Anda di halaman 1dari 43

NYERI NEUROPATI DIABETIK

PENDAHULUAN

Nyeri Neuropatik berkembang sebagai akibat dari lesi atau penyakit yang
mempengaruhi sistem saraf somatosensorik baik itu sistem saraf tepi ataupun
sistem saraf perifer. Contoh nyeri neuropatik adalah polineuropati, neuralgia post
herpetic, neuralgia trigeminal dan nyeri post stroke. Secara klinis nyeri neuropatik
dicirikan oleh nyeri spontan. Gejala yang menunjukkan adanya nyeri neuropatik
meliputi rasa tajam, terbakar, sakit, rasa ditusuk, kejang dan paroksismal, sering
juga dirasakan mati rasa di daerah yang mengalami kerusakan.

SISTEM SARAF PERIFER

Sistem Saraf Perifer secara umum termasuk saraf perifer, saraf motorik
primer dan saraf sensorik, neuromuscular junction (NMJ) dan otot. Motor neuron
primer, sel kornu anterior terletak di depan substansia grisea dari medulla spinalis.
Akson dari sel ini menjadi serat motor di saraf perifer. Proyeksinya berjalan melalui
substansia alba anterior medulla spinalis sebelum keluar sebagai akar saraf
motorik.

Dorsal Root Ganglion (DRG) tidak ditemukan dalam substansi medulla


spinalis tetapi terdapat di dekat foramen intervertebralis. DRG adalah sel bipolar
dengan dua proyeksi aksonal yang terpisah. Proyeksi sentral dari sensori nerve
root. Akar saraf sensorik masuk ke medulla spinalis pada sisi dorsal naik ke
posterior columna atau sinap dengan saraf sensorik pada cornu posterior.
Proyeksi perifer dari DRG menjadi saraf sensorik pada saraf perifer.

LAPISAN NEURON

Serabut saraf dilindungi oleh tiga lapisan yang berbeda yaitu epineurium,
perineurium, dan endoneurium. Epineurium yang tebal mengelilingi seluruh saraf
dan berlanjut dengan duramater pada level spinal cord. Didalam epineurium, axon
dikelompokkan menjadi fasikulus, dikelilingi oleh perineurium. Lapisan terakhir dari

1
jaringan penghubung adalah endoneurium yang terdapat diantara masing-masing
akson.

Gambar 1. Potongan Melintang Saraf Perifer

AKSON DAN DENDRIT.

Akson merupakan fungsi domain yang paling familiar dan merupakan


proses seluler dimana neuron membuat kontak dengan sel target untuk
mengirimkan informasi, membuat struktur komduksi untuk menstransmisikan aksi
potensial ke sinap. Akson merupakan struktur koduksi lanjut, pada manusia
panjangnya dapat mencapai 1 meter. Setiap neuron hanya memiliki 1 akson. Pada
ujung distal akson akan terpecah menjadi beberapa cabang terminal, yang
masing-masing disebut terminal akson yang berhubungan dengan neuron
berikutnya.

Dendrit adalah struktur reseptif sel saraf, merupakan penonjolan yang


bercabang dan melekat pada badan sel. Neuron bervariasi sesuai dengan jumlah
dan pola percabangan dendrit.

Gambar 2. Bagian dari Sistem Saraf Perifer

2
FISIOLOGI SARAF PERIFER

Transmisi Impuls Saraf Sel Neuron

Membran aksonal dari tiap-tiap saraf aktif secara elektrik. Mekanisme ini
hasil dari kombinasi dari membrane khusus dan pompa sodium/potassium
(Na+/K+). Membaran aksonal secara khusus semipermeable terhadap molekul
aliran listrik (aniondan kation). Membrane selalu impermeable terhadap anion
muatan negative yang besar dan relative impermeable terhadap sodium pada
tahap istirahat. Membrane semipermeable ini bersama-sama dengan pompa aktif
Na+/K+ dimana pompa sodium diluar masuk bertukar dengan potassium,
menyebabkan gradient konsentrasi melalui membrane. Konsentrasi sodium lebih
besar di luar membrane dimana konsentrasi potassium dan anion lebih besar di
dalam.

Bila ada suatu sinyal kimia yang diperantarai oleh suatu reseptor
membaran sinaps, maka saluran kanal ion akan terbuka dan menyebabkan influks
ion Na atau Ca ke dalam sel yang disertai effluks dari ion K keluar sel. Perubahan
ini akan menimbulkan perbedaan tegangan antara bagian luar dan dalam
membrane karena depolarisasi dan perbedaan ini akan menjalar sebagai impuls
saraf sepanjang membrane akson.

Gambar 3. Transpor Ion

3
Selubung myelin (terbentuk dari fosfolipid, kolesterol, glikosfingolipid dan
beberapa protein hidrofobik) bertindak sebagai isolator yang impermeable
terhadap ion dan air, sehingga penjalaran impuls terjadi lebih cepat. Bagian yang
mengalami depolarisasi akan dengan cepat kembali kekondisi gradient semula
karena adanya pompa Na-K-ATPase.

Potensial Aksi

Potensial aksi merupakan perubahan pulsatif yang terjadi tiba-tiba dan


menjalar sepanjang membrane plasma. Perpindahan potensial aksi sepanjang
perjalanan, berlangsung sangat cepat kurang lebih 100m/dL. Potensial aksi
dibangun oleh suatu protein membran yang merupakan kanal ion yang dapat
membuka dan menutup, sehingga terjadi perpindahan ion K dan Na melalui kanal
itu.

Potensial membrane yang timbul pada sel saraf sangat tergantung pada
gradient ion Na dan K yang dibangkitkan dan dipertahankan oleh pompa Na-K-
ATPase. ATP tidak secara langsung mempengaruhi potensial aksi. Tanpa ATP,
potensial aksi masih dapat berlangsung (spt adanya hambatan sintesis ATP oleh
“uncouple DNP), karena pergerakan ion setiap dibangkitkan sinyal listrik hanya
memerlukan sebagian kecil ion Na dan K

Gambar 4. Potensial Aksi

4
TRANSPORT AKSONAL

Protein yang disintesa di perikarion sel saraf dikirimkan sepanjang akson


sampai ke bagian distal akson. Di samping itu zat-zat lain yang dibutuhkan tubuh
seperti glikoprotein, protein pembentuk neurotransmiter, dsbnya juga akan di
angkut dari perikarion ke akson melalui sistim transportasi khusus. Akson tidak
dapat mensintesa protein karena tidak mengandung badan Nissl /retikulum
endoplasmik kasar, ribosom dan kompleks Golgi. Proses pengangkutan protein
dan zat-zat lainnya pada akson ini disebut transportasi aksonal.
Untuk transportasi aksonal komponen yang terlibat adalah
1. Mikrotubulus
Mikrotubulus memegang peranan yang sangat penting sebagai jalur lintasan
(track) untuk melintasnya kantong (vesikel) yang membawa protein, glikoprotein,
mitokondria, faktor tumbuh, protein pembentuk neurotransmitter dan zat-zat
lainnya.
Mikrotubulus adalah organel yang penting di dalam sitoplasma sel saraf untuk
transportasi protein dan zat-zat lainnya yang dibutuhkan oleh akson. Di samping
itu mikrotubulus juga berperan dalam pergerakan silia dan flagel serta pemisahan
kromosom selama proses mitosis dan meiosis.
Mikrotubulus mempunyai diameter 25 nanometer dengan ketebalan
dindingnya 9 nanometer dan lumennya 15 nanometer. Dindingnya dibentuk oleh
13 protofilamen protein tubulin. Satu mikrotubulus (singlet microtubule)
dibentuk oleh kumpulan protofilamen yang berjalan secara paralel membentuk
suatu lembaran (sheet). Satu protofilamen di bentuk oleh kumpulan heterodimer
tubulin monomer alfa yang bermuatan positif dan beta yang bermuatan negatif.
Setiap satu monomer merupakan protein globular berukuran 4 nanometer yang
mengikat 1 GTP. Proses pembentukan satu protofilamen ini dikenal sebagai
polimerisasi dan membutuhkan energi yang di peroleh dari GTP (guanosin
trifosfat).
Ujung mikrotubulus yang dekat dengan perikarion merupakan kutub negatif
sedangkan yang jauh dari perikarion merupakan kutub positif.
2. Protein penggerak (motor Protein)
Ada 2 jenis protein penggerak (motor protein) yang berperan dalam transportasi
aksonal yaitu kinesin dan dynein.

5
Kinesin merupakan protein penggerak yang mempunyai aktivitas ATP-ase.
Protein ini menggunakan energi berasal dari pemecahan (hidrolisis) ATP untuk
dapat menggerakan vesikel bergerak sepanjang lintasan mikrotubulus dari kutub
negatif (ujung perikarion) ke kutub positif (ujung akson). Protein ini
mempunyai 3 domain yaitu kepala, badan dan ekor yang berbentuk globular.
Bagian kepala akan berikatan dengan mikrotubulus dan ATP yang diperlukan
untuk bergerak sepanjang lintasan, sedangkan bagian ekornya akan berikatan
dengan vesikel transport via reseptor kinesin.
Dynein merupakan protein penggerak (motor protein) dengan aktivitas ATP-ase,
menggunakan energi yang berasal dari ATP untuk bergerak sepanjang lintasan
mikrotubulus dari ujung positf ke ujung negatif . Protein ini juga terdiri atas 3
bagian yaitu kepala, badan dan ekor. Bagian kepala akan berikatan dengan
mikrotubulus dan ATP, sedangkan bagian ekor akan berikatan dengan membran
vesikel transpor via reseptor dynein.

3. Vesikel transpor.
Protein, glikoprotein, faktor-faktor pemelihara akson, dan zat-zat lain akan
disimpan dalam vesikel transpor yang berfungsi sebagai kontainer. Pada
membran vesikel ini terdapat reseptor untuk protein kinesin atau reseptor untuk
protein dynein.
Berdasarkan arah transportasi ada 2 macam cara transportasi aksonal yaitu:
1. Anterograde transport
yaitu pengangkutan protein dan bahan-bahan lainnya dalam akson dari
perikarion ke ujung akson. Untuk kegiatan ini komponen yang terlibat adalah
vesikel transpor, protein penggerak kinesin dan mikrotubulus.
Berdasarkan kecepatan pengangkutan protein dan zat-zat lainnya dalam akson,
anterograde transport dibedakan atas 2 macam yaitu
A. Anterograde cepat (Fast Anterograde) dengan kecepatan 50-400 mm/hari
B. Anterograde lambat (Slow anterograde) dengan kecepatan 1-4 mm/hari.
Pada anterograde cepat zat-zat diangkut dalam vesikel transpor yaitu
neurotransmitter dan zat-zat serta ensim-ensim yang dibutuhkan untuk sintesa
neurotransmitter, glikoprotein dan glikolipid, membran vesikel sinaps. Pada
anterograde lambat, protein yang diangkut adalah aktin, clathrin, calmodulin,
enolase, protein neurofilament dan tubulin.

6
2. Retrograde transport
yaitu proses pengangkutan bahan-bahan dalam akson dari ujung akson ke
perikarion. Proses pengangkutan ini melibatkan vesikel transpor, protein
penggerak dynein dan mikrotubulus. Materi yang diangkut dengan cara ini adalah
sisa-sisa protein vesikel sinaps yang sudah lama yang akan digradasi di lisosom,
faktor tumbuh saraf (nerve growth factor) seperti NGF (nerve growth factor), zat-
zat sisa lainnya dan zat-zat ekstraselular yang masuk melalui membran akson.
Toksin-toksin seperti toksin tetanus, dan virus tertentu seperti herpes dan rabies
di angkut secara retrograde dari ujung akson yang berada dekat dengan tempat
masuknya benda asing tersebut, masuk secara retrograde dalam akson dan
kemudian diangkut menuju ke perikarion neuron tersebut.

