Anda di halaman 1dari 74

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Alkohol banyak terdapat dalam berbagai minuman dan sering menimbulkan


keracunan. Penyalahgunaan alkohol telah menjadi masalah pada hampir setiap
Negara di seluruh dunia. Menurut WHO konsumsi alkohol dan potensi
masalahnya sangat bervariasi di seluruh dunia dan merupakan faktor resiko
terbesar ketiga di dunia timbulnya penyakit dan kecacatan. Alkohol adalah faktor
umum penyebab dari 60 jenis penyakit dan luka-luka, mulai dari sirosis hati,
epilepsy, kanker hingga kecelakaan lalu lintas. Alkohol juga bertanggung jawab
terhadap rusaknya kehidupan lebih banyak daripada kekerasan, HIV / AIDS, dan
TBC. Bahkan setiap tahunnya hampir 2,5 juta orang meninggal dunia setiap
tahunnya. Alkohol terdapat dalam berbagai minuman seperti: whisky, brandy,
rum, rodka, gin (mengandung 40% alkohol); wines (10-20%); beer dan ale (48%).

Alkohol sebenarnya mempunyai banyak macamnya. Ada etanol, methanol,


propanol (propanol juga punya beberapa isomeri), dan lain sebagainya. Namun
yang paling luas digunakan adalah metanol dan etanol. Metanol yang juga banyak
disebut sebagai alkohol kayu karena substansi ini dahulu didapat dari distilasi
kayu. Methanol adalah substansi yang sangat beracun karena di dalam tubuh akan
diubah menjadi formaldehyde, bahan utama formalin. Substansi alkohol yang
biasa diminum adalah golongan etanol atau etil alkohol dengan rumus kimia
CH3CH2OH. Etil alkohol murni adalah senyawa atau substansi yang tidak
berwarna berbentuk cairan dengan rasa yang sangat membakar yang membuat
tidak ada orang yang mau meminumnya. Alkohol ini dibuat oleh fermentasi oleh
sel-sel ragi yang mengubah karbohidrat terutama glukosa menjadi alkohol.
Jikalau kadar alkohol telah melebihi 15%, maka enzim dalam sel-sel ragi menjadi
2

tidak aktif dan akan gagal dalam menghasilkan alkohol malah setelah melebihi
kadar 20%, sel-sel ragi dapat menjadi mati.

selain itu sianida juga dapat menyebabkan keracunan. Sianida tergolong racun
yang sangat toksik, garam sianida dalam takaran 150-250 mg sudah cukup untuk
menimbulkan kematian, sedangkan asam sianida 200-400 ppm didalam udara
akan menyebabkan kematian dalam waktu 30 menit, pada konsentrasi yang lebih
besar dapat menimbulkan kematian dalam hitungan detik. Efek sianida dapat
sangat cepatmenimbulkan kematian dalam jangka waktu beberapa menit.
Penentuan sianida secara kualitatif dapat dilakukan dengan beberapa
pemeriksaan yang sederhana seperti : Reaksi Schonbein-Pagentecher, reaksi biru
berlin, calorimetrik dan cara kertas saring yang diberi asam pikrat jenuh (picric
acid test) (Idries dkk, 1995).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
3

2.1 Definisi Toksikologi Umum

Toksikologi (berasal dari kata Yunani, toxicos dan logos) merupakan studi

mengenai perilaku dan efek yang merugikan dari suatu zat/racun terhadap

organisme atau makhluk hidup. Racun adalah senyawa yang berpotensi

memberikan efek yang berbahaya terhadap organisme. Sifat racun dari suatu

senyawa ditentukan oleh dosis, konsentrasi racun di reseptor, sifat fisiko-kimiwi

toksikan tersebut, kondisi atau sistem bioorganisme, paparan terhadap organisme

dan bentuk efek yang ditimbulkan. Dalam toksikologi, dipelajari mengenai gejala,

mekanisme, cara detoksifikasi serta deteksi keracunan pada sistim biologis

makhluk hidup. Toksikologi sangat bermanfaat untuk memprediksi atau mengkaji

akibat yang berkaitan dengan bahaya toksik dari suatu zat terhadap manusia dan

lingkungannya (Donatus, 1997).

Toksikologi forensik adalah salah satu dari cabang ilmu forensik. Menurut

Saferstein yang dimaksud dengan Forensic Science adalah the application of

science to low, maka secara umum ilmu forensik (forensik sain) dapat dimengerti

sebagai aplikasi atau pemanfaatan ilmu pengetahuan tertentu untuk penegakan

hukum dan peradilan (Saferstein, 1995).

Menurut Hukum Acara Pidana (KUHAP), hasil analisis forensik merupakan salah

satu Surat Keterangan Ahli atau Surat Keterangan. Jadi toksikologi forensik dapat

dimengerti sebagai pemanfaatan ilmu tosikologi untuk keperluan penegakan

hukum dan peradilan (Soesilo, 1983).


4

Secara umum toksikologi forensik mencangkup:


Terapan ilmu alam dalam analisis racun sebagai bukti dalam tindak
kriminal,
Mendeteksi dan mengidentifikasi konsentrasi dari racun dan metabolitnya
dalam materi biologi
Menginterpretasikan temuan analisis ke dalam suatu argumentasi tentang
penyebab keracunan

2.2. Klasifikasi Toksikologi

Klasifikasi Racun
Berdasarkan sifat kimia, fisik serta pengaruhnya terhadap tubuh, yaitu :
1. Racun Anorganik
a. Racun korosif
Adalah racun yang dapat menyebabkan kerusakan ataupun kematian sel-
sel yang terkena akibat efek lokal.
1. Acid corrosive : asam mineral (asam sulfat, asam klhorida, asam
nitrat), asam organik (asam oksalat, acetat, asam formiat), halogenida
(klorin, bromin, iodine, fluorine), garam asam mineral (perak nitrat,
seng klorida, dimetil sulfat).
2. Alkaline corrosive : golongan basa kuat (kalium/natrium hidroksida,
kalium/natrium carbonat, ammonia).
3. Organic corrosive : phenol group dan formaldehyde.
b. Racun metalik dan non metalik
Racun metalik adalah semua racun yang mempunyai elemen logam dalam
molekulnya, seperti arsenikum dan mercury.
2. Racun Organik
a. Racun volatil (menguap) : methyl alkohol/methanol
b. Racun non volatil
3. Racun Gas : karbon dioksida, karbon monoksida
4. Racun lain-lain
a. Racun makanan
5

b. Racun binatang (ular)


c. Racun tumbuh-tumbuhan/tanaman
d. Dan lain-lain

2.3. Pengertian Alkohol

Alkohol adalah derivat dari hidroksi yang mempunyai ikatan langsung maupun
rantai cabang dari alifatik hidrokarbon. Bentuk rantai alkohol yang sering
ditemukan adalah yang mengandung tiga gugus hidroksil dengan ikatan satu
gugus hidroksi dalam satu rantai karbon. Sedangkan jenis alkohol lainnya ialah
alkohol yang mengandung lebih dari satu gugus hidroksi dalam satu atom
karbon.

2.4. Jenis Alkohol

Jenis alkohol yang kedua inilah yang bersifat toksik yaitu ethanol (ethyl
alkohol), methanol (methyl alkohol) dan isipropanol (isoprophyl alkohol). Pada
umumnya semakin panjang rantai karbon maka semakin tinggi daya
toksisitasnya. Tetapi ada kekecualian dalam teori ini ialah methanol lebih toksik
daripada ethanol.

Minuman keras merupakan minuman yang di dalamnya terkandung senyawa


etanol (C2H5OH=ethyl alkohol). Senyawa etanol sendiri adalah salah satu
anggota dari keluarga senyawa alkohol. Senyawa ini jika masuk ke dalam tubuh
akan mempengaruhi kerja syaraf otak, sehingga efek pertama yang dirasakan
oleh peminum minuman keras adalah sakit kepala sampai muntah-muntah.

Etanol banyak digunakan sebagai pelarut berbagai bahan-bahan kimia yang


ditujukan untuk konsumsi dan kegunaan manusia. Contohnya adalah pada
parfum, perasa, pewarna makanan, dan obat-obatan. Dalam kimia, etanol adalah
6

pelarut yang penting sekaligus sebagai stok umpan untuk sintesis senyawa kimia
lainnya.

Senyawa alkohol yang lain adalah metanol (CH3OH=methyl alhokol). Efek


senyawa ini bukan hanya mempengaruhi kerja syaraf seperti etanol, tetapi
sampai mematikan (merupakan racun). Etanol dan metanol dicampur dan
dipasarkan dengan nama spiritus. Keduanya tidak berwarna seperti air.

Pada tahun 2002, dalam Annual Report of the Toxic Exposure Surveillance
System (TESS) yang berasal dari American Association of Poison Control
Centers (AAPCC), dilaporkan terdapat 2610 kasus terpapar methanol. Terdapat
18 kematian akibat methanol dan 55 kasus yang berakibat fatal.

2.5 Metabolisme Alkohol

Alkohol yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami serangkaian proses


biokimia. Alkohol yang dikomsumsi 90%, diantaranya akan dimetabolisme oleh
tubuh terutama hati oleh enzim alkoholdehirogenase (ADH) dan koenzim
nikotinamid-adenin-dinokleotida (NAD) menjadi asetaldehid dan kemudian oleh
enzim aldehida dehidrogenase (ALDH) diubah menjadi asam asetat. Asam asetat
dioksidasi menjadi CO2dan H2O. Piruvat, levulosa (fruktosa), gliseraldehidadan
alanin akan mempercepat metabolism alcohol.

Metabolisme alkohol melibatkan 3 jalur, yaitu jalur sitosol, jalur peroksisom dan
jalur mikrosom.

1. Jalur Sitosol/Lintasan Alkohol Dehidrogenase.

Jalur ini adalah proses oksidasi dengan melibatkan enzim alcohol


dehidrogenase (ADH). Proses oksidasi dengan menggunakan alcohol
dehidrogenase terutama terjadi di dalam hepar. Metabolisme alcohol oleh
7

ADH akan menghasilkan asetaldehid yang merupakan produk yang


sangat reaktif dan sangat beracun sehingga menyebabkan kerusakan
beberapa jaringan atau sel.

2. Jalur Peroksisom/Sistem Katalase

Melalui enzim katalase yang terdapat dalam peroksisom (peroxysome)


hidrogen yang dihasilkan dari metabolism alkohol dapat mengubah
keadaan redoks, dan pada pemakaian alkohol yang lama dapat mengecil.
Perubahan ini dapat menimbulkan perubahan metabolisme lemak dan
karbohidrat, yang menyebabkan bertambahnya jaringan kolagen dan
dalam keadaan tertentu dapat menghambat sintesa protein.

3. Jalur Mikrosom

Jalur ini juga sering disebutdengan sistem SOEM (Sistem Oksidasi


Etanol Mikrosom). yang terletak dalam retikulum endoplasma. Dengan
pertolongan 3 komponen mikrosom ( sitokrom P-450, reduktase dan
lesitin) alkohol diuraikan menjadi asetaldehid.
8

Gambar 1. Skema Metabolisme Alkohol

Alkohol akan diubah menjadi asetaldehid, kemudian akan diubahmenjadi asetat


oleh aldehid dehidrogenase di dalam mitokondria. Pemakaian alkohol yang lama
akan menimbulkan perubahan pada metokondria, yang menyebabkan
berkurangnya kapasitas untuk oksidasi lemak. Semua yangtersebut diatas
menyebabkan terjadinyaperlemakan hati. Perubahan pada Sistem Oksidasi
Etanol Mikrosom yang disebabkan pemakaian alcohol berlangsung lama dapat
menginduksi dan meningkatkan metabolisme obatobatan, meningkatkan
lipoprotein dan menyebabkan hyperlidemia.

Reaktive Oxygen Species(ROS) dihasilkan secara alami dalam jumlah kecil


selama reaksi metabolisme tubuh dan dapat bereaksi dengan molekul seluler dan
kerusakan kompleks seperti lemak, protein, atau DNA. Alkohol mempromosikan
generasi dari ROS dan mengganggu mekanisme normal ertahanan tubuh
9

terhadap senyawa ini melalui berbagai proses, terutama dihati. Alkohol juga
merangsang aktivitas enzim yang disebut sitokrom P450, yang berkontribusi
pada produksi ROS. Lebih lanjut, alkohol dapat mengubah tingkat logam
tertentu dalam tubuh, sehingga memudahkan produksi ROS.

2.6 Sumber Alkohol


2.6.1 Metanol
Metil alkohol/metanol dibuat dari destilasi kayu atau melalui sintesis kimia.
Secara kimiawi, metanol diproduksi melalui konversi katalitik gas sintesis
(hidrogen, karbon monoksida dan karbon dioksida). Saat ini, gas sintesis
banyak diproduksi dari methan, komponen dari gas natural, dibanding dari batu
bara. Pada tekanan 4 MPa (40 atm) dan suhu tinggi (sekitar 850 0C), methan
bereaksi dengan uap air dengan katalis nikel menghasilkan gas sintesis dengan
persamaan kimia:

CH4 + H2O CO + 3 H2

Methan juga dapat bereaksi melalui oksidasi parsial dengan molekul oksigen
menghasilkan gas sintesis dengan persamaan kimia:

2 CH4 + O2 2 CO + 4 H2

Karbon monoksida dan hidrogen kemudian bereaksi dengan campuran katalis


tembaga, zink oksida, dan aluminium, menghasilkan metanol pada tekanan 5-
10 MPa (50-100 atm) dan suhu 2500C:

CO + 2 H2 CH3OH

Setiap produksi gas sintesis dari methan menghasilkan 3 molekul gas hidrogen
dan 1 molekul karbon monoksida, sedangkan sintesis metanol memerlukan 2
molekul gas hidrogen dan 1 molekul karbon monoksida.
10

2.6.2 Etanol
Etanol diproduksi secara petrokimia melalui hidrasi etilen, dan secara biologis
melalui fermentasi gula dengan peragian.

Hidrasi etilen

Etanol yang digunakan sebagai bahan dasar industri atau pelarut biasanya
diproduksi secara petrokimia terutama melalui hidrasi etilen dengan katalis
asam fosfor dengan persamaan kimia:

C2H4(g) + H2O(g) CH3CH2OH(l).

Dengan cara lama, etanol juga dapat diproduksi dengan hidrasi etilen secara
tidak langsung melalui reaksi dengan asam sulfat menghasilkan etil sulfat,
kemudian dihidrolisis menghasilkan etanol dan asam sulfat:

C2H4 + H2SO4 CH3CH2SO4H

CH3CH2SO4H + H2O CH3CH2OH + H2SO4

Fermentasi

Etanol yang digunakan untuk minuman beralkohol diproduksi melalui


fermentasi. Spesies jamur tertentu (misal: Saccharomyces cerevisiae)
memetabolisme gula menghasilkan etanol dan karbon dioksida dengan
persamaan kimia:

C6H12O6 2 CH3CH2OH + 2 CO2.

Minuman yang mengandung alkohol mempunyai konsentrasi yang bervariasi


seperti:

- Beer, stout, cider 36%


- Table wine 912%
- Sherry, port (fortified with brandy) 1721%
- Spirits (whisky, brandy, gin,rum, vodka, dll.) 3545%
11

2.7. Sifat-Sifat Fisika dan Kimia


2.7.1. Metanol
a. Sifat Fisik Metanol

Metanol, juga dikenal sebagai metil alkohol, wood alcohol atau spiritus,
adalah senyawa kimia dengan rumus kimiaCH3OH. Ia merupakan bentuk
alkohol paling sederhana. Pada "keadaan atmosfer" ia berbentuk cairan yang
ringan, mudah menguap, tidak berwarna, mudah terbakar, dan beracun dengan
bau yang khas (berbau lebih ringan daripada etanol). Ia digunakan sebagai
bahan pendingin anti beku, pelarut, bahan bakar dan sebagai bahan additif
bagi etanol industri. Metanol diproduksi secara alami oleh metabolisme
anaerobik oleh bakteri. Hasil proses tersebut adalah uap metanol (dalam
jumlah kecil) di udara. Setelah beberapa hari, uap metanol tersebut akan
teroksidasi oleh oksigen dengan bantuan sinar matahari menjadi karbon
dioksida dan air.

