Anda di halaman 1dari 21

1

PENETAPAN AMBANG EKONOMI HAMA ULAT GRAYAK (Spodoptera litura F.)

PADA TANAMAN KEDELAI (Glycine max L.)

Lambatnya   laju   peningkatan   produksi   kedelai   di   Indonesia,   salah   satu

penyebabnya adalah rendahnya peningkatan produktivitas secara nasional yang hanya

mencapai   1,30   t/ha,sementara   potensi   peningkatan   produktivitas   kedelai   secara

nasional   dapat   mencapai   2,2   t/ha   (Badan   Litbang   Pertanian,   2015).   Rendahnya

produktivitas  kedelai  yang dicapai  secara nasional,  salah  satu faktor penyebabnya

adalah tingginya serangan hama. Hama yang banyak menyerang kedelai antara lain

ulat grayak. Di Indonesia, ulat grayak, S. litura merupakan hama penting pemakan

daun kedelai dibanding hama lainnya seperti ulat jengkal (Chrysodeixis chalcites),

ulat helicoverpa (Heliothis  armigera), ulat penggulung daun (Lamprosema indica).

Ulat grayak, S. litura merupakan jenis hama yang bersifat polypag, dapat menyerang

berbagai jenis tanaman termasuk kedelai.

Kerusakan dan kehilangan hasil akibat serangan ulat grayak ditentukan oleh

tingkat populasi hama, fase perkembangan serangga, fase pertumbuhan tanaman, dan

jenis   varietas   kedelai.   Serangan   hama   pada   varietas   rentan   akan   menyebabkan

kerugian   yang   sangat   signifikan.   Defoliasi   daun   karena   serangan   ulat   grayak   bila

terjadi   pada   fase   pertumbuhan   tanaman   berbunga   penuh   dan   fase   pembentukan
2

polong akan mengakibatkan kehilangan hasil yang lebih besar dibanding serangan

pada fase pengisian polong penuh (Marwoto dan Suharsono, 2008).

Kehilangan   hasil   kedelai   akibat   ulat   grayak   dilaporkan   lebih   dari   80%   di

Jepang, sedangkan di Amerika mencapai 90%. Untuk di Indonesia, tingkat serangan

ulat grayak tersebut dapat mencapai 23­45% (Adie et al., 2012). Sedangkan menurut

Marwoto   dan   Suharsono   (2008),   kehilangan   hasil   akibat   serangan   ulat

grayak S.litura di   Indonesia   dapat   mencapai   80%.   Berdasarkan   laporan   hasil

penelitan dan pengkajian BPTP Sulawesi Selatan (2015), tingkat serangan hama ulat

grayak pada daun di Kelurahan Tancung, Kabupaten Wajo dapat mencapai 75%.

Pengendalian ulat grayak sampai saat ini masih mengandalkan insektisida

yang diaplikasikan secara berjadwal pada tanaman berumur 20-65 hari setelah tanam

dengan frekuensi 2 minggu sekali (Sumarno dan Harnoto, 1983). Pengendalian yang

didasarkan atas populasi hama belum dilakukan karena kurangnya informasi

mengenai besarnya ambang ekonomi ulat grayak.

Salah satu komponen penting dalam menentukan ambang ekonomi adalah

kehilangan hasil. Stone dan Pedigo (6) menentukan kehilangan hasil panen kedelai

dengan membandingkan antara hasil panen tanaman sehat dan yang didefoliasi secara

buatan melalui pengguntingan daun. Metode tersebut mempunyai kelemahan karena

dinamika proses defoliasi oleh hama daun dan kemampuan tanaman mengkompensasi

kerusakan daun tidak diperhitungkan (1,5). Mengingat kelemahan tersebut, maka


3

kehilangan hasil panen oleh ulat grayak ditentukan dengan membandingkan hasil

panen antara tanaman sehat dan tanaman yang diinfestasi serangga. Faktor yang

diperhitungkan dalam menentukan kehilangan hasil panen, antara lain tingkat

populasi hama dan stadium pertumbuhan tanaman.

Penelitian ini bertujuan: (a) mempelajari pengaruh infestasi ulat grayak

terhadap kerusakan daun, komponen hasil, dan hasil panen, (b) menentukan

kehilangan hasil kedelai karena ulat grayak, dan (c) menentukan ambang ekonomi

ulat grayak. Di dalam penelitian ini juga diamati pertumbuhan dan perkembangan

ulat grayak sebagai komponen dalam menentukan ambang ekonomi.

