Alumni
Mei Amelia R - detikNews
Share 0TweetShare 015 komentar
Jakarta - Tawuran antar pelajar di Bekasi, Jawa Barat, mengakibatkan satu orang
meninggal dunia dan satu lainnya mengalami luka bacok. Polisi mengatakan tawuran
itu ditunggangi oleh alumni.
"Aksi tawuran tersebut ditunggangi oleh beberapa alumni dari SMA Insan Bina Kamil
Jatikramat," kata Kapolres Bekasi Kota Kombes Hero Hendrianto Bachtiar kepada
detikcom, Minggu (12/3/2017).
Tawuran di Kelurahan Jatibening, Pondok Gede, Kota Bekasi, terjadi Sabtu (11/3)
sekitar pukul 13.30 WIB. Saat itu, korban luka, Abigail yang pulang sekolah disuruh
kumpul oleh 11 alumni sekolah Bina Insan Kamil inisial B, I, F, Y, U, A, G, D, L, K dan I.
Lalu, Abigail bersama 40 orang rekannya berjalan kaki dari arah Jatikramat menuju
Cikunir. Mereka lalu bertemu dengan rombongan korban meninggal, Edi Gilang
Febriyanto, dan rekan-rekannya dari SMK Abdi Karya sebanyak 50 orang di wilayah
Kelurahan Jatibening, Pondok Gede, Bekasi.
Tawuran antarpelajar itu kembali terjadi di Jl. Raya Kodau, Jatimekar, Jatiasih, sekitar
pukul 14.15 WIB. Akibatnya, korban Abigail mengalami luka bacok di bagian punggung
kiri dan lecet di pundak kanan.
Edi Gilang lalu diantar temannya ke RS Mitra Makmur pukul 14.30 WIB dan sudah
dalam keadaan meninggal. Sementara pukul 14.40 WIB, korban Abigail diantar
rekannya ke rumah sakit yang sama.
Kasus kekerasan seksual dengan modus baru menggunakan gagang cangkul, dengan pelaku
anak telah divonis 10 tahun oleh Pengadilan. Kasus ini cukup menyita perhatian publik di
tengah Presiden serius merespon maraknya kejahatan seksual terhadap anak, hingga
menerbitkan Perppu, yang dikenal dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak.
RA, (16 tahun), mengakui ikut melakukan pembunuhan sadistis terhadap Enno Farihah, 19
tahun, karyawan pabrik plastik di Kosambi, Tangerang, secara sadar. Pelajar kelas III sekolah
menengah pertama itu tega membunuh lantaran kesal karena korban menolak berhubungan
intim.
Anak sebagai pelaku tindak pidana masih menjadi masalah serius di Indonesia. Hasil pantauan
KPAI Tahun 2015 di 7 Provinsi dengan sampel 134 anak berhadapan dengan hukum (ABH)
yang berada di LAPAS ditemukan fakta sebagai pelaku pencurian 32%, pelaku kekerasan
seksual 30%, pelaku pembunuhan 21 %. Meski dari sisi kuantitas, tentu lebih banyak generasi
Indonesia yang berkarakter baik, dibandingkan anak yang mengalami masalah perilaku, namun
potret kasus ini menandakan kerentanan anak menjadi pelaku tindak pidana tergolong tinggi,
jenis tindak pidana beragam dan modusnya semakin canggih.
Penyimpangan Perilaku
Perilaku menyimpang adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang
berlaku dalam suatu sistem sosial. Setidaknya terdapat 5 tipologi penyimpangan perilaku pada
anak, yaitu: penyimpangan primer, penyimpangan sekunder, penyimpangan individu,
penyimpangan kelompok dan penyimpangan situasional.
Anak yang menunjukkan tindakan penyimpangan temporer ini masih dapat ditolerir. Misalnya:
siswa membolos atau mencontek pekerjaan temannya. Karakteristik dari penyimpangan primer
antara lain: bersifat sementara, gaya hidupnya tidak didominasi oleh perilaku menyimpang,
kesalahannya masih dapat ditolerir.
Ketiga, penyimpangan individu yaitu jenis penyimpangan yang dilakukan secara perorangan
oleh anak. Penyimpangan ini ditunjukkan anak dengan melakukan perbuatan yang
menyimpang dari norma sistem sosial. Misalnya: siswa mencuri uang milik temannya, padahal
norma sosial telah melarangnya.
Kelima, penyimpangan situasional. Penyimpangan jenis ini disebabkan oleh pengaruh situasi
yang sedang terjadi. Situasi yang dimaksud yaitu situasi atau keadaan di luar kendali seorang
siswa. Misalnya: awalnya seorang tidak berniat melakukan tawuran, namun karena dipaksa dan
diancam oleh senior, maka terpaksa mengikuti tawuran.
Melihat ragam penyimpangan tersebut, menunjukkan bahwa perilaku menyimpang pada anak
terkadang bersifat temporal, sebagian telah menjadi kebiasaan, tak hanya dilakukan secara
individu, namun juga dilakukan secara berkelompok.
Kesulitan mencari informasi baru, anak lebih memilih Google daripada bertanya kepada
orangtua. Bagi orangtua yang terbatas waktu bertemu dengan anak, membuat anak menjadikan
pengasuh dan orang sekitar sebagai figur pengganti dan sumber nilai.
Menurut William F Ogburn (Goode,2007: 215) terjadinya perubahan sosial dan perkembangan
teknologi yang pesat menjadi faktor utama terjadinya pergeseran peran orangtua. Menurutnya,
keluarga modern telah kehilangan fungsinya karena adanya industrialisasi.
Industrialisme modern telah berpengaruh terhadap peran ibu, satu sisi ibu memiliki kebebasan
ekonomi, namun di pihak lain tetap berperan mengurus tugas-tugas keluarga termasuk
pengasuhan. Mengingat interaksi ibu dengan anak terbatas, seringkali kaum ibu memilih pola
memanjakan daripada memandirikan. Hal ini sebagai bentuk pilihan kompensasi, agar anak
dekat dengan orangtua.
