Anda di halaman 1dari 15

PENDEKATAN SKALA EKIVALENSI UNTUK MENGUKUR KEMISKINAN

The Equivalent Scale Approach to Measure Poverty Level


Sri Hery Susilowati

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian


Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161

ABSTRACT

Consumption calculation to measure the level of poverty in Indonesia was based on the average of
expenditure per capita approach. The approach did not consider the age’s composition of household members.
With such approach, the calculation of poverty level should not provide accurate figures and need to be
evaluated. The equivalent scale approach to measure the level of poverty was used by considering the
household member’s age composition. The result of poverty calculation using the equivalent scale approach
gave the level of poverty at a more proportionate level compared to the average expenditure per capita approach.
The main problem in applying the equivalent scale approach to calculate the level of poverty in Indonesia is the
lack of equivalent scale formula suitable for Indonesian consumption household pattern.

Key words : poverty, average household expenditure per capita, equivalent scale

ABSTRAK

Penghitungan pengeluaran per kapita untuk menghitung penduduk miskin di Indonesia yang selama ini
hanya didasarkan pada rata-rata pengeluaran per kapita dan tidak memperhatikan komposisi umur anggota
rumah tangga. Dengan pendekatan tersebut hasil perhitungan kemiskinan kurang mencerminkan angka
kemiskinan secara akurat. Untuk itu penetapan kemiskinan dengan metode rata-rata pengeluaran per kapita
seperti yang dilakukan BPS hingga saat ini perlu dievaluasi. Hasil perhitungan kemiskinan dengan pendekatan
skala ekivalensi diketahui menghasilkan angka kemiskinan yang lebih rendah dibandingkan dengan metode rata-
rata pengeluaran per kapita. Pendekatan skala ekivalensi sebagai alternatif metode menghitung kemiskinan
diperkirakan akan menghasilkan angka kemiskinan yang lebih proporsional dibandingkan dengan metode rata-
rata pendapatan per kapita. Kendala penerapan skala ekivalensi untuk menetapkan angka kemiskinan di
Indonesia terutama belum tersedianya formula skala ekivalensi yang tepat sesuai dengan pola konsumsi anggota
rumah tangga di Indonesia.

Kata kunci : kemiskinan, rata-rata pengeluaran rumah tangga per kapita, skala ekivalensi

PENDAHULUAN persen pada tahun 1981 menjadi 25,2 persen


pada tahun 2005 (Chen and Ravallion, 2007).
Pada periode yang sama jumlah penduduk
Kemiskinan di Indonesia merupakan miskin di India juga cenderung menurun dari
persoalan klasik yang hingga kini belum 60 persen pada tahun 1981 menjadi sebesar
terselesaikan meskipun persentase kemis- 41 persen pada tahun 2005 (wikipedia.org/
kinan cenderung menurun. Pada tahun 2007 wiki/Poverty_in_India). Dibandingkan dengan
jumlah penduduk miskin sebanyak 37,2 juta India, kemiskinan di Indonesia pada tahun
orang (16,6%) dan tahun 2009 turun menjadi yang sama (2005) relatif lebih rendah, yaitu
32,5 juta orang (14,2%). Demikian pula 16,69 persen
kemiskinan global juga cenderung menurun. Namun pada umumnya, setiap Negara
Dengan menggunakan garis kemiskinan memiliki metode penghitungan dan garis
internasional sebesar US$1.25 per kapita per kemiskinan masing-masing. Dalam melakukan
hari, jumlah penduduk dunia yang berada di pembandingan tingkat kemiskinan antar
bawah garis kemiskinan menurun dari 51,8 negara, perlu dicermati konsep dan metode

PENDEKATAN SKALA EKIVALENSI UNTUK MENGUKUR KEMISKINAN Sri Hery Susilowati

91
penghitungan kemiskinan yang digunakan kemiskinan, namun relatif lebih rendah
oleh masing-masing negara. Perbedaan meto- dibandingkan dengan masyarakat sekitarnya.
de penghitungan kemiskinan yang digunakan Dengan demikian penentuannya bersifat
sudah barang tentu akan menghasilkan angka subyektif. Kemiskinan relatif biasanya diper-
kemiskinan yang berbeda sehingga tidak kirakan dengan memperhatikan golongan
mewakili untuk dilakukan pembandingan per- berpendapatan rendah dari suatu pola pem-
sentase kemiskinan antar negara. bagian pendapatan. Sehingga dapat dikatakan
Penghitungan kemiskinan di Indonesia bahwa sekian persen dari suatu pola
sampai saat ini dilakukan dengan meman- pembagian pendapatan golongan bawah akan
faatkan data konsumsi rumah tangga sebagai berada dalam posisi kemiskinan. Atau garis
proksi pendapatan. Unit analisis untuk melaku- kemiskinan tersebut dikaitkan dengan nilai-
kan penghitungan kemiskinan menggunakan nilai statistik seperti nilai rata-rata (mean) atau
rata-rata konsumsi per kapita tanpa memper- median. Berdasarkan konsep kemiskinan
timbangkan komposisi demografi anggota relatif ini garis kemiskinan akan mengalami
rumah tangga (BPS, 2005). Dengan kata lain perubahan bila sekiranya seluruh tingkat
dilakukan penyamarataan kebutuhan kon- kehidupan masyarakat mengalami perubahan.
sumsi masing-masing anggota rumah tangga. Kelemahan konsep ini terletak pada sifatnya
Padahal kebutuhan konsumsi seorang dewasa yang dinamis. Secara implisit akan terlihat
sudah barang tentu berbeda dengan konsumsi bahwa kemiskinan akan selalu ada. Dalam
anak-anak maupun balita. Berdasarkan fakta setiap waktu akan selalu terdapat sejumlah
tersebut penghitungan kemiskinan dengan penduduk yang dapat dikategorikan miskin.
menggunakan pendekatan yang memperhati- Menurut Thorbecke (1998) negara kaya
kan komposisi demografi rumah tangga perlu memiliki garis kemiskinan yang lebih tinggi
dipertimbangkan agar diperoleh perkiraan daripada negara miskin. Angka kemiskinan
angka kemiskinan yang lebih proporsional. resmi di Amerika Serikat pada awal tahun
Tulisan ini bertujuan untuk melakukan 1990 mendekati 15 persen, demikian pula di
tinjauan terhadap pendekatan penghitungan Indonesia (negara dengan tingkat kesejah-
kemiskinan yang selama ini dilakukan di teraan jauh lebih rendah dibanding Amerika)
Indonesia serta alternatif pendekatan peng- juga mendekati 15 persen. Ini berarti banyak
hitungan kemiskinan dengan memperhitung- penduduk yang termasuk miskin di Amerika
kan komposisi demografi rumah tangga. Serikat akan tergolong sejahtera menurut
standar Indonesia. Ketika negara bertambah
sejahtera, negara tersebut cenderung merevisi
KONSEP KEMISKINAN garis kemiskinannya menjadi lebih tinggi. Uni
Eropa mendefinisikan penduduk miskin adalah
mereka yang memiliki pendapatan per kapita
Definisi Kemiskinan di bawah 50 persen dari rataan/median penda-
Definisi kemiskinan dibedakan menjadi patan masyarakat. Ketika rataan pendapatan
dua, yaitu pertama, Kemiskinan relatif dan meningkat, garis kemiskinan juga meningkat.
kedua, Kemiskinan Absolut (BPS, 2005). Menurut Haughton (2000), dalam mengidenti-
Kemiskinan relatif ditentukan berdasarkan fikasi dan menentukan sasaran penduduk
ketidakmampuan untuk mencapai standar miskin di negara tertentu, lebih tepat diguna-
kehidupan yang ditetapkan masyarakat setem- kan garis kemiskinan relatif dan perlu disesuai-
pat. Kemiskinan relatif merupakan suatu kan dengan tingkat pembangunan negara
kondisi dimana individu atau kelompok orang secara keseluruhan. Sebagai contoh meng-
berada dalam tingkatan kekurangan diban- gunakan garis kemiskinan sebesar US $ 1 per
dingkan dengan standar kehidupan umum hari per kapita untuk mengidentifikasi pendu-
(disebut sebagai garis kemiskinan) yang layak duk miskin akan bermakna jika dilakukan,
berlaku di masyarakat. Mereka yang berada di misalnya, di Vietnam sekitar 27 persen pen-
bawah standar penilaian tersebut dikatagori- duduk tergolong miskin dengan standar
kan sebagai miskin secara relatif. Hal yang tersebut. Namun nilai tersebut tidak akan
sama dinyatakan oleh Sumodiningrat (1988), bermakna jika digunakan di Amerika Serikat
bahwa kemiskinan relatif adalah bila sese- karena hampir tidak akan ada orang miskin
orang memiliki penghasilan di atas garis dengan standar tersebut.

