 29466,049 1,532 -171
TM6 21857,738 21840,517 -17,221 789
domb-loli TM3 21843,846 21840,516 -3,331 153
SPDM 21839,347 21840,504 1,158 -162
TM6 20833,610 20816,999 -16,612 798
loli-wayu TM3 20820,264 20816,996 -3,268 157
SPDM 20815,880 20816,994 1,114 -130
TM6 3135,860 3133,304 -2,557 816
wayu-blne TM3 3133,821 3133,302 -0,519 166
SPDM 3133,134 3133,303 0,169 -152
TM6 5091,962 5087,734 -4,228 831
blne-pl14 TM3 5088,611 5087,733 -0,878 172
SPDM 5087,458 5087,733 0,275 -92
Bahwa pada daerah pegunungan diwilayah kota Palu dan sekitarnya dengan variasi elevasi (h,
diatas ellipsoida referensi) dipermukaan rupabumi 500-1000 m, yang pada Tabel 2.
menunjukkan distorsi linier horizontal >100 ppm. Demikian pula pada Tabel 6., menunjukkan
diarea desain ‘SPDM’ jarak stasiun-stasiun kontrol geodetik yang terhubung dengan stasiun-
stasiun kontrol pada ketinggian jauh diatas hrata-rata (seperti: ‘domb’ = 1314 m; ‘slby’ = 1083 m;
‘wayu’ = 905 m; ‘pl17’ = 881 m) mempunyai distorsi linier horizontal >100 ppm.
Namun, desain ‘SPDM’ dengan faktor variasi elevasi dipermukaan rupabumi diperhitungkan,
masih dapat memberikan produk lebih baik dengan distorsi linier horizontal minimum, bila
dibandingkan dengan menggunakan sistem proyeksi standar TM6 atau UTM yang
menghasilkan distorsi linier horizontal >>500 ppm dan sistem proyeksi TM3 menghasilkan
distorsi linier horizontal >>150 ppm.
Untuk memperoleh nilai koordinat dengan distorsi minimum pada sistem proyeksi TM,
ditentukan dengan memperhitungkan: faktor-skala, meridian-sentral, kelengkungan bumi dan
variasi elevasi permukaan rupabumi. Sehingga, nilai-nilai koordinat produk hitungan sistem
proyeksi dibidang datar atau peta dapat sedekat mungkin dengan nilai-nilai koordinat
‘sebenarnya’ dipermukaan rupabumi, untuk lebih memudahkan dalam pengintegrasian ke satu
sistem.
Dengan demikian, penggunaan sistem proyeksi standar TM6 atau UTM dan TM3 utamanya
untuk pembuatan peta lebih besar dari skala 1 : 10.000 sebaiknya ditinjau ulang, karena
kebutuhan dimasa datang menuntut akan informasi yang disajikan di-peta sedekat mungkin
dengan kenyataan dipermukaan rupabumi sesungguhnya. Dan ‘Sistem Proyeksi Distorsi
Minimum’ (SPDM) suatu pilihan logis terbaik untuk diimplementasikan, diantara banyak pilihan.
Selain daripada itu, DG survei terestris dan produk IG yang mengacu ke koordinat planimetrik
produk ‘SPDM’ berpeluang besar untuk dapat lebih mudah diintegrasikan menjadi ‘SATU PETA
INDONESIA RAYA’.
REKOMENDASI
Sejak hampir dua dekade lalu, Geospasialiyah Indonesia telah mendemontrasikan suatu
pencapaian saintifik, diantaranya tentang nilai koordinat geodetik berketelitian tinggi pada
stasiun-stasiun kontrol geodetik yang secara geometrik tersebar di seantero wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Nilai koordinat berketelitian tinggi pada stasiun-stasiun kontrol geodetik di wilayah NKRI
tersebut, berdasarkan relatif terhadap titik-awal di geosentris, dan dinyatakan dalam sistem
kerangka referensi terestris global ITRF/IGS evolusi terkini. Dan, nilai koordinat berketelitian
tinggi pada stasiun-stasiun kontrol geodetik tersebut, secara nasional resmi dinyatakan sebagai
landasan atau referensi untuk seluruh data-geospasial (DG) dan produk informasi geospasial
(IG) di Indonesia.