Pergeseran pola pengasuhan orangtua dewasa ini, setidaknya terpotret ke dalam dua tipologi:
Pertama, pengasuhan permissive-indulgent adalah suatu gaya pengasuhan di mana orang tua
terlibat dalam kehidupan anak, tetapi menetapkan sedikit kendali atas mereka. Pengasuhan
jenis ini diasosiasikan dengan kurangnya kemampuan pengendalian diri anak, karena orangtua
cenderung membiarkan anak-anak mereka melakukan apa saja yang mereka inginkan,
akibatnya anak-anak tidak pernah belajar mengendalikan perilaku mereka sendiri dan selalu
mengharapkan agar semua kemauannya dituruti.
Kecenderungan proses berkeluarga yang terjadi dewasa ini lebih mekanistis, sehingga peran
pengasuhan orangtua terjadi distorsi. Aktivitas orangtua yang sangat sibuk meminimalisir
proses sosialisasi dengan anak. Adanya lembaga non-keluarga seperti: tempat penitipan anak,
kelompok bermain, taman kanak-kanak dan sekolah telah menyedot sebagian kehidupan anak
dari proses di dalam keluarga. Dengan demikian posisi keluarga sebagai lingkungan pertama
dan utama bagi anak mengembangkan pribadinya kini bahkan mulai tergeser posisinya oleh
sekolah dan lingkungan sosialnya.
Orangtua hebat di era kini, berbeda dengan masa lampau. Dulu, orangtua menjadi figur
panutan anak dalam keluarga, namun dewasa ini posisi orangtua cenderung terjadi distorsi.
Proses belajar sosial anak seringkali lebih banyak kepada di luar figur orangtua.
Media, game, teman sebaya serta pengasuh merupakan sumber belajar sosial yang lekat
dengan anak. Jika sebelumnya, bentakan, cubitan, ancaman dalam mendidik anak seringkali
dipahami sebagai cara yang tepat, namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan,
gaya pengasuhan demikian tak direkomendasikan lagi, karena menimbulkan efek negatif bagi
tumbuh kembang anak.
Menjadi orangtua merupakan pilihan hidup dan hampir dipastikan semua pasangan ingin
memiliki buah hati. Namun orangtua hebat dewasa ini tidaklah mudah, karena dihadapkan
kompleksitas tantangan dan hambatan, baik bersifat internal maupun eksternal. Setidaknya,
terdapat 6 (enam) perilaku positif sebagai pondasi menjadi orangtua hebat, yakni:
Pertama, mengembangkan kelekatan. Munculnya ragam kasus kriminal yang melibatkan anak
sebagai pelaku penting menjadi perhatian. Sebuah riset berjudul "A Focused on Child Abuse in
Six Selected Provinces in Indonesia" ditemukan perlakuan salah pada anak (maltreated)
ternyata sebagian besar sebagai akibat dari pola asuh dalam keluarga.
Kualitas kelekatan anak dengan orang tua merupakan sumber emosional dan kognitif bagi
anak. Selama ini orang seringkali menyamakan kelekatan dengan ketergantungan
(dependency), padahal mengandung makna berbeda. Ketergantungan anak pada figur tertentu
timbul karena tidak adanya rasa aman. Anak tidak dapat melakukan otonomi jika tidak
mendapatkan rasa aman. Hal inilah yang akan menimbulkan ketergantungan pada figur tertentu
sedangkan kelekatan adalah kepercayaan yang tumbuh yang dapat memberikan ketenangan.
Sebagian besar anak telah membentuk kelekatan dengan pengasuh utama (primary care giver)
dengan proporsi 50% pada ibu, 33% pada ayah dan sisanya pada orang lain (Sutcliffe, 2002).
Kualitas kelekatan mempengaruhi konstruksi mental, performa pengendalian diri dan
keterampilan sosial. Beberapa penelitian membuktikan bahwa anak yang memiliki kelekatan
aman dalam pengasuhan akan menunjukkan kompetensi sosial baik, lebih mampu menangani
tugas sulit serta tidak cepat berputus asa. Sebaliknya, anak yang mengalami gangguan
kelekatan (attachment disorder) dengan figur lekatnya, akan membuat anak mengalami
masalah sosial dan perilaku menyimpang.
Kedua, menghindari ketidakhadiran ayah (fatherness). Fatherless adalah ketiadaan peran dan
figur ayah dalam kehidupan seorang anak baik secara fisik maupun psikologis. Performansi
perilaku anak, sangat dipengaruhi kehadiran seorang ayah.
Dampak fatherless pada anak, di antaranya: memiliki masalah dengan gangguan kecemasan,
depresi, perilaku menyimpang dam menurunkan performansi akademik di sekolah, rendah diri
(self-esteem), perasaan marah (anger), rasa malu (shame), merasa kehilangan (lost) dan
rendahnya kontrol diri (self-control), (Kruk, 2012).
Di lain pihak, penelitian terhadap kerentanan keluarga dan survei well-being anak, ditemukan
bahwa seorang ayah yang memiliki anak dengan lebih dari satu pasangan akan mempengaruhi
kesehatan anak saat remaja dan penyimpangan perilaku, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Keberadaan ayah dan kesetiaan ayah untuk tidak berbagi dengan anak dengan ibu
yang lain, akan memberikan well-being pada diri anak yang berujung pada kualitas
kesehatannya.
Ketiga, mengembangkan harmoni dan kasih sayang. Menurut Alfie Kohn (2015), cinta yang
tulus dari kedua orangtua akan lebih efektif untuk mengarahkan, mendidik serta membuat anak
lebih bertanggung jawab. Jika oangtua yang memberikan ketulusan tanpa syarat pada anaknya,
maka anak akan tumbuh hormat, kontrol diri tinggi dan memiliki mekanisme filter perilaku yang
kuat.
Sementara, penelitian kriminalitas usia anak di Amerika Serikat menemukan bahwa pelaku
kejahatan oleh anak cenderung dipengaruhi oleh faktor kondisi keluarga yang tidak harmonis,
tanpa pengawasan yang cukup serta sering menjadi korban kekerasan dan pengabaian (Brown,
2010).
Keempat, internalisasi nilai karakter sejak dini. Setiap anak yang lahir di bumi, ditakdirkan
berkarakter baik, perbedaan proses belajar sosial yang menjadikan satu sama lain berbeda
perkembangan perilakunya.