Pemeliharaan Ulat Grayak

Ulat grayak yang digunakan untuk penelitian ini diperoleh dari hasil koleksi di

daerah Mojosari kemudian dipelihara secara alamiah di lapang. Pemeliharaan ulat

dilakukan pada tanaman kedelai varietas Orba yang ditanam pada pot berdiameter 21

cm. Tanaman disungkup dengan kurungan plastik tembus cahaya yang berbentuk

silinder, berdiameter 21 cm dan tinggi 100 cm. Kurungan dilengkapi dengan 3 buah

lubang ventilasi pada dinding. Lubang ventilasi tersebut dan bagian atas kurungan

yang terbuka ditutup kain kasa. Penggantian pakan dilakukan dengan memindahkan

ulat ke tanaman segar sebelum daun kedelai yang lama habis. Kepompong yang

terjadi dikoleksi dalam kotak plastik berukuran 15 cm x 20 cm yang bagian dasarnya

berisi pasir. Ngengat yang muncul dipelihara secara berpasangan dalam kotak plastik

berukuran sama yang sisi dalamnya dilapisi kertas filter untuk peletakan telur.

Larutan madu 10% dimasukkan ke dalam kotak sebagai pakan dan diganti setiap hari.
4

Kelompok telur yang diletakkan di kertas dikoleksi dan dipindahkan ke tanaman

sehat.

Pengaruh Infestasi Ulat terhadap Tanaman

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh infestasi ulat grayak

terhadap kerusakan daun, komponen hasil, dan hasil panen.

Penelitian menggunakan rancangan petak terpisah. Petak utama terdiri atas 5

tingkat populasi ulat, yaitu: 0; 0,5; 1; 2; dan 4 ekor/rumpun. Semua perlakuan diulang

3 kali. Banyaknya tanaman tiap anak petak adalah 15 rumpun, dan banyaknya

rumpun contoh tiap anak petak adalah 3 rumpun. Pengamatan meliputi kerusakan

daun, komponen hasil, dan hasil panen.

Tanaman pada waktu berumur 8 hari setelah tanam disemprot insektisida

monokrotofos dengan dosis 5 cc/l air untuk mencegah gangguan hama. Tanaman

kemudian disungkup dengan kurungan kasa nilon berkerangka besi yang berukuran 1

m x 1 m x 1 m. Setelah berumur 19, 33, 47, dan 61 hari setelah tanam, tanaman

diinfestasi ulat instar III yang akan berganti kulit sesuai dengan perlakuan anak petak.

Kerusakan daun dihitung setelah ulat menjadi prakepompong di dalam tanah, yaitu

kira-kira 10 hari setelah infestasi. Penghitungan kerusakan daun dilakukan dengan

metode McKinney (3) yang keterangan notasinya disesuaikan untuk hama daun

sebagai berikut:

k
5

∑ (ni x vi)

i=1

P = ----------------- x 100%

ZN

dimana: P = tingkat kerusakan daun;

ni = jumlah daun pada skala ke-i;

vi = nilai skala ke-i;

Z = nilai skala tertinggi;

N = jumlah seluruh daun yang diamati.

Nilai skala: 0 = tidak ada serangan;

1 = kerusakan < 25%;

2 = kerusakan 25-50%;

3 = kerusakan 50-75%;

4 = kerusakan < 75% dari luas helaian daun yang diamati.

Pada saat panen, ketiga rumpun contoh tiap anak petak yang telah diamati

kerusakannya dibawa ke laboratorium. Komponen hasil dan hasil panen diamati

segera setelah biji kedelai yang dipetik mencapai kering panen. Pengamatan

komponen hasil meliputi jumlah polong isi dan jumlah biji/rumpun serta bobot 100

biji. Pengamatan hasil panen berupa bobot biji total/rumpun.

Sidik ragam digunakan untuk menguji data secara statistik, dan uji beda nyata

Duncan (UBD) digunakan untuk membandingkan rata-rata hasil perlakuan.


