Anda di halaman 1dari 11

2.

5 Cara pengukuran IAP (Intra Abdominal Pressure)


1. Pengertian IAP
Tekanan intra abdominal adalah keadaan stabil dari tekanan yang ada di dalam rongga
perut. Tekanan intra abdomen pada orang sehat adalah 0-5 mmHg. IAH adalah
peningkatan patologis yang berulang dari IAP 12 mmHg atau lebih. Kondisi
peningkatan IAP ini bisa menyebabkan ACS (Abdominal Compartement Syndrome).
ACS sendiri didefinisikan sebagai kombinasi dari IAP lebih dari 25 mmHg, disfungsi
organ yang progresif (urine output <1mL/kg/jam, PaO2/FiO2 <150, peak airway
pressure >45 cmH2O, atau indek jantung <3 L/m/m2 meskipun dilakukan resusitasi)
dan peningkatan fungsi organ setelah dekompresi.

2. Penyebab Peningkatan IAP


Penyebab IAH dan ACS terdiri dari kondisi primer dan sekunder. Kondisi primer
penyebab IAH dan ACS antara lain trauma tajam atau trauma tembus, transplantasi
hari, ruptur abdominal aortic aneurysm, perdarahan post operasi, perdarahan
retroperitonial, obstruksi mekanik usus, penutupan luka post operasi yang terlalu
tegang, perdarahan pada fraktur pelvis. Sedangkan kondisi sekunder penyebab IAH dan
ACS antara lain infeksi intra-abdomen berat, penggantian cairan dengan volume besar,
ascites, pankreatitis, ileus, sepsis, luka bakar luas, continuous ambulatory peritoneal
dialysis (CAPD), obesitas morbid, kehamilan.

3. Patofisiologi Peningkatan IAP


Volume rongga abdomen dibatasi oleh fascia. Peningkatan tekanan bisa disebabkan
oleh peningkatan volume dari abdomen atau penurunan kapasitas “penampung”.
Setelah IAP meningkat lebih dari 20 mmHg, rongga abdomen berada dalam bagian
yang tinggi dari kurve volume tekanan abdomen dan sebagai hasil peningkatan kecil
dari volume atau penurunan kapasitas isi bisa menyebabkan peningkatan yang dramatis
dari IAP. Saat terjadi peningkatan IAP maka akan berdampak pada gangguan vaskuler.
Tanda-tanda yang terlihat bukan hanya penurunan aliran darah vena lokal, tetapi juga
penurunan aliran darah arteri akibat penurunan curah jantung dan memicu penurunan
filtrasi glomerulus dan penurunan urin output (Hee, 2007). Peningkatan IAP secara
nyata bisa dilihat dari manifestasi klinis ACS meliputi: penurunan curah jantung,
peningkatan resistensi pembuluh darah pulmonal, peningkatan tekanan puncak pulmo,
penurunan urine output dan hipoksia Cara pengukuran IAP
Pemeriksaan klinis abdomen tidak akurat untuk menentukan terjadinya IAH.
Pengukuran standar IAP merupakan hal yang pokok untuk menentukan terjadinya IAH
dan ACS. Burch et al. menggolongkan hasil pengukuran dalam cmH2O (1 mmHg =
1.38 cmH2O). Hasil pengukuran ini kemudian diubah dalam mmHg sebagai berikut
(Kirkpatrick et al., 2013):
a. Derajat I: 12-15 mmHg (17-21 cmH2O)
b. Derajat II: 16-20 mmHg (22-28 cmH2O)
c. Derajat III: 21-25 mmHg (29-35 cmH2O)
d. Derajat IV: >25 mmHg (> 35 cmH2O)
IAP bisa diukur pada hampir semua rongga abdomen. Idealnya, sebuah kateter
dimasukkan ke dalam rongga peritoneum bisa mengukur IAP untuk memperkuat
diagnosis. Dalam praktek sehari-hari, pengukuran tekanan bladder transuretra
mencerminkan IAP dan hal ini lebih sering digunakan untuk menegaskan terjadinya
ACS. Kebanyakan ahli menyetujui tekanan bladder lebih dari 20-25 mmHg
menegaskan diagnosis ACS (Brunicardi, et al., 2006).