Menurut Freud (Santrock, 2012) kepribadian dasar seseorang dibentuk dalam kurun waktu lima
tahun dari kehidupan, sehingga pengalaman masa awal mempunyai peran yang lebih penting
dibandingkan dengan masa selanjutnya. Maraknya, anak menjadi pelaku kriminal, kejahatan
seksual, pembunuhan, tidak semata-mata karena proses belajar sosial yang diperoleh di luar
institusi keluarga, namun sebagai dampak dari pola asuh saat usia dini. Konsekuensinya,
orangtua penting mengenalkan nilai kebaikan, membiasakan kecintaan kepada hal-hal yang
baik dan berperilaku baik sejak usia dini.
Kelima, menjadi model yang tepat untuk anak. Studi Bandura ditemukan bahwa keluarga
secara sistematis dapat membentuk pola ingatan yang tergambar dalam kebiasaan bertingkah
laku anak melalui peniruan (imitating) dan pemodelan (modeling).
Namun, seringkali perilaku agresif orangtua tanpa disadari telah menjadi model bagi anak
dalam proses belajar sosialnya. Hasil penelitian Scholte (2006) menemukan remaja berusia 15
tahun yang terlibat perkelahian, kenakalan remaja, perilaku tindak pidana tampaknya
berhubungan erat dengan teman sebaya yang mengalami masalah dalam pengasuhan.
Keenam, mengembangkan literasi media pada anak. Tak dapat dipungkiri, 'persahabatan'
media dengan anak semakin erat. Saat media menampilkan muatan edukatif, maka stimulasi
performansi kepribadian anak cukup positif.
Sebaliknya, adanya tampilan di layar kaca yang sarat dengan kekerasan, begal, pelecehan
seksual dan pembunuhan, maka perlu diimbangi kemampuan literasi media yang memadai.
Menurut Myers (2012) muatan kekerasan yang muncul di media bisa berdampak pada
keterbangkitan fisik (arousal dan memicu perilaku agresif yang berhubungan dengan kekerasan
(violence-related).
Konsekuensinya, penumbuhan budaya literasi media perlu ditanamkan pada anak sejak dini.
Literasi media merupakan "ability to access, analize, evaluate and communicate the content of
media messages". Literasi media merupakan upaya menanamkan kemampuan anak untuk
memahami, menganalisis dan memfilter pencitraan yang ada pada media. Semoga...!
Faktor terjadinya tawuran antar pelajar
Faktor penyebab terjadinya tawuran antar pelajar dibagimenjadi dua, yaitu : faktor internal dan
eksternal.
1. Faktor intenal
a. Ingin menonjolkan kebenaran diri sendiri baik dihadapan temen sesekolah dan ataupun dimata
STM menjadi lawan.
b. Ingin membalaskan rasa sakit hati, kepada orang yang melecehkan
c. Tidak mau direndahkan oleh teman-teman
d. Memanfaatkan waktu untuk mencari pengalaman, baik sifat positif maupun negatif (tawuran)
karena menurutnya tidak akan tau benar jika tidak mengenal salah.
2. Faktor ekstern
a. Bujukan teman
b. Dipicu sekolah lain
c. Seragam sekolah dipakai sekolah lain
d. Seragam sekolahnya ditempel pantat, dikaki dan sepatu
e. Sekolah lain menantang untuk ketemuan disuatu tempat
f. Diskomunikasi antar sekolah dan orang tua
g. Lewat lagu-lagu
D. Dampak tawuran
Adapun dampak dari tawuran yang dia rasakan antara lain adalah dampak positif dan negative
1. Dampak positif
a. Merasa puas apabila mengalahkan lawan pada saat itu
b. Diri dan komunitas dikatakan paling kuat, paling tangguh,paling kompak ,dan paling disegani
oleh pihak lawan apabila lawan telah dikalahkan
c. Baik itu nama sendiri dan komunitas terkenal oleh pihak lawan apabila telah mengalahan lawan
tersebut.
d. Bebas bergerak dan tidak terkekang apabila lawannya telah di kalahkan
e. Tidak ada yang melecehkan lagi
2. Dampak negatif
a. Kalau ketahuan dari pihak sekolah otomatis kena sanksi yang sangat berat (contohnya di
tampar,di pusap, di telanjangi dan di jemur 1 hari)
b. Di marahi masyarakat karena mungkin meresahkan masyarakat merasa di resahkan
c. Di tangkap polisi
d. Apabila ketahuan oleh orang tua di asingkan dari keluarga dan menjadi gelandangan
e. Dan yang paling patal bisa menyebabkan korban jiwa
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tawuran adalah perkelahian secara massal yang dilakukan sekelompok pelajar antar
kelompok pelajar lainnya. Tawuran termasuk salah satu gejala sosial pada kenakalan remaja.
Gejala sosial yang seperti ini sudah sangat jelas melanggar norma dan nilai dalam masyarakat.
Tawuran ini terjadi akibat konflik antar satu sekolah, entah karena perasaan solidaritas antar
siswa dan sebagainya. Tawuran antar pelajar merupakan gejala sosial yang serius yang dapat
mengakibatkan korban yang tidak bersalah dan dapat merusaka benda-benda yag ada disekitar.
Dan tawuran antar pelajar ini terjadi turun temurun pada sekolah tersebut.
B. Saran
Kami menyarankan untuk para pembaca untuk mencari informasi lebih banyak lagi agar
menambah pengetahuan dan wawasan tentang tawuran antar pelajar. Karena dalam tawuran
pelajar sangat tidak baik bagi generasi bangsa, lebih tepatnya merugikan diri sendiri dan orang
lain. Dampak yang terjadinya tawuran antar pelajar pun akan mengakibatkan korban jiwa dan
merusak fasilitas-fasilitas yang ada disekitarnya.