6

Pertumbuhan dan Perkembangan Ulat

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pertumbuhan dan perkembangan

ulat grayak pada tanaman kedelai varietas Orba. Penelitian terdiri atas 2 bagian, yaitu

(a) pertumbuhan ulat dari telur hingga prakepompong, dan (b) penentuan banyaknya

telur yang diletakkan tiap ngengat betina.

Pertumbuhan ulat.

Telur sebanyak 7 kelompok (200-300 butir/kelompok), hasil pemeliharaan di

laboratorium diletakkan di permukaan bawah helaian daun stadium R1-R2 di lapang

secara terpisah pada 7 rumpun tanaman. Tanaman kemudian disungkup dengan

kurungan plastik tembus cahaya yang dibenamkan ke dalam tanah. Agar tidak mudah

roboh, kurungan diperkuat dengan 2 bilah bambu sebagai penyangga. Setelah telur

menetas, jumlah ulat instar I dihitung dari salah satu kurungan. Setelah penghitungan,

ulat dimatikan. Jumlah ulat instar II-VI dan prakepompong dihitung dengan cara

sama, masing-masing dari salah satu kurungan. Apabila diperlukan, penggantian

pakan dilakukan dengan memindahkan ulat ke tanaman sehat sebelum daun kedelai

habis. Percobaan diulang 10 kali.

Jumlah telur/ngengat betina.

Ngengat yang muncul dari hasil pemeliharaan di laboratorium dikawinkan

sepasang-sepasang dalam kotak peneluran. Jumlah kelompok telur dan jumlah

telur/kelompok yang diletakkan tiap individu ngengat betina dihitung setiap hari.

Percobaan diulang 10 kali.

Penghitungan Ambang Ekonomi


7

Ambang ekonomi ulat grayak ditentukan dengan prinsip impas (break-even)

pengendalian hama, yaitu nilai kehilangan hasil yang diselamatkan oleh tindakan

pengendalian hama setara dengan biaya yang dikeluarkan untuk tindakan tersebut.

Penghitungan ambang ekonomi dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Penentuan ambang perolehan, yaitu kehilangan hasil yang diselamatkan oleh tindakan

pengendalian hama; besarnya:

biaya pengendalian (Rp/ha)

= ----------------------------------

harga kedelai (Rp/kg)

2. Penentuan persentase kehilangan hasil untuk ambang perolehan (langkah 1);

besarnya;

ambang perolehan (kg/ha)

= ------------------------------------ x 100%

potensi hasil panen (kg/ha)

3. Penentuan persamaan regresi hubungan antara tingkat populasi ulat grayak dan

persentase kehilangan hasil pada berbagai stadia tanaman; diperoleh dari hasil

penelitian.

4. Penentuan ambang ekonomi ulat grayak instar VI; diperoleh dengan memasukkan

nilai persentase kehilangan hasil untuk ambang perolehan (langkah 2) ke dalam

persamaan regresi (langkah 3).


8

5. Penentuan ambang ekonomi berdasarkan kelompok telur; besarnya = ambang

ekonomi ulat instar VI dibagi dengan persentase individu hidup sejak telur hingga

prakepompong kemudian dibagi dengan jumlah telur/kelompok.

6. Penentuan ambang ekonomi berdasarkan ulat instar I, II, dan III; besarnya

= ambang ekonomi ulat instar VI dikali dengan hasil bagi antara persentase individu

hidup sejak telur hingga ulat instar tertentu dan persentase individu hidup sejak telur

hingga prakepompong.

Pengaruh Infestasi Ulat terhadap Tanaman

Kerusakan daun.

Sidik ragam kerusakan daun akibat infestasi ulat grayak pada berbagai stadia

tanaman kedelai varietas Orba di lapang menunjukkan bahwa kerusakan daun

dipengaruhi oleh populasi ulat, stadium tanaman, dan interaksi antara populasi ulat

dan stadium tanaman (Tabel 1).


9

Data pengaruh interaksi antara populasi ulat dan stadium tanaman terhadap

kerusakan daun disajikan pada Tabel 2. Kerusakan daun akibat infestasi ulat sebanyak

0,5-4 ekor/rumpun pada stadia V6-V7, hingga R5-R6 bervariasi antara 15-78%.

Kerusakan daun rata-rata pada populasi ulat yang rendah menunjukkan perbedaan

yang nyata jika dibandingkan dengan populasi ulat yang lebih tinggi. Kerusakan daun

rata-rata pada stadium V6-V7 lebih tinggi daripada stadium R1-R2 hingga R5-R6.

