Anda di halaman 1dari 12

Pembahsan

Menurut Diejen POM, 1979, emulsi adalah sediaan yang mengandung bahan obat
cair atau larutan obat, terdispersi dalam cairan pembawa, distabilkan dengan zat pengemulsi
atau surfaktan yang cocok.
Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan tentang pembuatan emulsi
(emulsifikasi) menggunakan parafin cair dengan span 80 sebagai fase minyak, serta air dan
tween 80 sebagai fase air, untuk menguji laju pemisahan, volume sedimentasi, uji redispersi
dan penentuan tipe emulsi dengan adanya penambahan metylen blue pada emulsi yang telah
dibuat.
Didalam emulsi untuk mencampurkan dua fase yang tidak saling bercampur dapat
digunakan emulgator yang berfungsi untuk menstabilkan fase air dan minyak yang tidak
saling bercampur tersebut (Ketua Panitia, 1978). Emulgator yang digunakan pada praktikum
ini adalah tween 80 dan span 80, untuk menurunkan tegangan permukaan antara fase minyak
dan fase air, dengan memperkecil ukuran partikel yang besar dan berukuran seragam
sehingga dapat bercampur saat dilakukan pengadukan (Jufri. M, 2004). Langkah pertama
dalam praktikum ini adalah membuat emulsi dengan HLB butuh masing – masing 5.5, 6.5,
7.5, 10.5, 11.5, dan 12.5. Kemudian dihitung jumlah tween 80, span 80, air dan parafin yang
dibutuhkan masing-masing HLB butuh yaitu untuk air ( HLB 5.5 : 28,2 g, HLB 6.5 : 29,13 g,
HLB 7,5 : 29,10 g, HLB 10,5 : 29,10 g, HLB 11,5 : 29,11 g. HLB 12,5 : 29,13) parafin cair 6
g, tween 80 (untuk HLB 5.5 : 1,008 g, HLB 6.5 : 0,18 g, HLB 7,5 : 0,252 g, HLB 10,5 :
0,521 g, HLB 11,5 : 0,6 g. HLB 12,5 : 0,66 g) span 80 (untuk HLB 5.5 : 0,792 g, HLB 6.5 :
0,69 g, HLB 7,5 : 0,6426 g, HLB 10,5 : 0,378 g, HLB 11,5 : 0,2 g. HLB 12,5 : 0,21 g).
Langkah selanjutnya ditimbang bahan, dan dilarutkan masing-masing bahan
pada fase yang sesuai. Tween 80 dilarutkan dalam air sebagai fase air dan span 80 dilarutkan
ke dalam minyak sebagai fase minyak. Hal ini disebabkan karena tween 80 memiliki HLB
15,6 dan Span 80 memiliki HLB 4,3, semakin tinggi harga HLB maka semakin polar atau
hidrofilik sediaan itu dan sebaliknya semakin rendah harga HLB maka semakin nonpolar atau
hidrofobik seidiaan tersebut. Sehingga tween 80 larut dalam air dan span 80 larut dalam
minyak (Ansel, 2008).
Setelah itu dicampurkan kedua fase yaitu fase minyak dan fase cair kedalam gelas
kimia dan diaduk dengan menggunakan ultra turax selama kurang lebih 2 menit, hal ini
bertujuan untuk menghomogenkan antara fase minyak dan fase air (Jufri. M, 2004)
Langkah selanjutnya adalah uji laju pemisahan untuk melihat waktu yang
diperlukan sebuah emulsi untuk kembali terpisah, mengetahui faktor-faktor seperti ukuran
partikel dari fase terdispersi, serta perbedaan dalam kerapatan antar fase, dan viskositas fase
luar. Laju pemisahan ditingkatkan oleh makin besarnya ukuran partikel fase dalam, makin
besarnya perbedaan kerapatan antara kedua fase maka akan berkurangnya viskositas dari
fase luar (Martin. A, 2008).
Dari hasil uji laju pemisahan diperoleh dari masing-masing HLB hasil yang
berbeda-beda, dimana untuk HLB 5,5 selama 3 menit, HLB 6,5 selama 7 menit, HLB 7,5
selama 5 menit, HLB 11,5 selama 5 menit, HLB 12,5 selama 14 menit. Perbedaan laju
pemisahan dari masing-masing HLB tersebut dipengaruhi oleh makin besarnya ukuran
partikel fase dalam, serta makin besarnya perbedaan antara kedua fase dan berkurangnya
viskositas dari fase luar (Martin. A, 2008).