Gambar 5. Transport Axonal

7
PATOFISIOLOGI NYERI NEUROPATI

Sebagian besar pemahaman kita tentang mekanisme nyeri berasal dari


penelitian, termasuk studi seluler dan molekuler in-vivo dan in-vitro. Meskipun
penelitian ini telah memberikan peningkatan besar dalam pengetahuan kita, data
ini perlu ditafsirkan dengan hati-hati karena keterbatasan yang terkait dengan studi
preklinis. Sebagai contoh, ada kesulitan dalam penerjemahan dari perilaku hewan
ke sensasi nyeri manusia dan ada beberapa data jangka panjang yang berkorelasi
dengan skala waktu kronis nyeri manusia untuk membedakan antara perubahan
adaptif terkait cedera akut dan disfungsi patologis yang mengarah ke keadaan
nyeri kronis. Namun demikian, penelitian nyeri pada manusia telah berkembang
pesat selama dekade terakhir, dan hasil dari pengujian sensorik kuantitatif,
kuesioner, skin punch biopsy, pencitraan fungsional, dan model nyeri manusia
eksperimental telah memberi kita wawasan lebih lanjut tentang patologi nyeri
manusia. Pertukaran informasi antara penelitian dasar dan klinis sangat penting
untuk menentukan patologi nyeri yang penting secara klinis.
Sejauh ini, penelitian dasar maupun penelitian manusia menunjukkan
bahwa lesi jalur aferen diperlukan untuk terjadinya nyeri neuropatik. Lebih lanjut,
data dengan jelas menunjukkan bahwa tidak hanya satu tetapi beberapa
mekanisme dapat menyebabkan nyeri neuropatik. Yang penting, banyak dari
mekanisme ini tidak tergantung pada penyebab penyakit: mekanisme yang sama
dapat ditemukan pada penyakit yang berbeda (misalnya, dalam neuralgia
postherpetik dan pada polineuropati dengan nyeri). Pada satu pasien atau individu,
mekanisme yang berbeda mungkin terlibat dan mekanisme yang berbeda dapat
menyebabkan gejala yang sama. Ini tidak hanya menunjukkan kompleksitas nyeri
neuropatik, tetapi juga menyoroti kepentingan klinis untuk mengidentifikasi
mekanisme nyeri yang mendasari pada masing-masing pasien. Karena regimen
pengobatan yang berbeda diperlukan untuk mekanisme nyeri yang berbeda,
pendekatan pengobatan berbasis mekanisme dapat mengarahkan analgesia
menjadi efisien. Salah satu cara untuk maju pada titik ini dalam penelitian dan di
klinik adalah dengan berhipotesis bahwa mekanisme nyeri dapat diidentifikasi
dengan menganalisis gejala dan tanda individu pasien dengan metode yang
disebutkan di atas. Dengan menganalisis efek pengobatan yang menargetkan
mekanisme nyeri yang dicurigai, konsep pengobatan berbasis mekanisme dapat

8
diverifikasi. Pendekatan semacam itu akan memungkinkan desain uji coba
terkontrol yang besar yang lebih fokus pada pengobatan gejala dan tanda yang
berhubungan dengan mekanisme daripada studi berbasis etiologi. Saat ini, data
yang tersedia dapat membantu untuk memahami hubungan antara setidaknya
beberapa gejala klinis dan mekanisme yang mendasari.

Aktivitas saraf ektopik


Merasakan nyeri spontan yang sedang berlangsung dan nyeri shooting
paroksismal tanpa adanya stimulus eksternal disebabkan oleh pembentukan
impuls ektopik dalam jalur nosiseptif. Aktivitas ektopik spontan tersebut telah
dicatat oleh mikoneurografi pada serabut aferen dari neuroma pada pasien dengan
nyeri tumpul dan nyeri phantom, serta pada pasien dengan neuropati diabetes
dengan nyeri. Dalam kondisi fisiologis, aktivasi serabut aferen nosiseptif tanpa
myelin (C-fiber) dan dengan myelin tipis (Aδ-fiber) menunjukkan potensi kerusakan
jaringan, yang tercermin dalam ambang tinggi nosiseptor untuk rangsangan
mekanik, termal, dan kimia. Kondisi ini berubah secara dramatis dalam keadaan
nyeri neuropatik. Setelah lesi saraf perifer, aktivitas spontan terbukti pada aferen
nosiseptif yang cedera dan sekitarnya yang tidak cedera. Peningkatan level mRNA
untuk kanal natrium voltage-gated tampaknya berkorelasi dengan aktivitas ektopik,
dan peningkatan ekspresi kanal natrium pada serabut dengan lesi dan serabut
utuh mungkin menurunkan ambang potensial aksi sampai aktivitas ektopik terjadi.
Perubahan serupa dalam neuron nosiseptif orde dua diperkirakan terjadi setelah
lesi sentral, yang mengarah ke nyeri neuropatik sentral.
Bukti lebih lanjut untuk peran penting kanal natrium voltage-gated dalam
keadaan nyeri kronis berasal dari pasien dengan eritromealgia dan gangguan nyeri
ekstrem paroksismal yang mengalami nyeri hebat yang terus-menerus di berbagai
lokasi tubuh. Gangguan herediter ini disebabkan oleh mutasi fungsi-fungsi pada
gen SCN9A yang mengkodekan kanal natrium voltage-gated Nav1.7.28 Rekaman
mikroneurografi telah menunjukkan aktivitas ektopik berkelanjutan dari aferen
nosiseptif pada pasien ini setelah peningkatan rangsangan membran: aktivitas ini
tidak terkait dengan lesi saraf langsung tetapi disebabkan oleh channelopathy
nyeri yang mendasarinya.
Selain kanal natrium voltage-gated, beberapa saluran ion lain mungkin
mengalami perubahan setelah lesi saraf, seperti kanal kalium voltage-gated, yang

9
mungkin juga berkontribusi terhadap perubahan rangsangan membran saraf
nosiseptif.
Cedera saraf juga menginduksi upregulasi berbagai protein reseptor
seperti potensial reseptor sementara V1 (TRPV1). TRPV1 terletak pada subtipe
ujung nosiseptif perifer dan diaktifkan secara fisiologis oleh panas pada sekitar
41°C. Pasca lesi saraf, TRPV1 mengalami downregulasi pada serabut saraf yang
cedera tetapi di-upregulasi pada C-fibre yang tidak cedera. Ekspresi baru TRPV1
dan sensitisasi tambahan terhadap panas oleh transduksi sinyal intraseluler dapat
menyebabkan aktivitas saraf spontan yang disebabkan oleh suhu tubuh normal,
jika ambang TRPV1 berkurang hingga di bawah 38°C. Secara klinis, pasien
dengan mekanisme nyeri yang mendasarinya juga dapat dikarakterisasi dengan
adanya hiperalgesia panas selain rasa terbakar yang sedang berlangsung.
Demikian pula, pelepasan ektopik berkelanjutan dari serabut aferen nosiseptif
baru-baru ini diidentifikasi pada pasien dengan neuropati dengan nyeri, dalam
kombinasi dengan allodynia dingin. Respon abnormal terhadap aplikasi mentol
dingin topikal mengindikasikan bahwa lesi saraf memicu fungsi abnormal atau
ekspresi TRPM8, sebuah reseptor sensitif dingin dari famili TRP.
Menurut data dari penelitian dasar, dari model nyeri eksperimental
manusia, dan dari pasien, dapat disimpulkan bahwa mekanisme yang tercantum
di atas tidak hanya berkontribusi pada aktivitas ektopik, tetapi juga untuk allodynia
primer dan hiperalgesia primer (yaitu, rasa nyeri yang ditimbulkan secara mekanis
atau termal dalam daerah saraf ektopik).

Sensitisasi sentral
Hiperalgesia dan allodynia sekunder (seperti, nyeri yang ditimbulkan,
khususnya allodynia mekanik dinamis) di daerah yang berdekatan dengan wilayah
persarafan dari saraf yang cedera membutuhkan keterlibatan SSP. Sensitisasi
sentral dapat berkembang sebagai konsekuensi dari aktivitas ektopik pada serabut
aferen nosiseptif primer dan kerusakan struktural dalam SSP itu sendiri mungkin
tidak perlu terlibat. Pelepasan serabut aferen perifer yang sedang berlangsung
yang melepaskan asam amino dan neuropeptida eksitatori di dalam dorsal horn
dari medula spinalis menyebabkan perubahan postinaptik dari neuron nosiseptif
orde dua, seperti fosforilasi reseptor NMDA dan AMPA37 atau ekspresi kanal
natrium voltage-gated. Perubahan ini menginduksi hipereksitabilitas neuronal yang

10
memungkinkan serabut aferen ambang rendah Aβ dan Aδ untuk mengaktifkan
neuron nosiseptif orde dua. Ini berarti bahwa rangsangan taktil yang biasanya tidak
berbahaya seperti menyikat lembut atau menusuk kulit menjadi menyakitkan.
Mekanisme serupa mungkin terjadi tidak hanya dalam sumsum tulang belakang,
tetapi juga pada tingkat supraspinal, seperti yang telah dilaporkan pada pasien
dengan nyeri sentral.

Mekanisme yang berkontribusi terhadap aktivitas saraf ektopik dan


sensitisasi sentral
Mekanisme patofisiologis lebih lanjut yang terlibat dalam nyeri neuropatik
berkontribusi terhadap aktivitas ektopik dan sensitisasi sentral. Inflamasi pasca lesi
saraf menginduksi aktivasi dan migrasi makrofag ke saraf dan ganglion dorsal root,
yang berkontribusi terhadap hipersensitivitas nyeri dengan melepaskan sitokin
proinflamasi, termasuk TNF-α. Pasca lesi saraf perifer dan sentral, mikroglia yang
teraktivasi yang ada di dalam SSP melepaskan beberapa modulator imun yang
juga mempertahankan nyeri neuropatik. Proses inflamasi ini, serta perubahan lain
dalam lingkungan ujung saraf perifer, berkontribusi terhadap sensitisasi perifer
(yaitu, penurunan ambang aktivasi dan peningkatan eksitabilitas membran).
Serupa pada sensitisasi sentral, sensitisasi perifer juga dapat terjadi pada
nosiseptor yang utuh tanpa kerusakan saraf yang mendasarinya; namun, dalam
kombinasi dengan ekspresi reseptor patologis terkait lesi, aktivasi ektopik dapat
difasilitasi dan dipertahankan.
Setelah lesi saraf tepi, terdapat hilangnya interneuron GABAergik inhibitori
di spinal horn. Pencegahan kematian sel interneuron melemahkan hiperalgesia
termal dan mekanik, menunjukkan bahwa disinhibisi berkontribusi terhadap nyeri
neuropatik. Neuron penghambat potensial lainnya, seperti jalur descenden yang
berasal dari batang otak, berkontribusi pada modulasi pemrosesan nyeri. Lesi
yang memengaruhi sistem opiodergik dan monoaminergik ini juga menyebabkan
eksaserbasi nyeri melalui disinhibisi. Bentuk disinhibisi lain yang diusulkan adalah
mekanisme yang mendasari hiperalgesia dingin, yang ada pada 23% pasien
dengan nyeri sentral post-stroke pasca lesi serabut aferen pengonduksi suhu
dingin yang tidak berbahaya. Menurut teori disinhibisi termosensorik dari Craig,
aferen ini biasanya menghambat jalur nyeri yang diaktifkan oleh dingin.

11
Dalam beberapa kasus amputasi, neuralgia postherpetik, sindrom nyeri
regional yang kompleks, dan neuralgia pasca-trauma, pemberian norepinefrin
topikal dan peningkatan aktivitas simpatis fisiologis meningkatkan nyeri spontan
dan hiperalgesia mekanik dinamis. Temuan ini menunjukkan adanya
penggabungan adrenergik patologis antara serabut postganglionik simpatis dan
serabut aferen nosiseptif, yang mungkin timbul dari ekspresi reseptor α pada
serabut aferen kutan atau dari tumbuhnya serabut simpatis di dalam ganglion
dorsal root. Akibatnya, gejala nyeri yang dipertahankan secara simpatik dapat
diobati dengan menggunakan blok simpatis.