Analisa Kasus :
Kenakalan yang sering terjadi di kalangan remaja bukan terjadi begitu saja, contohnya saja
seperti pembahasan pada berita ini “tawuran antar pelajar” . tawuran antar pelajar banyak
dipicu oleh beberapa faktor, misalnya :
- Rasa kesetiakawanan yang berlebihan, karena rasa kesetiakawanan ini bisa menyebabkan hal
buruk juga . seperti contoh kasus di berita ini mungkin bisa terjadi tawuran karena secara tidak
sengaja tersenggol saat berjalan di terminal atau saat papasan dijalan, karena dipalak oleh
sekolah lain, atau bisa terjadi karena saling rebutan pacar .
- Adanya masalah yang sudah mengakar dalam artian ada sejarah yang menyebabkan pelajar-
pelajar dua sekolah saling bermusuhan .
- Jiwa Premanisme yang muncul di kalangan pelajar . biasanya jiwa premanisme ini muncul
karena faktor lingkungan sekolah yang kurang baik atau karena adanya suatu oknum (biasanya
alumni sekolah) yang secara sengaja menciptakan pola pikir kalangan remaja untuk bertindak
seperti seorang preman .
- Adanya Transaksi jual beli obat-obatan terlarang seperti narkoba . karena obat-obatan terlarang
sudah banyak dikonsumsi oleh pelajar sekolah .
Ada juga beberapa faktor lain yang memicu terjadinya kekerasan antar pelajar, misalnya dari faktor
internal dan eksternal contohnya :
Masa remaja adalah masa transisi menuju kedewasaan, sehingga emosional anak remaja sulit untuk
dikendalikan, sehingga sering timbul kesalahpahaman antar kalangan remaja (pelajar) yang
mengakibatkan hal- hal buruk terjadi baik dalam lingkungan sekolah, lingkungan keluarga bahkan
lingkungan sekitar . tawuran pun dapat menimbulkan dampak positif dan negatif bagi pelajar,
misalnya dampak positif dari tawuran :
1. Kalau ketahuan dari pihak sekolah secara otomatis akan dikenakan sanksi yang sangat berat ( di
jemur di tengah lapangan sekolah selama 1 hari, di skorsing pihak sekolah, apabila pelajar
memiliki beasiswa akan dicabut beasiswanya, dan lain lain).
2. Dimarahi masyarakat sekitar, karena telah meresahkan masyarakat sekitar dan merusakan lapak
dagang sekitar .
3. Ditangkap polisi dan diproses sesuai ketentuan yang berlaku .
4. Dimarahi orang tua, mungkin bisa diasingkan oleh keluarga .
5. Adanya korban jiwa .
Tawuran ini merupakan gelaja sosial pada kenakalan remaja, yang sudah sangat jeals melanggar norma
dan nilai masyarakat . tawuran ini terjadi akibat konflik antar sekolah, entah karena solidaritas/rasa
kesetiakawanan yang berlebihan antar siswa, dapat mengakibtakan adanya korban yang tidak bersalah
dan merusak fasilitas umum dijalan sekitar . tawuran antar pelajar ini terjadi secara turun temurun antar
sekolah tersebut .
Peran sekolah, lingkungan keluarga dan lingkungan sekitar juga sangat berpengaruh untuk mengatasi
kenakalan yang sering terjadi dikalangan remaja sekolah(pelajar), misalnya sekolah mewajibkan kepada
siswa/i mengikuti kegiatan yang diadakan sekolah (ekstrakulikuler, kesenian, olahraga), sekolah
mengadakan pertandingan atau acara kesenian bersama di antara sekolah-sekolah yang “saling
bermusuhan”, orang tua menanamkan dispilin yang baik, memberikan kebebasan bertanggung jawab,
orang tua harus bisa meluangkan waktu bersama anak-anaknya dan memberikan pemahaman tentang
kehidupan beragama dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari, mengikuti kegiatan yang
bermanfaat di lingkungan sekitar seperti mengikuti karang taruna, ikut kerja bakti, mengikuti sosisalisasi
yang diadakan lingkungan sekitar .
Kenakalan remaja bukan tercipta karena keinginan dari diri sendiri, bisa terjadi karena kurangnya
pengawasan dari orang tua, pihak sekolah bahkan karena pengaruh faktor lingkungan yang kurang baik
bagi perkembangan emosional dan pola pikir remaja masa kini . kenakalan remaja pada mas kini
sangatlah memprihatinkan, semua bisa terjadi diluar kendali . peran serta keluarga, sekolah dan
lingkungan ini lah yang harus mulai kita rubah, mulai dari hal yang kecil seperti menanamkan nilai
agama, sikap demokratis, saling menghargai, menciptakan suasana yang hangat dan bersahabat
sehingga secara perlahan pola pikir dan sikap seorang anak remaja bisa menjadi kearah yang lebih baik .
1. Pengaruh Pergaulan
Di sekolah, ada beberapa kelompok siswa. Ada kelompok orang yang rajin dan cerdas seperti
mereka yang selalu juara kelas, anggota OSIS, dan mereka yang selalu mengikuti berbagai
perlombaan. Ada kelompok orang yang cerdas namun tidak terlalu ingin mengikuti hiruk pikuk
kegiatan sekolah. Mereka biasanya lebih suka bermain game dengan laptopnya atau hanya
sekedar bergaul dengan teman-temannya. Yang terakhir, ada kelompok orang yang bisa
dikatakan “salah pergaulan”. Mereka biasanya membentuk geng dan suka melanggar peraturan
sekolah. Nah, kelompok yang terakhir inilah yang seringkali mengadakan tawuran. Meskipun
demikian, ada juga orang dari kelompok itu yang ingin “tobat”. Namun karena tidak diterima di
kelompok yang lebih baik, orang tersebut akan kembali ke kelompok gengnya.
2. Gengsi
Gengsi sering menjadi alasan mengapa seseorang ikut tawuran. Orang yang tidak mau ikut
tawuran dianggap lemah, penakut, dan akan menjadi bulan-bulanan kelompoknya. Tawuran
dianggap sebagai ajang eksistensi dan gagah-gagahan.
5. Minuman Keras
Memang cukup aneh bila ditemukan anak dibawah umur sudah minum minuman keras. Yang
harus dipertanyakan darimana minuman tersebut didapat? Apakah penjual minuman keras
tidak mengerti aturan pembatasan usia atau hanya semata-mata untuk mencari uang? Saat
dalam kondisi mabuk, siswa bisa saja tanpa sadar menuju ke “markas geng” sekolah lain dan
mengejek/menantang mereka sehingga terjadilah tawuran.