Setalah itu dilakukan uji redispersi dengan mengocok kembali fase minyak dan
air yang telah tercampur, uji ini bertujuan untuk melihat waktu dimana emulsi dapat
terdispersi kembali menjadi dua fase yang homogen. Dari hasil pengujian diperoleh hasil
yang berbeda pada tiap Waktu redispersi untuk masing-masing HLB berbeda-beda dimana
pada HLB 5,5 selama 26 detik, pada HLB 6,5 selama 6 detik, pada HLB 7,5 selama 12 detik,
pada HLB 10,5 selama 5 detik, pada HLB 11,5 selama 4 detik dan pada HLB 12,5 selama 5
detik. Dari hasil uji redispersi diketahui bahwa fase minyak dan fase air dapat bercampur
kembali, hal ini dikarenakan pada campuran fase minyak dan air terdapat zat pemantap
emulsi atau disebut emulgator (Depkes RI, 1978).
Selanjutnya dihitung volume pemisahan pada t10, t20, t30 hal ini bertujuan agar
dapat diketahui rasio dari volume pemisahan akhir Vo terhadap volume mula-mula dari
emulsi Vo sebelum terjadi pengendapan, dengan rumus perhitungan , dimana Vu adalah
volume pengendapan dan V0 adalah volume awal (Martin, A. 2008). Dari hasil pengamatan
diperoleh hasil pada t10, t20, t30 untuk HLB 5,5 didapatkan hasil yang berturut-turut yakni
0,26, 0,25, dan 0,22. Pada HLB 7,5 didapatkan 0,22, 0,18, dan 0,16, pada HLB 10,5
didapatkan 0,16, 0,13 dan 0,10, untuk HLB 6,5 didapatkan 0,21, 0,20 dan 0,17, pada HLB
11,5 didapatkan 0,21, 0,20 dan 0,17, pada HLB 12 didapatkan 0,28, 0,26 dan 0,23. Setelah
dibandingkan dengan literature volume sedimentasi berkisar dari <1 sampai >1 dan apabila
volume suatu endapan terjadi flokulasi maka volume akhir dari endapan (F) adalah lebih
kecil dari volume awal, hal ini terjadi karena hasil flokulat yang terbentuk adalah sebegitu
longgarnya dan lunak sehingga volume yang dapat dicapai lebih besar dari volume emulsi
awal (Martin. A, 2008).
Kemudian untuk uji pada masing – masing HLB ditetesi dengan menggunakan
metylen blue, hal ini bertujuan untuk membuktikan emulsi pada HLB tersebut tergolong tipe
W/O dan O/W. Hasil yang didapatkan untuk HLB 10,5, 11,5 dan 12,5 yaitu terjadi perubahan
warna, perubahan warna tersebut menandakan bahwa HLB tipe 10,5, 11,5 dan 12,5
merupakan tipe emulsi minyak dalam air. Hal ini dikarenakan metylen blue dapat
memberikan warna biru pada emulsi tipe o/w karena metylen blue larut dalam air. Jika air
merupakan fase luar, yakni jika emulsi tersebut bertipe o/w, zat warna tersebut akan melarut
didalam dan berdifusi merata ke seluruh bagian dari air tersbut. Jika emulsi tersebut tipe w/o,
partikel-partikel warna akan tinggal bergerombol pada permukaan (Martin. A, 2008).
Ada beberapa kemungkinan kesalaha yang terjadi. Kemungkinan keslahan terjadi
ketika metilen blue yang seharusnya larut dalam air, terlarut dalam emulsi fase minyak, hal
ini disebabkan beberapa kemungkinan kesalahan, diantaranya kurang mahirnya praktikan
dalam menggunakan alat, atau HLB butuh kombinasi antar tween 80 dan span 80 tidak
sesuai, hal ini yang menyebabkan terjadinya kesalahan tersebut.

BAB VI
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Dari praktikum yang dilakukan untuk menguji kestabilan suatu emulsi dengan
penambahan surfaktan Tween-80 dan Span-80 pada uji laju pemisahan hasil yang didapatkan
bervariasi yaitu untuk HLB 5.5adalah 3 menit, HLB 6.5 adalah 7 menit , HLB 7.5 adalah 5
menit, HLB 10.5 adalah 6 menit, HLB 11.5 5 menit dan HLB 12.5 adalah 14 menit.