Namun, sungguh menjadi kontra-produktif bahwa nilai koordinat berketelitian tinggi tersebut
ter(di)degradasi pada tahap proses konversi sistem proyeksi ke koordinat planimetrik 2-Dimensi
(2-D), dengan distorsi linier horizontal tak terkendali dan menimbulkan kerumitan/kesulitan
tingkat tinggi, hampir mustahil, dalam upaya pengintegrasian seluruh DG dan produk IG
menjadi ‘SATU PETA INDONESIA RAYA’.
Selain daripada itu, apapun pilihan dari datum-geodesi: statik, semi-dinamik, atau kinematik,
yang sekadar ‘membebek’/‘copy-paste’/jiplak dari ‘negara-sono’, dan cilakanya yang ‘di-jiplak’
kedaluwarsa dan akan ditinggalkan mereka, jadilah hanya suatu delusi tanpa memperhatikan
kondisi seluruh DG dan produk IG di ‘negara-sendiri’. Apalagi, bila aspek legal UU-IG 4/2011 dan
Peraturan Kepala BIG 15/2013 tidak ditaati, makin menambah kerumitan yang seolah-olah ingin
mengatasi masalah tanpa solusi.
Pada dunia nyata (the real world), praktisi Geospasialiyah bekerja dan melakukan survei-
pemetaan dipermukaan rupabumi, umumnya (99,999%) menggunakan nilai koodinat
titik/stasiun referensi dalam koordinat planimetrik, sedangkan nilai-nilai koordinat planimetrik
produk sistem proyeksi standar TM6 dan/atau TM3, sangat terang-benderang ter-distorsi
signifikan, dan secara geospasial BUKAN berada dipermukaan rupabumi, TETAPI diperut-bumi.
Pada konteks Kebijakan Satu Peta atau One Map Policy, agar nilai-nilai koordinat dibidang
proyeksi atau Peta atau Informasi Geospasial dapat sedekat mungkin dengan keberadaannya
dipermukaan rupabumi, ‘Sistem Proyeksi Distorsi Minimum’ (SPDM) sangat layak untuk
diimplementasikan sebagai pilihan logis, sehingga dimasa depan upaya dalam pengintegrasian
seluruh DG dan produk IG menjadi lebih mudah dan niscaya.
SPDM, perlu terus disempurnakan untuk disesuaikan dengan variasi elevasi rupabumi,
anggaplah sebagai uji nyali kepiawaian kompetensi dan kepemimpinan untuk me.nye.laras.kan
antara JABATAN-AMANAH-IBADAH. Daripada memprovokasi dan mengeluarkan jargon-jargon
bombastis tanpa makna menyentuh esensi substansi permasalahan, dan jangan sampai masih
melakukan “map resorting to ‘rubber-sheeting and/or rubber-cheating’ acts of desperation...in
the end, a map of little or no value”.
Wallahualambisawab.
Sentul-Bogor, Mei 2016.
Bahan Bacaan
Bomford, A.G., 1962. Transverse Mercator arc-to-chord and finite distance scale factor
formulae, Empire Survey Review, No. 125, Vol. XVI, pp. 318-327, July 1962.
Redfearn, J.C.B., 1948. Transverse Mercator formula, Empire Survey Review, Vol. IX, No. 69, pp.
318-22.
Vincenty, T., 1975. Direct and inverse solutions of geodesics on the ellipsoid with application of
nested equations, Survey Review, Vol. 23, No. 176, pp. 88-93,
http://www.ngs.noaa.gov/PUBS_LIB/inverse.pdf.
National Geodetic Survey, NOAA Manual NOS NGS 5, State Plane Coordinate System of 1983,
James E. Stem, 1989. http://www.ngs.noaa.gov/PUBS_LIB/ManualNOSNGS5.pdf.