Asy Syari’ah
Edisi 95
Permata Salaf “Keadaan Seorang Mukmin “
(5602 Views) October 11, 2013 6:24 pm | Published by Redaksi | 2 Comments
“Manusia terdiri dari tiga golongan: mukmin, kafir, dan munafik. Orang mukmin, Allah
Subhanahu wata’ala memperlakukan mereka sesuai dengan ketaatannya. Orang kafir, Allah
Subhanahu wata’ala telah menghinakan mereka sebagaimana kalian lihat. Adapun orang
munafik, mereka ada di sini, bersama kita di rumah-rumah,
jalan-jalan, dan pasar-pasar. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wata’ala. Demi Allah,
mereka tidak mengenal Rabb mereka. Hitunglah amalan jelek mereka sebagai bentuk ingkar
mereka kepada Allah Subhanahu wata’ala. Sungguh, tidaklah seorang mukmin memasuki
waktu pagi melainkan dalam keadaan cemas, meski telah berbuat baik. Tidak pantas baginya
selain demikian. Ia pun memasuki waktu sore dalam keadaan khawatir, meski telah berbuat
baik. Sebab, dia berada di antara dua kekhawatiran:
• Dosa yang telah berlalu; dia tidak tahu apa yang akan Allah Subhanahu wata’ala lakukan
terhadap dosanya (apakah diampuni atau tetap dibalasi dengan azab, -red.).
• Ajal yang tersisa (dalam hidupnya); dia tidak tahu kebinasaan apa saja yang akan
menimpanya pada masa yang akan datang.”
Keburukan pemerintah bisa jadi adalah menu hangat yang tersaji di banyak obrolan. Banyak
orang yang berbicara dengan berapiapi ketika membincangkan keburukan penguasa. Seakan-
akan mereka lebih cakap atau lebih baik berlipat-lipat daripada pemerintah yang berkuasa.
Yang ironis, mereka yang berbicara meledak-ledak cuma bermodal menonton televisi atau
membaca koran.
Permasalahan dan akar sesungguhnya yang terjadi sangat mungkin mereka tidak tahu.
Pengetahuan mereka ya sebatas apa yang ia dapat dari media. Repotnya, mediamedia sendiri
punya sudut pandang masingmasingyang berbeda.
Saat demokrasi telah mengakar, pemerintah apa pun dan di negara mana pun, memang hampir
niscaya menjadi sasaran hujatan, entah oleh media, musuh-musuh politiknya (oposisi),
pengamat politik, ataupun rakyat jelata. Pemerintah seolaholah isinya hanya cacat dan cacat.
Tidak ada kebaikan sama sekali. Bagaimana pemerintah bisa menjalankan roda pemerintahan
jika terus digoyang, bahkan kadang kebijakan yang belum dijalankan saja sudah dianggap
salah?
Sebagai rakyat jelata, kita semua memang berharap mendapat pemimpin yang punya
kemampuan sekaligus saleh. Namun, di zaman sekarang, hal itu seakan mencari jarum dalam
jerami. Sekadar punya kemampuan saja, sudah luar biasa. Apalagi jika dilengkapi dengan
kesalehan, bersih dari cela dan kekurangan.
Oleh karena itu, ketika kita dihadapkan pada pemimpin yang banyak kekurangan dan korup,
misalnya, sudah semestinya kita bersikap sesuai dengan bimbingan syariat. Nasihati dia jika
mampu, bisa langsung, berkirim surat, atau lewat orang-orang terdekatnya. Namun, semua itu
benar-benar dilatarbelakangi niat untuk memberikan nasihat, bukan karena ambisi jabatan,
cari muka, berharap materi, dan sebagainya.
Padahal darah kaum muslimin demikian berharga. Pemberontakan juga hanya akan
memperburuk keadaan. Kepada pemerintah kafir yang kita diperbolehkan memberontak saja
dipersyaratkan banyak hal, seperti punya kemampuan, tidak menimbulkan kemudaratan yang
lebih besar, dan sebagainya. Kalau pemberontakan itu hanya sekadar merecoki, kecil
kemungkinan untuk mampu menggulingkan pemerintah berkuasa, atau kian memperburuk
keadaan, itu tetap dilarang syariat.
Sejarah juga telah memberi pelajaran. Dahulu pernah ada penguasa yang superzalim, Hajjaj
bin Yusuf ats-Tsaqafi. Disebutkan, telah membantai lebih dari 150 ribu orang di masa
pemerintahannya. Padahal waktu itu sebagian sahabat masih hidup. Di antara rakyatnya juga
ada para tabi’in. Namun, tidak ada seorang pun sahabat dan tabi’in yang merekomendasikan
pemberontakan. Semestinya kita menyadari, pemerintah adalah manusia biasa yang banyak
kekurangan. Kesabaran menjadi kunci kita dalam bermuamalah dengan pemerintah kita. Taati
mereka dalam segala kebijakannya selama itu bukan maksiat. Dengan kesabaran dan doa,
semoga Allah Subhanahu wata’ala memberikan ganti yang lebih baik.
Pada Asy-Syariah edisi 93 hlm. 34 pada sub judul Mukjizat Dibelahnya Dada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam, paragraf ke-2, disebutkan bahwa peristiwa pembelahan dada
beliau terulang kembali 50 tahun kemudian saat beliau di-isra’-kan. Apa tidak seharusnya,
terulang kembali ketika beliau berumur 50 tahun? Karena jika terulang 50 tahun kemudian,
hal ini terjadi ketika beliau berumur 54 tahun, dan beliau sudah hijrah ke Madinah. Sedangkan
peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi di Makkah, sebelum beliau hijrah ke Madinah. 082332xxxxxx
Kejadian dibelahnya dada dua kali adalah perkara yang tsabit (pasti) dalam hadits sahih.
Pertama di bani Sa’d, kemudian 50 tahun berikutnya. Yang dimaksud di sini adalah taqrib
(pendekatan). Yang jelas, terjadinya masih di kota Makkah setahun sebelum hijrah, dan umur
beliau ketika dibelah dadanya lebih dari 50 tahun, demikian dinukil dalam referensi sirah.
Ada sedikit masukan hendaknyamajalah Asy-Syariah setiap bulan memuat sedikit tulisan
tentang aliran-aliran sesat di masa sekarang ini karena begitu banyak sekali bentuk dan
ragamnya terutama sekali tentang Syiah yang mulai mendapat angin segar di negara kita ini.
085206xxxxxx
Kita semua memang prihatin, di alam reformasi yang kebablasan ini, aliran sesat tumbuh
subur di negara kita. Banyak pihak seperti LSM, kelompok Islam Liberal, serta kaki tangan
Salibis dan Yahudi lainnya, bahu-membahu mendukung Ahmadiyah, Syiah, dan lainnya
dengan kedok HAM dan demokrasi. Oleh karena itu, menjadi kewajiban kita semua untuk
terus mengingatkan umat dari bahaya aliran/agama sesat yang ada. Insya Allah kami akan
terus menyinggung kesesatan demi kesesatan aliran tersebut dalam setiap kesempatan
walaupun mungkin tidak bisa dalam setiap edisi dan rubrik khusus. Semoga Allah Subhanahu
wata’ala memberikan kemudahan kepada kami walaupun ketika membeberkan kesesatan
suatu aliran/agama yang mengatasnamakan Islam, akan selalu ada orang-orang bodoh yang
menentang dengan dalih akan memecah belah umat.
Afwan, bisakah saya minta tolong mengenai masalah bimbingan shalat yang ada di Asy-
Syariah dibuatkan satu buku khusus sebagai panduan saya untuk mempermudah saya belajar
serta untuk bimbingan keluarga dan masyarakat. 081254xxxxxx
Banyak usulan yang masuk agar rubrik “Seputar Hukum Islam” dibukukan, semoga Allah
Subhanahu wata’ala memberikan kemudahan kepada kami untuk dapatmerealisasikannya.
Manhaji “Hubungan Antara Rakyat dan
Pemerintah Dalam Pandangan Islam”
(4386 Views) October 11, 2013 6:24 pm | Published by Redaksi | 2 Comments
Manusia terfitrah sebagai makhluk sosial. Hidup mereka saling bergantung satu dengan yang
lainnya. Allah Subhanahu wata’ala menciptakan mereka dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan, lantas menjadikan mereka berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling
mengenal. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang lakilaki dan perempuan,
serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersukusuku supaya kalian saling mengenal.”
(al-Hujurat: 13)
ضقلثناهأقم ثعثلىَٰ ثكإثيرر ثولثقثقد ثكنرقمثنا بثإنيِ آثدثما ثوثحثمقلثناهأقم إفيِ اقلبثمر ثواقلبثقحإر ثوثرثزققثناأهم ممثنِّ الطنيمثبا إ
ت ثوفث ن
ضيبلممنمقنِّ ثخلثققثنا تثقف إ
“Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam, Kami mengangkut mereka di
daratan dan di lautan, Kami memberi mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Kami
melebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang Kami
ciptakan.” (al-Isra’: 70)
ض ۗ أثإإلٰثهه نمثع ن
اإ ۚ قثإليبل نما ف اليَسوُثء ثويثقجثعلأأكقم أخلثثفاثء اقلثقر إ
طنر إإثذا ثدثعاهأ ثويثقكإش أ ب اقلأم ق
ض ث أثنمنِّ يأإجي أ
تثثذنكأروثن
“Atau siapakah yang mengabulkan (doa) orang yang dalam kesulitan ketika dia berdoa
kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kalian (manusia)
sebagai penguasa di bumi? Adakah selainAllahsembahan yang lain?! Amat sedikitlah kalian
dalam mengingat(Nya).” (an- Naml: 62)
Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang tak membiarkan manusia hidup begitu saja.
Berbagai aturan hidup dan jalan yang terang pun Dia Subhanahu wata’ala berikan kepada
merekasupaya berbahagia di dunia dan di akhirat. Termasuk dalam hal hubungan antara
rakyat dan pemerintahnya dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Allah
Subhanahu wata’ala berfirman,
“Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (al-
Maidah: 48)
Dalam Islam, rakyat selaku anggota masyarakat dan pemerintah selaku penguasa yang
mengurusi berbagai problem rakyatnya adalah kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Berbagai
program yang dicanangkan oleh pemerintah tak akan berjalan dengan baik tanpa dukungan
dan sambutan ketaatan dari rakyat. Berbagai problem yang dihadapi oleh rakyat juga tak akan
usai tanpa kepedulian dari pemerintah. Gayung bersambut antara pemerintah dan rakyatnya
menjadi satu ketetapan yang harus dipertahankan.
Ka’b al-Akhbar rahimahumallah berkata, “Perumpamaan antara Islam, pemerintah, dan rakyat
laksana kemah, tiang, dan tali pengikat berikut pasaknya. Kemah adalah Islam, tiang adalah
pemerintah, sedangkan tali pengikat dan pasaknya adalah rakyat. Tidaklah mungkin
masingmasing dapat berdiri sendiri tanpa yang lainnya.” (Uyunul Akhbar karya al-Imam Ibnu
Qutaibah 1/2)
Maka dari itu, hubungan yang baik antara rakyat dan pemerintahnya, dengan saling bekerja
sama di atas Islam dan saling menunaikan hak serta kewajiban masing-masing, akan
menciptakan kehidupan yang tenteram, aman, dan sentosa. Betapa indahnya bimbingan Islam
dalam masalah ini. Sebuah aturan hidup dan jalan yang terang bagi manusia. Namun, ada
pihak-pihak yang tak rela dengan semua itu. Salah satunya adalah Taqiyuddin an-Nabhani,
pendiri Hizbut Tahrir (HT). Dia menyatakan, “Oleh karena itu, menyerang seluruh bentuk
interaksi yang berlangsung antaranggota masyarakat dalam rangka memengaruhi masyarakat
tidaklah cukup, kecuali dengan menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antara
penguasa dan rakyatnya, harus digoyang dengan kekuatan penuh, dengan cara diserang
sekuat-kuatnya dengan penuh keberanian.” (Mengenal HT, hlm. 24 dan Terjun ke Masyarakat,
hlm. 7)
Lebih dari itu, dia mengungkapkan, “Keberhasilan gerakan diukur dengan kemampuannya
untuk membangkitkan rasa ketidakpuasan (kemarahan) rakyat dan kemampuannya untuk
mendorong mereka menampakkan kemarahannya itu setiap kali mereka melihat penguasa
atau rezim yang ada menyinggung ideologi, atau mempermainkan ideologi itu sesuai dengan
kepentingan dan hawa nafsu penguasa.” (Pembentukan Partai Politik Islam, hlm. 35—36)
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahumallah berkata, “Di dalam hadits ini terdapat
penjelasan tentang kewajiban menaati penguasa dalam hal-hal yang bukan kemaksiatan.
Hikmahnya adalah menjaga persatuan dan kesatuan (umat). Sebab, perpecahan mengandung
kerusakan.” (Fathul Bari 13/120)
“Ingatlah, barang siapa mempunyai seorang penguasa lalu melihatnya berbuat kemaksiatan,
hendaknya ia membenci perbuatan maksiat yang dilakukannya itu, namun jangan sekali-kali
melepaskan ketaatan (secara total) kepadanya.” (HR. Muslim no. 1855, Ahmad 4/24, dan ad-
Darimi no. 2797, dari Auf bin Malik al-Asyja’i radhiyallahu ‘anhu)
“Barang siapa keluar dari ketaatan (terhadap pemerintah) dan memisahkan diri dari al-jamaah
lalu mati, niscaya matinya dalam keadaan jahiliah (di atas kesesatan, tidak punya pemimpin
yang ditaati, pen.).” (HR. Muslim no. 1848, an-Nasa’i no. 4114, Ibnu Majah no. 3948, dan
Ahmad 2/296, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
“Setiap pribadi muslim wajib mendengar dan menaati (pemerintahnya) dalam hal yang dia
sukai dan yang tidak disukai, kecuali jika diperintah untuk melakukan kemaksiatan. Jika dia
diperintah untuk melakukan kemaksiatan, tidak ada mendengar dan ketaatan kepadanya
(dalam hal itu, pen.).” (HR. al-Bukhari no. 7144, Muslim no. 1839, at-Tirmidzi no. 1707, Abu
Dawud no. 2626, Ibnu Majah no. 2864, dan Ahmad 2/142, dari Abdullah bin Umar
radhiyallahu ‘anhu) (Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz 8/201—203)
Asy-Syaikh Abdus Salam Barjas rahimahumallah berkata, “Hadits ini tidak memaksudkan
tidak menaati pemerintah secara total ketika mereka memerintahkan kemaksiatan. Akan
tetapi, yang dimaksud adalah wajib menaati pemerintah secara total selain dalam hal
kemaksiatan. Ketika demikian, tidak boleh didengar dan ditaati.” (Mu’amalatul Hukkam, hlm.
117)
Al-Imam al-Mubarakfuri rahimahumallah berkata, “Hadits ini mengandung faedah bahwa jika
seorang penguasa memerintahkan sesuatu yang bersifat sunnah atau mubah, wajib ditaati.”
(Tuhfatul Ahwadzi 5/365)
تأثؤيَدوثن اقلثح ن:َهلل فثثما تثأقأمأرثنُا؟ ثقاثل، ثيا ثرأسوُثل اإ: ثقاألوُا.ثستثأكوُأن أثثثثرةه ثوأأأموُهر تأقنإكأرونُثثها
َهلل،ق النإذيِ ثعلثقيأكقم
ثوتثقسأ ثألوُثن اث النإذيِ لثأكقم
“Akan ada perbuatan mementingkan diri sendiri (mengumpulkan harta dan tidak
memedulikan kesejahteraan rakyat) pada pemerintah dan hal lain yang kalian ingkari.” Para
sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami (jika
mendapati kondisi tersebut, pen.)?”
Beliau bersabda, “Hendaknya kalian menunaikan hak (pemerintah) yang wajib kalian
tunaikan, dan mohonlah kepada Allah Subhanahu wata’ala hak kalian.” (HR. al-Bukhari no.
3603 dan Muslim no. 1843, dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)
َهلل ثوثسيثقأقوُأما فإقيإهقم إرثجاهل قألأقوُبأهأقم قألأقوُ أ،َِهلل ثولث يثقستثنيَقوُثن بإأسننتإقي،ِي
ب َهلل لث يثقهتثأدوثن بإهأثدا ث،يِ أثئإنمةه
يثأكوُأن بثقعإد ق
:ك؟ ثقاثلت ثذلإ ث َهلل إإقن أثقدثرقك أ،صنثأع ثيا ثرأسوُثل اإ ف أث ق ثكقي ث:ت ثقاثل )أحثذقيفثأة( قأقل أ.س النشثياإطقيإنِّ إفيِ أجقثثماإن إإقنُ ر
َهلل ثفاقسثمقع ثوأثإط قع،ك ك ثوأأإخثذ ثمالأ ث ظقهأر ثب ث ضإر ث َهلل ثوإإقن أ،! تثقسثمأع ثوتأإطيأع لإقلثإمقيإر
“Akan ada sepeninggalku para penguasa yang tidak berpegang dengan petunjukku dan tidak
mengikuti cara/ jalanku. Akan ada pula di antara para penguasa tersebut orang-orang yang
berhati setan dalam jasad manusia.” Hudzaifah z berkata, “Apa yang aku perbuat bila
mendapatinya?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hendaknya engkau
mendengar dan menaati penguasa tersebut! Walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu
dirampas, (tetap) dengarkanlah (perintahnya) dan taatilah (dia).” (HR. Muslim no. 1847, dari
Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu)
Apabila berbagai bimbingan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam di atas dicermati, semuanya
menunjukkan bahwa rakyat dan pemerintah adalah satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan.
Dengan penuh hikmah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan bimbingan
bahwa berbagai penentangan dan pemberontakan terhadap pemerintah bukanlah solusi untuk
mendapatkan hak atau memperkecil ruang lingkup kejelekan yang dilakukan oleh pemerintah.
Solusinya justru sebaliknya. Bersabar dengan berbagai kejelekan itu, menaati mereka dalam
hal yang ma’ruf (kebajikan) dan tidak menaati mereka dalam hal kemaksiatan, menunaikan
hak mereka dan memohon kepada Allah Subhanahu wata’ala hak yang tidak dipedulikan oleh
pemerintah, serta tidak menentang dan tidak memberontak terhadap mereka.