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 28 No. 2, Desember 2010 : 91 - 105

92
Kedua adalah Kemiskinan Absolut. Sedangkan kemiskinan kultural dise-
Kemiskinan absolut ditentukan berdasarkan babkan faktor internal yang berasal dari dalam
ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan diri seseorang atau lingkungannya, terutama
dasar atau kebutuhan pokok minimum. oleh faktor-faktor adat dan budaya suatu
Seseorang disebut miskin secara absolut daerah tertentu. Seringkali masyarakat terje-
apabila tingkat pendapatannya dibawah garis bak pada keyakinan bahwa kondisi miskin
kemiskinan atau pendapatannya tidak cukup yang dialami sekarang sudah merupakan
memenuhi kebutuhan hidup minimum (basic ‘suratan takdir’. Keyakinan bahwa setiap orang
need) seperti pangan, sandang, papan, sesungguhnya sudah mempunyai suratan
kesehatan dan pendidikan (Sumodiningrat, nasib masing-masing yang harus dijalani.
1988). BPS (2005) menggunakan pendekatan Indikator kemiskinan kultural seharusnya bisa
nilai kebutuhan dasar atau kebutuhan mini- dikurangi atau secara bertahap dihilangkan
mum tersebut diterjemahkan dalam ukuran dengan mengabaikan faktor-faktor adat dan
finansial yaitu dalam nilai uang. Garis kemis- budaya tertentu yang menghalangi seseorang
kinan absolut penting digunakan untuk menilai melakukan perubahan-perubahan ke arah
dampak dari suatu kebijakan dalam mengu- kehidupan yang lebih baik melalui pember-
rangi kemiskinan. Angka kemiskinan akan dayaan masyarakat kelas bawah, misalnya
terbanding antar satu negara dengan negara dengan meningkatkan akses terhadap pendi-
dikan, informasi, fasilitas, hak sebagai warga
lain hanya jika garis kemiskinan absolut yang
negara dan sebagainya.
sama digunakan di kedua negara tersebut.
Bank Dunia memerlukan garis kemiskinan Berdasarkan pola kerangka waktu,
absolut untuk dapat membandingkan ke- Kartasasmita (1996) menyatakan kemiskinan
miskinan antar negara sehingga penyaluran dapat disebut sebagai (a) Kemiskinan kronis
dana bantuan tepat sasaran. atau latent (persistent poverty), (b) Kemiskinan
siklis (cyclical poverty), (c) Kemiskinan
Berdasarkan sumber penyebab kemis- musiman(seasonal poverty), dan (d) Kemis-
kinan, terminologi kemiskinan dapat dibedakan kinan sementara yang disebabkan oleh keja-
sebagai Kemiskinan Struktural dan Kemis- dian tertentu (accidental poverty). Kemiskinan
kinan Kultural. Menurut Suyanto (1995) latent adalah kemiskinan yang sifatnya kronis
Kemiskinan Struktural adalah kemiskinan yang atau turun temurun. Pada umumnya terjadi di
disebabkan oleh kondisi struktur atau tatanan daerah yang kritis sumber daya alamnya atau
kehidupan yang tidak menguntungkan atau pada daerah terisolasi. Sumodiningrat (1988)
menjadikan penduduk tidak sejahtera. Seba- mendefinisikan kemiskinan kronis adalah
gai contoh kemiskinan struktural adalah warga kemiskinan yang disebabkan secara simultan
masyarakat yang tinggal di lokasi terisolir oleh berbagai faktor, baik faktor-faktor internal
sehingga sulit memperoleh akses untuk maupun eksternal, yaitu diantaranya: (i)
meningkatkan tingkat kesejahteraan mereka. kondisi sosial dan budaya yang mendorong
Sumodiningrat et al. (1999) mengemukakan kebiasaan masyarakat tidak produktif, (ii)
bahwa Kemiskinan Struktural adalah kemis- keterbatasan sumber daya dan keterisolasian,
kinan yang terjadi disebabkan oleh faktor (iii) rendahnya tingkat pendidikan, dan (iv)
eksternal atau faktor yang berada di luar terbatasnya lapangan pekerjaan dan ketidak-
jangkauan individu. Secara konkrit faktor ini mampuan masyarakat mengikuti ekonomi
merupakan hambatan kelembagaan atau pasar. Kemiskinan siklis adalah kemiskinan
struktur yang menghambat seseorang untuk yang mengikuti pola siklus ekonomi secara
meraih kesempatan. Artinya, bukan karena keseluruhan misalnya saat negara mengalami
seseorang tidak mau bekerja tapi struktur yang krisis ekonomi dimana kondisi krisis tersebut
ada dapat menghambat seseorang untuk terjadi selama periode waktu tertentu dan
memperoleh kehidupan yang lebih baik. Dapat sangat mungkin terjadi berulang atau dapat
pula disebutkan kemiskinan yang terjadi oleh pula merupakan dampak suatu kebijakan
sebab tatanan yang tidak adil sehingga tertentu yang menyebabkan menurunnya
mengakibatkan banyak warga masyarakat tingkat kesejahteraan masyarakat. Kemiskinan
gagal memperoleh peluang atau akses untuk musiman bersifat musiman dan umumnya
meningkatkan kualitas hidup mereka. terjadi pada kasus nelayan dan petani
tanaman pangan yang lebih dikenal sebagai

PENDEKATAN SKALA EKIVALENSI UNTUK MENGUKUR KEMISKINAN Sri Hery Susilowati

93
musim paceklik. Sedangkan accidental poverty baik (karena adanya tengkulak, masalah ijon,
adalah kemiskinan yang terjadi akibat bencana dsb.)
alam yang mengakibatkan penduduk kehi- Kemiskinan di Indonesia secara umum
langan harta benda sehingga menjadi miskin. dapat juga dikatakan merupakan bentuk
fenomena pertanian. Hal ini disebabkan
Faktor-Faktor Penyebab Kemiskian sumber kemiskinan sebagian besar berada di
wilayah perdesaan dan sangat berhubungan
Kemiskinan dapat ditimbulkan oleh dengan pola kepemilikan dan produktivitas
faktor internal (faktor-faktor dari dalam masya- lahan, struktur kesempatan kerja dan pasar
rakat sendiri) dan faktor eksternal (faktor-faktor tenaga kerja. Thorbecke et al. (1993) menya-
dari luar masyarakat) (Sumodiningrat et al., takan terdapat korelasi antara standar hidup
1999; Suyanto, 1995). Faktor-faktor internal dengan luas dan kualitas lahan yang dimiliki
seperti rendahnya tingkat pendidikan dan serta tingkat keahlian dan pendidikan anggota
keterampilan yang menyebabkan rendahnya rumah tangga. Oleh karena itu rumah tangga
tingkat upah dan gaji, kelemahan fisik dan yang tidak memiliki akses terhadap lahan dan
sikap atau perilaku. Faktor-faktor eksternal keahlian dan pendidikan yang terbatas, akan
seperti buruknya prasarana dan sarana cenderung berada dalam kemiskinan sampai
transportasi sehingga menyulitkan masyarakat mereka memperoleh bantuan dan transfer dari
dalam melakukan aktivitas ekonomi, rendah- pihak lain.
nya aksesibilitas terhadap modal dan kualitas
sumber daya alam, penggunaan teknologi Secara sosiologis, kemiskinan juga
yang terbatas, atau sistem kelembagaan yang dapat muncul sebagai akibat proses eksploi-
kurang sesuai dengan kondisi masyarakat. tasi terhadap penduduk miskin yang pada
Kedua faktor tersebut secara bersama-sama gilirannya menyebabkan ketergantungan dan
akan menyebabkan masyarakat menjadi kemiskinan. Proses eksploitasi tersebut misal-
merasa tidak berdaya. nya pembayaran yang tidak adil atas jasa yang
telah diberikan oleh seseorang atau sekelom-
Sudaryanto (2009) merangkum faktor- pok orang yang tidak memiliki kekuatan untuk
faktor yang menjadi penyebab kemiskinan melakukan tawar menawar (Arif, 1990).
diantaranya adalah: (i) kualitas sumber daya Apabila keadaan ini berlangsung terus mene-
alam yang rendah, (ii) kebijakan pembangunan rus, maka kesenjangan (gap) kesejahteraan
ekonomi yang belum memberikan prioritas antara si kaya dan si miskin akan semakin
pada wilayah miskin, (iii) keterbatasan melebar. Tidak dipungkiri, proses tersebut
infrastruktur, (iv) terbatasnya akses terhadap memberikan andil bagi terciptanya keter-
asset produktif, terutama lahan pertanian, (v) belakangan dan kemiskinan sebagian besar
tersisihkan karena aspek jender, etnik, dan masyarakat miskin di Indonesia. Sehingga
cacat, dan (vi) rendahnya kapasitas SDM. masalah kemiskinan di Indonesia tidak hanya
Kemiskinan dapat juga ditimbulkan merupakan fenomena kemelaratan materi,
oleh adanya kegagalan kelembagaan. Sering- tetapi telah merupakan suatu fenomena sosio
kali masalah kemiskinan bukan karena keku- cultural yang lebih komplek.
rangan ketersediaan bahan makanan tetapi Dalam konteks pembangunan wilayah,
merupakan masalah kegagalan kelembagaan, kemiskinan juga dipengaruhi oleh ketersediaan
yaitu karena tidak berjalannya proses dimana sumber daya (resources endowment) di suatu
seseorang menjual barang yang dapat dipro- wilayah, yaitu lahan yang subur, tenaga kerja
duksinya untuk dapat memperoleh sejumlah yang terampil dan ketersediaan modal serta
barang yang diinginkan. Karena proses kemampuan mengelola sumber daya tersebut.
tersebut tidak berjalan, maka penduduk tidak Dengan demikian perbedaan intensitas pem-
dapat memperoleh pendapatan yang cukup bangunan antar wilayah akan memunculkan
untuk dapat membeli semua kebutuhan hidup permasalahan kesenjangan pendapatan
mereka. Fenomena seperti ini sering ditemu- (income disparity) atau permasalahan kemis-
kan, dimana petani tetap berada dalam kondisi kinan antar wilayah.
kemiskinan kendati padi berlimpah di sekitar
mereka pada saat panen, karena mereka tidak Menurut Sapuan dan Silitonga (1994),
dapat menjual hasil panen dengan harga yang sumber-sumber kemiskinan di daerah perde-
saan dapat diidentifikasi diantaranya sebagai