Monitor IAP dan APP yang kontinyu hanya bisa dilakukan dengan melalui suatu kateter
ballon-tipped yang diletakkan di lambung atau secara langsung melalui
intraperitoneum (Waele, Laet, Malbrain, 2007).
Tehnik transvesika dengan menggunakan kateter urin yang standar merupakan metode
yang paling reliabel dan tidak invasif. Data-data klinis mengenai validitas dan
reliabilitas metode pengukuran IAP sangat jarang. Rute transvesika, yang sudah diteliti
secara luas, bisa digunakan sebagai rute yang reliabel untuk pengukuran IAP intermiten
dengan memasukkan volume cairan maksimal 25 ml (Waele, Laet, Malbrain, 2007).
Setelah memasukkan normal saline ke dalam bladder melalui foley kateter, selang
disambungkan ke transducer untuk mengukur tekanan bladder (Brunicardi, et al.,
2006). Berdasarkan hasil penelitian Desie et al. (2012) didapatkan bahwa monitor
tekanan intrabladder untuk memperkirakan IAP melalui tranducer maupun melalui
closed Foley Manometer aman dan tidak menimbulkan risiko infeksi saluran kemih
pada pasien dengan penyakit kritis.

Pengukuran IAP bisa dihentikan ketika faktor risiko terjadinya IAH sudah tidak ada
atau pasien tidak menunjukkan tanda-tanda disfungsi organ akut, dan nilai IAP dibawah
10-12 mmHg dalam 24-48 jam. Pada kasus disfungsi organ berulang, pengukuran IAP
harus dipertimbangkan kembali (Waele, Laet, Malbrain, 2007).

Teknik pengukuran IAP untuk pasien ICU yang tersedia Multi-Channel Monitor
(Malbrain et al., 2006 dalam Cresswell et al., 2012) :

1) Mempersiapkan alat pengukur IAP


a. Cuci tangan dan ikuti universal antiseptic precaution
b. Jaga kestrerilan foley kateter dan sistem pengaliran urin telah tersambung (urine
bag)
c. Gunakan peralatan dan sarung tangan steril, selang drainase dipotong (dengan
gunting steril) sepanjang 40 cm di bagian distal dari tempat aspirasi kultur,
setelah terlebih dahulu dilakukan desenfeksi
d. Siapkan 3 buah rangkaian stopcock (threeway)
e. Sambungkan rangkaian threeway dengan selang drainase
f. Sambungkan infus set dengan 500 ml normal salin atau D5W dan sambungkan
dengan three way yang pertama
g. Sambungkan 60 ml spuit ke threeway yang kedua dan threeway yang ketiga
disambungkan ke tranducer tekanan melalui tabung tekanan yang kaku
h. Rangkaian di flushed (dibilas) dengan normal salin
i. Tranducer tekanan diletakkan sejajar pada simphisis atau paha
j. Sambungkan tranducer dengan monitor melalui modul tekanan khusus dan
pastikan bentuk gelombang normal
k. Pilih skala dari 0 sampai 20 atau 40 mmHg
2) Metode pengukuran:
a. Jika pasien sadar, terangkan prosedur kepada pasien
b. Jika pasien tersedasi, pastikan pasien tersedasi dengan baik
c. Letakkan pasien pada posisi supinasi
d. Letakkan modul tekanan dengan cara mensejajarkan garis mid-aksilaris dengan
puncak simfisis pubis dengan membuka ujung proksimal threeway ke udara dan
tranducer
e. Pada saat istirahat ketiga threeway ditutup dari cairan infus, spuit dan tranducer
sehingga memberikan jalan untuk aliran urine ke arah urinometer atau urine bag
(ketiga threeway turned “on” ke pasien)
f. Untuk mengukur IVP, selang drainase urin di klem di bagian distal ramp device
dan stopcock yang ketiga dibuka ke arah tranducer dan pasien dan “off”
terhadap sistem drainase
g. Stopcock yang ketiga juga berfungsi sebagai klem
h. Stopcock yang pertama ditutup ke arah pasien dan dibuka ke arah cairan infus,
stopcock kedua dibuka ke arah cairan infus dan spuit 60 ml
i. Aspirasi 20-25 ml normal salin dari cairan infus ke dalam spuit
j. Pada stopcock yang pertama dibuka ke arah pasien dan ditutup ke arah cairan
infus dan 20-25 ml normal salin diinstilasi ke dalam bladder melalui kateter
urin
k. Stopcock pertama dan kedua dibuka ke arah pasien dan ditutup ke arah cairan
infus dan spuit
l. Stocpcock yang ketiga sudah dibuka ke arah tranducer dan pasien sehingga
dengan segera IVP terbaca pada monitor.
Tehnik pengukuran IAP untuk pasien ICU yang tidak tersedia Multi-Channel Monitor
(Malbrain et al., 2006 dalam Cresswell et al., 2012)

