Anda di halaman 1dari 22

Patofisiologi Cedera Kepala

Pendahuluan
Cedera kepala masih menjadi penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas
di Amerika Serikat, meskipun sudah terjadi kemajuan dalam bidang ilmu
kegawatdaruratan, perawatan intensif, dan ilmu bedah saraf mengenai trauma.
Adanya berbagai program pencegahan seperti penggunaan peralatan keselamatan
seperti sabuk pengaman, kantung udara (airbag), penggunaan helm, dan batas kadar
alkohol dalam darah yang diizinkan, telah memberikan dampak yang positif pada
epidemiologi cedera kepala berat. Hasil keluaran dari pasien yang mengalami cedera
kepala, kadang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berada di luar kontrol para klinisi,
seperti tingkat keseriusan dari cedera kepala yang mendasari dan adanya cedera pada
sistem organ utama yang lainnya. 1-2
Cedera kepala mayor didefinisikan oleh Yayasan Cedera Kepala Nasional di
Amerika Serikat sebagai akibat traumatik pada otak yang dapat menyebabkan
perubahan fisik, intelektual, sosial, emosional, dan tingkah laku. Cedera kepala berat
umumnya didefinisikan sebagai cedera yang mengakibatkan kondisi koma, dimana
koma yang terjadi tidak disebabkan oleh kondisi ekstrakranial (seperti intoksikasi
yang berat) dan tetap berlanjut setidaknya dalam beberapa waktu setelah periode
resusitasi akut. Dengan menggunakan Skala Koma Glasgow, yang merupakan metode
yang paling umum untuk mendiagnosis koma traumatik, adalah pada pasien yang
tidak membuka matanya meskipun telah diberikan stimulus nyeri, tidak mengluarkan
kata-kata, atau bahkan mengikuti perintah sederhana, dinyatakan dalam keadaan
koma. 3-4

Insiden
Insiden cedera kepala di Amerika Serikat adalah sekitar 200/100.000 orang
setiap tahun. Dari jumlah penduduk Amerika Serikat yaitu sekitar 250 juta jiwa,

1
sekitar 500.000 orang mengalami cedera kepala setiap tahun yang cukup berat dan
membutuhkan pertolongan medis. Diantara mereka, sekitar 40.000-50.000 orang
meninggal sebelum sampai di rumah sakit. Di Amerika Serikat setiap tahun, sekitar 1
juta orang dirawat akibat cedera kepala, dan sekitar 230.000 orang lainnya masuk ke
rumah sakit akibat cedera kepala. Di Amerika Serikat, sekitar 50% cedera kepala
merupakan akibat dari kecelakaan lalu lintas, dan sekitar 13-15% cedera kepala
merupakan akibat dari luka tembak. Di Amerika Serikat, lebih dari separuh kasus
kecelakaan lalu-lintas mengakibatkan kematian (15% dari semua kematian
merupakan akibat dari kecelakaan lalu lintas) atau cedera kepala berat. Diperkirakan
sekitar 5,3 juta penduduk Amerika Serikat saat ini hidup dengan disabilitas yang
permanen akibat cedera otak traumatik. Penggunaan helm telah terbukti dapat
mengurangi kasus ini secara signifikan. Sedangkan di negara lainnya, didapatkan pola
kejadian cedera yang berbeda. Cedera kepala yang terjadi pada pejalan kaki,
insidennya tinggi di Nigeria dan beberapa tempat di Inggris. Di beberapa tempat di
Afrika Selatan, cedera otak akibat luka tusuk pisau merupakan hal yang sangat sering
terjadi. Cedera otak didapatkan pada setengah dari kematian akibat trauma, dan
penggunaan alkohol serta obat-obatan ditemukan pada setengah dari kasus tersebut.
Para pengguna alkohol kronik memiliki risiko yang lebih tinggi akibat tingginya
frekuensi kejadian cedera kepala, atrofi cerebral, dan koagulopati. Biaya finansial
yang dibutuhkan sangat tinggi (lebih dari 4 milyar dolar setiap tahun) tidak hanya
untuk perawatan pada kasus akut tetapi juga untuk biaya perawatan jangka panjang
serta hilangnya kemampuan kerja akibat yang terkena cedera kepala biasanya mereka
yang tergolong umur produktif (umur rata-rata 30 tahun). 1, 4-7
Insiden puncak dari kejadian cedera kepala terjadi pada umur 15-24 tahun
atau pada dekade kedua sampai ketiga. Insiden puncak yang kedua terjadi pada bayi
dan orang berumur tua. Cedera kepala masih tetap merupakan penyebab kematian
utama pada dewasa muda dan 2 sampai 3 kali lebih sering terjadi pada laki-laki.
Perbandingan antara laki-laki dengan perempuan bervariasi antara 2:1 dan 3:1. Orang
yang memiliki risiko tinggi untuk terjadinya cedera otak traumatik adalah dewasa

2
muda berumur 15-30 tahun, bayi umur 6 bulan sampai 2 tahun, anak umur sekolah,
dan orang berumur tua. Bayi memiliki risiko yang lebih tinggi karena ukuran dari
kepala yang relatif lebih besar, dan kompresibilitas dari tulang tengkorak. Orang
berumur tua memiliki risiko tinggi untuk terjadinya cedera intrakranial, khususnya
hematom subdural. Atrofi cerebral menyebabkan peregangan vena-vena penghubung
antara duramater dengan parenkim otak, dan membuat vena ini rawan untuk
mengalami robekan akibat kekuatan deselerasi. Cedera kepala traumatik ditemukan
paling sering pada orang kulit hitam dan keluarga berpenghasilan rendah. Pasien
dengan cedera kepala berat, atau mereka yang masuk rumah sakit dalam keadaan
koma, merupakan sebagian kecil dari pasien dengan cedera kepala, tetapi mereka
memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang paling tinggi. 1, 3, 5, 6, 8

