Anda di halaman 1dari 19

1

BAB I

PENDAHULUAN

Traumatologi berasal dari kata trauma dan logos. Trauma berarti kekerasan

terhadap jaringan tubuh yang hidup (living tissue) yang dapat menimbulkan efek

pada fisik ataupun psikisnya, dalam ilmu kedokteran forensik efek fisik berupa

luka-luka yang ditemukan dalam tubuh atau fisik korban sedangkan logos berarti

ilmu. Traumatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang luka dan cedera serta

hubungan dengan berbagai kekerasan (ruda paksa). Luka adalah terputusnya

kontinuitas suati jaringan oleh karena adanya cedera atau pembedahan. Klasifikasi

trauma berdasarkan penyebab luka dibagi menjadi tiga, yaitu luka akibat

kekerasan mekanis, luka akibat kekerasan fisis, dan luka akibat kekerasan

kimiawi. Intoksikasi merupakan suatu trauma yang disebabkan oleh kekerasan

kimiawi.

Intoksikasi atau keracunan menurut WHO yaitu kondisi yang mengikuti

masuknya suatu zat psikoaktif yang menyebabkan gangguan kesadaran, kognisi,

persepsi, afek, perlaku, fungsi, dan respon psikofisiologis(1). Kejadian keracunan

metanol semakin meningkat. Hal ini dikarenakan metanol sering dipakai sebagai

pengganti alkohol berupa minuman oplosan karena harganya yang murah. Namun

metanol ini sebenarnya digunakan sebagai bahan penambah bensin, bahan

pemanas ruangan, pelarut industri pada larutan fotokopi serta bahan makanan

untuk bakteri yang memproduksi protein. World Health Organization (WHO)


2

menyebutkan bahwa sebanyak 320 ribu orang pada usia 15-29 tahun meninggal

dunia setiap tahunnya terkait dengan keracunan metanol(2).

Penggunaan metanol untuk konsumsi tidak dibenarkan karena metanol

adalah zat tidak layak konsumsi dan beracun bagi tubuh. Dibandingkan alkohol,

metanol mempunyai dosis toksik yang lebih tinggi. Dosis toksik metanol ini akan

mengakibatkan munculnya gejala-gejala akibat keracunan metanol seperti

penurunan kesadaran, gangguan penglihatan, serta mual dan muntah, namun tidak

secara cepat mengakibatkan kematian(1).


3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Intoksikasi Metanol

2.1.1. Pengertian

Metanol adalah suatu alkohol cair yang dapat menguap, dapat terbakar, dan

dapat bersifat sebagai racun. Metanol (CH3OH; metyl-alkohol; carbinol; alkohol

kayu) diperoleh dari distilasi destruktif kayu, merupakan alkohol yang paling

sederhana, dengan rumus kimia CH3OH, berat molekul 32,04, titik didih 64,5 C

(147°F), bersifat ringan, mudah menguap, tak berwarna, mudah terbakar,

beracun dan berbau khas(3). Keracunan metanol adalah keracunan akibat

mengkonsumsi metanol yang dapat mengakibatkan gangguan pada papil saraf

optik secara simetris, asidosis metabolik dan bahkan kematian(2).

2.1.2. Epidemiologi

Insiden keracunan metanol telah meningkat dalam 10 tahun terakhir di

seluruh dunia, dengan sejumlah wabah terjadi di Republik Ceko, Estonia, Iran,

Kenya, Khartoum, Libya, Norwegia, dan negara-negara lain. Pada tahun 2000-

2012, ada lebih dari 50 wabah massal keracunan metanol di seluruh dunia,

menghasilkan sekitar 5.000 kasus keracunan methanol dan lebih dari 2.000 kasus

diantaranya meninggal(3). Tingkat mortalitas dari keracunan methanol terbilang

tinggi, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nnanna,dkk (2015).