1) Mempersiapkan alat pengukur IAP


a. Cuci tangan dan ikuti universal antiseptic precaution
b. Buka bungkus foley manometer dan tutup klem
c. Letakkan urine bag lebih dibawah dari bladder pasien dan ikat selang drainase
pada tempat tidur pasien
d. Pasang foley manometer diantara kateter dan urine bag
e. Untuk memancing aliran foley manometer, masukkan normal salin 20 ml
melalui needle free injection/sampling port
f. Memasukkan normal salin dilakukan satu kali pada saat pemasangan awal, atau
sesudah itu menghilangkan udara yang ada pada selang manometer
g. Biarkan drainase urin diantara pengukuran IVP
h. Sampling urin dari needle-free port didapatkan dengan membuka secara
permanent klem merah. Ingat untuk menutup klem setelah digunakan
i. Hindari selang-U dari selang urine bag yang besar (akan mengganggu aliran
urin)
j. Ganti foley manometer ketika foley kateter atau urine bag diganti, atau paling
sedikiti setiap 7 hari

2) Metode pengukuran
a. Tempatkan foley manometer pada 0 mmHg dengan mensejajarkan garis
midaksilaris dengan puncak simfisis pubis dan tinggikan secara vertikal diatas
pasien
b. Buka klem dan baca IVP (nilai pada akhir ekspirasi) ketika undulasi sudah stabil
setelah sepuluh detik
c. Tutup klem setelah pengukuran IVP dan letakkan foley manometer pada posisi
drainase
2.6 Penatalaksanaan Trauma Abdomen
1. Pre Hospital
Cidera perut mungkin berbahaya dan membutuhkan penilaian yang cermat dan
sistematis oleh semua anggota tim kesehatan untuk menentukan diagnosis dini dan
intervensi. Banyak data yang dikumpulkan selama penilaian pasien; masing-masing
memiliki nilai ketika dipertimbangkan. Pengumpulan data pasien dan menghubungkan
temuan dengan informasi tentang mekanisme cedera, hasil tes diagnostik, dan temuan
fisik pasien membantu mengarahkan perawatan medis pasien. Primary survey
dilakukan untuk mengetahui keadaan jalan napas (A), pernapasan (B), sirkulasi (C),
dan cacat (D) dimulai pada saat kedatangan pasien di gawat darurat (UGD). Asesmen
cepat untuk mengidentifikasi dan mengobati kondisi yang mengancam jiwa sangat
penting untuk trauma yang dialami pasien. ABCD dievaluasi secara konstan di seluruh
fase perawatan untuk menentukan efektivitas pengobatan. Administrasi oksigen, akses
vaskular, pemberian cairan intravena, pemantauan jantung, dan oksimetri nadi
diperlukan untuk semua pasien trauma selama fase resusitasi.
Meskipun pemeriksaan abdominal bukan bagian dari survei utama, cedera perut
yang memerlukan intervensi bedah segera harus diidentifikasi lebih awal. Penilaian
berkelanjutan pada abdomen merupakan bagian dari survei sekunder yang dapat
dilakukan hanya setelah kejadian yang mengancam jiwa telah diatasi. Hal ini
memungkinkan perawat untuk melanjutkan ke evaluasi ulang yang berkesinambungan,
lengkap dan perawatan yang tepat.
Keluhan nyeri perut dari pasien yang sadar merupakan indikator utama
terjadinya cedera abdomen. Iritasi peritoneum digambarkan sebagai nyeri yang tajam
dan terlokalisir. Keluhan nyeri yang dirasakan di bahu kiri dapat direfensikan sebagai
kerusakan limpa, hati (nyeri bahu kanan), atau struktur retroperitoneal (nyeri punggung
atau testis). Banyak pasien yang mengalami cedera perut mungkin tidak dapat
berpartisipasi dalam pemeriksaan fisik karena perubahan tingkat kesadaran atau cedera
saraf tulang belakang; Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan abdominal tahap
demi tahap, yang terdiri dari inspeksi, auskultasi, perkusi, dan palpasi sangat penting.