6. Pengaruh Keluarga
Ketika anggota gengnya terlibat karena pengaruh lingkungan, para pemimpinnya biasanya
dipengaruhi oleh lingkungan keluarga. Mungkin keluarganya broken atau ayahnya menjadi
anggota geng/ormas anarkis. Maka dari itulah dia mencari perhatian dengan menjadi ketua
geng yang sering sekali memprovokasi aksi tawuran.
7. Tumbuhnya Jiwa Premanisme
Mental sebagian siswa yang ingin tampil keren, punya banyak uang, tapi tidak perlu kerja juga
menjadi penyebab terjadinya tawuran. Mereka biasanya suka memalak siswa yang lemah. Nah,
ketika siswa yang dipalah tersebut ternyata merupakan anggota geng lain, siswa tersebut pasti
akan melapor ke ketuanya sehingga terjadilah tawuran.
Bullying tidaklah sama dengan occasional conflict atau pertengkaran biasa yang umum terjadi pada
anak. Konflik pada anak adalah normal dan membuat anak belajar cara bernegosiasi dan bersepakat
satu sama lain. Bullying merujuk pada tindakan yang bertujuan menyakiti dan dilakukan secara
berulang. Sang korban biasanya anak yang lebih lemah dibandingkan sang pelaku.
Menurut Dan Olweus, Author of Bullying at School Bullying Bisa dibagi menjadi dua bagian besar yaitu :
1. Direct bullying : intimidasi secara fisik, verbal.
2. Indirect Bullying: isolasi secara sosial.
Bullying itu sangat menyakitkan bagi si korban. Tidak seorangpun pantas menjadi korban bullying.
Setiap orang memiliki hak untuk diperlakukan dan dihargai secara pantas dan wajar. Bullying memiliki
dampak yang negatif bagi perkembangan karakter anak, baik bagi si korban maupun pelaku.
Di sisi lain, apabila dibiarkan, pelaku bullying akan belajar bahwa tidak ada risiko apapun bagi mereka
bila mereka melakukan kekerasan, agresi maupun mengancam anak lain. Ketika dewasa pelaku
tersebut memiliki potensi lebih besar untuk menjadi preman ataupun pelaku kriminal dan akan
membawa masalah dalam pergaulan sosial.
Tentu kaitan masih ingat kasus yang terjadi pada STPDN /IPDN yang sampai menelan korban jiwa. Dan
entah sudah berapa ratus dan mungkin bahkan ribuan dan jutaan orang yang pernah mengecap
pendidikan di STPDN/IPDN yang rusak mental dan jiwanya karena telah di Bullying Oleh Seniornya dan
pada akhirnya sebagai pembalasan mereka kembali melakukan hal yang sama seperti kakak seniornya,
melakukan Bullying. Dan itu akan terus terjadi secara turun temurun dan lembaga pendidikan yang
Notabene nya adalah pencetak Pejabat.
Bullying tidak terjadi juga antar pelajar dan senior tapi juga kerap terjadi oleh guru dan Mungkin saja
tidak terjadi bunuh diri apabila siswa yg menunggak SPP tidak merasa dipermalukan dan disisihkan di
hadapan teman sekolahnya. Baik itu karena berulangkali harus menghadapi pemanggilan kepala sekolah
maupun perlakuan yang berbeda dari pihak sekolah terhadapnya. Bisa jadi tidak akan terjadi lagi “mati
konyol” akibat proses penerimaan siswa baru, apabila kita tidak menganggap praktek perploncoan
sebagai hal yang biasa.
Bentuk Bully terbagi dua, tindakan langsung seperti menyakiti, mengancam, atau menjelekkan anak
lain. Sementara bentuk tidak langsung adalah menghasut, mendiamkan, atau mengucilkan anak lain.
Apapun bentuk Bully yang dilakukan seorang anak pada anak lain, tujuannya adalah sama, yaitu untuk
“menekan” korbannya, dan mendapat kepuasan dari perlakuan tersebut. Pelaku puas melihat
ketakutan, kegelisahan, dan bahkan sorot mata permusuhan dari korbannya.
Karakteristik korban Bully adalah mereka yang tidak mampu melawan atau mempertahankan dirinya
dari tindakan Bully. Bully biasanya muncul di usia sekolah. Pelaku Bully memiliki karakteristik tertentu.
Umumnya mereka adalah anak-anak yang berani, tidak mudah takut, dan memiliki motif dasar
tertentu. Motif utama yang biasanya ditenggarai terdapat pada pelaku Bully adalah adanya agresifitas.
Padahal, ada motif lain yang juga bisa dimiliki pelaku Bully, yaitu rasa rendah diri dan kecemasan.
Bully menjadi bentuk pertahanan diri (defence mechanism) yang digunakan pelaku untuk menutupi
perasaan rendah diri dan kecemasannya tersebut. “Keberhasilan” pelaku melakukan tindakan bully
bukan tak mungkin berlanjut ke bentuk kekerasan lainnya, bahkan yang lebih dramatis.
Ada yang menarik dari karakteristik pelaku dan korban Bully. Korban Bully mungkin memiliki
karakteristik yang bukan pemberani, memiliki rasa cemas, rasa takut, rendah diri, yang kesemuanya itu
(masing-masing atau sekaligus) membuat si anak menjadi korban Bully. Akibat mendapat perlakuan ini,
korban pun mungkin sekali menyimpan dendam atas perlakuan yang ia alami.
Selanjutnya, bukan tak mungkin, korban Bully, menjadi pelaku Bully pada anak lain yang ia pandang
sesuai dengan tujuannya, yaitu untuk mendapat kepuasan dan membalaskan dendam. Ada proses
belajar yang sudah ia jalani dan ada dendam yang tak terselesaikan. Kasus di sekolah-sekolah, dimana
kakak kelas melakukan Bully pada adik kelas, dan kemudian Bully berlanjut ketika si adik kelas sudah
menjadi kakak kelas dan ia kemudian melakukan Bully pada adik kelasnya yang baru, adalah contoh
dari pola Bully yang dijelaskan di atas.