Berbagai bimbingan itu beliau n sampaikan agar hubungan (kesatuan) antara rakyat dan
pemerintahnya senantiasa utuh, tak terkoyak, dan tercerai-berai. Sebab, manakala hubungan
(kesatuan) itu terkoyak dan terceraiberai, kerusakan dan musibah besarlah yang terjadi.
Al-Imam Ibnu Abil ‘Iz al-Hanafi rahimahumallah berkata, “Kewajiban menaati pemerintah
tetap berlaku walaupun mereka berbuat jahat. Sebab, menentang (tidak menaati) mereka
dalam hal yang ma’ruf (kebaikan) akan mengakibatkan kerusakan yang jauh lebih besar dari
kejahatan yang mereka lakukan. Bersabar terhadap kejahatan mereka justru mendatangkan
ampunan dari segala dosa dan pahala yang berlipat dari Allah Subhanahu wata’ala.” (Syarh
al-Aqidah ath-Thahawiyah, hlm. 368)
Gesekan antara rakyat dan pemerintah merupakan fenomena yang sering terjadi. Penyebabnya
terkadang dari pihak rakyat dan terkadang dari pihak pemerintah. Demikianlah manusia, tak
ada yang sempurna. Kelalaian sering kali menghinggapinya walaupun telah berilmu tinggi
dan berkedudukan mulia. Menurut Islam, hubungan yang baik antara rakyat dan pemerintah
merupakan satu kemuliaan. Karena itu, gesekan yang terjadi di antara mereka pun termasuk
sesuatu yang tercela dan harus segera diselesaikan.
Tak mengherankan apabila banyak ayat al-Qur’an dan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam yang menjelaskan seputar masalah ini. Para ulama yang mulia pun tiada henti
mengingatkannya. Petuah dan bimbingan mereka terukir dalam kitab-kitab yang terkenal.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
اث ثكاثن ثسإميبعا اث نُإإعنما يثإعظأأكم بإإه ۗ إإنن ن س ثأن تثقحأكأموُا إباقلثعقدإل ۚ إإنن ن اث يثأقأمأرأكقم ثأن تأثؤيَدوا اقلثثماثنُا إ
ت إإثلىَٰ أثقهلإثها ثوإإثذا ثحثكقمأتم بثقيثنِّ الننا إ إإنن ن
اإسس ثوالنرأسسسوُإل أ
اث ثوأثإطيأعوُا النرأسوُثل ثوأوإليِ اقلثقمإر إمنأكقم ۖ فثإإن تثثناثزقعتأقم إفيِ ثشقيِرء فثأريَدوهأ إإثلىَ ن صيبرا )( ثيا أثيَيثها النإذيثنِّ آثمأنوُا أثإطيأعوُا ن بث إ
ق
ك ثخقيهر ثوأثقحثسأنِّ تثأإويبل إإن أكنتأقم تأقؤإمأنوُثن إبانلإ ثواقليثقوُإما اقلإخإر ۚ ثذٰلإ ث
Ayat pertama di atas berkaitan dengan pemerintah agar menjalankan amanat kepemimpinan
yang diemban dengan sebaik-baiknya. Adapun ayat yang kedua berkaitan dengan rakyat agar
mereka taat kepada pemerintahnya. Dengan dilaksanakannya hak dan kewajiban oleh setiap
pihak, akan terajut hubungan yang baik di antara mereka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumallah berkata, “Menurut para ulama, ayat pertama
(dari dua ayat di atas) turun berkaitan dengan pemerintah (ulil amri), agar mereka
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya menetapkannya dengan adil.
Adapun ayat yang kedua turun berkaitan dengan rakyat, baik dari kalangan militer maupun
sipil, supaya senantiasa menaati pemerintahnya dalam hal pembagian (jatah), keputusan/
kebijakan, komando perang, dan lainnya. Berbeda halnya jika mereka memerintahkan
kemaksiatan, rakyat tidak boleh menaati makhluk (pemerintah tersebut) dalam hal bermaksiat
kepada Al-Khaliq (Allah Subhanahu wata’ala). Jika terjadi perbedaan pendapat antara
pemerintah dan rakyatnya dalam suatu perkara, hendaknya semua pihak merujuk kepada al-
Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun, jika pemerintah tidak
mau menempuh jalan tersebut, rakyat masih berkewajiban menaatinya dalam hal yang
tergolong ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Sebab, ketaatan kepada
pemerintah dalam hal ketaatan adalah bagian dari ketaatan kepada AllahSubhanahu wata’ala
dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikian pula hak mereka (pemerintah), tetap
harus dipenuhi (oleh rakyatnya), sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu
wata’ala dan Rasul- Nya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
‘Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Bertakwalah kalian kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksa- Nya’ (al-Maidah: 2).” (Majmu’ Fatawa 28/245—246)
Di antara hal penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah agar hubungan mereka dengan
rakyat senantiasa terajut dengan baik ialah berlaku adil dan memerhatikan kesejahteraan
rakyatnya. Sebab, semua itu adalah amanat yang kelak dimintai pertanggungjawabannya oleh
Allah Subhanahu wata’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ع ثوهأثوُ ثمقسأئوُهل ثعقنهأقم َهلل ثفاقلثإميأر النإذيِ ثعثلىَ الننا إ،ع فثثمقسأئوُهل ثعقنِّ ثرإعينتإإه
س ثرا ر أكليَأكقم ثرا ر
“Setiap kalian adalah pemimpin, yang bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya.
Seorang penguasa yang memimpin manusia (rakyat) adalah pemimpin, dan dia bertanggung
jawab terhadap mereka.” ( HR. al-Bukhari no. 2554, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu
‘anhu)
َهلل إإنل ثحنرثما اأ ثعلثقيإه اقلثجننةث،ش لإثرإعينتإإه َهلل يثأموُ أ،ثما إمقنِّ ثعقبرد يثقستثقرإعيإه اأ ثرإعينةب
ت يثقوُثما يثأموُ أ
ت ثوهأثوُ ثغا ش
“Tidaklah seorang hamba diberi amanat sebuah kepemimpinan oleh Allah Subhanahu
wata’ala, lalu meninggal dunia dalam keadaan curang terhadap rakyatnya, melainkan Allah
Subhanahu wata’ala mengharamkan baginya surga.” (HR. Muslim no. 227, dari Ma’qil bin
Yasar al-Muzani radhiyallahu ‘anhu)
Apabila pemerintah berlaku adil dalam mengemban amanat kepemimpinan tersebut, Allah
Subhanahu wata’ala akan menganugerahinya sebuah naungan di hari kiamat, hari ketika
manusia sangat membutuhkan naungan dari terik matahari yang amat menyengat di Padang
Mahsyar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إإثماهما ثعاإدهل:َهلل يثقوُثما لث إظنل إإنل إظليَأه،ثسقبثعةه يأإظليَهأأم اأ يثقوُثما القإثياثمإة إفيِ إظلمإه
“Ada tujuh golongan yang mendapatkan naungan (Arsy) Allah Subhanahu wata’ala pada hari
kiamat, hari yang tidak ada naungan melainkan naungan dari-Nya; penguasa yang adil….”
(HR. al-Bukhari no. 6806, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Adapun hal penting yang harus diperhatikan oleh rakyat agar hubungan mereka dengan
pemerintah senantiasa terajut dengan baik adalah memuliakan pemerintah, menaati mereka
dalam hal kebajikan, dan membangun kerja sama yang baik dengan mereka. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Barang siapa memuliakan penguasa (yang diberi amanat oleh) Allah Subhanahu wata’ala di
dunia, niscaya Allah Subhanahu wata’ala akan memuliakannya di hari kiamat. Barang siapa
menghinakan penguasa (yang diberi amanat oleh) Allah Subhanahu wata’ala di dunia, niscaya
Allah Subhanahu wata’ala akan menghinakannya di hari kiamat.” (HR. Ahmad 5/42, 48—49,
dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam
Silsilah ash-Shahihah 5/376)
Al-Imam Sahl bin Abdullah at- Tustari rahimahumallah berkata, “Manusia (rakyat) akan
senantiasa dalam kebaikan selama memuliakan pemerintah dan ulama. Jika mereka
memuliakan keduanya, niscaya Allah Subhanahu wata’ala akan memperbaiki urusan dunia
dan akhirat mereka. Namun, jika mereka menghinakan keduanya, sungguh Allah Subhanahu
wata’ala akan menjadikan jelek urusan dunia dan akhirat mereka.” (Tafsir al-Qurthubi 5/260
—261)
Kala pemerintah terjatuh dalam kesalahan dan kemungkaran, hendaknya diingatkan dengan
cara yang terbaik. Tidak dengan cara demonstrasi, orasi di mimbar-mimbar, atau
menghujatnya di media. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
َهلل فثإ إقن قثبإثل،َهلل ثولثإكقنِّ يثأقأخأذ بإيثإدإه فثيثقخألوُ بإإه،طارن فثثل يأقبإدإه ثعثلنُإيثةب
صثح لإإذيِ أسقل ث
ثمقنِّ أثثراثد أثقن يثقن ث
Adapun hal penting yang harus diperhatikan oleh rakyat agar hubungan mereka dengan
pemerintah senantiasa terajut dengan baik adalah memuliakan pemerintah, menaati mereka
dalam hal kebajikan, dan membangun kerja sama yang baik dengan mereka.
“ Barang siapa hendak menasihati orang yang mempunyai kekuasaan (pemerintah), janganlah
menyampaikannya secara terangterangan. Namun, dia mengambil tangannya dan
menyampaikan nasihat tersebut secara pribadi. Jika (pemerintah itu) mau menerima
nasihatnya, itu yangdiharapkan. Jika tidak, sungguh dia telah menyampaikan kewajiban yang
ditanggungnya.” (HR. Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah dari Iyadh bin Ghunm al-Fihri
radhiyallahu ‘anhu, dinyatakan sahih oleh asy- Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah Fi
Takhrijis Sunnah no. 1096)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahumallah berkata, “Bukan termasuk manhaj salaf
menyebarkan kejelekan-kejelekan pemerintah dan menyampaikannya di mimbar/forum
publik. Sebab, hal itu akan mengantarkan kepada kekacauan dan hilangnya ketaatan
kepadanya dalam hal yang ma’ruf (kebajikan). Selain itu, tindakan tersebut akan
mengantarkan kepada hal-hal yang membahayakan (rakyat) dan tidak ada manfaatnya.
Adapun cara yang dijalani oleh as-salaf (pendahulu terbaik umat ini) adalah menyampaikan
nasihat secara pribadi kepada pemerintah, menulisnya dalam bentuk surat, atau
menyampaikannya kepada ulama agar bisa diteruskan kepada yang bersangkutan dengan cara
yang terbaik.” (Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz 8/210)
Termasuk hal penting yang harus diperhatikan oleh rakyat adalah tidak mengambil alih tugas
yang menjadi kewenangan pemerintah, seperti mengingkari kemungkaran dengan kekuatan,
sweeping kemaksiatan, penentuan awal Ramadhan dan hari raya, serta yang semisalnya,
sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa ormas yang mengatasnamakan Islam. Wallahul
musta’an.
Al-Imam Abu Abdillah bin al- Azraq rahimahumallah—ketika menyebutkan beberapa bentuk
penentangan terhadap pemerintah—berkata, “Penentangan yang ketiga adalah menyempal
dari pemerintah dengan cara mengambil alih tugas yang menjadi kewenangannya. Yang
paling besar kerusakannya adalah mengingkari kemungkaran (dengan kekuatan, - pen.) yang
tidak boleh dilakukan oleh selain pemerintah. Apabila perbuatan itu dibiarkan, niscaya hal ini
akan berkembang dan justru dilakukan terhadap pemerintah. Sebagaimana telah disebutkan
sebelumnya, bahwa termasuk dari siyasah (politik syar’i) adalah segera menangani orang
yang gemar melakukan perbuatan menyempal itu.” (Bada’ius Sulk fi Thiba’il Mulk 2/45,
dinukil dari Mu’amalatul Hukkam, hlm. 189)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahumallah berkata, “Adapun dalam hal yang di luar
kekuasaan dan kewenangannya, seseorang tidak boleh melakukan perbuatan mengubah
kemungkaran dengan kekuatan. Sebab, jika dia mengubah kemungkaran dengan kekuatan
terhadap pihak-pihak yang berada di luar kekuasaan dan kewenangannya, akan muncul
kejelekan yang lebih besar.
Selain itu, akan memunculkan problem besar antara dia dan orang lain, serta antara dia dan
pemerintah.” (Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz 8/208) Demikianlah catatan
penting tentang hubungan rakyat dan pemerintah menurut pandangan Islam. Semoga hal ini
menjadi titian emas bagi pemerintah dan rakyat untuk menuju kehidupan yang tenteram,
aman, dan sentosa yang diberkahi oleh Allah l. Amin….
Kajian Utama “Mengenal Waliyyul Amr”
(2147 Views) October 11, 2013 6:23 pm | Published by Redaksi | 2 Comments
Tidak ada kehidupan tanpa ada kebersamaan. Urusan agama dan dunia juga tidak akan
berjalan dengan baik tanpa ada kebersamaan. Karena itulah, Allah Subhanahu wata’ala
melarang berpecah belah dan berselisih, serta memerintahkan bersatu dan bersepakat di atas
ketaatan kepada-Nya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
“Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai-berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah)
bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi
bersaudara, sedangkan ketika itu kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah
menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu
agar kamu mendapat petunjuk.” (Ali Imran: 103)
ت ۚ ثوأأولثٰئإ ث
ك لثهأقم ثعثذا ه
ب ثعإظيهم ثوثل تثأكوُأنُوُا ثكالنإذيثنِّ تثفثنرأقوُا ثواقختثلثأفوُا إمنِّ بثقعإد ثما ثجاثءهأأم اقلبثيمثنا أ
“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah
sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Mereka itulah orang-orang yang mendapat azab
yang berat.” (Ali Imran: 105)
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah rasul (Muhammad), dan ulil amri
(pemegang kekuasaan) di antara kalian.” (an-Nisa’: 59)
Waliyyul amri adalah pemilik suatu hukum yang mempunyai kewenangan di dalamnya,
seperti yang biasa disebutkan bahwa para ulama adalah yang mempunyai wewenang dalam
hal agama, sedangkan penegak hukum mempunyai kewenangan dalam urusan dunia. Artinya,
yang berkecimpung mengurusi urusan agama yang menyangkut tentang hukum halal dan
haram, menjelaskan hukum yang datang dari Allah Rabbul ‘alamin adalah para ulama. Maka
dari itu, ulama dari sisi ini disebut waliyyul amri.
Begitu pun para penegak hukum yang mengurusi urusan dunia, yang kata-katanya didengar di
hadapan rakyat, yang dapat memutuskan ini dipenjara dan itu dibebaskan, yang dapat
menentukan bepergian dengan itu dan kembali dengan ini, yang memiliki kekuasaan dan
berkuasa, maka itulah waliyyul amri.
• Al-Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahumallah “Pendapat yang paling benar tentang
(siapakah waliyyul amri), mereka adalah para umara dan pemimpin, karena sahihnya berita
dari Rasulullah n agar taat kepada para imam dan pemimpin dalam urusan yang dituntut
ketaatan di dalamnya dan bermaslahat bagi kaum muslimin.” (Tafsir ath-Thabari)
• Al-Imam asy-Syaukani rahimahumallah “Ulil amri ialah para imam, para penguasa, para
hakim, dan setiap yang mempunyai wilayah/kewenangan yang syar’i.” (Fathul Qadir)
Dengan demikian, banyaknya jumlah waliyyul amri adalah hal yang dimaklumi, yang tiap-
tiap waliyyul amri itu mempunyai wilayah dan kekuasaan masing-masing.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumallah mengemukakan, “Yang sesuai dengan sunnah,
hendaknya seluruh kaum muslimin memiliki satu imam/pemimpin, sedangkan yang lain
menjadi perwakilannya. Jika keadaan umat menyelisihi hal ini karena sebab kemaksiatan,
ketidakmampuan, atau sebab yang lain sehingga muncul sejumlah pemimpin negara, dalam
kondisi seperti ini setiap pemimpin wajib menegakkan hudud dan menunaikan hak-hak.”
(Majmu’ Fatawa)
Pemimpin Jamaah/Organisasi Bukan Waliyyul Amri Waliyyul amri adalah yang memimpin
urusan manusia, mempunyai wilayah dan kekuasaan yang jelas, sebagaimana telah dijelaskan.
Adapun pemimpin sebuah jamaah atau organisasi, tidaklah disebut sebagai waliyyul amri
secara istilah. Apalagi tidak sedikit pengikut sebuah jamaah yang hingga bertahuntahun hidup
dalam ikatan jamaahnya tanpa mengetahui siapa pemimpinnya. Bagaimana bisa pemimpin itu
akan diketahui oleh orang-orang yang di luar jamaahnya jika seperti itu?
Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala telah mewajibkan amar ma’ruf nahi mungkar, dan
itu tidak dapat dilaksanakan secara optimal kecuali dengan kekuatan dan kepemimpinan.
Demikian pula seluruh syariat yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu wata’ala, seperti jihad,
menegakkan keadilan, menunaikan ibadah haji, shalat ied, menolong yang tertindas,
menerapkan hukuman, dan lain-lain. Semua itu tidak dapat berjalan dengan baik kecuali
dengan kekuatan dan kepemimpinan. Karena itu, telah diriwayatkan,
“Pemimpin (penguasa) adalah naungan Allah Subhanahu wata’ala di muka bumi.” (HR. Ibnu
Abi Ashim, dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam Zhilalul Jannah)
Demikian pula dikatakan, “Enam puluh tahun bersama pemimpin yang jahat, jauh lebih baik
daripada satu malam tanpa ada pemimpin.” Pentingnya keberadaan pemimpin, dalam hal ini
waliyyul amri, adalah halyang tidak dapat ditolak. Keberadaannya dapat mencegah mudarat
dan senantiasa menjaga lima tujuan utama dari syariat ini, yaitu menjaga agama, jiwa,
kehormatan, harta benda, dan akal.
