Anda di halaman 1dari 36

POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DESA

POLITIK HUKUM
PEMERINTAHAN
DESA
DI INDONESIA
Siti Khoiriah, S.H.I, M.H.
M.Iwan Satriawan, S.H., M.H

1
POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DESA

DAFTAR ISI
Halaman
PENGANTAR PENERBIT ........................................................................
PENGANTAR PAKAR ...............................................................................
MUKADIMAH ..............................................................................................
DAFTAR ISI ..................................................................................................
DAFTAR TABEL ........................................................................................
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
BAB I DASAR KONSTITUTIONALITAS PEMERINTAHAN DESA
A. Bentuk dan Susunan Negara .................................................
B. Konstitusi dan Negara ..............................................................
C. Dasar Konstitutionalitas Pemerintahan Desa ................

BAB II SEJARAH PENGATURAN PEMERINTAHAN DESA


A. Era Nusantara .............................................................................
B. Era Penjajahan Belanda ..........................................................
C. Era Penjajahan Jepang ............................................................
D. Era Orde Lama ............................................................................
E. Era Orde Baru .............................................................................
F. Era Reformasi ………………………………………………………..

BAB III PERUBAHAN KETATANEGARAAN INDONESIA


A. Amandemen UUD 1945 ..........................................................
B. Kebangkitan Masyarakat Adat .............................................
C. Kebangkitan Pemerintahan Desa .......................................
D. Munculnya Undang-Undang tentang Desa ......................

BAB IV KONSEPSI PEMERINTAHAN DESA


A. Istilah Pemerintahan ...............................................................
B. Kedudukan dan Kewenangan Pemerintahan Desa .....
C. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa ..............................
D. Hubungan Pemerintah dan Desa ........................................

BAB V DINAMIKA OTONOMI DESA


A. Kelembagaan Desa ...................................................................
B. Peraturan Desa ..........................................................................
C. Pendanaan Desa ........................................................................

DAFTAR PUSTAKA
POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DESA

INDEKS
BIODATA PENULIS

3
POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DESA

BAB I
DASAR KONSTITUTIONALITAS PEMERINTAHAN DESA

A. Bentuk dan Susunan Negara


Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup
sendiri. Manusia selalu membutuhkan makhluk yang lain. Maka
sejak awal manusia sudah hidup bersama, baik berkelompok
dalam bentuk kecil bahkan besar yang disebut dengan negara.
Sifat demikian merupakan konsekuensi manusia sebagai zoon
politicon (makhluk yang tidak lepas dari politik).Secara
sederhana, negara dapat diberikan pengertian sebagai kekuasaan
terorganisir yang mengatur masyarakat hukum untuk
mewujudkan tujuan-tujuan tertentu demi kesejahteraan
bersama1.
Dalam perkembangannya negara dapat dibedakan
berdasarkan dari bentuk dan susunannya. Bentuk negara adalah
merupakan batas antara peninjauan secara sosiologis dan
peninjauan secara yuridis mengenai negara. Disebut peninjauan
secara sosiologis yaitu apabila negara dilihat secara keseluruhan
(ganzhit) tanpa melihat isinya dan sebagainya. Disebut
peninjauan secara yuridis yaitu apabila negara hanya dilihat dari
isinya atau strukturnya2.
Berdasarkan hal tersebut maka bentuk negara secara
sosiologis terbagi menjadi dua bagian yaitu (a) negara
kesatuan;(b) negara federasi. Sedangkan jika ditinjau secara
struktur maka bentuk negara mengacu pada pembagian negara
monarkhi,tirani, aristokrasi, oligarkhi, plutokorasi, politea dan
demokrasi. Sedangkan susunan negara menurut Soehino terbagi
menjadi dua yaitu3:
1. Negara yang bersusunan tunggal, yang disebut dengan
negara kesatuan;

1 I Gede Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Ilmu Negara dan Teori
Negara,(Bandung:Reflika Aditama,2012),hlm.4
2 M.Kusnardi dan Bintan Saragih dalam Yulia Netta dan M.Iwan

Satriawan, Ilmu Negara (Dasar-dasar teori bernegara),Bandar


Lampung:PKK-PUU FH Unila,2013),hlm.66
3 Soehino dalam Edie Toet Hendratno,Negara Kesatuan, Desentralisasi,

dan Federalisme,(Yogyakarta:Graha Ilmu,2009),hlm.44


POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DESA

2. Negara yang bersusunan jamak, yang disebut dengan


negara federasi.
Negara Indonesia sendiri sesuai dengan bunyi UUD 1945
Pasal 1 (1) adalah “negara kesatuan yang berbentuk republik”.
Dinamakan negara kesatuan adalah apabila seluruh kemerdekaan
dan kedaulatan atas seluruh wilayah atau daerah dipegang
sepenuhnya oleh satu pemerintahan pusat.
Berbentuk republik, disebabkan kepada negara dan kepala
pemerintahan di Indonesia dipegang oleh seorang presiden
sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang dibantu
oleh seorang wakil presiden.
Negara kesatuan dalam perkembangannya dapat dibedakan
dalam 2 (dua) bentuk yaitu:
(1) negara kesatuan dengan sistem sentralisasi dimana asas
yang menghendaki bahwa segala kekuasaan serta urusan
pemerintahan itu menjadi milik penuh pemerintah pusat;
(2) negara kesatuan dengan sistem desentralisasi dimana
asas yang menghendaki bahwa segala kekuasaan serta
urusan pemerintahan itu dilaksanakan tidak hanya oleh
pemerintah pusat, melainkan juga kekuasaan tersebut
didistribusikan kepada pemerintah daerah demi untuk
mendekatkan pelayanan antara pemerintah dengan yang
diperintah (rakyat).
Saat ini tidak banyak negara yang mempraktikkan bentuk
negata kesatuan dengan sistem sentralisasi. Hal ini selain sudah
tidak efektif juga dikarenakan rentang kendali pemerintahan
menjadi jauh antara pemerintah dengan yang diperintah atau
antara pemerintah pusat dengan rakyatnya.Contoh adalah negara
Jerman di era Hitler atau Indonesia di era pemerintahan Soeharto.
Model pendelegasian wewenang dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah itulah yang kemudian dinamakan
dengan otonomi daerah. Menurut Pasal 1 ayat (6) UU No.23
Tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan UU No.9 Tahun
2015 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.23 Tahun 2014
tentang Pemerintah Daerah maka Otonomi daerah adalah
“hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia”

5
POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Sedangkan yang dimaksud dengan negara federal atau


negara serikat adalah suatu negara yang terdiri atas beberapa
negara bagian, tetapi setiap negara bagian tersebut tidak
berdaulat. Yang berdaulat adalah gabungan dari negara-negara
bagian itu. Dalam bentuk negara federal,setiap negara bagian
bebas untuk melakukan tindakan ke dalam, selama tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Federal.
Tindakan keluar, khususnya hubungan dengan negara lain, hanya
dapat dilakukan melalui atau oleh pemerintah federal4.