Tindakan Bullying bisa terjadi dimana saja, terutama tempat-tempat yang tidak diawasi oleh guru atau
orang dewasa lainnya. Pelaku akan memanfaatkan tempat yang sepi untuk menunjukkan
“kekuasaannya” atas anak lain, agar tujuannya tercapai. Sekitar toilet sekolah, pekarangan sekolah,
tempat menunggu kendaraan umum, lapangan parkir, bahkan mobil jemputan dapat menjadi tempat
terjadinya Bullying.
Sebagai orang tua, kita wajib waspada akan adanya perilaku bullying pada anak, baik anak sebagai
korban atau sebagai pelaku. Beberapa hal yang dapat dicermati dalam kasus Bullying adalah :
Bagaimana mengenali anak yang diindikasi mengalami tindakan intimidasi di sekolahnya? Sejumlah tips
yang dirangkum Kompas.com dari berbagai sumber ini mungkin bisa membantu Anda. Ciri-ciri yang
harus diperhatikan di antaranya:
1. Enggan untuk pergi sekolah
2. Sering sakit secara tiba-tiba
3. Mengalami penurunan nilai
4. Barang yang dimiliki hilang atau rusak
5. Mimpi buruk atau bahkan sulit untuk terlelap
6. Rasa amarah dan benci semakin mudah meluap dan meningkat
7. Sulit untuk berteman dengan teman baru
8. Memiliki tanda fisik, seperti memar atau luka
Jika menemukan ciri-ciri seperti di atas, langkah yang harus dilakukan orangtua di antaranya:
1. Berbicara dengan orangtua si anak yang melakukan bully terhadap anak Anda
2. Mengingatkan sekolah tentang masalah seperti ini
3. Datangi konseling profesional untuk ikut membantu mengatasi masalah ini
Jika tindakan kekerasan ini masih terus berlanjut dan tidak ada respons yang baik dari sekolah,
pikirkanlah cara lain. Salah satu pilihan, jika memungkinkan, pindahkan sekolah anak Anda. Dalam
situasi yang ekstrem, mungkin perlu menghubungi polisi atau meminta perlindungan. Namun, hal yang
paling penting adalah mendengarkan komplain anak dan tetaplah membuka komunikasi kepada
mereka.
Bullying tidak boleh diabaikan mengingat dampak psikis dan mental terhadap anak sangat besar.
Berikut ini beberapa saran untuk mengetahui anak kita menjadi korban bullying atau tidak :
Ketahuilah bahwa seorang anak yang sedang diintimidasi kemungkinan besar akan memberitahu rekan
pertama, lalu orang tua, dan kemudian guru. "Selalu tahu siapa teman-teman anak Anda," kata Robin
D'Antona, pendiri Asosiasi Internasional Pencegahan Bullying. Dengan menjalin persahabatan dengan
teman anak kita, maka banyak "bocoran" yang akan disampaikannya tentang dia.
Tanyakan kepada anak kita secara rutin apakah dia suka sekolah. Jika seorang anak menjawab bahwa
ia "membenci" sekolah, tanyakan lebih dalam untuk mengetahui rincian apa yang membuatnya benci
sekolah. Apakah ia membenci akademisi? Bisakah dia tidak melihat papan tulis? Gambar dari sumber
sikap anak Anda ke sekolah.
Privasi berakhir saat keselamatan anak kita terancam di sekolah. Perhatikan apa yang mereka lakukan
di web, dan memeriksa ponselnya. Jika anak menginginkan buku harian, membeli buku dan sarankan
menyimpan di tempat yang sekiranya perlu, kita bisa juga mengaksesnya tanpa dia tahu. "Misalnya di
bawah kasur," kata D'Antona.
Ciptakan komunikasi yang harmonis dalam keluarga kita. Buatlah anak-anak bebas mengungkapkan
kata hatinya dan bisa terbuka untuk berbicara setiap saat. Ada kalanya kita harus kontak mata
dengannya saat berbiicara, ada kalanya anak juga lebih nyaman bercerita pada kita tanpa kontak mata.
"Perjalanan sambil mengobrol selama kita tengah menyetir, misalnya, membuat anak bebas
mengungkapkan apa saja," tambah D'Antona.
Salah satu bullying adalah bentuk penindasan. Penindasan sendiri bisa dengan atau tanpa kekerasan.
Bullying adalah perilaku yang diulangi dari waktu ke waktu yang secara nyata melibatkan ketidak-
seimbangan kekuasaan, yang lebih kuat menyerang kelompok anak-anak atau mereka yang kurang kuat.
Bullying dapat berupa pelecehan lisan atau penyerangan fisik, atau cara lain yang lebih halus, seperti
paksaan dan manipulasi. Bullying biasanya dilakukan untuk memaksa orang lain dengan rasa takut dan
ancaman. Bullying dapat dicegah jika anak-anak diajarkan keterampilan sosial agar mampu berinteraksi
dengan orang-orang. Hal ini akan membantu mereka untuk menjadi orang dewasa produktif, ketika
berinteraksi dengan orang-orang yang mengganggu. Bullying di sekolah dan tempat kerja juga disebut
sebagai penyalahgunaan rekan.
Karakter-karakter tertentu pada anak yang biasanya menjadi korban bullying, misalnya:
• Sulit berteman
• Pemalu
• Memiliki keluarga yang terlalu melindungi
• Dari suku tertentu
• Cacat atau keterbatasan lainnya
• Berkebutuhan khusus
• Sombong, dll.
Anak yang menjadi korban biasanya merasa malu, takut, tidak nyaman. Sehingga untuk membuat ia
kembali mampu menjalani kegiatannya sehari-hari seperti biasa, ia harus dibekali dengan “tools” yang
membuat ia yakin bahwa ia akan mendapatkan pertolongan. Ia harus tahu dan percaya bahwa guru
kelas dan temannya akan membantu, misalnya. Atau ia kemudian mendapatkan teman selama jam
istirahat atau kegiatan di luar kelas. Rasa percaya dirinya kembali dipupuk dengan memusatkan
perhatian pada hal-hal yang menjadi kelebihan dan potensinya. Yang terakhir ini biasanya berjakan
dengan sendirinya jika rasa aman sudah kembali dimiliki.