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 28 No. 2, Desember 2010 : 91 - 105

94
berikut: (1) para petani yang memiliki lahan semakin luas kepemilikan lahan maka semakin
kurang dari 0,25 ha, (2) buruh tani yang rendah tingkat kemiskinannya dan sebaliknya.
pendapatannya kurang atau cukup dikonsumsi
hari itu saja, (3) nelayan yang belum terjamah
bantuan kredit lunak pemerintah, dan (4) PENGUKURAN KEMISKINAN
perambah hutan dan pengangguran. Sedang-
kan untuk daerah perkotaan yaitu: (1) buruh Konsep Kebutuhan Dasar (Basic Needs)
kecil di pabrik-pabrik, (2) pegawai negeri atau
swasta golongan rendah, (3) pegawai harian Konsep kemiskinan dikaitkan dengan
lepas, (4) pembantu rumah tangga, (5) perkiraan tingkat pendapatan dan kebutuhan.
pedagang asongan, (6) pemulung, dan (7) Perkiraan kebutuhan hanya dibatasi pada
pengangguran. kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar mini-
mum yang memungkinkan seseorang dapat
Berbagai studi memberikan gambaran hidup secara layak. Untuk memungkinkan
yang lebih spesifik, bahwa kemiskinan suatu seseorang dapat hidup secara layak dibutuh-
komunitas disebabkan oleh rendahnya kualitas kan seperangkat barang-barang dan jasa-jasa
sumber daya manusia (Quibria dan Srinivasan, baik untuk memenuhi kebutuhan biologis
1993; Sofwani, 1998), rendahnya penguasaan maupun kebutuhan sosial. Pendekatan kebu-
aset produktif, seperti lahan pertanian (Otsuka, tuhan dasar (basic needs) merupakan metode
1993) dan rendahnya aksesibilitas anggota pengukuran resmi yang digunakan untuk
masyarakat terhadap sumber-sumber per- mengukur kemiskinan di Indonesia (BPS,
modalan dan peluang-peluang ekonomi 1984).
(Siamwalla, 1993).
Pendekatan kebutuhan dasar untuk
Menurut Mason (1996) dan Iksan mengukur kemiskinan dipromosikan dan dipo-
(1998) ada beberapa determinan kemiskinan pulerkan oleh International Labor Organization
di perdesaan. Pertama, human capital (ILO) (Thee Kian Wie, 1981). Kesulitan dalam
endowment yang belum memadai, sehingga penentuan indikator kebutuhan dasar adalah
menyulitkan proses transformasi tenaga kerja standar dan kriteria yang bersifat subyektif
antar sektor. Terdapat perbedaan yang karena dipengaruhi oleh adat, budaya, dan
menyolok antara net atau gross enfollment kelompok sosial. Penentuan kuantitas masing-
ratio antara desa dan kota, khususnya pada masing komponen kebutuhan dasar juga
tingkat sekolah menengah pertama dan atas. bersifat subyektif karena dipengaruhi oleh
Kedua, kuantitas dan kualitas infrastruktur selera konsumen terhadap jenis makanan dan
yang belum memadai. Kedua hal tersebut komoditas lainnya yang menjadi komponen
mempunyai peranan penting dalam mengatasi penyusun kebutuhan dasar.
masalah kemiskinan di daerah pertanian,
yaitu: (i) Kuantitas dan kualitas infrastruktur Kebutuhan dasar dapat dibagi dalam
yang memadai akan mengurangi marjin dua golongan besar, pertama, kebutuhan
transportasi; apalagi dikaitkan dengan ber- dasar yang sangat diperlukan oleh manusia
bagai studi yang menunjukkan bahwa peranan untuk mempertahankan hidupnya. Kedua,
biaya transportasi makin meningkat dalam kebutuhan lain-lain yang bersifat lebih tinggi.
total harga pada tingkat konsumen. Pengu- Berdasarkan pertimbangan tersebut United
rangan marjin transportasi akan memberikan Nation Research Institute for Social
tambahan keuntungan bagi para petani, dan Development (UNRISD) (1966) menggolong-
(ii) Perbaikan jumlah stok dan kualitas kan kebutuhan dasar ke dalam tiga golongan,
infrastruktur juga akan memberikan bargaining yaitu: (i) kebutuhan fisik primer yang meru-
position yang lebih kuat bagi petani dalam pakan kebutuhan gizi, perumahan, kesehatan;
mengatasi ketidaksempurnaan pasar, baik (ii) kebutuhan kultural yang terdiri dari pen-
dalam sektor keuangan maupun pemasaran. didikan, rekreasi dan ketenangan hidup; dan
Ketiga, distribusi kepemilikan lahan yang (iii) kebutuhan atas kelebihan pendapatan,
semakin kecil, khususnya di Jawa. Hasil kajian yaitu kebutuhan lainnya yang lebih tinggi jika
Ikhsan (2001) menunjukkan bahwa ada kebutuhan primer dan kultural sudah terpe-
korelasi yang sangat kuat antara pemilikan nuhi. Menurut United Nations (1961) kompo-
lahan dengan tingkat kemiskinan, di mana nen kebutuhan dasar terdiri dari atas kese-
hatan, bahan makanan dan gizi, pendidikan,