Pada uji volume sedimentasi didapatkan hasil pada HLB 5.5 didapatkan hasil 0.26,
0.25, dan 0.22 ml. Pada HLB 6.5 didapatkan 0.21, 0.2, dan 0.17, pada HLB 7.5 didapatkan
0.22, 0.18 dan 0.16, untuk HLB 10.5 didapatkan 0.16, 0.18 dan 0.16, pada HLB 11.5
didapatkan 0.21, 0.2 dan 0.17, pada HLB 12.5 didapatkan 0.28, 0.26 dan 0.23.
Pada uji redispersi hasil yang didapatkan waktu redispersi dari masing-masing HLB
berbeda-beda, untuk HLB 5.5 selama 26 detik, untuk HLB 6.56 detik, untuk HLB 7.5 selama
12 detik, untuk HLB 10.5 selama 5 detik, untuk HLB 11.5 selama 4 detik dan untuk HLB
12.5 selama 5 detik.
Pada uji penentu tipe emulsi hasil yang didapatkan yaitu terjadi perubahan warna biru
yang merata dari emulsi pada HLB-HLB yang diujikan, perubahan warna tersebut
menandakan bahwa HLB tipe 10.5,11.5 dan 12.2 merupakan tipe emulsi minyak dalam air.

V.2 Saran
Disarankan kepada praktikan untuk lebih teliti dalam melakukan percobaan agar di
dapatkan hasil yang sesuai serta alat dan bahan yang akan digunakan agar dilengkapi untuk
menunjang jalannya percobaan.
Pembahasan
Emulsi adalah sistem dua fase, yang salah satu cairanya terdispersi dalam cairan yang
lain, dalam bentuk tetesan kecil. Jika minyak yang merupakan fase terdispersi dan larutan air
merupakan fase pembawa (pendispersi), sisitem ini di sebut emulsi minyak dalam air dan
sebaliknya, jika air yang merupakan fase terdispersi dan minyak sebagai pembawa, sistem ini
di sebut air dalam minyak.
Seperti yang di ketahui bahwa emulsi merupakan sistem dua cairan yang tidak
bercampur serta tidak stabil karena berbentuk globul-globul pada fase pendispersi atau
pembawa, dengan demikian agar emulsi tetap stabil maka harus di tambahkan emulgator.
Emulgator dapat bekerja dengan dua tahapan yaitu :
1. Tahap Disrupsi : emulgator bekerja dengan pemecahan minyak menjadi globul-globul yang
kecil sebagai bahan terdispersi, sehingga lebih mudah terdispersi dalam fase pendispersi atau
pembawa.
2. Tahap Stabilisasi : bekerja dengan menstabilkan globul-globul yang terbentuk dengan cairan
pembawa sehingga emulsi yang terbentuk tidak terpisah menjadi fase tunggal.
Salah satu emulgator yang sering di gunakan dalam dunia farmasi yaitu golongan surfaktan.
Surfaktan memiliki mekanisme kerja dengan menurunkan tegangan permukaan atau
antarmuka antara minyak dengan air seh ingga air dan minyak lebih mudah bercampurserta
membentuk film monomolekuler pada permukaan fase terdispersi.
Beberapa contoh ketidak stabilan emulsi antara lain :
a. Koalesen : campuran globul dalam jumlah yang banyak sehingga menjadi besar.
b. Flukulasi : globul- globul kecil yang memiliki ikatan yang tidak kuat sehingga tidak
bercampur dengan sempurna.
c. Kreaming : pecahnya globul-globul kecil sehingga tidak bercampur dan terjadi dua fase.
d. Breaking : dimana minyak dan air tidak bercampur sama sekali dan membentuk dua fase
secara langsung.