Sifat Kimia Metanol

Saat ini, gas sintesis umumnya dihasilkan dari metana yang merupakan
komponen dari gas alam. Pada tekanan sedang 1 hingga 2 MPa (1020 atm)
dan temperatur tinggi (sekitar 850 C), metana bereaksi dengan uap air
(steam) dengan katalis nikel untuk menghasilkan gas sintesis menurut reaksi
kimia berikut:

CH4 + H2O CO + 3 H2

Metana juga dapat mengalami oksidasi parsial dengan molekul oksigen untuk
menghasilkan gas sintesis melalui reaksi kimia berikut:
12

2 CH4 + O2 2 CO + 4 H2

Rasio CO and H2 dapat diatur dengan menggunakan reaksi perpindahan air-gas


(the water-gas shift reaction):

CO + H2O CO2 + H2,

Sangat perlu diperhatikan bahwa setiap produksi gas sintesis dari metana
menghasilkan 3 mol hidrogen untuk setiap mol karbon monoksida, sedangkan
sintesis metanol hanya memerlukan 2 mol hidrogen untuk setiap mol karbon
monoksida. Salah satu cara mengatasi kelebihan hidrogen ini adalah dengan
menginjeksikan karbon dioksida ke dalam reaktor sintesis metanol, dimana ia
akan bereaksi membentuk metanol sesuai dengan reaksi kimia berikut:

CO2 + 3 H2 CH3OH + H2O

Tabel 1. Sifat-sifat Fisika dan Kimia Metanol


13

2.7.2. ETANOL

a. Sifat Fisik

Etanol adalah cairan tak berwarna yang mudah menguap dengan aroma yang
khas. Ia terbakar tanpa asap dengan lidah api berwarna biru yang kadang-
kadang tidak dapat terlihat pada cahaya biasa.

Sifat-sifat fisika etanol utamanya dipengaruhi oleh keberadaan gugus hidroksil


dan pendeknya rantai karbon etanol. Gugus hidroksil dapat berpartisipasi ke
dalam ikatan hidrogen, sehingga membuatnya cair dan lebih sulit menguap dari
pada senyawa organik lainnya dengan massa molekul yang sama.

Etanol adalah pelarut yang serbaguna, larut dalam air dan pelarut organik
lainnya, meliputi asam asetat, aseton, benzena, karbon tetraklorida, kloroform,
dietil eter, etilena glikol, gliserol, nitrometana, piridina, dan toluena. Ia juga
larut dalam hidrokarbon alifatik yang ringan, seperti pentana dan heksana, dan
juga larut dalam senyawa klorida alifatik seperti trikloroetana dan
tetrakloroetilena.

b. Sifat-sifat kimia Etanol


14

Etanol termasuk dalam alkohol primer, yang berarti bahwa karbon yang
berikatan dengan gugus hidroksil paling tidak memiliki dua hidrogen atom yang
terikat dengannya juga. Reaksi kimia yang dijalankan oleh etanol kebanyakan
berkutat pada gugus hidroksilnya.

Reaksi asam-basa

Gugus hidroksil etanol membuat molekul ini sedikit basa. Ia hampir netral
dalam air, dengan pH 100% etanol adalah 7,33, berbanding dengan pH air
murni yang sebesar 7,00. Etanol dapat diubah menjadi konjugat basanya, ion
etoksida (CH3CH2O), dengan mereaksikannya dengan logam alkali seperti
natrium.

2CH3CH2OH + 2Na 2CH3CH2ONa + H2

ataupun dengan basa kuat seperti natrium hidrida:

CH3CH2OH + NaH CH3CH2ONa + H2.

Halogenasi

Etanol bereaksi dengan hidrogen halida dan menghasilkan etil halida seperti etil
klorida dan etil bromida:

CH3CH2OH + HCl CH3CH2Cl + H2O

Reaksi dengan HCl memerlukan katalis seperti seng klorida. Hidrogen klorida
dengan keberadaan seng klorida dikenal sebagai reagen Lucas.

CH3CH2OH + HBr CH3CH2Br + H2O


Reaksi dengan HBr memerlukan proses refluks dengan katalis asam sulfat. Etil
halida juga dapat dihasilkan dengan mereaksikan alkohol dengan agen
halogenasi yang khusus, seperti tionil klorida untuk pembuatan etil klorida,
ataupun fosforus tribromida untuk pembuatan etil bromida.
CH3CH2OH + SOCl2 CH3CH2Cl + SO2 + HCl
15

Pembentukan ester

Dengan kondisi di bawah katalis asam, etanol bereaksi dengan asam karboksilat
dan menghasilkan senyawa etil eter dan air:

RCOOH + HOCH2CH3 RCOOCH2CH3 + H2O.

Dehidrasi

Asam kuat yang sangat higroskopis seperti asam sulfat akan menyebabkan
dehidrasi etanol dan menghasilkan etilena maupun dietil eter:

2 CH3CH2OH CH3CH2OCH2CH3 + H2O (pada 120'C)


CH3CH2OH H2C=CH2 + H2O (pada 180'C).

Oksidasi

Etanol dapat dioksidasi menjadi asetaldehida, yang kemudian dapat dioksidasi


lebih lanjut menjadi asam asetat. Dalam tubuh manusia, reaksi oksidasi ini
dikatalisis oleh enzim tubuh.

C2H5OH + 2[O] CH3COOH + H2O

Produk oksidasi etanol, asam asetat, digunakan sebagai nutrien oleh tubuh
manusia sebagai asetil-koA.

Pembakaran

Pembakaran etanol akan menghasilkan karbon dioksida dan air:

C2H5OH(g) + 3 O2(g) 2 CO2(g) + 3 H2O(l);(Hr = 1409 kJ/mol)

2.8. Metabolisme Dalam Tubuh


16

2.8.1 Methanol
Methanol dapat diabsorbsi kedalam tubuh melalui saluran pencernaan, kulit dan
paru-paru.Methanol didistibusikan secara luas dalam cairan tubuh dengan
volume distribusi 0,6 L/kg. Methanol secara perlahan dimetabolisme di hati.
Sekitar 3% dari methanol diekskresikan melalui paru atau diekskresi melalui
urin.

Methanol beracun melalui dua mekanisme. Pertama methanol yang telah masuk
kedalam tubuh baik melalui menelan, menghirup atau diserap melalui kulit
dapat menekan saraf pusat seperti yang terjadi pada keracunan etanol. Kedua
methanol beracun setelah mengalami pemecahan oleh enzim alcohol
dehidrogenase di hati menjadi asam format dan formaldehida. Dosis yang
berbahaya dapat terjadi bila seseorang terekspos terus menerus terhadap
uapmethanol atau cairan methanol tanpa menggunakan pelindung. Dosis yang
mematikan adalah100-125 ml (4fl oz).

Cara kerja methanol sama dengan cara kerja etanol. Methanol lebih bersifat
toksik dibandingkan dengan etanol. Toksisitas methanol semakin meningkat
disebabkan oleh stukturnya yang tidak murni. metanol diekskresikan secara
lambat di dalam tubuh dan kemudian secara kumulatif methanol dapat bersifat
toksik di dalam tubuh. Selama penelanan methanol secara cepat diabsorbsi
dalam traktus gastrointestinal dan dimetabolisme dihati. Pada langkah pertama
dari degradasi, methanol diubah menjadi formaldehid oleh ensim alcohol
dehidrogenase. Reaksi ini lebih lambat dari reaksi kedua, oksidasi dari
formaldehid menjadi asam format olehenzim aldehid dehidrogenase. Oksidasi
ini berlangsung cepat sehingga hanya sedikit formaldehid yang terakumulasi
dalam serum. Hal ini menjelaskan latensi dari gejala antara penelanan dan
timbulnya efek. Waktu paruh dari formaldehid adalah sekitar 1-2 menit.

Asam format kemudian dioksidasi menjadi karbondioksida dan air oleh


tetrahidrofolat. Waktu paruh asam format di dalam tubuh cukup panjang, yaitu
sampai 20-24 jam sehingga dapat terjadi akumulasidi dalam tubuh yang
17

menimbulkan asidosis metabolic. Asam format juga menghambat respirasi


seluler sehingga terjadi asidosis laktat.

Gambar 2. Metabolisme Metanol

Kecepatan absorbsi dari methanol tergantung dari beberapa factor, dua factor
yang paling berperan adalah konsentrasi methanol dan ada tidaknya makanan
dalan saluran cerna. Methanol dalam bentuk larutan lebih lambat diserap
dibanding dengan methanol yang murni dan adanya makanan dalam saluran
cerna terutama lemak dan protein akan memperlambat absorbsi methanol dalam
saluran cerna. Setelah diabsorbsi, methanol didistribusi ke seluruh jaringan dan
cairan tubuh kecuali jaringan lemak dan tulang, disini konsentrasi methanol
paling rendah. Konsentrasi methanol di dalam darah mencapai maksimum kira-
kira setengah sampai satu jam setelah methanol dikonsumsi. Konsentrasi
methanol di dalam otak setelah tercapai keseimbangan adalah lebih sedikit
dibanding dengan konsentrasi di dalam darah.

Methanol yang telah diabsorbsi, dimetabolisme di dalam tubuh didalam hepar


melalui proses oksidasi. Secara normal, tubuh dapat memetabolisme 10 gms
methanol murni. Jika dikonsumsi berlebihan, konsentrasi methanol dalam darah
akan meningkat dan orang tersebut akan mulai menunjukkan keluhan dan gejala
keracunan alcohol, kecuali orang tersebut telah mengalami toleransi terhadap
18

methanol. Methanol dalam jumlah yang maksimum yaitu 300 ml methanol


murni, dapat dimetabolisme dalam tubuh dalam 24 jam. Keracunan methanol
dapat menyebabkan gangguan pada hepar dan ginjal.

Sedangkan untuk ekskresi metanol dari tubuh relatif lambat, dengan waktu
paruh selama 24 jam. Keparahan toksisitas metanol lebih berkaitan dengan
derajat kejadian metabolik asidosis ketimbang konsentrasi metanolnya. Hal ini
karena ketoksikan metanol ditentukan oleh kecepatan pembentukan asam
format dalam tubuh dan kemampuan hati untuk mendetoksifikasinya.

Seperti halnya ethanol, methanol didistribusikan keseluruh organ yang


proporsinya seimbang dengan air pada cairan jaringan. Hal inilah yang
menunjukkan bahwa organ mata mengalami gangguan yang sangat besar
walupun methanol yang masuk kedalam tubuh relatif kecil.

2.8.2 Etanol

Etanol merupakan molekul kecil (CH3CH2OH) yang diabsorpsi secara difusi


sederhana, lambat di dalam lambung, terutama di absorpsi (70-80%) dalam usus
(duodenum dan jejunum). Kadar puncak etanol dalam plasma tercapai dalam 45
menit jika orang tersebut puasa dan dalam 90 menit jika alkohol dikonsumsi
bersama makanan. Setelah diabsorpsi, etanol didistribusikan ke organ dengan
perfusi tinggi seperti otak, paru-paru, dan hati dalam hitungan menit (waktu
paruh distribusi 7-8 menit).

Etanol dimetabolisme melalui oksidasi oleh ADH menghasilkan asetaldehida,


yang kemudian dioksidasi menjadi asetat oleh aldehyde-dehydrogenase
(ALDH). Kemudian dieliminasi dalam bentuk tidak berubah melalui ekspirasi
udara, urin, dan keringat. Kontribusi dari berbagai rute eliminasi ini bervariasi
tergantung pada konsentrasi plasma, dan nilai-nilai clearance rendah. Kadar
etanol darah dapat diperkirakan dari eliminasi oleh paru, berdasarkan
19

konsentrasi di udara ekspirasi. Sekitar 3% sampai 5% dari jumlah total yang


diabsorpsi akan dieliminasi dalam bentuk tidak berubah oleh ginjal. Etanol
diekskresikan dalam ASI pada konsentrasi sekitar 10% lebih tinggi daripada
yang terdapat dalam plasma. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa susu
mengandung lebih banyak air.

Gambar 3. Metabolisme Etanol

Etanol terutama dimetabolisme dalam hati, tetapi jaringan lain mungkin terlibat
dalam oksidasi tersebut. Ethanol mengalami first-pass effect, yaitu sebagian
kecil akan mengalami metabolisme sebelum mencapai sirkulasi
sistemik. Metabolisme awal ini terjadi di mukosa pencernaan dan hati. First-
pass effect cenderung untuk melibatkan tidak lebih dari 20% dosis etanol yang
ditelan. Lebih dari 80% dari alkohol yang tertelan masuk sirkulasi sistemik
dalam bentuk etanol dan kemudian dimetabolisme dalam hati. Dalam hati,
oksidasi etanol terutama memicu peningkatan rasio NADH / NAD +, yang,
20

pada gilirannya, mengganggu metabolisme karbohidrat dan lemak. Perlemakan


hati, salah satu contoh dari peningkatan rasio NADH / NAD +, menghambat -
oksidasi asam lemak dan meningkatkan akumulasi trigliserida dalam hati.

2.9. Mekanisme Kerja


2.9.1 Metanol
Metanol bersifat toksik melalui 2 mekanisme. Yang pertama adalah efek dari
methanol itu sendiri yang dapat berakibat fatal bila masuk ke dalam tubuh
dalam jumlah banyak karena sifatnya yang mendepresi system saraf pusat.
Mekanisme yang kedua adalah metabolisme dari methanol didalam tubuh
dimana methanol akan dimetabolisme oleh tubuh menjadi zat yang sangat
beracun yang bertanggung jawab atas terjadinya asidosis dan kebutaan yang
merupakan karakteristik dari keracunan methanol.

Langkah awal dalam metabolisme metanol melibatkan enzim alkohol


dehydrogenase (ADH). Pertama, metanol di dalam hati secara perlahan
dioksidasi oleh ADH untuk menghasilkan formaldehida. Selanjutnya,
formaldehida dioksidasi oleh formaldehid dehidrogenase menghasilkan asam
format (atau formate, tergantung pada pH). Proses oksidasi ini terjadi dengan
cepat sehingga sedikit sekali formaldehida terakumulasi di dalam serum.
Akhirnya, asam format dimetabolisme menjadi karbon dioksida dan air, yang
diekskresikan oleh ginjal dan paru-paru.

Akumulasi asam format bertanggung jawab atas terjadinya asidosis metabolik.


Asam format juga mengganggu respirasi seluler yang dapat mengarah ke
asidosis laktat. Cedera pada mata yang disebabkan oleh metanol mungkin
disebabkan cedera pada retina, yang dihasilkan dari metabolisme methanol
intravena dan akumulasi asam format. Atau, mungkin disebabkan
terganggunya metabolisme normal di saraf optic.

2.9.2 Etanol
Etanol adalah bahan cairan yang telah lama digunakan sebagai obat dan
merupakan bentuk alkohol yang terdapat dalam minuman keras seperti bir,
21

anggur, wiskey maupun minuman lainnya. Etanol merupakan cairan yang


jernih tidak berwarna, terasa membakar pada mulut maupun tenggorokan bila
ditelan. Etanol mudah sekali larut dalam air dan sangat potensial untuk
menghambat sistem saraf pusat terutama dalam aktifitas sistem retikular.
Aktifitas dari etanol sangat kuat dan setara dengan bahan anastetik umum.
Tetapi toksisitas etanol relatif lebih rendah daripada metanol ataupun
isopropanol.

Mekanisme Toksisitas
Secara pasti mekanisme toksisitas etanol belum banyak diketahui. Beberapa
hasil penelitian dilaporkan bahwa etanol berpengaruh langsung pada membran
saraf neuron dan tidak pada sinapsisnya (persambungan saraf). Pada daerah
membran tersebut etanol mengganggu transport ion. Pada penelitian invitro
menunjukkan bahwa ion Na+, K+- ATP ase dihambat oleh etanol. Pada
konsentrasi 5 10% etanol memblok kemampuan neuron dalam impuls
listrik, konsentrasi tersebut jauh lebih tinggi daripada konsentrasi etanol
dalam sistem saraf pusat secara invivo.

Pengaruh etanol pada sistem saraf pusat berbanding langsung dengan


konsentrasi etanol dalam darah. Daerah otak yang dihambat pertama kali ialah
sistem retikuler aktif. Hal tersebut menyebabkan terganggunya sistem motorik
dan kemampuan dalam berpikir. Disamping itu pengaruh hambatan pada
daerah serebral kortek mengakibatkan terjadinya kelainan tingkah laku.
Gangguan kelainan tingkah laku ini bergantung pada individu, tetapi pada
umumnya penderita turun daya ingatnya. Gangguan pada sistem saraf pusat
ini sangat bervariasi biasanya berurutan dari bagian kortek yang terganggu
dan merambat ke bagian medulla.