Profil sensorik spesifik


Meskipun semua gangguan nyeri neuropatik melibatkan kerusakan
neuron, pola kelainan sensorik pada kulit yang terkena dapat bervariasi antara
gangguan yang berbeda atau bahkan dalam pasien yang sama. Beberapa pasien
mengalami nyeri spontan, paraestesi, dan kejutan listrik, sedangkan pada pasien
lain, area tubuh yang terkena menjadi hipersensitif terhadap suhu atau sentuhan.
Pola individu dari gejala sensorik kemungkinan besar sangat mencerminkan
mekanisme penghasil nyeri yang mendasarinya dan mungkin juga menentukan
alasan untuk respons pengobatan yang berbeda dan individual (lihat di atas). Oleh
karena itu, strategi klasifikasi baru diusulkan dimana nyeri dianalisis berdasarkan
fenotip sensorik, bukan penyebab yang mendasarinya. Beberapa pendekatan
digunakan untuk mengidentifikasi subkelompok fenotip pasien dengan profil
sensorik yang berbeda. Teknik psikofisik standar untuk menguji sistem aferen
nosiseptif dan non-nosiseptif (pengujian sensorik kuantitatif) baru-baru ini
diusulkan oleh German Network on Neuropathic Pain (DFNS). Protokol ini
menggunakan 13 rangsangan mekanis dan termal yang berbeda (rambut von
Frey, beberapa rangsangan pin-prick, algometer tekanan, dan thermotesting
kuantitatif). Uji coba multisenter nasional DFNS terdiri dari profil sensoris lengkap
lebih dari 1200 pasien dengan berbagai jenis nyeri neuropatik. Kombinasi tanda-
tanda yang berbeda diusulkan bahwa hal ini menunjukkan perbedaan mekanisme
patofisiologis yang mendasari. Sebagai contoh, hiperalgesia panas dalam
kombinasi dengan allodynia mekanis dan hiperalgesia mekanis dapat
mengindikasikan aktivitas ektopik perifer dalam nosiseptor sensitif panas, memicu

12
sensitisasi sentral; sebaliknya, mekanisme perifer yang mempertahankan nyeri
neuropatik pada pasien dengan defisit sensorik total tidak mungkin.
Dalam studi lain dari hasil yang dilaporkan pasien, data yang berhubungan
dengan kesehatan dikumpulkan langsung dari pasien untuk menentukan apakah
perbedaan tipis dalam karakteristik sensorik individu dapat diidentifikasi. Pasien
dengan neuralgia postherpetik dan neuropati diabetik dengan nyeri menyelesaikan
kuesioner gejala nyeri neuropatik. Untuk mengidentifikasi subkelompok pasien
yang relevan yang ditandai dengan profil gejala spesifik, analisis cluster hirarkis
dilakukan dalam kohort ini. Cluster ditentukan oleh pola skor kuesioner,
menunjukkan struktur patologis khas masing-masing kelompok. Dengan
menggunakan pendekatan ini, lima kelompok berbeda (subkelompok) dari pasien
diidentifikasi yang menunjukkan profil sensorik yang khas (yaitu, konstelasi khas
dan kombinasi gejala neuropatik). Profil sensorik menunjukkan perbedaan yang
luar biasa dalam ekspresi gejala. Semua subkelompok terjadi pada kedua jenis
penyakit tetapi dengan frekuensi yang berbeda.
Dalam satu studi, kombinasi gejala dan tanda neuropatik dinilai dengan
menggunakan wawancara terstruktur dan pemeriksaan bedside standar pada
pasien dengan neuropati diabetes dengan nyeri, neuralgia postherpetik, dan nyeri
punggung radikuler, serta pada kelompok pasien dengan nyeri neuropatik. Enam
subkelompok pasien dengan nyeri neuropatik dan dua subkelompok pasien
dengan nyeri nonneuropatik dibedakan dengan pendekatan ini. Pemeriksaan fisik
lebih penting untuk membedakan subtipe nyeri daripada gejala yang dinilai selama
wawancara.
Semua teknik yang berbeda ini yang digunakan untuk mengidentifikasi
subkelompok pasien menunjukkan bahwa ada perbedaan fenotipik berdasarkan
konstelasi tertentu dari kelainan sensorik dengan berbagai etiologi dan sindrom
nyeri neuropatik yang berbeda.

13
Gambar 6. Patofisologi Mekanisme Nyeri
Neuropati

Biologi dan Patofisiologi Nyeri Neuropati Diabetik


Tanda dari Pasien Diabetes
Kompleksitas kondisi diabetes, diperparah oleh kesulitan dalam mendefinisikan
dan mengukur neuropati dan nyeri, ini berarti bahwa kaskade patogen yang
menghubungkan diabetes dengan neuropati dan neuropati dengan nyeri masih
kurang dipahami.
Namun demikian, studi klinis yang telah menyoroti hubungan pada pasien dengan
diabetes dan nyeri neuropatik dapat menawarkan beberapa wawasan mengenai
mekanisme penyebab potensial.

Diabetes dan Neuropati


Diabetes mellitus merupakan sindrom penyakit metabolik kompleks yang
disatukan oleh terjadinya hiperglikemia yang juga menunjukkan asal-usul yang
beragam (defisiensi insulin, resistensi insulin, konsekuensi sistemik kehamilan)

14
dan memiliki variabel yang menyertai gangguan fisiologis dan metabolisme. Ketika
neuropati dan nyeri neuropatik terjadi pada pasien diabetes tipe 1 dan 2 yang tidak
tergantung pada kadar insulin yang bersirkulasi, sebagian besar penyelidikan klinis
dan eksperimental telah dimulai dari premis bahwa hiperglikemia adalah penyebab
utama neuropati dan nyeri neuropatik. Untuk mendukung pendekatan ini,
penelitian yang mengikuti kohort dari pasien diabetes selama bertahun-tahun
menetapkan bahwa neuropati adalah komplikasi diabetes yang paling sering
terjadi dan durasi diabetes dan kontrol glikemik jangka panjang yang buruk adalah
faktor risiko utama untuk terjadinya neuropati. Namun, juga penting untuk
mengenali bahwa sekitar setengah dari semua pasien diabetes dalam studi ini
tidak pernah, sementara korelasi antara hiperglikemia dan neuropati tidak terlalu
besar. Dengan demikian, sementara peningkatan kontrol glikemik harus menjadi
landasan terapi profilaksis untuk mencegah neuropati pada pasien diabetes, ini
tidak dapat menjamin keberhasilan dan tidak boleh mengaburkan pertimbangan
mekanisme patogen lainnya. Pensinyalan insulin yang terganggu (timbul karena
defisiensi insulin atau ketidakpekaan insulin), hipertensi, dan dislipidemia
semuanya dapat terjadi secara individu, bersama-sama, atau dalam kombinasi
dengan hiperglikemia untuk menghasilkan neuropati. Apresiasi yang lebih canggih
dari faktor-faktor risiko untuk neuropati pada pasien diabetes diharapkan akan
mengarah pada karakterisasi klinis yang lebih hati-hati dari pasien yang pada
gilirannya dapat digunakan untuk mengidentifikasi mekanisme patogen yang
potensial.

Neuropati dan Nyeri


Pada beberapa pasien diabetes, timbulnya rasa sakit disebabkan oleh normalisasi
gula darah akut pada awal terapi insulin (insulin neuritis), sedangkan pada orang
lain itu bertepatan dengan penurunan berat badan yang dramatis. Selain dari
kondisi-kondisi khusus ini, sering diperkirakan bahwa 10-20% pasien dengan
neuropati diabetes menunjukkan rasa sakit sebagai salah satu gejalanya. Jumlah
ini mungkin terlalu rendah. Sebuah studi epidemiologis baru-baru ini melaporkan
kesemutan, rasa seperti tertusuk, atau rasa sakit yang membakar terjadi pada 34%
dari lebih dari 15.000 pasien diabetes yang disurvei di masyarakat. Prevalensi
nyeri lebih besar pada pasien-pasien dengan diabetes tipe 2 dibandingkan dengan

15
diabetes tipe 1 (35% vs 22%), lebih besar pada wanita dengan diabetes
dibandingkan pada pria (38% vs 31%), dan menunjukkan variabilitas antara
kelompok etnis dalam kelompok studi. Temuan ini menyajikan kasus yang kuat
bahwa prevalensi nyeri pada pasien diabetes diremehkan ketika dipelajari di
rumah sakit dan lingkungan akademik. Namun demikian, rasa nyeri sama sekali
bukan gambaran universal pasien dengan neuropati yang dapat dibuktikan secara
klinis menggunakan skor kecacatan neurologis/neurological disability score
(NDS), sementara 26% pasien diabetes dengan nyeri tidak memiliki neuropati
klinis yang dapat dideteksi. Perbedaan semacam itu mungkin sampai batas
tertentu mencerminkan ketidakmampuan NDS untuk mendeteksi neuropati dini
tetapi temuan juga menyoroti kurangnya mekanisme patogen yang jelas dan
konsisten untuk menghubungkan diabetes dengan neuropati atau neuropati
dengan nyeri.
Nyeri hanyalah salah satu manifestasi dari fungsi sistem saraf yang
menyimpang pada pasien diabetes. Memang, kehilangan sensori merupakan
presentasi yang lebih umum, sementara baik rasa nyeri dan kehilangan sensori
dapat muncul berdampingan pada pasien yang sama. Neurodegenerasi distal
progresif yang merupakan ciri dari neuropati diabetik menambah lapisan
kompleksitas ketika mencoba untuk mengidentifikasi mekanisme patogenik untuk
nyeri neuropatik pada pasien-pasien diabetes dan degenerasi saraf telah
ditimbulkan sebagai mekanisme dari pembentukan nyeri dan juga hilangnya nyeri
dari waktu ke waktu. Studi biopsi saraf komprehensif tidak dapat membedakan
antara neuropati diabetes yang menyakitkan dan tidak menyakitkan berdasarkan
pada patologi serat besar atau kecil pada batang saraf dan juga tidak ada
hubungan antara nyeri dan serabut yang beregenerasi. Baru-baru ini, hubungan
potensial antara degenerasi saraf dan nyeri telah dihidupkan kembali oleh bebrapa
laporan bahwa panjang serabut sensorik kecil di epidermis atau kornea dapat
mengidentifikasi pasien diabetes dengan atau tanpa rasa sakit. Sebuah laporan
menyebutkan bahwa intervensi gaya hidup mengurangi nyeri dan meningkatkan
kepadatan serabut kecil epidermis pada subjek prediabetes lebih lanjut
mendorong hubungan antara nyeri dan kehilangan serabut distal. Menilai daerah
yang paling jauh dari akson sensoris daripada akson pada batang saraf dapat
menawarkan peningkatan sensitivitas pengujian, dan temuan tersebut telah
membangkitkan kembali pertimbangan mekanisme dimana degenerasi saraf

16
dapat menyebabkan rasa sakit. Ini termasuk aktivitas ektopik dengan serabut
degenerasi yang tidak stabil dan pelepasan faktor yang dilepaskan dari serabut
degenerasi yang mengaktifkan serabut yang berdekatan untuk menghasilkan
cross talk ephaptik. Namun, pengamatan baru yang menggembirakan ini harus
dilihat dengan hati-hati karena asosiasi yang tampak mungkin merupakan
kebetulan dan bukan merupakan hubungan sebab-akibat. Apresiasi yang muncul
bahwa terminal perifer dari serat kecil di kulit mengekspresikan protein terkait
pertumbuhan yang menunjukkan plastisitas berkelanjutan sehingga perubahan
panjang saraf tidak perlu mencerminkan degenerasi sebanyak remodeling juga
belum ditangani. Akhirnya, harus diingat bahwa banyak neuropati perifer
degeneratif tidak menimbulkan rasa sakit sehingga tidak ada hubungan universal
antara akson degenerasi dan nyeri.
Selain degenerasi saraf, ada juga upaya untuk mengkorelasikan adanya
rasa sakit dengan gambaran lain dari kondisi diabetes. Hiperglikemia akut
meningkatkan persepsi nyeri pada subjek normal, meskipun nyeri pada subjek
diabetes tidak berhubungan dengan peningkatan akut kadar glukosa darah.
Depresi, konsekuensi umum dari menderita diabetes dan komplikasinya, juga
dapat membesar-besarkan persepsi nyeri tetapi lebih cenderung mengacaukan
upaya untuk menunjukkan linearitas antara gangguan fisik dan intensitas nyeri
pada subjek diabetes daripada berfungsi sebagai mekanisme awal. Baru-baru ini,
peningkatan kadar ICAM terlarut plasma, penanda terjadiny disfungsi sel endotel,
dan protein C-reaktif (CRP) ditemukan pada pasien dengan neuropati diabetes
yang menyakitkan dan tidak menyakitkan. Kedua protein tersebut digunakan
sebagai penanda peradangan sistemik umum, meningkatkan kemungkinan
komponen inflamasi selektif terhadap rasa sakit. Namun, banyak indeks
peradangan lainnya tidak bervariasi antara pasien diabetes dengan dan tanpa rasa
sakit dan masih harus ditentukan apakah dua protein spesifik ini dapat
meningkatkan nyeri neuropatik. Secara umum, asumsi luas bahwa hiperglikemia
menyebabkan neuropati dan bahwa degenerasi saraf, atau regenerasi yang
frustrasi, menyebabkan rasa sakit tidak secara khusus didukung oleh literatur klinis
saat ini dan tidak ada bukti kuat yang menghubungkan gambaran fisik atau kimia
tertentu dari diabetes atau neuropati. dengan ada atau tidak adanya rasa sakit.