Bullying terjadi ketika seseorang merasa teraniaya, takut, terintimidasi, oleh tindakan seseorang baik
secara verbal, fisik atau mental. Ia takut bila perilaku tersebut akan terjadi lagi, dan ia merasa tak
berdaya mencegahnya. (Andrew Mellor, antibullying network, univ. of edinburgh, scotland)
Perilaku bullying di institusi pendidikan bisa terjadi oleh siswa kepada siswa, siswa kepada guru, guru
kepada siswa, guru kepada guru, orang tua siswa kepada guru atau sebaliknya, dan antarcivitas
akademika di institusi pendidikan/sekolah.
Solusi lain:
Blaming the Victim
Masalah bullying adalah masalah kita semua. Pemerintah, polisi, politisi, masyarakat, guru, orang tua,
dan siswa, mestinya memiliki kepedulian bersama dalam menyelesaikan masalah bullying ini.
Sayangnya, tidak sedikit orang yang menganggap masalah bullying sebagai masalah pelajar itu sendiri.
Karenanya, mereka selalu menganggap pelajar sebagai biang masalah. Ini merupakan sikap dan
tindakan yang dikenal dengan blaming the victim (menyalahkan korban).
Blaming the victim, sebenarnya mirip dengan cerita petani yang menemukan buah anggur yang ranum
di atas pohon. Tapi, pohonnya sangat tinggi. Sementara, si petani tidak bisa memanjat pohon itu. Lalu
si petani mencari bambu untuk memetiknya. Tapi, dia tidak menemukan bambu panjang yang bisa
mencapai buah anggur. Tak kehabisan akal, si petani melempari anggur dengan batu. Tapi tidak ada
yang kena. Akhirnya, si petani meninggalkannya, sambil bergumam, ”Hmmm, anggur itu pasti rasanya
masam.”
Blaming the victim, makanya perlu dihindari. Karena bukannya menyelesaikan masalah, melainkan
menghindar dari masalah. Blaming the victim, merupakan wujud dari ketidakmampuan (atau
ketidakmauan?) seseorang dalam menyelesaikan masalah.
Video berdurasi 37 detik itu tersebar sejak, Senin (2/5). Video diduga diambil siswi senior, tidak
diketahui kapan diambilnya.
Tapi dari video itu terucap kata-kata makian ke para siswi junior. "Perek perek perek," demikian kata
yang terucap.
Tidak lama terlihat ada siswi yang diguyur kepalanya dengan air di botol. Setelah itu ada siswi memakai
bra di luar baju sekolah, dan dipaksa merokok. Siswi itu terlihat menunduk dan mengusap matanya.
Belum diketahui motif siswi senior itu melakukan bullying.
Polsek Setiabudi Kompol Tri Yulianto yang dikonfirmasi memastikan bila bully dilakukan di SMA 3 Jakarta
di Setiabudi, Jaksel. Pihak kepolisian menyerahkan ke pihak sekolah untuk melakukan penyelesaian.
Sementara pihak Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang mendapat laporan sudah merespons
dan meminta agar video tak disebarkan lagi.
"Masyarakat jangan menyebarluaskan video tersebut. Itu adalah pidana dan akan melahirkan stigma
buruk," jelas Ketua KPAI Asrorun Niam, Selasa (3/5/2016).
Menurut Niam, sekolah harus mengambil langkah cepat untuk melakukan investigasi dan pembinaan.
"Ortu harus bertanggung jawab dan aparat harus sigap," ungkap Niam.
(ear/dra)
Jakarta - Kepala Sekolah (Kepsek) SMA 3 Jakarta Ratna Budiarti membenarkan adanya bullying di SMA 3
Jakarta. Menurutnya bullying itu terjadi akibat siswi kelas XII SMA 3 tidak setuju siswi kelas X SMA 3
pergi ke tempat hiburan malam hari.
"Sebenarnya hal itu (bullying) karena kakak kelas ingin menegur adik kelasnya. 4 Kakak kelas datang ke
kafe untuk menonton DJ di SCBD pada Sabtu (23/4/2016) malam. Kakak kelas melihat adik kelas dan
merasa belum pantas anak kelas 1 SMA pergi ke sana," ujar Ratna.
Ratna menyampaikan hal itu usai pertemuan orangtua murid, 4 siswi kelas XII pelaku bullying, 5 siswi
kelas X korban bullying, bersama 7 personel dari Polsek Setiabudi, di kantor Ratna, Jl Setiabudi, Jakarta
Selatan, Selasa (3/5/2016).
Ratna mengatakan, 4 siswa kelas X tersebut pergi ke SCBD bersama salah seorang orangtua siswi.
Karena itu Ratna memperbolehkan siswi-siswi tersebut datang ke tempat hiburan malam itu.
Menurut Ratna, 4 hari setelahnya yakni pada 28 April 2016, siswi kelas XII mencari dan memanggil 17
siswi kelas X dan XI untuk bertemu mereka di salah satu lokasi di depan gerbang sekolah sebagai bentuk
pengarahan perpisahan kelas XII, sepulang sekolah. 17 Siswi ini termasuk 4 siswi kelas X yang ditemui 5
siswi kelas XII di SCBD.
Setelah 17 junior itu datang, 4 siswi kelas X langsung di-bully seperti disiram, disuruh merokok dan
dipaksa memakai bra di luar seragam. Sementara 13 anak yang lain hanya menonton dan tidak mengadu
ke pihak manapun.
"Yang melihat kejadian ini pihak warung depan sekolah, satpam yang melihat rombongan keluar, dan
penjual jajanan sekolah yang melihat rombongan pergi di lokasi yang dibatasi tembok," kata Ratna.
Pihak sekolah, lanjut Ratna, baru mengetahui ada video yang diunggah ke salah satu media sosial pada
(1/5/2016) malam. Ratna langsung menghubungi Wakil Kepsek Bidang Kesiswaan untuk segera
mengkonfirmasi ke seluruh wali kelas dari kelas X hingga XII untuk mencari siswi yang berada di dalam
video tersebut.