2.10. Gejala-Gejala Intoksisikasi Metanol-Etanol


2.10.1 Metanol

Gejala klinis toksisitas methanol


22

Gejala yang dapat terjadi jika seseorang mengalami intoksikasi methanol :

1. Gejala awal
Depresi pada sistem saraf pusat, yang meliputi sakit kepala, pusing, mual,
berkurangnya koordinasi, bingung. Pada intoksikasi yang berat, penderita
menunjukkan gejala stuppor (tidak bereaksi) atau menjadi koma. Kulit
teraba dingin, bau nafas tercium alkohol, suhu tubuh dan frekwensi nafas
menurun, kadang denyut jantung meningkat. Dalam dosis yang lebih
besar dapat menyebabkan hilangnya kesadaran bahkan kematian. Gejala
awal pada orang yang hanya terkena paparan methanol biasanya lebih
ringan dibandingkan dengan orang yang tertelan methanol dengan dosis
yang sama. (Gunawan, 2012)

2. Gejala lanjutan
Pandangan kabur, hilang penglihatan secara total dan asidosis.Gejala-
gejala tersebut terjadi karena akumulasi dari kadar toksik format di aliran
darah. Akumulasi ini dapat menyebabkan kematian karena gagal napas.
Gejala diawali dengan menunjukkan tanda-tanda seperti intoksikasi
etanol dengan gejala yang biasanya lebih ringan karena daya larut
metanol yang rendah terhadap lemak. Gejala yang terlihat ialah euphoria
dan lemah otot. Kemudian diikuti dengan gejala nausea, muntah, sakit
kepala, hilang ingatan, sakit perut yang sangat dan dapat disertai diare,
sakit punggung, kelesuan anggota gerak. Mata terlihat merah karena
hiperemik. (Gunawan, 2012)

Pada keracunan methanol yang berat, pernafasan dan denyut jantung


tertekan. Terjadi gejala asidosis dengan nafas perlahan dan dalam.
Penderita akan mengalami koma dan kematian terjadi dengan cepat. Pada
saat menjelang kematian, penderita menunjukkan gejala konvulsi dan
opisthotonus. (Gunawan, 2012)
23

Terjadinya kerusakan bola mata sering terjadi pada keracunan methanol.


Orang yang mengkonsumsi methanol sekitar 4 ml dapat menyebabkan
kebutaan. Kerusakan mata adalah suatu bentuk terjadinya kerusakan
retina dan saraf optik yang mengalami degenerasi yang disebabkan oleh
akumulai formaldehid dan berkembang menjadi asidosis. (Gunawan,
2012)

Fase-fase efek toksik yang bisa terjadi akibat paparan methanol:

Fase pertama adalah Penekanan sistem saraf pusat. Dapat terjadi dalam
30 menit- 2 jam, intoksikasi dapat terjadi dalam durasi yang lebih pendek
daripada intoksikasi oleh etanol

Fase kedua adalah fase laten tanpa gejala, mengikuti depresi sistem saraf
pusat. Dalam 48 jam setelah diminum, pasien mungkin belum
menunjukkan tanda-tanda keracunan, walaupun gejalanya mungkin
berbeda secara individual.

Fase ketiga terjadi asidosis metabolik berat. Pada fase ini metanol telah
dimetabolisir menjadi asam format dan menyebabkan metabolik asidosis
(meningkatnya keasaman darah), yang dapat menyebabkan mual,
muntah, pusing, dan mungkin sudah mulai ada tanda-tanda gangguan
penglihatan.

Fase keempat adalah toksisitas pada mata, diikuti dengan kebutaan,


koma, dan mungkin kematian: Gangguan visual/penglihatan umumnya
terjadi pada 12-48 jam setelah minum, dan gejalanya bervariasi, dari
mulai tidak tahan cahaya (fotofobia), kabur atau berkabut, sampai
kebutaan. (Gunawan, 2012)
24

2.10.2 Etanol
Pengaruh etanol pada sistem saraf pusat berbanding langsung dengan
konsentrasi etanol dalam darah. Daerah otak yang dihambat pertama
kali ialah sistem retikuler aktif. Hal tersebut menyebabkan terganggunya
sistem motorik dan kemampuan dalam berpikir. Disamping itu pengaruh
hambatan pada daerah serebral kortek mengakibatkan terjadinya
kelainan tingkah laku. Gangguan kelainan tingkah laku ini bergantung
pada individu, tetapi pada umumnya penderita turun daya ingatnya.
Gangguan pada sistem saraf pusat ini sangat bervariasi biasanya
berurutan dari bagian kortek yang terganggu dan merambat ke bagian
medulla. (Gunawan, 2012)

Metabolisme etanol dan mekanisime terjadinya intoksikasi:


Etano
l *A
*ME AD
DH
Interpolasi OS H
Asetaldehi Peningkatan NADH/NAD+
d laktat/piruvat
ke dalam
membran Menghambat glukoneogenesis
Membentuk Diubah
Menghambat oksidasi asam
produk adisi menjadi lemak
fluiditas dengan protein asetat
Menghambat gliserofosfat
membra dan asam
dehidrogenase
n
Efek nukleat Diubah menjadi
gliserofosfat
toksik, asetil-KoA

terutama
di dalam sintesis asam lemak

otak

Perlemakan
hati
*ADH: alcohol dehidrogenase
Gambar
*MEOS: sistem oksidasi4. Metabolisme
etanol Etanol dan Intoksikasi
di dalam mikrosom-spesies sitokrom P450
25

Gejala Klinis Toksisitas Etanol

Dosis fatal

Dosis bukan hanya tergantung dari jumlah yang diminum, tetapi juga bergantung
pada kebiasaan seseorang dan jenis minumannya. Misalnya alkohol absolut
sebanyak 5 oz dapat berakibat fatal. Untuk anak-anak berusia dibawah 12 tahun,
alkohol absolut sebanyak 2 oz juga sudah dapat berakibat fatal. (Samir, 2006)

Pada buku lain juga mengatakan takaran alkohol untuk menimbulkan keracunan
bervariasi tergantung dari kebiasaan minum dan sensitivitas genetik perorangan.
Umumnya 35 gram alkohol menyebabkan penurunan kemampuan untuk menduga
jarak dan kecepatan serta menimbulkan euforia. Alkohol sebanyak 75-80 gr akan
menimbulkan keracunan akut dan 250-500 gram alkohol takaran fatal. Kadar
alkohol darah dari konsumsi 35 gram alkohol dengan menggunakan rumus:

(A = C X P X R)

A : jumlah alkohol yang diminum

C : kadar alkool darah (mg%)

P : berat badan (kg)

R : konstanta (0,0007)

Bagi orang dewasa, dosis sebanyak 150-200 mL alkohol absolut sudah dianggap
bisa berakibat fatal. (Samir, 2006)

Periode fatal

Jika alkohol diminum dalam jumlah yang banyak oleh seseorang yang tidak
mempunyai kebiasaan minum alkohol bisa menyebabkan kematian dalam
26

beberapa menit. Periode fatal bisanya antara 12-24 jam, pada beberapa kasus bisa
agak panjang yaitu antara 5-6 hari. Pada kadar yang rendah alkohol (10-20 mg%)
sudah menimbulkan gangguan berupa penurunan keterampilan tangan dan
perubahan tulisan tangan. Pada kadar 30-40 mg% telah timbul penyempitan
lapangan pandang, dan penurunan ketajaman penglihatan. Sedangkan pada kadar
80 mg% telah terjadi gangguan penglihatan tiga demensi dan gangguan
pendengaran, selain itu tampak pula gangguan pada kehidupan psikis, yaitu
penurunan kemampuan memusatkan perhatian, konsentrasi, asosiasi dan analisa.
Ketermpilan mengemudi mulai menurun pada kadar alkohol darah 30-50 mg%
dan lebih jelas lagi pada kadar 150 mg%. Alkohol dengan kadar dalam darah 200
mg% menimbulkan gejala banyak bicara, refleks menurun. Inkoordinasi otot-otot
kecil, kadang-kadang nistagmus dan sering terdapat pelebaran pembuluh darah
kulit. Dalam kadar 250-300 mg% menimbulkan gejala penglihatan kabur, tidak
dapat mengenali warna, konjungtiva merah, dilatasi pupil (jarang konstriksi,
diplopia, sukar memusatkan pandangan/penglihatan dan nistagmus. Bila kadar
dalam darah dan otak semakin meningkat akan timbul pembicaraan kacau, tremor
tangan dan bibir, keterampilan menurun, inkoordinasi otot dan tonus otot muka
menghilang. Dalam kadar 400-500 mg% aktifitas motorik hilang sama sekali.,
timbul stupor atau koma, pernapasan perlahan dan dangkal, suhu tubuh menurun.
(Samir, 2006)

Gejala dari keracunan etanol bervariasi dari yang sifatnya ringan yaitu ataxia
(sempoyongan) sampai berat yaitu koma. Pada intoksikasi yang berat, penderita
menunjukkan gejala stupor (tidak bereaksi) atau menjadi koma. Kulit teraba
dingin, bau nafas tercium alkohol, suhu tubuh dan frekwensi nafas menurun,
kadang denyut jantung meningkat. Kejadian koma karena keracunan alkohol
biasanya KAD nya mencapai 300 mg% atau 0,3 %. Pada konsentrasi kurang dari
100 mg%, lobus frontal otak terpengaruh sehingga tidak berfungsi. (Samir, 2006)
27

Tabel 2. Gejala intoksikasi Etanol

Gejala klinis Konsentrasi alkohol dalam Bagian otak yang


darah (%) terkena
1. Ringan. 0,005 0,10 Lobus depan
- Penglihatan menurun
- Reaksi lambat
- Kepercayaan diri meningkat
2. Sedang 0,15 0,30
- Lobus parietal
- Sempoyongan
- Berbicara tidak menentu Lobus ocipitalis
- Fungsi saraf motorik
menurun
- Kurang perhatian
- Diplopia Serebellum
- Gangguan persepsi
- Tidak tenang
3. Berat 0,30 0,50
- Gangguan penglihatan Lobus ocipitalis
- Depresi Serebellum
- Stupor Diencephalon
4. Koma 0,50 Medulla
- Kegagalan pernafasan
Sumber: Gossel and Bricker, 1984

Gejala Klinis menurut kadar:

Kadar 10-20mg% terjadi penurunan keterampilan tangan


Kadar 30-40mg% terjadi penurunan ketajaman penglihatan

Keterampilan mengemudi mulai menurun pada takaran mengkonsumsi 30-


50mg%, lebih jelas 150mg%

Kadar 200mg% mengakibatkan banyak bicara, reflek menurun, inkoordinasi


otot-otot kecil,kdg nistagmus,pelebaran PD kulit
28

Kadar 250-300mg% mengakibatkan penglihatan kabur,tidak dapat mengenal


warna,konjungtiva merah,dilatasi pupil,diplopia,sukar memusatkan
pandangan/penglihatan dan nistagmus, bicara kacau,tremor tangan dan bibir

Kadar 400-500mg% mengakibatkan aktivitas motorik hilang,stupor atau


koma,pernafasan berlahan dan dangkal

Akan menghilangkan perasaan yang menghambat atau merintangi.

Merasa lebih tegar berhubungan secara sosial (tidak menemui masalah).

Merasa senang dan banyak tertawa.

Menimbulkan kebingungan

Tidak mampu berjalan.

Euphoria, bahkan penurunan kesadaran

Gejala Klinis Keracunan Etanol Kronik

Konsumsi etanol dalam jangka panjang dapat menyebabkan gangguan


hampir pada semua organ.

a. Saluran pernapasan

Alkohol takaran tinggi dalam waktu lama akan menimbulkan kelainan pada
selaput lendir mulut, kerongkongan dan lambung berupa gastritis kronis
dengan aklohidria, gastritis erosif hemoragik akut serta pengkreatitis
hemoragik dan dapat pula terjadi malabsorpsi. Timbulnya tumor ganas di
mulut dan kerongkongan dihubungkan dengan iritasi kronik pada pencandu
alcohol. (Samir, 2006)

b. Hati
Terjadi penimbunan lemak dalam sel hati, kadar SGOT, trigliserida, dan
asam urat meningkat. Hepatitis pada alkoholisme dapat menyebabkan
29

hepatitis alkoholik yang kemudian dapat berkembang menjadi sirosis dan


hepatoma. (Samir, 2006)

c.Jantung
Dapat terjadi kardiomiopati alkoholik dengan payah jantung kiri atau kanan
dengan distensi pembuluh balik leher nadi lemah dan edema perifer. Bila
korban meninggal pada jantung mungkin dijumpai hipertrofi kedua ventrikel,
fibrosis endokard, dengan tanda trombi mural pada otot jantung. Pada
pemeriksaan histologi akan dijumpai fibrosis interstitial, hipertropi,
vakuolisasi, dan edema serat-serat otot jantung. (Samir, 2006)

d. Sistem musculoskeletal
Dapat ditemukan miopati alkoholik. Pada pemeriksaan histopatologi
dijumpai atropi serat dan perlemakan jaringan otot. (Samir, 2006)

e.Sistem saraf
Dapat terjadi polyneuritis atau neuropati perifer akibat degenerasi serabut
saraf dan myelin. Selain itu mungkin pula tejadi sindroma Marchiavafa
Bignami dengan kerusakan terutama pada korpus kalosum, komisura
anterior, traktus optikus, masa putih subkortikal dan pedunkulus serebeli.
Pada alkoholisme akroik sering terjadi gangguan nutrisi akibat kebiasaan
makanan yang kurang baik, sehingga timbul kelainan dengan gejala-gejala
seperti defisiensi vitamin B1 (beri-beri), asam nikotinat, riboflavin, vitamin
B. (Samir, 2006)

Sebab dan Mekanisme Kematian

Mekanisme kematian pada alkoholisme kronik terutama akibat gagal hati dan
rupture varises esophagus akibat hipertensi portal. Selain itu dapat
disebabkan secara sekunder oleh pneumonia dan tuberkulosa. Peminum
alkohol sering terjatuh dalam keadaan mabuk dan meninggal pada autopsi
dapat ditemukan memar korteks serebri, hematoma subdural akut atau
kronik. Depresi pusat pernapasan terjadi pada kadar alkohol dalam darah 450
mg%. pada kadar 500-600 mg% dalam darah penderita biasanya meninggal
30

dalam 1-4 jam, setelah koma selama 10-16 jam. Para ahli banyak
berpendapat mengenai akibat yang ditimbulkan etanol, diantaranya
Dreisbach (1971) menyatakan bahwa etanol akan menekan sistem saraf pusat
secara tidak teratur tergantung dari jumlah yang dicerna, dikatakan pula
bahwa etanol secara akut akan menimbulkan oedema pada otak serta oedema
pada saluran gastrointestinal. Pada keracunan etanol onset sekitar 30 menit,
napas berbau etanol dan dapat terjadi asidosis respiratorik atau ketoasidosis.
(Gunawan, 2012).

(1) Depresi SSP merupakan efek utama keracunan etanol. Etanol memiliki
efek aditif dengan depresan SSP lainnya seperti barbiturate, benzodiazepine,
antidepresi dan antipsikotik

(2) Hipoglikemia obat dapat terjadi karena gangguan gluconeogenesis pada


pasien dengan kondisi kehabisan simpanan glikogen

(3) Keracunan etanol dapat menyebabkan pasien cenderung pada trauma dan
kondisi kekacauan metabolic sering terlihat pada pasien alkoholik.

Mabuk, inkoordinasi otot, penglihatan kabur, etil alkohol dapat membutakan.


Kecepatan reaksi terganggu, eksitasi, gangguan kesadaran sampai koma.
Takikardia dan pernapasan lambat. Kadar alkohol setinggi 80 mg% akan
menyebabkan gambaran mabuk yang jelas. Kadar 300 mg% berbahaya bagi
kehidupan, tetapi toleransi dapat timbul pada individu yang terbiasa minum
alkohol, sehingga penilaian klinis penting sekali. Pada anak-anak dapat
terjadi hipoglikemia berat dan konvulsi (Gunawan, 2012).

