Anda di halaman 1dari 8

Contoh Obat Kategori Off Label

Berikut ini ada beberapa obat-obat yang di indikasikan Off Label, yang berarti
banyak diresepkan atau digunakan oleh dokter diluar indikasi yang sebenarnya.
Meski bukan berdasar indikasi yang sebenarnya penggunaan obat-obat yang
masuk dalam katagori ini berdasarkan pada pengalaman dokter dan hasil-hasil
penelitian terbaru, namun regulator obat seperti FDA atau BPOM belum
menyetujuinya.

(Dikutip dari: Obat Kategori Off label dalam aplikasi klinik, Suharyono, 2009)

Penggunaan obat off-label : apa dan mengapa?


17 07 2010

Dear kawan,
Pernah dengar ngga bahwa
sertralin (suatu obat anti depresan) bisa digunakan untuk mengatasi ejakulasi dini
pada pria? Atau bahwa ketotifen (suatu anti histamin) sering diresepkan sebagai
perangsang nafsu makan untuk anak-anak? Atau amitriptilin (suatu obat anti
depresi juga) dipakai untuk mengobati nyeri neuropatik? Ini adalah contoh-contoh
penggunaan off-label. Apa tuh penggunaan obat off-label?

Obat Off-label

Penggunaan obat off-label adalah penggunaan obat di luar indikasi yang disetujui
oleh lembaga yang berwenang. Lembaga berwenang itu kalau di Amerika adalah
Food and Drug Administration (FDA), sedangkan di Indonesia adalah Badan
POM. Tetapi karena umumnya obat-obat yang masuk ke Indonesia adalah obat
impor yang persetujuannya dimintakan ke FDA, maka bisa dibilang bahwa
indikasi yang dimaksud adalah indikasi yang disetujui oleh FDA.

Perlu diketahui bahwa sebelum obat dipasarkan, mereka harus melalui uji klinik
yang ketat, mulai dari fase 1 sampai dengan 3. Uji klinik fase 1 adalah uji pada
manusia sehat, untuk memastikan keamanan obat jika dipakai oleh manusia. Uji
klinik fase 2 adalah uji pada manusia dengan penyakit tertentu yang dituju oleh
penggunaan obat tersebut, dalam jumlah terbatas, untuk membuktikan efek
farmakologi obat tersebut. Uji klinik fase 3 adalah seperti uji klinik fase 2 dengan
jumlah populasi yang luas, biasanya dilakukan secara multi center di beberapa
kota/negara. Jika hasil uji klinik cukup meyakinkan bahwa obat aman dan efektif,
maka produsen akan mendaftarkan pada FDA untuk disetujui penggunaannya
untuk indikasi tertentu.

Mengapa obat digunakan secara off-label?

Satu macam obat bisa memiliki lebih dari satu macam indikasi atau tujuan
penggunaan obat. Jika ada lebih dari satu indikasi, maka semua indikasi tersebut
harus diujikan secara klinik dan dimintakan persetujuan pada FDA atau lembaga
berwenang lain di setiap negara. Suatu uji klinik yang umumnya berbiaya besar
itu biasanya ditujukan hanya untuk satu macam indikasi pada keadaan penyakit
tertentu pula. Nah… seringkali,… ada dokter yang meresepkan obat-obat untuk
indikasi-indikasi yang belum diujikan secara klinik. Itu disebut penggunaan obat
off-label. Atau bisa jadi, obat mungkin sudah ada bukti-bukti klinisnya, tetapi
memang tidak dimintakan approval kepada lembaga berwenang karena berbagai
alasan (misalnya alasan finansial), maka penggunaannya juga dapat digolongkan
penggunaan obat off-label.

