Anda di halaman 1dari 20

TUGAS KESELAMATAN dan KESEHATAN KERJA

(K3)

PENYAKIT AKIBAT SENYAWAAN ALKOHOL

Disusun oleh :
Kakang Abdul Rohman (22012012)
Ade Andryansah (22012007)
Riski (22012003)
Lilis Suryani (22012035)

Nama Dosen : Nanang Hermawan, ST, M.K.M.

PROGRAM STUDI FARMASI

SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI INDUSTRI DAN FARMASI

BOGOR

2023
1. PENYAKIT AKIBAT SENYAWA ALKOHOL

A. Penyakit Kerja Akibat Metanol


Metanol dikenal juga sebagai
metil alkohol, wood alcohol, atau
spiritus, yang merupakan senyawa
kimia dengan rumus kimia
CH3OH. Metanol merupakan
bentuk alkohol paling sederhana.
Pada keadaan atmosfer, metanol
berbentuk cairan yang ringan,
mudah menguap, tidak berwama
mudah terbakar.

Dan beracun dengan bau yang khas (berbau lebih ringan daripada
etanol), sedikit lebih manis. Metanol merupakan senyawa kimia yang sangat
beracun jika dibandingkan dengan etanol. Metanol diproduksi secara alami
oleh metabolisme anaerobik, oleh bakteri. hasil proses tersebut adalah uap
metanol (dalam jumlah kecil) di udara. Setelah beberapa hari uap metanol
tersebut akan teroksidasi oleh oksigen dengan bantuan sinar matahari
menjadi karbon dioksida dan air. Toksisitas metanol dapat terjadi melalui
oral, penyerapan kulit, dan pernapasan Tertelan yang paling umum
dilaporkan adalah akibat meminum cairan pembersih kaca sebagai upaya
bunuh diri, sedangkan tertelan secara tidak sengaja dapat terjadi melalui
perilaku eksplorasi pada anak-anak. Metanol juga telah disalahgunakan
sebagai pengganti etanol seperti untuk bahan bakar, penghangat makanan
dan pembersih karburator sebagai sumber penyalahgunaan melalui inhalasi.
Proses pengawetan mavat, orang Mesir kung menggunakan berbagai
macam campuran. termasuk di dalamnya metanol, yang mereka peroleh dari
pirolisis kayu. Methanol murni pertama kali berhasil diisolasi tahun 1661
oleh Robert Boyle, yang menamakannya spirit of box, karena ia
menghasilkannya melalui distilasi kotak kayu. Nama itu kemudian lebih
dikenal sebagai pyroxylic spirit (spiritus). Kata methyl pada tahun 1840
diambil dari methylene, dan kemudian digunakan untuk mendeskripsikan
metil alkohol. Pada tahun 1923, ahli kimia Jerman, Matthias Pier, yang
bekerja untuk BASF mengembangkan cara mengubah gas sintesis (syngas /
campuran dari karbon dioksida and hidrogen) menjadi metanol. Proses ini
menggunakan katalis zinc chromate (seng kromat), dan memerlukan kondisi
ekstrem, tekanan sekitar 30-100 mpa (300–1000 atm), dan temperatur
sekitar 400 °C.
Produksi metanol modern telah lebih effisien dengan menggunakan katalis
tembaga yang mampu beroperasi pada tekanan relatif lebih rendah.
Penggunaan metanol terbanyak adalah sebagai bahan pembuat bahan kimia
lainnya. Sekitar 40% metanol dapat diubah menjadi formaldehid, dan dari
sana dapat dihasilkan berbagai macam produk seperti plastik, plywood, cat,
peledak, dan tekstil. Metanol juga digunakan sebagai campuran utama bahan
bakar model radio dan jalur kontrol, pesawat model, dan dalam rumah
tangga sering dijumpai dalam bentuk canned heat atau cairan pembersih
kaca mobil. Intoksikasi ini dapat disebabka oleh oksidasi metanol yang
dipengaruhi enzim alkohol dehidrogenase yang menghasilkan asam format
oleh fomaldehid dehydrogenase.
Ketika tertelan, metanol diserap dengan cepat melalui saluran pencernaan
dalam waktu kurang dari 10 menit. Metanol tidak terikat protein dan diserap
langsung ke dalam tubuh dengan volume distribusi sekitar 0,7 L/kg.
Metabolisme terjadi terutama di hati melalui oksidasi serial melalui alkohol
dehidrogenase dan aldehid dehidrogenase tetapi dimulai dengan alkohol
dehidrogenase yang ada di mukosa lambung. Mukosa lambung menyerap
metanol dalam konsentrasi maksimal setelah di konsumsi selama 30-90
menit. Metanol di metabolisme oleh alkohol dehidrogenase didalam hati
untuk menjadi formaldehid. Kemudian formaldehid di metabolisme oleh
aldehid dehidrogenase menjadi asam format yang akhirnya menjadi asam
folat, asam folinat, karbon dioksida dan air. Asam format berperan besar
dalam toksisitas yang berkenaan dengan metanol. Hasil metabolisme
menghasilkan asam format yang bekerja menghambat cytochrome oxidase
karena merupakan racun mitokondria.
Paparan dapat menyebabkan berbagai tingkat toksisitas dan dapat
memerlukan berbagai perawatan mulai dari pemantauan laboratorium yang
ketat hingga terapi penangkal dan dialisis. Perawatan utama adalah etanol
atau fomepizole, dan tidak seperti toksisitas etilen glikol, dialisis sering
direkomendasikan. Gejala awal keracunan metanol dalam waktu 6 jam
setelah tertelan akan tampak mabuk tanpa bau etanol. Setelah 6-24 jam
tertelan akan terjadi gangguan pengelihatan yaitu skotoma, pandangan kabur
dan buta total sampai kematian. Selain itu kesadaran juga menurun, koma,
kejang umum, pankreatitis bisa saja terjadi. Saat pemeriksaan retina akan
didapatkan papilla edem dan edema retina luas. Pemeriksaan laboratorium
akan menampilkan gangguan asam basa seperti etilen glikol.
Penatalaksanaan intoksikasi metanol dilakukan untuk menghambat dan
mengekskresikan hasil metabolismenya. Pemberian fomepizole dan etanol
memiliki afinitas yang tinggi untuk mengikat alkohol dehidrogenase.
Menelan sesedikit 10 ml (0,34 US fl oz) metanol murni dapat menyebabkan
kebutaan permanen dengan penghancuran saraf optik. 30 ml (1,0 US fl oz)
berpotensi fatal. Dosis mematikan median adalah 100 ml (3,4 US fl oz),
yaitu, 1-2 ml / kg berat badan metanol murni. Dosis referensi untuk metanol
adalah 0,5 mg / kg dalam sehari.
2. PENYAKIT KERJA AKIBAT ETILEN GLIKOL