B. Konstitusi dan Negara

Perkataan “konstitusi”berarti pembentukan berasal dari


kata kerja “constituer” (Perancis) yang berarti membentuk.
Sementara itu istilah UUD merupakan terjemahan dari perkataan
Belanda “gronwet”.Dalam kepustakaan Belanda, selain grondwet
juga digunakan istilah constitutie. Kedua istilah tersebut
mempunyai pengertian yang sama5.
Konstitusi memiliki dua pengertian yaitu hukum dasar tertulis
(konstitusi tertulis) dan hukum dasar tidak tertulis (konstitusi
tidak tertulis). Hukum dasar yang tertulis disebut dengan
Undang-Undang Dasar dan hukum dasar yang tidak tertulis
disebut konvensi, yaitu kebiasaan ketatanegaraan atau aturan-
aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik
penyelenggaraan negara6.
Menurut Struycken dalam bukunya Het Staatsrecht van Het
Koninkrijk der Nederlanden menyatakan bahwa Undang-Undang
Dasar sebagai konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen
formal yang berisi7:
1. Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau;
2. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan
bangsa;

4 Deddy Ismatullah dan Asep A.Sahid Gatara,Ilmu Negara Dalam Multi


Perspektif,Bandung:Pustaka Setia,2007,hlm.113-114
5
Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, Yogyakrata:Total
Media,2007),hlm.31-32
6
Ahmad Sukardja, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
Dalam Prespektif Fikih Siyasah,(Jakarta:Sinar Grafika,2012),hlm.69
7
Struycken dalam Dahlan Thaib dkk, Teori dan Hukum
Konstitusi,(Jakarta:Rajwali Press,2012),hlm.54-55
POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DESA

3. Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan,


baik untuk waktu sekarang maupun untuk masa yang akan
datang;
4. Suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan
ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.

Menurut K.C Wheare, konstitusi adalah kerangka hukum


yang menetapkan kerangka dasar suatu negara dan mengatur
tentang susunan pemerintahan8.Sedangkan menurut James Bryce
mendefinisikan konstitusi sebagai a frame of political
society,organized through and by law,that is to say on in which law
has established permanent institutions with recognized functions
and definite right (suatu kerangka masyarakat politik (negara)
yang diorganisir dengan dan melalui hukum)9.Pada umumnya
para ahli di Barat khususnya di Eropa membedakan konstitusi
dalam arti formal dan konstitusi dalam arti materiil.
Konstitusi dalam arti formal adalah suatu konstitusi yang
menitikberatkan pada prosedur pembentukannya. Sehingga
konstitusi seperti ini selalu dianggap sebagai konstitusi yang rigid
atau flexibel tergantung dari syarat-syarat atau prosedur
pembentukannya. Sedangkan konstitusi dalam arti meteriil
adalah konstitusi yang mengatur mengenai asas-asas pokok yang
penting dalam struktur dan organisasi negara. Asas-asas pokok
ini seperti penerapan pembagian kekuasaan antara eksekutif,
legislatif dan yudikatif.
Keberadaan konstitusi dalam suatu negara mempunyai
peranan penting terkait dengan keberadaan konstitusi sebagai
hukum dasar yang mengatur pokok-pokok aturan untuk
menjalankan suatu negara. Konstitusi menjadi pegangan tidak
saja bagi warga negara melainkan juga pemerintah. Sedangkan
dalam negara-negara modern, keberadaan konstitusi disepakati
oleh seluruh elemen bangsa dalam menjalankan kehidupan
berbangsa dan bernegara.

8
K.C Wheare dalam Pataniari Siahaan, Politik Hukum Pembentukan
Undang-Undang Pasca Amandemen UUD 1945,(Jakarta:Konstitusi
Press,2012),hlm.26
9
James Bryce dalam Ahmad Sukardja,Op.Cit,hlm.70
7
POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DESA

C. Dasar Konstitutionalitas Pemerintahan Desa


Dalam UUD 1945 sebelum amandemen, ketentuan yang
mengatur tentang pemerintahan daerah diatur dalam Bab VI
UUD 1945 Pasal 18 yang berbunyi sebagai berikut:
“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil,
dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan
dengan undang-undang, dengan memandang dan
mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem
pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah
yang bersifat istimewa.”
Inti dari pasal 18 tersebut adalah dalam negara Indonesia
terdapat pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah tersebut
terdiri atas daerah besar dan daerah kecil. Pemerintah daerah
yang dibentuk tersebut baik dalam daerah besar maupun daerah
kecil harus memperhatikan du hal yaitu (1) dasar
permusyawaratan dan (2) mengani hak asal-usul dalam daerah
yang bersifat istimewa. Kemudian yang dimaksud dengan harus
memperhatikan dasar musyawarah adalah pemerintah daerah
harus bersendikan demokrasi yang ciri utamanya adalah
musyawarah dalam lembaga perwakilan rakyat. Sedangkan
mengenai memperhatikan hak asal-usul dalam daerah yang
bersifat istimewa adalah pemerintah daerah yang dibentuk tidak
boleh secara sewenang-wenang menghapus daerah-daerah yang
pada zaman Belanda merupakan daerah swapraja yang disebut
zelfbesturende lanschappen10 dan kesatuan masyarakat hukum
pribumi seperti desa, nagari, marga dan lain-lain yang disebut
dengan volkgemenschappen atau zelfstandigemenschappen11.
Sedangkan hasil amandemen UUD 1945 juga tidak ada
pembahasan yang secara khusus tentang pemerintahan desa.
Desa tidak dibahas sebagai entitas tersendiri dari republik ini
melainkan dibahas dalam konteks bagian dari pemerintahan

10
Zelfbesturende Landschappen adalah daerah swapraja, yaitu wilayah yang
dikuasai oleh raja yang mengakui kekuasaan dan kedaulatan Pemerintah
jajahan Belanda melalui perjanjian politik. perjanjian politik ini diwujudkan
dalam satu bentuk perjanjian yang disebut dengan istilah kontrak dan
verklaring.
11
Lihat dalam Didik Sukriono, Pembaharuan Hukum Pemerintah Desa,
(Malang:Setara Press,2010),hlm.95
POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DESA

daerah. Hal ini dapat kita lihat dalam UU No. 22 Tahun 1999 dan
UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.

9
POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DESA

BAB II
SEJARAH PENGATURAN PEMERINTAHAN DESA

Secara etimologis, kata sejarah berasal dari bahasa Arab


“syajarah” yang artinya bermacam-maca, seperti pohon besar,
asal-usul, keturunan dan lain-lain yang diidentikkan dengan
istilah riwayat, silsilah, babad, tambo dan tarikh12.
Dalam metologi sejarah, terdapat pengkhususan, yakni
dibidang sejarah pedesaan. Sejarah pedesaan dapat dipahami
sebagai sejarah yang secara khusus meneliti tentang desa atau
pedesaan, masyarakat petani, adat istiadat, termasuk tata
pemerintahannya13.

A. Era Nusantara
Nusantara, menurut teori terletak di persimpangan tiga
lempeng dunia, yang potensial menimbulkan tekanan sangat
besar pada lapisan kulit bumi. Akibat lapisan kulit bumi
Nusantara, pertemuan tiga lempeng dunia tertekan keatas,
hasilnya membentuk hamparan-hamparan luas yang dikenal
sebagai paparan Benua Sunda dengan barisan gunung berapi dan
pegunungan panjang yang pada masa purbakala disebut sebagai
Swetadwipa atau Lemuria. Hamparan luas Paparan Benua Sunda
yang awalnya berupa dataran dangkal itu, pada zaman Es ketika
permukaan laut turun ratusan meter terlihat mencuat
kepermukaan. Oleh karena terletak di persimpangan tiga
lempeng dunia, wilayah ini sering diguncang gempa bumi hebat
dan letusan gunung berapi yang dasyat14.
Menurut Cornelis van Vollenhoven, bahwa sebelumnya
datangnya penjajahan Belanda, di nusantara telah terdapat sistem
ketatanegaraan dalam bentuk kesatuan perkampungan dan lain-
lain. Hal ini yang kemudian menurut Nasroen disebutkan sebagai
berikut15:

12 Sidi Gazalba dalam Ateng Syafrudin dan Suprin Na’a, Republik


Desa,(Bandung:Alumni,2010),hlm.25
13 Ibid,hlm.26
14 Agus Sunyoto, Wali Songo (Rekontruksi Sejarah yang
Disingkirkan),(Jakarta:Transpustaka,2011),hlm.3
15 Nasroen dalam Ateng Syfarudin, Ibid,hlm.27
POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Desa di Indonesia telah ada sejak beratus-ratus tahun yang


lampau. Dari zaman ke zama, desa, nagari, marga ini ada dan
tetap ada sampai dewasa ini. Majapahit telah hilang, demikian
pun Sriwijaya, Atjeh, Bugis, Minangkabau, Mataram dan
sebagainya. Hindia Belanda, pendudukan Jepang telah lenyap,
tetapi desa, nagari, marga itu tetap ada. Dari jalan sejarah ini,
sebagai bukti dapat diambil kesimpulan bahwa sesuatu negara
akan tetap ada,s elama desa, nagari, marga itu ada, asal negara
itu sanggup menyatukan dirinya dengan desa, nagari dan
marga itu.
Menurut catatan Thomas Stamford Raffles, bahwa
pertumbuhan desa-desa di jawa khususnya diawali dari didiami
tanah-tanah yang kosong oleh sekelompok petani, yang biasanya
mereka berdiam di daerah aliran sungai (DAS). Kemudian dengan
semakin meningkatnya pertumubuhan penduduk, wilayah ini
berubah jadi desa, namun hal ini akan berakibat pada luas lahan
yang dimiliki perorangan berkurang. Tapi ketika ada satu lahan
kosong di dekat desa itu, maka akan dibangun satu desa baru,
yang pada awalnya masih bergantung dengan desa induknya.
Kemudian desa baru ini akan berkembang menjadi desa induk
bagi desa baru lain, desa-desa baru ini di distrik timur dinamakan
dukuh, dan di distrik Sunda dinamakan chantilan16.

B. Era Penjajahan Belanda


Kendati pun dalam pengetahuan masyarakat pada umunya
disebutkan bahwa penjajahan Belanda di Indonesia berlangsung
selama 350 tahun, tetapi sebenarnya sampai awal abad
keduapuluh masih banyak daerah di Sumatera dan daerah-daerah
lainnya di luar Jawa yang belum sepenuhnya dikuasai pemerintah
Hindia Belanda. Sebagai contoh, Belanda baru berhasil
mengehntikan perlawanan rakyat Aceh pada tahun 1904 setelah
berusaha keras memadamkannya sejak perjuangan rakyat Aceh
berkobar tahun 1873. Sedangkan yang dimaksud dengan 350
tahun sendiri adalah sejatinya adalah semenjak berkahirnya
perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro pada

16 Thomas Stamford Raffles yang dialih bahasakan oleh Eko


Prasetyaningrum dkk, The History of Java cet.ketiga,(Jakarta:Buku
Seru,2014),hlm.49
11
POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DESA

tahun 1830. Hal ini berakibat pada banyaknya peninggalan atau


warisan masa penjajahan Belanda di Pulau Jawa dibandingkan
dengan pulau-pulau lainnya di Nusantara17.
Pada masa kekuasaan VOC, perhatian terhadap pemerintahan
desa dapat dikatakan tidak ada sama sekali. Pemerintah kolonial
yang oleh banyak rakyat Indonesia disebut dengan “kompeni”
lebih suka berhubungan dengan raja-raja atau bupati-bupati
pribumi. Sosok raja atau bupati pribumi merupakan pimpinan
yang sangat dihormati oleh masyarakat termasuk kepala desa dan
perangkat pemerintah desa lainnya. Bagi VOC, lebih mudah dan
lebih menguntungkan apabila hanya berhubungan dengan para
raja dan para bupati, karena disamping lebih sedikit, mereka
secara efektif bisa mengendalikan para kepala desa18.

C. Era Penjajahan Jepang


Setelah Gubernur Jenderal Hindia Belanda A.W.L Carda van
Starkenporgf menyatakan menyerah kepada tentara Jepang pada
bulan Maret 1942, maka seluruh kekuasaan di wilayah Indonesia
berada dibawah tentara pendudukan Jepang. Dalam
penyelenggaraan pemerintahan, tentara pendudukan Jepang
ternyata masih menggunakan pola yang dipergunakan oleh
pemerintah Hindia Belanda, dengan perkecualian semuanya
berada dibawah pimpinan penguasa militer Jepang19.
Di masa pendudukan militer Jepang, rakyat desa kembali
menderita dibawah tekanan penguasa asing, yang kali ini
malahan lebih keras dan lebih kejam. Penduduk dipaksa bekerja
keras untuk kepentingan Jepang, baik di tempat tinggal mereka
sendiri maupun ditempat-tempat yang jauh20 seperti di lahan-
lahan pertanian yang menghasilkan bahan-bahan kebutuhan

17 Uraian lebih luas dapat dibaca dalam Mashuri Maschab, Politik


Pemerintahan Desa di Indonesia,(Yogyakarta:Polgov,2013),Sedangkan
mengenai sejarah penjajahan Belanda di Indonesia dapat di baca dalam
Zainuk Milal Bizawie, Laskar Ulama-Santri dan Resolusi Jihad,
Tanggerang:Pustaka Kompas
18 Mashuri Maschab, Politik Pemerintahan Desa di
Indonesia,(Yogyakrta:Polgov,2013),hlm.26
19 Ibid.hlm.69
20 Kerja Paksa di era Jepang disebut Romusha.Mereka bekerja tidak

hanya di daerah sendiri bahkan hingga ke luar negeri seperti Burma dan
Vietnam. Semua demi membangun fasilitas perang Jepang.
POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DESA

logistik tentara Jepang maupun untuk membangun fasilitas atau


instalasi Jepang21.
Adapun wilayah Indonesia dibagi menjadi 3 bagian yaitu (1)
wilayah Sumatera dan sekitarnya dengan pusat komandonya di
Bukittinggi, berada dibawah kekuasaan tentara ke-24 Angkatan
Darat Jepang; (2) wilayah Jawa dan Madura dengan pusatnya di
Jakarta berada dibawah kekuasaan tentara ke-16 Angkatan Darat
dan (3) untuk wilayah Sulawesi, Kalimantan dan sekitarnya
berada dibawah komando Angkatan Laut yang berpusat di Ujung
Pandang.