Dari penelitian yang dilakukan pada outbreak intoksikasi methanol di River State,

didapatkan tingkat mortalitas mencapai 83,3%(2). Wabah intoksikasi methanol


4

sering terjadi pada daerah dengan tingginya produksi minuman keras tradisional

yang dioplos dengan methanol. Dalam kasus yang jarang terjadi, metanol juga

digunakan dalam kasus percobaan bunuh diri. Terdapat juga beberapa kasus

intoksikasi kasus methanol yang disebabkan paparan inhalasi dan intradermal di

lingkungan pekerjaan(4,5).

Gambar 1. Struktur Kimia Metanol

2.1.3. Farmakodinamik

Gambar 2. Metabolisme metanol

Metanol sendiri tidak berbahaya, tetapi bahan hasil metabolitnya yang

bersifat toksik. Metanol dapat masuk kedalam tubuh t e r u t a m a melalui

saluran pencernaan dapat juga melalui kulit dan inhalasi. Methanol yang masuk

secara oral, akan diabsorpsi secara cepat di saluran gastrointestinal, terutama di

lambung dalam waktu 5 menit dan mencapai kadar serum maksimal dalam waktu

30-60 menit. Kecepatan absorbsi dari metanol tergantung dari beberapa faktor,
5

dua faktor yang paling berperan adalah konsentrasi metanol dan kandungan

ethanol di dalamnya. Setelah diabsorbsi, metanol didistribusikan ke seluruh

jaringan dan cairan tubuh kecuali jaringan lemak dan tulang. Di dalam hepar,

metanol dengan bantuan enzim alkohol dehidrogenase akan diubah menjadi

formaldehid, yang kemudian akan mengalami oksidasi yang dikatalisasi oleh

enzym formaldehid dehidrogenase menghasilkan asam format. Oksidasi ini

berlangsung lebih cepat dibandingkan perubahan metanol menjadi formaldehid

sehingga hanya sedikit formaldehid yang terakumulasi dalam serum. Hal ini

menjelaskan latensi dari gejala antara penelanan dan timbulnya gejala toksisitas

metanol. Waktu paruh dari formaldehid adalah sekitar 1-2 menit. Asam format

kemudian akan dioksidasi menjadi karbondioksida dan air oleh tetrahidrofolat.

Namun, oksidasi asam format ini berlangsung lambat sehingga asam format akan

terakumulasi di dalam tubuh dan menyebabkan asidosis metabolik dan

memberikan karakteristik khusus pada mata (fotofobia, blurred vision, kebutaan

komplit jika paparan metanol tinggi)(6,7).

2.1.4. Patofisiologi Intoksikasi Metanol

Metanol beracun melalui dua mekanisme. Pertama metanol yang telah

masuk kedalam tubuh baik melalui, menelan menghirup atau diserap melalui kulit

dapat menekan saraf pusat seperti yang terjadi pada keracunan etanol. Kedua

metanol beracun setelah mengalami pemecahan oleh enzim alkohol dehidrogenase

di hati menjadi asam format dan formaldehida. Metanol sendiri tidak berbahaya,

tetapi metabolitnya yang toksik. Efek toksik terutama dapat dikaitkan dengan
6

konsentrasi asam format yang tinggi. hal ini disebabkan karena perlambatan

degradasi asam format menyebabkan akumulasi asam toksik ini dalam tubuh

manusia Neurotoksisitas selektif dari metanol disebabkan karena asam format

'menghambat aktivitas sitokrom c oksidase mitokondria yang menyebabkan

hipoksia sel dan meningkatnya stres oksidatif. Pada tahap lanjut, akan terjadi

akumulasi asam laktat sehingga menyebabkan pH dalam tubuh menurun dan

terjadi asidosis metabolik. Diketahui bahwa formaldehida juga memiliki efek

sitotoksik karena interaksinya dengan atom karbonil elektrofilik dan gugus amino

protein sel dan asam nukleat. Sel ganglion retina dan aksonnya, yang membentuk

saraf optik, secara selektif rentan terhadap hipoksia histotoksik, kemungkinan

karena ketergantungan energi yang tinggi. Hal ini menyebabkan asam format

bersifat toksik terhadap sel saraf optikus(2,9).