Jika tidak ada waliyyul amri, dapat dipastikan kekacauan dan kerusakan akan terus terjadi. Al-
Imam Ahmad rahimahumallah mengatakan, “Akan ada kekacauan apabila tidak ada imam
(penguasa) yang mengatur urusan manusia.” (ad-Dur al- Mantsur fi Bayani ‘Aqidati Ahlis
Sunnah wal Jamaah fi Wulatil Umur)
Dalil yang menunjukkan eksistensi waliyyul amri di tengah-tengah manusia, antara lain
firman Allah Subhanahu wata’ala,
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil
amri (pemegang kekuasaan) di antara kalian.” (an- Nisa’: 59)
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wata’ala mewajibkan seluruh kaum muslimin taat kepada
waliyyul amri dari kalangan mereka. Perintah untuk memberikan ketaatan ini menjadi dalil
harus adanya waliyyul amri di tengah-tengah mereka. Sebab, Allah Subhanahu wata’ala
tidaklah memerintahkan ketaatan kepada pihak yang tidak ada wujudnya. Tegasnya,
keberadaan pemimpin (penguasa) adalah wajib. (al-Imamah al-‘Uzhma)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumallah berkata, “Karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam memerintah umatnya agar mengangkat seorang waliyyul amri yang akan mengurusi
segala urusan mereka. Beliau juga memerintah waliyyul amri agar menyampaikan amanat
kepada yang berhak dan menerapkan hukum di tengah-tengah manusia dengan adil.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar taat kepada waliyyul amri dalam
lingkup taat kepada Allah Subhanahu wata’ala. Dalam Sunan Abu Dawud (diriwayatkan) dari
sahabat Abu Said radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Apabila tiga orang keluar dalam sebuah safar, hendaknya mereka mengangkat salah seorang
di antaranya sebagai pimpinan.”
Dalam Musnad Ahmad ada riwayat dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Keteraturan urusan dunia sangat penting untuk mewujudkan keteraturan urusan agama,
sedangkan teraturnya urusan agama sangat penting untuk mewujudkan keselamatan dan
kebahagiaan di akhirat. Jadi, keberadaan pemimpin sebagai waliyyul amri termasuk tuntutan
syariat yang tidak dapat ditawar lagi.” (al-Imamah al-‘Uzhma)
‘Sesungguhnya Aku akan menjadikan di muka bumi seorang khalifah,’ menjadi dasar harus
adanya seorang pemimpin yang didengar dan ditaati agar tercipta persatuan dan kesatuan,
sehingga hukum yang ditetapkan dapat dijalankan dengan baik. Tidak ada perbedaan pandang
tentang wajibnya hal itu (keberadaan pemimpin) di kalangan umat, tidak pula di kalangan
ulama.” (Tafsir al-Qurthubi)
“Menetapkan imam (pemimpin) bagi yang mendudukinya adalah wajib berdasarkan ijma’
(kesepakatan).” (Ahkam as-Sulthaniyyah)
“Dalam hadits (dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu, dalam Sunan Abu Dawud, ‘Apabila tiga
orang keluar dalam sebuah safar, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antaranya
sebagai pemimpin’) ada dalil bagi yang menyatakan wajib atas kaum muslimin mengangkat
imam, pemimpin, dan pemerintah.” (Nailul Authar)
“(Ulama) telah sepakat, wajibnya kaum muslimin mengangkat khalifah (pemimpin).” (Syarah
Shahih Muslim)
“Sudah diketahui dengan pasti secara akal dan nalar bahwa tugas manusia ialah menjalankan
apa yang diwajibkan Allah Subhanahu wata’ala terkait dengan hukum-hukum, harta benda,
kriminal, darah, pernikahan, perceraian, dan seluruh urusan yang berkaitan; kemudian
mencegah kezaliman dan menyelamatkan orang-orang yang dizalimi. Dengan tempat yang
berjauhan dan cara pandang yang berbeda-beda, semua itu tidak mungkin dapat diwujudkan,
dan ini pasti. Inilah keadaan sebuah negara yang tidak memiliki kepala negara, tidak akan
tegak di dalamnya hak dan hukum, bahkan urusan keagamaan pun umumnya tidak terlihat.”
(al-Fashl fi al-Milal wan Nihal)
Waliyyul amri bukan pihak yang maksum (terbebas dari kesalahan) dan tidak mungkin tidak
melakukan kesalahan. Mereka pada prinsipnya adalah manusia biasa yang bisa benar dan bisa
salah. Mereka senantiasa membutuhkan nasihat dan arahan dari orang-orang yang bertakwa.
Menasihati waliyyul amri dengan cara yang syar’i merupakan salah satu pilar agama dan
petunjuk para salaf. Dengan mengedepankan keikhlasan, pemikiran yang matang, lemah
lembut, dan metode yang tepat, tentu akan membuahkan hasil dalam meluruskan kesalahan
waliyyul amri.
Al-Imam Malik bin Anas rahimahumallah berkata, “Menjadi hak setiap muslim atau orang
yang memiliki ilmu dan pemahaman yang benar, mengarahkan waliyyul amri kepada
kebaikan dan mencegah mereka dari kejelekan, serta menasihatinya. Sebab, orang yang
berilmu berhubungan dengan pemerintah hanya sebatas mengarahkannya kepada kebaikan
dan mencegahnya dari kejelekan. Apabila berhasil, itulah karunia yang tidak ada karunia lain
setelahnya (tak ternilai).” (Fiqh Siyasah asy-Syar’iyyah)
Adapun memaki dan melontarkan kata-kata yang kotor setiap kali melihat kesalahan waliyyul
amri, ini tidak dibenarkan. Ibnul Jauzi rahimahumallah mengatakan, “Bentuk amar ma’ruf
dan nahi mungkar kepada penguasa yang diperbolehkan adalah memberi tahu dan
menyampaikan wejangan serta nasihat. Adapun dengan perkataan kasar, seperti ‘hai
pemerintah zalim’, atau ‘pemerintah yang tidak takut kepada Allah Subhanahu wata’ala’, jika
sampai menyulut fitnah dan menyebabkan tersebarnya kejelekan, hal ini tidak
diperbolehkan.” (al-Adab asy-Syar’iyyah)
Kajian Utama “Menghormati Pemerintah Sebagai
Waliyyul Amri “
(1869 Views) October 11, 2013 6:23 pm | Published by Redaksi | 1 Comment
Rasulullah n telah menjelaskan bahwa al-hakim al-muslim (pemerintah yang muslim), tidak
lepas dari dua keadaan:
1. Pemerintah ini adalah seorang muslim, adil, bijaksana, taat beragama, tepercaya,
menampakkan kasih sayang kepada kaum muslimin, mengerahkan segenap upayanya demi
kebaikan kaum muslimin dan kebaikan Islam. Pemerintah yang seperti ini wajib dihormati
dan dimuliakan sebagai bagian dari mengagungkan Allah Subhanahu wata’ala, seperti yang
disinggung oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam hadits yang sahih,
“ Sesungguhnya termasuk mengagungkan Allah adalah menghormati orang tua yang muslim,
penguasa yang adil, dan penghafal al-Qur’an; tanpa berlebihan di dalamnya atau
menyepelekannya.” (HR. Abu Dawud no. 4843)
Penguasa yang adil adalah yang memimpin manusia dengan perintah dari Allah Subhanahu
wata’ala dan perintah Rasul- Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam, menerapkan syariat Allah
Subhanahu wata’ala, menegakkan keadilan, dan kasih sayang. Penguasa seperti ini wajib
dimuliakan, dihormati, dan diagungkan, karena hal ini bagian dari mengagungkan Allah
Subhanahu wata’ala. Penguasa ini adalah naungan Allah Subhanahu wata’ala di muka bumi,
sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Penguasa adalah naungan Allah Subhanahu wata’ala di muka bumi, siapa yang
memuliakannya, Allah Subhanahu wata’ala akan memuliakannya, dan siapa yang
menghinakannya Allah Subhanahu wata’ala akan menghinakannya.” (HR. Ibnu Abi Ashim,
dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam Zhilalul Jannah)
2. Pemerintah yang muslim, namun zalim atau pribadinya fasik, dan pelaku kemaksiatan,
tetapi tidak sampai keluar dari ruang lingkup keislaman. Pemerintah seperti ini tidak boleh
diberontak dan tidak boleh (bagi siapa pun) untuk memprovokasi rakyat melakukan
pemberontakan kepadanya, berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
إإنُنهأ ثسيثأكوُ ن ثعلثقيكم أأ ثمثر ا أء ثتعإر أفوُ ن ثو تقنكأر و ثن
“Sesungguhnya akan ada para umara yang memimpin kalian, kalian mengenal (perbuatan
baiknya) dan mengingkari (perbuatan buruknya).”
Beliau juga mengabarkan bahwa di akhir zaman akan ada para pemimpin yang memberi
petunjuk tidak dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan menetapkan sunnah
tidak dengan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau ditanya, “Apa yang harus
dilakukan menghadapi pemimpin yang seperti ini?” Beliau menjawab ditujukan kepada
semua orang, “Kita hendaknya memohon (hak kita) kepada Allah Subhanahu wata’ala dan
tetap taat (kepada mereka).”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan, bahwa di akhir zaman akan ada para
pemimpin atau umara yang bertindak semenamena— korupsi, kolusi, dan nepotisme—
terhadap dunia dan harta benda serta berbagai kemungkaran yang diingkari, namun beliau
tetap memerintahkan agar kita mendengar dan taat kepada pemimpin itu.
Beliau mengabarkan, kita akan dipimpin oleh umara yang mengakhirakhirkan shalat dari
waktunya, tetapi masih menunaikan shalat. Sebagian sahabat beliau bertanya, “Bolehkah kami
bunuh? Kami penggal dengan pedang?” Beliau menjawab, “Tidak! Selama mereka masih
menunaikan shalat.”
Dalam sebagian riwayat, beliau memerintah para sahabatnya agar bersabar. Bahkan, beliau
memerintah orang yang datang bersama mereka (umara) agar menunaikan shalat pada
waktunya, dan jika kebetulan mereka sedang menunaikan shalat, hendaknya shalat
bersamanya.
Semua itu, sebagai bentuk penjagaan terhadap kewibawaan pemerintah, menjaga persatuan
kaum muslimin, mengatur urusan-urusannya, dan menguatkan barisannya. Sebab,
kewibawaan Islam tidak akan tegak kecuali dengan adanya kewibawaan pemerintah dalam
setiap jiwa. Kewibawaan itu tidak dapat dicapai kecuali dengan penghormatan terhadap
mereka yang tertanam dalam setiap dada manusia, mengajak semua pihak untuk memuliakan
mereka, taat dan mendengar, serta tidak merendahkannya. Kemaslahatan seluruh rakyat dalam
urusan agama dan dunianya tidak akan terwujud kecuali dengan kewibawaan pemerintah dan
kehormatannya yang ada dalam diri setiap orang.
Terkait dengan pemerintah yang kafir, asy-Syaikh Dr. Muhammad bin Hadi hafizhahullah
menjelaskan, “Adapun pemerintah yang kafir—jika benar-benar kafir—, wajib atas kaum
muslimin memberontak kepadanya apabila mereka memiliki kekuatan dan kemampuan
menggulingkannya serta tidak menimbulkan kerusakan. Akan tetapi, kapan pemerintah itu
benar-benar dikafirkan? Ada beberapa poin penting terkait persoalan ini. Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
“Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata, padanya ada hujah dari Allah Subhanahu
wata’ala di sisi kalian.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
1. Perkara yang menjadikan pemerintah itu dapat diberontak adalah perkara yang benar-benar
merupakan kekafiran.
Jadi, hal itu bukan sekadar prasangka atau dugaan dan sebatas isu yang berkembang, tidak
juga semata karena kefasikan, seperti berbuat zalim, minum khamr, taruhan, berjudi, dan
sebagainya.
2. Kekafiran itu adalah kekafiran yang jelas dan terang, tidak samar dan bukan lantaran
adanya syubhat atau takwil (penafsiran sendiri).
Sebab, syubhat dan takwil terkadang muncul dalam diri seseorang, sehingga dia tidak dapat
dikafirkan karenanya dan tidak boleh memberontak kepadanya. Al-Hafizh Ibnu Hajar
rahimahumallah berkata, “Pada intinya, tidak boleh dilakukan pemberontakan selama yang
diperbuatnya mengandung kemungkinan takwil.”(Fathul Bari)
Lihatlah bagaimana al-Imam Ahmad rahimahumallah dipaksa mengatakan bahwa al- Qur’an
adalah makhluk, bukan kalamullah. Perkataan tersebut jelas merupakan kekufuran, bukan dari
Islam. Perkataan itu adalah kekafiran menurut kesepakatan ulama. Pemerintahan bani Abbas
pada saat itu, seperti Khalifah al-Ma’mun, al- Mu’tashim, dan al-Watsiq, menjatuhkan
hukuman kepada siapa saja yang tidak mau menyatakan hal ini.
Para ulama mengatakan, siapa yang mengatakan al-Qur’an makhluk, maka dia kafir. Meski
demikian, al-Imam Ahmad rahimahumallah tetap mendoakan pemerintahnya. Beliau berkata,
“Seandainya aku memiliki doa yang mustajab, tentu aku jadikan doa ini untuk kebaikan
pemerintah.”
Para fuqaha Baghdad pernah berkumpul di hadapan al-Imam Ahmad. Mereka duduk dan
meminta pandangannya serta berdiskusi dengannya soal pemberontakan. Mereka
menyampaikan bahwa masalah perkataan al-Qur’an adalah makhluk sudah menyebar; para
ulama diuji dengannya; dan keadaan menjadi tidak menentu, hingga tahap mereka tidak bisa
terus bersabar. Mereka berkata, “Tidak ada gunanya lagi sikap taat dan mendengar kepada
pemerintah semacam ini.”
Dalam peristiwa ini, beliau sendiri dihukum lantaran tidak mengatakan al- Qur’an makhluk.
Beliau dipukul, didera, dan dicambuk dengan cemeti hingga pingsan beberapa kali. Meski
demikian, kezaliman pemerintah tidak lantas mendorong beliau untuk mengatakan sesuatu di
luar perintah Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Inilah kepatuhan yang sempurna
terhadap sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
3. (Apabila kekafirannya sudah nyata dan jelas), hendaknya kaum muslimin memiliki
kekuatan dan kemampuan untuk menggulingkannya tanpa menimbulkan mudarat yang lebih
besar.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahumallah berkata, “Apabila pemerintah jatuh kepada kekafiran
yang jelas, tidak boleh ditaati. Siapa yang mempunyai kemampuan wajib melawannya.”
(Fathul Bari)
Akan tetapi, apabila mereka tidak memiliki kemampuan untuk menggesernya, maka tidak
diperbolehkan bagi mereka untuk menyalakan api permusuhan dengan cara-cara atau tindakan
zalim karena akan menimbulkan mudarat yang akan kembali kepada kaum muslimin sendiri.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menetap di Makkah selama tiga belas tahun setelah diutus.
Tampuk kepemimpinan dan kekuasaan pada waktu itu ada pada orang kafir. Namun, ada di
antara mereka yang masuk Islam dan menjadi sahabat-sahabat beliau. Mereka (Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya) tidak mengkudeta atau menurunkan orang-
orang kafir dari kepemimpinannya. Mereka justru dilarang memerangi orang-orang kafir pada
masa itu.
Mereka tidak diperintah berperang kecuali setelah hijrah dan memiliki negara dan jamaah
(pengikut) yang membuat mereka mampu untuk memerangi orangorang kafir. Inilah manhaj
Islam.
Apabila kaum muslimin berada di bawah pemerintah yang kafir dan mereka tidak memiliki
kemampuan untuk menggulingkannya, kewajiban mereka adalah berpegang teguh dengan
keislaman dan akidah mereka….” (al-Hakim wa Anwa’uhu dan ad-Dur al-Mantsur)
Kajian Utama “Hukum Merendahkan Waliyyul
Amri”
(1356 Views) October 11, 2013 6:21 pm | Published by Redaksi | No comment
Syariat yang lurus telah melarang dari tindakan merendahkan waliyyul amri karena hal itu
akan menyebabkan hilangnya ketaatan yang semestinya diberikan kepada mereka.
Melemahkan kewibawaan waliyyul amri dan sibuk mencelanya, mencari-cari kekurangannya,
adalah satu kesalahan besar dan pelanggaran yang fatal serta pangkal terjadinya kerusakan
agama dan dunia.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Para tokoh dan pembesar dari sahabat-sahabat
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kami dari merendahkan dan mencela umara.”
Barang siapa merendahkan waliyyul amri atau pemerintah, berarti ia melepaskan ikatan Islam
dari lehernya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
طاهن فثثل تأإذيَلوُهأ فثثمقنِّ أثثراثد أثقن يأإذلنهأ فثقثقد ثخلثثع إرقبقثةث قاإلقسثلإما إمنِّ عنأقإإه
إإنُنهأ ثكائإهنِّ بثقعإديِ أسقل ث
“Sesungguhnya akan ada setelahku penguasa, maka janganlah kalian merendahkannya. Siapa
yang hendak merendahkannya, sungguh ia melepas ikatan Islam dari lehernya.” (HR. Ahmad
dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu)
Segala hal yang mengandung unsur penghinaan dan merendahkan waliyyul amri adalah
haram. Yang wajib adalah menghormatinya, karena menghormati waliyyul amri berarti
menghormati Islam dan muslimin. Mereka layak dihormati karena kedudukannya.
Al-Imam al-Barbahari rahimahumallah berkata, “Apabila engkau melihat ada orang yang
mendoakan kebaikan untuk penguasa, ketahuilah dia seorang Ahlus Sunnah, insya Allah.”
Al-Imam Fudhail bin Iyadh rahimahumallah berkata, “Sekiranya aku mempunyai doa (yang
terkabul), aku tidak akan mengarahkannya kecuali untuk penguasa.”
Seseorang bertanya, “Hai Abu Ali (Fudhail), jelaskan maksud kalimat ini kepada kami
semua.”
Al-Imam Fudhail rahimahumallah menjawab, “Jika aku arahkan pada diriku, kebaikannya
tidak akan kembali kecuali kepada diriku. Akan tetapi, jika aku arahkan kepada penguasa,
penguasa itu akan menjadi baik sehingga baiklah keadaan rakyat dan negara.”