PENDEKATAN SKALA EKIVALENSI UNTUK MENGUKUR KEMISKINAN Sri Hery Susilowati

95
kesempatan kerja dan kondisi pekerjaan, BPS. Secara teknis Garis Kemiskinan yang
perumahan, sandang, rekreasi, jaminan sosial, disusun oleh BPS dibangun dari dua kom-
dan kebebasan manusia. Menurut Green ponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan dan
(1978) dikutip oleh Thee Kian Wie (1981), Garis Kemiskinan Non-makanan. Garis
komponen kebutuhan dasar terdiri atas: (i) Kemiskinan Makanan dihitung dari besarnya
personal consumption items yang mencakup pengeluaran yang dibutuhkan untuk memenuhi
pangan, sandang dan pemukiman, dan (ii) kebutuhan minimum energi (kalori) per kapita/
basic public services yang mencakup fasilitas hari. Sedangkan Garis Kemiskinan Non-
kesehatan, pendidikan, saluran air minum, makanan dihitung dari besarnya pengeluaran
pengangkutan dan kebudayaan. Menurut yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan
Esmara (1986) komponen kebutuhan dasar dasar non makanan, seperti kebutuhan
primer untuk bangsa Indonesia mencakup perumahan, sandang, kesehatan, pendidikan,
pangan, sandang, perumahan, pendidikan, transportasi, dan lain-lain. BPS (2000) meng-
dan kesehatan. gunakan ukuran konsumsi energi minimum
Sedangkan menurut BPS (2005), sebanyak 2100 kalori per kapita per hari dan
komponen kebutuhan dasar terdiri dari pangan pengeluaran minimal untuk perumahan, pendi-
dan bukan pangan (perumahan, sandang, dikan, kesehatan dan transportasi sebagai
pendidikan, dan kesehatan) yang disusun batas miskin. Besaran tersebut disesuaikan
menurut daerah perkotaan dan perdesaan setiap tahun menurut perubahan harga-harga
berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi barang atau tingkat inflasi. Seseorang yang
Nasional (SUSENAS). Indikator kebutuhan memiliki pengeluaran berada di bawah garis
minimum untuk masing-masing komponen kemiskinan tersebut diklasifikasikan sebagai
adalah; (i) Pangan, dinyatakan dengan kebu- penduduk atau rumah tangga miskin.
tuhan gizi minimum yaitu perkiraan kalori dan Beberapa ahli menetapkan kriteria
protein, (ii) Sandang, dinyatakan dengan garis kemiskinan yang berbeda-beda, yaitu
indikator pengeluaran rata-rata untuk keper- berdasarkan konsumsi beras atau ekivalen
luan pakaian, alas kaki dan tutup kepala, (iii) beras (Esmara, 1986; Sayogya, 1971), kebu-
Perumahan, dinyatakan dengan indikator tuhan gizi minimum (BPS, 2000; Ginneken,
pengeluaran rata-rata untuk sewa rumah, 1969; Both, 1969), pengeluaran belanja non
listrik, minyak tanah, kayu bakar, arang, dan pangan (BPS, 2000), atau pendapatan per
air, (iv) Pendidikan, dinyatakan dengan kapita (Bank Dunia). Beras dipandang meru-
pengeluaran rata-rata untuk keperluan biaya pakan kebutuhan primer rakyat Indonesia,
sekolah (uang sekolah, iuran sekolah, alat tulis maka perkiraan garis kemiskinan dilakukan
dan buku), dan (v) Kesehatan, dinyatakan dengan mempergunakan ukuran kebutuhan
dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk beras atau ekuivalen beras. Selain itu terdapat
penyediaan obat-obatan di rumah, ongkos anggapan bahwa perkembangan harga-harga
dokter, perawatan termasuk obat-obatan. komoditi lainnya akan dipengaruhi sekali oleh
Konsep kemiskinan yang di dasarkan perkembangan harga beras. Sayogyo (1971)
atas perkiraan kebutuhan dasar minimum menggunakan ukuran pengeluaran per kapita
merupakan suatu konsep yang mudah di- per orang per tahun ekivalen beras 320
mengerti. Bila seseorang atau keluarga berada kilogram dan 480 kilogram per kapita per
di bawah kebutuhan minimum tersebut, maka tahun sebagai garis kemiskinan untuk masing-
orang atau keluarga tersebut dapat dikatakan masing daerah perdesaan dan daerah kota.
miskin. Negara maju (Eropa Barat) menetap-
kan 1/3 dari nilai PDB per kapita per tahun
sebagai garis kemiskinan. Bank Dunia meng-
Garis Kemiskinan gunakan US $ 1 per hari per kapita dan
Perkiraan garis kemiskinan merupa- dewasa ini dikembangkan menjadi US $ 2 per
kan refleksi dari suatu konsep kemiskinan. hari per kapita.
Garis kemiskinan merupakan dasar dalam Dengan kriteria garis kemiskinan yang
mengukur tingkat kemiskinan. Garis kemis- bervariasi seperti diuraikan di atas, maka
kinan resmi yang digunakan di Indonesia untuk memperkirakan jumlah penduduk miskin
adalah garis kemiskinan yang disusun oleh akan sangat tergantung dari kriteria dan garis

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 28 No. 2, Desember 2010 : 91 - 105

96
Tabel 1. Beberapa Kriteria Garis Kemiskinan menurut Beberapa Ahli

Penelitian Kriteria Kota (K) Desa (D) K+D


Esmara, 1986 Konsumsi beras /kapita/tahun (kg) 125
Sayogyo, 1971 Tingkat pengeluaran ekivalen
beras/orang/tahun (kg)
Miskin 480 320
Miskin Sekali 360 240
Paling Miskin 270 180
Ginneken, 1969* Kebutuhan gizi min/orang/hari
Kalori 2000
Protein (gram) 50
Anne Booth, 1969* Kebutuhan gizi minimum/orang/hr
Kalori 2000
Protein 40
BPS, 2000 Konsumsi kalori/kapita/hari 2100
Pengeluaran non makanan
Garis Kemiskinan Tingkat pendapatan/kapita/hari (US$) 1atau 2
internasional1
1
http: // unstats.un.org/unsd/mi/MDG%20Book.pdf
* dalam Esmara (1986)

kemiskinan yang digunakan. Sampai saat ini informasi yang diperoleh seringkali kurang
untuk memperkirakan jumlah penduduk miskin syah (valid) disebabkan antara lain keterba-
di Indonesia menggunakan angka resmi BPS. tasan daya ingat atau keengganan responden
Dengan demikian garis kemiskinan yang untuk mengungkapkan data yang sebenarnya.
digunakan secara resmi untuk menghitung Data pengeluaran atau konsumsi rumah
jumlah penduduk miskin di Indonesia meng- tangga dipandang lebih akurat menggambar-
gunakan kriteria garis kemiskinan BPS. kan standar hidup dan kesejahteraan
Dengan garis kemiskinan BPS, saat ini total masyarakat selain juga secara tidak langsung
penduduk miskin sekitar 35 juta orang. menunjukkan informasi tentang pendapatan
Sementara jika menggunakan garis kemis- rumah tangga.
kinan menurut Bank Dunia sebesar US $ 2 per Dengan pendekatan ini, penduduk
hari per kapita maka diperkirakan jumlah orang miskin adalah penduduk yang memiliki rata-
miskin di Indonesia 90 juta orang (www. rata pengeluaran per kapita per bulan di
theprakarsa.org/ index.php.ac). bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan
yang ditetapkan oleh BPS adalah pengeluaran
Metode Pengukuran Kemiskinan konsumsi pangan untuk memenuhi energi
minimum sebanyak 2100 kalori per kapita per
Metode penghitungan penduduk mis- hari dan pengeluaran minimal untuk peru-
kin yang dilakukan BPS hingga saat ini adalah mahan, pendidikan, kesehatan dan transpor-
berdasarkan kebutuhan dasar (basic needs) tasi (BPS, 1992).
melalui pendekatan pendapatan rata-rata per
kapita. Dalam hal ini pendapatan diproksi dari Pendekatan pengeluaran rata-rata per
pengeluaran rumah tangga. Sampai saat ini kapita untuk mengukur kesejahteraan rumah
diyakini bahwa pengeluaran atau konsumsi tangga secara rutin digunakan dalam rangka
rumah tangga menjadi indikator yang lebih penentuan kemiskinan penduduk. Namun
baik untuk mengukur kesejahteraan rumah sampai saat ini pendekatan pengeluaran rata-
tangga dibandingkan pendapatan. Data pen- rata per kapita tersebut belum mempertim-
dapatan meskipun dapat dikumpulkan tetapi bangkan tingkat konsumsi menurut golongan