2.11 Pemeriksaan Kedokteran Forensik


A. Pemeriksaan Forensik keracunan Metanol
Tanda tanda yng ditemukan pada jenazah tidak khas. Pada pemeriksaan luar
mungkin hanya tercium bau khas dan tanda tanda asfiksia. Pada pembedahan
31

jenazah dapat ditemukan perbendungan alat alat dalam, perdrahan pada


permukaan paru dan mukosa alat dalam dan bintik bintik perdarahan pada
selaput otak meningens. Pada pemeriksaan histopatologik dapat dijumpai
degenerasi bengkak keruh pada hati dan gijal serta edema otak (Budiyanto,
1997).
Pada keracunan methanol dapat terjadi perubahan akut sekunder akibat
hipoksia/iskemia pada substansia grisea berupa edema serebri dan injuri
neuronal akut. Pada seseorang yang mengalami keracunan metil alcohol
selama beberapa hari atau beberapa minggu akan menunjukkan pola
kerusakan otak yang khas yaitu nekrosis putamen bilateral, terutama
mengenai bagian lateral dari nuclei. Pada beberapa kasus dapat juga
ditemukan nekrosis hemoragik yang melibatkan centrum semiovale,
khususnya bagian subkortikal. Selain itu dapat juga terjadi kerusakan pada
substansia alba dan putamen. Penampakan klasik dari perdarahan dan nekrosis
putamen akut adalah khas pada keracunan methanol. Perdarahan yang banyak
sampai meluas ke system ventrikel berkorelasi dengan heparinisasi sistemik
selama dialysis. Jika pasien dapat bertahan selama fase akut dari penyakit ini
akan terjadi resorpsi jaringan putamen yang mengalami infark selama
perdarahan menjadi suatu rongga kistik di dalam nuclei dari putamen,
beberapa dari pasien ini dapat mengalami sindrom Parkinson. (Darmono,
2009)

Kelainan lain yang mungkin terjadi pada keracunan methanol adalah nekrosis
dan perdarahan pada substansia alba. Lesi pada substansia alba ini kurang
spesifik pada keracunan methanol. Penampakan postmortem pada keracunan
methanol yang kronis yaitu perubahan morfologik otak yang menyeluruh
yaitu atropi kortikal dan subkortikal. Lobus frontal adalah bagian otak yang
paling peka, disini akan terjadi kerusakan dan penyusutan bagian otak
tersebut,gejala yang timbul yaitu berupa gangguan eksekutif seperti
kemampuan untuk merencanakan dan menyelesaikan masalah. Pada
32

keracunan methanol pada lambung dan duodenum akan tampak hiperemi dan
inflamasi dengan bercak-bercak perdarahan . Pada paru-paru akan tampak
kongesti dan odema. Pada otak dan meningen akan terjadi kongesti. Pada
mukosa kantung kemih terjadi kongesti, dan pada ginjal menunjukkan adanya
degenerasi tubular. Pada jantung terjadi degenerasi vacuolar pada sel-
sel jantung. (Darmono, 2009)

B. Pemeriksaan Forensik keracunan Alkohol (Etanol) Akut


1. Pemeriksaan luar
Kaku mayat dan pembusukan lebih lambat terjadi. Mayat penderita bisa
bertahan lebih lama. Kongesti pada konjungtiva sangat jelas.

2. Pemeriksaan dalam
Bau alkohol bisa tercium dari isi lambung dan organ tubuh lainnya.
Dinding lambung hiperemis, berwarna merah dan isi lambung berwarna
coklat.
Organ tubuh lainnya mengalami kongesti.
Edema otak sangat jelas terlihat dari jarak antara gyrus otak yang semakin
sempit.

Pada orang hidup bau alkohol yang keluar dari udara pernapasan merupakan
petunjuk awal. Petunjuk ini harus dibuktikan dengan pemeriksaan kadar
alkohol darah, baik melalui pemeriksaan udara pernapasan atau urin , maupun
langsung dari darah vena. (Darmono, 2009)
Pemeriksaan Forensik keracunan Alkohol (Etanol) Kronis
1. Pada orang yang masih hidup dapat diidentifikasi dari bau alkohol yang
keluar dari udara pernafasan.
2. Pemeriksaan kadar alkohol darah: baik pemeriksaan udara pernafasan atau
urin atau dari darah vena
3. Kelainan pada orang yang sudah meninggal tidak khas. Mungkin
ditemukan gejala yang sesuai dengan asfiksia. Seluruh organ menunjukkan
tanda perbendungan, darah lebih encer, berwarna merah gelap.
4. Mukosa lambung tanda perbendungan, kemerahan dan tanda inflamasi tapi
kadang-kadang juga tak tampak kelainan.
33

5. Otak dan darah berbau alkohol.


6. Pada pemeriksan histologis dapat dijumpai edema dan pelebaran pembuluh
darah dan selaput otak, degenerasi bengkak keruh, pada bagian parenkim
organ inflamasi mukosa saluran cerna.
7. Pada jantung, gambaran serat lintang otot jantung menghilang, hialinisasi,
edema dan vakuolisasi serabut otot jantung. Schneider melaporkan miopati
alhokolik akut dengan miohemoglobinuri yang disebabkan oleh nekrosis
tubuli ginjal dan kerusakan miokardium. (Darmono, 2009)

Gambaran Keadaan Organ Dalam Mayat dengan Intoksikasi Etanol

Kelainan yang ditemukan pada korban mati tidak khas, Mungkin ditemukan
gejala-gejala yang sesuai dengan asfiksia. Seluruh organ menunjukkan tanda
perbendungan, darah lebih encer, berwarna merah gelap. Mukosa lambung
menunjukkan tanda perbendungan, kemerahan dan tanda inflamasi tapi kadang
kadang tidak ada kelainan. Organ-organ termasuk otak dan darah berbau alkohol.
Pada pemeriksaan histopatologik dapat dijumpai edema dan pelebaran pembuluh
darah otak dan selaput otak, degenerasi bengkak keruh pada bagian parenkim
organ dan inflamasi mukosa saluran cerna. Pada kasus keracunan kronik yang,
meninggal, jantung dapat memperlihatkan fibrosis interstisial, hipertrofi serabut
otot jantung, sel-sel radang kronik pada beberapa tempat, gambaran seran lintang
otot jantung menghilang, hialinisasi, edema dan vakuolisasi serabut otot jantung.
Schneider melaporkan miopati alhokolik akut dengan miohemoglobinuri yang
disebabkan oleh nekrosis tubuli ginjal dan kerusakan miokardium. (Darmono,
2009)
34

Gambar 5. Steatosis hati pada keracunan alkohol akut

Gambar 6. Chirrosis hepatis pada konsumsi alkohol kronik

Gambar 7. Pankreatitis akut pada konsumsi alkohol kronik

2.12. Cara Mendeteksi


35

2.12.1 Pemeriksaan Laboratorium

A. Metil alkohol (Metanol)

Bahan-bahan yang perlu diambil untuk pemeriksaan toksikologik adalah darah,


otak, hati, ginjal dan urin. Dalam urin dapat ditemukan metil alkohol dan asam
formiat sampai 12 hari setelah keracunan. Pada kasus keracunan metanol,
formaldehida tidak pernah terdeteksi dalam cairan tubuh korban karena
formaldehida yang terbentuk sangat cepat diubah menjadi asam format (waktu
paruh 1-2 menit) dan selanjutnya diperlukan waktu yang cukup lama (kurang
lebih 20 jam) oleh enzim 10-formyl tetrahydrofolate synthetase (F-THF-S)
untuk mengoksidasi asam format menjadi senyawa Karbon dioksida dan air,
sehingga ditemukan adanya korelasi antara konsentrasi asam format dalam
cairan tubuh dengan kasus keracunan metanol. Berat ringannya gejala akibat
keracunan metanol tergantung dari besarnya kadar metanol yang tertelan. Dosis
toksik minimum (kadar keracunan minimal) metanol lebih kurang 100 mg/kg
dan dosis fatal keracunan metanol diperkirakan 20 240 ml (20 150g).
(Reilly, 2007)

Pemeriksaan serum osmolalitas pasien dapat meningkat atau normal.


Osmolalitas akan meningkat secara signifikan segera setelah intake methanol.
36

Setiap peningkatan konsentrasi methanol sebesar 10 mg/dl akan menyebabkan


peningkatan osmolalitas sebesar 3 mOsm/L. Sehingga dapat diprediksi bila
konsentrasi methanol sebesar 50 mg/dl akan meningkatkan osmolalitas serum
sekitar 15 mOsm/L. (Reilly, 2007)

Karena akumulasi asam format maka akan menyebabkan high anion gap
asidosis metabolic dengan pH 6.8-7.3. Asidosis laktat terjadi akibat gangguan
respirasi sel akibat format atau peningkatan penggunaan NADH untuk
metabolisme methanol. Pada pasien yang juga minum etanol bersamaan
dengan methanol, dapat timbul ketoasidosis. Pada beberapa pasien
AG/HCO3 > 1, menunjukkan metabolik alkalosis yang terjadi bersamaan
atau deposisi format dan HCO3 yang berbeda. (Vicellio, 1993)

Serum anion gap dapat meningkat minimal dan serum HCO3 menurun secara
minimal pada awal intoksikasi, dengan berjalannya proses metabolisme
methanol, akan terjadi peningkatan minimal dari serum osmolalitas, dimana
anion gap dapat meningkat secara signifikan dan penurunan HCO3 serum.
(Vicellio, 1993)

Dalam keadan khusus, pasien dapat mengalami toksisitas okular, dengan


serum osmolalitas dan anion gap normal. Pengukuran kadar darah methanol
sangat penting untuk mengkonfirmasi diagnosis intoksikasi methanol dalam
darah menggunakan gas kromatografi pada laboratorium khusus, dan
pemeriksaan ini membutuhkan waktu beberapa hari untuk selesai. (Vicellio,
1993)

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa bila sarana pemriksaan kadar


methanol serum tidak tersedia, maka pemeriksaan perubahan osmolalitas
serum sangat bermanfaat, baik untuk mendukung diagnosis atau menentukan
terapi dan durasi terapi. (Reilly, 2007)
37

Pemeriksaan lab pada ginjal didapatkan rendahnya kadar bikarbonat serum


karena terjadiasidosis metabolic. Peningkatan anion gap disebabkan karena
peningkatan kadar laktat danketon, hal ini dapat terjadi kemungkinan karena
akumulasi asam format. Dapat juga terjadi peningkatan osmolar gap, hal ini
bukan merupakan temuan yang spesifik karena menunjukkanadanya suatu
larutan dengan berat molekul rendah seperti etanol, alcohol lain, mannitol,
glisin,lemak atau protein. Diagnosis definitive dari keracunan methanol dapat
dilihat dari peningkatankadar methanol serum yang dapat diukur dengan gas
chromathography namun hal ini tidak berkorelasi dengan tingkat keracunan
dan merupakan indicator yang baik untuk prognosis. (Reilly, 2007)

2.12 2 Pemeriksaan Rontgen keracunan Metanol


Temuan patologis yang mencirikan adanya suatu intoksikasi methanol adalah
neuropatioptic dan nekrosis putamen bilateral dengan atau tanpa nekrosis.
Lesi pada mata meliputi destruksi dari sel-sel ganglion retina, edema.
Nekrosis pada putamen dapat dilihat pada pasienyang dapat bertahan lebih
dari 24 jam. Daerah nekrosis juga dapat dilihat pada substansia alba pada
pasien yang bertahan lebih dari beberapa hari. Nekrosis putamen bilateral atau
perdarahan dapat dilihat pada CT Scan dan MRI. (Darmono, 2009)
38

Gambar 8. CT scan pada hari ke lima menunjukkan adanya perdarahan pada


putamen.

Gambar 9. CT Scan Pre (A) dan Post kontras (B) pada hari ke 24 menunjukkan
Hilangnya volume putamen secara bilateral dan adanya lesi putamen dan subkortikal

B. Etanol
Bau alkohol bukan merupakan diagnosis pasti keracunan. Diagnosis pasti hanya
ditegakkan dengan pemeriksaan kuantitatif kadar alkohol darah. Kadar alkohol
dari udara ekspirasi dan urin dapat dipakai sebagai pilihan kedua. Untuk korban
meninggal sebagai pilihan kedua dapat diperiksa kadar alkohol dalam otak, hati,
atau organ lain atau cairan serebrospinalis. Penentuan kadar alkohol dalam
lambung saja tanpa menentukan kadar alkohol dalam darah hanya menunjukkan
bahwa orang tersebut telah minum alkohol. Penegakan diagnosis intoksikasi
alkohol dilakukan dari segi klinis seperti yang telah disebut kan pada gejala-
gejala. Definitif diagnosis dilakukan dengan alcohol blood test sebagai bagian
dari pemeriksaan toksikologi. Banyak pemeriksaan informal yang dilakukan
sendiri untuk mendeteksi alkohol. Tetapi pemeriksaan ini tidak
direkomendasikan dalam ilmu kedokteran.Pada mayat, alkohol dapat berdifusi
dari lambung ke jaringan sekitarnya termasuk ke dalam jantung, sehingga untuk
pemeriksaan toksikologik, diambil darah dari pembuluh darah vena perifer
(kubiti atau femoralis). (Vicellio, 1993)
39

Salah satu cara penentuan semikuantitatif kadar alkohol dalam darah atau urin
yang cukup sederhana adalah tehnik modifiaksi mikrodifusi (Conway), sebagai
berikut :
Letakkan 2 ml reagen antie ke dalam ruang tengah. Reagen antie dibuat
dengan melarutkan 3,70 gm kalium dikromat ke dalam 150 ml air.
Kemudian tambahkan 280 ml asam sulfat dan terus diaduk. Encerkan
dengan 500 ml akuades.
Sebarkan 1 ml darah atau urin yang akan diperiksa dalam ruang sebelah luar
dan masukkan 1 ml kalium karbonat jenuh dalam ruang sebelah luar pada
sisi berlawanan
Tutup sel mikrodifusi, goyangkan dengan hati-hati supaya darah atau urin
bercampur dengan larutan kalium karbonat
Biarkan terjadi difusi selama 1 jam pada temperatur ruang, kemudian
angkat tutup dan amati perubahan warna pada reagen antie.
Warna kuning kenari mununjukkan hasil negatif. Perubahan warna kuning
kehijauan menunjukkan kadar etanol sekitar 80 mg%, sedangkan warna
hijau kekuningan sekitar 300 mg%. (Vicellio, 1993)

Kadar alkohol darah yang diperoleh pada pemeriksaan belum menunjukkan


kadar alkohol darah pada saat kejadian. Hal ini akibat dari pengambilan darah
dilakukan beberapa saat setelah kejadian, sehingga perhitungan kadar alkohol
darah saat kejadian harus dilakukan. Meskipun kecepatan eliminasi kira-kira
14-15 mg%, namun dalam perhitungan harus juga dipertimbangkan
kemungkinan kesalahan pengukuran dan kesalahan perkiraan kecepatan
eliminasi. Gruner (1975) menganjurkan angka 10 mg% per jam digunakan
dalam perhitungan. Sebagai contoh, bila ditemukan kadar alkohol darah 50 mg
% yang diperiksa 3 jam setelah kejadian, akan memberikan angka 80 mg%
pada saat kejadian.

2.13 Keracunan Sianida


2.13.1 Sianida
40

Sianida adalah kelompok senyawa yang mengandung gugus siano (CN) yang
terdapat dialam dalam bentuk-bentuk berbeda (Kjeldsen 1999, Luque-Almagro
et al. 2011). Sianida di alam dapat diklasifikasikan sebagai sianida bebas,
sianida sederhana, kompleks sianida dan senyawa turunan sianida (Smith and
Mudder 1991).