Maka dari itu, kita diperintah mendoakan waliyyul amri dengan kebaikan serta dilarang
mencemooh atau memberontaknya walaupun penguasa itu zalim dan jahat. Sebab, kezaliman
dan kejahatannya kembali kepada dirinya sendiri, sedangkan kebaikannya selain kembali
kepada dirinya juga untuk seluruh muslimin.” (Syarhu Sunnah) Di dalam kitab I’tiqad Ahlus
Sunnah,al-Imam al-Isma’ili rahimahumallah mengemukakan bahwa mereka, Ahlus Sunnah,
memandang harusnya mendoakan kebaikan bagi penguasa dan mendorongnya berbuat adil.
Ahlus Sunnah tidak memandang bolehnya memberontak dengan pedang/ senjata.
Asy-Syaikh al-Allamah Shalih al- Fauzan menambahkan catatan penting atas apa yang telah
dikemukakan al-Imam ath-Thahawi rahimahumallah di atas.
Beliau berkata, “Kami, Ahlus Sunnah, senantiasa berdoa kepada Allah Subhanahu wata’ala
agar Allah Subhanahu wata’ala mengembalikan waliyyul amri kepada kebenaran dan
meluruskan kesalahan yang ada pada mereka. Kami mendoakan kebaikan untuk mereka.
Sebab, kebaikannya adalah kebaikan untuk kaum muslimin dan petunjuknya adalah petunjuk
bagi kaum muslimin. Kemanfaatan yang ditimbulkannya pun akan meluas dan dirasakan oleh
semua pihak. Ketika Anda berdoa kebaikan untuk mereka, secara otomatis berdoa untuk
kebaikan kaum muslimin.” (Ta’liq ala ath-Thahawiyyah)
Samahatul Allamah Ibnu Baz rahimahumallah berkata, “Sebagai bentuk tuntutan dari bai’at
(janji setia) adalah menyampaikan nasihat kepada waliyyul amri. Salah satu bentuk nasihat itu
ialah mendoakan waliyyul amri agar mendapatkan taufik, hidayah, dan kebaikan dalam hal
niat dan amal, serta diberi pendamping yang baik.” (ad-Dur al-Mantsur)
Al – Imam Ibnul Jauzi rahimahumallah menyebutkan dalam kitab Adab al- Hasan al-Bashri,
al-Hasan Basri rahimahumallah mendengar seseorang membicarakan kejelekan pemerintah
lantas mengajak melakukan pemberontakan kepada al- Hajjaj (seorang penguasa yang zalim).
Al-Imam al-Hasan Bashri rahimahumallah berkata, “Jangan engkau lakukan itu, semoga
Allah Subhanahu wata’ala merahmatimu. Sesungguhnya kalian diberi pemimpin itu dari
kalangan kalian sendiri. Kami khawatir, jika al-Hajjaj lepas dari kursi kepemimpinannya atau
mati, yang menggantikannya justru dari bangsa kera dan babi (Yahudi dan Nasrani).”
Al-Allamah al-Fauzan hafizhahullah menegaskan, “Tidak boleh menjelekjelekkan atau
menggunjing waliyyul amri. Sebab, hal ini berarti pemberontakan secara maknawi layaknya
pemberontakan menggunakan pedang. Yang wajib adalah mendoakannya agar mendapatkan
kebaikan dan petunjuk.”
Inilah ajaran Ahlus Sunnah wal Jamaah. Apabila Anda mendapati ada orang yang menjelek-
jelekkan dan menggunjing waliyyul amri, ketahuilah bahwa orang itu sesat akidahnya dan
tidak berada di atas manhaj salaf. Sebagian orang menganggap membicarakan kejelekan dan
memberontak kepada waliyyul amri adalah bentuk kecemburuan dan benci karena Allah
Subhanahu wata’ala. Akan tetapi, hal itu sebenarnya adalah kecemburuan dan kebencian yang
tidak pada tempatnya. Sebab, jika pemberontakan itu berhasil menggulingkan waliyyul amri,
terjadilah berbagai kerusakan.” (Ta’liq ala ath- Thahawiyyah) Wallahu a’lam.
Tanya Jawab Ringkas
(8580 Views) October 11, 2013 6:20 pm | Published by Redaksi | 1 Comment
Pada rubrik Tanya Jawab Ringkas edisi ini, kami muat beberapa jawaban dari al-
Siapakah yang lebih berhak menjadi wali bagi wanita yang ayahnya telah meninggal, kakak
atau paman? 0857XXXXXXXX
Pembatal Wudhu
Apakah memegang kemaluan anak kita yang masih berumur dua tahun membatalkan wudhu
0878XXXXXXXX
Apakah boleh memotong kuku dan rambut saat waktu haid? 0852XXXXXXXX
Boleh potong rambut dan kuku saat haid, tidak ada larangannya.
Menyimpan foto makhluk bernyawa dalam HP atau komputer tanpa hajat hukumnya haram.
Bibi saya sudah tua dan hanya di tempat tidur saja. Apa nasihat bagi beliau? Adakah zikir
yang mudah dihafal bagi beliau? 08523XXXXXXX
Nasihati agar shalat sesuai dengan kemampuannya dengan cara berbaring. Sebab, orang yang
meninggalkan shalat sama sekali adalah kafir menurut salah satu pendapat ulama, dan
pendapat itu kuat.
Daging Akikah
Apakah daging akikah harus habis pada waktu itu juga? 0856XXXXXXXX
Tidak harus habis hari itu juga. Boleh disimpan sesuai hajat, seperti halnya daging kurban.
Apabila seorang istri meminta khulu’ kepada suami, apakah suami masih memiliki kewajiban
memberi nafkah kepada anak-anak yang masih kecil? 0888XXXXXXX
Ya, wajib bagi suami memberi nafkah anak-anaknya yang masih kecil dari istri yang dikhulu’.
Apakah ada perintah melaksanakan puasa pada awal bulan Rajab? 081973XXXXXX
Tidak ada anjuran khusus untuk puasa Rajab. Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahumallah
menegaskan dalam kitab Tabyin al-‘Ajab bi Ma Warada fi Fadhli Rajab bahwa tidak ada
hadits sahih yang bisa dijadikan hujah mengenai keutamaan bulan Rajab dan keutamaan
puasa Rajab serta ibadah lainnya di bulan itu. Abu Dawud rahimahumallah meriwayatkan dari
Sa’id bin Jubair rahimahumallah yang bertanya kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu
tentang puasa Rajab.
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu memberi jawaban yang bersifat umum, karena tidak ada
sunnah Rasul secara khusus untuk puasa Rajab. Urusan puasa di bulan Rajab sama seperti di
bulan-bulan lainnya yang tidak memiliki keutamaan khusus. Akan tetapi, ada sunnah puasa
tiga hari setiap bulan dan puasa Senin-Kamis. Kecuali bulan tertentu yang dianjurkan
berpuasa padanya, seperti Muharam dan Sya’ban.
Bagaimana solusinya jika seorang akhwat yang diharuskan membuat KTP, sedangkan
petugasnya ada yang laki-laki? 0877XXXXXXX
Cari waktu saat kantor sepi dan minta pengertian agar yang menangani adalah petugas wanita
disertai akhwat lain yang menutupi arah pandangan petugas lelaki dengan kain.
Makan ular adalah perbuatan haram, karena ular termasuk binatang yang haram dimakan,
karena diperintahkan dibunuh dan merupakan predator.
Jika mayat yang organ tubuhnya hancur, apakah perlu dicuci/dimandikan? 085228XXXXXX
Cukup ditayammumkan.
Bolehkah menguburkan jenazah tanpa menyentuh tanah? Jenazah yang dimasukkan peti
kebanyakan dikuburkan tanpa dikeluarkan jenazahnya. 0858XXXXXXXX
Penguburan dengan peti hukumnya makruh dan tasyabuh dengan orang kafir, kecuali dalam
keadaan darurat.
Kalau anak sudah diakikahi, tetapi nama anak tersebut diganti/ditambah namanya, apakah
anak tersebut harus diulang lagi akikahnya? 08572XXXXXXX
Bolehkah memberi mahar hafalan al-Qur’an sedangkan pengantin perempuan sudah hafal al-
Qur’an? 08573XXXXXXX
Mahar mengajarkan surat tertentu dari al-Qur’an, artinya harga pengajaran yang menguras
pikiran, tenaga, dan waktu untuk mengajari sang istri sampai hafal surat itu menjadi nilai
berharga yang bisa dijadikan mahar. Jadi, bukan sekadar membacakan al-Qur’an kepadanya
dan itu dianggap mahar.
Membaca al-Qur’an adalah ibadah, tidak boleh mengambil harga atasnya. Berbeda halnya
dengan mengajari al- Qur’an hingga bisa. Hal itu mempunyai nilai yang boleh dihargai dan
dijadikan sebagi mahar. Jadi, kalau calon istri sudah hafal al-Qur’an, tidak butuh diajari lagi.
Beri mahar yang lain.
Seorang istri mengajukan khulu’. Proses pengadilan belum selesai, istri sudah tidak tinggal
serumah dengan suami. Bagaimana status istri? Berapa masa iddahnya dan terhitung mulai
kapan?
Jika suami sudah mengabulkan khulu’-nya dan melepasnya dengan pembayaran tebusan yang
disepakati atau hakim telah menjatuhkan putusan, berarti sudah bukan istrinya lagi. Masalah
surat-surat hanya kelengkapan saja. Tidak ada hak lagi untuk tinggal di rumah suaminya.
Masa iddahnya hanya sekali haid, karena khulu’ adalah fasakh.
Namun, jika terjadi persengketaan yang belum diputuskan oleh hakim, berarti masih suami
istri. Dia (istri) tidak boleh meninggalkan rumah tanpa izin suami. Hak asuh anak yang masih
kecil (belum mumayyiz) pada asalnya diutamakan ibu selama belum menikah dengan lelaki
lain.
Bagaimana seharusnya jika gigi palsu permanen dan pen (alat penopang tulang yang dipasang
di dalam tubuh) masih terpasang pada jenazah muslim? 08157XXXXXX
Bagaimana jika shalat tahiyatul masjid dikerjakan pada waktu terlarang seperti menjelang
azan shalat zuhur dan magrib? 08218XXXXXXX
Shalat tahiyatul masjid dan shalat sunnah yang ada sebabnya tetap dilaksanakan meskipun
pada waktuwaktu terlarang, menurut pendapat yang rajih.
Seorang wanita mengalami pendarahan karena keguguran dengan usia janin sekitar dua bulan.
Ketika dia sedang shalat, ada darah keluar. Apakah sah shalatnya? 08529XXXXXXX
Pendarahan karena keguguran usia janin dua bulan bukan nifas, menurut pendapat yang
difatwakan oleh al- Lajnah ad-Da’imah dan Ibnu ‘Utsaimin. Hukumnya adalah darah fasad
seperti hukum darah istihadah.
Zakat Sawit
Tidak boleh bersumpah semacam itu. Bersumpah yang syar’i adalah bersumpah dengan
bersandar pada salah satu nama atau sifat Allah, seperti Demi Allah, Demi Rabbku, Demi
Rabb Penguasa Alam Semesta, Demi Dzat yang Jiwaku di Tangan-Nya, atau semisalnya.
Bolehkah seseorang mendonorkan salah satu organ tubuhnya untuk membantu orang lain, dan
proses pengambilan organ dilakukan pada saat pendonor sudah meninggal?
0838XXXXXXXX
Bolehkah membeli barang dengan dua harga (secara kredit dan kontan)? 08521XXXXXXX
Seseorang boleh membelinya secara kredit dengan syarat kreditnya tidak mengandung riba,
yaitu denda apabila menunggak. Hal itu bukan dua harga yang terlarang, karena bersifat
pilihan sebelum akad. Saat akad hanya satu harga yang disepakati.
Perbudakan
Apabila seorang budak memiliki anak dengan tuannya, apakah anak tersebut menjadi anak
tuannya atau anak budaknya dan apakah punya hak waris? 03418XXXXXX
Budak wanita yang digauli oleh tuannya dan memiliki anak, anak itu berstatus merdeka
(bukan budak) sebagai anak tuannya dengan budak wanitanya. Berarti, anak itu mewarisi dari
ayahnya tersebut dan sebaliknya. Namun, pada masa kita sekarang ini tidak ada perbudakan
yang syar’i.
Berpuasa ulang tahun adalah bid’ah. Tidak ada dalil untuk berpuasa khusus di hari ulang
tahun. Istilah ulang tahun sendiri dan perayaannya adalah tasyabbuh (meniru-niru) kebiasaan
khas orang kafir yang tercela.
Saya mempunyai empat ekor sapi. Apabila 1 atau 2 ekor di antaranya dijual, apakah wajib
dikeluarkan zakat mal? 08218XXXXXXX
Tidak, kecuali jika uang hasil penjualan sapi itu mencapai nisab zakat uang senilai harga 595
gram perak dan tersimpan selama setahun (hitungan tahun hijriah) tanpa berkurang dari
nishab tersebut, wajib dikeluarkan zakatnya 2,5%.
Tidak boleh demi mengingkari kemungkaran peringatan kematian yang merupakan bid’ah.
Boleh, kecuali jika bangkainya berefek pada dagingnya berupa warna, bau, atau rasa.
Apakah kita boleh berpuasa setiap hari tanpa ada alasan, maksudnya tidak membayar hutang
puasa atau mengerjakan puasa sunah? 08535XXXXXXX
Jangan menerima hadiah dari bank. Sebab, hadiahnya mengandung unsur bujukan untuk
bermuamalah dengan bank seperti menabung yang mengandung riba. Lagi pula, hadiah itu
bersumber dari riba yang tidak pantas diterima oleh orang yang bersifat wara’.
Mencium jenazah yang sudah dimandikan diperbolehkan. Ada fatwa al-Lajnah ad-Daimah
dalam masalah ini.
Bagaimana hukumnya menikahi wanita yang sedang mengandung anak hasil perbuatan zina
oleh pria tersebut? 081330XXXXXX
Hukumnya haram dan tidak sah. Secara lengkap bersama dalilnya dapat dilihat pada rubrik
Problema Anda “Status Anak Zina” edisi 39.
Apa boleh orang yang sedang safar (tidak dalam perjalanan) dan tidak tahu kapan dia kembali
ke tempat asal menjamak-qashar shalat lima waktunya? 081336XXXXXX
Jika Anda musafir dalam perjalanan tanpa ada kepastian kapan pulang, boleh jamak-qashar
sampai pulang. Namun, jika Anda telah turun menginap di suatu pemukiman kaum muslimin,
wajib ikut shalat berjamaah di masjid setiap waktu shalat tanpa jamak dan qashar.
Kecuali jika ada teman musafir lainnya, boleh jamak qashar bersama. Afdalnya, shalat
berjamaah di masjid dengan kaum muslimin.
Apabila seorang suami telah menjatuhkan talak dua, apakah masih bisa rujuk dengan cara
akad lagi? 082269XXXXXX
Jika suami telah menjatuhkan talak dua, boleh rujuk dalam masa ‘iddah dengan ucapan rujuk
(kembali) atau jima’ yang diniatkan rujuk. Jika masa ‘iddah telah habis, boleh menikah
kembali dengan akad baru.
Apakah ada larangan waktu nikah secara syar’i? Misal: calon pengantin wanita yang masih
haid, larangan nikah saat tanggal di atas 14 pada bulanbulan Hijriah. 085340XXXXXX
1. Boleh akad nikah meskipun pengantin wanita haid, tetapi sebaiknya ditunda sampai suci
untuk maslahat malam pertama.
2. Tidak ada larangan menikah pada tanggal 1—14 Hijriah dan tanggal lainnya. Jika
kebiasaan tersebut karena menganggap pernikahan pada tanggal tersebut adalah faktor
kesialan rumah tangga, hal itu tergolong thiyarah; yaitu meninggalkan sesuatu khawatir
bernasib sial karena bersandar kepada suatu faktor yang hakikatnya tidak demikian. Ini
merupakan syirik kecil.
Hukum Nazar
Satpam Bank
Haram, karena termasuk kerjasama dalam perkara yang haram, yaitu kestabilan dan
kemakmuran perbankan yang muamalahnya riba yang terlaknat.
Apabila shalat sendirian di rumah karena terlambat tidak ikut berjamaah di masjid pada shalat
magrib, isya’, atau shubuh, bagaimana bacaannya (al-Fatihah dan surat pendek) pada rakaat 1
dan 2? 081917XXXXXX
Dijahrkan (dikeraskan).
Bolehkah kita berpuasa berturutturut selama tiga minggu untuk menurunkan berat badan?
087829XXXXXX
Puasa adalah ibadah. Ibadah harus sesuai dengan dalil dalam 6 hal: jenis ibadah, sebabnya,
kadarnya, sifatnya, waktunya, dan tempatnya. Tidak ada dalil yang menganjurkan puasa tiga
minggu berturut-turut agar berat badan turun. Namun, berpuasalah dengan puasa sunnah yang
diajarkan Nabi n. Bersama dengan itu, Anda akan merasakan manfaat yang banyak termasuk
dalam hal kesehatan, insya Allah.
Tidak mengapa jika ada kebutuhan yang menuntut hal itu, misalnya karena fisiknya sakit dan
lemah yang akan bertambah parah jika hamil. Adapun jika karena khawatir tidak bisa
memberi nafkah, hal itu tidak boleh.
Hukuman Pelaku Zina
Apa hukuman yang diterima kedua orang yang berzina pada masa mudanya dan sekarang
telah menikah? 082330XXXXXX
Cukup bagi keduanya bertobat dengan benar dan merahasiakan aibnya di antara mereka
berdua. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Penerima tobat.
Apakah harta hasil dari korupsi/ mencuri juga wajib dizakati bila telah mencapai nishab dan
haulnya? +62XXXXXXXXX
Harta hasil curian/korupsi tidak terkena zakat, karena harta itu bukan milik
koruptor/pencurinya. Kewajibannya adalah mengembalikan harta itu kepada pemiliknya yang
berhak.