PENDEKATAN SKALA EKIVALENSI UNTUK MENGUKUR KEMISKINAN Sri Hery Susilowati

97
umur, jenis kelamin anggota rumah tangga kelompok umur, maka penghitungan penge-
serta skala ekonomi dalam konsumsi rumah luaran rata-rata per kapita untuk mengukur
tangga. kesejahteraan rumah tangga menjadi bias.
Kedua, ada faktor skala ekonomi
PENDEKATAN SKALA EKIVALENSI dalam konsumsi rumah tangga (Cockburn,
UNTUK MENGUKUR KEMISKINAN 2002; BPS, 2007). Sebagai contoh, penge-
luaran perumahan untuk rumah tangga
dengan dua individu suami istri bukan otomatis
Pengaruh Komposisi Rumah Tangga merupakan penggandaan biaya pengeluaran
Komposisi rumah tangga, meliputi perumahan untuk rumah tangga dengan hanya
ukuran, komposisi umur, dan jenis kelamin satu orang anggota rumah tangga. Demikian
anggota rumah tangga sangat menentukan pula pengeluaran untuk menyediakan ma-
terhadap besaran pengeluaran konsumsi kanan bagi rumah tangga dengan jumlah
rumah tangga. Tanpa memperhatikan kom- anggota yang lebih banyak, nilai rata-rata per
posisi rumah tangga dalam memperbanding- kapita akan lebih murah dibandingkan rumah
kan pengeluaran rumah tangga untuk tangga dengan jumlah anggota yang lebih
memperkirakan tingkat kesejahteraan, hal itu sedikit. Dengan demikian pengeluaran rumah
dapat menyesatkan. Metode yang digunakan tangga memiliki skala ekonomi yang perlu
untuk mengatasi masalah tersebut adalah dipertimbangkan dalam memproksi tingkat
dengan mengubah pengeluaran rumah tangga kesejahteraan rumah tangga.
menjadi pengeluaran per kapita yaitu dengan Untuk mengatasi pengaruh komposisi
cara membagi pengeluaran rumah tangga rumah tangga tersebut dilakukan dengan
dengan jumlah anggota rumah tangga. menetapkan sistem penimbang atau kese-
Meskipun pendekatan rata-rata pengeluaran taraan orang dewasa, disebut sebagai adult
per kapita merupakan hal yang paling mudah equivalent (AE). Satu laki-laki atau perempuan
dan memungkinkan dilakukan untuk menetap- dewasa digunakan sebagai dasar penentuan
kan status kemiskinan suatu wilayah atau ekivalen anggota rumah tangga lain, sehingga
golongan masyarakat, namun pendekatan setiap anggota rumah tangga dihitung nilai
rata-rata pengeluaran per kapita yang diguna- kesetaraan jika dibandingkan dengan orang
kan sebagai dasar untuk menetapkan kebi- dewasa (Cockburn, 2002; BPS, 2007; BPS.
jakan pemerintah terkait dengan kemiskinan 2005).
belum sepenuhnya benar. Hal ini disebabkan
pendekatan pengeluaran rata-rata per kapita
untuk menghitung status kemiskinan di suatu Konsep Skala Ekivalensi
wilayah/golongan mengandung kelemahan, Seperti diuraikan di atas, studi ke-
yaitu, pertama, individu memiliki kebutuhan miskinan dengan mengukur standar hidup
pengeluaran yang berbeda menurut golongan menggunakan pendekatan rata-rata penge-
umur. Sebagai contoh, anak balita memerlu- luaran rumah tangga per kapita tanpa mem-
kan kebutuhan makanan lebih sedikit diban- perhatikan komposisi demografi bukan pen-
dingkan orang dewasa. Hasil kajian BPS duga yang cukup baik untuk menghitung
(2007) menunjukkan bahwa bertambahnya 1 pengeluaran per kapita dalam rangka mem-
anggota rumah tangga (ART) balita menam- perkirakan tingkat kesejahteraan rumah
bah pengeluaran rumah tangga perkotaan Rp tangga atau individu. Hal ini disebabkan
226 ribu per bulan, di perdesaan Rp 86 ribu kebutuhan konsumsi rumah tangga bervariasi
per bulan.Tambahan 1 ART anak menambah menurut komposisi demografi dan skala
pengeluaran rumah tangga perkotaan Rp 292 ekonomi dalam konsumsi. Sebagai alternatif
ribu dan rumah tangga perdesaan Rp 132 ribu. pengukuran rata-rata pengeluaran rumah
Sedangkan tambahan 1 ART dewasa menam- tangga per kapita dalam rangka mengukur
bah pengeluaran rumah tangga per bulan Rp kemiskinan, didasarkan pada rata-rata penge-
393 ribu (kota) dan Rp 185 ribu (desa). luaran setara dewasa (adult equivalent) dan
Dengan hanya mengetahui rata-rata penge- dengan memperhitungkan skala ekonomi da-
luaran per kapita tanpa memperhatikan lam konsumsi rumah tangga. Konversi ini
komposisi rumah tangga terutama menurut dikenal dengan istilah "skala ekuivalen".

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 28 No. 2, Desember 2010 : 91 - 105

98
Salah satu sistem penimbang keseta- . Dalam menentukan skala ekivalensi
raan orang dewasa (adult equivalent) dinyata- atau equivalence scales (ES), didasarkan
kan sebagai skala OECD, dirumuskan sebagai pada economic of scale (e) yang nilainya
berikut (OECD, 1982). ditentukan oleh jumlah anak dan anggota
rumah tangga dewasa. Skala ekivalensi oleh
AE = 1+ 0,7 (Nadult – 1)+0,5 Nchildren ...............(1) The United States Panel Poverty and Family
Assistance dinyatakan secara matematik
Dimana AE adalah adult equivalent . Nilai 0,7 sebagai berikut (Citro and Michael, 1995).
mencerminkan skala ekonomi, jika nilai skala
tersebut makin kecil maka skala ekonomi Me,y = Sey .……………………………………(2)
makin penting untuk dipertimbangkan. Angka
0,5 adalah penimbang yang diberikan kepada Dimana Me,y adalah nilai skala ekivalensi pada
anak-anak yang diasumsikan memiliki kebu- nilai y dan e tertentu, Sy adalah jumlah orang
tuhan pengeluaran lebih rendah (kebutuhan dewasa ditambah jumlah anak dalam rumah
makanan, tempat tinggal, dsb). Apabila rumah tangga dikalikan dengan y, yaitu koefisien
tangga dengan satu orang anggota rumah setara dewasa (adult equivalent), dipangkat-
tangga (ART) dewasa akan mempunyai nilai kan e (skala ekonomi). Nilai e berkisar 0-1.
AE sebesar 1. Jika rumah tangga dengan Jika e meningkat maka ES akan menurun
dua orang ART dewasa akan mempunyai nilai sehingga jika e = 1 atau tidak ada skala
AE sebesar 1,7. ekonomi maka besaran ES dihitung jumlah per
Setelah dipromosikan skala OECD, orang anggota rumah tangga.
the Statistical Office of the European Union Cockburn (2002) menggunakan meto-
(EUROSTAT) mengadopsi skala ekivalensi de penghitungan ES sebagai berikut:
yang disebut sebagai Skala OECD yang dimo-
difikasi (OECD-modified equivalence scale). ESi = 1+0,7(Zi-1-Ki)+0,5Ki …..………………(3)
Skala ekivalensi tersebut dipromosikan oleh
Haagenars et al. (1994), yaitu nilai 1 untuk dimana : i adalah indeks rumah tangga, Z
kepala keluarga (orang dewasa pertama), 0,5 adalah jumlah anggota rumah tangga dan K
untuk orang dewasa berikutnya dan 0,3 adalah jumlah anak. Formula tersebut
masing-masing untuk nilai anak-anak. menunjukkan, dengan memperhitungkan skala
ekonomi dan umur, kepala rumah tangga
Skala ekivalensi menunjukkan ukuran
pendapatan relatif yang dibutuhkan masing- diperhitungkan 1, anggota rumah tangga
dewasa lain diperhitungkan 0,7 dan anak-anak
masing rumah tangga yang berbeda untuk
mencapai standar hidup (Whiteford, 1985; diperhitungkan 0,5.
Cockburn, 2002). Konsep skala ekivalensi Konsep skala ekivalensi telah diterap-
pada prinsipnya menyetarakan kebutuhan kan di beberapa negara untuk menghitung
konsumsi anak dengan populasi dewasa kemiskinan (diantaranya India, Taiwan,
dengan memperhitungkan skala ekonomi Srilanka, Peninsula, Australia, negara-negara
untuk menghitung angka kemiskinan (Banks di Eropa). Sebuah studi yang dilakukan di
and Johnson, 1994; Jenkins and Cowell, Srilanka, Taiwan dan Peninsula menyatakan
1994). Kebutuhan konsumsi relatif anak pentingnya penimbang dalam menghitung
dimodelkan dengan memilih nilai y yang pengeluaran per kapita, yaitu dengan cara
mencerminkan kebutuhan konsumsi anak mengkaji korelasi antara pengeluaran per
disetarakan kebutuhan orang dewasa. The kapita tak tertimbang dengan pengeluaran per
United States Panel Poverty and Family adult equivalent (menggunakan penimbang).
Assistance menyetarakan kebutuhan kon- Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai
sumsi anak adalah 0,7 orang dewasa. Artinya korelasi antara kedua variabel tersebut lebih
secara umum anak mengkonsumsi 70 persen besar dari 0,90 (BPS, 2005). Implikasi untuk
dari kebutuhan konsumsi dewasa. Beberapa kasus tersebut adalah bahwa penghitungan
kajian di Australia menggunakan nilai pem- pengeluaran per kapita dengan pendekatan
bobot untuk anak berkisar 0,3 sampai 0,7 skala ekivalen akan memberikan hasil yang
(National Centre for Social and Economic tidak jauh berbeda dengan pendekatan rata-
Modelling, 2003). rata pengeluaran per kapita.