Sianida bebas adalah penentu ketoksikan senyawa sianida yang dapat


didefinisikan sebagai bentuk molekul (HCN) dan ion (CN) dari sianida yang
dibebaskan melalui proses pelarutan dan disosiasi senyawa sianida (Smith and
Mudder 1991). Kedua spesies ini berada dalam kesetimbangan satu sama lain
yang bergantung pada pH sehingga konsentrasi HCN dan CN dipengaruhi oleh
pH (Kyle 1988). Pada pH dibawah 7, keseluruhan sianida berbentuk HCN
sedangkan pada pH diatas 10,5, keseluruhan sianida berbentuk CN (Kyle
1988). Reaksi antara ion sianida dan air ditunjukkan oleh dalam reaksi di bawah
ini (Smith and Mudder 1991):

CN- + HOH HCN + OH-

Sianida sederhana dapat didefinisikan sebagai garam-garam anorganik sebagai


hasil persenyawaan sianida dengan natrium, kalium, kalsium, dan magnesium
(Kjeldsen 1999, Kyle 1988). Sianida sederhana dapat juga didefinisikan sebagai
garam dari HCN yang terlarut dalam larutan menghasilkan kation alkali bebas
dan anion sianida (Smith and Mudder 1991):

NaCN Na+ + CN-


Ca(CN)2 Ca2+ + 2 CN-

Bentuk sianida sederhana biasanya digunakan dalam leaching emas. Sianida


sederhana dapat larut dalam air dan terionisasi secara cepat dan sempurna
41

menghasilkan sianida bebas dan ion logam (Kyle 1988, Smith and Mudder
1991)

Kompleks sianida termasuk kompleks dengan logam kadmium, tembaga, nikel,


perak, dan seng (Smith and Mudder 1991). Kompleks sianida ketika terlarut
menghasilkan HCN dalam jumlah yang sedikit atau bahkan tidak sama sekali
(Kyle 1988) tergantung pada stabilitas kompleks tersebut. Kestabilan kompleks
sianida bervariasi dan bergantung pada logam pusat (Smith and Mudder 1991).
Kompleks lemah seperti kompleks dengan sianida dengan seng dan kadmium
mudah terurai menjadi sianida bebas. Kompleks sedang lebih sulit terurai
dibanding kompleks lemah dan meliputi kompleks sianida dengan tembaga,
nikel, dan perak. Sedangkan kompleks kuat seperti kompleks sianida dengan
emas, besi, dan kobalt cenderung sukar terurai menghasilkan sianida bebas.

Yang tergolong senyawa turunan sianida adalah SCN (tiosianat), CNO , dan
NH3 (amonia) yang biasanya dihasilkan dari sianidasi, degradasi alami dan
pengolahan limbah mengandung sianida (Smith and Mudder 1991).
Hidrogen sianida disebut juga formonitrile, sedang dalam bentuk cairan dikenal
sebagai asam prussit dan asam hidrosianik. Hidrogen sianida adalah cairan
tidak berwarna atau dapat juga berwarna biru pucat pada suhu kamar. Bersifat
volatile dan mudah terbakar. Hidrogen sianida dapat berdifusi baik dengan
udara dan bahan peledak.Hidrogen sianida sangat mudah bercampur dengan air
sehingga sering digunakan. Bentuk lain ialah sodium sianida dan potassium
sianida yang berbentuk serbuk dan berwarna putih. .

2.13.2 Patogenesis
Fase Eksposisi ( Asal paparan)

Seseorang dapat terkontaminasi melalui makanan, rokok dan sumber lainnya.


Makan dan minum dari makanan yang mengandung sianida dapat mengganggu
42

kesehatan. Setelah terpapar sianida langsung masuk ke dalam pembuluh darah.


Jika sianida yang masuk ke dalam tubuh masih dalam jumlah yang kecil maka
sianida akan diubah menjadi tiosianat yang lebih aman dan diekskresikan
melalui urin. Selain itu, sianida akan berikatan dengan vitamin B12. Tetapi bila
jumlah sianida yang masuk ke dalam tubuh dalam dosis yang besar, tubuh tidak
akan mampu untuk mengubah sianida menjadi tiosianat maupun mengikatnya
dengan vitamin B12. Jumlah distribusi dari sianida berubah-ubah sesuai dengan
kadar zat kimia lainnya di dalam darah

Inhalasi
Sisa pembakaran produk sintesis yang mengandung karbon dan nitrogen seperti
plastik akan melepaskan sianida. Rokok juga mengandung sianida, pada
perokok pasif dapat ditemukan sekitar 0.06g/mL sianida dalam darahnya,
sementara pada perokok aktif ditemukan sekitar 0.17 g/mL sianida dalam
darahnya. Hidrogen sianida sangat mudah diabsorbsi oleh paru, gejala
keracunan dapat timbul dalam hitungan detik sampai menit. Ambang batas
minimal hydrogen sianida di udara adalah 2-10 ppm, tetapi angka ini belum
dapat memastikan konsentrasi sianida yang berbahaya bagi orang disekitarnya.
Selain itu, gangguan dari saraf-saraf sensoris pernafasan juga sangat terganggu.
Berat jenis hidrogen sianida lebih ringan dari udara sehingga lebih cepat
terbang ke angkasa. Anak-anak yang terpapar hidrogen sianida dengan tingkat
yang sama pada orang dewasa akan terpapar hidrogen sianida yang jauh lebih
tinggi.

Mata
Paparan hidrogen sianida dapat menimbulkan iritasi pada mata dan kulit.
Muncul segera setelah paparan atau paling lambat 30 sampai 60 menit.
Kebanyakan kasus disebabkan kecelakaan pada saat bekerja sehingga cairan
sianida kontak dengan kulit dan meninggalkan luka bakar.
43

Oral (saluran pencernaan)


Tertelan dari hidrogen sianida sangat fatal. Karena sianida sangat mudah masuk
ke dalam saluran pencernaan. Tidak perlu melakukan atau merangsang korban
untuk muntah, karena sianida sangat cepat berdifusi dengan jaringan dalam
saluran pencernaan.

Melalui kulit yang terkena cairan atau sprey


Orang yang bekerja dengan zatzat kimia seperti pestisida dapat teracuni jika zat
kimia tersemprot atau terciprat ke kulit mereka atau jika pakaian yang mereka
pakai terkena pestisida. Kulit merupakan barier yang melindungi tubuh dari
racun, meskipun beberapa racun dapat masuk melalui kulit (ATSDR,2004).

Fase Toksokinetik
Pada fase ini terjadi absorpsi, dstribusi, metabolisme dan ekskresi zat toksik.
Absorbsi merupakan proses penyerapan paparan zat toksik kedalam tubuh dapat
melalui pernafasan (inhalasi), kulit, oral, dan injeksi. Hydrogen sianida yang
terabsorbsi kemudian didistribusikan ke reseptor melalui darah, kemudian
mengalami meabolisme atau biotransformasi dapat menjadi zat yang lebih polar
maupun zat yang nonpolar, tokson yang telah dimetabolisme menjadi zat yang
lebih polar kemudian dieksresikan keluar tubuh melalui keringat, feses dan urin.
Sianida bereaksi melalui hubungan dengan atom besi ferri dari sitokrom
oksidase sehingga mencegah pengambilan oksigen untuk pernafasan sel.
Sianida tidak dapat disatukan langsung dengan hemoglobin, tapi dapat
disatukan oleh intermediary compound methemoglobin.

Apabila methemoglobin tidak dapat mengangkut cukup oksigen maka molekul


hemoglobin menjadi tidak berfungsi. Produksi methemoglobinemia lebih dari
50% dapat berpotensi fatal. Methemoglobinemia yang berlebih dapat
44

dibalikkan dengan metilen biru, terapi yang digunakan pada


methemoglobinemia, dapat menyebabkan terlepasnya kembali ion sianida
mengakibatkan keracunan sianida. Sianida bergabung dengan methemoglobin
membentuk sianmethemoglobin, sianmethemoglobin berwarna merah cerah,
berlawanan dengan methemoglobin yang berwarna coklat. Sianida merupakan
inhibitor nonspesifik enzim, yang meliputi asam suksinat dehidrogenase,
superoksida dismutase, karbonat anhidrase, sitokrom oksidase, dan lain
sebagainya. Oksidase merupakan enzim yang berperan mengkatalisis Hidrogen
yang ada dalam substrat dengan hasil berupa H2O dan H2O2. Enzim ini
berfungsi sebagai akseptor ion Hidrogen, banyak terdapat dalam mioglobin,
hemoglobin, dan sitokrom lain. Enzim dehidrogenase berperan sebagai
pemindah ion Hidrogen dari substrat satu ke substrat berikutnya dalam reaksi
redoks couple. Contoh lainnyanya ialah penggunaan enzim dehidrogenase
dalam pemindahan electron di membrane dalam mitokondria, siklus Kreb, dan
glikolisis fase anaerob. Enzim ini tidak menggunakan Oksigen sebagai akseptor
ion Hidrogen. Sianida memiliki afinitas tinggi terhadap ion besi pada sitokrom
oksidase, metalloenzim respirasi oksidatif akhir pada mitokondria. Fungsinya
dalam rantai transport elektron dalam mitokondria, mengubah produk
katabolisme glukosa menjadi ATP. Enzim ini merupakan katalis utama yang
berperan pada penggunaan oksigen di jaringan. Sianida menyebabkan hipoksida
seluler dengan menghambat sitokrom oksidase pada bagan sitokrom a dari
rantai transport elektron. Ion hidrogen yang secara normal akan bergabung
dengan oksigen pada ujung rantai tidak lagi tergabung (incorporated). Hasilnya,
selain persediaan oksigen kurang, oksigen tidak bisa digunakan, dan molekul
ATP tidak lagi dibentuk. Ion hidrogen incorporated terakumulasi sehingga
menyebabkan academia.

Fase Toksodinamik
Pada fase ini zat tokson yang telah mengalami metabolisme namun masih
bersifat non polar sehingga tidak dapat dieksresi maka zat ini diteruskan ke
45

resepor, reseptor yang dituju berbeda-beda sesuai dengan tempat paparan. Jika
hydrogen sianida terabsorbsi melalui pernafasan (inhalasi) maka resptornya
adalah paru-paru, jika tempat paparannya adalah kulit maka reseptornya adalah
saraf-saraf pada kulit. Pada tempat paparan melalu saluran pencernaan maka
reseptornya adalah lambung. Setelah mencapai ke reseptor maka tokson akan
bereaksi sehingga menimbulkan efek toksik.

Walaupun sianida dapat mengikat dan mengaktifkan beberapa enzim, tetapi


yang mengakibatkan timbulnya histotoxic anoxia adalah sianida mengikat
bagian aktif dari enzim sitokrom oksidase sehingga akan mengakibatkan
terhentinya metabolisme sel secara aerobik. Sebagai akibatnya hanya dalam
waktu beberapa menit akan mengganggu transmisi neuronal. Sianida dapat di
ekskresi melalui beberapa proses tertentu sebelum sianida berhasil masuk
kedalam sel. Proses yang paling berperan disini adalah pembentukan dari
cyanomethemoglobin (CNMetHb), sebagai hasil dari reaksi antara ion sianida
(CN) dan MetHb.

Selain itu juga, sianida dapat di ekskresi dengan adanya:


Ikatan dengan endothelial-derived relaxing factor (EDRF) dalam hal ini
adalah asam nitirit.
Bahan-bahan metal seperti emas, molibdenum atau komponen organik
seperti hidrokobalamin sangat efektif mengeliminasi sianida dari dalam sel.
Albumin dapat merangsang kerja enzim rodanase dan menggunakan sulfur
untuk mengikat sianida (ATSDR, 2004)

2.13.3 Patofisiologi

Paparan sianida dapat terjadi melalui inhalasi atau dengan cara per oral, tetapi
sianida dalam bentuk cair dapat diabsorbsi melalui kulit atau mata. Sianida
diserap dengan baik melalui saluran pencernaan atau kulit dan penyerapan
46

melalui saluran pernafasan terjadi secara cepat. Setelah diserap, sianida masuk
melalui aliran pembuluh darah dan didistribusi secara cepat ke seluruh organ-
organ dan jaringan ada tubuh, walaupun kadar sianida tertinggi dapat
ditemukan di hati, paru-paru, darah dan otak.

Di dalam sel, sianida berikatan dengan metalloenzym, sehingga menyebabkan


enzim-enzim tersebut menjadi tidak aktif. Toksisitas utamanya terjadi akibat
adanya inaktivasi dari sitokrom oksidase, sehingga melepas fosforilasi
oksidasi mitokondria dan menghambat pernafasan selular, meskipun
penyimpanan oksigen tercukupi yang mengakibatkan terjadinya anoksia
histotoksik. Metabolisme selular berubah dari aerob menjadi anaerob, yang
mengakibatkan diproduksinya asam laktat. Oleh sebab itu, jaringan yang
memiliki kebutuhan oksigen tertinggi (otak dan jantung) adalah yang paling
terpengaruh oleh keracunan akut sianida (Petrova dan Fishbein, 2004).

Dosis letal sianida pada keracunan akut adalah 270 ppm (gas), 50 mg (HCN),
200 300 mg (NaCN atau KCN). Sedangkan untuk keracunan kronik sianida,
dosis letalnya tidak diketahui. Berdasarkan penelitian Singh dkk tahun 1989,
seorang pekerja di tempat penyepuhan perak terpapar sebanyak 200 ppm
sianida berupa gas menjadi tidak sadarkan diri dan akhirnya meninggal dunia.
47

Pada kasus lain yang diteliti oleh Dudley dkk tahun 1942, paparan gas sianida
hingga 270 ppm dapat menyebabkan kematian dengan segera, dan sebesar 181
ppm setelah 10 menit, dan paparan 135 ppm setelah 30 menit menimbulkan
kematian.

Paparan akut sianida paling sering terjadi secara oral, baik pada kasus
percobaan bunuh diri maupun kasus pembunuhan, dengan menngkonsumsi
Natrium sianida atau Kalium sianida atau dapat juga keracunan akibat
mengkonsumsi buah aprikot kernel atau biji almond. Pada kasus pembunuhan
yang menggunakan sianida, pemberian sianida melalui oral yang telah
dicampur ke dalam makanan atau minuman. Gejala yang dapat muncul setelah
mengkonsumsi makanan atau minuman yang mengandung sianida dapat
berupa nyeri kepala, mual muntah, kesulitan untuk bernafas dan bingung.
Gejala-gejala tersebut segera diikuti oleh gejala kejangkejang,koma, hingga
gagal jantung (Petrova dan Fishbein, 2004). (Harris et al, 2007).

Pada kasus kematian akibat intoksikasi sianida, dapat diketahui dengan


terciumnya aroma Bitter Almond atau bau seperti amandel, akan tetapi tidak
semua dapat mencium aroma tersebut. Selain itu juga dapat ditemukan tanda-
tanda pelebaran pembuluh darah disertai perdarahan di trachea, dan atau
kerongkongan, edema otak dan paru, erosi pada lambung, dan bintik
perdarahan pada selaput otak dan pericardium. Untuk memastikan dan
mendeteksi adanya kandungan sianida, maka dapat diambil sampel untuk
pemeriksaan toksikologi dari darah, urine, isi lambung, dan organ-organ
lainnya (Ma and Dasgupta, 2010) .

2.13.4 Manifestasi Klinis Intoksikasi Sianida


Efek utama dari racun sianida adalah timbulnya hipoksia jaringan yang timbul
secara progresif. Akan tetapi, gejala dan tanda fisik yang ditemukan sangat
tergantung dari dosis sianida, banyaknya paparan, jenis paparan, dan bentuk
dari sianida. Sianida berefek pada banyak sistem organ, seperti pada tekanan
48

darah, penglihatan, paru, saraf pusat, jantung, sistem endokrin, sistem otonom
dan sistem metabolisme. Penderita akan mengeluh timbul rasa pedih dimata
karena iritasi dan kesulitan bernafas karena mengiritasi mukosa saluran
pernafasan. Hal yang khusus yang dapat diperhatikan pada penderita dengan
keracunan sianida adalah adanya warna merah terang pada arteri dan vena
retinal pada pemeriksaaan dengan funduskopi (Utama & Hary, 2006).

Dalam konsentrasi rendah, efek dari sianida baru muncul sekitar 15-30 menit
kemudian, sehingga masih bisa diselamatkan dengan pemberian antidotum.
Tanda awal dari keracunan sianida adalah hiperpnea sementara, nyeri kepala,
dispnea, kecemasan, perubahan perilaku seperti agitasi dan gelisah,
berkeringat banyak, warna kulit kemerahan atau cherry red karena darah vena
banyak mengandung oksigen, tubuh terasa lemah dan vertigo juga dapat
muncul (Utama & Hary, 2006).
Pada paparan sianida dengan konsentrasi tinggi, hanya dalam jangka waktu 15
detik tubuh akan merespon dengan hiperpnea, 15 detik setelah itu seseorang
akan kehilangan kesadarannya. 3 menit kemudian akan mengalami apnea
yang dalam jangka waktu 5-8 menit akan mengakibatkan aktifitas otot jantung
terhambat karena hipoksia dan berakhir dengan kematian. Tanda akhir sebagai
ciri adanya penekanan terhadap susunan saraf pusat adalah koma dan dilatasi
pupil, tremor, aritmia, kejang-kejang, koma penekanan pada pusat pernafasan,
gagal nafas sampai henti jantung, tetapi gejala ini tidak spesifik bagi mereka
yang keracunan sianida sehingga menyulitkan penyelidikan apabila penderita
tidak mempunyai riwayat terpapar sianida (Utama & Hary, 2006).