A. Etilen Glikol
Ethylene glycol (Etilen Glikol) atau juga disebut sebagai 1,2 Ethanediol;
1,2-Ethanediol; 2 Hydroxyethanol; 2-Hydroxyethanol; Etilen Glikol;
Glycol, Ethylene; Glycol, Monoethylene; atau MonoEtilen Glikol adalah
cairan yang jernih, berasa manis, tidak berwarna dan tidak berbau.
 Sifat Fisik dan Kimia Etilen glikol.
Sifat Parameter Etilen Glikol
Rumus Kimia C2H6O2
BM (g/mol ) 62.07
Fasa (25 °C) Cair
Densitas (g/cm3) 1.132
Fisik
Titik Didih (°C) 197.4
&
Titik Lebur (°C) -13
Komia
Viskositas (cP) 20.9 (20 °C)
Warna Tidak
Sifat Racun Tidak
Sifat Korosif Korosif

B. Kegunaan Etilen Glikol Dalam Berbagai Industri.


 Digunakan sebagai antifreeze dalam sistem pendingin dan pemanas.
 Digunkan sebagai campuran cairan rem hidrolik.
 Digunakan sebagai pelarut dalam industri plastik dan cat.
 Digunakan dalam formulasi tinta printer.
 Digunakan sebagai tinta bolpoin.
 Digunaknan dalam kosmetik (hingga 5%).
 Digunakan bahan pelunak untuk plastic, serat sintetis, dan lilin sintetis
(PubChem NL, 2022).