a. Inspeksi
Inspeksi dimulai dengan mencatat integritas dinding dada bagian bawah.
Karena enam tulang rusuk terakhir terletak di atas struktur perut, gangguan pada
area ini dapat menandakan kerusakan organ, khususnya pada hati, limpa, atau
diafragma.
Kondisi dari abdomen harus dijelaskan. Adanya lecet, kontusio, laserasi, dan
bekas luka bedah dan lokasi, ukuran, deskripsi, dan jumlah luka harus
didokumentasikan. Pada pasien yang mengalami luka tembak, jumlah luka
menunjukkan adanya benda asing di dalam tubuh.
Kontur perut, biasanya rata atau sedikit membulat (atau cembung pada pasien
yang gemuk), mungkin dapat mengalami distensi, yang merupakan indikasi adanya
akumulasi darah, cairan lain, atau gas yang dihasilkan dari perforasi viskus,
pecahnya organ (misalnya, hati atau limpa), atau berkurangnya pasokan darah ke
perut. Inspeksi berulang oleh perawat dapat menunjukkan adanya tanda-tanda dari
distensi yang disertai dengan tidak adanya suara usus, dapat menunjukkan adanya
perdarahan ileus, peritonitis, atau perdarahan intraabdomen.
Adanya perubahan warna, tonjolan, gerakan peristaltik, pulsasi, lecet, dan bekas
luka bedah lama harus dicatat. Pemeriksaan berulang memperingatkan perawat
akan perubahan warna baru atau perubahan lain yang mengindikasikan cedera yang
mendasarinya. Diseksi darah ke dinding perut dari jaringan retroperitoneal (tanda
Gray Turner) dapat terjadi beberapa jam setelah cedera awal. Inspeksi yang tepat
termasuk memeriksa bagian belakang dan panggul pasien dan permukaan anterior
untuk tanda yang disebutkan. Luka atau ekimosis yang jelas pada daerah lumbar
dan panggul dapat mengindikasikan kerusakan organ retroperineal atau perut.

b. Auskultasi
Auskultasi biasanya merupakan bagian yang paling sulit dalam pemeriksaan
abdominal saat perawatan kritis karena suara yang dihasilkan tim kesehatan untuk
melakukan prosedur lifesaving. Ada atau tidaknya suara bowel pada saat
pemeriksaan awal merupakan informasi yang tidak spesifik pada pasien yang
dicurigai mengalami abdominal injury. Saat auskultasi di semua kuadran abdomen,
perawat sebaiknya waspada dengan adanya suara perut (bowel) pada tempat yang
tidak seharusnya seperti rongga dada, yang mungkin bisa menjadi tanda terjadinya
sobek diafragma. Maka dari itu perawat harus mendengarkan suara pembuluh
darah, terutama pada arteri renal, aorta abdominal, dan arteri iliaka, yang mungkin
mengindikasikan adanya obstruksi aliran darah arteri parsial.

c. Perkusi
Perkusi dilakukan untuk mengidentifikasinya adanya udara, cairan, atau
jaringan. Suara timpani mengindikasikan bahwa ada udara yang memenuhi perut
atau usus, dan dull adalah suara yang dihasilkan didaerah yang terdapat organ.
Dullness diseluruh empat kuadran mengindikasikan bahwa di abdomen tidak
terdapat cairan. Ballance sign (area pasti dullness) di kuadran kiri atas mungkin
menunjukkan adanya hematoma subcapsular atau ekstrakapsular limpa. Dullness
yang tidak berubah dengan posisi menunjukkan adanya hematoma retroperitoneal.
Perkusi yang menghasilkan suara timpani mungkin menunjukkan adanya udara
pada rongga abomen, yang mengindikasikan terjadinya perforasi viskus. Diafragma
yang sobek atau hemotoraks juga bisa ditemui dengan adanya suara dullness yang
muncul di atas ruang toraks timpani.