D. Era Orde Lama


E. Era Orde Baru
F. Era Reformasi

21 Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Desa, (Malang:Setara


Press,2015),hlm.46
13
POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DESA

BAB III
PERUBAHAN KETATANEGARAAN INDONESIA
A. AMANDEMEN UUD 1945
B. KEBANGKITAN MASYARAKAT ADAT
C. KEBANGKITAN PEMERINTAHAN DESA
D. MUNCULNYA UNDANG-UNDANG TENTANG DESA
BAB IV
KONSEPSI PEMERINTAHAN DESA
A. Istilah Pemerintahan
Istilah pemerintahan berasal dari kata “perintah”. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, perintah diartikan menyuruh
melakukan sesuatu atau sesuatu yang harus dilakukan.
Pemerintah adalah orang, badan atau aparat yang mengeluarkan
atau memberi perintah22. Di Amerika Serikat, pemerintah terdiri
dari eksekutif, legislatif dan judicial, serta ditambah badan-badan
administrasi23.
Sedangkan kata pemerintahan adalah bestuurvoering atau
pelaksana tugas pemerintah.Pemerintahan ialah organ atau
alat/aparat yang menjalankan pemerintahan. Pemerintah sebagai
alat kelengkapan negara dapat diartikan secara luas (in the broad
sense) dan dalam arti sempit (in the narrow sense). Pemerintah
dalam arti luas mencakup semua alat kelengkapan negara, yang
pada pokoknya terdiri dari cabang-cabang kekuasaan eksekutif,
legislatif dan yudisial atau alat-alat kelengkapan negara lain yang
bertindak untuk dan atas nama negara24.
Sedangkan pemerintahan dalam arti sempit istilah
pemerintahan disebutkan memiliki dua pengertian, yaitu sebagai
fungsi dan sebagai organisasi. Menurut Soehardjo, pemerintahan
sebagai organisasi bilamana kita mempelajari ketentuan-
ketentuan susunan organisasi, termasuk didalamnya fungsi,
penugasan, kewenangan dan kewajiban masing-masing
departemen pemerintahan, badan-badan, instansi serta dinas
pemerintahan. Sebagai fungsi kita meneliti ketentuan-ketentuan

22 Lukman Hakim, Filosofi Kewenangan Organ dan Lembaga


Daerah,(Malang:Setara Press,2012),hlm.68
23 Ibid.
24 Ridwan.H.R, Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta:UII
Press,2003)hlm.20
POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DESA

yang mengatur apa dan cara tindakan aparatur pemerintahan


sesuai dengan kewenangan masing-masing25.
Dalam konsep dasar pemerintahan atau governance yang
paling dasar disebutkan ada tiga stakeholder utama yang saling
berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing, yaitu
state (negara atau pemerintah), private sector (sektor swasta
atau dunia usaha), dan society (masyarakat). Institusi
pemerintah berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum
yang kondusif, sektor swasta menciptakan pekerjaan dan
pendapatan, sedangkan masyarakat berperan dalam membangun
interaksi sosial, ekonomi dan politik termasuk mengajak
kelompok-kelompok masyarakat untuk berpartisipasi dalam
aktivitas ekonomi, sosial dan politik26.

B. Kedudukan dan Kewenangan Pemerintahan Desa

C. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa


D. Hubungan Pemerintah dan Desa
Istilah “Desa”secara etimologis berasal dari kata “swadesi”
bahasa sansakerta berarti wilayah, tempat atau bagian yang
mandiri dan otonom27. Istilah desa sendiri sangat beragam di
berbagai tempat di Indonesia. Desa hanya dipakai dalam
masyarakat pulau Jawa, Madura dan Bali.Sedangkan masyarakat
Aceh menggunakan nama Gampong atau Meunasah, masyarakat
Batak menyebutnya dengan Kuta atau Huta, didaerah
Minangkabau disebut dengan Nagari, Dusun atau Marga di
Sumatera Selatan 28 , kemudian di Lampung disebut dengan
Dusun,Pekon atau Tiuh. Maka dari itu ada istilah di daerah
Lampung yang amat populer yaitu “mulang tiuh” atau pulang ke
desa bagi orang kota yang sukses untuk membangun daerahnya
atau desanya.

25 Ibid,hlm21
26 M.Solekhan, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa,(Malang:Setara
Press,2012),hlm.16
27
P.j Zoetmulder dalam Ateng Syarifuddin, Republik Desa,
(Bandung:Alumni,2010), hlm.2
28
B.Ter Haar dalam Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim sebagaimana
dikutip oleh Titik Triwulan Tutik, Pokok-pokok Hukum Tata Negara
(Jakarta:Prestasi Pustaka,2006),hlm.223
15
POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Kata “desa”tersebut kemudian dalam bahasa Jawa dipelintir


menjadi kata “ndeso”untuk menyebut orang-orang atau
penduduk yang berada di “udik” atau “pedalaman”atau yang
punya sifat “kampong(an)” 29 . Dalam kamus Besar Bahasa
Indonesia kata”desa” diartikan sebagai kesatuan wilayah yang
dihuni oleh sejumlah keluarga yang mempunyai sistem
pemerintahan sendiri30.
Keberadaan desa sebagai satu kesatuan masyarakat hukum
memberi pemahaman yang mendalam bahwa institusi desa
bukan hanya sebagai entitas administratif belaka tetapi juga
entitas hukum yang harus dihargai,diistimewakan, dilindungi
dalam struktur pemerintahan di Indonesia. Hal ini yang kemudian
tertuang dalam UUD 1945 pasal 18 B ayat (2) yang menyatakan:
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dengan undang-undang.

Dari pemahaman pasal 18 B ayat (2) UUD 1945, bahwa desa


diartikan bukan saja sebagai kesatuan masyarakat hukum adat,
tetapi juga sebagai hirarki pemerintahan yang terendah dalam
NKRI31.

BAB V
POLITIK HUKUM OTONOMI DESA
A. KELEMBAGAAN DESA
B. PERATURAN DESA
C. PENDANAAN DESA

29
Ibid.hlm.3 Bandingkan dengan Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa
Indonesia dalam Moh.Fadli dkk, Pembentukan Peraturan Desa Partisipatif
,(Malang:Brawijaya Press,2011),hlm.3
30
Tim Penyusun kamus Pusat Pembianaan dan Pengembangan Bahasa ,
Kamus Besar Bahasa Indonesia Cet.VII, (Jakarta:Balai
Pustaka,1995),hlm.226.
31
Khairuddin Tahmid, Dekonstruksi Politik Hukum Otonomi Desa Dalam
Peraturan Perundang-undangan Di Indonesia (Yogyakarta:ringkasan
disertasi progam doktor UII,2011), hlm.3
POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DESA

BAB II
ARTI PEMERINTAHAN DESA
Istilah pemerintahan dan pemerintah dalam masyarakat
secara umum diartikan sama, dimana kedua kata tersebut
diucapkan bergantian (pemerintah atau pemerintahan). Sebutan
kedua kata atau istilah tersebut menunjuk pada penguasa atau
pejabat. Mulai dari Presiden hingga Kepala Desa, artinya semua
orang yang memegang jabatan disebutlah pemerintah atau
pemerintahan, tetapi orang yang bekerja di dalam lingkungan
pemerintah atau pemerintahan disebut orang pemerintah(an)32.
Menurut Efendi Berutu33, pemerintahan mempunyai
pengertian dalam arti luas dan sempit. Pemerintahan dalam arti
luas berarti seluruh fungsi negara seperti legislatif,eksekutif dan
yudikatif. Sedangkan pemerintahan dalam arti sempit meliputi