C. Cara Etilen Glikol Masuk Kedalam Tubuh Manusia


Terdapat beberapa cara Etilen Gliko masuk ke dalam tubuh manusia yang
harus kita waspadai diantaranya :
 Inhalasi (menghirup) zat tersebut baik dengan sengaja atau tidak
disengaja Etilen Glikol tidak dapat terhirup pada suhu kamar, akan
tetapi dapat terjadi jika zat tersebut dipanaskan, diaduk ataupun
disemprotkan, Etilen Glikol tidak berbau, sehingga tidak dapat
memberikan peringatan konsentrasi berbahaya.
 Terjadi kontak dengan kulit dan mata, Etilen Glikol hanya sedikit
mengiritasi pada kulit, mata, dan selaput lender, dan dapat diserap
secara perlahan pada kulit
 Dengan mengkonsumsi zat tersebut (misal terdapat dalam sirup obat
sebagai cemaran), Etilen Glikol diserap dengan cepat setelah tertelan.
Konsumsi Etilen Glikol menyebabkan toksisitas sistemik yang
dimulai dari sistem saraf pusat (otak dan tulang belakang), diikuti
dengan efek kardiopulmoner (jantung dan paru-paru), dan akhirnya
gagal ginjal (ATSDR Agency, 2014).

D. Gejala-gejala Apabila Terpapar Etilen Glikol


Gejala toksisitas dari Etilen Glikol antara lain :
 Pusing, ataxia, disorientasi, iritasi, gelisah, nystagmus, sakit kepala,
bicara cadel, dan mengantuk.
Keracunan parah dapat menyebabkan koma dan kematian5. Setelah tertelan
Etilen Glikol akan terserap dengan cepat di dalam tubuh (dalam 1-4 jam).
Kurang dari 20% diekskresikan (dikeluarkan) tanpa melalui proses
metabolisme, sebagian besar mengalami metabolisme dan berubah menjadi
senyawa yang sangat toksik. Progresi efek toksik dari Etilen Glikol dapat
terbagi dalam 3 (tiga) tahap, yaitu:
 Tahap I (30 menit hingga 12 jam setelah paparan) Etilen Glikol yang
tidak mengalami proses metabolisme menghasilkan depresi terhadap
sistem saraf pusat, keracunan, dan hiperosmolaritas yang serupa
dihasilkan oleh etanol.
 Tahap II (dari 12 hingga 48 jam setelah paparan) Produk metabolit
dari Etilen Glikol menyebabkan asidosis yang parah dengan
kompensasi terjadi hiperventilasi. Asidosis terjadi terutama karena
peningkatan asam glikolat (metabolit dari Etilen Glikol), dan sebagian
kecil karena asam glioksilat, oksalat dan laktat. Terjadi deposit kristal
kalsium oksalat pada otak, paru-paru, jantung dan ginjal.
 Tahap III (dari 24 hingga 72 jam setelah paparan) Efek toksik
metabolit Etilen Glikol pada ginjal menyebabkan terjadinya gagal
ginjal akut (ATSDR Agency, 2014).

E. Cara Penanganan Toksisitas Etilen Glikol


Cara penanganan toksisitas Etilen Glikol adalah depresan sistem saraf pusat
mirip dengan etanol. Metabolit Etilen Glikol bersifat toksik dan
menyebabkan asidosis yang parah, edema serebral, kolaps kardiovaskular,
gagal ginjal akut, dan kemungkinan kematian. Penanganan yang cepat dan
efektif terdiri atas penanganan suportif, hemodialisis, dan pemberian terapi
antidot metabolik seperti etanol atau 4-metilpirazol (fomepizole) (ATSDR
Agency, 2014). Antidot yang diberikan apabila pasien sadar dan baru saja
mengkonsumsi Etilen Glikol, maka dapat dilakukan induksi emesis dengan
menggunakan ipekak. Pada pasien yang tidak sadar dapat dipertimbangkan
bilas lambung jika dapat diberikan dalam waktu 1 jam setelah zat tersebut
tertelan. Arang aktif sangat sedikit menyerap Etilen Glikol, tetapi dapat
digunakan jika terdapat kecurigaan menelan beberapa zat kimia. Konsultasi
dengan ahli toksikologi medis diperlukan dalam penanganan anion dan
osmolar gaps dan untuk memutuskan apakah terapi antidot, natrium
bikarbonat intravena, atau hemodialisis diperlukan. Waktu dari mulai
tertelannya Etilen Glikol hingga penanganan terhadap toksisitas zat tersebut,
serta dosis yang tertelan menjadi factor utama prognosis kematian5. Artikel
oleh Friedman et al, 1962 tentang kasus keracunan Etilen Glikol di Amerika
Serikat, dari pasien yang mengkonsumsi Etilen Glikol 3-4 ons mengalami
kematian, sedangkan pasien dengan konsumsi 1 ons Etilen Glikol masih
dapat diselamatkan (Friedman EA).