Pada formulasi sediaan emulsi yang akan mempengaruhi sediaan farmasi yaitu di lihat
dari bahan tambahan (exipient) seperti :
o Pengawet
Pada penambahan pengawet memerlukan bahan tambahan antimikroba karena fase air
merupakan tempat yang sangat mudah di tumbuhi mikroorganisme. Adanya pengawet sangat
penting dalam emulsi minyak dalam air karena kontaminasi eksternal mudak terjadi.
o Anti oksidan
Dalam sediaan emulsi berfungsi mencegah terjadinya reaksi osidasi.
o Pemanis
Sediaan emulsi merupakan sediaan yang memiliki rasa yang kurang sedap karena terdiri dari
minyak apalagi tipe emulsi air dalam minyak sehingga rasa minyak tidak tertutupi, maka
dengan penambahan pemanis sangat di perlukan untuk menutupi rasa.
o pewarna
VII. PEMBAHASAN
Pada praktikum fisika farmasi ini, kita melakukan percobaan emulsifikasi, pada percobaan ini
digunakan air dan minyak kelapa (Oleum Cocos). Air dan minyak kelapa mempunyai
perbedaan sifat kepolaran dan perbedaan berat jenis. Air dengan rumus molekul H2O
memiliki sifat polar karena momen dipolnya tinggi, Minyak kelapa memiliki sifat non polar
karena momen dipolnya yang kecil. Akibat perbedaan kepolaran ini air dan minyak kelapa
tidak dapat menyatu, karena sifat pelarutan adalah kecendrungan “like dissolves like”. Pelarut
yang bersifat polar akan larut di pelarut yang bersifat polar juga, dan pelarut yang bersifat
non polar akan larut di pelarut yang bersifat non polar juga. Berat jenis air lebih tinggi
daripada minyak, sehingga ketika dilarutkan air berada di bawah minyak.
Untuk membuat suatu sediaan emulsi, diperlukan suatu emulgator. Emulgator ini akan
berfungsi untuk membuat partikel minyak menjadi terdispersi dalam air sehingga air dan
minyak dapat menyatu. Emulgator yang paling umum digunakan adalah surfaktan. Surfaktan
(surface active agent) adalah suatu senyawa yang bersifat amphifil. Senyawa amphifil adalah
senyawa yang mempunyai gugus polar dan gugus non polar. Pada percobaan ini digunakan
surfaktan kombinasi yaitu tween 80 dan span 80 sebagai emulgator.
Karena pada percobaan kali ini digunakan surfaktan yang kombinasi yaitu tween 80 dan span
80, maka diperlukan nilai HLB (Hydrophylic – Lypopilic Balance) butuh minyak. HLB butuh
minyak setara dengan HLB campuran surfaktan yang digunakan untuk mengemulsikan
minyak sehingga membentuk emulsi yang stabil. HLB butuh minyak ini perlu ditentukan
apabila emulsi menggunakan kombinasi surfaktan. HLB butuh minyak harus berada di
rentang nilai HLB kombinasi surfaktan. Pada prakktikum ini digunakan surfaktan tween 80
dengan nilai HLB 15,0 yang dtambahkan air 20 ml dan span 80 nilai HLBnya 4,3 yang
ditambahkan minyak kelapa 20 ml.
Pencampuran Tween 80 dengan air (fase air) karena nilai HLB Tween 80 relatif tinggi yaitu
sebesar 15. Nilai HLB yang tinggi menunjukkan bahwa Tween 80 bersifat polar sehingga
dapat bercampur dengan air yang bersifat polar. Sedangkan Span 80 dicampur dengan oleum
cocos (fase minyak), karena Span 80 memiliki nilai HLB yang lebih rendah yaitu 4,3 dan
menunjukkan bahwa Span 80 bersifat non polar sehingga dapat bercampur dengan minyak.
Pada praktikum emulsifikasi ini, praktikan mengamati kestabilan emusli dengan mengamati
ada/tidaknya creaming pada sediaan emulsi yang telah diketahui nilai HLB-nya.
[LAPORAN RESMI KELOMPOK B3] 11 Maret 2013
Laporan Praktikum Fisika Farmasi | 11
Setiap kelompok mengamati masing-masing empat sediaan emulsi dengan nilai HLB butuh
tiap kelompok adalah Kelompok B1, B3, B5 HLB butuh 6, 7, 8, 9 dan kelompok B2 dab B4
nilai HLB butuh 10, 11, 12, 13.
Dari semua sediaan emulsi yang kelompok kami (B3) buat, sediaan tesebut didiamkan selama
satu minggu. Dari hasil pengamatan diperoleh bahwa dari semua seri emulsi dengan nilai
HLB butuh berturut-turut 6, 7, 8, 9 menghasilkan creaming di bagian atas dengan tinggi yang
bervariasi. Terbentuknya creaming menandakan emulsi yang terbentuk tidak stabil. Creaming
yang terbentuk mengarah ke atas. Berikut grafik pengamatan Creaming yang terbentuk dari
seri emulsi yang dibuat oleh kelompok kami (B3).
Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa semua HLB mengalami creaming. Tinggi creaming
pada emulsi dengan HLB 6 lebih tinggi dibandingkan tinggi creaming pada HLB 7, 8,9.
Tinggi creaming tersebut menunjukan kestabilan dari suatu emulsi, dimana apabila creaming
yang terbentuk lebih tinggi maka emulsi lebih tidak stabil, dan apabila tinggi creaming yang
terbentuk lebih rendah maka seri emulsi ltersebut lebih stabil.
Kemudian masing – masing seri emulsi dilakukan pengocokan sebanyak 5X, setelah
pengocokan semua larutan kembali terdispersi membentuk emulsi. Namun pada saat
didiamkan pemisahan yang terjadi antara fase minyak dan fase air pada HLB 6 ini terjadi
sangat lambat dibanding HLB lainnya. Berdasarkan grafik dapat terlihat juga bahwa, emulsi
dengan nilai HLB 9 memiliki laju creaming yang sangat kecil sehingga tinggi creaming lebih
rendah daripada HLB lain. Sehingga pada saat didiamkan kembali terjadi pemisahan fase
minyak dan fase air lebih cepat dibandingkan dengan HLB 6, 7, dan HLB 8.
H. PEMBAHASAN
Emulsi adalah suatu sIstem yang tidak stabil dan paling sedikit mengandung dua fase cair
yang tidak bercampur. Pada percobaan ini digunakan air dan minyak kelapa (coconut oil). Air
dan minyak kelapa mempunyai perbedaan sifat kepolaran ddan perbedaan berat jenis. Air
dengan rumus molekul H2O memiliki sifat polar karena momen dipolnya tinggi, air juga
mempunyai berat jenis yang lebih besar daripada minyak kelapa yaitu. Minyak kelapa
memiliki sifat non polar karena momen dipolnya yang kecil, berat jenis minyak kelapa lebih
rendah dari pada air yaitu. Akibat perbedaan kepolaran ini air dan minyak kelapa tidak dapat
menyatu, karena sifat pelarutan adalah kecendrungan “like dissolves like”. Pelarut yang
bersifat polar akan larut di pelarut yang bersifat polar juga, dan pelarut yang bersifat non
polar akan larut di pelarut yang bersifat non polar juga. Berat jenis air lebih tinggi daripada
minyak, sehingga ketika dilarutkan air berada di bawah minyak.
Untuk membuat suatu sediaan emulsi, diperlukan suatu emulgator. Emulgator ini akan
berfungsi untuk membuat partikel minyak menjadi terdispersi dalam air sehingga air dan
minyak dapat menyatu. Emulgator terdiri dari tiga golongan yaitu surfaktan, koloida
hidrofilik, dan partikel padat terbagi halus, tetapi emulgator yang paling umum digunakan
adalah surfaktan.
Surfaktan (surface active agent) adalah suatu senyawa yang bersifat amphifil. Senyawa
amphifil adalah senyawa yang mempunyai gugus polar dan gugus non polar. Pada percobaan
ini digunakan surfaktan kombinasi yaitu tween 80 dan span 80 sebagai emulgator. Tween 80
dan span 80 ini sama halnya seperti surfaktan lainnya, ada bagian yang bersifat lipofilik
(kepalanya) dan bersifat hidrofilik (ekornya). Molekul lipofilik akan menghadap kearah
minyak, sedangkan molekul hidrofilik akan menghadap kearah air. Akibat adanya tween 80
dan span 80 ini akan menjembatani molekul minyak kelapa untuk kemudian terdispersi dalam
air sebagai fase pendispersinya.
Karena pada percobaan kali ini digunakan surfaktan yang kombinasi yaitu tween 80 dan span
80, maka diperlukan nilai HLB (Hydrophylic – Lypopilic Balance) butuh minyak. HLB butuh
minyak setara dengan HLB campuran surfaktan yang digunakan untuk mengemulsikan
minyak sehingga membentuk emulsi yang stabil. HLB butuh minyak ini perlu ditentukan
apabila emulsi menggunakan kombinasi surfaktan, jika hanya menggunakan satu jenis
surfaktan tidak diperlukan nilai HLB butuh minyak. HLB butuh minyak harus berada di
rentang nilai HLB kombinasi surfaktan. Pada prakktikum ini digunakan surfaktan tween 80
dengan nilai HLB 15 dan span 80 nilai HLBnya 4,3.