d. Palpasi
Palpasi abdomen dilakukan dengan menggunakan seluruh tangan pada keempat
kuadran dan dilakukan dari palpasi ringan ke palpasi dalam. Abdominal tenderness
atau nyeri pada abdomen saat dilakukan palpasi adalah tanda paling sering dari
cedera intraabdomen. Palpasi ringan dapat menimbulkan area dengan peningkatan
nyeri, menunjukkan cedera yang mendasarinya. Cidera dinding perut menghasilkan
nyeri fokal, yang meningkat saat aktivitas (otot tegang). Palpasi dalam dapat
menimbulkan gejala nyeri tekan, guarding, dan rebound yang berhubungan dengan
iritasi peritoneum
Nyeri pada abdomen dengan guarding, distensi, tanda-tanda iritasi peritoneal
dapat mengindikasikan kerusakan organ. Nyeri pada kuadran kanan atas dan nyeri
di atas rusuk keenam sebelah kanan mungkin mengindikasikan adanya kerusakan
hati. Nyeri perut kuadran kanan atas juga bisa menjadi pertanda cedera duodenum
atau kandung empedu. Nyeri yang timbul di kuadran kiri atas dapat
mengindikasikan cedera pada limpa, lambung, atau pankreas. Ketidaknyamanan
perut dan suprapubik dapat menandakan potensi cedera usus besar, kandung kemih,
atau uretra dan mungkin berhubungan dengan fraktur panggul.
Pasien mungkin mengeluh nyeri. Paling umum di antaranya adalah Kehr’s sign,
nyeri di bahu kiri akibat iritasi diafragma yang disebabkan oleh darah setelah cedera
limpa. Pasien harus berbaring telentang atau dalam posisi Trendelenburg untuk
merasakan adanya nyeri bahu jenis ini.
Pemeriksaan rektal meliputi pengujian darah kotor dan nyeri tekan anterior,
yang dapat mengindikasikan perdarahan atau iritasi peritoneum. Hasil positif dapat
mengindikasikan cedera gastrointestinal bagian bawah.
Denyut nadi yang menurun atau bahkan tidak ada di arteri femoralis dapat
mengindikasikan trombosis arteri iliaka, aneurisma aorta, atau penyakit pembuluh
darah kronis. Pemeriksaan kualitas dan tingkat denyut nadi selama pemeriksaan
awal sangat penting bagi dokter untuk melakukan intervensi selanjutnya.
Penanganan yang dapat dilakukan antara lain:
1. Penanganan awal trauma non- penetrasi (trauma tumpul)
1) Stop makanan dan minuman
2) Imobilisasi
3) Kirim kerumah sakit.
2. Penanganan awal trauma penetrasi (trauma tajam)
1) Bila terjadi luka tusuk, maka tusukan (pisau atau benda tajam lainnya) tidak
boleh dicabut kecuali dengan adanya tim medis.
2) Penanganannya bila terjadi luka tusuk cukup dengan melilitkan dengan kain
kassa pada daerah antara pisau untuk memfiksasi pisau sehingga tidak
memperparah luka.
3) Bila ada usus atau organ lain yang keluar, maka organ tersebut tidak
dianjurkan dimasukkan kembali kedalam tubuh, kemudian organ yang
keluar dari dalam tersebut dibalut kain bersih atau bila ada verban steril.
4) Imobilisasi pasien.
5) Tidak dianjurkan memberi makan dan minum.
6) Apabila ada luka terbuka lainnya maka balut luka dengan menekang.
7) Kirim ke rumah sakit.
2. Di Hospital (UGD)
Survei sekunder sistematis yang singkat adalah langkah berikutnya dalam fase
resusitasi. Penilaian head to toe diselesaikan untuk mengidentifikasi semua cedera.
Selama proses ini perawat dan berbagai anggota tim lainnya secara bersamaan menilai,
memberikan intervensi, dan menilai ulang pasien. Yang dilakukan dalam survei
sekunder termasuk tanda-tanda vital yang lengkap, hasil laboratorium, pemasangan
gastric tube dan kateter urin, melakukan pemeriksaan neurologis lengkap, dan
mendapatkan lebih banyak informasi tentang pasien. Pengujian diagnostik terjadi
secara bersamaan selama survei primer dan sekunder, termasuk ultrasonografi (AS),
computed tomography (CT), diagnostik peritonial lavage (DPL), dan rontgen dada.
Proses pengumpulan informasi pasien dimulai segera setelah pasien tiba di
UGD. Petugas pre-hospital harus memberikan informasi mengenai keadaan peristiwa
trauma yang dialami. Informasi tersebut harus mencakup mekanisme cedera, cedera
yang berkelanjutan, tanda vital, dan pengobatan yang dimulai, serta respon pasien.
Asesmen keperawatan mencakup informasi dari pasien seperti keluhan pasien pada saat
tiba di UGD, riwayat medis dan bedah, obat-obatan, alergi, waktu makan terakhir, dan
penggunaan obat-obatan atau alkohol. Pemeriksaan fisik dilakukan secara sistematis
dan berkelanjutan dalam semua fase perawatan. Pemeriksaan berulang oleh perawat
atau dokter yang sama memberikan konsistensi yang diperlukan untuk mengevaluasi
perubahan. Pasien yang tidak stabil dengan luka abdominal yang menembus tidak perlu
pemeriksaan fisik yang panjang dan terperinci; melainkan, intervensi yang tepat dan
tepat diindikasikan. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan di UGD antara lain:
1. Trauma penetrasi
Bila ada dugaan bahwa ada luka tembus dinding abdomen, seorang ahli bedah yang
berpengalaman akan memeriksa lukanya secara lokal untuk menentukan dalamnya
luka. Pemeriksaan ini sangat berguna bila ada luka masuk dan luka keluar yang
berdekatan.
a. Skrinning pemeriksaan rontgen
Foto rontgen torak tegak berguna untuk menyingkirkan kemungkinan hemo
atau pneumotoraks atau untuk menemukan adanya udara intraperitonium.
Serta rontgen abdomen sambil tidur (supine) untuk menentukan jalan peluru
atau adanya udara retroperitoneum.
b. IVP atau Urogram Excretory dan CT Scanning
Ini di lakukan untuk mengetauhi jenis cedera ginjal yang ada.
c. Uretrografi.
Di lakukan untuk mengetauhi adanya rupture uretra.
d. Sistografi
Ini digunakan untuk mengetauhi ada tidaknya cedera pada kandung kencing,
contohnya pada fraktur pelvis dan trauma non-penetrasi
2. Penanganan pada trauma benda tumpul di rumah sakit :
a. Pengambilan contoh darah dan urine
Darah di ambil dari salah satu vena permukaan untuk pemeriksaan
laboratorium rutin, dan juga untuk pemeriksaan laboratorium khusus seperti
pemeriksaan darah lengkap, potasium, glukosa, amilase.
b. Pemeriksaan rontgen
Pemeriksaan rongten servikal lateral, toraks anteroposterior dan pelvis adalah
pemeriksaan yang harus di lakukan pada penderita dengan multi trauma,
mungkin berguna untuk mengetahui udara ekstraluminal di retroperitoneum
atau udara bebas di bawah diafragma, yang keduanya memerlukan laparotomi
segera.
c. Study kontras urologi dan gastrointestinal
Dilakukan pada cedera yang meliputi daerah duodenum, kolon ascendens atau
decendens dan dubur (Hudak & Gallo, 2001).
Daftar Pustaka