F. Beberapa sejarah kasus toksisitas Etilen Glikol


 Beberapa studi kasus toksisitas ethylene glikol dilaporkan 18966–11
hingga saat ini terjadi di Indonesia.
 Gambi 2022, Sebagai informasi, bersamaan dengan merebaknya kasus
AKI di Indonesia tahun ini, kasus serupa juga terjadi di Gambia,
Afrika Barat. Dilansir Al Jazeera, Pemerintah Gambia pada September
2022 melaporkan kematian 28 anak akibat masalah ginjal akut usai
mereka mengonsumsi sirup parasetamol untuk mengobati demam.
 Nigeria, 2008 dan 1990’
 Panama, 2006.
 India, 1998
 Haiti, 1995 – 1996
 Amerika Serikat, 1937.
3. PENYAKIT KERJA AKIBAT KARBON TETRAKLORIDA
A. Definisi
Menurut Kamus Besar Karbon Tetraklorida merupakan zat cair tanpa
warna dengan bau yang menyenangkan “manis”. Nama lain karbon
tetraklorida ada 11, yaitu: Tetraklorometana, Benziform, Benzinoform,
Karbon klorida, Karbon tet, Freon 10, Halon 104, Metana tetraklorida,
Perklorometana, Tetraform, dan Tetrasol.
Adapun Sifat-Sifat karbon tetraklorida adalah sebagai berikut,
1.Rumus molekul: CCl4
2.Berat molekul: 153,82 gr/mol
3.Penampilan: Cairan tidak berwarna, baunya seperti eter
4.Densitas: 1,5867 gr/cm3 (cairan); 1,831 gr/cm3 pada -186 oC (padat); 1,809
gr/cm3 pada -80 oC (padat)
5.Titik lebur: -22,92 °C (250 K)
6.Titik didih: 76,72 °C (350 K)
7.Kelarutan dalam air: 785–800 mg/L pada 25 °C
8.Kelarutan dalam pelarut lain: Larut dalam alkohol, eter, kloroform,
benzena.
9.Tekanan uap: 94 kPa pada 20 °C
10. Indeks refraksi (nD): 1,4601
11. Struktur molekul: Monoklin
12. Bentuk molekul: Tetrahedral
13. Indeks Uni Eropa: 602-008-00-5
14. Klasifikasi Uni Eropa: Karsinogenik Cat.3, Toksik (T), Berbahaya
bagi lingkungan (N)
15. Titik nyala: Tidak menyala
16. Suhu menyala sendiri: 982 °C
17. LD50: 2350 mg/kg
Karbon tetraklorida secara praktis tidak terbakar pada suhu rendah.
Pada suhu tinggi di udara membentuk racun fosgen. Karena karbon
tetraklorida tidak memiliki ikatan C-H, maka karbon tetraklorida tidak
mudah mengalami reaksi radikal bebas. Karena itu, merupakan pelarut yang
berguna untuk halogenasi baik melalui unsur halogen, atau melalui reagen
halogenasi seperti N-bromosuksinimida (kondisi tersebut dikenal sebagai
Brominasi Wohl-Ziegler).

Kebanyakan karbon tetraklorida diproduksi melalui klorinasi karbon


disulfida pada suhu 105-130 °C, dengan persamaan reaksi:

CS2 + 3Cl2 → CCl4 + S2Cl2

CCl4 juga merupakan produk samping dalam produksi diklorometana


and kloroform melalui reaksi:

CH4 + 4Cl2 → CCl4 + 4HCl

Karbon tetraklorida banyak digunakan sebagai pelarut dalam riset


kimia sintetik, tetapi disebabkan efeknya yang merugikan kesehatan, tidak
lagi digunakan secara umum, dan ahli kimia umumnya mencoba
menggantinya dengan pelarut yang lain. Karbon tetra klorida terkadang
berguna sebagai pelarut untuk spektroskopi infra merah, karena tidak ada
pita serapan yang signifikan > 1600 cm−1.

Pada abad ke-20, karbon tetraklorida digunakan secara luas sebagai


pelarut pembersih kering, sebagai refrigerant, dan sebagai lampu lava.