7

Gambar 3. Patofisiologi intoksikasi metanol

2.1.5. Diagnosis(7,9)

Diagnosis intoksikasi metanol didapatkan berdasarkan gejala klinis dan

pemeriksaan laboratorium. Onset dan beratnya intoksikasi metanol tergantung

pada akumulasi kadar asam format yang terbentuk.

a. Gejala(10)

Manifestasi klinis keracunan dengan metanol muncul dalam 1/2 - 4 jam

setelah konsumsi methanol. Tanda-tanda keracunannya sendiri sering didahului

dengan periode laten selama 40 menit -72 jam, dimana penderita sama sekali tidak

menunjukkan gejala-gejala apapun. Gejala yang dapat timbul berupa mual,

muntah, sakit perut, kebingungan, mengantuk dan depresi sistem saraf pusat.
8

Pasien biasanya tidak mencari bantuan pada tahap ini. Setelah periode laten (12-

24 jam), manifestasi asidosis metabolik dekompensasi mulai timbul; yang muncul

sebagai dispnea akut dan pusing. Periode latensi tergantung pada dosis yang

diserap dan etanol yang dikonsumsi. Gangguan dengan transpor saraf

axoplasmatic oleh formaldehyde dan/atau format mungkin menjelaskan

manifestasi okular. Formaldehyde adalah racun bagi serat visual yang

menyebabkan penglihatan kabur, fotofobia, perubahan dalam bidang visual,

gangguan akomodasi, diplopia, kebutaan dan nistagmus yang lebih jarang.

Penglihatan kabur dengan kesadaran yang tidak berubah adalah kecurigaan yang

kuat untuk keracunan metanol. Kematian pada intoksikasi methanol biasanya

akibat dari gagal nafas dan henti nafas mendadak(11,12).

b. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium akan didapatkan rendahnya kadar bikarbonat

serum karena terjadi asidosis metabolik. Peningkatan anion gap disebabkan

karena peningkatan kadar laktat dan keton, hal ini dapat terjadi kemungkinan

karena akumulasi asam format. Dapat juga terjadi peningkatan osmolar gap.

Diagnosis definitive dari keracunan metanol dapat dilihat dari peningkatan kadar

metanol serum yang dapat diukur dengan gas chromathography namun hal ini

tidak berkorelasi dengan tingkat keracunan dan merupakan indikator yang

baik untuk prognosis. Kadar methanol dalam darah > 20mg/dL sudah dianggap

toksik dan kadar > 40mg/dL dianggap sangat berbahaya(7,10).


9

c. Pemeriksaan Radiologi

Nekrosis putaminal simetris adalah temuan umum pada otopsi pada pasien

dengan keracunan metanol. Lesi ini dapat dideteksi pada pemindaian computed

tomographic (CT) sedini 3 hari setelah konsumsi, dan muncul sebagai area dengan

hipodensitas pada putamen atau lebih jarang nucleus caudatus dapat meluas ke

dalam sekitar materi putih. Gambaran radiologis lainnya adalah edema cerebri dan

lesi pada subcortical white matter khususnya lobus frontal, oksipital dan parietal.

Nekrosis pons bilateral, nekrosis cerebelum bilateral, dan perdarahan

subarachnoid merupakan temuan radiologis yang lebih jarang. dimana perdarahan

serebral merupakan komplikasi yang jarang(11,12)

2.1.6. Terapi

Keracunan metanol berat biasanya dijumpai pada pecandu alkohol kronis

dan mungkin tidak dapat dikenal kecuali dijumpai gejala-gejala yang khas pada

sejumlah pasien. Karena metanol dan metabolit formatnya merupakan toksin yang

lebih kuat dari etanol, maka penting bahwa pasien yang keracunan metanol

dikenali dan diobati secepat mungkin(2).