“Ya Allah, Berkahi kami di bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikanlah kami ke dalam bulan
Ramadhan.” Apakah hadits tersebut sahih? 0896XXXXXX
Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Bakr al-Bazzar dalam Musnad-nya dengan kelemahan yang
keras sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Tabyin al-‘Ajab bi
Ma Warada fi Syahri Rajab. Dikeluarkan pula oleh al-Baihaqi dan Ibnu ‘Asakir, dinyatakan
dha’if (lemah) oleh al-Albani dalam kitab Dha’if al-Jami’ no. 4395. Alhasil, tidak ada hadits
yang tsabit (benar) dalam hal keutaman bulan Rajab dan keutamaan ibadah secara umum di
bulan Rajab, termasuk shalat dan puasa.
Dijamak boleh, tetapi diqashar tidak boleh. Karena qashar hanya untuk musafir.
Istri Nusyuz
Seorang istri berbuat nusyuz dan lari ke rumah orang tuanya dengan dalih istri ingin bekerja
di luar rumah untuk membantu orang tuanya. Suami sudah melarangnya dengan hikmah dan
istri tetap nekat. Apa yang harus suami lakukan? Apa suami mempunyai kewajiban untuk
menafkahi dan membayarkan zakat fitrah istri dan anaknya? 085272XXXXXX
Nasihati dengan cara memutuskan nafkahnya dan tidak membayarkan zakat fitrahnya.
Adapun anak yang dibawanya, suami tetap berkewajiban memberi nafkah dan membayarkan
zakat fitrahnya (jika berpendapat bahwa zakat fitrah adalah kewajiban orang yang
menanggung nafkah). Jika perlu, ancam akan dicerai jika tidak berhenti dari nusyuznya. Jika
tidak ada hasilnya, tidak mengapa diceraikan untuk maslahat suami.
Bagaimana jika seorang wanita mempunyai utang puasa hampir satu bulan penuh di bulan
Ramadhan karena melahirkan? Kapan batas waktu mengqadhanya? 08572XXXXXX
Tidak boleh menunda qadha puasa hingga Ramadhan berikutnya tanpa uzur. Jika hal itu
terjadi karena uzur, tidak berdosa. Jika terjadi tanpa uzur, berdosa. Pada kedua keadaan
tersebut tetap wajib mengqadha setelah Ramadhan itu berlalu sampai selesai.
Seorang siswa bernazar kalau lulus sekolah, dia akan membaca al-Qur’an 30 juz dalam satu
malam, kemudian dia mngatakan tidak sanggup, apa yang harus dia lakukan?
087898XXXXXX
1. Menyangka bahwa nazar ketaatan dapat menjadi faktor tercapainya suatu keinginan,
padahal tidak demikian. Nabi telah melarang untuk bernazar dan menegaskan bahwa nazar
tidak punya pengaruh secara hukum takdir Allah Subhanahu wata’ala untuk tercapainya suatu
keinginan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri dan sahabat tidak pernah bernazar.
2. Bernazar akan membaca al- Qur’an (30 juz) semalam suntuk, padahal Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam telah melarang ‘Abdullah bin ‘Amr melakukan hal itu. Padahal Ibnu ‘Amr
mampu melakukannya (HR. al- Bukhari).
Jadi siswa itu telah bernazar dengan nazar yang tidak dianjurkan dalam syariat, apalagi Anda
tidak mampu. Alhasil hendaklah Anda membayar kafarat nazar (sumpah), yaitu memberi
makan yang layak kepada 10 orang fakir miskin atau pakaian. Jika tidak mampu, berpuasalah
3 hari berturut-turut.
Harus ada walinya. Wali yang paling berhak adalah ayah, kemudian saudara lelaki sekandung,
dst. Tidak boleh dinikahkan oleh siapa saja dalam arti meskipun bukan wali.
Cairan Keputihan
Jika keputihan membatalkan wudhu, apakah kita harus mengganti celana yang terkena cairan
keputihan itu dulu sebelum wudhu lagi? 085743XXXXXX
Masalah mengganti celana tergantung najis tidaknya keputihan. Keputihan diperselisihkan
kenajisannya. Yang menyatakan suci berdalil dengan hukum asal sesuatu suci selama tidak
ada dalil yang menyatakan najis. Apalagi jika keputihan keluarnya dari rahim, semakin jauh
untuk diqiyaskan dengan air kencing.
Bagaimana kita mengetahui bahwa seorang suami sudah menjatuhkan talak 1, 2, atau 3
kepada istrinya? 08526XXXXXXX
Jika dia mengucapkan talak kepada istrinya pertama kali, berarti jatuh talak satu. Lalu dia
rujuk pada masa ‘iddah atau menikahinya kembali (dengan akad nikah yang baru). Setelah
masa ‘iddah habis, kemudian mengucapkan talak lagi, berarti jatuh talak dua. Kemudian dia
rujuk di masa ‘iddah atau menikahinya kembali setelah masa ‘iddah habis, lalu mengucapkan
talak lagi, berarti jatuh talak tiga. Dengan itu, keduanya bukan lagi suami-istri, tidak boleh
rujuk dan menikahinya kembali, kecuali sudah dinikahi lelaki lain dan digauli olehnya
kemudian berpisah dengannya, setelah itu bisa menikahinya kembali. Lihat Asy Syari’ah edisi
72 “Halal Haram Perceraian”.
Apakah sah talak yang dilakukan oleh laki-laki yang depresi/stress dan menyakiti dirinya
sendiri? 081520XXXXXX
Talak orang stress/depresi tidak jatuh, karena kesadarannya hilang. Hukumnya seperti orang
yang terkena was-was setan yang bertindak dan berucap di luar kesadaran.
Boleh.
Bila ada seorang istri mengaku telah berzina kepada suami. Kemudian suami menjatuhkan
talak lewat handphone, apakah sah talaknya? 081311XXXXXX
Jika dipastikan bahwa itu benar suaminya (bukan orang yang mengaku), talak itu sah.
Wallahu a’lam.
Tafsir “Waliyyul Amr, Rujukan Umat “
(1482 Views) October 11, 2013 6:20 pm | Published by Redaksi | No comment
ف أثثذاأعوُا بإإه ۖ ثولثقوُ ثريَدوهأ إإثلىَ النرأسوُإل ثوإإثلىَٰ أأوإليِ اقلثقمإر إمقنهأقم
ثوإإثذا ثجاثءهأقم أثقمهر ممثنِّ اقلثقمإنِّ أثإو اقلثخقوُ إ
طاثن إإنل قثإليبلاإ ثعلثقيأكقم ثوثرقحثمتأهأ ثلتنبثقعتأأم النشقي ثضأل ن لثثعلإثمهأ النإذيثنِّ يثقسثتنبإ أ
طوُنُثهأ إمقنهأقم ۗ ثولثقوُثل فث ق
“Apabila datang kepada mereka suatu berita tentang kemenangan atau ketakutan, mereka
menyiarkannya. Kalau saja mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara
mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat
mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri). Kalau bukan karena karunia dan rahmat
Allah kepada kalian, tentu kalian mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara
kalian).” (an-Nisa: 83)
Ibnul Jauzi rahimahumallah dalam Zadul Masir menyebutkan bahwa ada dua pendapat
tentang sebab turunnya ayat ini.
1. Berdasarkan riwayat yang hanya dikeluarkan oleh al-Imam Muslim rahimahumallah dari
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, dari Umar radhiyallahu ‘anhu. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam mengasingkan diri dari istri-istri beliau, Umar masuk ke dalam masjid dan
mendengar manusia mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menceraikan
istriistrinya. Lalu beliau menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam seraya bertanya,
“Apakah Anda telah menceraikan istri-istri Anda?” Nabi menjawab, “Tidak.” Umar pun
keluar sambil menyeru, “Ketahuilah, Rasulullah tidak menceraikan istri-istrinya.” Lalu
turunlah ayat ini.
2. Berdasarkan riwayat yang dikeluarkan oleh Abu Shalih dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus sariyyah (pasukan khusus yang jumlahnya
4 sampai 400 orang). Kemudian terdengar berita bahwa mereka menang atau kalah. Akhirnya
orang-orang membicarakan dan menyebarluaskan berita tersebut. Mereka tidak bersabar
hingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyampaikan berita itu, kemudian turunlah
ayat ini.
Mufradat Ayat
ثوإإثذا ثجاثءهأقم
Mereka yang dimaksud oleh ayat ini adalah orang-orang munafik, menurut penafsiran Ibnu
Abbas c dan jumhur ulama.
ِّاقلثقمإن
“Kemenangan.”
Terdapat beberapa penafsiran di kalangan ulama ahli tafsir tentang maknanya . Mayoritas
mereka memaknainya dengan kemenangan dan harta rampasan perang yang diperoleh
pasukan (sariyyah).
اقلثخقوُ إ
ف
“Ketakutan.”
Mayoritas ulama ahli tafsir memaknainya sebagai musibah atau bencana (kekalahan) yang
menimpa pasukan muslimin.
أثثذاأعوُا بإإه
Menurut Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, mereka seperti Abu Bakr, Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali .
Al-Hasan al-Bashri, Qatadah, dan Ibnu Juraij rahimahumullah berpendapat bahwa mereka
adalah para ulama.
Adapun menurut Ibnu Zaid dan Muqatil, mereka adalah para pemimpin pasukan. Asy-
Syaukani rahimahumallah mengatakan bahwa mereka adalah para ulama dan orang-orang
yang memiliki akal yang kokoh—yang kepada merekalah urusan kaum muslimin
dikembalikan (ditanyakan)—atau para penguasa.
يثقسثتنبإ أ
طوُنُثهأ إمقنهأقم
Kata istinbath berasal dari kata istikhraj (mengeluarkan). Az-Zajjaj mengatakan, istinbath
berasal dari kata الننقبطأ, yaitu air yang pertama kali keluar dari sumbernya ketika sumur digali.
ضأل ن
اإ فث ق
“Karunia Allah.”
Ada yang memaknainya sebagai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Islam, al-Qur’an,
atau ulil amri.
ثوثرقحثمتأهأ
“Dan rahmat-Nya.”
Makna Ayat
Sebagian ulama tafsir memaknainya, “Kalau bukan karena karunia Allah l kepada kalian,
yaitu diutusnya Rasul dan diturunkannya kitab (al-Qur’an), tentulah kalian mengikuti setan
dan tetap berada di atas kekufuran, kecuali sebagian kecil saja.”
Ada pula yang memaknainya, “Mereka lalu menyiarkannya kecuali sebagian kecil saja.” Ada
pula yang memaknainya, “Tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan
dapat mengetahuinya, kecuali sebagian kecil saja.”
Tafsir Ayat
“Seorang dianggap telah berdusta apabila memberitakan seluruh perkara yang ia dengar.”
Riwayat ini juga dikeluarkan oleh Abu Dawud rahimahumallah dalam “Kitabul Adab”, dari
jalan Muhammad bin Husain bin Asykab, dari Ali bin Hafsh, dari Syu’bah secara musnad
(sanadnya sampai kepada Nabi n). Selain itu, dikeluarkan pula oleh al-Imam Muslim
rahimahumallah dan Abu Dawud rahimahumallah dari jalan yang lain secara mursal
(sanadnya tidak sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam).
Dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, disebutkan riwayat dari al-Mughirah bin
Syu’bah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang qila wa
qala (katanya dan katanya), yaitu suka menyiarkan apa yang dikatakan orang lain tanpa
memastikan, mencermati, dan mencari kejelasan terlebih dahulu tentang ucapan orang lain
tersebut.
Asy – Syaikh as – Sa ’di rahimahumallah mengatakan, ini adalah pengajaran dari Allah
Subhanahu wata’ala kepada para hamba-Nya terhadap tindakan mereka yang tidak patut
dilakukan. Seharusnya, ketika suatu perkara (berita)—yang penting; atau menyangkut
kemaslahatan bersama terkait dengan kemenangan dan kegembiraan orang-orang mukmin;
atau ketakutan, seperti musibah yang menimpa—sampai kepada mereka, hendaknya mereka
pastikan terlebih dahulu dan tidak tergesagesa menyiarkannya. (Yang sepantasnya mereka
lakukan ialah) mengembalikannya kepada Rasul n atau ulil amri di antara mereka, yaitu para
pemikir, ahli ilmu, penasihat, orang yang memahami permasalahan, bagus pendapatnya, yang
mengetahui urusan(dengan baik), mana yang membawa maslahat dan mana yang tidak. Jika
mereka pandang menyiarkan berita mengandung kemaslahatan bagi kaum muslimin,
menambah semangat dan menyenangkan mereka, serta terjaga dari musuh, mereka akan
menyebarkannya.
Jika mereka pandang tidak ada maslahat, atau ada maslahat namun kemadaratan yang terjadi
lebih besar, mereka tidak menyiarkannya. Ayat di atas menjadi pedoman yang mendidik, yaitu
apabila terjadi penelitian tentang suatu masalah, hendaknya diserahkan kepada ahlinya dan
kita tidak mendahului mereka. Hal ini lebih mendekatkan kita kepada kebenaran dan lebih
patut bagi kita agar selamat dari kesalahan.
Ayat di atas juga mengandung larangan seseorang terburu-buru menyiarkan sebuah berita saat
pertama kali mendengarnya. Dia diperintahkan untuk memikirkan dan memandang terlebih
dahulu sebelum menyampaikannya, apakah hal itu membawa maslahat sehingga disampaikan
atau tidak ada manfaat sehingga tidak boleh disebarkan.
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Takhrij Hadits
Hadits dengan lafadz di atas diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad rahimahumallah dalam al-
Musnad (6/295), melalui jalan Yazid dari Hisyam bin Hassan dari al-Hasan dari Dhabbah bin
Mihshan dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha. Sanad hadits ini sahih, semua perawinya
termasuk perawi al-Bukhari dan Muslim kecuali Dhabbah bin Mihshan, dia perawi Muslim.
Hadits diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah rahimahumallah dalam al-Mushannaf
(15/71), at-Tirmidzi rahimahumallah no. 2265, Abu Ya’la al-Mushili rahimahumallah no.
6980, dan Abu ‘Awanah melalui jalan Yazid bin Harun. At-Tirmidzi rahimahumallah berkata,
“Hadits ini hasan sahih.” Hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha ini diriwayatkan pula
oleh al-Imam Muslim dalam Shahih-nya 3/1481, Abu Dawud no. 4760, Abu ‘Awanah (4/471,
473), ath-Thabarani dalam al-Kabir No.95/VIII/1434 H/2013 43 (23/761, 762), al-Baihaqi
dalam as- Sunan al-Kubra (3/367) dan (8/158), serta al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah no.
2459, semua melalui jalan Hisyam bin Hassan.
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhua adalah Ummul Mukminin, Ibunda Kaum Mukminin,
Hindun binti Abu Umayyah, Hudzaifah bin al-Mughirah al-Qurasyiah al- Makhzumiyyah.
Kuniah beliau ialah Ummu Salamah, lebih masyhur dari namanya, Hindun. Beliau termasuk
shahabiyah yang masuk Islam di awal-awal dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
hijrah bersama suaminya Abu Salamah ke Habasyah sebagaimana keduanya juga hijrah ke
Madinah. Abu Salamah, suami pertamanya adalah putra dari bibi Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam, sekaligus saudara sesusuan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Abu
Salamah meninggal dalam PerangUhud pada 3 H. Selesai masa ‘iddah, pada 4 H, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Beliau wafat di kota Madinah tahun 62 H. Ummu
Salamah adalah istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang terakhir meninggal, semoga
Allah Subhanahu wata’ala meridhainya.
Makna Hadits
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan sebuah perkara gaib dari Allah
Subhanahu wata’ala terkait dengan apa yang akan menimpa kaum muslimin. Kemudian
terbukti apa yang beliau kabarkan. Muncul umara (penguasa/ pemimpin) kaum muslimin
yang melakukan kemungkaran dan kezaliman, di samping ada kebaikan-kebaikan pada diri
mereka. Menaati penguasa kaum muslimin dalam perkara yang ma’ruf termasuk salah satu
prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah, sebagaimana hal ini ditunjukkan oleh dalil-dalil al-Kitab
dan as-Sunnah. Kita tentu berharap, yang menjadi pemimpin dan penguasa kaum muslimin
adalah seorang yang adil dan istiqamah di atas Islam, sebagaimana umat ini pernah
merasakannya, seperti al-Khulafa ar-Rasyidin: Abu Bakr ash-Shiddiq, Umar bin al-Khaththab,
Utsman bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib, demikian pula Mu’awiyah bin Abi Sufyan , di
masa tabi’in, seperti Umar bin Abdul Aziz rahimahumallah, sebagaimana umat ini akan
dipimpin oleh seorang yang adil di akhir zaman, yakni Imam Mahdi.
Akan tetapi, jika yang menjadi penguasa negeri kaum muslimin adalah pelaku berbagai
kemungkaran (ahlul maksiat) dan sering berbuat zalim, masihkah mereka dianggap sebagai
penguasa muslimin yang sah? Apakah tetap wajib bagi kita menaati mereka dalam hal-hal
yang ma’ruf? Hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha menjadi jawaban atas dua
pertanyaan ini. Mereka masih sebagai pemimpin kaum muslimin. Mereka masih memiliki hak
untuk ditaati dalam perkara yang ma’ruf. Perhatikan hadits Ummu Salamah radhiyallahu
‘anha di atas. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing umat untuk tetap taat dan
tidak memerangi pemimpin selama mereka masih menegakkan shalat, selama mereka masih
muslim walaupun melakukan berbagai kemungkaran yang kita ingkari. As-Sindi
rahimahumallah menjelaskan beberapa lafadz hadits Ummu Salamah. Sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam ( “ ) تثقعإرأفوُثن ثوتأقنإكأرونkalian mengetahui dan kalian mengingkari,”
maknanya (akan ada penguasa-penguasa) yang kalian mengenal beberapa perbuatan baik
mereka dan mengingkari sebagian perbuatan buruk mereka (menyelisihi syariat).”