Pada tahun 1910, Pyrene Manufacturing Company of Delaware


mengajukan paten untuk karbon tetraklorida yang digunakan untuk
memadamkan api. Cairan menguap dan memadamkan api dengan
menghambat reaksi rantai kimia dari proses pembakaran.

Pada tahun 1911, mereka mematenkan pemadam portabel kecil yang


menggunakan bahan kimia. Ini terdiri dari botol kuningan dengan pompa
tangan terintegrasi yang digunakan untuk mengusir jet cairan terhadap api.
Sebagai wadah tanpa tekanan sehingga dengan mudah diisi ulang setelah
digunakan. Karbon tetraklorida cocok untuk cairan pemadam kebakaran dan
listrik, pemadam ini sering dipasang untuk kendaraan bermotor.

Sekitar tahun 1940 penggunaannya mulai menurun karena mempunyai


efek samping terhadp kesehatan. Fakta bahwa suhu tinggi menyebabkan ia
bereaksi menghasilkan fosgen membuatnya sangat berbahaya bila
digunakan terhadap kebakaran. Reaksi ini juga menyebabkan menipisnya
oksigen. Karbon tetraklorida bertahan sebagai pestisida untuk membunuh
serangga pada biji yang disimpan, tetapi pada tahun 1970, itu dilarang
dalam produk konsumen di Amerika Serikat.

Sebelum Protokol Montreal, sejumlah besar karbon tetraklorida


digunakan untuk produksi Freon refrigerant R-11 (triklorofluorometana)
dan R-12 (diklorodifluorometana). Namun, zat pendingin ini kini dipercaya
memainkan peranan dalam penipisan ozon dan telah dilarang pula.  Karbon
tetraklorida masih digunakan untuk produksi refrigerant yang tidak
destruktif. Karbon tetraklorida juga telah digunakan dalam pelacakan
neutrino.

B. Tempat ditemukan

Karbon tetraklorida banyak ditemukan di kerak bumi dan juga di jaringan


tubuh makhluk hidup baik tumbuhan maupun hewan.

C. Dampak bagi Kesehatan


Karbon tetraklorida mempunyai efek yang tidak baik terhadap
kesehatan jika melebihi kadar maksimal yang telah ditetapkan oleh
Peraturan Menteri Kesehatan RI NO 492/MENKES/PER/IV/2010 yaitu
0,004mg/l.

Pajanan terhadap karbon tetraklorida konsentrasi tinggi (termasuk


uapnya) dapat mempengaruhi system saraf pusat, degenerasi hati dan
ginjal dan dapat menimbulkan koma dan bahkan kematian (setelah pajanan
diperpanjang). Pajanan kronis terhadap karbon tetraklorida dapat
menyebabkan kerusakan hati dan ginjal dan dapat menimbulkan kanker.
Senyawa ini diabsorbsi segera melalui kulit atau paru-paru. Di dalam
tubuh, karbon tetraklorida menyebabkan kerusakan pada hati dan
kemudian ginjal bila terpapar secara terus menerus (on continued
exposure).

Selain itu pemberian Karbon tetraklorida (CCl4) dalam dosis tinggi


dapat merusak endoplasmik retikulum, mengakumulasi lipid, mengurangi
sintesis protein, mengacaukan proses oksidasi, menurunkan bobot badan,
menyebabkan pembengkakan hati sehingga bobot hati menjadi bertambah,
dan pemberian jangka panjang dapat menyebabkan nekrosis sentrilobular
serta degenerasi lemak di hati.

Mekanisme kerja CCl4 yaitu membentuk radikal karbon tetraklorida


(molekul dengan electron yang tidak berpasangan sehingga reaktif) di
dalam hati. Kemudian menyebabkan peroksidasi lipida dalam membran
sel. Di sini metokhondria terserang dan melepaskan ribosom dari reticulum
endoplasma. Proses fosforilasi pernapasan oksudatif di dalam membran
mitokondria terganggu sehingga pemasokan energi yang diperlukan untuk
memelihara fungsi dan struktur reticulum endoplasma macet, sintesis
protein menurun drastis, sel kehilangan daya untuk mengeluarkan
trigliserida dan mengakibatkan degenerasi lemak sel hati. Maka terjadi
kerusakan hati. Gejala yang timbul antara lain kejang-kejang pada perut,
malaise yang menyeluruh, insufisiensi ginjal dan terganggunya fungsi
otak.