Terapi intoksikasi methanol difokuskan pada terapi suportif, mengkoreksi

gangguan asam basa, mencegah metabolisme methanol menjadi metabolit toksik

yaitu asam format dan meningkatkan eliminasi asam format melalui HD atau

pemberian folinic acid/folic acid(9).

Ada tiga cara yang spesifik untuk keracunan metanol berat; penekanan
10

metabolisme oleh alkoholdehidrogenase untuk pembentukan produk produk

toksiknya, dialisis untuk meningkatkan bersihan metanol dan produk toksiknya,

serta alkalinasi untuk menetralkan asidosis metabolik(2).

Komplikasi metanol yang mengancam jiwa adalah asidosis metabolik yang

parah. Oleh karena itu alkalinisasi adalah terapi yang paling lama dipakai

bertujuan untuk mengatasi asidosis. Defisit natrium bikarbonat dihitung dengan

rumus (0,5 x berat badan dalam kg x ( HCO3). Defisit yang dihitung ini

disuntikkan kepada pasien dalam ml sebagai dosis setengah bolus dan setengah

dosis selama 30 menit berikutnya. Analisis gas darah berulang dilakukan setiap

dua jam dan koreksi seperti di atas diberikan sampai pH normal(7).

Antidot untuk keracunan metanol dapat menggunakan etanol atau

fomepizole. Kedua bahan ini dapat menghambat pembentukan enzim alkohol

dehidrogenase, sehingga mengurangi konversi metabolisme metanol menjadi

metabolit toksik (asam). Etanol berkompetisi untuk alkohol dehidrogenase, yang

bertanggung jawab untuk memetabolisme metanol menjadi asam format oleh

karena itu perlu untuk menjenuhkan enzim ini dengan etanol yang kurang toksik.

Etanol diberikan secara intravena, kontinu dan biasanya dilakukan di unit

perawatan intensif untuk memfasilitasi pemeliharaan konsentrasi etanol yang

memadai dan mencegah komplikasi terapi (10).

Selain ethanol, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat

(2000), mengeluarkan suatu agen penghambat spesifik alkohol dehydrogenase

yaitu fomepizole. Secara substansial fomepizole memiliki afinitas yang lebih

besa terhadap enzim ADH (500-1000x dari etanol). Oleh karena itu fomepizole
11

lebih efektif dan efek samping yang lebih minimal daripada etanol. Obat ini juga

dapat diberikan secara intravena dan oral dengan dosis yang sama(10).

Tindakan HD pada intoksikasi methanol digunakan untuk mengeliminasi

methanol dan asam format serta mengkoreksi asidosis metabolik. Hemodialisis

direkomendasikan untuk pasien yang memiliki pH<7.25-7.35, atau mengalami

gangguan penglihatan atau kadar metanol dalam darah >50mg/dL, p a d a

p a s i e n ya n g m e n g a l a m i g a g a l g i n j a l , p e n u r u n a n t a n d a - t a n d a

vital meskipun telah diberikan terapi. Terapi hemodialisa

d a p a t m e n g e l i m i n a s i m e t h a n o l , f o r m a l d e h yd e d a n a s a m f o r m a t

d e n g a n c e p a t . Terapi kombinasi antara pemberian fomepizole dan HD dapat

menurunkan morbiditas dan mortalitas dan mengurangi lama rawat di rumah

sakit( 7 , 1 0 ) .

Asam folinat (folinic acid) harus diberikan dalam hubungannyan dengan

pemberian etanol atau fomepizole untuk membantu meningkatkan pembentukan

metabolit non toksik. Thiamin (vitamin B1) juga dapat diberikan sebagai

tambahan terapi pada keracunan metanol untuk pasien yang berpotensi

kekurangan vitamin. Thiamin (vitamin B1) bertindak sebagai kofaktor dalam

pembentukan metabolit beracun dari metanol. Karena sistem-sistem yang

bergantung pada folat bertanggung jawab dalam oksidasi pembentukan

asam format menjadi CO2 pada manusia, maka mungkin berguna untuk

memberikan asam folat kepada pasien-pasien yang keracunan metanol,

meskipun belum pernah diuji secara lengkap dalam uji klinik(7,11).