32
Didik Sukaryono, Pembaharuan Hukum Pemerintah Desa ( Malang:Setara
Press,2010),hlm 57
33
Efendi Berutu dalam Nomensen Sinamo, Hukum Pemerintahan Daerah di
Indonesia(Jakarta:Pustaka Mandiri,2010),hlm.1
17
POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DESA

eksekutif saja. Dalam literatur yang lain Montesquie mengartikan


pemerintahan dalam arti luas meliputi: pembentukan undang-
undang (la-puissance legislative); pelaksanaan (la-puissance
executive);dan peradilan (la-puissance de juger). Ajaran
Montesquieu ini dikenal dengan ajaran tentang pembagian
kekuasaan negara yang popular disebut dengan “trias politika”34.
Seiring dengan bergulirnya reformasi 1998, yang mana
salah satu tuntutannya adalah diberlakukannya otonomi daerah
secara luas, maka telah terjadi pergeseran dalam dinamika
pemerintahan di Indonesia khususnya mengenai desa.Jika masa
sebelum reformasi bersifat sentralistik maka setelah reformasi
menjadi desentralisasi.Bergulirnya otonomi daerah tersebut yang
artinya adalah terdapatnya keleluasaan pemerintah daerah
(dicretionary power) untuk menyelenggarakan pemerintahan
sendiri atas dasar prakarsa, kreativitas dan peran aktif
masyarakat dalam mengembangkan daerahnya 35 . Namun
kebebasan dan kemandirian dalam otonomi daerah bukan berarti
kemerdekaan lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) melainkan kebebasan dan kemandirian yang tetap dalam
ikatan negara kesatuan.
Konsep Dasar Pemerintahan Desa
Konsep pemerintahan dalam arti luas sebagaimana
dikemukakan oleh B.Hestu Cipto Handoyo36 adalah segala bentuk
kegiatan atau aktifitas penyelenggara negara yang dilakukan oleh
organ-organ atau alat-alat perlengkapan negara yang memiliki
tugas dan fungsi sebagaimana digariskan oleh konstitusi. Maka
mengacu pada hal tersebut, organ-organ negara itu adalah
semacam eksekutif, legislative dan yudikatif sebagaimana konsep
trias politika.
Namun berbeda halnya dengan Indonesia yang
menggunakan konsep Panca Praja yaitu adanya lembaga Presiden
sebagai representasi eksekutif, DPR, DPD dan MPR sebagai
representasi legislative, M.A dan M.K sebagai representasi

34
Sadjijiono, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi
(Yogyakarta:Laksbang Pressindo, 2008),hlm.42.
35
Widjaja,H.A.W dalam Edie Toet Hedratno, Negara
Kesatuan,Desentralisasi dan Federalisme ( Yogyakarta:Graha
Ilmu,2009),hlm.64
36
B.Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara Indonesia
(Yogyakarta:Univ.Atma Jaya,2009).hlm.119
POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DESA

yudikatif ditambah BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) yang


berdiri sendiri sejajar dengan ketiga lembaga tinggi negara
tersebut37.
Sedangkan pengertian pemerintahan dalam arti sempit
adalah aktifitas atau kegiatan yang diselenggarakan oleh organ
pemegang kekuasaan eksekutif sesuai dengan tugas dan
fungsinya yang dalam hal ini dilaksanakan oleh Presiden ataupun
Perdana Menteri sampai dengan level birokrasi yang paling
rendah tingkatannya. Dengan kata lain, penyelenggaraan tugas
dan fungsi Administratuur atau Bestuur inilah yang disebut
sebagai pemerintahan dalam arti sempit38.
Maka sebagai sistem pemerintahan terendah dalam
suatu negara adalah desa. Yang perumusan formal desa diatur
dalam UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa adalah
sebagai berikut :
“…suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah
penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di
dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah
Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya
sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia..”

Sedangkan dalam UU No 22 Tahun 1999 tentang


Pemerintahan Daerah, desa diberi pengertian sebagai:
“….Kesatuan wilayah masyarakat hukum yang memiliki
kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-
usul dan adat setempat yang diakui dalam sistem
pemerintahan nasional dan berada di daerah
kabupaten..”

Selanjutnya Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang


Pemerintahan Daerah Pasal 1 angaka (12) desa dikatakan
sebagai:

37
Setelah amandemen UUD 1945, maka tidak ada lagi lembaga tertinggi
negara sebagaimana MPR di era UUD 1945 sebelum amandemen
38
Op.Cit,.hlm.119
19
POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DESA

“…..kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-


batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat,
berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang
diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia..”

Sedangkan pengertian pemerintahan desa menurut


Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 72 Tahun 2005
Tentang Desa terutama pada pasal 1 angka (6) adalah :
Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah
desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang
diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dari uraian tersebut menurut Didik Sukriono39 dalam


bukunya pembaharuan hukum Pemerintahan Desa secara yuridis
dan politis terdapat dua konsep desa yaitu, desa yang diakui,
yakni desa masyarakat hukum adat yang disebut dengan nama-
nama setempat dan desa dibentuk, yakni desa yang diakui oleh
pemerintah berdasarkan undang-undang.Artinya desa dipandang
sebagai suatu daerah kesatuan hukum dimana bertempat tinggal
suatu masyarakat yang berkuasa atau memiliki wewenang
mengadakan pemerintahan sendiri.

39
Didik Sukriono,Op.Cit.hlm.64
POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DESA

21
POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DESA

BAB III
POLITIK HUKUM
PEMERINTAHAN DESA

A. Konsep Dasar Politik Hukum


Berbicara mengenai politik hukum, maka harus
mengetahui terlebih dahulu arti kata dari politik hukum itu
sendiri.Istilah politik hukum berasal dari bahasa Belanda yaitu
rechts politiek yakni bentukan dari kata recht (hukum) dan
politiek (politik). Antara kedua kata ini mempunyai hubungan
yang erat antara satu sama lain. Sehingga untuk dapat
memahaminya pertama-tama perlu dikatahui arti kata politik dan
arti kata hukum terlebih dahulu.
Kata politiek dalam kamus bahasa Belanda yang ditulis
Van der Tas mengandung arti beleid, yang berarti kebijakan
(policy)40.Adapun kebijakan sendiri diartikan sebagai perilaku
atau tindakan yang mencerminkan kebajikan atau rasa bijak bagi
setiap pribadi atau individu pejabat, karena itu kebijakan lebih ini
lebih banyak dipengaruhi oleh budi pekerti dan hati nurani setiap
pejabat bukan kekuasaan semata-mata41.
Selanjutnya definisi ilmu politik oleh Miriam
Budiardjo 42 dikarenakan luasnya cakupan mengkategorikan
pengertian-pengertiannya menurut lima konsep pokok yaitu: (1)
negara (state),(2) kekuasaan(power),(3) pengambilan keputusan
(decision making),(4) kebijakan (policy) dan (5) pembagian
(distribution) atau pengalokasian (alocation).
Berbicara mengenai politik hukum tidak bisa terlepas
dari sejarah berdirinya suatu bangsa. Karena hal ini berkenaan
dengan kebijakan suatu pemerintahan yang hendak membawa
kemana negara yang sedang dipimpinnya tersebut. Politik hukum
meminjam istilah Mahfud M.D43 dalam bukunya Politik Hukum
Indonesia mengartikan bahwa politik hukum atau legal policy
mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang

40
Sri Soemantri Martosoewignjo, Bunga Rampai Hukum Tata Negara
Indonesia (Bandung:Alumni,1992),hlm.33
41
Sadjijiono,Op.Cit.hlm.72
42
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik.Edisi Revisi (
Jakarta:Gramedia,2010),hlm.8-14
43
Mahfud M.D, Politik Hukum di Indonesia(Jakarta:LP3ES,1998).hlm 13
POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DESA

menunjukkan sifat dan arah mana hukum dibangun dan


ditegakkan.
Sehingga jika dihubungkan dengan sejarah hukum
pemerintahan desa maka dapat dikatakan bahwa keberadaan
politik hukum adalah sebagai arah dan tujuan diberlakukannya
pemerintahan desa dari tahun ke tahun disesuaikan dengan
perubahan pemerintahan yang terjadi di Indonesia.
B.Dinamika Perubahan Politik Hukum Pemerintahan Desa
Berangkat dari perbedaan pendapat dari para ahli
tentang politik hukum, maka Imam Syaukani dan A.Ahsin Thohari
menetapkan ruang lingkup atau wilayah kajian politik hukum
sebagai berikut44:
1. Proses penggalian nilai-nilai dan aspirasi yang
berkembang dalam masyarakat oleh penyelenggara
negara yang berwenang merumuskan politik hukum;
2. Proses perdebatan dan perumusan nilai-nilai dan
aspirasi tersebut ke dalam bentuk sebuah rancangan
peraturan perundang-undangan oleh penyelenggara
negara yang berwenang merumuskan politik hukum;
3. Penyelenggaraan negara yang berwenang merumuskan
dan menetapkan politik hukum;
4. Peraturan perundang-undangan yang memuat politik
hukum;
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi dan menentukan
suatu politik hukum, baik yang akan, sedang dan telah
ditetapkan;
6. Pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang
merupakan implementasi dari politik hukum suatu
negara.