(Maksudnya, ada kebaikan pada penguasa kalian sebagaimana halnya ada keburukan pada
mereka, -pen.). Sabda beliau, ( “ ) فثثمقنِّ أثقنُثكثرbarang siapa mengingkari,” maksudnya mengingkari
perbuatan buruk mereka dengan lisan, sungguh dia telah terbebas dari ikatan kewajiban untuk
nahi mungkar. Barang siapa tidak mengingkari dengan lisan, namun ada kebencian dalam
hatinya, diajuga selamat dari kebinasaan. Akan tetapi, barang siapa ridha dengan tingkah laku
mereka yang mungkar dan mencocokinya, dia binasa atau berserikat dengan mereka dalam
kejelekan. Demikian penjelasan as-Sindi rahimahumallah.
Menasihati dengan lisan yang dimaksud adalah menasihati penguasa muslim dengan lisan
secara sembunyisembunyi, tidak terang-terangan di hadapan umum semacam demonstrasi
atau orasi di atas mimbar. Hal ini dituntunkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam
dalam sabda beliau,
طارن بإأ ثقمرر فثثل يأقبإد لثهأ ثعثلنُإيثةب ثولثإكقنِّ لإيثأقأخقذ بإيثإدإه فثيثقخلأثوُ بإإه فثإ إقن قثبإثل إمقنهأ صثح إلذيِ أسقل ث ثمقنِّ أثثراثد أثقن يثقن ث
ك ثوإإنل ثكاثن قثقد أثندىَ النإذيِ ثعلثقيإه لثهأ فثثذا ث
• Disebutkan dalam Shahih Muslim, sahabat Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
َِّهلل ثوإشثراأر أثئإنمتإأكقم النإذيثن،صيَلوُثن ثعلثقيإهقم َهلل ثويأ ث،إخثياأر أثئإنمتإأكقم النإذيثنِّ تأإحيَبوُنُثهأقم ثويأإحيَبوُنُثأكقم
صيَلوُثن ثعلثقيأكقم ثوتأ ث
ثل:ف؟ فثثقاثل ثيا ثرأسوُثل اإ أثفثثل نُأثنابإأذهأقم إبالنسقي إ: إقيثل.ضوُنُثأكقم ثوتثقلثعأنوُنُثهأقم ثويثقلثعأنوُنُثأكقم ضوُنُثهأقم ثويأقبإغ أ تأقبإغ أ
َهلل ثوثل تثقنإزأعوُا يثبدا،َهلل ثفاقكثرأهوُا ثعثملثهأ،َهلل ثوإإثذا ثرأثقيتأقم إمقنِّ أوثلتإأكقم ثشقيبئا تثقكثرأهوُنُثهأ،صثلةث ثما أثثقاأموُا إفيأكقم ال ن
طاثعرة إمقنِّ ث
“Sebaik-baik penguasa (pemerintah) kalian adalah pemerintah yang kalian sayangi mereka
dan mereka menyayangi kalian. Kalian senantiasa mendoakan kebaikan untuk mereka,
mereka pun mendoakan kebaikan untuk kalian. (Adapun) sejahat-jahat pemerintah adalah
mereka yang kalian membencinya, dan mereka membenci kalian, kalian melaknat mereka dan
mereka melaknat kalian.”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami memerangi mereka dengan
pedang?” Beliau berkata, “Tidak boleh, selama mereka menunaikan shalat. Apabila kalian
melihat perkara yang kalian benci dari penguasa kalian, bencilah perbuatan mungkar mereka
dan jangan kalian mencabut ketaatan kepada mereka.”
• Diriwayatkan pula oleh al-Imam Muslim rahimahumallah dalam Shahihnya dari sahabat
Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Akan muncul sepeninggalku para pemimpin yang tidak mengambil petunjuk dengan
petunjukku dan tidak mengambil sunnah dengan sunnahku. Akan ada pula di tengahtengah
mereka orang-orang yang berhati setan namun berbadan manusia.”
Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu bertanya, “Apa yang harus saya lakukan, wahai Rasulullah, jika
saya menjumpai hal itu?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Engkau tetap
mendengar dan taat kepada pemimpin, walaupun punggungmu dipukul dan hartamu
dirampas, tetaplah mendengar dan taat.”
Dalam hadits ini, tampak bahwa penguasa muslim ketika itu melakukan banyak kemungkaran
berupa penyelisihan syariat, sebagaimana mereka melakukan tindak aniaya. Namun
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tetap memerintahkan kita untuk mendengar dan taat
dalam perkara yang ma’ruf.
• Dalam hadits yang lain dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
“Barang siapa melihat sesuatu yang dibenci (tidak disukai) dari pemimpinnya, hendaklah ia
bersabar atasnya. Sebab, barang siapa memisahkan diri dari jamaah satu jengkal lantas mati,
itu adalah kematian jahiliah.” ( Mutafaq ‘alaih, dan ini adalah lafadz al-Imam Muslim
rahimahumallah)
َهلل ثيا ثرأسوُثل إ، فثثما تثأقأمأرنُثا: ثقاألوُا.إإنُنأكقم ثستثثرقوثن بثقعإديِ أثثثثرةب ثوأأأموُبرا تأقنإكأرونُثثها
أثيَدو إإلثقيإهقم:ا؟ ثقاثل
ثحقنهأقم ثوثسألوُا اث ثحقنأكقم
“Sesungguhnya sepeninggalku, kalian akan melihat sikap (penguasa) yang mementingkan diri
sendiri dan banyak perkara yang kalian mengingkarinya.” Para sahabat bertanya, “Apa yang
akan engkau perintahkan kepada kami, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tunaikanlah
hak mereka dengan baik dan mohonlah hak kalian kepada Allah Subhanahu wata’ala.”
An-Nawawi rahimahumallah berkata “Dalam hadits ini ada perintah untuk selalu mendengar
dan taat, meskipun yang menjadi pemimpin berlaku zalim dan berbuat aniaya. Ketaatan yang
menjadi haknya tetap harus ditunaikan, tidak boleh memberontak kepadanya dan melepaskan
ketaatan kepadanya. Adapun kezaliman yang menimpa kalian, kembalilah selalu kepada Allah
Subhanahu wata’ala dalam menyingkirkannya, demikian pula hak-hak kalian yang tertahan
serahkanlah urusannya kepada Allah Subhanahu wata’ala.” (Syarh Shahih Muslim dengan
beberapa perubahan)
Beberapa hadits yang telah lalu menunjukkan bahwasanya kemaksuman bukan syarat sahnya
seorang menjadi penguasa muslim. Demikian pula bukan syarat untuk ditaatinya seorang
penguasa muslim, keberadaan mereka sebagai sosok yang selalu lurus di jalan Allah
Subhanahu wata’ala. Mereka tidaklah maksum. Di atas akidah inilah, ulama Ahlus Sunnah
wal Jamaah berkeyakinan. Mereka tidak mensyaratkan sahnya waliyul amr sebagai seorang
yang istiqamah dalam agama, sebagaimana hal itu bukan syarat untuk ditaatinya mereka
dalam perkara yang ma’ruf.
Peringatan!
Keyakinan Ahlus Sunnah di atas tidak berarti bahwa Ahlus Sunnah membenarkan dan
menyetujui kemungkaran para penguasa. Sama sekali tidak!
]Hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dan sabda-sabda Rasul Shallallahu ‘alaihi
wasallam lainnya menunjukkan bahwa selagi para penguasa dalam keislaman, mereka adalah
penguasa sah yang wajib kita taati dalam perkara yang ma’ruf, walaupun mereka bermaksiat,
zalim, dan aniaya. Adapun jika yang menjadi penguasa, yang memerintah adalah orang-orang
kafir, saat itu tidak ada lagi ketaatan. Boleh bagi kaum muslimin mengadakan pemberontakan,
mengadakan kudeta kekuasaan untuk menggulingkan penguasa kafir dan menggantinya
dengan penguasa muslim, tentu setelah kaum muslimin mempersiapkan kekuatan yang
dengan itu insya Allah tujuan kudeta tercapai, dan setelah menempuh jalan yang paling
mudah dan bermaslahat bagi kaum muslimin dalam menggulingkan penguasa kafir tersebut.
Dalam sebuah riwayat, Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu berkata,
َهلل إإلن أثقن تثثرقوا أكقفراب بثثوُاحا ب إعقنثدأكقم إمسسثنِّ اإسس،َهلل ثوأثقن ثل نُأثناإزثع اقلثقمثر أثقهلثهأ،طاثعإة إفيِ اقلثمقنثشإط ثواقلثمقكثرإه
ثبايثقعثنا ثرأسوُثل اإ ثعثلىَ النسقمإع ثوال ن
إفيإه بأقرثهاهن
Kami berbaiat (bersumpah setia) kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk
mendengar dan taat (kepada penguasa/pemimpin kaum muslimin) baik dalam keadaan senang
atau susah dan tidak memberontak. (Rasulullah bersabda,) “Kecuali jika kalian melihat dari
para penguasa kekufuran yang nyata, yang kalian memiliki bukti di sisi Allah Subhanahu
wata’ala.”
Perhatian!
Penting pula kita ungkapkan di sini meskipun sekadar isyarat, di antara tindakan berbahaya
dalam masalah menentukan sikap kepada penguasa adalah tasarru’ (bermudah-mudah dan
tergesa) memberikan vonis kufur. Bahkan, yang sungguh menyedihkan, di antara para aktivis
pergerakan bukan hanya bermudah-mudah memberi vonis kafir kepada kepala negara. Lebih
dari itu, dengan sembrono mereka memberikan hukum kafir kepada semua aparatur
pemerintah dan menetapkan negara tersebut sebagai negara kafir. Allahul musta’an.
Memutuskan hukum kafir atas seseorang adalah hukum syariat yang benar-benar harus
dibangun di atas ilmu. Apalagi menilai satu negeri sebagai negeri kafir. Yang berbicara
masalah tersebut adalah orang-orang yang berilmu, memiliki hujah yang kuat di sisi Allah
Subhanahu wata’ala. Selain itu, vonis kafir tersebut tidak boleh ditujukan kepada siapa pun
kecuali setelah semua sempurna syuruth at-takfir (syaratsyarat pengafiran) dan telah hilang
semua mawani’ takfir (faktor yang menghalangi pengafiran). Bisa jadi, ada orang yang secara
lahiriah melakukan perbuatan kekufuran, namun tidak bisa dihukumi kafir karena adanya
(penghalangpenghalang) vonis kafir, atau tidak terpenuhinya syarat-syarat pengkafiran.
Khatimah
“Quraisy adalah pemimpinpemimpin bagi manusia baik dalam kebaikan, demikian pula dalam
kejelekan, hingga hari kiamat.”
Betapa dangkalnya pemahaman agama mereka. Mereka mengambil sebagian ayat dan
membuang sebagian lainnya.
“Apakah kamu beriman kepada sebagian al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang
lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan
dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat
berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (al-Baqarah: 85)
Benar, sabda Rasulullah n menetapkan bahwa Quraisy adalah pemimpin manusia, baik dalam
kebaikan maupun dalam keburukan. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
memilih Abu Bakr ash- Shiddiq z sebagai khalifah sepeninggal beliau. Namun, harus kita
ingat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengabarkan bahwa pemimpin dari
Quraisy, beliau pula yang memerintahkan kita untuk taat kepada penguasa muslim, walaupun
bukan dari Quraisy. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أأو إ
صقيأكم بإتثققثوُىَ اث ثوالثسقمأع ثوال ث
طاثعة ثواإقن ثكاثن ثعقبثدا ثحبثإشثيا
“Aku wasiatkan kepada kamu semua supaya bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala, dan
patuh serta taat walaupun yang memimpin kamu adalah seorang budak Habsyi.” (HR.
Ahmad)
Dalam riwayat al-Imam Muslim rahimahumallah, Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu menyebutkan,
ف صاإنُيِ أثقن أثقسثمثع ثوأأإطيثع ثوإإقن ثكاثن ثعقببدا أمثجندثع اقلث ق
طثرا إ إإنن ثخإليإليِ أثقو ث
Inilah sebagian jawaban dari beberapa kerancuan yang menyebar di tengah manusia di
tengah-tengah keburukan dan musibah akhir zaman. Sungguh, tidak ada jalan keluar darinya
kecuali dengan selalu berdoa kepada Allah Subhanahu wata’ala serta kembali kepada al-
Kitab dan as-Sunnah dengan pemahaman salaful ummah.
ِّب اقلثعالثإميثن
صقحبإإه ثوثسلنثم ثواقلثحقمأد ثر م
صنلىَ اأ ثعثلىَ أمثحنمرد ثوثعثلىَ آلإإه ثو ث
ثو ث
Di antara masalah ilmu yang harus kita yakini ialah semua perkara yang dinisbatkan kepada
jahiliah itu tercela. Betapa banyak dalil yang menunjukkan hal ini. Di antara dalil tersebut
adalah firman Allah Subhanahu wata’ala,
“Tinggallah di rumah-rumah kalian. Dan janganlah kalian bertabarruj seperti tabarruj orang
jahiliah dahulu.” (al- Ahzab: 33)
Demikian pula hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Muslim
rahimahumallah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar pertikaian seorang
Anshar dan seorang Muhajirin dalam satu peperangan. Orang Anshar berkata, “Wahai orang-
orang Anshar (minta bantuan mereka)!” Orang Muhajirin pun berkata, “Wahai orang-orang
Muhajirin (minta bantuan kepada mereka)!”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkata, “Apakah seruan jahiliah kalian lakukan,
padahalaku ada di antara kalian? Tinggalkanlah seruan-seruan jahiliah karena itu adalah
buruk.”
Menghidupkan Jejak Para Nabi dan Orang-Orang Saleh adalah Amalan Jahiliah
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahumallah berkata, “(Di antara perilaku
jahiliah) adalah menjadikan jejak tempat para nabi sebagai tempat ibadah.” Beliau juga
berkata, “(Di antara perilaku jahiliah adalah) mencari berkah jejak peninggalan orang–orang
besar mereka, seperti darun nadwah.”
Dan berbangga-bangganya orang yang memiliki peninggalan orang besar. Seperti dikatakan
kepada Hakim bin Hizam, “Kamu menjual kemuliaan Quraisy.”
Beliau menjawab, “Telah hilang semua (sebab) kemuliaan kecuali ketakwaan.” (Masail
Jahiliah; masalah no. 81, 86, dan 87)
Tiga perbuatan jahiliah inilah yang sering dilakukan sekarang ini; menghidupkan dan
mengenang jejak para nabi dan orang saleh serta mencari berkah dengannya. Akhirnya, orang-
orang kafir berani memberikan dana yang banyak untuk melakukan proyek “jahiliah” ini.
Sebab, mereka tahu ini adalah salah satu sarana menjauhkan muslimin dari agamanya. Yang
dimaksud jejak di sini adalah tempat yang pernah didatangi oleh seorang nabi, orang saleh,
tempat shalat, atau tempat-tempat persinggahan mereka.
Sekarang ini sering dilakukan pencarian jejak (situs) para nabi dan orang saleh kemudian
dijadikan tempat kunjungan dengan niat beribadah kepada Allah Subhanahu wata’ala di
tempat-tempat tersebut. Mereka beranggapan, shalat di tempat tersebut adalah satu
keutamaan. Bahkan, akhirnya sebagian orang mencari-cari dan mendatangi tempat yang
pernah didatangi oleh tokoh-tokoh dari negara tertentu; melakukan napak tilas untuk mencari
berkah dengan kunjungan tersebut. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
Di antara sekian tempat yang dijadikan tempat kunjungan dengan niat tabaruk adalah Gua
Tsur dan Gua Hira. Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan berkata, “… sekarang ini seperti yang pergi
ke Gua Hira dengan alasan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam beribadah di situ sebelum
diangkat jadi nabi. Mereka pergi ke sana untuk shalat dan berdoa di sana, padahal nabi saja
tidak mengunjungi gua tersebut setelah diangkat menjadi nabi, juga tak ada seorang sahabat
pun yang pernah ke Gua Hira karena mereka tahu hal tersebut tidak disyariatkan. Demikian
pula mereka pergi ke Gua Tsur, dengan alasan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
bersembunyi di sana sebelum hijrah.” Namun orang-orang sekarang ini pergi ke Gua Tsur
untuk shalat di sana, meletakkan wewangian di sana, dan kadang melemparkan uang ke sana.
Ini semua adalah perbuatan jahiliah, jahiliahlah yang telah mengagungagungkan jejak nabi
mereka. (Syarah Masail Jahiliah)
Tatkala di zaman Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu ada orang-orang yang
berbolak-balik mengunjungi pohon tempat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membaiat
para sahabat Anshar.
Ketika Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengetahuinya beliau pun memerintahkan
untuk menebang pohon tersebut. Dan beliau berkata, “Dengan amalan seperti inilah agama
hancur.” Di antara tempat yang dijadikan tempat cari berkah adalah Jabal Rahmah. Sebagian
rombongan umrah dari Indonesia bahkan dianjurkan oleh pembimbing mereka untuk berdoa
di Jabal Rahmah, minta jodoh atau poligami.__Mudah – mudahan Allah lmemberikan taufik
kepada kita dan kepada para pembimbing jamaah haji dan umrah, agar senantiasa beramal
sesuai dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Apakah Semua Tempat yang Pernah Didatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
Disyariatkan untuk Didatangi?
Di antara perkara yang perlu diketahui, tempat yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
datang untuk menunjukkan bahwa shalat di tempat tersebut disyariatkan bagi umatnya
berbeda dengan tempat yang beliau singgahi dan shalat di sana secara kebetulan. Tempat
pertama yang beliau datangi sebagai syariat di antaranya Masjidil Haram, Masjid Nabawi,
Masjid Aqsha, Ka’bah, dan Masjid Quba. Disyariatkan bagi umatnya untuk mengunjungi
tempat tersebut dan mengamalkan amalan yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam di setiap tempat tersebut.
Adapun tempat yang beliau singgahi secara kebetulan, tidak disyariatkan bagi umat
mengikutinya. Misalnya, Gua Tsur dan tempat lainnya yang dilalui oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika hijrah ke Madinah. Haruslah dibedakan antara satu tempat
yang didatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai syariat bagi umatnya dan
tempat lain yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam datangi secara kebetulan atau karena
ada kebutuhan. Tempat-tempat yang dikunjungi Rasulullah n sebagai syariat bagi umatnya,
disyariatkan bagi umat ini mendatanginya dengan niat ibadah, dengan catatan ibadah yang
sesuai dengan yang dituntunkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Adapun tempat yang didatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam secara kebetulan, tidak
boleh dikunjungi dengan niat ibadah. Itu adalah kebid’ahan, jalan orangorang jahiliah. Gua
Hira misalnya. Tidak boleh seseorang berniat ibadah dengan mengunjungi Gua Hira.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam saja tidak mengunjunginya setelah menjadi nabi.