Penggunaan obat-obatan off-label cukup banyak terjadi. Seperlima dari semua


obat yang diresepkan di Amerika adalah bersifat off-label. Dan pada obat-obat
untuk gangguan psikiatrik, penggunaan obat off-label meningkat sampai 31%.
Contohnya risperidon, yang diindikasikan sebagai obat antipsikotik untuk
pengobatan penyakit skizoprenia/sakit jiwa, banyak digunakan untuk mengatasi
gangguan hiperaktifitas dan gangguan pemusatan perhatian pada anak-anak,
walaupun belum ada persetujuan dari FDA untuk indikasi tersebut. Selain itu, uji
klinik biasanya tidak dilakukan terhadap anak-anak, sehingga diduga 50-75% dari
semua obat yang diresepkan oleh dokter anak di AS adalah berupa penggunaan
off-label, karena memang indikasinya untuk penggunaan pada anak-anak belum
mendapat persetujuan FDA.

Mengapa dokter meresepkan obat off-label?

Bisa jadi karena obat-obat yang tersedia dan approved tidak memberikan efek
yang diinginkan, sehingga dokter mencoba obat yang belum disetujui indikasinya.
Beberapa alasannya antara lain adalah adanya dugaan bahwa obat dari golongan
yang sama memiliki efek yang sama (walaupun belum disetujui indikasinya),
adanya perluasan ke bentuk yang lebih ringan dari indikasi yang disetujui, atau
perluasan pemakaian untuk kondisi tertentu yang masih terkait (misalnya
montelukast untuk asma digunakan untuk Penyakit paru obstruksi kronis), dll.
Atau memang dokternya ingin coba-coba walaupun belum ada bukti klinik yang
mendukung.

Penggunaan obat off-label yang sering terjadi adalah pada pengobatan kanker.
Sebuah studi tahun 1991 menemukan bahwa sepertiga dari semua pemberian obat
untuk pasien kanker adalah off-label, dan lebih dari setengah pasien kanker
menerima sedikitnya satu obat untuk indikasi off-label. Sebuah survei pada tahun
1997 terhadap sebanyak 200 dokter kanker oleh American Enterprise Institute dan
American Cancer Society menemukan bahwa 60% dari mereka meresepkan obat
off-label. Hal ini karena umumnya uji klinik untuk obat kanker dilakukan pada
satu jenis kanker tertentu, sehingga indikasi yang disetujui adalah hanya untuk
jenis kanker tertentu. Tetapi kenyataannya, dokter sering mencoba obat kanker
tersebut untuk jenis kanker yang lain yang belum disetujui penggunaannya. Maka
ini termasuk juga penggunaan obat off-label.

Apa saja contoh penggunaan obat off-label?

Penggunaan obat off-label sendiri ada dua jenis. Yang pertama, obat disetujui
untuk mengobati penyakit tertentu, tapi kemudian digunakan untuk penyakit yang
sama sekali berbeda. Misalnya amitriptilin yang disetujui sebagai anti depresi,
digunakan untuk mengatasi nyeri neuropatik. Yang kedua, obat disetujui untuk
pengobatan penyakit tertentu, namun kemudian diresepkan untuk keadaan yang
masih terkait, tetapi di luar spesifikasi yang disetujui. Contohnya adalah Viagra,
yang diindikasikan untuk mengatasi disfungsi ereksi pada pria, tetapi digunakan
untuk meningkatkan gairah sexual buat pria walaupun mereka tidak mengalami
impotensi atau disfungsi ereksi.

Beberapa contoh lain penggunaan obat off-label antara lain adalah:

 Actiq (oral transmucosal fentanyl citrate), digunakan secara off-label untuk


mengatasi nyeri kronis yang bukan disebabkan oleh kanker, meskipun indikasi
yang disetjui oleh FDA adalah untuk nyeri kanker.
 Carbamazepine, suatu obat anti epilepsi, banyak dipakai sebagai mood stabilizer
 Gabapentin, disetujui sebagai anti kejang dan neuralgia (nyeri syaraf) post
herpes, banyak dipakai secara off-label untuk gangguan bipolar,
tremor/gemetar, pencegah migrain, nyeri neuropatik, dll.
 sertraline, yang disetujui sebagai anti-depressant, ternyata banyak juga
diresepkan off-label sebagai pengatasan ejakulasi dini pada pria.