Etiologi
Hampir semua cedera otak traumatik disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas,
akibat peristiwa yang berhubungan dengan aktivitas olehraga, dan akibat tindakan
kekerasan. Penyebab yang paling sering dari cedera kepala tertutup adalah kecelakaan
lalu lintas, dimana hal ini meliputi cedera yang terjadi pada penumpang kendaraan
bermotor, pejalan kaki, pengendara motor, dan pengendara sepeda. Penyebab yang
lainnya adalah akibat terjatuh. Cedera akibat luka tembak merupakan penyebab utama
dari cedera kepala penetrasi di Amerika Serikat dan terhitung sebanyak 44% dari
semua kasus cedera kepala. Dewasa muda merupakan orang yang paling sering
terlibat dalam kecelakaan lalu lintas (umur 5-64 tahun), tetapi populasi ini memiliki
sedikit insiden dari lesi massa intrakranial. Sedangkan pasien berumur tua (65 tahun
atau lebih) paling sering mengalami cedera akibat terjatuh dan memiliki insiden yang
tinggi dari lesi massa intrakranial. Intoksikasi alkohol dan obat-obatan lainnya
merupakan faktor yang signifikan sebagai penyebab cedera dan tersebar hampir sama
pada semua kelompok umur, kecuali pada umur sangat muda dan sangat tua. 3, 5, 8, 9

3
3
Tabel 1 Penyebab cedera kepala
Jenis cedera Mekanisme
Coup dan countrecoup Objek yang membentur bagian depan (coup) atau bagian
belakang (countrecoup) kepala; objek yang membentur
bagian samping kepala (coup atau countrecoup); kepala
yang mengenai objek dengan kecepatan rendah

Hematom ekstradural Kecelakaan lalu-lintas, terjatuh, kecelakaan saat olahraga

Hematom subdural Kecelakaan lalu lintas atau terjatuh, khususnya pada orang
berusia tua atau orang dengan penyalahgunaan alkohol
yang kronik

Perdarahan Kontusi yang disebabkan oleh gaya dengan kekuataan yang


intracerebral besar, biasanya akibat kecelakaan lalu lintas atau terjatuh
dari jarak yang jauh
Fraktur campuran Objek yang mengenai kepala dengan kekuatan yang besar
atau kepala yang membentur objek dengan sangat kuat;
fraktur tulang temporal, fraktur tulang occipital, dampak ke
arah atas dari vertebra cervical (fraktur dasar tulang
tengkorak)

Cedera penetrasi Misil (peluru) atau proyektil yang tajam (pisau, pemecah
es, kapak, baut)

Cedera aksonal difus Kepala yang sedang bergerak dan membentur permukaan
yang keras atau objek yang sedang bergerak membentur
kepala yang dalam kondisi diam; kecelakaan lalu lintas
(saat kerja atau pejalan kaki); gerakan kepala memutar

Klasifikasi
Cedera kepala secara umum dikelompokkan menjadi trauma tertutup (tumpul)
dan trauma terbuka (penetrasi). 3
1. Trauma kepala nonpenetrasi
Trauma kepala nonpenetrasi atau trauma kepala tertutup, merupakan akibat
dari cedera tumpul. Tidak ada penetrasi benda asing pada dura (dura masih intak),
meskipun dapat terjadi laserasi dura akibat terjadinya fraktur tulang tengkorak, dan

4
jaringan otak tidak terpapar dengan lingkungan luar. Trauma tumpul lebih sering
terjadi dan meliputi benturan kepala pada permukaan yang keras, atau objek
berkecepatan tinggi yang mengenai kepala.. Trauma tumpul dapat mengakibatkan
baik cedera otak fokal maupun cedera aksonal difus. 1, 3
2. Trauma kepala penetrasi
Saat terjadi penetrasi pada dura, maka akan menimbulkan paparan dari isi
tengkorak pada lingkungan luar, dimana terjadi trauma terbuka, yang mengakibatkan
cedera otak fokal. Cedera kepala penetrasi dihubungkan dengan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi. Diperkirakan, tingkat mortalitas setiap tahun adalah sekitar
2,4/100.000 orang di Amerika Serikat, dimana nilai ini dipengaruhi oleh umur, ras,
dan jenis kelamin. Cedera kepala penetrasi semakin meningkat frekuensinya dan
sekarang ini terhitung sebanyak 15% kematian akibat cedera kepala. Peluru dan
fragmen tulang yang masuk ke intrakranial dapat menyebabkan terjadinya gelombang
getaran dan cedera kavitasi yang dapat menimbulkan destruksi yang luas. Terjadinya
destruksi jaringan dihubungkan dengan koagulopati konsumtif dan vasospasme, yang
selanjutnya dapat memperberat cedera. Tingkat mortalitas melebihi 60%, dan diantara
orang yang berhasil bertahan, 10% diantaranya tetap dalam kondisi vegetatif dan
memiliki ketidakmampuan (disabilitas) yang berat. 1, 3, 7
Cedera kepala penetrasi dapat disebabkan oleh mekanisme trauma yang
berbeda. Trauma dapat disebabkan oleh proyektil yang memiliki kecepatan tinggi
atau rendah. Cedera lainnya dapat meliputi luka tusukan, cedera akibat terkena panah,
cedera senjata di industri dan cedera akibat penggunaan mesin bor. Pada cedera otak
yang disebabkan oleh objek dengan kecepatan rendah, kerusakan hanya terbatas pada
adanya disrupsi jaringan secara langsung. Kadang-kadang tidak terjadi hilangnya
kesadaran. Pada cedera yang disebabkan oleh misil, cavitasi dapat terbentuk di
sepanjang jalur misil, dan tergantung pada ukuran dan kecepatan misil, maka disrupsi
dari jaringan otak di sekitarnya kadang-kadang dapat menyebar dan sifatnya berat.
Baik cedera penetrasi dengan kecepatan tinggi maupun rendah dapat menyebabkan