17
Terapi saat ini
Dengan tidak adanya mekanisme patogen yang ditetapkan untuk neuropati atau
nyeri, tidak ada terapi profilaksis terhadap terjadinya neuropati diabetes yang
menyakitkan. Pendekatan saat ini dibatasi untuk mencoba meringankan rasa sakit
yang muncul dengan bekerja melalui daftar obat-obatan yang efektif dalam kondisi
nyeri lainnya dan berharap menemukan satu dengan khasiat yang cukup dan profil
efek samping yang minimal agar bermanfaat. Hanya duloxetine (Cymbalta) dan
pregabalin (Lyrica) yang saat ini memiliki label yang disetujui FDA untuk mengobati
neuropati diabetes yang menyakitkan. Sejumlah ulasan terbaru yang sangat baik
telah menawarkan pendekatan praktis untuk bekerja melalui obat-obatan yang
saat ini digunakan secara klinis untuk mengobati neuropati diabetes yang
menyakitkan, dengan antikonvulsan dan antidepresan biasanya masuk dalam
daftar. Kebanyakan intervensi saat ini jelas mengganggu mekanisme pemrosesan
sensorik normal dan karena itu tidak perlu menawarkan petunjuk untuk
patogenesis nyeri yang mendasarinya pada pasien diabetes. Namun, telah banyak
spekulasi bahwa rasa sakit dapat timbul dari ekspresi berlebih yang tidak sesuai
yang diinduksi diabetes dari komponen mekanisme pemrosesan sensorik normal
sehingga inhibitor komponen ini dapat menekan rasa sakit pada jendela terapi
yang lebih luas sebelum mengganggu fungsi normal. Gabapentinoid, yang
berikatan dengan kanal kalsium subunit α2δ1, dan anestesi lokal yang memblokir
kanal natrium bertegangan mungkin masuk akal masuk dalam kategori ini,
meskipun belum terdapat bukti yang jelas bahwa kanal kalsium atau natrium
secara selektif lebih – diekspresikan pada pasien-pasien diabetes dengan
neuropati yang menyakitkan selain dari laporan yang menarik tentang peningkatan
arus natrium persisten nodal pada serat myelinasi besar. Asam alfa-lipoat (ALA)
juga telah dilaporkan memiliki beberapa keberhasilan melawan rasa sakit pada
pasien-pasien diabetes. Sementara ALA sering disajikan sebagai antioksidan,
ekstrapolasi bahwa rasa sakit terkait dengan stres oksidatif harus diperlakukan
dengan hati-hati, karena ALA juga memiliki sejumlah tindakan biologis lainnya.
Upaya terbaru untuk men-skrining biopsi saraf dari pasien-pasien diabetes untuk
perubahan pola ekspresi gen yang dapat memberikan biomarker untuk neuropati
degeneratif belum diperluas untuk membedakan antara pasien-pasien dengan
neuropati yang menyakitkan dan tidak menyakitkan. Kesulitan dalam memperoleh
bahan yang tepat dari subyek yang dikarakterisasi dengan baik telah

18
menyebabkan banyak peneliti untuk melakukan studi mekanistik pada model
hewan neuropati diabetes.

Clues dari Hewan Uji Coba pada Nyeri Neuropati Diabetik


Nyeri pada Hewan Pengerat
Bukti langsung dari persepsi dan besarnya nyeri tidak dapat diperoleh dari hewan
yang tidak dapat mengekspresikan diri secara emosional, sementara tikus tidak
dapat diandalkan ketika menggunakan sistem kuantitatif yang dirancang untuk
studi nyeri klinis seperti skala analog visual. Tikus juga tidak menunjukkan bukti
perilaku nyeri spontan seperti perubahan vokalisasi suara atau ultrasonik,
penjagaan tungkai, atau autotom, sementara pengurangan gerak belum secara
pasti dikaitkan dengan nyeri yang berkelanjutan daripada konsekuensi fisiologis
diabetes lainnya. Oleh karena itu, para peneliti sebagian besar menggunakan tes
nosiseptif yang mengukur respon perilaku atau fisiologis terhadap rangsangan
mekanik, termal, dan kimia sebagai tes pengganti untuk rasa sakit. Semua
pengujian hiperalgesia (respon berlebihan terhadap stimulus yang
membangkitkan respons pada hewan normal) dan allodinia (respons terhadap
stimulus yang tidak membangkitkan respons pada hewan normal) membawa
peringatan yang mencakup kemungkinan keterlibatan sifat transduksi stimulus
yang diubah dari properti kulit dan motorik dan / atau disfungsi efektor dalam setiap
respons yang dimodifikasi. Namun demikian, sekarang terdapat literatur luas yang
menggunakan tes tersebut pada tikus diabetes untuk menyelidiki mekanisme
potensial rasa sakit dan untuk mengevaluasi kemanjuran terapi baru.
Respon perilaku terhadap rangsangan mekanik dan termal adalah tes yang
paling banyak digunakan dalam studi hewan tentang nyeri neuropati diabetes.
Seperti disebutkan diatas, mewakili tes ini sebagai pengukuran nyeri neuropatik
mungkin terlalu optimis, tetapi beberapa tes ini memang memiliki korelasi klinis.
Dengan demikian, penarikan kaki dari filamen von Frey terhadap pembentukan
kekuatan rendah (1-15 g) dapat secara wajar digambarkan sebagai allodinia dan
memiliki paralel dalam allodynia taktil yang dilaporkan oleh pasien diabetes dalam
respon terhadap filamen von Frey yang sama pada pemeriksaan klinis atau kontak
dengan pakaian atau tempat tidur dalam kehidupan sehari-hari. Demikian pula,
penarikan kaki dari stimulus panas dapat disamakan dengan pengukuran ambang
persepsi nyeri termal yang digunakan dalam prosedur pengujian sensorik

19
kuantitatif. Tes lain yang biasa digunakan dalam penelitian pada hewan seperti
penarikan kaki dari peningkatan kekuatan tekanan dalam kisaran 50-300 g dan tes
yang merangsang ekor dengan rangsangan mekanis atau termal mungkin lebih
jauh dikeluarkan dari padanan klinis. Tikus, tetapi bukan mencit, juga menunjukkan
peningkatan respons kaki/paw yang meningkat terhadap injeksi lokal formalin.
Walaupun jelas tidak terdapat korelasi klinis untuk tes ini, tes ini menawarkan
kesempatan untuk mempelajari baik respons akut terhadap cedera jaringan perifer
maupun respons yang tertunda yang didorong oleh mekanisme sensitisasi tulang
belakang daripada peningkatan aktivitas saraf tepi.
Allodynia terhadap Filamen von Frey adalah gambaran awal dan konstan
dalam model tikus dari kedua diabetes tipe 1 dan tipe 2, dengan gangguan sinyal
insulin berkontribusi pada mekanisme patogen, independen dari hiperglikemia.
Apakah tikus juga menunjukkan allodynia atau kehilangan respon terhadap
filamen tampaknya bervariasi antara peneliti, sistem pengujian, strain tikus, dan
model diabetes. Laporan respon kaki terhadap panas pada tikus diabetes juga
agak bervariasi. Pada tikus diabetes tipe 1 dan tipe 2, hiperalgesia termal dini
dapat stabil dari waktu ke waktu atau berkembang menjadi hipoalgesia. Retensi
hiperalgesia tampaknya menjadi gambaran pada tikus dengan residu endogen
insulin atau menerima suplementasi insulin, sedangkan perkembangan menjadi
hipoalgesia termal disertai dengan penipisan serat epidermal peka panas. Baik
hiperalgesia termal awal maupun hipoalgesia termal berikutnya dapat dicegah
dengan memblokir metabolisme glukosa dengan aldosa reduktase. Karena itu
tampak bahwa hiperalgesia disebabkan oleh hiperglikemia sedangkan
perkembangan menjadi hipoalgesia membutuhkan hiperglikemia dan defisiensi
insulin yang nyata. Sebaliknya, tikus diabetes berkembang dengan cepat menuju
hipoalgesia termal yang mendahului penipisan serat epidermis. Secara bersama-
sama, tikus tampaknya menjadi model yang lebih dapat diandalkan untuk
mempelajari mekanisme nyeri akibat diabetes daripada mencit, dengan allodynia
taktil menjadi gambaran klinis yang sangat bermanfaat yang banyak dilaporkan,
stabil selama beberapa bulan dan memiliki korelasi klinis yang jelas.

20
Mekanisme dan Terapi yang Diprediksi dari Tikus Diabetes
Investigasi mekanisme yang mendasari respons sensorik yang berubah pada tikus
diabetes sering mencari ekspresi molekul yang berubah yang dapat
mempengaruhi fungsi sensorik. Ini mungkin melibatkan perolehan fungsi baru,
peningkatan ekspresi atau pelepasan molekul yang mungkin memperkuat
pemrosesan sensorik, atau pengurangan ekspresi/pelepasan molekul yang
menghambat pemrosesan sensorik. Pendekatan paralel adalah untuk
mengevaluasi efektivitas potensi terapeutik dan menggunakan modus tindakan
yang mereka duga untuk menyimpulkan mekanisme patogenik yang diduga.
Lokasi pembentuk dan/atau titik penguat dari nosisepsi yang ditingkatkan pada
tikus diabetes masih kontroversial dan banyak titik dapat hidup berdampingan,
mungkin mencerminkan kondisi manusia yang bervariasi yang dijelaskan diatas.

Gerakan Perifer
Persepsi nyeri oleh pasien diabetes sebagai yang dominan bilateral dan paling
kuat di tangan dan kaki mendukung asumsi yang masuk akal dan luas bahwa
cedera sistemik yang mengarah pada aktivasi neuron sensorik primer mendasari
neuropati diabetes yang menyakitkan. Pada tikus diabetes, allodynia taktil juga
bilateral dan dilokalisasi ke kaki belakang, tetapi tidak di pinggang.

Regenerasi saraf. Potensi untuk cross talk ephaptic didorong oleh degenerasi
serat pada batang saraf yang telah muncul dari penelitian biopsi pada pasien-
pasien diabetes (lihat di atas) tidak mungkin untuk direplikasi dalam model hewan
diabetes. Tidak terdapat degenerasi serabut saraf terang-terangan di batang saraf
tikus atau mencit diabetes jangka pendek sementara penipisan serabut saraf intra-
epidermal muncul dengan baik setelah timbulnya allodynia taktil dan hiperalgesia
termal pada tikus diabetik-STZ. Mencit diabetik-STZ menunjukkan penipisan serat
epidermal yang lebih cepat tetapi bukan model yang dapat diandalkan dari
allodynia atau hiperalgesia. Dengan tidak adanya hubungan yang jelas antara
patologi saraf terbuka dan indeks neuropati yang menyakitkan pada tikus diabetes,
minat sebagian besar terfokus pada perubahan seluler dan molekuler dalam
aferen primer tikus diabetes yang dapat meningkatkan sensitivitas nosiseptor
terhadap stimuli atau membesar-besarkan aktivitas yang pernah distimulasi.

21
Aktivasi nosiseptor. Beberapa model hewan dari nyeri neuropatik menunjukkan
peningkatan level molekul pro-inflamasi tingkat lokal yang dapat mensensitisasi
terminal aferen primer dan injeksi protein kinase C intraplantar dapat menekan
aktivitas nosiseptor dan indeks perilaku nyeri pada tikus diabetes, menyiratkan
stimulasi lokal yang sedang berlangsung. Walaupun, diabetes cenderung
menekan respons inflamasi, terdapat respons inflamasi alergi kulit yang
terganggu, berkurangnya jumlah sel mast, berkurangnya pelepasan histamin, dan
penurunan kadar TNFαdan IL-1β pada kulit tikus diabetes. Ada juga laporan yang
bertentangan baik peningkatan dan penurunan kadar mRNA dan protein untuk
NGF, faktor neurotropik yang terkait dengan rasa sakit. Dengan tidak adanya bukti
yang jelas mengenai keadaan inflamasi lokal yang dapat mengaktifkan nosiseptor,
kemungkinan bahwa sensitisasi perifer juga dapat berkembang sebagai akibat dari
ekspresi yang berubah dan / atau aktivitas reseptor yang mengubah rangsangan
sensorik telah mulai dieksplorasi. Ada ekspresi abnormal kanal TRPVR1 yang
sangat sensitif dalam badan sel dari neuron sensorik besar yang dapat membuat
serat-serat tersebut peka terhadap panas. Selain itu, penekanan terhadap reseptor
TRPV4 mechanosensitive melemahkan hiperalgesia terhadap tekanan mekanik
yang mendalam sementara injeksi intraplantar antagonis kanal TRPA1
kemosensitif mengurangi allodynia taktil. Aspek apa dari kondisi diabetes yang
memicu perubahan ekspresi atau aktivitas transduser rangsangan sensorik ini
masih harus ditetapkan, meskipun dalam kasus TRPA1, terdapat beberapa bukti
bahwa pembentukan metilglioksal yang digerakkan oleh hiperglikemia mungkin
terlibat.