12

2.1.7. Temuan Post Mortem

Pada pemeriksaan otopsi di dapatkan dilatasi pembuluh darah ginjal terjadi

pada semua sampel dan dilatasi pada otak besar terjadi pada 90% sampel. Hal ini

tidak berbeda secara signifikan dengan penelitian yang sebelumnya yang

menyatakan dilatasi otak besar terjadi pada 100% sampel. Pada penelitian

ditemukan bercak perdarahan di jantung pada 80% sampel dan di ginjal pada 20%

sampel. Adanya bercak perdarahan pada jantung dan ginjal adalah akumulasi dari

bintik perdarahan yang merupakan suatu tanda asfiksia. Sedangkan bercak

perdarahan pada lambung yang terjadi pada 40% sampel adalah sebagai tanda

adanya iritasi dan inflamasi pada mukosa lambung akibat adanya metanol atau

etanol yang mengakibatkan pH menjadi lebih rendah. Pada pemeriksaan

histopatologi terdapat pelebaran sinusoid hepar terjadi pada 70% sampel. Hal ini

terjadi karena hati merupakan tempat metabolisme metanol dan sinusoid

merupakan jalur menuju hepatosit sebagai unit fungsional hati. Selain itu,

pelebaran sinusoid merupakan efek dari adanya obstruksi vena hepatica yang

terjadi pada asfiksia organ hati(12,13).


13

Gambar 6. Jaringan gaster.

Tampak necrosis dan erosi pada


mukosa gaster

Gambar 8. Mikroskopis Gaster

Garis vertikal : mukosa gaster yang


masih baik

Panah tebal : nekrosis koagulatif

Panah tipis : infiltrasi neutrofil,


eosinofil dan leukosit pada lamina
propria, edema, kongesti vaskular,
perdarahan

Tampak sel-sel inflamasi


menginfiltrasi muscularis mucosa
dan submucosa

Gambar 9. Mikroskopis Pankreas

Tampak perdarahan, nekrosis, infiltrasi


sel-sel inflamasi ke parenkim pankreas
14

2.1.8. Aspek Forensik Dan Medikolegal

Korban mati akibat keracunan umumnya dapat dibagi menjadi 2 golongan,

yang sejak semula sudah dicurigai kematian akibat keracunan dan kasus yang

sampai saat sebelum di autopsi dilakukan, belum ada kecurigaan terhadap

kemungkinan keracunan. Harus dipikirkan kemungkinan kematian akibat

keracuan bila pada pemeriksaan setempat (scene investigation) terdapat

kecurigaan akan keracunan, bila pada autopsi ditemukan kelainan yang lazim

ditemukan pada keracunan dengan zat tertentu, misalnya lebam mayat yang tidak

biasa, luka bekas suntikan sepanjang vena dan keluarnya buih dari mulut dan

hidung serta bila pada autopsi tidak ditemukan penyebab kematian(14). Dalam

menangani kasus kematian akibat keracunan perlu dilakukan beberapa

pemeriksaan penting, yaitu :

1. Pemeriksaan di tempat kejadian perkara (TKP)

Pemeriksaan di tempat kejadian perkara perlu dilakukan untuk membantu

penentuan penyebab kematian dan menentukan cara kematian. Pemeriksaan ini

dilakukan dengan mengumpulkan keterangan sebanyak mungkin tentang

perkiraan saat kematian serta mengumpulkan barang bukti(14)

2. Pemeriksaan Luar

Dari bau yang tercium dapat diperoleh petunjuk racun apa yang kiranya

ditelan oleh korban. Segera setelah pemeriksa berada di samping mayat ia harus

menekan dada mayat untuk menentukan apakah ada suatu bau yang tidak biasa

keluar dari lubang-lubang hidung dan mulut.