PENDEKATAN SKALA EKIVALENSI UNTUK MENGUKUR KEMISKINAN Sri Hery Susilowati

99
Teknik menghitung skala ekivalensi (kepala keluarga), 0,7 untuk orang dewasa
yang telah dilakukan selama ini di negara- kedua dan seterusnya, dan 0,5 untuk anak-
negara Luxembourg sangat beragam karena anak di bawah 15 tahun. Selain itu juga skala
masing-masing memiliki preferensi dalam OECD juga dimodifikasi menjadi 1,0 untuk
aspek tertentu. Tidak ada pedoman yang pasti orang dewasa pertama, 0,5 orang dewasa
teknik penghitungan skala ekivalensi sehingga kedua dan seterusnya, dan 0,3 untuk anak-
Whiteford (1985) menyatakan tidak ada suatu anak di bawah 15 tahun.
metode menghitung skala ekivalensi yang Anderson and Ibbot (1999) meng-
lebih baik dibanding metode penghitungan analisis sensitivitas kemiskinan menurut
skala ekivalensi yang lain. Menurut Atkinson beberapa perubahan asumsi. Penentuan garis
(1992) dan Coulter et al. (1992), pemilihan kemiskinan Kanada, yang disebut sebagai
skala ekivalensi mempengaruhi penghitungan LICO (Statistics Canada’s Low Income Cut-Off),
jumlah dan komposisi penduduk miskin. Oleh menggunakan fungsi permintaan AIDS, dimana
karenanya perlu mempelajari beberapa pengeluaran per kapita disetarakan dewasa
kisaran skala ekivalensi untuk meminimalkan dengan menggunakan skala ekivalensi OECD
pengaruh skala ekivalensi tersebut dalam dimana nilai adult equivalent ditetapkan secara
memperkirakan tingkat kemiskinan, atau paling arbritary. Dari hasil kajian diperoleh bahwa
tidak dapat menginterpretasikan hasil estimasi besaran elastisitas ukuran rumah tangga tergan-
kemiskinan berdasarkan alternatif skala eki- tung dari metode yang digunakan untuk meng-
valensi yang digunakan. estimasi skala ekivalensi. Dari hasil analisis
elastisitas tersebut, Simmins menggunakan nilai
Penerapan Skala Ekivalensi untuk elastisitas ukuran rumah tangga sebesar 0,5
Menghitung Kemiskinan di Beberapa untuk mengestimasi skala ekivalensi setara
Negara dewasa (adult equivalent).
Cockburn, (2001) menganalisis dam- Rojas (2004) mengestimasi kemiskinan
pak liberalisasi perdagangan terhadap kemis- di Meksiko menggunakan pendekatan skala
kinan di Nepal. Untuk menghitung kemiskinan ekivalensi. Rojas menggunakan pendekatan
digunakan pendekatan skala ekivalensi. Sort kesejahteraan subyektif (The Subjective Well-
et al. (1997) mengkaji sensitivitas angka Being Approach) melalui Fungsi utilitas untuk
kemiskinan Amerika Serikat terhadap berbagai mengestimasi koefisien adult equivalent.
macam skala ekivalen. Dari hasil kajiannya Beberapa kajian untuk mengukur ke-
dapat disimpulkan bahwa perbedaan nilai miskinan di Indonesia dengan menggunakan
adult equivalent atau setara dewasa akan pendekatan skala ekivalensi juga telah dilaku-
mengubah angka kemiskinan yang diukur. kan. Namun mengingat sampai dengan saat
Penggunaan pendekatan adult equivalent ini belum ada angka resmi dari BPS untuk nilai
akan menghasilkan angka kemiskinan yang kesetaraan dewasa (adult equivalent) dan
relatif lebih rendah dibandingkan dengan formula skala ekivalensi yang dapat digunakan
pendekatan rata-rata pendapatan perkapita. untuk mengestimasi angka kemiskinan di
Garner and Short (2005), berdasarkan Indonesia, maka kajian-kajian yang telah
pengalaman di India yang menetapkan garis dilakukan selama ini untuk mengestimasi ang-
kemiskinan bukan hanya didasarkan pada ka kemiskinan menggunakan referensi skala
pendapatan dan pengeluaran semata, men- ekivalensi yang dibuat oleh pakar internasio-
coba mengembangkan konsep garis kemis- nal. BPS (2007) memang telah melakukan
kinan baru di Amerika Serikat dengan kajian untuk mengestimasi nilai kesetaraan
menggunakan penyesuaian skala ekivalensi. dewasa (adult equivalent). Namun kajian
Simkin (2004) menggunakan skala OECD tersebut belum secara lengkap memasukkan
untuk menganalisis distribusi pendapatan skala ekonomi sehingga belum dapat diper-
rumah tangga dan kemiskinan (pendapatan oleh skala ekivalen secara lengkap. Demikian
diproksi dari pengeluaran). Pengeluaran per- pula hasil kajian BPS tersebut baru bersifat
kapita didekati dengan menggunakan skala kajian lingkup internal sehingga nilai keseta-
OECD untuk membuat kesetaraan dewasa raan dewasa yang dihasilkan belum dapat
(adult equivalent), dengan menggunakan digunakan secara resmi untuk mengestimasi
koefisien 1,0 untuk orang dewasa pertama angka kemiskinan di Indonesia.

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 28 No. 2, Desember 2010 : 91 - 105

100
BPS (2007) menggunakan data kan) menghasilkan angka pendapatan per-
SUSENAS modul konsumsi tahun 2005 dan kapita yang lebih besar sehingga perkiraan
data SUSENAS Panel tahun 2007 untuk angka kemiskinan yang diperoleh menjadi
mengestimasi persentase penduduk miskin di lebih kecil. Hal ini diduga disebabkan oleh
Indonesia. Untuk mencari nilai adult equivalent proporsi anak-anak pada komposisi anggota
dilakukan dengan metode regresi dan rata-rata. rumah tangga di Indonesia pada umumnya
Dengan metode rata-rata diperoleh hasil, untuk relatif tinggi. Pendekatan skala ekivalensi
daerah perkotaan konsumsi balita sekitar 0,64 untuk mengestimasi kemiskinan di Indonesia
kali konsumsi penduduk dewasa, dan konsumsi dengan menggunakan formulasi Cockburn
anak sekitar 0,8 kali konsumsi dewasa. Untuk (2002) juga dilakukan oleh Oktaviani et al.
daerah perdesaan, konsumsi balita hanya 0,54 (2005), Astuti (2005) maupun Sitepu (2007).
kali konsumsi penduduk dewasa perdesaan dan
konsumsi anak 0,68 kali konsumsi penduduk
dewasa perdesaan. Dengan menerapkan adult PENERAPAN PENDEKATAN SKALA
equivalent hasil metode rata-rata maka persen- EKIVALENSI UNTUK MENGHITUNG
tase penduduk miskin Indonesia menjadi sebe- KEMISKINAN DI INDONESIA
sar 8,68 persen (kota), 12,74 persen (desa), dan
10,70 persen (desa+kota). Sementara dengan Urgensi Penerapan
pendekatan rata-rata pengeluaran perkapita
seperti yang selama ini dilakukan BPS, Penghitungan kemiskinan melalui pen-
penghitungan penduduk miskin bulan Juli tahun dekatan rata-rata pengeluaran per kapita
2005 menghasilkan penduduk miskin sebesar seperti yang dilakukan oleh BPS selama ini
12,48 persen (kota), 20,63 persen (desa), dan didasarkan pada kecukupan kebutuhan energi
16,69 persen (desa+kota). Dengan demikian kalori dengan menyamaratakan kebutuhan
hasil penghitungan kemiskinan dengan meng- konsumsi semua anggota rumah tangga
gunakan pendekatan adult equivalent menghasil- (dewasa, anak-anak, maupun balita). Dengan
kan angka kemiskinan yang lebih rendah diban- konsep yang demikian bobot masing-masing
dingkan dengan metode rata-rata pengeluaran anggota rumah tangga akan sama besarnya.
per kapita seperti yang digunakan BPS selama Sementara kebutuhan kecukupan pangan
ini. setiap individu pada dasarnya berbeda
menurut umur dan jenis kelamin (Widya Karya
Kajian yang dilakukan oleh Susilowati Nasional Pangan dan Gizi VIII, 2004).
et al. (2007) menggunakan pendekatan skala Kebutuhan konsumsi balita dan anak akan
ekivalensi untuk mengukur dampak kebijakan berbeda dengan kebutuhan konsumsi dewasa.
di sektor agroindustri terhadap kemiskinan di Dari hasil analisis BPS (2007) menunjukkan
Indonesia dengan menggunakan data bahwa pola konsumsi anggota rumah tangga
SUSENAS Tahun 2002. Skala ekivalensi yang menurut komposisi demografi memang
digunakan mengacu pada skala ekivalensi menunjukkan perbedaan, yang didekati dari
yang dipromosikan oleh Cockburn (2002). tambahan pengeluaran rumah tangga dengan
Hasil kajian menunjukkan bahwa dengan bertambahnya anggota rumah tangga balita,
menggunakan garis kemiskinan yang dibuat anak, maupun dewasa yang masing-masing
oleh BPS untuk tahun yang sama, maka mempunyai nilai yang berbeda. Data BPS juga
dihasilkan angka kemiskinan secara agregat menunjukkan bahwa dari 219,2 juta jiwa
(perkotaan dan perdesaan sebesar 3,92 penduduk Indonesia terdapat 20,3 juta balita
persen), jauh lebih kecil dibandingkan dengan dan 41,6 juta anak atau sekitar 29,08 persen
angka kemiskinan dengan pendekatan rata- penduduk Indonesia berusia 0-14 tahun. Data
rata per kapita sebesar 17,33 persen. Angka- BPS menunjukan juga sekitar 78,12 persen
angka tersebut menunjukkan jumlah populasi rumah tangga di Indonesia memiliki anak (usia
yang memiliki pendapatan di bawah garis dibawah 15 tahun) maupun balita.
kemiskinan. Perbedaan yang cukup besar
angka kemiskinan melalui dua pendekatan Dengan pertimbangan tersebut, peng-
tersebut secara implisit menunjukkan bahwa hitungan kemiskinan penduduk yang selama
pembobotan menggunakan skala ekivalensi ini dilakukan oleh BPS dengan didasarkan
(dibandingkan dengan pendekatan rata-rata atas rata-rata pengeluaran per kapita tanpa
pendapatan per kapita yang selama ini diguna- membedakan komposisi umur anggota rumah