Pemeriksaan Fisik
Temuan fisik paparan sianida umumnya tidak spesifik. Temuan dapat
mencakup hal berikut:
o Tanda vital bervariasi
o Bradikardia dan awal hipertensi
o Disritmia jantung dapat diikuti dengan serangan jantung
o Takipnea bersifat sementara, selanjutnya bradipnea dan diikuti apnea
o Oksimetri denyut nadi yang tinggi dan tidak pasti
49

o Adanya oksigen dalam darah sebagai oxyhemoglobin namun tidak


dapat digunakan secara efektif untuk proses fosforilasi oksidatif.
o Warna kulit ceri merah Mencerminkan tidak adanya ekstraksi
oksigen jaringan
o Aroma almond pahit pada nafas (tidak dapat dideteksi oleh 60%
populasi)
o Diaphoresis

Secara klasik, kulit pasien yang keracunan sianida digambarkan sebagai


warna merah ceri karena kandungan oksigen vena yang tinggi akibat
kegagalan jaringan untuk mengekstrak oksigen ( Inna, 2016).

2.13.5 Diagnosa Kasus Keracunan Sianida


Untuk menentukan diagnosa kasus keracunan diperlukan:
1. Anamnesa kontak antara korban dengan sianida atau yang dicurigai
sebagai sumber sianida
2. Ada gejala dan tanda keracunan sianida
3. Dari benda bukti, harus dapat dibuktikan bahwa benda bukti tersebut
memang mengandung racun sianida
4. Dari bedah mayat, dapat ditemukan adanya perubahan atau kelainan
yang sesuai dengan keracunan sianida dan tidak ditemukan adanya
penyebab kematian lain
5. Analisa kimia atau pemeriksaan toksikologi harus dapat dibuktikan
adanya racun sianida dan atau metabolitnya, dalam tubuh atau cairan
tubuh korban secara sistemik (Agency for Toxic Substance and
Disease Registry, 2004).

Pemeriksaan jenazah kasus keracunan sianida


1. Pemeriksaan luar
Pada pemeriksaan luar dapat ditemukan bau sianida pada tubuh yang dapat
dikenali seperti bau almond akan tetapi banyak orang tidak bisa mendeteksi
bau ini sebagian karena kemampuan adaptasi indera penciuman dengan
cepat akan menghilangkan bau tersebut. Selain itu, secara genetik 40%
50

populasi tidak dapat mencium bau tersebut. Penampakan lebam mayat pada
kondisi ini cukup bervariasi. Yang klasik dikatakan menjadi berwarna
merah bata, sesuai dengan kelebihan oksi hemoglobin atau
sianmethemoglobin (karena jaringan tidak dapat menggunakan oksigen).
Banyak deskripsi lebam mayat yang mengarah pada kulit yang berwarna
merah muda gelap atau bahkan merah terang, terutama bergantung pada
daerahnya, yang dapat dibingungkan dengan karboksi hemoglobin
(HbCO). Terdapat pula kemungkinan muntahan hitam disekitar bibir. Hal
lain dapat dilihat adanya tanda-tanda sianosis seperti kebiruan pada bibir
dan ujung jari-jari. Akan tetapi jika lebih dari 24 jam maka tanda ini akan
dikacaukan oleh perubahan postmortal. Tanda lain adalah adanya
perdarahan berbintik pada selaput biji mata dan kelopak mata (Agency for
Toxic Substance and Disease Registry, 2004).

2. Pemeriksaan dalam
Sebelum pemeriksaan dalam dilakukan sangat penting diketahui
bahwa pemeriksaan dalam (autopsi) korban dengan keracunan sianida
cukup beresiko karena pemeriksa akan terpapar sianida dalam waktu
yang cukup lama (Agency for Toxic Substance and Disease Registry,
2004).

Kematian oleh karena sianida disebabkan oleh karena histotoksik


hipoksia maka tanda-tanda asfiksia dapat dilihat pada pemeriksaan
dalam seperti adanya kongesti organ-organ dalam akibat perbendungan
sistemik. Organ dalam terlihat membesar dan jaringan di dalam
mungkin juga menjadi berwarna merah muda terang disebabkan karena
oksi-hemoglobin yang tidak dapat digunakan oleh jaringan - yang
mungkin lebih umum terjadi dari pada karena sianmethemoglobin.
Selain itu terjadi kongesti pada paru-paru dan dilatasi jantung kanan
(Agency for Toxic Substance and Disease Registry, 2004).
51

Striae pada lambung dapat mengalami kerusakan hebat dan terlihat


menutupi permukaan, selain itu terdapat resapan darah pada lekukan
mukosa. Ini terutama disebabkan kekuatan alkali yang kuat dari
hidrolisa garam-garam natrium dan kalium sianida. Pada kasus
keracunan berat, lambung akan ditandai dengan striae berwarna merah
gelap. Lambung dapat berisi darah maupun rembesan darah akibat erosi
maupun pendarahan di dindingnya. Jika sianida berada dalam larutan
encer, kerusakan yang terjadi lebih minimal. Apabila racun masuk
secara oral maka kekuatan alkali dari sianida akan mengiritasi saluran
cerna. Esofagus dapat mengalami kerusakan, terutama pada bagian
mukosa pada sepertiga distal, terutama saat post mortem dimana terjadi
regurgitasi isi perut karena relaksasi dari sphincter. Organ lain tidak
menunjukkan perubahan yang spesifik dan diagnosis dibuat berdasarkan
bau dan warna kemerahan pada jaringan dalam tubuh (Agency for Toxic
Substance and Disease Registry, 2004).

Verslag dalam bukunya mengatakan terdapat beberapa perubahan


histologis yang mengindikasikan adanya kematian akibat defisiensi
oksigen melalui asfiksia yaitu:
a. Hilangnya lemak terutama pada vakuola sitoplasma dari epitel pada
jaringan hati, sel otot jantung, dan sel pada tubulus renal
b. Pembengkakan sel endotel pada otak dan otot jantung
c. Mobilisasi dan proliferasi dari makrofag alveolar dengan pembentukan
sel raksasa polinuklear (hanya terjadi pada paru-paru yang sehat)
d. Presipitasi droplet hialin pada epitel hati
e. Perdarahan pada paru-paru dan otak
f. Degenarasi sel ganglion dan hilangnya substansi Nissl terutama pada
girus hippocampus
g. Emfisema akut pada jaringan interstistial dan alveolar paru
52

( Chishiro, 2000).

3. Pemeriksaan toksikologi kasus keracunan sianida


Jumlah sianida yang ditemukan dalam pemeriksaan tergantung
jumlah sianida yang masuk dalam tubuh dan waktu antara masuknya
sianida dengan kematiannya. Yang mana akhir-akhir ini biasanya diukur
dalam menit, atau pada kasus dengan dosis rendah dan sempat diterapi,
korban dapat bertahan hidup dalam jam bahkan hari. Sianida yang
ditemukan dalam jumlah cukup adalah bukti bahwa sianida telah masuk
dalam tubuh yang mana hal itu sendiri tidak normal dan dikonfermasi
sebagai barang bukti dari terjadinya keracunan. Akan tetapi, Karhunen
et al telah melaporkan kasus dimana seorang tersangka pembunuhan
terbakar dan pada post mortemnya menunjukkan tingkat sianida dalam
darah 10 mg/l, yang diperkirakan sesuai dengan difusi pasif dari sianida
melalui seluruh cavitas tubuh yang terbuka saat terjadinya kebakaran.
Maka dari itu sangat penting untuk mengidentifikasi sumber pasti
sianida pada kasus- kasus keracunan dan rute masuknya zat ke dalam
tubuh sehingga dapat diketahui penyebab kematiannya (Agency for
Toxic Substance and Disease Registry, 2004).

Beberapa spesimen yang dapat diambil untuk pemeriksaan


laboratorium adalah
1. Lambung (isi dan jaringannya). Material ini berguna untuk
mengetahui keracunan sianida peroral atau pada kasus mati
mendadak dimana terdapat sejumlah besar obat-obat yang tidak
terabsorpsi pada lambung. Pada kasus-kasus overdosis obat maka
lambung harus diambil seluruhnya. Jika terdapat tablet atau capsul
pada lambung maka harus ditempatkan di kontainer terpisah dan
dikirim bersama specimen lambung.
2. Hati. Specimen ini berguna untuk kasus keracunan yang kompleks.
Biasanya diambil 100 gram pada dari lobus kanan karena tidak
53

terkontaminasi dengan empedu. Darah. Dianjurkan untuk mengambil


spesimen darah dari berbagai pembuluh darah perifer. Khasnya,
tingkat sianida darah dalam 1 serial kasus yang fatal antara 1-53
mg/l, dengan rata-rata 12 mg/L ( Chishiro, 2000).
3. Kadar sianida normal dalam darah sebesar 0,016-0,014mg/L (WHO,
2004). Selain pemeriksaan kadar sianida dapat juga dilakukan
pemeriksaan pH darah yang akan menjadi lebih asam karena
peningkatan asam laktat.
4. Otak. Pada kasus-kasus dimana sumber sianida tidak diketahui,
dianjurkan untuk mengambil sampel otak kurang lebih 20 gram dari
bagian dalam untuk mengkorfirmasi keberadaan sianida.
5. Paru-paru. Jika kematian mungkin disebabkan oleh inhalasi gas
hidrogen sianida, paru-parunya harus dikirim utuh, dibungkus dalam
kantong yang terbuat dari nilon (bukan polivinil klorida).
6. Limpa merupakan jaringan dengan konsentrasi sianida yang paling
tinggi, diperkirakan karena limpa banyak mengandung sel darah
merah, dalam 1 serial seperti diatas, tingkat sianida limpa berkisar
antara 0,5-398 mg/l, dengan rata-rata 44 mg/l. Dalam serial lain,
tingkat sianida darah rata-rata 37 mg/l.
7. Urine. Ekskresi sianida pada urine dalam beberapa bentuk salah
satunya adalah tiosianat ( Chishiro, 2000). Pada orang yang tidak
merokok konsentrasi tiosianat berkisar antara 1-4mg/L sementara
pada perokok konsentrasinya hingga 3-12mg/L ( WHO, 2004).
Penting untuk membawa sampel ke laboratorium sesegera mungkin
(dalam beberapa hari) untuk menghindari struktur sianida yang tidak seperti
aslinya lagi dalam sampel darah yang telah disimpan. Hal ini biasanya dapat
terjadi akibat suhu ruangannya, sehingga jika ada penundaan, sampel darah dan
jaringan sebaiknya disimpan pada suhu 4 derajat celcius dan harus dianalisa
sesegera mungkin. Akan tetapi kualitas sampel telah menurun walaupun dengan
adanya pendingin. Lebih dari 70% isi sianida dapat hilang setelah beberapa
minggu, akibat reaksi dengan komponen jaringan dan konversi menjadi
thiosianad. Sebaliknya, sampel postmortem yang terlalu lama disimpan dapat
54

menghasilkan sianida akibat reaksi dari bakteri. Pencegahan terhadap hal ini
dengan mempergunakan kontainer yang berisi 2% sodium flourida ( Chishiro,
2000).

4. Metode Analisa Kimia


a. Uji Kertas Saring. Kertas saring dicelupkan ke dalam asam pikrat jenuh
dan dibiarkan hingga lembap. Teteskan 1 tetes isi lambung, diamkan
hingga agak kering lalu ditetesi NA2CO3 10%. Uji positif bila terbentuk
warna ungu. Metode lain adalah dengan mempergunakan larutan KCl.
Kertas saring dicelupkan dalam larutan ini lalu dikeringkan dan dipotong
kecil. Kertas lalu dicelupkan ke dalam darah korban. Hasil positif jika
warna berubah merah terang. Apabila terjadi keracunan masal dapat
dipakai cara pemeriksaaan menggunakan kertas saring dengan metode
berbeda yaitu kertas saring dicelupkan ke dalam larutan HJO3 1%
kemudian larutan kanji 1% dan keringkan. Setelah kertas kering dapat
dipotong kecil-kecil seperti kertas lakmus. Letakkan dibawah lidah hingga
terbasahi oleh air liur. Uji positif bila warna berubah biru, dan negatif bila
tidak berubah (Budiyanto, 1997).
b. Reaksi Schonbein-Pagentecher (Reaksi Guacajol) dapat dipakai untuk
skrining. Metode ini akan memberikan hasil positif jika jaringan atau isi
lambung mengandung sianida, klorin,nitrogen oksida, atau ozon.
Masukkan 50mg isi atau jaringan lambung ke dalam botol elenmeyer.
Kertas saring dicelupkan ke dalam larutan guacajol 10% dalam alkohol lalu
dikeringkan. Celupkan lagi kertas saring ke dalam larutan 0,1%CuSO4
dalam air dan gantungkan diatas jaringan dalam botol elenmeyer. Bila isi
lambung alkalis dapat ditambahkan asam tartrat untuk mengasamkan
sehingga KCN mudah terurai. Botol lalu dihangatkan. Jika terbentuk warna
biru-hijau pada kertas saring maka hasil reaksi positif (Budiyanto, 1997).
c. Metode mempergunakan isi atau jaringan lambung dapat pula memakai
reaksi Prussian Blue. Isi atau jaringan lambung didestilasi dengan destilator
yaitu 5ml destilat, 1ml NaOH 50%, 3 tetes FeSO4 10% dan 3 tetes FeCl
55

5%. Panaskan hingga hampir mendidih lau dinginkan dan tambahkan HCl
pekat hingga terbentuk endapan Fe(OH)3. teruskan hingga endapan larut
kembali dan terbentuk warna biru berlin (Budiyanto, 1997).
d. Gettler-Goldbaum mempergunakan 2 flange atau piringan yang diantaranya
diselipkan kertas saring wathon no 50 yang digunting sebesar flange.
Kertas saring lalu dicelupkan kedalam larutan FeSO4 10% selama 5 menit
keringkan lalu dicelupkan ke dalam larutan NaOH 20% selama beberapa
detik. Letakkan dan jepit kertas saring diantara kedua flange. Panskan
bahan dan salurkan uap yang terbentuk hingga melewati kertas saring jika
berubah menjadi biru maka hasil dinyatakan positif (Budiyanto, 1997).
Analisa Sianida pada darah dapat mempergunakan metode calorimetrik.
Metode ini yang mempergunakan reagent pyrazolone merupakan teknik
konvensional untuk kuantifikasi sianida pada darah dan jaringan. Kelemahan
utama dari teknik ini adalah pengerjaannya yang rumit dan memakan waktu.
Cara yang lebih simpel, cepat dan tetap dapat dipercaya untuk kuantifikasi dari
sianida dalam darah adalah dengan mempergunakan Gas Cromatography
Nitrogen Phosporus Detection (GC-NPD). Metode ini jika dibandingkan
dengan metode standar calorimetric mempunyai hasil yang serupa sehingga
dapat dipergunakan untuk mendeteksi dan kuantifikasi sianida pada sampel
darah postmortem (Knight, 1996).
Cara lain penentuan kasus keracunan sianida dikemukakan oleh Varnell
pada penelitiannya yang memperlihatkan bahwa gambaran CT Scan kranial
setelah 3 hari kematian terlihat berbeda dengan kasus dengan hipoksia dan
iskemia serebral. Terlihat pembengkakan cerebral dengan hilangnya batas
antara substantia alba dan subtansia nigra dengan onset yang cepat menjadi
petunjuk dari diagnosis keracunan sianida akut. Kebanyakan kasus dengan
gangguan serebral seperti hipoksia dan iskemia tidak memperlihatkan
perubahan ini pada waktu yang sama cepatnya (Kumar dkk, 2005).