Aktivitas nosiseptor. Sifat kelistrikan nosiseptor periferal dapat diubah oleh


perubahan ekspresi kanal ion aksonal yang terlibat dalam pembuatan,
pembentukan, dan pemolaan aksi potensial, sedangkan kanal ion yang terletak di
terminal pusat aferen primer menentukan apakah aktivitas listrik aferen primer
diterjemahkan menjadi pelepasan neurotransmitter. Peningkatan ekspresi kanal
ion yang terjaga tegangannya telah terlibat dalam aktivitas spontan nosiseptor dan
memicu respon elektrofisiologis dan perilaku terhadap rangsangan dalam
sejumlah model nyeri neuropatik yang timbul dari trauma saraf. Pada hewan
diabetes, aktivitas spontan dari neuron sensorik telah dilaporkan di beberapa,
tetapi tidak semua, penelitian dan perubahan pola tembak setelah stimulasi serat

22
C dapat terjadi pada subpopulasi serat. Ketidakstabilan aferen primer telah
dikaitkan dengan perubahan ekspresi, penyisipan membran, dan fungsi dari kanal
natrium dan kalium yang terjaga tegangannya, meskipun terdapat beberapa
ketidakkonsistenan dalam laporan mengenai kanal dan subunit yang terpengaruh
pada saraf tikus diabetes. Peningkatan kadar protein dari subunit α2δ1 pada kanal
kalsium [56] dan mRNA untuk tipe-L kanal kalsium juga telah terdeteksi dalam
DRG pada tikus diabetes, dan terdapat peningkatan arus kalsium melalui kanal
kalsium tipe-N dan tipe-T pada neuron sensorik dari hewan tersebut. Kemanjuran
dosis sistemik rendah dari penghambat kanal natrium seperti lidokain, pengiriman
spinal kanal kalsium tipe-N (tetapi bukan tipe-L), pembungkaman gen kanal
kalsium tipe-T, dan gabapentinoid yang mengikat subunit α2δ1 pada kanal kalsium
dalam mengurangi allodynia taktil dari tikus diabetes semuanya mendukung
gagasan bahwa peningkatan ekspresi kanal ion yang terjaga tegangannya
memberikan kontribusi pada allodynia dan menawarkan jendela terapi yang lebih
luas untuk penghambat kanal ion untuk beroperasi sebelum mengganggu fungsi
sensorik normal. Peningkatan kepadatan membran kanal natrium dan kalsium
yang terjaga tegangannya juga menyediakan mekanisme yang menarik untuk
menjelaskan kemanjuran klinis lidokain transdermal dan gabapentinoid dalam
mengurangi rasa sakit pada beberapa pasien dengan neuropati diabetes,
sementara laporan serupa mengenai efikasi ALA dapat mencerminkan
kemampuan senyawa ini untuk menghambat kanal kalsium tipe-T. Aspek diabetes
apa yang menyebabkan neuron meningkatkan ekspresi protein ini belum
diketahui.

Amplifikasi Tulang Belakang


Meskipun sebagian besar perhatian telah difokuskan pada kerusakan saraf tepi
yang diinduksi diabetes, terdapat sejarah panjang studi otopsi yang menunjukkan
bahwa medulla spinalis pada pasien diabetes juga mengalami degenerasi materi
putih dan abu-abu. Penelitian magnetic resonance imaging (MRI) telah
mengkonfirmasi kerusakan medula spinalis awal pada pasien hidup dan menyoroti
potensi gangguan pada pemrosesan sensor spinal untuk berkontribusi terhadap
rasa sakit pada pasien-pasien diabetes. Saat ini terdapat sedikit bukti kuat yang
tersedia dari studi klinis untuk mendukung atau membantah spekulasi ini, dan
upaya untuk menggunakan konstituen dari cairan serebrospinal untuk

23
memisahkan pasien-pasien dengan neuropati diabetes yang menyakitkan dan
tidak menyakitkan belum membuahkan hasil. Bagaimanapun, ada literatur yang
berkembang yang menunjukkan bahwa terjadi pemrosesan sensor tulang
belakang yang tidak normal pada tikus diabetes dan mungkin berkontribusi pada
indeks neuropati yang menyakitkan melalui berbagai mekanisme. Ini sangat
menarik, karena penelitian pada tikus diabetes menggunakan MRI fungsional dan
spinal microdialysis dari pelepasan neurotransmitter rangsang yang ditimbulkan
telah menunjukkan bahwa input rangsang aferen primer ke spinal secara paradoks
berkurang setelah stimulasi perifer, meskipun respon perilaku meningkat.
Gangguan input rangsang dapat meniadakan peningkatan sensitivitas saraf perifer
sendiri sehingga input yang berkurang mungkin memerlukan amplifikasi sinyal
selama pemrosesan spinal atau supraspinal.

Sensitisasi Spinal. Menjadi semakin diakui bahwa sementara peradangan klasik


yang dimediasi sel merupakan kondisi berbahaya dan ekstrem di SSP, suatu
bentuk peradangan yang diarahkan oleh sel glial endogen menyertai banyak
penyakit pada sistem saraf, termasuk keadaan nyeri. Diabetes memiliki dampak
pada semua sel glial medulla spinalis dan aktivasi oligodendrosit, astrosit, dan
mikroglia berpotensi untuk mendorong mekanisme sensitisasi medulla spinalis
yang memperkuat input sensorik dan menawarkan lokasi potensial untuk
intervensi terapi.
Terdapat laporan aktivitas spontan pada neuron kornu dorsal postinaptik
pada tikus diabetes dan pengiriman langsung substansi P ke medulla spinalis
memunculkan respons perilaku yang meningkat pada hewan tersebut.
Peningkatan paha tersentak terjadi selama fase 2, tetapi tidak pada fase 1, dari uji
formalin pada tikus diabetes juga menyiratkan bahwa hiperalgesia yang dimediasi
oleh spinal telah berkembang. Pelepasan prostaglandin E pro-inflamasi di medulla
spinalis setelah stimulasi perifer meningkat dan memanjang pada tikus diabetes,
meskipun input aferen primer berkurang. Data-data ini menunjukkan bahwa
diabetes menginduksi keadaan sensitisasi spinal pada tikus yang memperkuat
input perifer, bahkan ketika pelepasan neurotransmiter rangsang dilemahkan.
Patogenesis sensitisasi spinal yang terungkap selama uji formalin melibatkan
metabolisme glukosa dengan aldosa reduktase dalam oligodendrosit spinal, yang
mengarah pada ekspresi berlebihan dari enzim pembentuk prostaglandin

24
cyclooxygenase-2 (COX-2). Inhibitor aldose reduktase dan COX-2, diterapkan baik
secara langsung ke medulla spinalis atau diberikan secara sistemik dalam
formulasi yang melintasi sawar darah otak, menipiskan hiperalgesia yang diinduksi
diabetes. Laporan sesekali bahwa inhibitor aldose reduktase dapat memperbaiki
neuropati diabetik yang menyakitkan dan meluasnya penggunaan OAINS yang
tidak diresepkan kepada pasien diabetes dengan nyeri dapat memvalidasi
relevansi mekanisme ini terhadap kondisi manusia, meskipun kesulitan dalam
memberikan jumlah obat yang cukup dengan aman ke medulla spinalis dapat
menghambat kemanjuran klinis.
Selain oligodendrosit, diabetes juga berdampak pada glia spinal lainnya.
Minat yang berkembang dalam mikroglia spinal sebagai mediator sensitisasi spinal
setelah cedera saraf telah meluas ke diabetes dengan laporan bahwa mikroglia
menunjukkan perubahan morfologis yang menunjukkan aktivasi di medulla spinalis
pada tikus pengerat diabetes dan bahwa penghambat jalur pensinyalan yang
terkait dengan aktivasi mikroglia dapat memperbaiki indeks perilaku dari allodinia
dan hiperalgesia pada hewan-hewan tersebut. Cannabinoid, antagonis reseptor
bradykinin B1, dan obat-obatan lain yang mengintervensi terhadap aktivasi
mikroglial dapat memiliki potensi terapeutik, yang lagi-lagi mengalami masalah
pengiriman. Peran astrosit dalam mengatur lingkungan mikro lokal mereka dan
keterlibatan yang diusulkan dalam bentuk lain dari nyeri neuropatik menjadikannya
sebagai bidang studi yang sama menariknya, dan berkurangnya ekspresi GFAP,
biasanya merupakan penanda aktivasi, pada astrosit spinal tikus diabetes
menawarkanotensi adanya gangguan pembersihan neurotransmitter.

Disinhibisi. Pemrosesan sensorik di medulla spinalis mengalami penghambatan


tonik melalui sistem kontrol lokal dan desenden yang juga dapat disesuaikan
sebagai respons terhadap input sensorik. Gangguan pada sistem penghambatan
ini dapat menyebabkan peningkatan output sensorik dari spinal dalam proses yang
disebut disinhibisi yang telah dikaitkan dengan berbagai kondisi nyeri neuropatik.
Baik rilis basal maupun stimulus yang ditimbulkan oleh neurotransmitter inhibitor
GABA meningkat pada medulla spinalis tikus diabetes STZ, sebuah temuan yang
awalnya tampak tidak sesuai dengan peningkatan indeks perilaku sensasi nyeri
pada hewan-hewan ini, kecuali jika itu merupakan respons terhadap gangguan
ekspresi atau fungsi reseptor GABA. Namun, studi farmakologis menunjukkan

25
bahwa fungsi penghambat reseptor GABAA berkurang dalam medulla spinalis tikus
diabetes STZ dan bahwa itu berubah menjadi reseptor rangsang karena
pergeseran potensi keseimbangan klorida yang dimediasi oleh penipisan kalium
klorida ko-transporter KCC2. Ini sejajar dengan beberapa model cedera saraf nyeri
neuropatik yang juga menunjukkan berkurangnya ekspresi KCC2 spinal dan fungsi
GABA rangsang. Aplikasi terapeutik dari mekanisme ini adalah bahwa antagonis
GABAA mengurangi allodynia dan hyperalgesia pada tikus diabetes, meskipun
terapi kontintuitif ini belum dieksplorasi secara klinis. Patogenesis peningkatan
pelepasan GABA dan penurunan ekspresi KCC2 di medulla spinalis tikus dengan
diabetes masih harus ditegakkan. Sistem penghambat spinal lainnya, seperti
sistem serotonin yang menurun, tampaknya bekerja secara normal pada tikus
diabetes, dan aktivasi reseptor 5HT2A spinal dapat mendasari efek penghilang rasa
sakit dari serotonin dan serotonin: inhibitor reuptake noradrenalin seperti
duloxetine pada tikus diabetes dan pasien.

Keterlibatan SSP lebih tinggi


Otopsi otak dari pasien diabetes menunjukkan ensefalopati luas, dan gangguan
pensinyalan insulin telah dikaitkan dengan gangguan kognitif yang menyerupai
penyakit Alzheimer awal pada manusia dan hewan. Peran disfungsi SSP dalam
neuropati nyeri juga disarankan oleh penelitian MRI baru-baru ini yang
mengidentifikasi perbedaan aliran darah, metabolisme neuron, dan aktivitas dalam
talamus pasien diabetes dengan atau tanpa nyeri neuropati. Tikus dengan
diabetes juga menunjukkan peningkatan aktivitas saraf, yang diukur dengan
pengambilan glukosa, di daerah otak yang membedakan rasa sakit, sementara
studi pendahuluan menunjukkan bahwa thalamus dapat bertindak sebagai tempat
pembentukan aktivitas spontan pada tikus diabetes. Apakah pengamatan ini
mengungkapkan neuropati diabetes yang menyakitkan berasal di pusat masih
harus ditentukan, meskipun terdapat prioritas klinis untuk timbulnya diabetes yang
menginduksi nyeri tungkai palsu/ phantom limb pain.

Ringkasan
Studi pada tikus diabetes telah mengidentifikasi banyak gangguan molekuler,
seluler, dan fisiologis yang dapat berkontribusi pada indeks perilaku nosisepsi
yang meningkat. Mungkin argumen terkuat yang mendukung validitas tikus

26
diabetes untuk memodelkan neuropati diabetik yang menyakitkan adalah obat
yang efektif pada pasien diabetes seperti gabapentinoid, duloxetine, antidepresan
trisiklik, dan lidokain juga menunjukkan kemanjuran yang jelas pada model hewan.
Namun, semua obat ini telah diterapkan pada pasien setelah pengamatan klinis
kebetulan daripada muncul dari program pengembangan obat praklinis yang
ditargetkan. Sejumlah besar agen beragam yang meredakan allodynia atau
hiperalgesia pada tikus diabetes menawarkan beberapa harapan bahwa terapi
baru dapat mengambil rute yang diinginkan dari bangku ke samping tempat tidur,
atau mungkin menunjukkan kecenderungan malang untuk mengidentifikasi positif
palsu. Kurangnya perhatian telah diberikan untuk terapi profilaksis dan, selain
peran metabolisme glukosa oleh aldose reduktase dalam sensitisasi spinal,
mekanisme patogen yang menghubungkan gangguan pensinyalan insulin
dan/atau hiperglikemia dengan dasar-dasar molekul dan selular yang diusulkan
dari allodynia dan hyperalgesia sebagian besar masih harus dieksplorasi.