PENDEKATAN SKALA EKIVALENSI UNTUK MENGUKUR KEMISKINAN Sri Hery Susilowati

101
tangga menjadi sangat perlu untuk dievaluasi Kedua, seperti dinyatakan oleh
kembali. Hasil perhitungan kemiskinan oleh Whiteford (1985), tidak ada pedoman pasti
BPS (2007) dengan menggunakan pende- teknik penghitungan skala ekivalensi serta
katan skala ekivalensi menghasilkan persen- tidak ada suatu metode menghitung skala
tase penduduk miskin Indonesia yang relatif ekivalensi yang lebih baik dibanding metode
lebih rendah dibandingkan dengan hasil penghitungan lain yang dapat diadopsi oleh
perhitungan yang selama ini dilakukan yang Indonesia. Oleh karenanya perlu dilakukan
semata-mata menggunakan pendekatan rata- kajian khusus terlebih dahulu yang dapat
rata pengeluaran per kapita. Penetapan angka memotret kebutuhan penduduk menurut
kemiskinan dengan pendekatan skala ekiva- kelompok umur agar perhitungan skala umur
lensi diharapkan akan menyempurnakan untuk penghitungan skala ekivalen dapat
angka kemiskinan di Indonesai secara lebih dilakukan secara akurat. Kajian seyogyanya
proposional. dilakukan dalam cakupan rumah tangga
Hal penting yang perlu dipertimbang- contoh yang luas di seluruh provinsi seperti
kan apabila penetapan angka kemiskinan akan halnya survey konsumsi (SUSENAS) sehingga
dievaluasi dengan menggunakan pendekatan dapat mewakili pola konsumsi seluruh masya-
skala ekivalensi, adalah dalam penetapan rakat Indonesia. Survey semacam itu memer-
garis kemiskinan. Garis kemiskinan yang lukan sumber daya yang besar.
selama ini digunakan oleh BPS adalah kon- Ketiga, penetapan angka kemiskinan
sumsi energi minimum sebanyak 2100 kalori dengan menggunakan metode penghitungan
per kapita per hari dan pengeluaran minimal yang berbeda sudah barang tentu akan
untuk perumahan, pendidikan, kesehatan dan menghasilkan angka kemiskinan yang berbeda
transportasi yang dinyatakan sebagai nilai pula. Hasil kajian BPS (2007) dan Susilowati
(dalam Rupiah) pengeluaran per kapita per et al. (2007) dengan menggunakan pende-
bulan. Demikian pula garis kemiskinan yang katan skala ekivalensi dihasilkan persentase
digunakan BPS (2007) untuk melakukan kajian kemiskinan yang lebih rendah dibandingkan
menghitung kemiskinan melalui pendekatan dengan menggunakan metode rata-rata pe-
skala ekivalensi masih menggunakan garis ngeluaran per kapita seperti yang dilakukan
kemiskinan BPS dengan pendekatan rata-rata sekarang. Dengan demikian, apabila pende-
pengeluaran per kapita. Dengan demikian katan skala ekivalensi akan diterapkan, maka
penetapan garis kemiskinan juga perlu dieva- akan terdapat perbedaan metode penghi-
luasi melalui pendekatan skala ekivalensi. tungan kemiskinan dan perbedaan hasil
(angka) kemiskinan sehinga tidak dapat dilaku-
kan pembandingan data kemiskinan tahun
Kendala Penerapan terkini dengan tahun-tahun sebelumnya.
Secara teori, penetapan kemiskinan Akibatnya perubahan/dinamika kemiskinan
dengan menggunakan skala ekivalensi sangat tahun-tahun sebelumnya dengan tahun terkini
relevan diterapkan dengan pertimbangan ada tidak dapat diungkapkan secara baik.
perbedaan konsumsi menurut komposisi
demografi anggota rumah tangga seperti yang
sudah diuraikan. Namun dalam praktek KESIMPULAN
memiliki beberapa kendala untuk penerapan-
nya, diantaranya, pertama, adalah dalam Penghitungan penduduk miskin di
menetapkan skala ekivalen yang tepat untuk Indonesia yang selama ini hanya didasarkan
kondisi penduduk Indonesia. Formula skala pada rata-rata pengeluaran per kapita dan
ekivalen yang telah ditetapkan oleh beberapa tidak memperhatikan komposisi umur anggota
ahli sebelumnya (Cockburn, 2002, OECD, rumah tangga, pada dasarnya mengandung
1982) belum tentu tepat diadopsi di Indonesia. kelemahan karena tidak menceminkan
Dengan demikian untuk penghitungan kemis- kebutuhan konsumsi setiap anggota rumah
kinan dengan pendekatan skala ekivalensi, tangga yang sebenarnya. Dengan demikian
harus dibangun terlebih dulu formula skala hasil perhitungan yang diperoleh kurang
ekivalensi yang sesuai digunakan untuk kon- mencerminkan angka kemiskinan secara
disi Indonesia. akurat.

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 28 No. 2, Desember 2010 : 91 - 105

102
Hasil perhitungan kemiskinan dengan Miskin dan Profil Kemiskinan 1999. Badan
pendekatan skala ekivalensi diketahui meng- Pusat Statistik. Jakarta.
hasilkan angka kemiskinan yang lebih rendah Badan Pusat Statistik. 2007. Adult Equivalent
dibandingkan dengan metode rata-rata penge- (Analisis Konsumsi Rumah Tangga).
luaran per kapita. Pendekatan skala ekivalensi Badan Pusat Statistik. Jakarta.
sebagai alternatif metode menghitung kemis- Banks, J and Johnson,P. 1994. Equivalence Scale
kinan diperkirakan akan menghasilkan angka Relativities Revisited. Economic Journal.
kemiskinan yang lebih proporsional dibanding- Vol. 104, pp. 1 – 16.
kan dengan metode rata-rata pendapatan per BPS. 2005. Analisis dan Penghitungan Tingkat
kapita. Kemiskinan Tahun 2005. Badan Pusat
Dengan pertimbangan bahwa sekitar Statistik. Jakarta.
78 persen rumah tangga di Indonesia memiliki BPS. 1992. Kemiskinan dan Pemerataan di
anak (usia dibawah 15 tahun) maupun balita Indonesia, 1976-1990. Badan Pusat Statis-
dan sekitar 29 persen penduduk Indonesia tik, Jakarta
adalah anak-anak dan balita, maka penetapan Charles Simkins. 2004. What Happened To The
kemiskinan dengan metode skala ekivalensi Distribution Of Income In South Africa
yang didasarkan pada perbedaan komposisi Between 1995 And 2001? University of the
umur anggota rumah tangga menjadi sangat Witwatersrand.
relevan dilakukan. Untuk itu penetapan kemis- Citro, C.F. and Michel, R.T. (eds). 1995. Measuring
kinan dengan metode rata-rata pengeluaran Poverty: A New Approach. National re-
per kapita seperti yang dilakukan BPS hingga search Council. National Academy Press.
Washington , D.C.
saat ini perlu dievaluasi.
Cockburn, J. 2002. Procedures for Conducting
Kendala penerapan skala ekivalensi Non-Parametric Poverty/Distribution with
untuk menetapkan angka kemiskinan di DAD. CREFA, Universite Laval, jcoc@
Indonesia terutama belum tersedianya formula ecn.ulaval.ca
skala ekivalensi yang tepat digunakan di Cockburn, J. 2002. Procedures for Conducting
Indonesia. Dengan demikian masih perlu Non-Parametric Poverty/Distribution with
dilakukan kajian yang mendalam dengan DAD. CREFA, Universite Laval, jcoc@
cakupan sampel yang luas untuk memotret ecn.ulaval.ca
kebutuhan penduduk menurut kelompok umur Cockburn, J. 2001. Trade Liberalisation and Poverty
sehingga dapat diperoleh penghitungan skala in Nepal. A Computable General Equilib-
ekivalensi yang lebih akurat. rium Micro Simulation Analysis. Centre for
the Study of African Economies and
Nuffield College (Oxford University) and
DAFTAR PUSTAKA CREFA, jcoc@ecn.ulaval.ca
Cockburn, J. 2001. Trade Liberalisation and Poverty
Anderson, G and P. Ibbott. 1999. Measuring in Nepal. A Computable General Equi-
Poverty in Canada: Ambiguity and Conflict. librium Micro Simulation Analysis. Centre
University of Toronto. Ontario. for the Study of African Economies and
Nuffield College (Oxford University) and
Arif, S. 1990. Dari Prestasi Pembangunan Sampai CREFA, jcoc@ecn.ulaval.ca
Ekonomi Politik: Kumpulan Karangan.
Universitas Indonesia, Jakarta. Coulter, F.A.E. , Cowel, F.A. and Jenkins S.P.
1992. Equivalence Scale Relativities and
Astuti, E. 2005. Dampak Investasi Sektor Pertanian the Extent of Inequality and Poverty.
Terhadap Perekonomian dan Upaya Economic Journal. Vol. 102. Pp. 1067-82.
Pengurangan Kemiskinan di Indonesia:
Pendekatan Social Accounting Matrix. Djaimi. 2006. Analisis Peranan dan Kinerja Industri
Tesis Magister Sains. Sekolah Pasca- Kecil dan Menengah dalam Perekonomian
sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Indonesia. Disertasi Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Atkinson, A.B. 1992. Measuring Poverty and
Differences in Family Composition. Esmara, Hendra. 1986. Perencanaan dan Pemba-
Economica. Vol. 59. pp. 1-16. ngunan Di Indonesia. Gramedia, Jakarta.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2000. Penyempur- Garner, T. L. and K. Short, 2005. Developing A
naan Metodologi Penghitungan Penduduk New Poverty Line For The USA: Are There
Lessons For India? . Office Of Price Living