Pada percobaan emulsifikasi ini akan dibuat satu seri emulsi dengan nilai HLB butuh masing-
masing 5, 7, 9, 11, dan 13. Bahan yang digunakan adalah minyak dan air, sedangkan untuk
emulgator digunakan emulgator kombinasi surfaktan yaitu Tween 80 dan Span 80.
Pencampuran Tween 80 dengan air karena nilai HLB Tween 80 relatif tinggi yaitu sebesar
15. Nilai HLB yang tinggi menunjukkan bahwa Tween 80 bersifat polar sehingga dapat
bercampur dengan air yang bersifat polar. Sedangkan Span 80 dicampur dengan fase minyak,
karena Span 80 memiliki nilai HLB yang lebih rendah yaitu 4,3 dan menunjukkan bahwa
Span 80 bersifat non polar sehingga dapat bercampur dengan minyak.
Terbentuknya emulsi ditandai dengan berubahnya warna campuran menjadi putih susu.
Setelah 5 menit emulsi yang terbentuk diangkat dari penangas dan dimasukkan ke dalam
tabung sedimentasi dan diberi tanda sesuai dengan nilai HLB-nya. Tinggi emulsi dalam
tabung diusahakan sama agar mempermudah dalam membandingkan kestabilan dari tiap
emulsi. Selanjutnya, diamati ketidakstabilan emulsi yang terjadi selama 4 hari.
Dari hasil pengamatan, setelah emulsi dipindahkan ke dalam tabung sedimentasi semua
emulsi mengalami creaming. Terbentuknya creaming menandakan emulsi yang terbentuk
tidak stabil. Creaming yang terbentuk mengarah ke atas.
Dari data pengamatan dapat dilihat bahwa semua HLB mengalami creaming sehingga dapat
dikatakan tidak ada yang stabil. Tinggi creaming pada emulsi dengan HLB 2 jauh lebih tinggi
dibandingkan tinggi creaming pada emulsi lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa emulsi
minyak kelapa dengan air pada HLB 2 paling tidak stabil jika dibandingkan dengan emulsi
pada HLB lainnya.
Pengamatan pada hari-hari berikutnya menunjukkan bahwa semua emulsi mengalami
creaming. Tinggi creaming yang terjadi pada masing-masing emulsi berbeda setiap harinya.
Dari data pengamatan, dapat dilihat bahwa semua emulsi yang dibuat ternyata tidak stabil
karena terjadi creming pada semua tabung sedimentasi. Creaming berpotensi terhadap
terjadinya penggabungan fase dalam yang sempurna. Jadi, semakin tinggi creaming yang
terjadi, semakin besar pula potensi fase dalam untuk bergabung secara sempurna.
Dari data pengamatan yang terlihat dapat juga dijelaskan secara lebih terperinci satu per satu
dimulai dari emulsi I dengan nilai HLB 5 yang mengalami penurunan tinggi emulsi dalam
tabung sedimentasi pada hari ke 1 sampai hari ke 4 yaitu dari 4 cm, 3,9 cm, 3,8 cm, 3,9 cm.
Adapun creaming yang terbentuk pada emulsi I ini mengarah ke atas yang ditandai dengan
menurunnya tinggi emulsi dalam tabung dan disebabkan oleh kerapatan fase terdispersi (
dalam hal ini minyak ) yang lebih besar daripada kerapatan air sehingga endapan cenderung
bergerak ke atas, karenan berat jeis minyak lebih kecil daripada air.
Pada emulsi II dengan nilai HLB 7, mengalami peristiwa yang sama dengan emulsi I yang
memiliki nilai HLB 5 yaitu mengalami penurunan tinggi creaming dalam tabung sedimentasi.
Pada emulsi II ini penurunan tinggi creaming terjadi pada hari pertama sampai hari ke empat
yaitu 4,5 , 4,6, 4,4, 4,4 cm.
Pada emulsi III dengan nilai HLB 9, mengalami penurunan tinggi creaming dalam tabung
sedimentasi. Pada emulsi III ini penurunan tinggi creaming terjadi pada hari pertama sampai
hari ke empat yaitu dari 4,6, 4,6, 4,4, 4,5cm.