Kerusakan daun akibat infestasi ulat sebanyak 0,5 ekor/rumpun pada stadia

V6-V7 hingga R5-R6 tidak berbeda nyata, demikian pula akibat infestasi ulat antara 1

dan 2 ekor/rumpun. Akan tetapi, akibat infestasi ulat sebanyak 4 ekor/rumpun pada

stadium V6-V7 berbeda nyata jika dibandingkan dengan pada stadia R1-R2 hingga

R5-R6 (Tabel 2). Perbedaan tingkat kerusakan ini disebabkan oleh pertumbuhan daun

yang berlainan pada tiap stadium. Pertumbuhan daun pada stadium V6-V7 belum

optimal sedangkan pada stadia R1-R2 hingga R5-R6 mendekati atau sudah mencapai
10

optimal. Tingkat kerusakan tinggi terjadi pada pertumbuhan daun awal, yaitu pada

stadium V6-V7.

Hubungan antara tingkat populasi ulat dan persentase kerusakan daun pada

stadia V-V7 hingga R5-R6 dinyatakan dengan model regresi linier, yaitu:

- V6-V7, % kerusakan daun = 9,620 + 17,720 (jumlah ulat/rumpun); r: 0,975**, dan

- R1-R2 hingga R5-R6, % kerusakan daun = 9,893 + 10,645 (jumlah ulat/rumpun);

r = 0,923**.

Makin tinggi tingkat populasi ulat, makin tinggi pula tingkat kerusakan daun. Kedua

persamaan regresi tersebut menunjukkan bahwa kerusakan daun merupakan fungsi

dari populasi ulat grayak pada stadia V6-V7 hingga R5-R6.

Komponen hasil.

Sidik ragam jumlah polong dan jumlah biji akibat infestasi ulat grayak pada

berbagai stadia tanaman kedelai varietas Orba menunjukkan bahwa jumlah polong

dan jumlah biji dipengaruhi oleh populasi ulat, tetapi tidak dipengaruhi oleh stadium

tanaman dan interaksi antara populasi ulat dan stadium tanaman (Tabel 1). Hal ini

menunjukkan bahwa infestasi ulat pada stadia V6-V7 hingga R5-R6 memberikan

pengaruh yang sama terhadap jumlah polong dan jumlah biji.

Infestasi ulat sebanyak 0,5 dan 1 ekor/rumpun pada stadia V6-V7 hingga R5-

R6 tidak memberikan pengaruh nyata, tetapi infestasi ulat sebanyak 2 dan 4

ekor/rumpun memberikan pengaruh nyata terhadap berkurangnya jumlah polong dan

jumlah biji (Tabel 3). Berkurangnya jumlah polong dan jumlah biji tersebut mungkin
11

disebabkan oleh bunga dan polong muda banyak yang gugur serta polong banyak

yang kempis akibat berkurangnya pengiriman hasil fotosintesis ke polong karena

kerusakan daun (2).

Hubungan antara tingkat populasi ulat dan jumlah polong pada stadia V6-V7

hingga R5-R6 bersifat linier, dengan persamaan:

jumlah polong/rumpun = 72,205 - 3,510 (jumlah ulat/rumpun); r = 0,911**.

Hubungan antara tingkat populasi ulat dan jumlah biji pada stadia V6-V7 hingga R5-

R6 juga bersifat linier, dengan persamaan:

jumlah biji/rumpun = 131,938 - 9,185 (jumlah ulat/rumpun); r = 0,915**.

Makin tinggi tingkat populasi ulat, makin berkurang jumlah polong dan jumlah biji.

Kedua persamaan regresi tersebut menunjukkan bahwa jumlah polong dan jumlah biji

merupakan fungsi kerusakan tanaman akibat infestasi ulat grayak pada stadia V6-V7

hingga R5-R6.

Sidik ragam bobot 100 biji menunjukkan bahwa bobot biji tidak dipengaruhi

secara nyata oleh populasi ulat, stadium tanaman, dan interaksi antara populasi ulat

dan stadium tanaman (Tabel 1). Meskipun pengaruh infestasi ulat dan stadium

tanaman tidak nyata, tetapi dari hasil pengamatan tampak adanya kecenderungan

terhadap penurunan bobot biji. Penurunan tersebut mungkin disebabkan oleh

tanggapan tanaman terhadap gangguan selama proses pertumbuhan biji. Kerusakan

daun menyebabkan terganggunya proses pengiriman hasil fotosintesis untuk

pembentukan biji sehingga bobot biji berkurang (2).