5
disrupsi dari kulit, tulang tengkorak, dan selaput otak, sehingga dapat memudahkan
1, 4
kontaminasi cairan cerebrospinal atau otak dengan mikroorganisme infektif.
Cedera kepala yang paling sering terjadi disebabkan oleh misil seperti peluru,
fragmen batu atau logam, atau pecahan peluru. Dalam usaha untuk lebih memahami
penemuan patologis yang akan didapatkan, maka diperlukan pemeriksaan balistik.
Misil dengan kecepatan rendah dapat hanya menyebabkan cedera pada kulit atau otot
kepala, tanpa menimbulkan adanya penetrasi tulang tengkorak. Hal ini biasanya
terjadi jika senjata ditembakkan dari jarak jauh. Saat misil dapat menembus tulang
tengkorak, dan menimbulkan lubang atau fraktur, maka bentuk dari peluru dapat
berubah. Ada energi yang hilang selama proses benturan pada kepala. Penetrasi dan
kerusakan otak, selanjutnya akan bergantung pada jumlah energi kinetik yang tersisa.
Gelombang energi merupakan akibat langsung dari penetrasi pada jaringan. Kematian
yang terjadi segera setelah kejadian trauma, dapat merupakan akibat dari peningkatan
tekanan intrakranial yang signifikan yang disebabkan oleh benturan tersebut.
Kerusakan yang disebabkan oleh gelombang, juga dapat berjarak jauh dari jalur misil.
Setelah misil menembus otak, maka dapat terbentuk jalur yang selanjutnya kadang
menjadi rongga yang permanen. Selain itu juga dapat terbentuk rongga yang bersifat
sementara (temporer), yang selanjutnya kolaps dalam waktu yang singkat, sekitar 20
milidetik. Diameter dari rongga yang temporer ini, dapat lebih besar dari diameter
misil dan merupakan akibat dari kecepaan misil. Saat misil menembus tulang
tengkorak dan otak, maka jalur yang terjadi dapat berbentuk tidak reguler secara
sempurna. Debris, rambut, dan fragmen tulang dapat ikut masuk, tetapi tetap lebih
dekat pada tempat masuk karena energi kinetiknya yang rendah. 1
Misil dengan energi yang rendah dapat tidak keluar dari tulang tengkorak,
tetapi dapat berubah arah dan terpantul (richochet) dan mengakibatkan kerusakan
tambahan pada otak. Sebaliknya, pada senjata dengan kaliber yang besar, jika
ditembakkan pada jarak yang dekat, dapat membawa energi yang cukup besar untuk
dapat masuk sekaligus keluar dari tulang tengkorak. Fraktur tulang tengkorak yang

6
bersifat ledakan pada lokasi keluar dari misil, dapat ditemukan pada cedera misil
dengan kecepatan tinggi. 1

Patofisiologi trauma kraniocerebral


Cedera akselerasi-deselerasi
Cedera pada otak disebabkan oleh transfer energi pada tengkorak dan struktur
di dalamnya. Cedera akselerasi deselerasi terjadi sebagai akibat dari mekanisme
benturan atau impuls yang dapat menyebabkan disrupsi dari jaringan otak (laserasi
dan atau kontusi), cedera aksonal difus, atau keduanya. Pada cedera tumpul, dorongan
akselerasi-deselerasi angular menyebabkan timbulnya strain (gaya) yang terbagi
secara merata pada parenkim otak, dimana hal ini bertanggung jawab pada terjadinya
cedera aksonal difus. Adanya dorongan atau benturan ini, dapat secara langsung
terjadi pada kepala (cedera benturan) atau secara tidak langsung melalui tubuh
(cedera impuls). Tanda fisiologis dari terjadinya cedera otak difus adalah hilangnya
kesadaran. 8
Cedera otak dapat terjadi secara langsung di bawah lokasi cedera (cedera
coup), tetapi karena otak sifatnya lebih relatif dibandingkan tulang tengkorak dan
dura, maka kompresi otak yang berjauhan dengan lokasi benturan juga dapat terjadi,
dimana dapat ditemukan pada permukaan orbitofrontal dari lobus frontal dan atau di
bagian anterior dari lobus temporal, yang jauh dari lokasi benturan (cedera
countrecoup). Hal ini dapat menjelaskan mengapa cedera otak dapat terjadi pada
daerah intrakranial yang berlawanan dengan lokasi trauma atau benturan (cedera
countrecoup). Trauma kraniocerebral dapat menyebabkan konkusi, kontusi cerebral,
perdarahan intrakranial, atau cedera aksonal difus. 2, 8

Patofisiologi
Mekanisme cedera otak merupakan hal yang bersifat kompleks, bervariasi,
dan belum sepenuhya dipahami. Trauma mekanik, iskemia, kerusakan energi seluler,
cedera reperfusi eksitotoksin, edema, cedera vaskuler, dan cedera yang menginduksi

7
apoptosis, merupakan factor-faktor yang berpengaruh pada hampir semua cedera otak
akut. Ada dua fase utama dari cedera kepala yang diakibatkan oleh trauma kepala.
Fase pertama adalah kerusakan otak awal yang terjadi segera pada saat benturan,
yang meliputi cedera neural, cedera glial primer, dan respon vaskuler, dimana hal ini
dapat meliputi laserasi kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, kontusi, perdarahan
pungtat, perdarahan subarachnoid dan cedera aksonal difus. Ada dua jenis cedera
primer yang dapat terjadi yaitu cedera otak fokal dan difus. Tipe yang paling sering
dari cedera otak traumatik (75-90%) adalah konkusi ringan dan konkusi cerebral
klasik. Cedera otak fokal terhitung sebanyak lebih dari dua per tiga dari kematian
akibat cedera otak, sedangkan cedera aksonal difus terhitung sebanyak kurang dari
sepertiganya. Sedangkan fase kedua dari cedera merupakan perkembangan kerusakan
neurologi yang terjadi setelah cedera primer, dimana hal ini dapat berkembang dalam
waktu beberapa hari sampai minggu. Cedera sekunder dapat diakibatkan oleh adanya
edema cerebral, hipoksia, dan perdarahan yang tertunda. 1, 3, 10
 Cedera primer
Cedera primer didefinisikan sebagai cedera otak traumatik primer yang
disebabkan oleh kekuatan eksternal pada kepala yang menimbulkan kerusakan
jaringan di luar toleransi strukturalnya. Kekuatan ini daapat dikelompokkan menjadi
kekuatan kontak atau inersia. Kekuatan kontak umumnya menimbulkan cedera fokal
seperti fraktur tulang tengkorak, kontusi, hematom epidural dan subdural. Kekuatan
inersia terjadi akibat otak yang mengalami akselerasi atau deselerasi (tranlasional,
rotasional, atau keduanya). Kekuatan inersia dapat menyebabkan cedera otak fokal
atau difus, dimana akselerasi tranlasional yang murni dapat menyebabkan cedera
fokal seperti kontusi countrecoup, hematom intracerebral, dan hematom subdural,
sedangkan akselerasi rotasional atau angular (sering terjadi pada kecelakaan lalu
lintas dengan kecepatan tinggi), biasanya menyebabkan cedera otak difus. Cedera
primer ini dapat berlanjut pada kerusakan yang irreversibel akibat disrupsi sel,
bergantung pada mekanisme dan keseriusan dari kejadian tersebut. Trauma kepala
dapat mengakibatkan kerusakan pada kulit kepala, tulang tengkorak dan otak.