Pada emulsi IVdengan nilai HLB 11, mengalami penurunan tinggi creaming dalam tabung
sedimentasi. Pada emulsi III ini penurunan tinggi creaming terjadi pada hari pertama sampai
hari ke empat yaitu dari 4,1, 4,1, 4,1, 4,1 cm.
Pada emulsi V dengan nilai HLB 13, mengalami penurunan tinggi creaming dalam tabung
sedimentasi. Pada emulsi III ini penurunan tinggi creaming terjadi pada hari pertama sampai
hari ke empat yaitu dari 4,1, 4, , 4,1 cm.
Dari uraian diatas dapat terlihat bahwa, emulsi dengan nilai HLB 5 merupakan emulsi yang
paling stabil karena memiliki laju creaming yang sangat kecil sehingga tinggi creaming lebih
rendah daripada HLB lain. Sedangkan untuk emulsi dengan nilai HLB 7 merupakan emulsi
yang paling tidak stabil karena memiliki laju creaming yang sangat besar, karena sebagian
besar terjadi perubahan tinggi creaming setiap harinya.
Jadi bila diurut, laju kestabilan emulsi dari kesembilan sample emulsi adalah sebagai berikut
Emulsi 2 < Emulsi 3 < Emulsi 4 < Emulsi 5 < Emulsi 1
I. KESIMPULAN
• Emulsi dengan bahan air dan minyak kelapa menggunakan emulgator Tween dan Span 80
dengan HLB 5, 7, 9, 11, dan 13 tidak stabil karena mengalami creaming, dimana creaming
yang terbentuk mengarah ke atas.
• Diantara emulsi-emulsi yang diamati, emulsi yang paling tidak stabil adalah emulsi dengan
HLB 7, sebab laju penurunan creamingnya amat cepat dari tinggi creaming di hari percobaan
paling besar dibandingkan dengan HLB lain.
• Diantara emulsi-emulsi yang diamati, emulsi yang paling stabil adalah emulsi dengan HLB
5, sebab tinggi creaming pada emulsi dengan HLB 5 lebih rendah dibandingkan dengan
tinggi creaming pada HLB lain.
• Ketidakstabilan emulsi dapat terjadi karena penggunaan emulgator yang tidak sesuai, selain
itu penurunan suhu yang tiba-tiba dapat menyebabkan emulsi menjadi tidak stabil.
Penambahan air secara langsung dalam campuran juga mempengaruhi pembentukan emulsi
yang tidak stabil.
ada + ! $4 hingga $& tidak terjadi pemisahan fasa pada haripertama, begitu juga hari kedua. +al ini
membuktikan bah5a pada+ ! tersebut, terjadi kesetabilan antara dua fase. Sedangkan untuk+ !
butuh :, 0, /, $(, dan $*, masing-masing terbentuk creamingdengan )olume yang berbeda-
beda.Dikenal beberapa ketidak stabilan emulsi yaitu flokulasi,creaming, koalefen, dan demulsifikasi.
8lokulasi adalah terjadinyakelompok-kelompok globul yang letaknya tidak beraturan dalam
suatuemulsi, creaming adalah terbentuknya lapisan-lapisan yang berbedakonsentrasi dalam suatu
emulsi. 7oalesen adalah terbentuknyaglobul-globul besar dan globul-globul kecil, dan demulsifikasi
adalahproses lanjutan dari koalegen dimana kedua fase terpisah menjadidua cairan yang tidak
bercampur.Didalam suatu percobaan biasanya dikenal yang namanyakesalahan, adapun faktor-
faktor kesalahan yang mungkin terjadidalam percobaan kestabilan emulsi yaitu kesalahan
dalammenghitung jumlah t5een-04 dan span-04 dengan + ! butuhnya.7esalahan dalam
penimbangan bahan, kesalahan dalampencampuran bahan, kesalahan dalam memanaskan
ataupunkesalahan dalam mengaduk campuran.

BAB VIPENUTUPA. K# - $ &

Dari hasil praktikum dapat disimpulkan bah5a + ! butuh $4,$$ dan $& emulsi yang paling stabil
adalah emulsi dengan + ! :,0,/, $(,dan $* tidak stabil.
B.S " &
Saran saya sebagai praktikan agar dalam melaksanakankegiatan yang berhubungan dengan
praktikum 8armasi 8isika ini,supaya para asisten selalu memberikan dukungan kepada kamisehingga
kami dapat mengetahui apa yang seharusnya kamilakukan.

Anda mungkin juga menyukai