15

Pada kasus keracunan belerang, biasanya dapat tercium bau alkohol. Pada

pemeriksaan autopsy lainnya dapat ditemukan Adanya bercak perdarahan pada

jantung dan ginjal adalah akumulasi dari bintik perdarahan yang merupakan suatu

tanda asfiksia. Sedangkan bercak perdarahan pada lambung yang terjadi pada 40%

sampel adalah sebagai tanda adanya iritasi dan inflamasi pada mukosa lambung

akibat adanya metanol atau etanol yang mengakibatkan pH menjadi lebih rendah.

Pada pemeriksaan histopatologi terdapat pelebaran sinusoid hepar terjadi pada

70% sampel(15).

Prosedur medikolegal merupakan tatacara atau prosedur penatalaksanaan

dan berbagai aspek yang berkaitan dengan pelayanan kedokteran untuk

kepentingan hukum. Dalam menangani berbagai kasus yang menyangkut tubuh

dan jiwa manusia, seorang dokter dapat mempunyai peranan ganda yaitu peranan

pertama adalah sebagai ahli klinik sedangkan peran kedua adalah sebagai ahli

forensik yang bertugas membantu proses peradilan(15). Dalam ilmu kedokteran

kehakiman, keracunan dikenal sebagai salah satu penyebab kematian yang cukup

banyak sehingga keberadaannya tidak dapat diabaikan. Walaupun tindakan

meracuni seseorang itu dapat dikenakan hukuman, tapi dalam Kitab Undang-

undang Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana tidak dijelaskan batas dari

keracunan tersebut, sehingga dipakai batasan-batasan racun menurut beberapa

ahli, untuk tindak kriminal ini adanya racun harus dibuktikan demi tegaknya

hukum(15).

Kewajiban dokter untuk melakukan pemeriksaan kedokteran forensik ke

atas korban apabila diminta secara resmi oleh penyidik (polisi) dan jika menolak
16

untuk melakukan pemeriksaan forensik tersebut di atas dapat dikenai pidana

penjara, selama-lamanya 9 bulan. Menurut KUHAP pasal 133 ayat (1), yang

berwenang melakukan pemeriksaan forensik yang menyangkut tubuh manusia

dan membuat Keterangan Ahli adalah dokter ahli kedokteran kehakiman

(forensik), dokter dan ahli lainnya. Dalam penjelasan KUHAP tentang pasal

tersebut dikatakan bahwa yang dibuat oleh dokter ahli kedokteran kehakiman

disebut keterangan ahli sedangkan yang dibuat oleh selain ahli kedokteran

kehakiman disebut keterangan. Pasal 133 KUHAP (mengatur kewajiban dokter

untuk membuat Keterangan Ahli) pasal 1 menyatakan bahwa “Dalam hal

penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka,

keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan

tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada

ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya” (15).

2.1.9. Prognosis

Prognosis keracunan methanol berhubungan dengan jumlah methanol

yang dikonsumsi, kadar asam format yang terbentuk dan derajat asidosis

metabolik. Asidosis metabolik yang lebih berat memiliki prognosis yang lebih

buruk. Berdasarkan literatur angka mortalitas pada intoksikasi methanol mencapai

50-80% ketika kadar bikarbonat serum < 10 mEq/L dan atau pH darah < 7,1 saat

pasien datang kerumah sakit(9).


17

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Keracunan metanol jarang terjadi namun dapat akibat yang ditiumbulkan

sangatlah fatal, berupa gangguan pada papil saraf optik secara simetris, asidosis

metabolik dan bahkan kematian. Gejala dapat meliputi gangguan pada sistem

saraf pusat, penglihatan, dan saluran cerna. Penglihatan kabur dengan kesadaran

yang tidak berubah adalah kecurigaan yang kuat untuk keracunan

metanol..Pemeriksaan radiologis yang bermanfaat pada kasus intoksikasi

methanol meliputi CT scan kepala dan MRI scan kepala.