Diagnosis Nyeri Diabetik Neuropati


Pengantar
Nyeri neuropati diabetes /Painful Diabetik Neuropathy (PDN) ditemukan pada
sekitar 16% pasien diabetes dan tidak dikelola secara optimal karena 40% individu
dengan PDN tidak diobati. Kesenjangan dalam perawatan menghasilkan
ketidakpuasan pasien dan berdampak negatif pada kualitas hidup. Karena manjur,
perawatan berbasis bukti tersedia untuk PDN, menjadi penting untuk memahami
mengapa pengobatan tidak ditawarkan kepada pasien. Sebagian, kurangnya
perawatan ini mungkin timbul dari kegagalan membuat diagnosis PDN. Bab ini
bertujuan untuk menyajikan diskusi mengenai diagnosis PDN yang memungkinkan
perawatan pasien yang lebih baik.

Presentasi Klinis PDN


Neuropati merupakan komplikasi diabetes yang paling umum, dan dapat terjadi
dalam beberapa bentuk seperti diuraikan dalam Tabel 1. Jenis yang paling sering
adalah polineuropati diabetik, polineuropati aksonal sensorimotor tergantung
panjang, paling sering disebut sebagai neuropati diabetik (DN). Bentuk neuropati
ini muncul dengan cara "dying-back" yang memengaruhi segmen distal akson

27
terpanjang pertama dan kemudian berkembang secara sentripetal menghasilkan
pola defisit neurologis "sarung tangan dan kaus kaki/ glove-and-stocking ".

Tabel 1. Jenis neuropati diabetik


Mononeuropati
Kranial (3, 6, 7)
Badan (toraks)
Jebakan saraf perifer: CTS, ulnar, peroneal
Plexoradikuloneuropati lumbosakral ("neuropati femoral")
Polineuropati
Polineuropati sensorimotor/Sensorimotor polyneuropathy (DN)
Neuropati otonom
Kakeksia diabetes
"Neuropati serat kecil"

Gejala-gejala DN adalah mati rasa, parestesia (kesemutan), kepekaan


terhadap sentuhan, rasa sakit, kegoyahan, dan kelemahan. Gejala-gejala ini
umum terjadi pada polineuropati lain, tetapi gejala sensorik merupakan gambaran
awal DN. Gejala menyakitkan umumnya terjadi dan termasuk lancinating (seperti
sengatan listrik, penembakan), terbakar, beku, kram, dan nyeri meremas sebagai
deskriptor khas. Gejala-gejala ini awalnya mempengaruhi kaki, mulai dari jari kaki
dan telapak kaki, dan kemudian bermigrasi secara proksimal saat neuropati
berkembang. Gejala-gejalanya dapat intermiten atau persisten dan seringkali
paling menyusahkan di malam hari ketika pasien sedang beristirahat, atau pada
malam hari menghasilkan gangguan tidur. Satu-satunya gejala DN adalah nyeri,
atau nyeri dapat menyertai gejala neuropati lainnya. Gejala yang menyakitkan
berkisar dari ringan hingga tidak dapat ditoleransi dan dapat disertai dengan
gejalan lain seperti insomnia, gangguan kualitas hidup, ketidakmampuan untuk
bekerja, dan produktivitas yang rendah di rumah dan di tempat kerja. Gejalanya
paling sering kronis, berlangsung lebih lama dari 3 bulan dan dalam banyak kasus
berlangsung selama bertahun-tahun. Dalam merawat pasien-pasien seperti ini,
penting untuk mempertimbangkan komorbiditas yang mungkin ada (missal :
depresi) dan menyesuaikan pengobatan untuk profil pasien tertentu.

28
Pemeriksaan fisik mungkin normal meskipun terdapat gejala nyeri yang
khas yang mengindikasikan cedera saraf perifer. Pasien-pasien lain mengalami
kehilangan sensorik dari modalitas utama tusuk tajam, suhu, sentuhan ringan,
getaran, dan sensasi posisi, diamati secara distal di jari kaki pada awalnya, dan
kemudian lebih proksimal di tungkai bawah ketika keparahan neuropati dan tingkat
kehilangan serat meningkat. Akhirnya, kehilangan sensorik akan terlihat jelas pada
tungkai atas dan juga sepanjang dada anterior karena saraf dengan panjang yang
lebih pendek menjadi terpengaruh. Hilangnya tusuk tajam di awal, sensasi dingin,
sentuhan ringan, dan getaran sering diamati, tetapi hilangnya sensasi posisi
merupakan temuan DN akhir. Atrofi otot-otot kaki kecil, kelemahan, dan hilangnya
refleks adalah tanda yang sama terlambatnya. Temuan fisik ini khas untuk DN
yang menyakitkan dan tidak menyakitkan.
Ini adalah presentasi umum dari PDN. Beberapa pihak berwenang telah
merumuskan skala untuk mencakup gejala, seperti DN4 atau Douleur
neuropathique en 4 pertanyaan. Skala ini menyajikan alat sederhana untuk
menyaring keberadaan PDN dan mungkin bermanfaat. Bouhassira
membandingkan lima alat skrining sederhana untuk nyeri neuropatik dan
menemukan deskriptor gejala universal di seluruh skala untuk adanya nyeri
neuropatik, yaitu: nyeri terbakar, nyeri seperti sengatan listrik dan nyeri yang
ditimbulkan oleh sentuhan, dan kesemutan dan mati rasa. Pada PDN, gejala-
gejala nyeri seperti terbakar, seperti sengatan listrik, dan dinginnya nyeri pada
tungkai bawah yang terjadi terutama saat istirahat dan di malam hari, terkait
dengan kesemutan atau mati rasa mendukung diagnosis. Skala yang berbeda
yang menilai tingkat keparahan nyeri telah dikembangkan termasuk Brief Pain
Inventory (BPI) dan Kuesioner Nyeri Neuropatik/ Neuropathic Pain Questionnaire
(NPQ). NPQ memberikan penilaian umum nyeri neuropatik dan membantu dalam
diskriminasi neuropatik dari keadaan nyeri non-neuropatik. Skala ini terdiri dari 12-
item dengan sensitivitas 74,7% dan spesifisitas 77,6%. Versi singkat yang terdiri
dari tiga item juga dapat menunjukkan adanya nyeri neuropatik. Tiga hal tersebut
adalah kesemutan, mati rasa, dan peningkatan rasa sakit karena sentuhan.
Pengembangan skala ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kita untuk
mendiagnosis NP dan dapat digunakan untuk diagnosis DPN. Tingkat keparahan
nyeri dapat diikuti dengan menggunakan NPQ atau Neuropathic Pain Symptom

29
Inventory (NPSI), kuesioner gejala nyeri yang dikelola sendiri. Kuisioner nyeri ini
dikembangkan awalnya untuk memonitor efek terapi pada nyeri neuropatik.
Terlepas dari konsensus universal ini, gejala yang menunjukkan nyeri
neuropatik dapat muncul pada gangguan nyeri non-neuropatik seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 2, sehingga tidak spesifik dan tidak dapat diasumsikan
untuk mengindikasikan adanya DN bila muncul. Skrining sederhana untuk
mengetahui adanya DN dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan
monofilamen, meskipun tes normal tidak mengecualikan diagnosis neuropati. Alat
ringkasan lainnya untuk DN termasuk Skor Neuropati Klinis Toronto yang
memberikan penilaian tingkat keparahan, tetapi tidak ada informasi rinci tentang
gejala yang menyakitkan.

Tabel 2. Prevalensi gejala pada nyeri neuropati dan gangguan nyeri non-neuropati.
Gejala Nyeri neuropati Nyeri non-neuropati Nilai P
Terbakar 68,3 30,4 <0,001
Tindihan 48,8 37,7 0,171
Dingin 25,6 10,1 0,015
Sengatan listrik 64,6 17,4 <0,001
Nyeri pedih/lancinating 75,6 65,2 0,162
Kesemutan 59,8 15,9 <0,001
Pin dan jarum 65,9 17,4 <0,001
Mati rasa 65,9 30,4 <0,001

Peran Uji Konfirmatif untuk Neuropati: Monofilamen, NCS, VPT, QST, LDI,
CCM (Tabel 3)
Beberapa pihak mengambil posisi bahwa gejala nyeri neuropatik, dengan
atau tanpa tanda-tanda abnormal pada pemeriksaan fisik, pada pasien dengan
diabetes cukup untuk menegakkan diagnosis PDN. Posisi ini dapat menyebabkan
ketidakakuratan dan kurang presisi daripada yang optimal karena gejala terbakar,
sengatan listrik, kesemutan, pin dan jarum, dan mati rasa tidak spesifik untuk PDN,
dan dapat diamati pada jenis neuropati lain sehingga diagnosis banding untuk
PDN seharusnya dipertimbangkan. Lebih lanjut, meskipun gejala menunjukkan
nyeri neuropatik, mereka dapat diamati pada keadaan nyeri non-neuropatik.

30
Sebagian besar praktisi lebih menyukai memperoleh hasil tes objektif untuk
mengkonfirmasi diagnosis PDN. Tidak adanya langkah-langkah obyektif
menimbulkan kemungkinan bahwa populasi yang dipertimbangkan tidak homogen
dan bahwa diagnosis lainnya diabaikan. Tes obyektif untuk DN termasuk tes serat
besar studi konduksi saraf/nerve conduction studies (NCS), dan ambang batas
persepsi getaran/vibration perception thresholds (VPT), tetapi ini bisa normal
dalam PDN jika serat kecil terutama terpengaruh pada awal perjalanan gangguan.
Untuk neuropati serat kecil, tes objektif berbeda yang menilai serat kecil, seperti
ambang batas termal kuantitatif/quantitative thermal thresholds (QTT), area
respons kutan kutaneus yang dimediasi akson-refleks/axon-reflex-mediated
cutaneous flare response area (LDIflare), dan lainnya, digunakan.
Meskipun tes serat besar mungkin normal pada PDN, jika mereka
abnormal, maka ukuran objektif mengkonfirmasi adanya penyakit saraf tepi.
Ukuran yang paling objektif dan spesifik adalah NCS karena mereka mengukur
langsung kelainan saraf perifer, sedangkan VPT mengukur seluruh jalur
somatosensorik dan dapat abnormal pada mielopati serta neuropati perifer.
Meskipun NCS mengukur fungsi serat besar, korelasi terkuat dari "gejala serat
kecil" (seperti rasa sakit) dapat ditemukan dengan parameter NCS daripada tes
serat kecil dugaan, mungkin karena keandalan NCS dibandingkan dengan uji serat
kecil. [16]. VPT dapat digunakan lebih sering daripada NCS di klinik karena
ketersediaan perangkat VPT yang lebih luas, kemudahan penggunaannya, dan
kurangnya kebutuhan untuk rujukan ke pusat pengujian khusus.
Tes serat saraf kecil yang mungkin berguna untuk menunjukkan adanya
disfungsi saraf perifer termasuk QTT dan LDI flare. QTT telah digunakan dalam uji
klinis selama 25 tahun, tetapi mereka belum banyak tersedia di klinik diabetes
karena masalah dengan keandalan, biaya untuk mendapatkan peralatan yang
sesuai, dan waktu yang dianggap perlu untuk mendapatkan QTT [16]. Kelemahan
utama adalah masalah keandalan yang menunjukkan perbedaan QTT setinggi
100% pada pengujian ulang, tidak jarang. Terlepas dari pertimbangan ini, jika PDN
dicurigai atas dasar klinis dan QTT abnormal, maka terdapat bukti yang
mendukung bahwa serat saraf kecil tidak berfungsi dengan baik. Sayangnya, tidak
ada hubungan yang baik antara QTT dan gejala yang menyakitkan dapat
ditemukan, sehingga implikasi dari QTT abnormal tidak pasti. LDI flare terutama