2.13.6 Diagnosis Banding Keracunan Sianida


56

1. Keracunan amonia

Keracunan akibat amonia paling sering disebabkan oleh inhalasi, tetapi


juga bisa melalui oral dan kontak langsung dengan mata atau kulit. Gejala
biasanya mereda dalam waktu 24-48 jam. Tanda dan gejala terhirupnya
amonia antara lain:
o Rhinorrhea

o Tenggorokan gatal

o nyeri dada

o Batuk

o Dispnea

o Iritasi mata

.Sedangkan tanda dan gejala tertelannya amonia yaitu:


o Nyeri Orofaringeal, epigastrik, dan retrosternal

o Nyeri perut dan gejala gastrointestinal lainnya, dengan perforasi viskus


(perforasi dapat terjadi hingga 24-72 jam setelah konsumsi)

Pada pemeriksaan fisik, inhalasi amonia ditandai oleh temuan berikut:


o Kepala, telinga, mata, hidung, tenggorokan: luka bakar dan luka pada
wajah dan mulut

o Respirasi: takipnea, desaturasi oksigen, stridor, keluar air liur, batuk,


mengi, rhonchi

o Sistem saraf pusat (SSP): hilangnya kesadaran (jika terpapar secara besar-
besaran)
57

Amonia mengandung alkali yang dapat membakar kulit dan berwarna kuning,
bersabun, dan lembut. kemudian luka bakar yang parah, kulit menjadi hitam
dan kasar. Manifestasi toksisitas okular dari amonia meliputi:
Iritis
Edema kornea
Semi-dilated fixed pupil
pembentukan katarak matur
Hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien dengan paparan amonia meliputi:
Tingkat serum acetaminophen pada paparan yang disengaja
Elektrolit, BUN, dan kreatinin
Asam laktat serum
Gas darah arteri serial pada kasus distres pernafasan yang signifikan :
Asidosis metabolik, alkalosis respiratorik, peningkatan gradien alveolar-
arterial. Pasien dengan cedera mata harus menjalani pemeriksaan lampu slit
dengan pewarnaan fluorescein. Lakukan tonometri untuk menentukan apakah
tekanan intraokular meningkat (Inna, 2004).

2. Intoksikasi klor

Gas khlor adalah iritasi paru yang menyebabkan kerusakan akut pada
saluran pernapasan bagian atas dan bawah. Paparan kerja merupakan risiko
tertinggi untuk toksisitas dari klorin konsentrasi tinggi. Pencampuran pemutih
klorin (sodium hipoklorit) dengan amonia atau bahan pembersih asam
merupakan sumber paparan rumah tangga yang umum. Seperti halnya semua
racun, dosis tersebut menentukan toksisitasnya. Konsentrasi klorin yang
rendah untuk waktu yang lama mungkin memiliki efek destruktif.
Gejala dapat bervariasi tergantung pada tingkat paparan. Kemungkinan
eksposur meliputi tingkat rendah akut, tingkat tinggi akut, dan tingkat rendah
kronis.
58

Berikut ini gejala terpaparnya zat klorin antara lain:


a. Pajanan akut tingkat rendah (3-5%, 1-15 ppm).

Sebagian besar keracunan termasuk dalam kategori ini dan disebabkan


oleh paparan rumah tangga terhadap produk pembersih dengan
konsentrasi rendah. Manifestasinya adalah sebagai berikut:
Iritasi mata, hidung dan tenggorokan

Kelebihan air liur

gelisah

b. Pajanan akut tingkat tinggi (20%,> 30 ppm)

Selain gejala yang terlihat dengan tingkat paparan rendah, paparan tingkat
tinggi dapat menyebabkan hal berikut:
Dispnea: Pembengkakan dan obstruksi jalan nafas bagian atas

Batuk yang dahsyat

Mual dan muntah (dengan bau klorin dalam emesis)

Sakit kepala ringan

Nyeri atau rasa terbakar pada dada dan punggung

Kelemahan otot

Ketidaknyamanan perut

Dermatitis (dengan paparan cairan): Luka bakar kornea dan ulserasi


dapat terjadi akibat paparan pada produk klor konsentrasi tinggi.

c. Manifestasi paparan kronis meliputi:

Sakit dada dan Batuk


59

Sakit tenggorokan

Hemoptisis (Inna, 2004).

3. Etilen glikol

Etilen glikol adalah bahan utama hampir semua produk cairan radiator di
Amerika Serikat. Hal ini digunakan untuk meningkatkan titik didih dan
menurunkan titik beku cairan radiator, yang bersirkulasi melalui radiator
otomotif. Perubahan ini pada titik didih dan titik beku dihasilkan dari sifat
koligatif zat terlarut (yaitu, bergantung pada jumlah partikel dalam larutan).
Oleh karena itu, etilena glikol ditambahkan untuk mencegah radiator dari
kepanasan atau pembekuan, tergantung pada musimnya. Etilen glikol
rasanya manis, itulah sebabnya beberapa hewan tertarik padanya. Banyak
dokter hewan mengenal toksisitas etilen glikol karena seringnya kasus yang
melibatkan anjing atau kucing yang minum cairan radiator. Awalnya, pasien
dengan keracunan etilen glikol mungkin asimtomatik, Etilen glikol itu
sendiri dapat menyebabkan beberapa perubahan status mental namun
merupakan senyawa yang relatif tidak beracun sebelum dimetabolisme.
Setelah konsumsi oral, onset etilen glikol pada darah yaitu 1-4 jam (Inna,
2004).

4. Ensefalitis

Ensefalitis yaitu disfungsi neuropsikologis difus. Meski terutama melibatkan


otak, seringkali melibatkan meninges juga (meningoencephalitis). Tanda dan
gejala ensefalitis antara lain: demam, sakit kepala, mual dan muntah,
kelesuan, dan mialgia. Manifestasi yang terkait dengan jenis ensefalitis
spesifik meliputi:
Encephalitis yang disebabkan oleh virus varicella-zoster (VZV), virus
Epstein-Barr (EBV), virus sitomegalovirus (CMV), virus campak, atau
60

gondong virus: Ruam, limfadenopati, hepatosplenomegali, dan pembesaran


parotid

St Louis ensefalitis: Disuria dan pyuria

ensefalitis West Nile (WNE): Kelesuan Ekstrim

Kelainan neurologis pada penderita ensefalitis yaitu:


Perubahan perilaku dan kepribadian, dengan tingkat kesadaran yang
menurun

Leher sakit, kaku

Photophobia

Letargi

Kejang umum atau fokal (60% anak-anak dengan ensefalitis virus


California [CE])

Perubahan kepribadian (sangat umum)


Temuan fokus (misalnya, hemiparesis, kejang fokal, dan disfungsi otonom)
Ataxia
Cacat saraf kranial
Meningismus (Inna, 2004).

5. Paparan Diphosgene

Diphosgene (DP, trichloromethylchloroformate) adalah produk dari senjata


kimia dalam Perang Dunia I. Ini termasuk kelas bahan kimia yang disebut
agen penghancur paru. Agen ini menyerang jaringan paru-paru secara
langsung, menyebabkan edema paru. Diphosgene digambarkan tidak hanya
sebagai iritasi pernapasan tetapi juga sebagai lakrimator. Efek lakriminasi
membuat diphosgene lebih mudah terdeteksi daripada phosgene (CG). Bahan
61

kimia tersebut bereaksi langsung terhadap dinding alveolar dan kapiler.


Produksi leukotrien dan akumulasi neutrofil yang berlebihan dapat
mempengaruhi alveolar sehingga menyebabkan edema paru.
Di udara, diphosgene (DP) dengan cepat menguap dan terurai menjadi fosgen
dan kloroform. Gas tersebut tidak berwarna di bawah suhu dan tekanan
standar, namun bisa juga ditemukan sebagai cairan berminyak. Dosis letal DP
adalah 3000 mgmin / meter kubik untuk 50% orang dewasa. Dosis bersifat
kumulatif, karena DP tidak terdetoksifikasi dalam tubuh. Pada konsentrasi
yang rendah onset gejala muncul lebih dari 3 jam setelah paparan, sedangkan
pada konsentrasi tinggi, efeknya akan segera terjadi.
DP juga menyebabkan iritasi pada saluran pernafasan bagian atas dan jarang
dapat menyebabkan penyumbatan jalan nafas. Efek pernafasan terjadi pada
dosis 1-10 ppm. Dosis yang lebih besar dari 25 ppm dapat berakibat fatal.
tanda dan gejala paparan diphosgene adalah sebagai berikut:
Paparan diphosgene pada konsentrasi yang rendah cenderung
menyebabkan lakrimasi dan iritasi pada mata dan kulit.

Paparan konsentrasi agak tinggi menyebabkan ketidaknyamanan dada dan


dyspnea, serta edema paru sering tidak terlihat sampai beberapa jam
berlalu, dan gejalanya diperparah oleh aktivitas fisik

Paparan pada konsentrasi tinggi dapat dengan cepat menyebabkan edema


paru disertai batuk, dyspnea, dan produksi dahak berbusa. Tanda-tanda
meliputi takipnea, rales, dan penurunan saturasi oksigen.

Dekompensasi kardiopulmoner lebih lanjut dapat terjadi dari edema paru


nonkardiogenik, dengan gagal napas, hipotensi, dan kematian.

Paparan mata langsung dengan cairan diphosgene dapat menyebabkan lecet


kornea atau perforasi.
62

Pemaparan langsung kulit terhadap cairan diphosgene dapat menyebabkan


luka bakar (Inna, 2004).

2.12.7 Terapi
Pada dasarnya ada beberapa prinsip terapi yang dipakai dalam suatu kasus
keracunan, yaitu (Hoediyanto, 2010):
1. Usaha mencegah absorsi racun lebih lanjut kedalam tubuh.
Korban dipindahkan dari tempat atau sumber keracunan. Racun yang
berupa sisa-sisa racun dalam lambung yang belum diabsorbsi diusahakan
dikeluarkan, dengan cara:
a. Menimbulkan muntah
Stimulasi palatum dengan jari/sendok/spatel.
Diberikan emetikum untuk menimbulkan muntah, misalnya:
soapy water, seng sulfat(larutan), sirupus ipecac, apomorphine.

Tindakan ini efektif apabila dilakukan pada keracunan belum lebih dari 4
jam.
b. Kumbah lambung ( gastric lavage)
Tidak banyak berarti apabila dilakukan 4-6 jam setelah keracunan.
Kontraindikasi:
Pada orang tua yang fisiknya lemah
Pada keadaan dimana kita tidak mampu memastikan tube yang
dipakai benar-benar berada dalam lambung atau tidak.
Pada keracunan bahan korosif.
c. Pemberian laxantia
Dilaksanakan pada kasus keracunan yang telah melebihi batas waktu 4-6
jam setelah keracunan.
2. Usaha mengeluarkan racun yang telah diabsorbsi oleh tubuh
Ditempuh cara yaitu dengan jalan memperbesar eksresi dengan cara:
Pemberian diuretika atau hemodialisa
Memperbesar kecepatan respirasi
Memperbanyak keluarnya keringat
Enterocyclis.

3. Pemberian antidotum
Berdasarkan cara kerjanya antidotum dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:
63

Antidotum mekanis
o Berguna untuk melapisi mukosa lambung (coating effect).
Contoh: susu, telur, lemak ( lemak tidak dianjurkan untuk jenis
racun yang larut pada lemak, karena justru akan memperbesar
absorsi racun)
o Menyerap racun (absorsi) seperti serbunk charcoal.
Antidotum chemis
Bekerja dengan jalan bereaksi dengan racun/sisa racun dalam lambung
sehingga membentuk senyawa kompleks yang relatif lebih kurang
larut/tidak larut sehingga tidak diabsorsi lagi. Selain itu, antidotum
jenis ini juga bekerja dengan jalan mengoksidasi sisa racun dalam
lambung sehingga menjadi senyawa yang non toksis atau relatif
kurang toksis. Segera setelah pemberian antidotum ini dilaksanakan
kumbah lambung. Seperti antidotum arsenicosum, antidotum
universale.
Antidotum fisiologis
Daya kerjanya ialah dengan jalan melawan aksi racun yang telah
diabsorsi kedalam tubuh. Contohnya atrofin sulfat untuk keracunan
insektisida golongan organophospate(parathion), amfetamin pada
keracunan derivat barbiturat.

4. Terapi symptomatik
Terapi yang ditujukan untuk menekan atau mengurangi gejala-gejala yang
diakibatkan oleh racun, misalnya pemberian analgesik untuk mengurangi rasa
sakit, pemberian short acting barbiturate untuk mengatasi konvulsi.

5. Perawatan umum.
Perawatan umum dilakukan untuk merehabilitasi dan menstabilkan kondisi
pasien-pasien pasca keracunan.

Pada keracunan sianida prinsip pertama dari terapi ini adalah untuk membantu
menstabilkan transportasi oksigen pada sel-sel jaringan dengan cara memecah
ion sianida dalam level tinggi dan mengeliminasi sumber-sumber yang terus-
64

menerus mengeluarkan racun sianida. Pertolongan terhadap korban keracunan


sianida sangat tergantung dari tingkat dan jumlah paparan dengan lamanya waktu
paparan. Pertolongan pertama harus diawali dengan menstabilkan kondisi umum
pasien dengan ABC (airway, breathing, circulation) yang selanjutnya dengan
pemberian antidotum yang sesuai racun penyebab dan dilanjutkan dengan terapi
simptomatik pada pasien. Pada kasus ini, terapi keracunan sianida diberikan
sesuai cara masuknya racun yang dibedakan:
1.1 Pada keracunan CN yang masuk secara inhalasi:
Pindahkan korban ke udara bersih. Berikan amil-nitrit dengan inhalasi, 1
ampul (0,2 ml) tiap 5 menit. Hentikan pemberian bila tekanan darah
sistolik kurang dari 80 mmHg. Berikan pernapasan buatan dengan 100%
oksigen untuk menjaga PO2 dalam darah agar tetap tinggi. Dapat juga
dipakai oksigen hiperbarik. Resusitasi mulut ke mulut merupakan
kontraindikasi. Antidotum berupa Natrium nitrit 3% IV diberikan sesegera
mungkin dengan kecepatan 2,5 sampai 5 ml per menit. Pemberian nitrit
akan mengubah Hb menjadi met-Hb dan akan mengikat CN menjadi
sianmet-Hb. Jumlah nitrit yang diberikan harus didasarkan pada kadar Hb
dan berat badan korban. Jumlah Natrium nitrit pada table telah cukup untuk
mengubah 25% Hb menjadi met-Hb. Kadar met-Hb tidak boleh melebihi
40%, karena met-Hb tidak dapat mengangkut O2. Bila kadat met-Hb
melebihi 40% berikan reduktor, misalnya vitamin C intravena (Erdman,
2004).

Tabel. Variasi takaran natrium nitrit dan natrium tiosulfat dengan kadar Hb
Hemoglobin Takaran awal Takaran awal Takaran awal
(g/100 ml) NaNO2 (mg/kg) NaNO2 3% Na-tiosulfat
(ml/Kg)
25%
(ml/kg)
7 5,8 0,19 0,95
8 6,6 0,22 1,10
9 7,5 0,25 1,25
10 8,3 0,27 1,35
11 9,1 0,30 1,50
65

12 10,0 0,33 1,65


13 10,8 0,36 1,80
14 11,6 0,38 1,95

Bila tekanan darah turun karena pemberian nitrit, berikan 0,1mg


levarterenol atau epinefrin IV. Natrium tiosulfat25% IV diberikan
menyusul setelah pemberian Na nitrit dengan kecepatan 2,5-5 ml per menit.
Tiosulfat mengubah CN menjadi tiosianat. Hidroksokobalamin juga
dilanjutkan sebagai antidotum terutama untuk keracunan kronik. Dikatakan
bahwa kobalt EDTA adalah obat pilihan dengan takaran 300 mg IV yang
akan mengubah CN menjadi kobaltsianida Co(CN)6 yang larut dalam air
(Erdman, 2004).
1.2 Pada keracunan CN yang ditelan:
Lakukan tindakan darurat dengan pemberian inhalasi amil-nitrit, satu
amoul (0,2 ml, dalam waktu 3 menit) setiap 5 menit. Bilas lambung harus
ditunda sampai setelah diberikan antidotum nitrit dan tiosulfat. Bilas
lambung dengan Na-tiosulfat 5% dan sisakan 200 ml (10 g) dalam tabung.
Dapat juga dengan K permanganat 0,1% atau H2O2 3% yang diencerkan 1
sampai 5 kali. Atau dengan 2 sendok teh karbon aktif atau Universitas
antipode dalam 1 gelas air dan kemudian kosongkan lambung dengan jalan
dimuntahkan atau bilas lambung. Berikan pernapasan buatan dengan
oksigen 100%. Penggunaan andidotum sama seperti pada pengobatan
keracunan CN yang diinhalasi. Selain nitrit, dapat juga diberikan biru
metilen 1% 50 ml IV sebagai antidotum. Biru metilen akan mengubah Hb
menjadi Met-Hb dan Met-Hb yang terbentuk pada pemberian biru metilen
ini ternyata tidak dapat bereaksi dengan CN sebab yang masih belum
diketahui. Bila korban keracunan akut dapat bertahan hidup selama 4 jam
maka biasanya akan sembuh. Kadang-kadang terdapat gejala sisa berupa
kelainan neurologik. Pada keracunan Ca-Sianida, belum diketahui
antidotum yang dapat digunakan. Setelah bilas lambung diberikan terapi
secara simtomatik (Olson, 2007).
66

2.12.8 Komplikasi
1. Hipoksia.

Komplikasi tersering pada pasien keracunan sianida adalah hipoksia, hal itu
terjadi karena sianida bereaksi melalui hubungan dengan atom besi ferri dari
sitokrom oksidase sehingga mencegah pengambilan oksigen untuk pernafasan
sel. Gangguan hipoksia biasanya ditandai dengan sesak nafas, hipernoe, sakit
kepala, sianosis dan tanda-tanda adanya gangguan hipoksia lainnya.