8
Laserasi kulit kepala, dapat menyebabkan perdarahan yang signifikan tetapi pada
hampir semua kasus, hemostasis dapat terjadi dengan mudah. Fraktur dapat
dikelompokkan menjadi fraktur linier, depresi, campuran, atau melibatkan dasar
tengkorak. Fraktur tulang tengkorak linier atau simpel merupakan tipe yang paling
sering terjadi, umumnya terjadi pada konveksitas lateral dari tulang tengkorak, dan
tidak membutuhkan terapi yang spesifik. Fraktur tulang tengkorak depresi terjadi saat
tabula eksterna dari tengkorak mengalami depresi atau penurunan di bawah tabula
interna dan dapat menyebabkan robeknya dura atau laserasi otak. Biasanya terjadi
akibat trauma tumpul oleh objek yang memiliki area permukaan yang relatif kecil
seperti palu. Mungkin dibutuhkan perbaikan operatif, khususnya pada fraktur depresi
yang melibatkan dinding posterior sinus frontal atau berhubungan dengan perdarahan
intrakranial. Fraktur depresi campuran didefinisikan sebagai fraktur yang disertai
laserasi dari kulit kepala dan dapat ditangani dengan debridement luka melalui
operasi. Fraktur dasar tengkorak dapat terjadi akibat trauma tumpul yang berat pada
daerah frontal atau occiput, dan didiagnosis dengan penemuan klinik dari adanya
ekimosis periorbital (raccoon eyes), ekimosis pada daerah postaurikuler (Battle’s
sign), hemotimpanum, atau kebocoran cairan cerebrospinal, dapat memiliki penyulit
berupa meningitis atau abses otak. Pasien dengan fraktur tulang tengkorak memiliki
risiko yang tinggi untuk terjadinya hematom intrakranial yang tertunda, dan harus
diobservasi dalam waktu 12-24 jam setelah cedera awal. Cedera primer dapat
meliputi cedera aksonal difus kontusi hematom, dan perdarahan subarachnoid
traumatik. 2, 4, 5

Konkusi
Konkusi merupakan kehilangan fungsi neurologik sentral yang sifatnya
segera, terjadi tiba-tiba, dan tanpa disertai sekuel yang diakibatkan oleh trauma
kraniocerebral. Karakteristiknya adalah hilangnya kesadaran, amnesia sementara
(hilangnya memori), konfusi, disorientasi, perubahan visual, disfungsi otonom, sakit
kepala, tinitus, dan iritabilitas dengan derajat yang bervariasi, tanpa adanya

9
abnormalitas cerebral yang bermakna (tidak disertai adanya kerusakan patologis pada
otak). 2, 6, 9

Kontusi cerebral
Kontusi cerebral merupakan area yang mengalami kerusakan pada parenkim
otak dan dapat menimbulkan defisit neurologis bergantung pada lokasi anatominya.
Kontusi umumnya ditemukan paling sering pada lobus frontal, khususnya pada
bagian ujung dan sepanjang permukaan orbital inferior; pada lobus temporal,
khususnya pada kutub anterior dan sepanjang permukaan inferior; dan pada daerah
sambungan frontotemporal. Bagian anterior dari lobus frontal dan temporal
merupakan bagian yang rawan atau rapuh karena kontur yang kasar dari tulang
tengkorak pada regio ini. Kontusi kadang dihubungkan dengan disrupsi dari sawar
darah otak dan dapat disertai penyulit berupa perluasan dari perdarahan yang terjadi,
pembentukan edema, atau kejang. Kontusi yang besar dapat menimbulkan efek massa
yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi otak. Hal ini
mengakibatkan perubahan pada fungsi perhatian, memori, afek, emosi, dan tingkah
laku. Pada kasus yang jarang terjadi, kontusi terjadi pada lobus parietal dan occipital.
Kontusi cerebral fokal dapat bersifat superfisial, dan hanya melibatkan girus otak.
Kontusi hemoragik dapat berkumpul menjadi hematom intrakranial konfluen yang
luas. 1-3
Kontusi biasanya bersifat lokal dan dihubungkan dengan adanya perdarahan,
edema, dan nekrosis. Kontusi dapat dibagi menjadi dua kelompok. Kontusi coup
lebih berat pada jaringan otak dibawah lokasi benturan dan biasanya berhubungan
dengan cedera akselerasi. Kontusi countrecoup berlokasi pada permukaan otak yang
berlawanan dengan lokasi trauma dan dihubungkan dengan cedera deselerasi. Kontusi
traumatik juga dihubungkan dengan kejadian hematom intracerebral superfisial.
Edema yang terjadi di sekitar kontusi merupakan jenis vasogenik. Edema vasogenik
uumnya terjadi pada substansi alba, dan merupakan akibat dari adanya destruksi
jaringan dan disrupsi sawar darah otak. Perdarahan yang terjadi pada otak dapat

10
bersifat fokal atau multifokal. Hematom intracerebral juga dapat terjadi pada lobus
frontal dan temporal, dan kadang muncul sebagai perluasan perdarahan dari kontusi.
Lokasi terjadinya kontusi yang kurang sering ditemukan adalah pada fossa posterior
dan ganglia basalis. 1