12

Hubungan antara tingkat populasi ulat dan bobot biji pada stadia V6-V7

hingga R5-R6 bersifat linier, dengan persamaan:

bobot 100 biji = 10,702 - 0,198 (jumlah ulat/rumpun); r : 0,876**.

Makin tinggi tingkat populasi ulat, makin berkurang bobot biji. Persamaan regresi

tersebut menunjukkan bahwa bobot biji merupakan fungsi kerusakan tanaman akibat

infestasi ulat grayak pada stadia V6-V7 hingga R5-R6.

Hasil panen

Sidik ragam hasil panen akibat infestasi ulat grayak pada berbagai stadia

tanaman kedelai varietas Orba menunjukkan bahwa hasil panen dipengaruhi oleh

populasi ulat, tetapi tidak dipengaruhi oleh stadium tanaman dan interaksi antara

populasi ulat dan stadium tanaman (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa infestasi

ulat pada stadia V6-V7 hingga R5-R6 memberikan pengaruh sama terhadap hasil

panen.

Infestasi ulat sebanyak 0,5 dan 1 ekor/rumpun pada stadia V6-V7 hingga R5-

R6 tidak memberikan pengaruh nyata, tetapi infestasi ulat sebanyak 2 dan 4

ekor/rumpun memberikan pengaruh nyata terhadap hasil panen (Tabel 3). Hal ini

berarti bahwa tanaman kedelai mampu mentoleransi kerusakan daun yang

diakibatkan oleh infestasi ulat sebanyak 1 ekor/rumpun, yaitu sebesar 25-32% pada

stadia V6-V7 hingga R5-R6 (Tabel 2).


13

Tengkano dan Sutarno (8) mengemukakan bahwa kerusakan daun kedelai

varietas Orba sebesar 25% pada stadia R1-R6 tidak mengakibatkan kehilangan hasil

yang nyata. Toleransi tanaman terhadap kerusakan daun ini disebabkan oleh

kemampuan tanaman membentuk daun-daun baru sebagai kompensasi terhadap

kerusakan daun. Di samping itu, kerusakan daun mengurangi pengaruh saling naung-

menaungi di antara dedaunan yang memungkinkan penetrasi cahaya sampai ke tajuk

daun di bagian bawah sehingga hasil fotosintesis meningkat (9).

Hubungan antara tingkat populasi ulat dan hasil panen pada stadia V6-V7

hingga R5-R6 bersifat linier dengan persamaan:

hasil panen/rumpun = 10,931 - 0,581 (jumlah ulat/rumpun); r : 0,888**.

Makin tinggi tingkat populasi ulat, makin berkurang hasil panen. Persamaan regresi

tersebut menunjukkan bahwa hasil panen merupakan fungsi kerusakan daun akibat

infestasi ulat grayak pada stadia V6-V7 hingga R5-R6.


14

Berdasarkan persamaan regresi hubungan antara tingkat populasi ulat dan

hasil panen di atas, dapat dihitug persamaan regresi kehilangan hasil panennya, yaitu:

% kehilangan hasil = 0,002 + 5,310 (jumlah ulat/rumpun); r : 1,000**.

Nilai kehilangan hasil panen akibat infestasi ulat grayak disajikan pada Tabel 4.

Hasil panen pada stadia V6-V7 hingga R5-R6 berkorelasi negatif terhadap

kerusakan daun (r = -0,951**), berkorelasi positif terhadap jumlah polong (r =

0,943**), jumlah biji (r = 0,957**), dan bobot biji (r = 0,932**). Beberapa korelasi

tersebut menunjukkan bahwa hasil panen tergantung pada kerusakan daun, jumlah

polong, jumlah biji, dan bobot 100 biji. Makin tinggi tingkat kerusakan daun, makin

berkurang jumlah polong, jumlah biji, dan bobot 100 biji, maka makin rendah hasil

panen.