Ratna kemudian memanggil 5 ortu pelaku bullying pada 2 Mei 2016. Kemudian hari ini semua orangtua
yang anaknya menjadi korban atau pelaku bullying juga dipanggil. 7 Personel dari Polsek Setiabudi juga
datang dalam pertemuan tersebut.
Dalam kesempatan itu, Ratna mengaku syok dengan adanya kasus ini. Setahun lalu pihak sekolah
membuat deklrasi anti bully dengan menggaet para alumni dan membuat Gerakan Anti Bully (Genab)
agar bisa mewujudkan sekolah anti bully.
"Setahun terakhir ini sejak saya menjabat kepsek itu sudah sangat jauh berkurang. Saya sudah tidak
mendengar lagi keluhan bullying. Makanya saya syok ketika hari Minggu (1/5/2016) dikirimi staf saya
unggahan video ke saya. Saya baru bisa memanggil pihak terkait, ortu dari kelima anak XII Senin
kemarin," ucap dia.
(nwy/nwk)
Pelaku bullying terhadap anak dapat dipidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) sebagaimana yang telah diubah olehUndang-
undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”) yakni pasal tentang perlakuan kekejaman, kekerasan atau
ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak.
Ulasan:
Bullying merupakan suatu aksi atau serangkaian aksi negatif yang seringkali agresif dan manipulatif,
dilakukan oleh satu atau lebih orang terhadap orang lain atau beberapa orang selama kurun waktu
tertentu, bermuatan kekerasan, dan melibatkan ketidakseimbangan kekuatan. Pelaku biasanya mencuri-
curi kesempatan dalam melakukan aksinya, dan bermaksud membuat orang lain merasa tidak
nyaman/terganggu, sedangkan korban biasanya juga menyadari bahwa aksi ini akan berulang
menimpanya. Demikian antara lain yang dijelaskan dalam artikel Bullying Pada Institusi Pendidikan
Ditinjau dari Sudut Pandang Hukum yang kami akses dari laman resmi Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Mawar Saron.
Anda spesifik bertanya soal bullying terhadap anak. Melihat dari bagaimana bullying itu dilakukan,
makaPasal 76C Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”) telah mengatur bahwa setiap
Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta
melakukan Kekerasan terhadap Anak. Bagi yang melanggarnya akan dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh
dua juta rupiah) [lihat Pasal 80 ayat (1) UU 35/2014].
Pasal 80 UU 35/2014:
(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak
Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
(3) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah).
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya.
Praktiknya, bullying kerap dialami anak di lingkungan sekolahnya. Menteri Koordinator Bidang
Kesejahteraan Raykat (Menko Kesra) –saat itu dijabat- HR. Agung Laksono dalam artikel Menko Kesra:
Anak Muda Sulit Diingatkan, Banyak Kasus Bullying Di Sekolah yang kami akses dari laman
resmi Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat mengatakan banyaknya kasus bullying
di sekolah akibat tontonan TV yang tidak mendidik. Tontonan TV kerap menampilkan adegan-adegan
kekerasan yang seharusnya disensor untuk anak-anak.
Jika bullying ini dilakukan di lingkungan pendidikan, maka kita perlu melihat juga Pasal 54 UU
35/2014yang berbunyi:
(1) Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak
kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga
kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan,
aparat pemerintah, dan/atau Masyarakat.
Ini artinya, sudah sepatutnya peserta didik di sekolah mendapatkan perlindungan dari
perilaku bully yang berupa tindak kekerasan fisik maupun psikis.
Apabila bullying itu dilakukan pada masa diselenggarakannya perpeloncoan di sekolah atau yang dikenal
dengan nama Masa Orientasi Sekolah (MOS), dasar hukum yang mengaturnya adalah Surat Direktorat
Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 1383/C.C4/MN/2010 tentang
Pelaksanaan MOS yang antara lain mengatakan bahwa agar kegiatan MOS berjalan sesaui dengan yang
diharapkan dan tidak terjadi bias, seperti adanya bullying, perpeloncoan, pemalakan, dan hal-hal negatif
lainnya; maka seluruh kegiatan MOS dilaksanakan, dibimbing, dan diawasi guru. Penjelasan lebih lanjut
dapat Anda simak dalam artikel Bolehkah Kakak Kelas Menghukum Adik Kelas?.
Walaupun atas tindak kekerasan tersebut ada sanksi pidana, bagaimanapun juga, menurut hemat kami,
pilihan jalur tuntutan pidana hendaknya dijadikan upaya hukum terakhir setelah upaya perdamaian
telah dilakukan. Sebagai contoh adalah dengan melalui jalur mediasi antara pelaku bullying dengan
korban. Dalam artikel Kronologi "Bullying" di SMA Don Bosco diberitakan soal pengakuan korban
yakni siswa baru yang diminta duduk dan menunduk. Satu per satu wajah siswa ditutup menggunakan
jaket. Kemudian, di antara mereka ada yang mengalami tindak kekerasan, antara lain ditempeleng,
dipukul, dan disundut rokok.
Pihak sekolah telah mengundang semua orangtua murid yang menjadi korban dan siswa senior sebagai
pelaku bullying yang diduga terkait untuk melakukan mediasi. Pihak sekolah mencoba mengonfrontasi
dan mencocokkan informasi berdasarkan keterangan korban.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana yang telah diubah
oleh Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak;
2. Surat Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 1383/C.C4/MN/2010
tentang Pelaksanaan MOS.
Referensi:
1. http://lbhmawarsaron.or.id/home/index.php/publikasi/materi-seminar-dan-penyuluhan/149-bullying-
pada-institusi-pendidikan-ditinjau-dari-sudut-pandang-hukum, diakses pada 16 Maret 2015 pukul 14.56
WIB.
2. http://www.kemenkopmk.go.id/artikel/menko-kesra-anak-muda-sulit-diingatkanbanyak-kasus-bullying-
di-sekolah#sthash.rE9tk9fP.dpuf, diakses pada 16 Maret 2015 pukul 17.56 WIB.
3. http://edukasi.kompas.com/read/2012/07/27/13213935/Kronologi.Bullying.di.SMA.Don.Bosco,diakses
pada 16 Maret 2015 pukul 18.11 WIB.