D. Jalur Pemejanan
a. Paparan jangka panjang
1. Terhirup
Efek sama seperti pada paparan jangka pendek terhirup,
gangguan penglihatan, kerusakan ginjal, kerusakan hati, efek
reproduktif, kanker
2. Kontak dengan kulit
Efek sama seperti pada paparan jangka pendek terhirup,
kerusakan ginjal, kerusakan hati.
3. Kontak dengan mata
Tidak tersedia informasi.
4. Tertelan
Kerusakan ginjal, kerusakan hati, kanker.
b. Paparan jangka pendek
1. Terhirup
Iritasi, gangguan pencernaan, sakit kepala, gejala mirip
mabuk, kongesti paru, efek pada otak, kejang, koma.
2. Kontak dengan kulit
Efek sama seperti pada paparan jangka pendek terhirup,
ruam, gejala mirip mabuk.
3. Kontak dengan mata
Tidak tersedia informasi.
4. Tertelan
Efek sama seperti pada paparan jangka pendek terhirup,
gejala mirip mabuk, kongesti paru.

E. Penanganan
Pertolongan Pertama
1. Terhirup
Bila aman memasuki area, segera pindahkan dari area
pemaparan. Bila perlu gunakan kantong masker berkatup atau
pernafasan penyelamatan. Segera bawa ke rumah sakit atau fasilitas
kesehatan terdekat.
2. Kontak dengan kulit
Segera tanggalkan pakaian, perhiasan, dan sepatu yang
terkontaminasi. Cuci dengan sabun atau detergen ringan dan air dalam
jumlah yang banyak sampai dipastikan tidak ada bahan kimia yang
tertinggal (selama 15-20 menit). Bila perlu segera bawa ke rumah sakit
atau fasilitas kesehatan terdekat.