Hematom intrakranial
Cedera kepala dapat menyebabkan perdarahan pada ruang epidural, subdural
atau subarachnoid. Perdarahan intrakranial ini, yang mungkin membutuhkan evakuasi
melalui tindakan operasi, bergantung pada ukuran dan lokasinya. Perdarahan
intrakranial dapat menyebabkan efek massa dimana dapat hal ini dapat menimbulkan
peningkatan tekanan intrakranial dan herniasi otak disertai kompresi struktur otak
yang vital. 1
 Hematom epidural
Hematom epidural terhitung sebanyak 1-2% dari cedera otak mayor dan
terjadi pada semua kelompok umur tetapi paling sering pada umur 20-40 tahun.
Sumber perdarahan berasal dari arteri (85%) dan akibat dari cedera pada vena
meningea atau dura sinus (15%). Mayoritas hematom epidural terjadi pada daerah
temporal atau parietal, tetapi juga dapat terjadi pada lobus frontal atau oksipital, dan
pada kasus yang jarang terjadi pada fossa posterior. Fossa temporalis merupakan
lokasi yang paling sering dari hematom ekstradural yang disebabkan oleh cedera pada
arteri dan vena meningea media. Lesi ini umumnya diakibatkan oleh fraktur tulang
tengkorak dan laserasi pembuluh darah meningeal, paling sering pada cabang
posterior dari arteri meninga media. Hal ini dapat terjadi setelah terjadinya cedera
benturan dengan kecepatan rendah. Karena dura melekat dengan erat pada tabula
interna dari tulang tengkorak, maka hematom yang terjadi biasanya memiliki
konfigurasi lentiformis homogen. Lobus temporal dapat bergeser ke medial,
mempresipitasi herniasi girus uncal dan hippocampal melalui celah tentorial.
Perdarahan ekstradural umumnya ditemukan pada area subfrontal, khususnya pada
populasi berumur muda dan tua yang disebabkan oleh cedera pada arteri meningea

11
anterior atau sinus venosus. Dan pada area suboccipital dapat mengakibatkan herniasi
2-3, 5
dari isi fossa posterior melalui foramen mágnum.
Pada hematom epidural bentuk klasik, pasien yang mengalami kehilangan
kesadaran akibat konkusi awal, secara perlahan dapat pulih dalam waktu beberapa
menit, dan memasuki lucid interval dimana pasien relatif tidak mengalami gejala
(asimtomatik) dengan hasil pemeriksaan neurologik yang normal. Selama interval ini,
akumulasi dari darah arteri pada ruang epidural, kadang dapat menyebabkan
kompresi dan pergesaran otak dari garis tengah. Proses ini diikuti oleh penurunan
level kesadaran dan tanda herniasi pada pupil dan motorik pasien. Bentuk klasik ini
hanya terjadi pada sekitar 30% kasus. 6, 9
 Hematom subdural
Hematom subdural terhitung sebanyak 10-20% dari orang yang mengalami
cedera otak traumatik. Hematom subdural akut dapat berkembang dengan cepat,
biasanya timbul dalam 3 hari pertama setelah cedera. Pada gambaran CT scan
terdapat daerah hiperdens berbentuk bulan sabit dan biasanya terletak di bagian atas
tengkorak (pada konveksitas cerebral). Jika penderita mengalami anemis berat atau
terdapat CSS yang mengencerkan darah di subdural, gambaran tersebut bisa isodens
atau hipodens. Hematom subdural subakut berkembang dalam waktu yang lebih
lambat, yaitu gejala timbul antara hari ke 4 sampai 20. Gambaran CT scan berupa
campuran hiper, iso, dan hipodens. Hematom subdural kronik umumnya ditemukan
pada orang berumur tua dan orang dengan penyalahgunaan alkohol yang mengalami
kondisi atrofi otak dengan konsekuensi penambahan pada ruang ekstradural, sehingga
perkembangannya dapat berlangsung dalam waktu setelah 3 minggu. Adanya robekan
dari vena penghubung (bridging vein) dapat menyebabkan timbulnya hematom
subdural yang bersifat akut maupun subakut.. Hematom subdural ini, berperan seperti
massa yang sifatnya makin meluas, dan dapat menimbulkan peningkatan tekanan
intrakranial, sehingga juga dapat menyebabkan herniasi. Hematom subdural juga
dapat disebabkan oleh robeknya pembuluh darah kortikal seperti vena penghubung
yang berjalan dari korteks menuju sinus sagital superior. Hal ini umumnya disertai

12
dengan cedera lain seperi kontusi cerebral, dan memiliki prognosis yang lebih buruk
dibandingkan hematom epidural. Karena tidak berhubungan dengan perlekatan dura,
maka perdarahan biasanya meluas secara difus pada permukaan korteks. 2-3, 5, 11
 Hematom subarachnoid
Perdarahan subarachnoid paling sering disebabkan oleh trauma kranicerebral.
Perdarahan subarachnoid sendiri biasanya tidak menyebabkan kerusakan neurologik,
tetapi hidrocephalus dan vasospasme cerebral, yang merupakan komplikasi lambat
biasanya terlihat beberapa hari atau minggu setelah terjadinya perdarahan. Terdapat
bukti yang menunjukkan bahwa perdarahan subarachnoid akibat trauma dapat
menyebabkan vasospasme cerebral yang signifikan yang dapat diukur melalui
peningkatan kecepatan aliran pada evaluasi Doppler transkranial. Perdarahan
subarachnoid traumatik cenderung terdistribusi pada konveksitas otak, dan juga dapat
terjadi pada basal, intrasilvial, dan intraventrikular. 1-2
 Hematom intracerebral
Hematom intracerebral terjadi pada 2-3% orang yang mengalami cedera
kepala, dapat bersifat tunggal atau multipel, dan juga dapat disertai kontusi otak.
Meskipun paling sering terjadi pada lobus frontal atau temporal, hematom ini juga
dapat terjadi pada substansi alba dari bagian dalam hemisfer otak. Pembuluh darah
yang kecil mengalami trauma akibat cedera penetrasi atau benturan dengan tenaga
yang besar. Selanjutnya hematom intracerebral berperan seperti massa yang makin
meluas, dapat meningkatkan tekanan intrakranial, menimbulkan kompresi jaringan
otak, dan menyebabkan koma. Hematom intracerebral yang tertunda dapat terjadi
dalam waktu 3-10 hari setelah kejadian cedera kepala. 3

Cedera aksonal difus


Cedera aksonal difus menggambarkan kerusakan otak dimana terjadi disrupsi
dari proyeksi akson neuronal pada substansi alba cerebral, dan terjadi pada pasien
yang mengalami kehilangan kesadaran segera atau menjadi koma pada saat terjadinya
trauma kepala. Bergantung pada tingkat keseriusan cedera, pasien dapat mengalami