2. Gangguan status mental:


Koma.

Koma merupakan penurunan kesadaran yang terjadi karena adanya


kerusakan pada otak yang terjadi akibat adanya hipoksia selular.
Keberlanjutan hipoksia yang terjadi karena adanya racun sianida
mengakibatkan terjadinya kekurangan asupan oksigen pada otak sehingga
mengakibatkan terjadinya koma. Koma sering menandakan adanya
depresi respiratori yang berat yang sering mengakibatkan terjadinya
kematian.
Kejang.

Kejang juga merupakan komplikasi pada keracunan sianida yang terjadi


karena adanya kerusakan otak yang diakibatkan pada hipoksia. kejang
juga sering menjadi penyebab kematian dengan menyebabkan gagguan
pada saluran nafas.

2.12.9 Prognosis
Prognosis toksisitas sianida baik untuk pasien yang hanya memiliki gejala
ringan biasanya tidak memerlukan penangkal. Prognosis cukup baik untuk
pasien dengan gejala sedang jika penanganan yang mendukung cepat
67

diberikan dan terapi yang efektif tersedia. Keracunan sianida karena


menenggak sianida atau bunuh diri cenderung memiliki prognosis yang buruk
karena dosis besar sianida yang masuk ke dalam tubuh.
Prognosis pada pasien dengan keracunan sianogen dengan pajanan tingkat
rendah dan gejala ringan akan lebih baik karena akan sembuh setelah paparan
dikeluarkan dari tubuh. Prognosis untuk pasien dengan kejang atau apnea
dengan onset baru dapat baik apabila diberikan penangkal dengan cepat.
Prognosis umumnya buruk pada pasien yang menderita serangan jantung
sekunder untuk toksisitas sianida, bahkan jika penangkal diberikan segera.

BAB III

KESIMPULAN

Alkohol adalah derivat dari hidroksi yang mempunyai ikatan langsung maupun rantai
cabang dari alifatik hidrokarbon. Bentuk rantai alkohol yang sering ditemukan adalah
yang mengandung tiga gugus hidroksil dengan ikatan satu gugus hidroksi dalam satu
rantai karbon. Sedangkan jenis alkohol lainnya ialah alkohol yang mengandung lebih
dari satu gugus hidroksi dalam satu atom karbon.

Metanol (metil alkohol, wood alcohol atau spiritus) adalah senyawa kimia dengan
rumus kimiaCH3OH. Merupakan bentuk alkohol paling sederhana. Pada "keadaan
atmosfer" berbentuk cairan yang ringan, mudah menguap, tidak berwarna, mudah
terbakar, dan beracun dengan bau yang khas (berbau lebih ringan daripada etanol).
68

Sedangkan etanol adalah cairan tak berwarna yang mudah menguap dengan aroma
yang khas, terbakar tanpa asap dengan lidah api berwarna biru yang kadang-kadang
tidak dapat terlihat pada cahaya biasa.

Methanol beracun melalui dua mekanisme. Methanol masuk kedalam tubuh baik
secara langsung dapat menekan saraf pusat seperti yang terjadi pada keracunan
etanol. Mekanisme lainnya methanol beracun setelah mengalami pemecahan oleh
enzim alkohol dehidrogenase di hati menjadi formaldehida dan asam format. Cara
kerja methanol sama dengan cara kerja etanol. Methanol lebih bersifat toksik
dibandingkan dengan etanol. Toksisitas methanol semakin meningkat disebabkan
oleh stukturnya yang tidak murni. Metanol diekskresikan secara lambat di dalam
tubuh sehingga dapat terjadi akumulasi dan dapat bersifat toksik. Sedang mekanisme
toksisitas etanol terjadi karena etanol berpengaruh langsung pada membran saraf
neuron dan tidak pada sinapsisnya. Pada daerah membran tersebut etanol
mengganggu transport ion. Dengan menghambat ion Na+, K+- ATP ase. Pada
konsentrasi 5 10% etanol memblok kemampuan neuron dalam impuls listrik,
konsentrasi tersebut jauh lebih tinggi daripada konsentrasi etanol dalam sistem saraf
pusat secara invivo.

Gejala keracunan methanol diawali dengan tanda-tanda seperti intoksikasi etanol


dengan gejala yang biasanya lebih ringan karena daya larut metanol yang rendah
terhadap lemak. Gejala yang terlihat ialah euphoria dan lemah otot. Kemudian diikuti
dengan gejala nausea, muntah, sakit kepala, hilang ingatan, sakit perut yang sangat
dan dapat disertai diare, sakit punggung, kelesuan anggota gerak. Mata terlihat merah
karena hiperemik. Pada keracunan methanol yang berat, pernafasan dan denyut
jantung tertekan. Terjadi gejala asidosis dengan nafas perlahan dan dalam. Penderita
akan mengalami koma dan kematian yang terjadi dengan cepat. Pada saat menjelang
kematian, penderita menunjukkan gejala konvulsi dan opisthotonus. Sedangkan
gejala dari keracunan etanol bervariasi dari yang sifatnya ringan yaitu ataxia
(sempoyongan) sampai berat yaitu koma. Pada intoksikasi yang berat, penderita
menunjukkan gejala stupor (tidak bereaksi) atau menjadi koma. Kulit teraba dingin,
69

bau nafas tercium alkohol, suhu tubuh dan frekwensi nafas menurun, kadang denyut
jantung meningkat.

Kelainan yang ditemukan pada korban mati dengan keracunan methanol atau etanol
tidak khas. Mungkin ditemukan gejala-gejala yang sesuai dengan asfiksia. Seluruh
organ menunjukkan tanda perbendungan, darah lebih encer, berwarna merah gelap.
Mukosa lambung menunjukkan tanda perbendungan, kemerahan dan tanda inflamasi
tapi kadang-kadang tidak ada kelainan. Organ-organ termasuk otak dan darah berbau
alkohol. Pada pemeriksaan histopatologik dapat dijumpai edema dan pelebaran
pembuluh darah otak dan selaput otak, degenerasi bengkak keruh pada bagian
parenkim organ dan inflamasi mukosa saluran cerna. Pada kasus keracunan kronik
yang meninggal, jantung dapat memperlihatkan fibrosis interstisial, hipertrofi serabut
otot jantung, sel-sel radang kronik pada beberapa tempat, gambaran serat lintang otot
jatunng menghilang, hialinisasi, edema dan vakuolisasi serabut otot jantung.

Diagnosis keracunan methanol diambil dari bahan-bahan untuk pemeriksaan


toksikologik yaitu darah, otak, hati, ginjal dan urin. Dalam urin dapat ditemukan
metil alkohol dan asam formiat sampai 12 hari setelah keracunan. Adanya korelasi
antara konsentrasi asam format dalam cairan tubuh dengan kasus keracunan metanol.
Sedangkan diagnosis pasti keracunan etanol ditegakkan dengan pemeriksaan
kuantitatif kadar alkohol darah. Kadar alkohol dari udara ekspirasi dan urin dapat
dipakai sebagai pilihan kedua. Untuk korban meninggal sebagai pilihan kedua dapat
diperiksa kadar alkohol dalam otak, hati, atau organ lain atau cairan serebrospinalis.
Sedangkan untuk penegakan diagnosis intoksikasi alkohol dilakukan dari segi klinis
seperti yang telah disebut kan pada gejala-gejala. Definitif diagnosis dilakukan
dengan alcohol blood test sebagai bagian dari pemeriksaan toksikologi. Pada mayat,
alkohol dapat berdifusi dari lambung ke jaringan sekitarnya termasuk ke dalam
jantung, sehingga untuk pemeriksaan toksikologik, diambil darah dari pembuluh
darah vena perifer (kubiti atau femoralis).
70

Sianida adalah bahan kimia yang mengandung gugus cyan (CN). Sianida yang
dipergunakan dalam berbagai industri, adalah salah satu zat racun yang memberikan
efek baik sistemik maupun lokal dan bersifat sangat toksik bahkan lethal. Terdapat
berbagai bentuk sianida di alam baik yang bersal dari sumber natural maupun sintetis.
Beberapa Bentuk-bentuk sianida yaitu Hidrogen Sianida (HCN), Sodium Sianida,
Potasium Sianida (KCN), Kalsium Sianida (Ca(CN)2), Sianogen, Sianogen Klorida,
Glikosida Sianogenik. Akan tetapi dalam tubuh bentuk-bentuk ini akan berubah
menjadi hidrogen sianida yang melepaskan ion sianida bebas yang akan berekasi dan
memberikan efek. Terdapat beberapa cara masuknya sianida ke dalam tubuh yaitu
inhalasi, kontak langsung dan peroral. Setelah terabsorpsi, sianida secara cepat akan
terdistribusi di sirkulasi. Konsentrasi sianida tertinggi terdapat pada hati, paru, darah,
otak.

DAFTAR PUSTAKA

Alex Paton, 2005, Alkohol in the body, BMJ Publishing Group


Ltd,http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC555673/. Diakses tanggal
26 April 2017
Anonem, 1999, Alcohol in your body, Bmj group. http://translate.google.co.id/?hl
=id&tab=wT#. Diakses 26 April 2017
Anonim. 2002. Pengaruh Alkohol Terhadap Metabolisme.
http://www.geocities.com/jodii002/napza. Diakses tanggal 26 April 2017
Anonymous. Ethanol. Available from: http://en.wikipedia.org/wiki/Ethanol. Diakses
Tanggal 26 April 2017
Anonymous. Methanol. Available from: http://en.wikipedia.org/wiki/Methanol.
Diakses tanggal 26 April 2017
ATSDR. 2004. Draft toxicology profile for cyanide. Atlanta, GA, United States
Department of Health and Human Service, Public Health Service, Agency for
Toxic Substance and Disease Registry.

Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ilmu


Kedokteran Forensik, Edisi Kedua. Jakarta : 1997
71

Budiyanto A, dkk. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Forensik


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.

Chishiro T, 2000. Clinical Aspect of Accidental Poisoning with Cyanide. Asian


Medical Journal 43(2) : 59-64.

Darmono, 2009. Farmasi Forensik dan Toksikologi. Jakarta: UI Press

Donatus, I.A., 1997. Makalah Penanganan dan Pertolongan Pertama Keracunan


Bahan Berbahaya. Yogyakarta: Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi
Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada.

Edy. 9 April 2009. Efek kadar alkohol dalam tubuh.


http://ercege.wordpress.com/2009/04/09/efek-kadar-alkohol-dalam-darah/.
Diakses tanggal 3 November 2010

Erdman, A.E. 2004. Cyanide. In: Dart RC. Medical Toxicology. Third edition. P.
1155-6. USA: A Wolters Kluwer Company.

Harris Trestrail, III,RPh, Faact, Dabat J. Criminal Poisoning Investigational Guide


For Law Enforcement, Toxicologists, Forensic Scientists, And Attorneys.
Totowa, New Jersey: Humana Press; 2007.

Hoediyanto,. Hariadi,A. 2010. Ilmu kedokteran forensik dan Medikolegal. Edisi


ketujuh. Surabaya: Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas
Kedokteran Universitas Air Langga.

Idries, AM. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Binarupa Aksara: Jakarta.

Inna Leybell, MD. 2016. Clinical Assistant Professor, Department of Emergency


Medicine, NYU Langone Medical Center

International Programme on Chemical Safety. Methanol health and safety guide


no105. Available from:
http://www.inchem.org/documents/hsg/hsg/v105hsg.htm. Diakses tanggal 1
November 2010.

Kjeldsen, P. (1999) Behaviour of cyanides in soil and groundwater: A review. Water,


air and soil pollution 115(1-4), 279-307.
72

Knight, B., 1996. Forensic Pathology. Edward Arnold, A Division of Hodder and
Stonghton. London.

Kumar, V., Abbas, A.K., Fausto, N., 2005. Robbins and Cotran: Pathologic Basis of
Disease Seventh Edition. Elsevier Saunders Inc. Philadelphia.

Ma J, Dasgupta P. Recent developments in cyanide detection:A review. Analytica


Chimica Acta.2010;673(2):117-125.

Methanol. Diunduh dari: http//www.wikipedia.com/. Diakses tanggal Diakses


tanggal 26 April 2017
Methanol Intoxication. Diunduh dari:
http://www.emedicine.com/NEURO/topic217htm. Diakses tanggal Diakses
tanggal 26 April 2017
Methanol Poisoning Overview. Diunduh dari: http://www.antizol.com/mpoisono.htm.
Diakses tanggal 26 April 2017
Methanol Intoxication with Putaminal and White Matter Necrosis: MR and
CTfindings.
Available:http://www.ajnr.org/cgi/reprint/16/7/1492.pdf (accesed:2017 apr 26)

Olson, K. R. 2007. Poisoning and Drug Overdose, 2nd edition. 145-147, Prentice-
Hall International Inc. USA.

Petrova Simeonova F, Fishbein D. Hydrogen Cyanide And Cyanides: Human Health


Aspects. Concise International Chemical Assessment Document [Internet].
Geneva: World Health Organization; 2004

Reilly RF, Perazella MA. Metabolic Acidosis. Ac- id-Base, Fluids &Electrolytes.
2007; 6:216-220.

Saferstein Richard. 1995. Criminalistics: An Introduction to Forensic Science 5th


edition. Prentice Hall, Inc.;373-386

Shepherd R. Simpson`s Forensic Medicine. Edisi ke-12. London:Arnold 2003;p159.

Smith, A. and Mudder, T. (1991) The Chemistry and Treatment of Cyanidation Waste,
Mining Journal Books Ltd., London.

Soesilo, R. 1983. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP) serta Komentar-


Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.
73

Sulistia Gan Gunawan(eds).Farmakologi dan Terapi, 5the.Jakarta: FK Universitas


Indonesia;2012.

Toxicological Profile For Cyanide. Georgia: U.S. Derpartment Of Health And Human
Services; 2006

Tya, eka yulianti, 10 Mei 2010, Kadar Alkohol Dalam Darah, Detik Bandug,
http://bandung.detik.com/read/2010/05/10/161939/1354615/486/kadar-
alkohol-dalam-darah-05-persen-siap-siap-cuci-darah. Diakses tanggal 3
November 2010

Utama, Harry Wahyudy, 2006, Keracunan Sianida, http/klikharry.wordpress.com,


diakses pada 25 April 2017

Vicellio P. Ethylene Glycol, Methanol, and Isopropyl Alcohol. Handbook of Medical


Toxicology. 1993; 16:183-194

WHO. 2004. Hydrogen cyanide and cyanide : Human health aspect. Geneva, World
Health Organization, International Programme on Chemical Safety (Concise
International Chemical Assessment Document No. 61). Diakses pada tanggal
25 April 2017
Zakhari Samir. 2006. Overview: How is Alkohol Metabolized by the Body? National
Institute on Alcohol Abuse and Alcoholism (NIAAA) 5635, Fisher Lane.MSC
9304 Bethesda.
74

Anda mungkin juga menyukai