Dari ruang lingkup yang diberikan oleh Imam Syaukani


dan A.Ahsin Thohari tersebut diatas, maka dinamika perubahan
politik hukum pemerintahan desa di Indonesia telah mengalami
berbagai macam bentuk sistem pemerintahan. Pasang surut dari
sistem pemerintahan orde lama yang awalnya demokrasi
kemudian berubah menjadi otoriter dan pemerintahan orde baru

44
Imam Syaukani,A.Ahsin Thohari,2006,Dasar-dasar Politik Hukum,Raja
Grafindo Persada: Jakarta,hlm.51-52.
23
POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DESA

yang otoriter yang selanjutnya digantikan oleh orde reformasi


yang demokratis. Hal ini semua tidak terlepas dari perubahan
pola kepemimpinan dalam mengambil kebijakan. Sebagaimana
dikatakan oleh Mahfud M.D konfigurasi politik yang demokratis
akan melahirkan produk hukum yang berkarakter responsive
atau otonom, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter
(nondemokratis) akan melahirkan produk hukum yang
berkarakter konservatif atau ortodoks atau menindas45.
1. Masa 1945-1949
Awal-awal kemerdekaan adalah awal yang sulit bagi
pemerintahan dwi tunggal Soekarno-Hatta dalam melaksanakan
pemerintahan sebagaimana amanat UUD 1945. Hal ini
disebabkan masih bercokolnya tentara Belanda di beberapa
wilayah Indonesia untuk mempertahankan lagi daerah
jajahannya. Sedangkan pemerintah Indonesia sudah menyatakan
diri kemerdekaannya. Dari agresi militer Belanda ke-1 pada tahun
1946 hingga agresi militer Belanda ke-2 pada 1947 yang berhasil
menahan beberapa pucuk pemimpin Indonesia semacam
Soekarano, Hatta, Agus Salim dan Sutan Syahrir ke Brastagi
Sumatera Utara.
Namun terlepas dari masa revolusi tersebut, Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal
17 Agustus 1945, sejak awal disepakati untuk mendirikan suatu
negara yang menganut paham unitaris dengan bersendi
desentralisasi. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 18 UUD 1945
yang bersesuaian dengan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang secara
tegas mengehendaki konsep desentralisasi dalam negara
kesatuan, tetapi penegasan ini tidak memberikan indikasi bahwa
kewenangan otonomi pemerintah daerah bersifat kewenangan
negara bagian.
Kaidah pasal 18 ini menegaskan tentang daerah otonom
dan istimewa, dibiaskan dengan kaidah penjelasan Pasal 18
dengan menyebut ada wilayah bersifat administrative, disamping
daerah otonom dan istimewa.46
2. Masa 1949-1950

45
Mahfud M.D, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi (Jakarta
: Rajawali Press ,2010),hlm.66
46
Aggus Salim Andi Gandjong dalam Didik Sukriono,Op.Cit.hlm.155
POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Konstitusi RIS lahir setelah bentuk negara mengalami


perubahan dari bentuk negara kesatuan menjadi negara federal
hal ini merupakan hasil dari perundingan Renville. Perubahan ini
secara langsung turut berpengaruh pada pelaksanaan
pemerintahan sampai ke daerah-daerah. Bukan lagi hubungan
antara pemerintah pusat dengan daerah melainkan negara
federal dengan pemerintah negara bagian dengan pemerintah
daerah dibawahnya.
Realiasasi dari amanat dalam konstitusi RIS untuk
mengatur hubungan pemerintah negara bagian dengan
pemerintah daerah tersebut, maka dikeluarkannya UU Negara
Indonesia Timur No.44 Tahun 1950 tentang Pemerintah Daerah
Negara Timur pada 15 Mei 195047. Sedangkan untuk wilayah lain
dari Republik Indonesia Serikat (RIS) tetap memakai UU No 22
Tahun 1948 khususnya di wilayah negara Republik Indonesia.
3. Masa 1950
Keberlakuan RIS yang hanya satu tahun membawa
dampak pada berubahnya pula UUD RIS. Pergantian dari UUD RIS
kepada UUDS berdampak pula pada perubahan susunan negara
federal menjadi negara kesatuan yang berbentuk republik.
Perubahan ini membawa konsekwensi makna hukum yang
mengatur hubungan antara pusat dan daerah dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)48.
Dalam UUDS menegaskan landasan hukum pelaksanaan
pemerintahan daerah seperti pembagian daerah di Indonesia atas
daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangganya
sendiri, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan
dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat
dasar permusyawaratan dan dasar perwakilan dalam sistem
pemerintahan negara49.
Pada Pasal 131 ayat (1) UUDS 1950 menyebutkan
tentang pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil

47
Ibid.hlm.157,disini bahkan dijelaskan pula bahwa makna yang termaktub
dalam konsideran UU NIT No 44 Tahun 1950 dijelaskan bahwa sangat perlu
diadakan perubahan dalam pemerintahan daerah-daerah di Indonesia Timur
agar perubahan-perubahan itu dapat disesuaikan dengan status negara
kesatuan yang segera akan dibentuk.
48
Ibid,hlm.157
49
Ibid.hlm.157
25
POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DESA

yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri (autonom),


dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan
undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar
permusyawaratan dan dasar perwakilan dalam sistem
pemerintahan negara.
Kemudian pada Pasal 131 ayat (2) UUDS 1950
menyebutkan bahwa kepada daerah diberikan otonomi seluas-
luasnya untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Kemudian
pada Pasal 132 juga menyebutkan bahwa kedudukan daerah
Swapraja diatur dengan undang-undang dengan ketentuan bahwa
dalam bentuk susunan pemerintahannya harus diingat pula
ketentuan dalam pasal 131, dasar-dasar permusyawaratan dan
perwakilan dalam sistem pemerintahan negara.
Dari semua pasal-pasal tersebut diatas,menurut Didik
Sukriono UUDS 1950 tidak menjelaskan secara terperinci
pemerintahan desa, namun lebih banyak mengatur tentang
daerah-daerah yang diberikan otonomi untuk mengurus rumah
tangganya sendiri50.
4. Masa 1959
Salah satu perubahan yang paling menonjol adalah
diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 195951. Perubahan ini
membawa konsekwensi terjadinya penyesuaian (perubahan)
kembali susunan pemerintahan di daerah dengan susunan
menurut UUD 1945.
Hal ini nampak dengan dikeluarkannya Penpres No 6
Tahun 1959 sebagai landasan yuridis penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Pelaksanaan Penpres ini semakin
menunjukkan perubahan politik hukum pada kuatnya intervensi
pusat kepada daerah yang dapat dilihat dalam (a) pengawasan
atas jalannya pemerintahan daerah;(b) kekuasaan kepala daerah
sebagai alat pusat untuk”menangguhkan”keputusan DPRD;dan
(c) pengisian jabatan kepala daerah melalui mekanisme
pengangkatan.
5. Masa 1965-1998
Pasca runtuhnya Soekarno, maka dimulailah
pemerintahan baru dibawah kepemimpinan Jenderal Soeharo