Demikian juga para sahabatnya, tidak pernah mengunjungi Gua Hira. (Syarah Masail Jahiliah,
asy-Syaikh al-Fauzan)
Di antara sebab kesyirikan yang saat ini gencar dilakukan adalah mencari-cari dan
menghidupkan kembali peninggalanpeninggalan orang dahulu, walaupun peninggalan orang-
orang kafir. Penelitian-penelitian dilakukan untuk menemukan peninggalan “bersejarah”,
yang tentunya kebanyakannya adalah peninggalan orang-orang kafir, musyirikin, dan
animisme. Bahkan, mereka mencaricari dan membesar-besarkan peninggalan Fira’un.
Innalillahi wainnailaihi raji’un.
Tidaklah kaum Nuh ‘Alaihissalam terjatuh kecuali melalui pintu ini. Allah Subhanahu
wata’ala berfirman,
ق ثونُثقسبرا ثوثقاألوُا ثل تثثذأرنن آلإهثتثأكقم ثوثل تثثذأرنن ثو لبدا ثوثل أسثوُابعا ثوثل يثأغوُ ث
ث ثويثأعوُ ث
Al-Imam Bukhari rahimahumallah membawakan ucapan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, “Ini
adalah nama-nama orang saleh di kaum Nuh, ketika mereka meninggal maka setan pun
memberikan wangsit kepada kaumnya, hendaknya kalian membuat gambargambar dan patung
di majelis-majelis yang mereka bermajelis di sana dan berilah nama-nama mereka. Maka
mereka pun membuatnya namun tidak menyembahnya. Hingga ketika mereka mati dan ilmu
telah dilupakan, akhirnya gambar dan patung tersebut disembah.”
Ibnul Qayyim rahimahumallah berkata, “Berkata salaf: ketika orang-orang saleh tersebut
meninggal maka kaum mereka beritikaf dikubur-kubur mereka kemudian membuat patung-
patung mereka, hingga setelah berlangsung lama, patung-patung tadi pun kemudian
disembah.” Demikian juga kesyirikan di bangsa Arab adalah ketika setan memberikan
wangsit kepada Amr bin Luhai untuk menggali dan membawa berhala-berhala tersebut ke
Jazirah Arab.
Faedah Kisah Kaum Nuh ‘Alaihissalam Kisah kaum Nuh ‘Alaihissalam di atas mengandung
banyak faedah berharga. Di antaranya:
2. Peringatan akan bahayanya gambar makhluk bernyawa. Gambar seperti ini mengandung
dua kerusakan: sarana yang mengantarkan kepada kesyirikan dan bentuk menyerupai ciptaan
Allah Subhanahu wata’ala.
4 . Semangat setan untuk menyesatkan bani Adam. Terkadang ia datang kepada bani Adam
dengan memanfaatkan perasaan.
5. Setan tidaklah menyesatkan umat yang ada sekarang, tetapi generasi yang akan datang.
6. Tidak boleh bermudah-mudah terhadap sarana kejelekan bahkan wajib memutus dan
menutupnya.
7. Keutamaan ulama yang mengamalkan ilmunya. (Bayan Hakikat Tauhid hlm. 10— 11 dan
I’anatul Mustafid)
Mudah-mudahan tulisan yang singkat ini bisa menjadi tambahan ilmu dan amal kita semua.
Suatu hal yang telah diketahui bersama bahwa urusan manusia di muka bumi ini tidak akan
beres tanpa adanya penguasa yang mengatur dan mengurusi mereka. Namun pemerintah juga
tidak mungkin menjalankan program-programnya yang baik tanpa ada dukungan dari
rakyatnya. Oleh karena itu, Islam telah mengatur hubungan antara rakyat dengan
penguasanya. Setiap pihak memiliki hak dan kewajiban yang harus ditunaikan kepada yang
lain. Dengan demikian, akan terjalin komunikasi yang baik sehingga terwujud kemaslahatan
bersama yaitu tegaknya agama dan lurusnya perkara dunia.
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka yang kalian mencintai mereka dan mereka
mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Sejelek-jelek
pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka membenci kalian; serta
kalian melaknat mereka dan dari Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Karena penguasa memikul tanggung jawab yang berat dalam mengurusi perkara rakyatnya
maka sudah semestinya rakyat memberikan dukungan kepada mereka dalam mewujudkan
program-program yang baik. Dukungan rakyat sangat berarti sehingga penguasa semakin
tulus dalam menjalankan roda kepemerintahannya. Di antara yang harus diberikan oleh rakyat
kepada penguasanya adalah taat dan mendengar terhadap perintah penguasa sebagaimana
firman Allah Subhanahu wata’ala,
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu.” (an-Nisa: 59)
Ketaatan kepada penguasa selalu dijalankan, baik dalam kondisi sempit atau lapang dan
seperti apa pun kondisi penguasa meskipun dia berasal dari budak sahaya atau bahkan seorang
muslim yang fasik. Ketaatan seorang muslim kepada penguasa semata-mata karena
melaksanakan perintah Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya, serta menjaga
kekondusifan suasana, bukan karena ingin cari muka, berharap materi, ataupun ambisi
jabatan/ takhta. Akan tetapi, ketaatan terhadap perintah mereka pada perkara yang bukan
maksiat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
صيثإة اقلثخالإ إ
ق طاثعةث لإثمقخألوُ ر
ق إفيِ ثمقع إ لث ث
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wata’ala.”
(HR . Ahmad dan al-Hakim dari Imran radhiyallahu ‘anhu. Shahih al-Jami’, 7520)
Kekuasaan adalah ladang yang sangat menggoda seseorang yang berkuasa untuk memenuhi
hasrat nafsunya sehingga tidak sedikit penguasa yang lemah imannya menjadikan kekuasaan
sebagai jembatan untuk menzalimi manusia. Dalam benaknya tersirat kalimat “mumpung
menjabat.”
Oleh karena itu, tidak pantas bagi seorang muslim untuk mendekati pintupintu penguasa
kecuali ketika terpaksa dan keperluan yang mendesak. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,
ب اليَسقل ث
ِّطاإن اقفتأتإثن ثوثمقنِّ أثثتىَ أثقبثوُا ث
“Barang siapa mendatangi pintupintu penguasa, dia akan terfitnah (tergoda agamanya).” (HR .
ath-Thabarani dalam al-Kabir dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dan Shahih al-Jami’ no.
6124)
Ibnu Muflih al-Hanbali rahimahumallah menerangkan, “Hadits ini dibawa (penafsirannya)
kepada orang yang mendatangi penguasa untuk mencari dunia, lebih-lebih bila penguasa itu
zalim. Dimaknakan pula orang yang terbiasa mendatangi pintu penguasa, karena
dikhawatirkan ia akan tergoda (agamanya) dan dihinggapi sikap bangga diri.” (al-Adab asy-
Syar’iyah 3/458)
Al-Munawi rahimahumallah berkata (yang maknanya) bahwa orang yang masuk kepada
penguasa bisa jadi akan melihat bergelimangnya penguasa dalam beragam nikmat sehingga
akan menyebabkan dirinya meremehkan nikmat yang Allah Subhanahu wata’ala berikan
kepadanya. Bisa jadi pula ia melihat kemungkaran pada penguasa lalu tidak mengingkarinya,
padahal itu wajib dia lakukan. Adakalanya orang yang masuk kepada mereka karena
menginginkan harta benda penguasa sehingga ia mengambil sesuatu yang haram.” (Faidhul
Qadir 6/122)
Karena kehati-hatian para ulama, kebanyakan mereka tidak mau masuk kepada penguasa
karena agama dan ilmu adalah segala-galanya. Di antara mereka adalah al-Imam Ahmad,
Sufyan ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, al-Fudhail, dan yang lain rahimahumullah. Bahkan, Said
bin Musayyib rahimahumallah berkata, “Apabila kamu melihat seorang alim masuk kepada
penguasa, waspadailah dia, karena ia adalah pencuri.”
Akan tetapi, sebagian ulama memandang bolehnya masuk kepada penguasa untuk memberi
nasihat dan mengingatkan mereka. Lebih-lebih jika penguasa itu adil dan baik sehingga
mendukung kebaikan penguasa. Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah ‘Urwah
bin az-Zubair dan Ibnu Syihab ketika menyertai khalifah Umar bin Abdul Aziz
rahimahumallah.” (al-Adab asy-Syar’iyyah karya Ibnu Muflih al- Hanbali 3/457—467)
Menasihati Penguasa
Mengajak kepada kebaikan, mencegah kemungkaran, dan mengingatkan orang yang lalai,
adalah tugas yang mulia karena termasuk bagian dari dakwah. Hukum dalam berdakwah
adalah mendahulukan sikap hikmah, kemudian mau’izhah hasanah. Sikap bijak dalam
menasihati manusia berlaku terhadap siapa pun, lebih-lebih dalam manasihati penguasa.
Berikut beberapa etika manasihati penguasa:
طارن فثثل يأقبإدإه ثعثلنُإيثةب ثولثإكقنِّ يثأقأخأذ بإيثإدإه فثيثقخلأقوُابإإه فثإ إقن قأبإثل إمقنهأ فثثذا ث
ك ثوإإ قثقد أثندىَ النإذىَ ثعلثقيإه صثح لإإذيِ أسقل ث
ثمقنِّ أثثراثد أثقن يثقن ث
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahumallah berkata, “Bukan cara salaf (generasi awal
umat Islam yang terbaik) menyebarkan kekurangan-kekurangan penguasa dan
membeberkannya di mimbar-mimbar. Sebab, hal itu bisa menyulut kudeta, tidak didengar dan
tidak ditaatinya pemerintah dalam hal yang baik, serta mengarah kepada pemberontakan yang
membawa madarat, bahkan tidak ada manfaatnya. Akan tetapi, cara yang tepat menurut salaf
adalah memberikan nasihat (secara tertutup) antara mereka dan penguasa, mengirim surat
kepadanya, atau menghubungi ulama yang bisa menyampaikan kepada penguasa sehingga
penguasa tersebut akan dibimbing kepada kebaikan.” (Mu’malatul Hukkam karya, Abdus
Salam Barjas hlm. 43)
2. Bersikap santun
Misalnya, banyak layanan publik terganggu, para pengguna jalan terjebak aksi demo sehingga
mereka harus mengalihkan rute, mengorbankan waktu dan biaya yang tidak sedikit secara
siasia. Belum lagi seringkali ujungnya ialah aksi anarkis yang membawa dampak yang sangat
serius. Ini hanya beberapa kebobrokan berdemonstrasi. Lebih-lebih bila dilihat dengan
kacamata Islam, sangat bertentangan dengan nilai-nilai agama dan adab kesopanan.
Cukup bagi orang yang ingin amar ma’ruf nahi mungkar terhadap penguasa untuk
mengingatkan dan menasihatinya. Adapun kalimat, ‘Wahai orang zalim,’ yang seperti ini akan
menimbulkan kekacauan dan kemungkaran yang lebih besar. Cara yang seperti ini tidak
diperbolehkan karena akan menimbulkan mudarat yang lebih besar. (Mukhtashar Minhajul
Qashidin hlm. 169)
Coba perhatikan perintah Allah Subhanahu wata’ala kepada Nabi Musa dan Harun
‘Alaihissalam untuk mengatakan kepada Fir’aun ucapan yang lembut padahal Fir’aun
tergolong orang terjahat dan terkafir. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut. Mudah-
mudahan ia ingat atau takut.” (Thaha: 44)
4. Tulus dalam memberikan nasihat dan menjaga keikhlasan hati dari niat duniawi.
Ketulusan saat memberikan nasihat akan membuahkan hasil dengan izin Allah Subhanahu
wata’ala, baik cepat maupun lambat. Dahulu ‘Atha bin Abi Rabah masuk kepada Amiril
Mukminin (Khalifah) Hisyam. Ia mengingatkan Khalifah tentang orang-orang yang berhak
disantuni dari kaum muslimin. Ia juga mengingatkan Khalifah agar tidak membebani orang
kafir dzimmi (orang kafir yang tinggal di negeri muslimin) lebih dari kemampuannya. Sang
Khalifah pun mengikuti nasihatnya. Lalu Khalifah mengatakan kepadanya, “Adakah
keperluan yang lain?”
‘Atha menjawab, “Ya. Wahai Amirul Mukminin, bertakwalah kepada Allah Subhanahu
wata’ala karena engkau dicipta sendirian, meninggal sendirian, dibangkitkan sendirian, dan
dihisab sendirian. Sungguh, demi Allah, tidak ada seorang pun yang engkau lihat sekarang
ikut menyertaimu nanti!”
Hisyam pun menangis, lalu Atha berdiri (untuk pergi). Ketika Atha sudah berada di pintu tiba-
tiba ada seorang yang mengikutinya dengan membawa kantung. Tidak diketahui persis,
apakah isinya perak atau emas.
Orang itu berkata, “Sesungguhnya Amiril Mukminin memberimu ini.” Atha lantas
membacakan ayat,
ِّب اقلثعالثإميثن ثوثما أثقسأ ثلأأكقم ثعلثقيإه إمقنِّ أثقجرر ۖ إإقن أثقجإر ث
يِ إإنل ثعثلىَٰ ثر م
“Dan sekali-kali aku tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu. Upahku tidak lain hanyalah
dari Rabb semesta alam.” (asy-Syu’ara: 127)
Kemudian ‘Atha keluar. Sungguh, demi Allah, ‘Atha tidaklah minum seteguk pun dari air
yang ada di sisi mereka (majelis Khalifah), bahkan tidak pula yang kurang dari itu.
(Mukhtashar Minhaj al-Qashidin hlm. 174—175)
Berbagai kenikmatan telah banyak dirasakan oleh bani Israil, sehingga sudah sepatutnya
mereka bersyukur kepada Sang Pemberi Kenikmatan tersebut, yaitu Allah Subhanahu
wata’ala. Ketika di Padang Tih, Allah Subhanahu wata’ala menurunkan kepada mereka
Manna dan Salwa. Saat-saat mereka kehausan, lalu meminta Nabi Musa berdoa kepada Allah
Subhanahu wata’ala agar memberi mereka minum.Allah Subhanahu wata’ala memerintah
beliau memukulkan tongkatnya ke sebuah batu hingga memancarlah 12 lubang air untuk
minum dua belas suku bani Israil. Kenikmatan lain yang tak kalah pentingnya, bahkan sangat
mulia, yaitu diutusnya para nabi serta dibangkitkannya para raja yang memimpin dan
membimbing mereka. Setiap kali seorang nabi meninggal dunia, datanglah nabi yang lain.
Begitu seterusnya selama berabadabad. Semakin lama waktu berjalan, sejak wafatnya
Nabiyullah Musa ‘Alaihissalam, digantikan pula oleh Nabi Yusya’ bin Nun yang memimpin
bani Israil. Beliau pun wafat dan digantikan oleh nabi lainnya. Keadaan bani Israil semakin
lemah. Pada zaman itu ada dua asbath, yang satu melahirkan nabi-nabi, yaitu dari keturunan
Lewi, sedangkan yang lain menurunkan para raja, yaitu keturunan Yahuda. Akan tetapi, yang
menunjuk dan menentukan raja mereka adalah wewenang para nabi, sehingga yang mengatur
dan membimbing mereka sebetulnya adalah para nabi . Sepeninggal Nabi Yusya’, setelah
kemenangan demi kemenangan Allah Subhanahu wata’ala berikan kepada mereka, bani Israil
mulai menelantarkan ajaran dan wasiat yang pernah diberikan oleh nabi mereka, Yusya’ bin
Nun.
Bahkan, sebagian mereka mulai ada yang menyembah berhala. Para hakim tidak lagi mampu
menerapkan ajaran Taurat dalam memutuskan persoalan bani Israil. Tidak pula ada seorang
nabi yang mengajak mereka kepada yang ma’ruf dan melarang kemungkaran. Akhirnya, Allah
Subhanahu wata’ala menghukum mereka dengan memberikan kekuasaan kepada bangsa lain
untuk menjajah dan merampas kekayaan mereka di negeri mereka sendiri. Sebagian mereka
diusir dari kampung halaman serta dipisahkan dari istri dan anak-anak mereka. Sebagian lagi
ada yang dijadikan tawanan dan budak. Dalam sebuah peperangan, Tabut dan Taurat dirampas
dari tangan mereka.
Akibatnya, mereka semakin jauh dari agama mereka. Tidak pula ada yang menghafalnya
kecuali segelintir orang. Karena banyaknya yang dibunuh oleh penjajah, terputuslah kenabian
dari mereka. Tidak ada lagi keturunan Lewi yang melahirkan nabi-nabi, selain seorang wanita
bernama Hubla. Begitu pula keturunan Yahuda yang melahirkan raja-raja, banyak pula di
antara mereka yang terbunuh. Semua itu adalah buah kedurhakaan mereka kepada Allah
Subhanahu wata’ala dan meninggalkan syariat-Nya. Allah Subhanahu wata’ala tidak
menzalimi siapa pun di antara hamba-Nya. Dalam keadaan terjepit seperti itu, mulailah
mereka sadar dan kembali kepada Allah l. Mereka berdoa agar Allah Subhanahu wata’ala
mengutus seorang nabi di tengah-tengah mereka. Padahal, saat itu keturunan Lewi sudah
hampir punah, tinggal seorang wanita bernama Hubla yang sedang mengandung.
Mulanya, wanita ini mandul, hingga dia hampir putus asa untuk memiliki anak dari suaminya.
Sementara itu, sang suami mempunyai istri lain dan melahirkan sepuluh anak laki-laki untuk
suaminya. Akan tetapi,wanita itu melampaui batas terhadapnya karena merasa lebih banyak
anaknya. Hubla mengadu kepada Allah l atas kekurangannya dan memohon diberi karunia
seorang anak. Allah Maha Mendengar, Dia mengabulkan permintaan wanita tersebut.