3. Kontak dengan mata


Segera cuci mata dengan air yang banyak atau dengan larutan garam
normal (NaCl 0,9%), selama 15-20 menit, atau sekurangnya satu liter
untuk setiap mata dan dengan sesekali membuka kelopak mata atas dan
bawah sampai dipastikan tidak ada lagi bahan kimia yang tertinggal.
Segera bawa ke rumah sakit atau fasilitas kesehatan terdekat.
4. Tertelan
Segera hubungi Sentra Informasi Keracunan atau dokter setempat.
Jangan sekali-kali merangsang muntah atau memberi minum bagi pasien
yang tidak sadar/pingsan. Bila terjadi muntah, jaga agar kepala lebih
rendah daripada panggul untuk mencegah aspirasi. Bila korban pingsan,
miringkan kepala menghadap ke samping. Segera bawa ke rumah sakit
atau fasilitas kesehatan terdekat.
Catatan untuk dokter: Pertimbangkan kumbah lambung dan
katartik.
F. Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan memberikan antioksidan untuk
meredam reaksi berantai senyawa toksik CCl4.
4. PENYAKIT KERJA AKIBAT CYANIDA
A. Definisi
Secara tradisional sianida di kenal sebagai racun. Sianida adalah
senyawa kimia dari kelompok Siano, yang terdiri atom karbon yang
berikatan dengan nitrogen (C=N), dan dikombinasi dengan unsur-unsur lain
seperti kalium atau hidrogen. Secara spesifik, sianida adalah anion CN-.
Kata “sianida” berasal dari bahasa Yunani yang berarti “biru” yang
mengacu pada hidrogen sianida yang disebut Blausäure ("blue acid") di
Jerman.
Sianida dapat terbentuk secara alami maupun dibuat oleh manusia dan
memiliki sifat racun yang sangat kuat dan bekerja dengan cepat. Contohnya
adalah HCN (hidrogen sianida) dan KCN (kalium sianida). Hidrogen
sianida merupakan gas yang tidak berasa dan memiliki bau pahit yang
seperti bau almond. Kebanyakan orang dapat mencium baunya, tetapi ada
beberapa orang yang karena masalah genetiknya tidak dapat mencium bau
HCN. Dalam bentuk cairan, HCN tidak berwarna atau dapat juga berwarna
biru pucat pada suhu kamar. HCN bersifat mudah terbakar serta dapat
berdifusi baik dengan udara dan bahan peledak juga sangat mudah
bercampur dengan air sehingga sering digunakan. Natrium sianida dan
kalium sianida berbentuk bubuk putih dengan bau yang menyerupai almond.
Adanya hidrolisis dari KCN dan NaCN, HCN dapat terbentuk dengan reaksi
sebagai berikut:
NaCN + H2O -----> HCN + NaOH
KCN + H2O ----> HCN + KOH
B. Etiologi Keracunan Sianida
Sianida secara alami terdapat dalam alam, bahan industri, dan rumah
tangga. Inhalasi asap dari hasil kebakaran merupakan penyebab paling
umum dari keracunan sianida di negara barat. Bahan-bahan seperti wol,
sutra, dan polimer sintetik mengandung karbon dan nitrogen juga dapat
menghasilkan gas sianida bila terpapar pada suhu tinggi. Sianida banyak
digunakan dalam proses industri yang membutuhkan electroplating dan
polishing logam. Garam sianida seperti sianida merkuri, tembaga sianida,
sianida emas, dan sianida perak menghasilkan gas hidrogen sianida bila
dikombinasikan dengan asam, sehingga memungkinkan terjadinya
kecelakaan pada industri atau paparan yang berbahaya. Salah satu sumber
iatrogenik sianida adalah pemberian antihipertensi sodium nitroprusside
secara intravena. Proses pelepasan sianida dari nitroprusside terjadi tanpa
bantuan enzim. Di hati, enzim rhodanese kemudian akan mengkatalisis
konversi sianida menjadi tiosianat, yang biasanya diekskresi melalui ginjal.
Keracunan dapat terjadi apabila terdapat kerusakan dalam metabolisme
sianida atau akumulasi tiosianat selama periode pemberian beberapa hari
atau lebih. Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, keracunan sianida
dapat terjadi karena pasien tidak dapat mengekskresikan tiosianat pada nilai
yang cukup.
Meskipun bukan penyebab umum keracunan, sumber-sumber alam
dapat penyebabkan keracunan sianida ketika dikonsumsi dalam jumlah
besar atau ketika dikemas sebagai obat alternatif (contoh: laetrile). Sianida
terbentuk secara alami dalam amygdalin, (suatu glukosida sianogenik) yang
pada konsentrasi rendah terdapat dalam biji buah (misalnya, biji apel, biji
ceri, almond, dan biji aprikot) .
C. Patofisiologi Keracunan Sianida
Sianida bersifat sangat letal karena dapat berdifusi dengan cepat pada
jaringan dan berikatan dengan organ target dalam beberapa detik. Sianida
dapat berikatan dan menginaktifkan beberapa enzim, terutama yang
mengandung besi dalam bentuk Ferri (Fe3+) dan kobalt.
Sianida atau bahan kimia umumnya masuk ke dalam tubuh melalui
beberapa cara antara lain:
a. Melalui mulut karena tertelan (ingesti) Sebagian keracunan terjadi
melalui jalur ini. Anak-anak sering menelan racun secara tidak sengaja
dan orang dewasa terkadang bunuh diri dengan menelan racun. Saat
racun tertelan dan mulai mencapai lambung, racun dapat melewati
dinding usus dan masuk kedalam pembuluh darah, semakin lama
racun tinggal di dalam usus maka jumlah yang masuk ke pembuluh
darah juga semakin besar dan keracunan yan terjadi semakin parah.
b. Melalui paru-paru karena terhirup melalui mulut atau hidung
(inhalasi) Racun yang berbentuk gas, uap, debu, asap atau spray dapat
terhirup melalui mulut dan hidung dan masuk ke paru-paru. Hanya
partikel-partikel yang sangat kecil yang dapat melewati paru-paru.
Partikel-partikel yang lebih besar akan tertahan dimulut, tenggorokan
dan hidung dan mungkin dapat tertelan.
c. Melalui kulit yang terkena cairan atau orang yang bekerja dengan zat-
zat kimia seperti pestisida dapat teracuni jika zat kimia tersemprot
atau terpercik ke kulit mereka atau jika pakaian yang mereka pakai
terkena pestisida. Kulit merupakan barier yang melindungi tubuh dari
racun, meskipun beberapa racun dapat masuk melalui kulit.
Paparan secara intravena dan inhalasi menghasilkan timbulnya tanda
dan gejala yang lebih cepat dibandingkan dengan paparan secara oral dan
transdermal, karena rute tersebut memungkinkan sianida untuk berdifusi
secara langsung ke target organ melalui aliran darah. Paparan sianida dalam
jumlah kecil sering tidak menimbulkan gejala karena di dalam tubuh sianida
akan cepat di metabolisme dan diekskresi melalui ginjal.
Sianida ini dengan bantuan akan enzim rhodanese diubah menjadi
thiosianat (bentuk yang lebih aman bagi tubuh) baru kemudian dikeluarkan
dari tubuh.
D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari keracunan sianida yang sebagian besar
merupakan gambaran dari hipoksia intraseluler. Terjadinya tanda-tanda dan
gejala ini biasanya kurang dari 1 menit setelah menghirup dan dalam
beberapa menit setelah konsumsi. Awal manifestasi neurologis termasuk
kecemasan, sakit kepala, dan pusing. Pasien kemungkinan tidak bisa
memfokuskan mata dan terjadi midriasis yang dapat disebabkan oleh
hipoksia. Hipoksia yang terus berlanjut akan berkembang menjadi
penurunan tingkat kesadaran, kejang, dan koma.
Pada kasus keracunan sianida akut,pasien kemungkinan memiliki kulit
normal atau penampilan sedikit ashen meskipun jaringan hipoksia, dan
saturasi oksigen arteri juga mungkin normal. Tanda-tanda awal keracunan
sianida pada sistem respirasi antara lain pernapasan yang cepat dan dalam.
Perubahan pada sistem respirasi ini disebabkan oleh adanya stimulasi pada
kemoreseptor perifer dan sentral dalam batang otak, dalam upaya mengatasi
hipoksia jaringan. Sianida juga memiliki efek pada sistem kardiovaskular,
dimana pada pasien akan mengalami gejala berupa palpitasi, diaphoresis,
pusing, atau kemerahan. Mereka juga akan megalami peningkatan curah
jantung dan tekanan darah yang disebabkan oleh adanya pengeluaran
katekolamin. Di samping juga terjadi vasodilasi pembuluh darah, hipotensi,
dan penurunan kemampuan inotropik jantung, sianida juga menekan nodus
sinoatrial (SA node) dan menyebabkan terjadinya aritmia serta mengurangi
kekuatan kontraksi jantung. Dengan demikian, selama terjadinya keracunan
sianida, status hemodinamik pasien menjadi tidak stabil, karena adanya
aritmia ventrikel, bradikardia, blok jantung, henti jantung, dan kematian.
DAFTAR PUSTAKA
Fiedler, E.; Grossmann, G.; Burkhard Kersebohm, D.; Weiss, G. And Witte, C.
(2005). Methanol. Ullmann's Encyclopedia of Industrial Chemistry.
Weinheim: Wiley-VCH.