Pertumbuhan dan Perkembangan Ulat

Pertumbuhan ulat grayak sejak telur menetas hingga pra-kepompong pada

tanaman kedelai varietas Orba di lapang disajikan pada Gambar 1. Dari 200-300 butir
15

telur/kelompok yang diinfestasikan ke tanaman, yang menetas menjadi ulat instar I

sebanyak 87%. Terjadinya telur yang tidak menetas diduga karena tidak fertil. Ulat-

ulat ini kemudian tumbuh menjadi ulat instar II, III, IV, V, dan VI, serta

prakepompong, masing-masing sebanyak 48%, 26%, 14%, 7%, 4%, dan 4%.

Berkurangnya jumlah ulat tersebut diduga karena kondisi suhu di dalam kurungan

plastik yang lebih tinggi daripada di luar kurungan, dan terjadinya kompetisi di antara

individu ulat untuk mendapatkan pakan dan ruang.


16

Jumlah telur dan kelompok telur yang diletakkan tiap individu ngengat betina

tiap hari disajikan pada Gambar 2. Ngengat betina meletakkan telur selama 6 hari

dengan masa pra-peneluran kurang lebih sehari. Populasi telur terbanyak terjadi pada

peneluran hari ketiga, yaitu sebanyak 521 butir. Jumlah telur yang diletakkan tiap

individu ngengat betina sepanjang hidupnya sebanyak 1566 butir yang tersusun

dalam 5 kelompok telur dengan tata-rata 316 butir telur/kelompok.

Ambang Ekonomi

Langkah awal dalam menentukan ambang ekonomi ulat grayak adalah

menentukan biaya pengendalian dan harga kedelai di Mojosari, Jawa Timur pada

musim tanam MK 1987 dan potensi hasil panen tiap ha. Biaya pengendalian tiap ha

untuk sekali aplikasi insektisida monokrotofos 15 WSC sebesar Rp 29.250,00/ha

dengan perincian sebagai berikut:

Harga 2,5 l insektisida = Rp 18.000,00

Upah 9 orang tenaga semprot = Rp 6.750,00

Sewa 9 buah alat semprot = Rp 4.500,00

----------------------------------------------

Jumlah = Rp 29.250,00

Harga kedelai sebesar Rp 850,00/kg dan potensi hasil panen kedelai varietas Orba

sebesar 1500 kg/ha.

Berdasarkan rumus ambang ekonomi yang disajikan pada Bahan dan Metode,

dapat dihitung ambang ekonomi ulat grayak dengan langkah-langkah sebagai berikut:
17

1. Ambang perolehan

(Rp 29.250,00/ha)

= ------------------------ = 34,412 kg/ha

(Rp 850,00/kg)

2. Persentase kehilangan hasil untuk ambang perolehan tersebut

(34,412 kg/ha)

= -------------------- = x 100% = 2,294%

(1.500 kg/ha)

3. Persamaan regresi hubungan antara tingkat populasi ulat dan persentase kehilangan

hasil panen pada stadia V6-V7 hingga R5-R6, yaitu:

% kehilangan hasil panen = 0,002 + 5,310 (jumlah ulat/rumpun).

4. Ambang ekonomi ulat instar VI diperoleh dengan cara memasukkan nilai kehilangan

hasil panen sebesar 2,294% (langkah 2) ke dalam persamaan regresi di atas (langkah

3) sebagai berikut:

2,294 = 0,002 + 5,310 (jumlah ulat/rumpun)

2,294 - 0,002

Jumlah ulat/rumpun = ------------------- = 0,432 ekor/rumpun.

5,310
18

5. Ambang ekonomi kelompok telur

(0,432 ekor/rumpun)

= -------------------------------------------

(3,9%)(316 butir telur/kelompok)

= 0,035 kelompok telur/rumpun atau 1 kelompok telur/57 tanaman;

6. Ambang ekonomi ulat instar I

(87%)

= (0,432 ekor/rumpun) x ----------

(3,9%)

= 9,637 ekor/rumpun atau 58 ekor/12 tanaman;

Ambang ekonomi ulat instar II

(48,1%)

= (0,432 ekor/rumpun) x ----------

(3,9%)

= 5,328 ekor/rumpun atau 32 ekot/12 tanaman;

Ambang ekonomi ulat instar III

(25,7%)

= (0,432 ekor/rumpun) x ----------

(3,9%)

= 2,847 ekor/rumpun atau 17 ekor/12tanaman.