Golongan obat yang sering digunakan secara off-label

Dan masih banyak lagi, yang mungkin pada satu negara dengan negara lain
terdapat jenis-jenis penggunaan obat off-label yang berbeda. Beberapa golongan
obat populer yang sering dipakai off-label antara lain adalah obat-obat jantung,
anti kejang, anti asma, anti alergi, dll. seperti tertera dalam gambar.

Apa pentingnya mengetahui ini?

Penggunaan obat off-label sah-sah saja dan seringkali bermanfaat. Bisa jadi bukti
klinis tentang efikasinya sudah ada, tetapi belum dimintakan approval kepada
lembaga berwenang karena berbagai alasan. Tetapi perlu diketahui juga bahwa
karena obat ini digunakan di luar indikasi yang tertulis dalam label obat, maka
jika obat memberikan efek yang tidak diinginkan, produsen tidak bertanggung-
jawab terhadap kejadian tersebut. Kadang pasien juga tidak mendapatkan
informasi yang cukup dari dokter jika dokter meresepkan obat secara off label.
Dan jika terdapat penggunaan obat off-label yang tidak benar, maka tentu akan
meningkatkan biaya kesehatan. Faktanya banyak penggunaan obat off-label yang
memang belum didukung bukti klinis yang kuat. Lebih rugi lagi adalah bahwa
obat-obat yang diresepkan secara off-label umumnya tidak dicover oleh asuransi,
sehingga pasien harus membayar sendiri obat yang belum terjamin efikasi dan
keamanannya.

Bagi sejawat apoteker, pengetahuan tentang obat-obat off-label sangat penting


untuk memahami pengobatan seorang pasien. Jika dijumpai suatu obat yang
nampaknya tidak sesuai indikasi, sebaiknya tidak serta merta menyatakan bahwa
pengobatan tidak rasional (atau malah bengong karena bingung… hehe), karena
bisa jadi ada bukti-bukti klinis baru mengenai penggunaan obat tersebut yang
belum dimintakan persetujuan dan masih dalam tahap investigational. Sejawat
apoteker perlu memperluas wawasan dan selalu meng-update pengetahuan
mengenai obat-obat baru maupun bukti-bukti klinis baru yang sangat cepat
perkembangannya.

Demikian sekilas info, semoga bermanfaat.

OBAT-OBAT DENGAN INDIKASI TIDAK LAZIM ( OBAT OFF


LABEL)

DEFINISI :
Obat Off Label : Obat-obat yang diresepkan dokter dengan indikasi tidak
lazim, indikasi baru dengan dosis, rute atau usia pasien yang berbeda
dari informasi yang tercantum dalam brosur yang di setujui oleh FDA
(Food and Drug administration) dan obat tetap memenuhi kriteria
keamanan dan efikasi.

Beberapa contoh obat off label ;

1. Metformin dan Pioglitazon yang di ketahui untuk OAD (Oral


Antidiabetika ) , sebagai obat off label di indikasikan untuk
PCOS (Polycystic Ovary Syndrom) yaitu adanya
ketidakseimbangan hormone pada wanita dimana adanya
peningkatan hormone androgen dan gangguan ovulasi .
2. Levamisol , obat-obat antikonvulsan generasi baru untuk
mengatasi nyeri neuropati , sebagai obat off label di indikasikan
sebagai immunodulator.
3. Misoprostol, mencegah ulcus lambung, sebagai obat off label
adalah untuk menginduksi persalinan.
4. Siproheptadin, antihistamin sebagai obat off label di indikasikan
untuk penambah nafsu makan.
5. Vitamin A pada anak sebagai obat off label diindikasikan untuk
memperbaiki mukosa saluran cerna pada kasus diare pada
anak.

Munculnya obat off label biasanya terjadi karena dokter dan peneliti
lainnya menemukan indikasi lain dan dokter memiliki hak prerogatif untuk
meresepkan dengan indikasi baru tersebut. Dan obat –obat off label ini
dapat digunakan sebagai indikasi barunya setelah ada laporan UJI KLINIK
YANG MEMENUHI PERSYARATAN .