13
cedera aksonal difus yang ringan, sedang, atau berat. Akibat adanya perbedaan
gradien akselerasi pada beberapa area di otak selama terjadintya benturan primer,
maka dapat terjadi efek kekuatan yang tersebar pada perhubungan substansi alba
dengan grissea, corpus callosum, atau batang otak. Akibat dari kekuatan ini adalah
robekan difus dari akson-akson dan pembuluh darah kecil. Cedera aksonal difus
merupakan akibat dari efek kocokan (efek inersia dari input mekanik pada kepala
yang berhubungan dengan level akselerasi dan deselerasi yang tinggi, efek gerakan
kepala). Akselerasi rotasional (gerakan memutar) merupakan mekanisme primer
cedera, yang menimbulan adanya gaya dan distorsi di dalam otak. Gerakan kepala
yang secara bebas melekat pada leher, memberikan dorongan atau gaya rotasional
untuk menimbulkan dorongan atau gaya yang disebarkan pada jaringan otak. Cedera
aksonal yang paling berat berlokasi lebih perifer dari batang otak, dan dapat
menimbulkan gangguan kognitif dan afektif yang luas. Kerusakan yang terjadi, dapat
mengurangi kemampuan dalam proses dan respon terhadap informasi, dan
mengganggu perhatian. 1-3, 6
Secara patofisologi, kerusakan aksonal hanya dapat dilihat dengan
menggunakan mikroskop elektron dimana melibatkan banyak akson, baik terjadi
sendiri maupun disertai dengan robekan jaringan. Area dimana akson dan pembuluh
darah kecil mengalami kerusakan, dapat terlihat sebagai perdarahan kecil, khususnya
pada corpus callosum dan kuadran dorsolateral dari batang otak bagian rostral di
superior pedunculus cerebellar. Akson yang mengalami kerusakan dapat terlihat
dalam waktu 12 jam sampai beberapa hari setelah terjadinya cedera. Tingkat
keseriusan dari kerusakan difus bergantung pada seberapa besar daya benturan
mengenai batang otak. Cedera aksonal difus tidak dihubungkan dengan hipertensi
intrakaranial yang segera terjadi setelah cedera, tetapi kadang dapat terjadi
pembengkakan otak yang sifatnya akut yang disebabkan oleh peningkatan volume
darah intravaskuler di dalam otak dan vasodilatasi. 3

14
Cedera sekunder
Banyak penelitian yang telah melaporkan bahwa autoregulasi cerebral dapat
mengalami gangguan setelah terjadinya cedera otak traumatik. Hal ini menyebabkan
pasien dengan cedera kepala menjadi rawan terhadap akibat dari cedera sekunder
seperti hipotensi, hipertensi intrakranial, hipoksia, perdarahan intrakranial, iskemia,
peningkatan tekanan intrakranial, infeksi, dan ketidakseimbangan elektrolit dan
metabolik. Insiden cedera sekunder umumnya semakin meningkat dengan keseriusan
cedera primer meskipun hubungan dari kedua hal ini tidak sepenuhnya sama. Pasien
dengan cedera primer yang berat, mungkin awalnya masih mengalami cedera
sekunder yang sedikit. Sebaliknya, pasien dengan cedera primer yang ringan, dapat
meninggal atau menjadi lumpuh akibat adanya perluasan hematom intrakranial.
Secara klinik, gangguan neurologik yang disebabkan oleh cedera primer sifatnya
maksimal pada onset trauma dan selanjutnya semakin berkurang atau tetap stabil.
Tetapi, adanya cedera sekunder dapat memperburuk status neurologik pasien, dimana
efeknya ditambahkan dengan gangguan neurologi pada cedera primernya. Proses
sekunder ini dapat dimulai pada waktu terjadinya cedera atau beberapa waktu
setelahnya, dimana hal ini dapat memicu lebih buruknya cedera yang sudah terjadi
pada otak. Setelah terjadinya cedera otak traumatik, banyak sel yang mengalami
kerusakan secara langsung dan irreversibel. Tetapi sel-sel yang lainnya masih dapat
dipertahankan dan fungsinya tidak terganggu dan tidak rusak secara mekanik. Hal ini
dapat pulih jika tersedia kondisi lingkungan yang optimal untuk dapat bertahan. 2, 8
Cedera sekunder secara potensial dapat dicegah dan ditangani. Cedera
sekunder meliputi efek hipotensi, hipoksia, dan herniasi dengan peningkatan tekanan
intrakranial akibat efek massa. Kerusakan otak hipoksik dapat ditimbulkan oleh
tingginya tekanan intrakranial atau vasospasme. Koreksi dari kondisi syok dan
hipoksia merupakan manajemen pertama pada pasien yang mengalami cedera kepala,
dan setiap pasien cedera kepala yang dicurigai memiliki kemampuan ventilasi yang
buruk harus segera mendapatkan intubasi. 4

15
Kejang post trauma dapat dikelompokkan menjadi segera (terjadi dalam
waktu 7 hari setelah trauma), atau lambat (terjadi > 7 hari setelah trauma). Beberapa
faktor yang menempatkan pasien pada risiko tinggi untuk terjadiya kejang post
truama antara lain skor GCS < 10, kontusi kortikal, fraktur depresi tengkorak,
hematom subdural, hematom epidural, hematom intracerebral, luka penetrasi, dan
kejang dalam waktu 24 jam setelah trauma. Edema otak difus atau lokal merupakan
komplikasi yang serius dari cedera kepala dan dapat berlanjut pada peningkatan
tekanan intrakranial. Efek massa dari edema meningkat dalam waktu 72 jam setelah
trauma. 1, 4
Akibat intrakranial sekunder (peningkatan tekanan intrakranial)
Hipertensi intrakranial setelah terjadinya trauma kranioserebral dapat
disebabkan oleh hematom intrakranial, edema cerebral, atau hiperemia cerebral.
Hukum Monro Kellie menyatakan bahwa adanya sedikit perubahan pada volume
intrakranial dapat secara jelas menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial karena
sifat tulang tengkorak yang rigid (kaku) dan inelastik. Pada situasi normal, volume
intrakranial terdiri dari 80% jaringan otak, 10% cairan cerebrospinal, dan 10%
volume darah intrakranial yang terdapat didalam tulang tengkorak yang kaku dan
tidak dapat meluas. Tiga komponen ini memiliki pengaruh terhadap tekanan
intrakranial yang secara normal tetap terjaga dalam batas 0-15 mmHg sat diukur pada
ventrikel lateral. Adanya peningkatan volume dari salah satu kompartemen atau
adanya penambahan kompartemen baru yang sifatnya patologis (seperti perdarahan
intrakranial), harus dapat dikompensasi oleh pengurangan volume dari kompartemen
lainnya. Mekanisme kompensasi yang merupakan buffer atau penyangga seperti
perubahan volume, meliputi peningkatan absorpsi cairan cererospinal, redistribusi
cairan cerebrospinal dari ruang intrakranial ke ruang subarachnod medula spinalis,
dan reduksi volume darah cerebral. Daya tampung (komplians) cerebral menunjukkan
adanya perubahan volume intrakranial dapat mempengaruhi perubahan tekanan
intrakranial. Saat terjadi edema otak, cerebrum meluas dan cairan mengalami
pergeseran tempat dari kompartemen intrakranial. Sehingga, komplians akan