19

Penghitungan ambang ekonomi tersebut bersifat statik yang hasilnya berlaku

untuk situasi harga pasar tertentu. Dengan berubahnya harga pasar, maka nilai

ambang ekonomi akan berubah pula. Untuk menentukan ambang ekonomi di suatu

tempat, perlu diperoleh data sekunder mengenai besarnya biaya pengendalian dan

harga kedelai pada saat itu. Dengan memasukkan komponen-komponen tersebut ke

dalam langkah-langkah penentuan ambang ekonomi di atas, nilai ambang ekonomi

baru dapat ditentukan.

Di dalam pengendalian hama terpadu, ambang ekonomi merupakan pedoman

dasar yang pertama kali harus ditentukan sebelum dilakukannya tindakan

pengendalian hama dengan insektisida. Hal ini dimaksudkan agar pengendalian hama

tidak mengakibatkan kerugian, baik secara ekonomi maupun ekologi. Dengan

berpegang pada prinsip pengendalian hama sedini mungkin, pengendalian ulat grayak

dengan insektisida harus dilakukan pada saat ulat mencapai instar I, II, atau III, yaitu

instar ulat yang rentan terhadap insektisida (4), masing-masing sebanyak 58, 32, dan

17 ekor/12 tanaman. Pengendalian dapat juga dilakukan setelah 2-4 hari sejak

ditemukannya populasi telur sebanyak 1 kelompok telur/57 tanaman.


20

DAFTAR PUSTAKA

Adie, M.M., A. Krisnawati, A.Z. Mufidah. 2012. Derajad Ketahanan Genotype


Kedelai terhadap Hama Ulat Grayak. Seminar Nasional Hasil Penelitian
Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Tahun. Peningkatan Daya Saing dan
Implementasi Pengembangan Komoditi Kacang dan Umbi Mendukung
Pencapaian Empat Sukses Pembangunan Pertanian, Puslitbangtan, Badan
Litbang Pertanian; 29-36.

Badan Litbang Pertanian. 2015. Laporan Hasil Penelitian dan Pengembangan


Pertanian. Kementerian Pertanian.

Ferro, D.N., B.J. Morzuch, and D. Margolies. 1983. Crop loss assessment of the
Colorado potato beetle (Coleoptera: Chrysomelidae) on potatoes in Western
Massachusetts. J. Econ. Entomol. 76:349-356.

Hanway, J.J. and H.E. Thompson. 1967. How a soybean plant develops. Special
Report 53. Iowa State University of Science and Technology Cooperative
Extension Service. Ames, Iowa. 18 p.

Horsfall, J.G. and A.E. Dimond. 1959. Plant pathology, an advanced treatise.
Academic Press, New York and London. 1: 99-142.

Laba, I.W. dan D. Soekarna. 1986. Mortalitas larva ulat grayak (Spodoptera litura F .)
pada berbagai instar dan perlakuan insektisida pada kedelai. Seminar Hasil
Penelitian Tanaman Pangan. I (Palawija): 64-68.

Marwoto dan Suharsono. 2008. Strategi dan Komponen Teknologi Pengendalian Ulat
Grayak (Spodoptera litura F.) pada Tanaman Kedelai. Jurnal Litbang
Pertanian. 27 (4): 131-136.

Newsom, L.D., M. Kogan, F.D. Miner, R.L. Rabb, S.G. Turnipseed, and W.H.
Whitcomb. 1980. General accomplishments toward better pest control in
soybean, pp. 51-97. In C.B. Huffaker (ed.). New technology of pest control.
John Wiley and Sons, New york.

Stone, J.D. and L.P. Pedigo. t972. Development and economic injury level of the
green cloverworm on soybean in Iowa. J. Econ. Entomol. 65: 197-201.

Sumarno dan Harnoto. 1983. Kedelai dan cara bercocok tanamnya. Puslitbangtan,
Bogor. 53 p.
21

Tengkano, W. and T. Sutarno. 1982. Influence of leaf attack at generative stage on


yield of Orba soybean variety. Penelitian pertanian. 2(2): 51-53.

Turnipseed, S.G. 1972. Response of soybeans to foliage losses in South Carolina. J.


Econ. Entomol. 65: 224-229.

Anda mungkin juga menyukai