31
merupakan ukuran investigasi serat saraf kulit kecil dan perannya dalam
identifikasi PDN tidak pasti pada saat ini.
Tes serat kecil yang paling dapat diandalkan saat ini yaitu kepadatan serat
saraf intra-epidermal/intra-epidermal nerve fiber density (IENFD) di pergelangan
kaki, meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai seberapa kuat pengujian
IENFD direkomendasikan untuk diagnosis neuropati serat kecil. Jika biopsi
melubangi kulit menunjukkan penurunan IENFD, maka diagnosis neuropati serat
kecil ditegakkan meskipun tidak ada kelainan pada pemeriksaan klinis atau tes
objektif lainnya (NCS, VPT, QTT). Metode yang relatif baru untuk pemeriksaan
saraf tepi ini bersifat invasif, walaupun minimal, tidak tersedia di sebagian besar
klinik, dan mahal. Selanjutnya, karena lebih banyak yang dipelajari tentang batas-
batas IENFD, disarankan berbagai cara untuk menilai serat saraf intra-epidermal
di luar kepadatan serat sedang. Sebagai contoh, rasio IENFD pada paha dan
pergelangan kaki dapat mengungkapkan penurunan relatif di hadapan nilai IENFD
di pergelangan kaki dalam kisaran normal. Karakteristik struktural serat saraf
(dilatasi abnormal) dapat menunjukkan kelainan bahkan jika IENFD normal.
Perubahan lanskap penilaian serat saraf intra-epidermal menunjukkan bahwa
metode patologis pengujian serat kecil ini masih dieksplorasi dan bahwa penilaian
tertentu tidak dapat direkomendasikan secara universal untuk diagnosis saat ini.
Juga, penilaian morfologis rinci dari serat kulit tidak tersedia seperti IENFD rutin
dan terbatas pada laboratorium penelitian. Untuk diagnosis klinis rutin PDN,
penggunaan IENFD sangat tidak dianjurkan.
Langkah-langkah baru, seperti mikroskop konfokal kornea/corneal
confocal microscopy (CCM), sebagai metode obyektif untuk mengevaluasi serabut
saraf kecil sedang diselidiki. CCM memberikan visualisasi langsung serat saraf
kornea dan parameter kepadatan serat, panjang serat, percabangan serat, dan
lainnya dapat berasal dari CCM. Parameter ini berkaitan dengan DN dan mungkin
merupakan metode noninvasif untuk menilai serabut saraf kecil secara langsung.
Pemeriksaan semacam itu bisa menjadi bagian dari pemeriksaan okular / retina
tahunan pada pasien dengan diabetes, dan memberikan ukuran objektif saraf tepi.
Metodologi ini masih dalam penyelidikan, tetapi menjanjikan untuk evaluasi objektif
PDN.

32
Ringkasan tes objektif untuk neuropati dan peran mereka dalam PDN
ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Tes obyektif untuk PDN
Tes Neuropati PDN
Studi konduksi saraf + +/-
Ambang persepsi getaran + +/-
Ambang termal kuantitatif +/- +/-
Laser Doppler menyala ? ?
Mikroskopi konfokal kornal ? ?
IENFD +/- +

Diagnosis Banding
Neuropati diabetik adalah diagnosis eksklusi dan, dengan ekstensi, PDN juga
merupakan diagnosis eksklusi. Para ahli nyeri mungkin berpendapat bahwa
pengobatan untuk semua bentuk nyeri neuropatik serupa dan oleh karena itu, tidak
penting untuk merumuskan diagnosis PDN secara akurat. Namun, beberapa
bentuk nyeri neuropatik merespons secara berbeda terhadap obat yang berbeda.
Sebagai contoh, carbamazepine tidak efektif untuk PDN, tetapi efektif untuk
trigeminal neuralgia. Neuropati HIV gagal berespon terhadap amitriptyline berbeda
dengan kemanjuran yang ditunjukkan pada PDN. Selain itu, pasien dengan
diabetes dapat memiliki gangguan selain PDN yang menghasilkan gejala yang
sama dan masalah ini akan membutuhkan perawatan yang berbeda. Sebagai
contoh, keadaan kekurangan vitamin B12 akan menghasilkan fenotipe klinis yang
serupa, tetapi pasien perlu diobati dengan penggantian vitamin B12 dan bukan
hanya obat untuk mengendalikan gejala yang menyakitkan. Jadi, perlu untuk
mempertimbangkan diagnosis banding pada pasien yang diduga menderita PDN.
Tabel 4 menguraikan diagnosis banding pada pasien dengan dugaan PDN. Dalam
kasus bentuk spesifik neuropati, selain, atau hidup berdampingan dengan PDN,
perlu untuk mengatasi etiologi yang mendasarinya, serta mengobati nyeri
neuropatik. Gangguan neuropatik koeksisten yang paling umum yang
menyebabkan gejala nyeri serupa adalah defisiensi vitamin B12, gamopati
monoklonal, dan penyalahgunaan etanol. Namun, perhatian harus diberikan pada
pembaur diagnostik potensial lainnya yang dapat meniru PDN. Sebagai contoh,
pasien mungkin menderita osteoarthritis atau plantar fasciitis yang dapat

33
menghasilkan gejala yang menyerupai PDN. Jadi evaluasi penuh pasien diabetes
diperlukan untuk memastikan bahwa diagnosis alternatif tidak diabaikan.
Ketika memberikan konseling kepada pasien mengenai diagnosis dan
perawatan mereka, perlu dipastikan bahwa diagnosis yang tepat telah dibuat.

Tabel 4 Diagnosis banding PDN


a
Neuropati lain
Kekurangan vitamin B12
Penyalahgunaan alkohol
Uremik
MGUS
CIDP, varian sensorik
Kekeluargaan
Toksik, obat (kemoterapi, lainnya)
Paraneoplastik
Neuroma Morton
Penyakit pembuluh darah perifer
Gangguan sentral
Poliadikulopati
Penyakit demielinasi
Lainnya
Penyakit reumatologis
Osteoartritis
Plantar fasciitis
a
Neuropati ini mungkin hidup berdampingan dengan PDN atau penyebab
independen dari gejala nyeri neuropatik pada pasien dengan diabetes

Ringkasan tentang Diagnosis PDN


Pasien-pasien dengan diabetes sering menderita PDN. Jika gejala nyeri ada pada
pasien dengan diabetes, maka skala yang berbeda seperti NPQ bentuk pendek
dapat membantu dengan diagnosis PDN. Gejala klinis yang menunjukkan
neuropati yang nyeri dapat disertai dengan temuan abnormal pada pemeriksaan
tetapi pemeriksaan mungkin normal. Bukti konfirmasi neuropati dapat diperoleh

34
dengan tes objektif NCS, VPT, QTT, dan IENFD. Diagnosis banding PDN harus
dipertimbangkan untuk mengecualikan diagnosis perancu dan mengarahkan
terapi dengan tepat. Respons terhadap terapi pada PDN dapat dipantau dengan
alat seperti NPSI.

Terapi Medis untuk Nyeri Neuropati Diabetik

NEUROPATI DIABETES dan NYERI NEUROPATI


Neuropati sensori dapat dapat terjadi akibat kerusakan serabut saraf yang kecil (
Mielin A Delta, unmyelin C) atau dari kerusakan serabut sensorik yang besar (A
beta) atau keduanya. Neuropati Diabetik pada serabut saraf yang kecil dapat
menjadi gambaran dari penyakit ini dan juga dapat terjadi pada pasien dengan
intoleransi glukosa. Ini dapat menyebabkan hilangnya sensasi suhu dengan
mempertahankan getaran, propioseptik dan reflek dan sering menyakitkan.
Dengan perkembangan lebih lanjut, cedera serabut saraf yang besar biasanya
muncul (meskipun ada yang sejak awal sudah muncul) yang akan menyebabkan
hilangnya getaran, propiosptik serta refleks dan menyebabkan nyeri neuropatik.
Nyeri neuropati diabetik dapat berupa allodynia dan dysesthesia
(kesemutan, seperti tersengat listrik, terbakar, nyeri seperti ditusuk, dll). Nyeri ini
muncul pada saat istirahat dan di perberat pada saat aktivitas sehingga bisa
mengganggu pada saat tidur juga. Efek sekunder lainnya berupa depresi, gelisah,
penurunan aktivitas dan malas untuk berolahraga (sehingga akan mengakibatkan
penambahan berat badan dan memperburuk kardiovaskular) serta insomnia.
Hilangnya sensasi rasa sakit pada telapak kaki adalah penyebab utama dilakukan
amputasi pada penderita diabetes.

Manajemen Terapi pada Nyeri Neuropati Diabetik


Berbagai macam obat telah terbukti bermanfaat dalam pengobatan nyeri
neuropti diabetik, seperti yang tecantum pada tabel . Pilihan obat atau kombinasi
obat mana yang harus digunakan secara individual harus sesuai dengan jenis
neuropati diabetik pada pasien tersebut., seberapa parah rasa sakitnya,
bagaimana dampak pada kehidupan mereka, faktor resiko ketergantungan, obat-
obat lain yang digunakan serta faktor-faktor yang lainnya.

35
Tabel 5. Obat Nyeri Neuropati Diabetik

Tricyclic Antidepresants
Tricyclic Antidepresants (TCA) menghambat pengambilan kembali
monoamina, memiliki sifat antikolinergik, dan juga menghambat fungsi saluran
natrium, berpotensi memodulasi faktor sentral (serotonergik dan neurotransmiter
lainnya) dan faktor perifer (depolarisasi membran neuron) yang berkontribusi
terhadap nyeri neuropatik. Meskipun dikembangkan sebagai antidepresan,
penghilang rasa sakit yang mereka berikan telah terbukti independen dari efek
mood. Efek samping yang paling umum berhubungan dengan aksi
antikolinergiknya adalah mulut kering, sembelit, berkeringat, penglihatan kabur,
sedasi, hipotensi ortostatik (dengan risiko jatuh yang menyertai), dan retensi urin,
yang sering membatasi penggunaan klinisnya pada beberapa pasien diabetes dan
banyak manula. Gangguan kognitif atau kebingungan juga dapat terjadi. Sedasi
selama terapi awal juga umum terjadi pada semua kelompok umur, tetapi biasanya
membaik selama 1 atau 2 minggu pertama terapi lanjutan.

36
TCA adalah salah satu agen kelas pertama yang terbukti efektif untuk
neuropati nyeri diabetik (DPN) dan juga bekerja di sejumlah nyeri neuropatik
lainnya, termasuk postherpetic neuralgia (PHN). Amitriptyline efektif dalam uji coba
double-blind, terkontrol plasebo, dan desipramine terbukti lebih efektif daripada
plasebo dan sama efektifnya dibandingkan dengan amitriptyline, dengan
tolerabilitas yang lebih baik. Imipramine dan nortriptyline mungkin juga efektif dan
dapat bekerja pada pasian setelah gagal dengan pengobatan amitriptyline. Dosis
efektif rata-rata amitriptyline untuk DPN lebih rendah daripada yang diperlukan
untuk pengobatan depresi, biasanya 10-25 mg pada waktu tidur selama 2 minggu.
Dosis rendah ini dapat mengontrol nyeri ringan hingga sedang. Jika tidak efektif,
dapat ditingkatkan 10–25 mg setiap 2 minggu sesuai toleransi, hingga maksimum
150 mg / hari. TCA sering sangat membantu untuk gejala DPN malam hari yang
umum, menghilangkan rasa sakit dan meningkatkan kualitas tidur.

Serotonin-Norepinephrine Reuptake Inhibitors


Duloxetine dan venlafaxine adalah inhibitor reuptake serotonin dan
norepinefrin (SNRI). Efektifitas SNRI duloxetine dan venlafaxine telah terbukti
dalam uji coba terkontrol DPN. Duloxetine telah dipelajari dalam beberapa uji coba
acak, tersamar ganda, terkontrol plasebo untuk menghilangkan rasa sakit pada
pasien dengan DPPN dan disetujui oleh FDA untuk pengobatan DPN. Efek
samping yang paling umum adalah mual, mengantuk, pusing, sembelit, mulut
kering, hiperhidrosis, peningkatan nafsu makan, anoreksia, dan kelemahan
dengan dosis yang lebih tinggi. Kasus-kasus hepatotoksisitas jarang dilaporkan
pada pemakaian duloxetine, sementara efek samping venlafaxine utamanya
adalah gastrointestinal. Tekanan darah tinggi dan perubahan EKG yang signifikan
secara klinis terjadi pada 5% pasien. Duloxetine dikontraindikasikan untuk pasien
dengan glaukoma sudut sempit yang tidak terkontrol dan untuk pasien yang diobati
dengan inhibitor monoamine oksidase.
Pengobatan dengan duloxetine dapat dimulai pada 30 mg setiap hari, dan
kemudian meningkat sebesar 30 mg / hari setelah 1 minggu sebagai ditoleransi
untuk menghindari mual. Duloxetine total dosis harian yang disarankan adalah 60
mg / hari, tetapi dapat ditingkatkan hingga maksimum 120 mg / hari. Pengobatan
dengan venlafaxine harus dimulai pada 37,5 mg sekali atau dua kali sehari dan

37
meningkat sebesar 37,7-75 mg / hari setiap minggu sesuai toleransi. Dosis tinggi
venlafaxine (150-225 mg / hari) biasanya efektif.