50
Ibid.158
51
Salah satu isi dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah kembali kepada UUD 1945
dan tidak berlakunya UUD Sementara.
POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DESA

yang selanjutnya disebut dengan orde baru. Melalui TAP MPRS No


XXI/MPRS/1966 digariskan politik hukum otonomi daerah yang
seluas-luasnya disertai perintah agar UU No 18 Tahun 1965
diubah kembali guna disesuaikan dengan prinsip otonomi yang
dianut oleh TAP MPRS tersebut.
Dengan kekuatan politiknya yang dominan, pemerintah
orde baru kemudian mencabut TAP MPRS No XXI/MPRS/1966
tentang otonomi daerah dan memasukkan masalah tersebut ke
dalam TAP MPR No IV/MPR/1973 tentang GBHN yang sejauh
menyangkut politik hukum otonomi daerah dengan merubah
asasnya dari otonomi nyata yang seluas-luasnya menjadi otonomi
nyata dan bertanggung jawab.
Ketentuan ini kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam
UU No 5 Tahun 1974 dan UU No 5 Tahun 1979 yang melahirkan
sentralisasi kekuasaan dan menumpulkan otonomi daerah.
Dengan berlakunya undang-undang ini telah melahirkan
ketidakadilan secara politik dengan menempatkan kedudukan
DPRD sebagai bagian dari pemerintah daerah dan penetapan
kepala daerah.Juga ketidakadilan ekonomi dengan banyak
kekayaan daerah terserap habis ke pusat untuk kemudian
dijadikan alat operasi dan tawar-menawar politik yang akhirnya
menimbulkan benih-benih korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

6. Masa 1998-2004
Reformasi 1998 dengan ditandai jatuhnya pemerintahan
Soeharto yang telah menguasai negeri ini selama lebih kurang 32
tahun telah membawa angin segar dalam kehidupan demokrasi di
Indonesia.
Munculnya ide-ide negara federalis atau yang lebih
ekstrim dengan melakukan disintegrasi dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia jika tidak dilakukan perubahan mendasar
khususnya mengenai hubungan pusat dan daerah.Hal ini
kemudian direspon dengan mengeluarkan UU No 22 Tahun 1999
tentang otonomi daerah. Yang mana kemudian diperkuat dengan
amandemen UUD 1945 khususnya Pasal 18 semakin menguatkan
power share antara pusat dan daerah baik dalam segi politik
maupuan ekonomi.

27
POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Munculnya raja-raja kecil di daerah sebagai akibat dari


diberlakukannya otonomi seluas-luasnya yang termaktub dalam
UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 25 Tahun 1999 yang dengan
tegas menyebutkan formulasi desentralisasi itu sendiri yaitu
penyerahan wewenang pemerintah kepada daerah otonom dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketentuan ini
kemudian semakin dikonkritkan dalam Pasal 7(1) yang mengatur
tentang konsep dasar relasi kewenangan antara pemerintah pusat
dan daerah. Secara singkat disebutkan bahwa kewenangan
daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang
pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal,
agaman serta kewenangan bidang lain.
7. Masa 2004 – Sekarang
Dengan selesainya proses amandemen UUD 1945 tahap
ke empat pada 2002 membawa dampak juga dengan perubahan
undang-undang otonomi daerah.UU No 22 Tahun 1999 yang lebih
bernuansa federalis dengan melahirkan raja-raja kecil di daerah
dirubah dengan UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintah
daerah.Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah, desa diatur mulai dari pasal 200 sampai
dengan pasal 216.Dalam Pasal 200 ayat(1) menyebutkan bahwa:
Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk
pemerintahan desa yang terdiri atas pemerintah desa dan
badan permusyawaratan desa.”

Kemudian lebih lanjut UU No 32 Tahun 2004 Pasal 207 juga


menyebutkan bahwa:
“Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah
provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota kepada
desa disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana,
serta sumber daya manusia.”

Hal ini semakin menunjukkan perhatian pemerintah


pusat kepada daerah khususnya desa. Realita ini yang mebedakan
antara era orde baru dengan orde reformasi dimana keberlakuan
otonomi daerah tetap dalam koridor NKRI dengan menitik
pusatkan perhatian pada kemandirian masyarakat khususnya di
daerah pedesaan.
8. Arah Politik Hukum Pemerintahan Desa
POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Politik hukum atau legal policy pemerintahan desa dari


tahun ke tahun atau dari setiap periode pemerintahan semakin
menunjukkan kearah pembentukan civil society atau meminjam
istilah Nurcholis Madjid “masyarakat madani”.Politik hukum
pemerintahan desa yang dimaksud disini adalah arah kebijakan
hukum pemerintahan desa secara nasional, yakni garis-garis
besar kebijaksanaan hukum yang dianut oleh penyelenggara
negara dalam usaha dan upaya memelihara, memperuntukkan,
mengambil manfaat, mengatur dan mengurus pemerintahan desa
beserta masyarakat desa sebagai komunitas yang mengatur
dirinya sendiri.
Hal ini telah nampak dengan dikeluarkannya Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang desa sebagai ganti
dari undang-undang nomor 5 tahun 1979 tentang pemerintahan
desa. Dalam PP ini menurut Prof Ateng dan Suprin 52 telah
mempunyai pemikiran tentang pengaturan mengenai desa yaitu:
1. Keanekaragaman yang memiliki makna bahwa istilah
desa dapat disesuaikan dengan asal-usul dan kondisi
social budaya masyarakat setempat. Hal ini berarti pola
penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan
pembangunan di desa harus menghormati sistem nilai
yang berlaku pada masyarakat setempat,tetapi juga
harus tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
2. Partisipasi, memiliki makan bahwa penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan desa harus mampu
mewujudkan peran aktif masyarakat agar masyarakat
senantiasa memiliki dan turut serta bertanggungjawab
terhadap perkembangan kehidupan bersama sesame
warga desa
3. Otonomi asli, memiliki makna bahwa kewenangan
pemerintah desa dalam mengatur dan mengurus
masyarakat setempat didsarkan pada hak asal-usul dan
nilai-nilai sosial budaya yang terdapat pada masyarakat
setempat, tetapi harus diselenggarakan dalam prespektif
administrasi pemerintahan negara yang selalu
mengikuti perkembangan zaman.

52
Ateng Syafrudin dan Suprin.Op.Cit.hlm 88-89
29
POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DESA

4. Demokratisasi, memiliki makna bahwa penyelenggaraan


pemerintahan dan pelaksanan pembangunan di desa
harus mengakomodasi aspirasi masyarakat yang
diartikulasikan dan diagregarsikan melalui BPD dan
lembaga kemasyarakatan sebagai mitra pemerintahan
desa.
5. Pemberdayaan masyarakat, memiliki makna bahwa
penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan
pembangunan di desa ditujukan untuk meningkatkan
taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat melalui
penetapan kebijakan, progam dan kegiatan yang sesuai
dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan
masyarakat.
Secara umum, Ateng Syarifudin53 berpendapat bahwa
politik hukum pemerintahan desa yang paling mutakhir adalah
sebagai berikut:
1. Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah suatu
keatuan masyarakat hukum yang mempunayi susunan
asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 UUD 1945.
Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai
pemerintahan desa adalah keanekaragaman, partisipasi,
otonomi asli, demokrasi dan pemberdayaan masyarakat;
2. Penyelenggaraan pemerintahan desa merupakan sub
sistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan
sehingga desa memiliki kewenangan untuk menagtur
dan mgurus kepentingan masyarakatnya. Kepala desa
bertanggungjawab pada badan permusyawaratan desa
dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas tersebut
kepada bupati/walikota.
3. Desa dapat melakukan perbuatan hukum, baik hukum
publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan,
harta benda, dan bangunan serta dapat dituntut dan
menuntut di muka pengadilan. Untuk itu kepala desa
dengan persetujuan BPD mempunyai wewenang untuk
melakukan perbuatan hukum dan mengadakan
perjanjian yang saling menguntungkan.