Terapi intoksikasi methanol difokuskan pada terapi suportif, mengkoreksi

gangguan asam basa, mencegah metabolisme methanol menjadi metabolit toksik

yaitu asam format dan meningkatkan eliminasi asam format melalui HD atau

pemberian folinic acid/folic acid. Protokol penatalaksanaan terdiri dari pemberian

fomepizole, disertai dengan infuse glukosa intravena, elektrolit, dan cairan, sesuai

kebutuhan klinis pasien.

Prognosis keracunan methanol berhubungan dengan jumlah methanol yang

dikonsumsi, kadar asam format yang terbentuk dan derajat asidosis metabolik.

Asidosis metabolik yang lebih berat memiliki prognosis yang lebih buruk.
18

DAFTAR PUSTAKA

1. Ran M, Li Y, Zhang L. Clinical Features, Treatment and Prognosis of Acute


Methanol Poisoning: Expreriences in an Outbreak. Int J Clin Exp Med.
2019;12(5):5938–50.
2. Triningrat AA, Rahayu Ni Made. 2010. Vol.7. No. 4. Jurnal Oftalmologi
Indonesia: Visual Acuity of Methanol Intoxicated Patients Before and After
Hemodialysis, Methylprednisolone and Prednisone Therapy. Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana: Denpasar.
3. Kurtas O, Imre KY, Ozer E, Can M, Birincioglu I, Butun C, et al. The
Evaluation of Deaths due to Methyl Alcohol Intoxication. Biomed Res
India. 2017;28(8):3680–7.
4. Zakharov S, Kotikova K, Vaneckova M, Seidl Z, Nurieva O, Navratil T, et
al. Acute Methanol Poisoning : Prevalence and Predisposing Factors of
Haemorrhagic and Non-Haemorrhagic Brain Lesions. Basic Clin Pharmacol
Toxicol. 2016;
5. Onyekwere N, Nwadiuto I, Maleghemi S, Maduka O, Akpuh N, Kanu E, et
al. Methanol poisoning in South- South Nigeria : Reflections on the
outbreak response. J Public Health Africa. 2018;9(Im):49–53.
6. Moon C. Estimations of the lethal and exposure doses for representative
methanol symptoms in humans. Ann Occup Environ Med. 2017;29:1–6
7. Kraut JA, Kurtz I. Toxic Alcohol Ingestions: Clinical Features, Diagnosis,
and Management. Am Soc Nephrol. 2008;3:208–25.
8. Kadam D, Salvi S, Chandanwale A. Methanol Poisoning. J Assoc
Physicians India. 2018;66(April):47–50.
9. Andresen H, Schmoldt H, Matschke J, Flachskampf FA, Turk EE. Fatal
methanol intoxication with different survival times — Morphological
findings and postmortem methanol distribution. Forensic Sci Int.
2008;179:206–10.
10. Kraut JA. Approach to The Treatment of Methanol Intoxication. Am J
Kidney Dis [Internet]. 2016;68(1):161–7.
19

11. Marinov P, Zlateva S, Bonchev G, Ivanov D, Georgiev K. Acute Methanol


Intoxication - A Challenge for Clinical Toxicology. IMAB.
2016;22(4):1352–4.
12. Cascallana Jose, Gordo Veronica. 2012. Forensic Science International:
Severe Necrosis Of Oesophageal And Gastric Mucosa In Fatal Methanol
Poisoning. Elsevier.
13. Sung Min Lee, Jeong Mi Moon. 2015. Unusual Intracranial Hemorrhage In
Severe Methanol Intoxication. American Journal of Emergency Medicine.
Department Of Emergency Medicine, ChonnamNational University
Hospital
14. Ningsih, Dwi., Liauw D.Y. 2019. Penanganan Korban Meninggal Pada
Kasus Intoksikasi H2S (Hidrogen Sulfida). Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana
15. Sari, Mirna., Eddy R., Gunawan J. 2017. Peranan Ahli Toksikologi Forensik
Dalam Upaya Pembuktian Tindak Pidana Pembunuhan Berancana.
Lampung: Universitas Lampung

Anda mungkin juga menyukai