Brunicardi, F.C., et al. (2006). Schwartz`s Manual of Surgery. United States of


America, McGraw Hill Companies, Inc.

Desie, N. et al. (2012). Intra-Abdominal Pressure Measurement Using the Foley


Manometer does not Increase the Risk for Urinary Tract Infection in Critically
Ill Patients. Annals of Intensive Care, 2 (Suppl 1):S10.

Hee, R.V. (2007). Historical Highlights in Concept and Treatment of Abdominal


Compartment Syndrome. Acta Clinica Belgica, 62, Supplement 1, 9-15.

Kirkpatrick et al., (2013). Intra-Abdominal Hypertension and The Abdominal


Compartment Syndrome: Updated Consensus Definitions and Clinical Practice
Guidelines from the World Society of The Abdominal Compartment Syndrome.
Intensive Care Med, 39, 1190–1206. doi: 10.1007/s00134-013-2906-z.
Malbrain, M.L.N.G., Laet, D., Cheatham, M. (2007). Consensus Conference
Definitions and Recommendations on Intra-Abdominal Hypertension (IAH)
and The Abdominal Compartment Syndrome (ACS) -The Long Road to the
Final Publications, How Did We Get There? Acta Clinica Belgica, 62,
Supplement 1, 44-59.

McQuillan, K. A., Makic, M. B., & Whalen, E. (2009). Trauma Nursing : From
Resuscitation Through Rehabilitation. Missouri: Elsevier Inc.

Waele, D., Laet, D., Malbrain, M.L.N.G. (2007) . Rational Intraabdominal Pressure
Monitoring: How To Do It?. Acta Clinica Belgica, 62, Supplement 1, 16-25.

Anda mungkin juga menyukai