Oleh FDA obat off label ini sudah ada yang menjadi obat on label
seperti ;

1. Aspirin , antipiretik digunakan sebagai antiplatelet


2. Amitriptilin, antipdepresan digunakan sebagai nyeri neuropati.
3. Laktulosa, pencahar digunakan untuk ensefalopati hepatic.
4. Karbamazepin, Gabapentin , antiepilepsi digunakan sebagai
nyeri neuropati

PERAN FARMASIS
Dengan adanya obat-obat off label , para farmasis harus berhati-hati
dalam memberikan informasi kepada pasien. Hendaknya informasi yang
disampaikan kepada pasien tidaklah salah sehingga tidak menimbulkan
kekhawatiran kepada pasien atau hal-hal lain yang tidak diinginkan .
Kurangnya informasi adanya obat-obat off label ini oleh farmasis tentunya
bisa menimbulkan kesalahan penafsiran dan tujuan dari peresepan itu
sendiri.
Informasi obat off label ini sangat terbatas dan tidak ditemukan dalam
buku-buku monografi obat yang baku (sumber tersier) , ataupun brosur
dari produsen.
INFORMASI OBAT OFF LABEL BIASANYA KITA DAPATKAN DARI
JURNAL ILMIAH KEDOKTERAN MAUPUN FARMASI .
Dari berbagai sumber dan trimakasih u/ bpk Dr Suharjono , Apt .(Ka Prodi
Magister Farmasi Klinik Univ. Airlangga)

OFF-LABEL DRUG USE

Obat Off-label (OL) adalah obat yang diresepkan dokter untuk indikasi baru dan
dosis,rute, maupun untuk usia yang mungkin juga berbeda dari informasi yang
tercantum dalam brosur yang telah disetujui oleh FDA (Food and Drug
Administration) Amerika Serikat.
Seringkali munculnya obat OL terjadi setelah dokter dan peneliti lainnya
menemukan indikasi lain dan dokter mempunyai kebebasan (prerogatif) untuk
meresepkan obat untuk indikasi baru tersebut. Jadi FDA tidak memiliki peran
dalam sertifikasi obat OL. Hal lain adalah informasi atau riset yang dimiliki oleh
FDA lebih lambat daripada yang dilakukan oleh peneliti lain. (ASHP, 2003; Klein
dan Tabarrok,2004; Gazanan et al, 2006).
Dalam sejarah, banyak obat OL yang dulu pada saat ditemukan dan disetujui oleh
FDA untuk indikasi penyakit tertentu, namun akhirnya obat-obat OL ini dapat
digunakan untuk indikasi baru dan akhirnya setelah ada laporan uji klinik yang
memenuhi syarat oleh FDA, obat-obat ini dapat digunaskan untuk indikasi ynag
baru dan menjadi obat-obat on-label. Sebagai contoh aspirin yang dahulu
digunakan untuk antipiretika anak-anak dengan dosis kecil, sekarang bamnyak
digunakan untuk antiplatelet untuk orang dewasa/tua. Sildenafil yang pertama
digunakan untuk mengobati angina pektoris ternyata dapat juga digunakan untuk
mengobati disfungsi ereksi sehingga menjadfi obat on-label, namun sildenafil juga
OL untuk terapi pulmonary hypertension, dan masih banyak lagi contoh obat OL
lainnya (Klein dan Tabarrok,2004)
Peresepan obat OL merupakan pilihan bila standar terapi mengalami kegagalan.
Pasien heterogen dan tidak selalu memberikan hasil atau respons yang sama.
Harapan dari peresepan OL akan memperbaiki harapan terutama pada
pengetahuan yang baru (Klein dan Tabarrok, 2004). Dalam melakukan peresepan
obat OL, dokter berdasarkan riset kedokteran dan pengalaman peer-review dari
beberapa publikasi ilmiah, newsletter, kuliah, konperensi dan komunikasi dengan
pakarnya.
Banyak obat OL yang alhirnya sudah menjadi on-label, seperti aspirin sebagai
antiplatelet, viagra untuk disfungsi ereksi, magnesium, sulfat untuk tokolitik pada
preeklamsia, amitriptilen untuk neuropati pada kanker, dll,seperti berikut:

1. Karbamazepin nyeri neuropati


2. Gabapentin nyeri neuropati
3. laktulosa mencegah ensefalopati hepatik
4. terbutalin tokolitik pada kehamilan
5. metotreksat reumatik arthritis
6. N-asetyl sistein antidotum parasetamol
7. diazepam antikonvulsan, muscle relaxan
(DiPiro, 2005; AHFS,2001, USP DI, 2003)

Dalam perkembangan pola terapi selanjutnya muncul obat-obat OL baru yang


mulai banyak diresepkan dokter, misalnya metformin dan Pioglitazon untuk
Sindroma polisistik ovary (PCOS = Polycystic Ovary Syndrome), levamisol dan
mebendasol untuk imunomodulator.
Dari penelusuran pustaka baru ternyata banyak obat OL baru yang dilaporkan
penelitiannya menggunakan uji klinik pada pasien. Sumber informasi dapat
ditelusuri di beberapa majalah seperti Hospital Pharmacy, NEJM atau lewat
penelusuran Medline, Medscape.
Obat-obat Ol ini beberapa sudah banyak diresepkan dan digunakan oleh
Dokter/klinisi dan sudah mulai menunjukkan hasilnya. Namun pabrik obat yang
memproduksinya, terutama pabrik inovator belum mengajukan tambahan
(suplemen) informasi indikasi baru dari produk obatnya. Jika sudah mengajukan
ke FDA, temntunya FDA akan mengevaluasi hasil uji klinik tersebut oleh para
pakar sesuai bidang keahliannya. Bila disetujui oleh FDA, maka informasi
indikasi baru bisa ditambahkan dalam brosur atau leaflet produk paten tersebut.
Berikut beberapa contoh obat OL

1. Lamotrigin Nyeri neuropati


2. Selekoksib mencegah kanker kolorektal, kanker payudara
3. Metoklopramid pelancar ASI
4. Domperidon pelancar ASI
5. Botulinum toksin tipe A kosmetik pada mata
6. tramadol terapi ejakulasi dini
7. N asetil sistein mencegah efek samping radiokontras dan terapi kulit

Adanya obat OL, Farmasis harus berhati-hati dalam memberikan informasi


kepada pasien. Diharapkan Perguruna Tinggi Farmasi segera menyelenggarkan
PIO (Pelayanan Informasi Obat) agar dapat menyampaikan informasi obat OL
dengan benar

Pustaka:
AHFS, 2001, Drug Information American Health Formulary Service.
ASHP,2003, ASHP Statement on the Use of Medications for Unlabeled Uses
Batukan C dan Baysal B,2001, Metformin improves ovulation and Pregnancy
rates in patients with polycystic ovary syndrome, Arch Gynecol Obslet, 265: 124-
127
General J dan Cad DJ, 2003, Sildenafil: Pulmonary Hypertension (Pediatric,
neonatal), Hosp Pharmacy, vol 38, no 7, 646-651
General J dan Cad DJ, 2003,Gabapentin: Neuropathy (diabetic), Hosp Pharmacy,
vol 38, no 7, 737-744
General J dan Cad DJ, 2006. Tramadol: Premature Ejaculation, Hosp Pharmacy,
vol 41, no 11, 1048-1050
General J dan Cad DJ, 2006. Acetylsisteine: Prevention of Contrast Media Nephro
pathy, Hosp Pharmacy, vol 38, no 2, 122-128
Hale RH, Zinberg S, 2001, Use of Misoprostol in Pregnancy, N Engl J Med, vol
344, No 1, January, 59-60
Hilmi I dan Gph KL, 2006, Chemoprevention of Colorectal cabcer with
nonsteroidal anti-inflammatory drugs, Chinese J Digest Dia; 7; 1-6
Klein DB dan Tabarrok A, 2004, Who certified off-Label?, Regulation Summer,
60-63
Ranger G dan Mokbel K, 2001, COX-2 inhibitor and Breast Cancer, ANZ J. Surg,
2003: 73, 565-566
Sousa PLR, 1975, Metoclopramide and Breast-feeding, Br Med J, 1 March, 512

Anda mungkin juga menyukai