16
menurun dan tekanan intrakranial meningkat dengan cepat. Saat uncus ipsilateral dari
lobus temporal bagian medial membengkak dan menekan serat saraf
pupilokonstriktor dari nervus oculomotorius perifer maka dapat terjadi dilatasi pupil.
2, 6, 7, 12

Falx cerebri, tentorium cerebelli, dan foramen magnum merupakan struktur


yang relatif kaku (rigid) dan menjadi pemisah daerah otak. Karena banyak proses
patologik bersifat fokal, maka gradien tekanan dapat disebarkan secara merata
diantara setiap kompartemen intrakranial. Adanya peningkatan tekanan intraranial
dapat menimbulkan efek yang buruk melalui adanya gradien tekanan diantara setiap
kompartemen otak yang berbeda. Kombinasi dari pergeseran otak akibat adanya
massa fokal, tekanan intrakranial yang tinggi, dan gradien tekanan diantara pemisah
dura dan tulang (falx cerebri, tentorium, dan foramen magnum) dapat menyebabkan
jaringan otak mengalami herniasi dari kompartemen dengan tekanan yang tinggi ke
kompartemen dengan tekanan yang rendah. Jika gradien tekanan ini memiliki besar
yang cukup, maka dapat terjadi pergeseran atau herniasi jaringan otak dan dapat
mengakibatkan kompresi struktur yang vital. Sebagai contoh, herniasi transtentorial
dapat terjadi saat peningkatan tekanan dan volume supratentorial cukup untuk
menggeser uncus dan bagian medial dari lobus temporal melalui celah tentorial; yang
menyebabkan kompresi dan disfungsi dari midbrain dan nervus okulomotorius.
Herniasi transtentorial ditunjukkan oleh adanya pupil yang dilatasi ipsilateral dan
pupil yang terfiksasi atau reaktif. Kompresi medula terjadi saat tekanan intrakranial
meningkat dan tonsilla cerebellar mengalami herniasi melalui foramen magnum.
Kondisi ini yang dikenal sebagai herniasi tonsilar, dapat berakibat fatal karena lokasi
pusat respirasi dan vasomotor yang vital berada pada area di batang otak ini. Selain
itu, karena tekanan perfusi cerebral berhubungan dengan tekanan intrakranial, maka
peningkatan tekanan intrakranal dapat menimbulkan gangguan perfusi cerebral. Pada
otak yang normal, aliran darah ke otak tetap konstan sekitar 50 ml/100 gr jaringan
otak per menit, selama mekanisme autoregulasi cerebral masih intak, dimana terjadi
perubahan diameter dan resistensi dari pembuluh darah cerebral akibat adanya

17
perubahan tekanan, sehingga aliran darah ke otak yang konstan tetap dipertahankan
selama tekanan perfusi cerebral sekitar 50-150 mmHg. Jika tekanan rata-rata arteri
sangat menurun atau terjadi peningkatan tekanan intrakranial, maka selanjutnya
tekanan perfusi cerebral menjadi sangat rendah untuk dapat dikoreksi oleh
mekanisme autoregulasi, sehingga hal ini dapat menimbulkan iskemi cerebral. Jika
tekanan perfusi cerebral berkurang dalam jumlah yang besar (< 40-50 mmHg) maka
dapat terjadi iskemi atau infark cerebral. Sehingga monitoring tekanan darah sistemik
merupakan hal yang penting dilakukan saat terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
2, 8

Saat hematom intrakranial makin meluas, maka akan menimbulkan kompresi


dan pergeseran dari struktur di sekitarnya. Perluasan ini dapat menimbulkan
peningkatan tekanan intrakranial saat kapasitas penyangga dari isi tengkorak sudah
habis. Bukti adanya iskemia kadang ditemukan pada saat autopsi setelah cedera
kepala tumpul. Iskemi fokal dapat terjadi pada lokasi kontusi atau dapat diakibatkan
oleh vasospasme yang diinduksi oleh perdarahan subarachnoid traumatik. Iskemi
global dapat disebabkan oleh hipotensi sistemik atau menurunnya tekanan perfusi
cerebral yang ditimbulkan oleh peningkatan tekanan intrakranial. 8
Iskemia pasca trauma dapat menginisiasi kaskade peristiwa metabolik yang
berlanjut menjadi peningkatan produksi radikal bebas oksigen, asam amino
eksitatorik, sitokin, dan agen inflamasi lainnya. Glutamat dan aspartat merupakan
asam amino eksitatorik yang paling sering terbentuk pada cedera eksitotoksik, dimana
pembentukannya dimediasi oleh aktivasi N-metil-D-aspartat, alfa-amino-3-hidroksi-
5-metilisoazol-4-proprionic acid, atau reseptor asam kainak. Adanya overaktivasi dari
reseptor-reseptor ini, dapat menyebabkan influx yang besar dari kalsium yang
terionisasi ke dalam sitosol, dan menyebabkan peningkatan jumlah kalsium
terionisasi intraseluler yang memegang peranan pada terjadinya neurodegenerasi
setelah cedera pada sistem saraf pusat. 5
Infeksi dapat bersifat lokal (meningitis atau abses otak) atau sistemik. Infeksi
lokal dapat terjadi saat timbul gangguan pada integritas menings yang diakibatkan