53
Ateng Syarifudin dalam Ateng Syarifudin dan Suprin
Na’a.Op.Cit.hlm.90-91
POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DESA

4. Sebagai perwujudan demokrasi, di desa dibentuk BPD


atau sebutan lain yang sesuai dengan budaya yang
berkembang di desa yang bersangkutan, yang berfungsi
sebagai lembaga legislasi dan pengawasan dalam hal
pelaksanaan peraturan desa, anggran pendapatan dan
belanja desa, peraturan kepala desa dan keputusan desa.
5. Di desa dibentuk lembaga masyarakat desa lainnya
sesuai dengan kebutuhan desa. Lembaga dimaksud
merupakan mitra pemerintah desa dalam rangka
pemeberdayaan masyarakat desa.
6. Desa memiliki sumber pembiayaan berupa pendapatan
desa, bantuan pemerintah dan pemerintah daerah,
pendapatan lain-lain yang sah, sumbangan pihak ketiga
dan pinjaman desa.
7. Berdasarkan hak asal-usul desa yang bersangkutan,
kepala desa mempunyai wewenang untuk mendamaikan
perkara / sengketa dari para warganya.
8. Dalam upaya meningkatkan dan mempercepat
pelayanan kepada masyarakat yang bercirikan
perkotaan dibentuk kelurahan yang berada di dalam
daerah kabupaten atau kota.

31
POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DESA
POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DESA

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian tersebut diatas, maka penulis dapat menarik
benang merah sebagai kesimpulan dari pembahasan makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Bahwa perubahan undang-undang tentang otonomi
daerah sangat tergantung dari situasi dan arah politik
yang dianut oleh pemerintahan yang berkuasa. Jika arah
politik pemerintah yang berkuasa adalah responsive,
maka akan menghasilkan perundang-undangan yang
bercorak demokratis, namun sebaliknya jika arah politik
pemeritah yang berkuasa adalah otoriter, maka akan
menghasilkan perundang-undangan yang bercorak
konservatif atau otoriter.
2. Bahwa arah politik hukum pemerintahan desa dari tahun
ke tahun telah menunjukkan kearah yang lebih baik.
Sebagai bagian sistem pemerintahn terkecil desa telah
memiliki peraturannya sendiri yaitu melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang desa. Hal ini
adalah sebagai dasar bahwa sistem organisasi desa
langsung dibawah bupati atau walikota.
3.2 Saran
1. Hendaknya kedepan perlu memecah undang-undang 32
Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah menjadi tiga
bagian yaitu undang-undang tentang pemerintah daerah,
undang-undang tentang pemilukada dan undang-undang
tentang desa. Hal ini bertujuan untuk semakin
memperkuat posisi pemerintahan desa dalam
mengeluarkan kebijakan dalam pengelolaan desa.
2. Hendaknya dengan semakin diperhatikannya
pemerintahan desa oleh pusat, maka diperlukan
pembenahan SDM agar mampu menerjemahkan setiap
perintah undang-undang. Jangan sampai karena
minimnya SDM, undang-undang yang sudah dibuat hanya
sekedar pajangan karena tidak mampu
menerjemahkannya dalam sebuah kebijakan yang pro
rakyat.
Daftar Pustaka

33
POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DESA

1.Buku:
Budiardjo,Miriam,2010.Dasar-dasar Ilmu Politik.edisi
revisi,Gramedia:Jakarta
Handoyo,B.Hestu Cipto, 2009, Hukum Tata Negara
Indonesia,Univ.Atma Jaya:Yogyakarta
Imam Syaukani dan A.Ahsin Thohari,2006,Dasar-dasar Politik
Hukum,Raja Grafindo Persada: Jakarta
M.D,Mahfud,1998.Politik Hukum di Indonesia,LP3ES:Jakarta
__________,2010,Membangun Politik Hukum, Menegakkan
Konstitusi,Rajawali Press:Jakarta
Moh.Fadli, Jazim Hamidi dan Mustofa Lutfi,2011, Pembentukan
Peraturan Desa Partisipatif ,Brawijaya Press:Malang
Sinamo,Nomensen ,2010, Hukum Pemerintahan Daerah di
Indonesia, Pustaka Mandiri:Jakarta
Sadjijiono,2008,Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum
Administrasi,Laksbang Pressindo:Yogyakarta
Sri Soemantri Martosoewignjo,1992,Bunga Rampai Hukum
Tata Negara Indonesia,Alumni:Bandung
Syarifuddin,Ateng,2010,Republik Desa, Alumni:Bandung
Sukriono,Didik,2010,Pembaharuan Hukum Pemerintah
Desa,Setara Press:Malang
Tim Penyusun kamus Pusat Pembianaan dan Pengembangan
Bahasa , 1995,Kamus Besar Bahasa Indonesia
Cet.VII,Balai Pustaka:Jakarta
Titik Triwulan Tutik,2006, Pokok-pokok Hukum Tata Negara
Prestasi Pustaka:Jakarta

2.Jurnal, Tesis, Desertasi dan Makalah:


Khairuddin Tahmid,2011,Dekonstruksi Politik Hukum Otonomi
Desa Dalam Peraturan Perundang-undangan Di
Indonesia,ringkasan disertasi tidak diterbitkan.
3.Undang-undang:
UUD 1945 Amandemen
UUD 1945
UUD RIS
UUDS 1950
Undang-undang No 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan
Daerah
Undang-undang No 44 Tahun 1950 tentang Pemerintah
Daerah Negara Timur
POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DESA

Undang-undang No 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok


Pemerintahan Daerah
Undang-undang No 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah
Undang-undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah
Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah

Biodata Penulis

Muhammad Iwan Satriawan,


dilahirkan di Malang jauh
sebelum reformasi

35
POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN DESA

1998.Masa kecil dihabiskan dari pondok ke pondok mulai dari


pondok pesantren al-qur’an Nurul Huda di Singosari Malang
kemudian berlanjut di Asrama Pelajar Islam di Denanyar
Jombang, kemudian berlanjut di Pondok pesantren Darul Ulum
Peterongan Jombang,sambil kuliah hukum di Universitas Jember
penulis sempatkan mondok di pesantren mahasiswa Al-Jauhar
Jember. Semasa kuliah aktif pada Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII) Rayon Fakultas Hukum Unej.Pendidikan Pasca
Sarjana sendiri diselesaikan oleh penulis pada Progam Pasca
Sarjana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang pada
tahun 2010.Selintas tentang karyanya antara lain: Tim Penulis
Teori dan Politik Hukum Tata Negara, penerbit Kreasi Total
Media Yogyakarta(2009), Jurnal M.K Universitas Lampung,Jurnal
M.K universitas Trunojoyo Madura, dan beberapa opini penulis
yang tersebar dalam surat kabar Lampung Post, Radar Lampung
dan Lampung News Paper. Penulis saat ini aktif sebagai pengajar
dibagian HTN di Fakultas Hukum Universitas Lampung dan dapat
dihubungi di: i_santri@yahoo.co.id

Anda mungkin juga menyukai