PENDEKATAN SKALA EKIVALENSI UNTUK MENGUKUR KEMISKINAN Sri Hery Susilowati

103
Condition. Working Paper 378, March surement Study. Working Paper No. 13.
2005. Bureau Of Labor Statistics U.S. World Bank
Department Of Labor. Sajogyo. 1977. Golongan Miskin dan Partisipasinya
Hagenaars, A., K. de Vos and M.A Zaidi. 1994. dalam Pembangunan Desa. Prisma VI (3):
Poverty Statistics in the Late 1980s: 10-17.
Research Based on Micro-data. Office for Sapuan, dan C. Silitonga. 1994. Pembangunan
Official Publications of the European Pertanian dalam Menanggulangi Kemis-
Communities. Luxembourg. kinan. Prosiding Seminar Perhimpunan
Haughton, Jonathan. 2001. The Impact of the East Ekonomi Pertanian Indonesia, Jakarta.
Asian Crisis: Poverty Analysis Using Panel Short, Kathleen, Martina Shea, and T.J. Eller. 1996.
Data, Lecture Notes Prepared for the Work-Related Expenditures in a New
World Bank, Suffolk University and Beacon Measure of Poverty, Paper Presented at the
Hill Institute. Boston. Annual Meeting of the American Statistical
Iksan, M. 1998. The Disaggregation of Indonesia Association, August 1996.
Poverty: Policy and Analysis. An Siamwalla, A. 1993. Rural Credit and Rural Poverty.
unpublished Ph.D Tehsis. University of dalam Quibria, M.G. (Ed). Rural Poverty in
Illinois at Urbana-Champaign, IL. USA. Asia: Priority, Issues and Policy Options.
Jenkins, S.P. and Cowell,F.A. 1994. Parametric Oxford University Press. Hongkong. P.287-
Equivalence Scale and Scale Relativities. 259.
Economic Journal. Vol. 104, pp. 891-900. Sitepu, R. 2007. Dampak Investasi Sumber Daya
Kartasasmita, G. 1996. Pembangunan Untuk Manusia terhadap Distribusi Pendapatan
Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan dan Kemiskinan di Indonesia. Makalah
Pemerataan. PT. Pustaka CIDESINDO, Seminar Pascasarjana. Institut Pertanian
Jakarta. Bogor, Bogor.
Mason, Andrew, 1996. Targeting The Poor in Rural Sofwani, A. 1998. Membangun Ekonomi Pedesaan
Java. IDS Bulletin, Vol.27 (1): 67-82. untuk Mengentas Kemiskinan. Sinar Tani,
National Centre for Social and Economic Modelling, Rabu 18 Februari 1998.
2003. Does The Way We Measure Poverty Sudaryanto, Tahlim. 2009. Akselerasi Pengentasan
Matter? Discussion Paper no. 59, Novem- Kemiskinan di Pedesaan: Revitalisasi
ber 2003. University of Canberra, Peran Sektor Pertanian. Orasi Pengu-
Canberra. kuhan Profesor Riset Bidang Sosial
OECD. 1982. The OECD List of Social Indicators. Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan
OECD. Paris. dalam OECD Project on Pengembangan Pertanian, Departemen
Income Distribution and Poverty, via Pertanian.
www.oecd.org/els/social/inequality Sumodiningrat, G. 1988. Pemberdayaan Masya-
Oktaviani, R., D.B. Hakim, H. Siregar and Sahara. rakat dan Jaring Pengaman Sosial. PT.
2005. The Impact of Reducing Oil Subsidy Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
on Indonesian Macroeconomic Perfor- Sumodiningrat, G., B. Santosa, dan M. Maiwan.
mance, Agricultural Sector and Poverty 1999. Kemiskinan : Teori, Fakta dan
Incidences (A Recursive Dynamic Com- Kebijakan. Edisi Pertama. Penerbit IMPAC,
putable General Equilibrium Analysis). Jakarta.
oktavia@indo.net.id. Susilowati, S.H., Bonar. M. Sinaga, W.H. Limbong,
Organization for Economic Cooperation and Erwidodo. 2007. Dampak Kebijakan
Development. 1982. The OECD List of Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap
Social Indicators, Paris. Kemiskinan dan Distribusi Pendapatan
Otsuka, K. 1993. Land Tenure and Rural Poverty. Rumah Tangga di Indonesia: Analisis
dalam Quibria, M.G. (Ed). Rural Poverty in Simulasi dengan Sistem Neraca Sosial
Asia: Priority, Issues and Policy Options. Ekonomi. Jurnal Agro Ekonomi. JAE.
Oxford University Press. Hongkong. P.260- Volume 25 Nomor 1 Mei 2007.
315. Suyanto, Bagong. 1995. Perangkap Kemiskinan:
Quibria, M.G. and T.N. Srinivasan. 1993. Rural Problem dan Strategi Pengentasannya.
Poverty. Oxford University Press. Thee Kian Wie. 1981. Pemerataan, Kemiskinan,
Hongkong. Ketimpangan. Sinar Harapan. Jakarta.
Ravallion, Martin. 1998. Poverty Lines in Theory Thesia I. Garner and Kathleen Short. 2002.
and Practice: Living Standard Mea- Developing a New Poverty Line for the

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 28 No. 2, Desember 2010 : 91 - 105

104
USA: Are There Lessons for India? Research Institute for Social Development.
Published in: National Income Accounts World Bank Institute. Geneva.
and Data Systems, edited by B.S. Minhas, Whiteford, P. 1985. A Family’s Needs: Equivalence
Oxford University Press, New Delhi. Scales, Poverty and Social Security. In
Thorbecke, E. and T.V.D Pluijm. 1993. Rural National Centre for Social and Economic
Indonesia: Socioeconomic Development in Modelling, 2003. Does The Way We
a Changing Environment. IFAD. New York Measure Poverty Matter?. Discussion
University Press, New York Paper no. 59, November 2003. University
United Nations, 1961.International Definition and of Canberra, Canberra.
Measurement of Levels of Living : An Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII. 2004.
Interim Guide. New York, United Nations. Angka Kecukupan Gizi Bagi Orang
UNRISD, Jan Drewnowski and Wold Scott. 1966. Indonesia. LIPI, Jakarta.
The Level of Living Index. United Nations

PENDEKATAN SKALA EKIVALENSI UNTUK MENGUKUR KEMISKINAN Sri Hery Susilowati

105

Anda mungkin juga menyukai