18
oleh cedera penetrasi atau fraktur campuran pada atap dan basis tengkorak. Infeksi
sistemik umumnya melibatkan saluran pernafasan dan genitourinarius. Sepsis
sistemik dapat menyebabkan gangguan neurologis yang dapat semakin membaik
dengan resolusi dari infeksi. Hipertermia yang terjadi kadang dapat menjadi penyulit
8
masalah tekanan intrakranial yang sudah ada.
Akibat sistemik sekunder
Diantara akibat sistemik sekunder, yang paling signifikan adalah meliputi
hipoksia dan hipotensi. Penelitian klinis prospektif telah menunjukkan bahwa dua
kondisi ini memiliki pengaruh dan hasil keluaran yang jelek pada cedera kepala berat.
Hipotensi sistemik yang terjadi pada saat kedatangan pasien cedera kepala berat di
rumah sakit, telah terbukti berhubungan dengan peningkatan 150% terjadinya
kematian. Pada pasien dengan cedera kepala yang signifikan, hipoksemia dapat
disebabkan oleh obstruksi saluran nafas bagian atas, pneumothorax, hemothorax,
edema pulmonal, dan hipoventilasi. Hipoksemia harus dikoreksi dengan cepat untuk
mencegah potensi kerusakan jaringan saraf. Hipotensi dapat menurunkan perfusi
cerebral, yang selanjutnya dapat menimbulkan iskemi dan infark cerebral. Hal ini
berbahaya jika disertai dengan peningkatan tekanan intrakranial. Selain itu, gangguan
pada autoregulasi cerebral dapat terjadi setelah cedera otak. Dengan auoregulasi yang
normal, maka aliran darah ke otak tetap konstan meskipun terjadi fluktuasi dari
tekanan arteri rata-rata antara 60 dan 180 mmHg. Autoregulasi dibutuhkan untuk
memberikan pasokan yang tetap stabil dari oksigen dan nutrii ke jaringan otak dan
membuang sampah metabolik. Konstriksi dan dilatasi dari arteriol yang terjadi
dengan cepat merupakan respon dari adanya perubahan tekanan. Dilatasi pembuluh
darah cerebral terjadi saat tekanan darah arteri menurun atau saat metabilisme otak
meningkat. Tetapi, jika respon normal ini terganggu, maka aliran darah ke otak secara
langsung akan berhubungan dengan tekanan darah sistemik. Sehingga jika terjadi
hipotensi, maka dapat terjadi penurunan perfusi jaringan dan iskemi. Operasi yang
berhubungan dengan episode hipotensi dapat menimbulkan dampak yang negatif
untuk perfusi otak dan dapat mempengaruhi kualitas hasil keluaran. Penyebab

19
sistemik lainnya dari cedera otak sekunder, yang masih dapat dicegah antara lain
adanya ketidakseimbangan elektrolit, anemia, hipoglikemia, hipertermia, gangguan
pembekuan darah (koagulopati), dan kejang. 2, 6, 10
Gangguan elektrolit sering ditemukan pada pasien dengan cedera kepala
sedang dan berat. Yang paling sering terjadi adalah sindrom sekresi antidiuretik
hormon yang tidak sesuai. Serum sodium dapat menurun secara signifikan, dimana
gangguan status neurologi pasien dapat terjadi pada level dibawah 120-125 mEq/L.
Diabetes Insipidus dapat terjadi pada cedera kepala yang lebih berat, kadang sebagai
kejadian preterminal pada pasien dengan gangguan neurologi rostrocaudal progresif
yang disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial yang tidak terkontrol. 8
Cedera kepala yang berat dapat menginduksi kondisi katabolisme dengan
ekskresi nitrogen yang sama dengan pada cedera lainnya. Takikardi yang diinduksi
oleh katekolamin, peningkatan tekanan darah, dan peningkatan curah jantung setiap
menit, merupakan kondisi yang sering terjadi. Iskemi otot jantung juga dapat terjadi
akibat cedera kepala tertutup. 8

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Vender JR, Flannery AM. Head Injury. In : Critical Care Medicine Principles of
Diagnosis and Management in the Adult Second Edition. Parrillo JE, Dellinger
RP. editors. Mosby, Inc. St. Louis. 2002. p. 1330-35.
2. Lycette CA, Doberstein C, Rodts GE, McBride DQ. Neurosurgical Critical Care.
In : Current Critical Care Diagnosis & Treatment Second Edition. Bongard FS,
Sue DY. editors. The McGraw-Hill Companies. New York : 2003. p. 730-34.
3. Boss BJ. Alterations of Neurologic Function. In : Understanding Pathophysiology
3rd edition. Huether SE, McCance KL. editors. Mosby, Inc. St. Louis. 2004. p.
392-95
4. Chin LS, Aldrich EF, DiPatri AJ, Eisenberg HM. Neurosurgery. In : Sabiston
Textbook of Surgery The Biological Basis of Modern Surgical Practice 17 th
edition. Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. editors. Elsevier.
Philadelphia. 2004. p. 2152-54.
5. Cohen SM, Marion DW. Traumatic Brain Injury. In : Textbook of Critical Care
Fifth Edition. Fink MP, Abraham E, Vincent J, Kochanek PM. editors. Elsevier
Inc. Philadelphia. 2005. 377-81.
6. Newton E. Head Trauma. In : Emergency Medicine Secrets Fourth Edition.
Markovchick VJ, Pons PT. editors. Mosby, Inc. Philadelphia. 2006. p. 592-95.
7. Adams GA, Garland AM, Shatney CH, Sherck JP, Wren SM. Surgery Clerkship
Guide. Mosby, Inc. St. Louis. 2003. p. 525-29
8. Moulton RJ, Pitts LH. Head Injury and Intracranial Hypertension. In : Principles
of Critical Care Third Edition. Hall JB, Schmidt GA, Wood LDH. editors. The
McGraw-Hill Companies. New York : 2005. p. 1395-1400.
9. Henry MC, Stapleton ER. EMT Prehospital Care Revised Third Edition. Mosby,
Inc. St. Louis. 2007. p. 678-81.
10. Banasik JL. Acute Disorders of Brain Function. In : Pathophysiology Third
Edition. Copstead LC, Banasik JL. editors. Elsevier Inc. St. Louis. 2005. p. 1095-
99.
11. Japardi I. Cedera Kepala. PT Bhuana Ilmu Populer. Jakarta. 2004. hal. 21.

21
12. Porth CM, Gaspard KJ. Essential of Pathophysiology. Liipincott Williams &
Wilkins. Philadelphia. 2004. p. 668-75.

22

Anda mungkin juga menyukai