Alpha-2-Delta Ligand Agonist Antiepileptic Drugs


Gabapentin dan pregabalin diperkirakan bekerja melalui aktivasi subunit
alfa-2delta dari saluran kalsium yang diatur tegangan tipe-L, mengurangi eksitasi
neuron dan mengurangi sensitisasi sentral dan penerimaan kembali secara
nosiseptif. Efek samping termasuk pusing, mengantuk, edema perifer,
penambahan berat badan, asthenia, nyeri kepala dan mulut kering. Gabapentin,
extended-release gabapentin, dan pregabalin telah terbukti efektif untuk
pengobatan DPN dan PHN dalam uji coba acak, tersamar ganda, terkontrol
plasebo .
Pengobatan dengan gabapentin biasanya dimulai pada 300-600 mg / hari
dalam tiga dosis terbagi, dan kemudian secara bertahap meningkat sesuai
toleransi terhadap kemanjuran selama beberapa minggu untuk meminimalkan
sedasi. Pengendalian rasa sakit dicapai untuk sebagian besar pada dosis harian
total 1.000-2.000 mg / hari tetapi dosis 3.600 mg / hari mungkin diperlukan pada
sebagian kecil kasus. Efek mungkin tidak terlihat selama 1-2 minggu setelah
penyesuaian dosis. Pengobatan dengan pregabalin dimulai dengan 25-75 mg
sekali sebelum tidur, diikuti oleh peningkatan 75 mg setiap hari selama 3-7 hari,
kemudian 150 mg / hari setiap 3–7 hari sesuai toleransi, hingga dosis maksimum
600 mg setiap hari (200 mg TID atau 300 mg BID). Dosis harus disesuaikan untuk
pasien dengan gangguan ginjal.

Obat Antiepilepsi Lainnya

Obat antiepilepsi yang tersisa terbukti sangat efektif dalam klinis adalah
carbamazepine. Carbamazepin adalah salah satu AED pertama yang dipelajari
untuk pengobatan DPN. Namun, meskipun penelitian kecil awal mendukung
kemanjurannya, uji coba terkontrol plasebo yang lebih besar telah menunjukkan
terbatas tanpa manfaat. Efek samping umum dari carbamazepine termasuk
somnolen, pusing, dan gangguan gaya berjalan, dan jarang, leukopenia,
hepatotoksisitas, dan sekresi hormon antidiuretik yang tidak sesuai.
Oxcarbazepine juga mungkin efektif, dengan efek samping yang lebih sedikit.

38
Lamotrigin, penghambat saluran natrium yang bergantung pada tegangan, terbukti
efektif dalam mengobati rasa sakit neuropati HIV dan trigeminal neuralgia, tetapi
negatif dalam uji nyeri neuropatik terkontrol besar, dengan dosis 200-400 mg / hari.
Efek samping yang paling umum adalah mual, nyeri epigastrium, sakit kepala,
ataksia, kantuk, dan pusing.
Topiramate adalah monosakarida tersubstitusi-sulfat yang memblok
saluran Na + dan Ca 2+ yang bergantung pada voltase, meningkatkan aktivitas
GABA, dan menghambat a-amino3-hidroksi-5-metil-4-metil-4-isoksazol propionat
asam (AMPA) glutamat. Uji coba positif terbesar dari salah satu agen yang tidak
disetujui FDA untuk DPN dilakukan menggunakan topiramate, tetapi bukti ini harus
dipertimbangkan terhadap tiga uji coba negatif yang lebih kecil yang diterbitkan
pada tahun yang sama.

Topkal Lidokain
Lidocaine adalah agen anestesi yang bekerja terutama melalui
penghambatan saluran voltage-gate natrium, membuatnya sangat berguna untuk
menstabilkan membran saraf perifer yang cedera di mana saluran natrium
diregulasi. Lidocaine topikal 5% telah membuktikan kemanjuran dalam studi acak
kecil dan label terbuka untuk menghilangkan DPN dan telah disetujui FDA untuk
PHN. Satu-satunya efek samping kesemutan yang signifikan yang dilaporkan
dengan lidokain 5% adalah reaksi kulit ringan, seperti eritema dan rash. Namun,
karena obat ini sementara memperburuk rasa mati rasa, obat ini dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya cedera kulit akibat mati rasa, terutama
pada penderita diabetes yang harus berhati-hati dengan penggunaannya.
Lidokain 5% harus digunakan untuk menutupi area yang menyakitkan
hingga empat kali per hari, tetapi total jam penggunaan tidak boleh melebihi 12
jam dalam periode 24 jam. Namun, penggunaannya harus dihindari pada pasien
yang mendapatkan terapi obat antiaritmia Kelas I oral (mis., Mexiletine) untuk
menghindari sinergi yang berpotensi membahayakan, dan juga pada pasien
dengan disfungsi hati parah yang dapat menyebabkan toksiksisitas.

Capcaisin Topikal
Capsaicin topikal mengosongkan zat P dari saraf sensorik kulit dengan
penggunaan topikal kronis, mengurangi aktivasi reseptor nyeri kulit. Krim

39
konsentrasi rendah (0,025-0,075%) telah terbukti efektif untuk mengurangi DPN
dalam uji coba terkontrol. Capsaicin tidak terkait dengan efek samping sistemik
yang parah. Namun, aplikasi topikal memberikan rasa yang tidak nyaman, karena
harus diterapkan tiga kali sehari. Lebih lanjut, ini menyebabkan peningkatan rasa
sakit pada awalnya selama minggu pertama terapi karena zat P habis. Efisiensinya
yang moderat dalam DPN membuatnya tidak memuaskan untuk digunakan
sebagai agen tunggal.

Patch konsentrasi tinggi (8%) dikembangkan untuk memungkinkan durasi


efek yang lebih lama dan terbukti efektif pada PHN dan neuropati HIV yang
menyakitkan untuk periode hingga 3 bulan setelah aplikasi tunggal. Ini adalah
patch dermal pengiriman cepat yang mengandung 8% transcapsaicin, yang
bertindak sebagai antagonis dari potensi reseptor sementara vanilloid 1 (TRPV1).
Efek samping terutama terkait lokal, termasuk rasa sakit, eritema, edema, dan
gatal-gatal. Aplikasi awal dapat menyebabkan nyeri hebat dengan tekanan darah
tinggi dan mungkin memerlukan analgesia opioid untuk transisi. Data jangka
panjang tentang efisiensi dan keamanan, terutama tentang efek pada struktur
saraf di dalam kulit, masih dibutuhkan. Patch capsaicin konsentrasi tinggi dapat
diterapkan 30 menit (ke kaki) hingga 60 menit (di area lain), hingga maksimum
empat patch dan diulang setiap 90 hari.

Tramadol Hydrochloride

Tramadol adalah analgesik yang bekerja secara terpusat dengan sifat-sifat


yang unik sebagai inhibitor lemah norepinefrin dan serotonin reuptake dan
berikatan rendah dengan reseptor m-opioid (sekitar 1/10 kekuatan kodein). Efek
manfaatnya pada nyeri neuropatik terutama disebabkan oleh modulasi
serotonergik dari transmisi nyeri di dalam otak dan sumsum tulang belakang dan
yang kedua adalah efek opioid. Kemanjuran tramadol telah ditetapkan terutama di
DPN dalam uji coba acak, tersamar ganda, terkontrol plasebo, dan signifikan
bahkan setelah kontrol efek antidepresan potensial dari inhibisi reuptake serotonin.
Salah satu efek samping yang paling umum ditemui adalah sembelit.
Gangguan kognitif, sakit kepala, dan mual juga dapat terjadi, dan tramadol
menurunkan ambang kejang. Namun, efek samping ini biasanya cukup ringan
sehingga obat dapat dilanjutkan. Ini harus digunakan dengan hati-hati pada pasien

40
usia lanjut karena risiko kebingungan dan tidak direkomendasikan dengan obat
yang bekerja pada serotonin reuptake seperti SSRI karena sindrom serotonin
dapat terjadi. Karena efeknya pada ambang kejang, terapi lain harus
dipertimbangkan pada pasien dengan epilepsi. Meskipun efek opioid lemah,
kecanduan dapat terjadi dan tramadol harus dihindari pada pasien dengan faktor
risiko signifikan untuk kecanduan. Kombinasi tramadol / asetaminofen dapat
ditoleransi dengan lebih baik.
Terapi biasanya dimulai pada 50 mg sekali sehari, kemudian secara
bertahap meningkat menjadi dua kali sehari pada minggu 2, tiga kali sehari pada
minggu 3, dan empat kali sehari pada minggu 4. Dosis melebihi 50 mg empat kali
sehari (total 400 mg sehari) dosis) tidak memberikan manfaat tambahan tetapi
menghasilkan lebih banyak efek samping, dan rata-rata dosis efektif untuk DPN
adalah 200 mg. Beberapa bantuan dapat muncul segera, tetapi manfaat maksimal
mungkin tidak terlihat selama 1-2 minggu setelah inisiasi atau perubahan dosis.

Agonis Opioid
Analgesik opioid seperti morfin, oksikodon, dan metadon adalah agonis pada
reseptor opioid presinaptik dan postinaptik. Oksikodon juga dapat menyebabkan
antagonisme reseptor-k. Kemanjuran opioid yang kuat dalam DPN dan PHN telah
dibuktikan dalam beberapa uji coba terkontrol secara acak dan hampir sama
dengan TCA. Kekhawatiran tentang penggunaannya untuk terapi kronis
berhubungan dengan potensi ketergantungan fisik, atau penyalahgunaan, dan
membatasi penggunaannya pada pasien dengan nyeri non-kanker neuropatik.
Akibatnya, mereka direkomendasikan hanya sebagai pilihan terakhir untuk nyeri
neuropatik noncancer seperti DPN.
Efek samping opioid yang paling umum adalah sembelit, sedasi, mual,
muntah, dan pusing. Gangguan kognitif juga dapat terjadi, terutama pada dosis
tinggi. Dosis morfin awal yang direkomendasikan adalah 10–15 mg setiap 4 jam
atau sesuai kebutuhan dan ditoleransi (dosis ekianalgesik harus digunakan untuk
opioid lain). Hingga 300 mg setiap hari morfin telah digunakan dalam kasus-kasus
nyeri neuropatik refrakter yang parah yang tidak responsif terhadap semua
tindakan lain. Setelah kontrol tercapai, morfin dapat dikonversi menjadi opioid atau
persiapan transdermal jangka panjang setelah 1-2 minggu. Pasien yang
membutuhkan terapi opioid kronis, terutama pada dosis sedang hingga tinggi,

41
paling baik dikelola oleh spesialis nyeri yang terampil di klinik nyeri terkemuka
untuk memungkinkan pemantauan jangka panjang yang tepat dan evaluasi
toleransi, ketergantungan, dan penyalahgunaan obat.

Terapi Intervensi

Manajemen intervensi dipertimbangkan pada pasien yang tidak cukup


berespon dengan terapi lain dan harus selalu menjadi bagian dari rencana
perawatan yang melibatkan perawatan farmakologis, non-farmakologis, dan non-
intervensi. Stimulasi saraf listrik transkutan (TENS) umumnya digunakan untuk
terapi intervensi non-invasif dan, meskipun bukti untuk keefektifannya terbatas
pada DPN, risiko rendah / rasio manfaat dan biaya yang relatif rendah menjadikan
ini pilihan terapi tambahan pada pasien dengan neuropati rasa sakit . Intervensi
invasif seperti stimulasi sumsum tulang belakang, blokade saraf epidural, dan blok
saraf simpatis telah digunakan untuk pengobatan nyeri neuropatik perifer dan
sentral, tetapi tidak ada penelitian terkontrol plasebo double-blinded telah
dilakukan untuk menunjukkan manfaatnya. Untuk pasien dengan DPN refrakter,
penempatan pompa tulang belakang untuk pengiriman opioid intrakekal,
zikonotida, dan anestesi lokal kadang-kadang digunakan, meskipun studi
terkontrol belum dilakukan.

Neuropati perifer nyeri diabetik adalah komplikasi umum dari diabetes yang dapat
secara serius mengganggu kehidupan dan fungsi, dalam kasus yang paling parah,
dapat sangat merusak. Untungnya, kemajuan dalam pemahaman kami tentang
patofisiologi nyeri neuropatik telah memungkinkan pengujian rasional berbagai
agen farmakologis yang telah terbukti efektif dalam mengobati DPN. Kemajuan
bersamaan dalam bidang kedokteran nyeri yang lebih luas telah mendorong
pengembangan spesialis saraf dan klinik multidisiplin yang tersedia untuk kasus
yang lebih sulit disembuhkan. Karena opsi terapi ini, sebagian besar pasien
dengan DPN dapat berhasil diobati dan dapat kembali ke fungsi kerja dan sosial
yang normal.

42
43

Anda mungkin juga menyukai