Bozzano, Giulia; Manenti, Flavio (1 September 2016). Efficient methanol


synthesis: Perspectives, technologies and optimization strategies.
Progress in Energy and Combustion Science. 56: 71–105.

John V. Ashurst; Thomas M. Nappe. Methanol Toxicity.


Https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482121/

Sumber gambar: solarindustri.com

PubChem NL of MNC for BI. Etilen Glikol. Published online 2022.


doi:10.5517/cc4cd95

ATSDR Agency for Toxic Substances and Disease Registry USD of H& HS.
Managing Hazardous Materials Incidents.; 2014.

Friedman EA, Greenberg JB, Merrill JP, Dammin GJ. Consequences of Etilen
Glikol Poisoning* Report of Four Cases and Review of the Literature.
Am J Med. 1962;32.

Ruqiah et al. 2007. PENGARUH PEMBERIAN KARBON TETRAKLORIDA


TERHADAP FUNGSI HATI DANGINJAL TIKUS.jurnal
KESEHATAN, VOL. 11, NO. 1.

http://www.chem-is-try.org/tabel_periodik/karbon/ Ditulis oleh Yulianto Mohsin


pada 21-10-2006
Baskin,S.I., Kelly, J.B., Mallner, B.I., Rockwood,G., Zoltani, C., Chapter 11.
Cyanide Poisoning. In Medical Aspects of Chemical Warfare.371-410

Beasley, D.M.G., Glass, W. I., 1998. Cyanide poisoning: pathophysiology and


treatment recommendations. Occup. Med, 48:427-431

Wicaksana, Juni 2017. Jurnal Lingkungan Vol. I No. 1: 80-87

Anda mungkin juga menyukai