Hubla akhirnya mengandung dan beberapa bulan kemudian melahirkan seorang anak. Dia
menamai anak tersebut Samual; Allah l mendengar doanya. Setelah anak itu semakin besar,
dia diserahkan kepada orang-orang saleh di Baitil Maqdis. Di rumah suci itulah Samual
dididik dengan ajaran Taurat. Setelah Samual dewasa, Allah Subhanahu wata’ala memilih dan
mengutusnya sebagai nabi agar memberi peringatan kepada bani Israil. Mulanya, bani Israil
mendustakan dan mengingkari kenabiannya, tetapi kemudian mereka mengakui juga nubuwah
Samual. Pada masa-masa itu, kekuasaan ‘Amaliqah (asal-usul penduduk Mesir) semakin kuat
di bawah pimpinan raja mereka, Jalut (Goliat) yang berasal dari keturunan Kan’an. Seakan-
akan tanpa perlawanan, mereka merajalela membantai dan menindas bani Israil.
Para pemuka bani Israil sudah tidak mampu menahan penderitaan dan kehinaan tersebut,
maka mereka datang kepada Nabi Samual ‘Alaihissalam meminta beliau mengangkat seorang
raja untuk mereka. Demikianlah kisahnya yang dipaparkan oleh sebagian ahli sejarah yang
menukil dari cerita Israiliyat. Kisah mereka diceritakan pula di dalam al-Qur’anul Karim.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya),
Apakah kamu tidak memerhatikan pemuka-pemuka bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu
ketika mereka berkata kepada seorang nabi mereka, “Angkatlah untuk kami seorang raja
supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah”. Nabi mereka menjawab,
“Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang.” Mereka
menjawab, “Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami
telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami?” Tatkala perang itu
diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling, kecuali beberapa orang saja di antara mereka.
Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang zalim.
Nabi mereka mengatakan kepada mereka, “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut
menjadi raja kalian.”Mereka menjawab, “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami
lebih berhak mengendalikan pemerintahan darinya, sedangkan dia pun tidak diberi kekayaan
yang banyak?” (Nabi mereka) berkata, “Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi raja
kalian dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan
pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Mahaluas pemberian-Nya lagi
Maha Mengetahui. Nabi mereka mengatakan kepada mereka, “Sesungguhnya tanda ia akan
menjadi raja ialah kembalinya tabut kepada kalian, di dalamnya terdapat ketenangan dari
Rabbmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa oleh
malaikat. Sesungguhnya pada hal itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman.”
(al-Baqarah: 246—248)
Di dalam ayat ini, Allah Subhanahu wata’ala mengisahkan kepada Nabi-Nya Shallallahu
‘alaihi wasallam tentang para pemuka bani Israil yang menemui nabi mereka saat itu, yaitu
Samual ‘Alaihaissalam, lalu berkata kepadanya, “Tunjuklah seorang raja untuk kamiagar
kami berperang di jalan Allah Subhanahu wata’ala bersamanya.”
Akan tetapi, karena sudah memahami watak bani Israil itu, Nabi Samual berkata
(sebagaimana dalam ayat),
“Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang.”
Seakan – akan Nabi Samual meragukan, jangan-jangan kalau Allah Subhanahu wata’ala
memilihkan seorang raja untuk mereka, mereka justru tidak menepati janji untuk berperang
bersama raja tersebut. Jadi, beliau menawarkan kepada mereka agar mereka selamat. Akan
tetapi, mereka tidak mau menerimanya, bahkan tetap berpegang kepada tekad dan niat
mereka. Mendengar jawaban Nabi Samual ‘Alaihissalam ini, mereka berkata (sebagaimana
dalam ayat),
“Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir
dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami?”
Akan tetapi, beberapa gelintir orang di antara mereka dilindungi oleh Allah Subhanahu
wata’ala dan diteguhkan serta dikuatkan hati mereka, sehingga tetap menjalankan perintah
Allah Subhanahu wata’ala dan mempersiapkan diri untuk menghadapi musuh-musuh-Nya.
Mendengar tuntutan dan jawaban mereka, Nabi Samual berkata, “Sesungguhnya Allah
Subhanahu wata’ala telah mengangkat Thalut menjadi raja kalian.” Para pembesar itu
terkejut, bagaimana mungkin Thalut (dalam bahasa Suryani; Saul) menjadi raja bani Israil?
Kata mereka kepada nabi mereka, “Bagaimana Thalut memerintah kami?Kami berasal dari
keturunan Yahuda yang melahirkan raja-raja, dan kami lebih berhak mengendalikan
pemerintahan darinya. Dia juga miskin, tidak diberi kekayaan yang banyak untuk mendukung
kekuasaannya.”
Demikianlah menurut mereka, sebuah kerajaan atau kekuasaan harus dipegangoleh orang
yang mempunyai nasab mulia dan banyak hartanya. Nabi Samual ‘Alaihaissalam berkata
kepada mereka, “Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala telah memilihnya menjadi raja
kalian, sehingga kalian wajib tunduk kepada keputusan tersebut. Bahkan, Allah Subhanahu
wata’ala menganugerahinya kelebihan di atas kalian berupa ilmu dan fisik, yaitu kekuatan
akal pikiran dan jasmani. Dengan kedua hal inilah urusan sebuah kerajaan dapat terlaksana
secara sempurna.”
Sebab itu, seandainya seorang raja hanya kuat fisiknya, tetapi lemah akalnya, tentu di
kerajaannya akan terjadi kerusakan, kekalahan dan penyimpangan terhadap syariat; dia
memiliki kekuatan, tetapi tidak memiliki hikmah kebijaksanaan. Selain itu, seandainya
seorang raja hanya mempunyai ilmu pengetahuan tentang berbagai masalah, tetapi tidak
mempunyai kekuatan untuk menerapkannya, niscaya buah pikiran itu juga tidak berguna dan
tidak dapat dilaksanakan.
Sebab, keterangan Nabi Samual q ini menegaskan bahwa syarat untuk menjadi raja sudah
lengkap pada diri Thalut. Allah Subhanahu wata’ala memberi karunia-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya, tanpa ada yang menolaknya, bahkan tidak ada
pula yang menghalangi kebaikan-Nya. Jadi, kedudukan sebagai raja yang dipegang oleh
Thalut adalah pemberian Allah Subhanahu wata’ala, dan tentu saja Dia Maha Mengetahui
kemaslahatan hambahamba- Nya. Wallahu a’lam.
Kemudian, Nabi Samual menyebutkan tanda yang dapat mereka saksikan, yaitu datangnya
tabut yang mereka cari cukup lama. Di dalam tabut itu terdapat sakinah yang menenangkan
hati mereka dan menenteramkan pikiran mereka, serta sisa peninggalan keluarga Nabi Musa
dan Harun e yang dibawa oleh malaikat.
ف أغقرفثسسةب طثعقمهأ فثإ إنُنهأ إممنيِ إإنل ثمسسإنِّ اقغتثسسثر ث س إممنيِ ثوثمنِّ لنقم يث ق ب إمقنهأ فثلثقي ثاث أمقبتثإليأكم بإنثهثرر فثثمنِّ ثشإر ثت إباقلأجأنوُإد ثقاثل إإنن ن طاألوُ أ صثل ث فثلثنما فث ث
ت ثوأجنأسسوُإدإه ۚ قثسساثل النسسإذيثنِّ يثظأيَنسسوُثن طاقثةث لثثنا اقليثقوُثما بإثجاألوُ ثبإيثإدإه ۚ فثثشإرأبوُا إمقنهأ إإنل قثإليبل ممقنهأقم ۚ فثلثنما ثجاثوثزهأ هأثوُ ثوالنإذيثنِّ آثمأنوُا ثمثعهأ ثقاألوُا ثل ث
ت ثوأجأنوُإدإه قثسساألوُا ثربننثسسا أثقفسسإرقغ صابإإريثنِّ )( ثولثنما بثثرأزوا لإثجاألوُ ث اأ ثمثع ال ن اإ ۗ ثو نت فإئثةب ثكإثيثرةب بإإ إقذإن ناإ ثكم ممنِّ فإئثرة قثإليلثرة ثغلثبث ق أثنُنأهم يَمثلأقوُ ن
ك ثواقلإحقكثمسسةث اأسس اقلأمقلسس ث ت ثوآتثسساهأ ناإ ثوقثتثسسثل ثداأووأد ثجساألوُ ث صقرثنُا ثعثلىَ اقلقثقوُإما اقلثكافإإريثنِّ )( فثهثثزأموُأهم بإإ إقذإن ن ت أثققثداثمثنا ثوانُ أ صقببرا ثوثثبم ق
ثعلثقيثنا ث
اإسس ت ن ك آيثسسا أ ضسسرل ثعلثسسىَ اقلثعسسالثإميثنِّ )( تإقلسس ثاثسس أذو فث ق ض ثولٰثإكسسننِّ نت اقلثقر أ ض لنفثثسسسثد إ
ضأهم بإبثقع ر س بثقع ث اإ الننا ث ثوثعلنثمهأ إمنما يثثشاأء ۗ ثولثقوُثل ثدقفأع ن
ِّك لثإمثنِّ اقلأمقرثسإليثن ك إباقلثح م
ق ۚ ثوإإنُن ث نُثقتألوُثها ثعلثقي ث
Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata, “Sesungguhnya Allah akan
menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya, bukanlah ia
pengikutku. Dan barang siapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka ia
adalah pengikutku.” Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara
mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi
sungai itu, orangorang yang telah minum berkata, “Tak ada kesanggupan kami pada hari ini
untuk melawan Jalut dan tentaranya.” Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan
menemui Allah berkata, “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan
golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.”
Tatkala mereka tampak oleh Jalut dan tentaranya, mereka pun (Thalut dan tentaranya) berdoa,
“Wahai Rabb kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami
dan tolonglah kami terhadap orangorang kafir.” Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara
Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Dawud membunuh Jalut, kemudian Allah
memberikan kepadanya (Dawud) pemerintahan dan hikmah, (sesudah meninggalnya Thalut)
dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. Seandainya Allah tidak menolak
(keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi
Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam. Itu adalah ayat-ayat Allah.
Kami bacakan kepadamu dengan hak (benar) dan sesungguhnya kamu benar-benar salah
seorang di antara nabi-nabi yang diutus.” (al-Baqarah: 249—252)
Setelah Thalut menjadi raja bani Israil, dan kekuasaannya semakin kuat, mereka bersiap-siap
memerangi musuh mereka. Terkumpullah hampir delapan puluh ribu pasukan bani Israil.
Ketika Thalut bertolak dengan pasukan bani Israil yang sangat besar, Allah Subhanahu
wata’ala menguji mereka, agar jelas siapa yang kokoh dan tenang, siapa pula yang tidak,
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala akan menguji kamu dengan suatu sungai, maka
siapa di antara kamu meminum airnya, ia durhaka, sehingga janganlah dia mengikuti kami
karena tidak ada kesabaran dan keteguhannya, karena kedurhakaannya. Dan siapa yang tidak
meminum air itu, sesungguhnya dia pengikutku, kecuali menceduk dengan seceduk tangan,
tidak ada dosa atasnya berbuat demikian. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wata’ala
memberkahi lalu mencukupi.”
Ujian ini menampakkan hikmah Allah Subhanahu wata’ala memilih Thalut sebagai raja bani
Israil. Allah Subhanahu wata’ala ingin menunjukkan kepada bani Israil bahwa Thalut
memang ahli strategi perang. Beliau membawa pasukan yang sudah pernah kalah bahkan
terjajah dalam sejarah peradaban mereka. Sekarang, dia mengerahkan mereka menghadapi
tentara penjajah dengan kekuatan dan persenjataan lengkap. Sebab itu, tidak mungkin
menghadapi tentara musuh kecuali dengan kekuatan yang melebihi lawan, dan itu hanya satu,
yaitu kekuatan hati dan kemauan untuk menang. Kekuatan yang siap menundukkan keinginan
syahwat dan mengalahkan desakan atau dorongan kebutuhan sesaat serta sanggup
mengedepankan ketaatan terhadap pemimpin dalam semua keadaan.
Tidak ada gunanya kekuatan perlengkapan dan fisik sehebat apa pun, kalau yang memilikinya
adalah orangorang yang bermental pengecut dan lemah. Lemah keinginan dan kemauannya
untuk menang. Dalam ujian ini jelaslah bahwa mereka sedang kekurangan air, sehingga air
yang segar itu sangat menggoda orang-orang yang kehausan. Pasir sahara yang panas, bekal
yang sekadarnya, harus menghadapi musuh yang tak terkalahkan, benar-benar menambah
berat ujian bani Israil ketika itu. Ujian itu menjadi saringan bagi bani Israil. Dari 80.000
prajurit, sebagian besar mereka melanggar, dan meminum air sungai sepuas-puasnya, padahal
sudah dilarang. Akhirnya, mereka berbalik mundur, tidak jadi memerangi musuh mereka.
Ketidaksabaran mereka menahan haus satu jam saja adalah bukti terbesar tidak adanya
kesabaran mereka untuk berperang yang pasti memakan waktu lama dengan kesulitan lebih
besar.
Mundurnya orang-orang tersebut dari pasukan induk, meningkatkan tawakal kepada Allah
Subhanahu wata’ala, orang-orang yang tabah, semakin menambah sikap merendahkan diri,
merasa hina, dan berlepas diri dari daya dan kekuatan mereka sendiri. Bahkan, berkurangnya
jumlah mereka dan banyaknya musuh, semakin meningkatkan kesabaran mereka. Akan tetapi,
ujian itu seakan belum berakhir. Orang-orang mukmin yang ikut bersama Thalut menyadari
bahwa musuh yang akan mereka hadapi sebetulnya sangat kuat dan belum pernah kalah.
Mereka tidak melanggar janji mereka yang pernah terucap di hadapan Nabi mereka, bahwa
mereka siap berperang. Akan tetapi kini, setelah menyadari bahwa musuh mereka memiliki
kekuatan lebih besar dan hebat, mereka menyerah sebelum bertempur. Dari delapan puluh
ribu pasukan itu, yang tersisa dan masih bertahan bersama Thalut ketika menyeberangi sungai
itu, hanya sekitar 313 orang. Mereka inilah yang benar-benar memiliki kekuatan tawakal dan
keimanan yang besar kepada Allah Subhanahu wata’ala
Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah Subhanahu wata’ala, yaitu
orang-orang yang memiliki iman yang teguh dan keyakinan yang kuat, mereka meneguhkan
yang lain, menenangkan pikiran mereka, dan memerintahkan agar bersabar, kata mereka
(sebagaimana dalam ayat),
“Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak
dengan izin Allah,”
dengan keinginan dan kehendak-Nya. Dengan kata lain, urusan itu di Tangan Allah
Subhanahu wata’ala. Orang yang mulia adalah yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu
wata’ala, dan orang yang hina adalah yang dihinakan oleh Allah Subhanahu wata’ala. Karena
itu, jumlah yang banyak tidaklah berguna sedikit pun bilam dihinakan oleh Allah Subhanahu
wata’ala. Sebaliknya, jumlah yang sedikit, tidak akan hancur atau kalah bila ditolong oleh
Allah Subhanahu wata’ala. Allah Subhanahu wata’ala bersama orang-orang yang sabar. Dia
menolong dan memberi taufik kepada mereka. Akan tetapi, sebab yang paling utama
menyebabkan turunnya pertolongan Allah Subhanahu wata’ala adalah kesabaran hamba itu
sendiri.
Akhirnya, nasihat itu masuk ke dalam hati mereka dan memberi pengaruh yang sangat besar.
Itulah sebabnya, ketika mereka menghadapi Jalut dan pasukannya, Thalut dan pasukannya
berdoa,
Maksudnya, peliharalah hati kami, curahkanlah kesabaran untuk kami, kokohkanlah kaki
kami, agar tidak goncang dan melarikan diri, serta tolonglah kami menghadapi orangorang
kafir. Dari doa ini pula kita mengetahui bahwa Jalut dan tentaranya adalah orang-orang kafir.
Allah Subhanahu wata’ala mengabulkan doa orangorang beriman itu, karena mereka telah
menjalankan sebab-sebabnya. Allah Subhanahu wata’ala menolong mereka mengalahkan
orangorang kafir itu. Dawud A’laihaissalam yang ikut dalam pasukan Thalut adalah anak
bungsu Isya yang semuanya dua belas orang. Tubuhnya kecil, belum tampak layak untuk
bertempur seperti prajurit lainnya.
Akan tetapi, keimanan dan keberanian Dawud jauh melebihi manusia lain. Pada waktu kedua
pasukan bertemu, seperti biasa, Jalut menantang duel satu lawan satu. Pasukan Thalut tidak
ada yang berani menghadapinya, padahal ketika itu Thalut telah mengumumkan bahwa siapa
yang dapat membunuh Jalut akan dinikahkannya dengan putrinya dan diberinya separuh
kerajaan. Bukan itu yang dicari oleh Dawud ‘Alaihissalam melainkan ridha Allah Subhanahu
wata’ala. Beliau meminta izin untuk maju, tetapi dicegah oleh Thalut. Akhirnya Dawud
‘Alaihissalam maju sendiri dan menyambut tantangan Jalut dan membunuh raja kafir itu
dengan keberanian, kekuatan, dan kesabarannya. Thalut dan tentaranya dimenangkan oleh
Allah Subhanahu wata’ala.
Mereka kembali ke negeri mereka dan Thalut menepati janjinya, menikahkan Dawud dengan
putrinya dan membagi dua kerajaan bani Israil. Kemudian, Allah Subhanahu wata’ala
memberi karunia kepada Dawud untuk menguasai bani Israil dengan hikmah, yaitu nubuwah
yang meliputi syariat yang mulia dan jalan yang lurus. Setelah Allah Subhanahu wata’ala
menolong mereka, tenanglah mereka di negeri-negeri mereka menyembah Allah Subhanahu
wata’ala dalam keadaan aman sentosa, karena musuh mereka menjadi hina dan mereka pun
berkuasa di muka bumi. Wallahu a’lam.
Beberapa Faedah
Allah Subhanahu wata’ala menggabungkan antara kerajaan dan kenabian untuk Nabi Dawud.
Padahal, sebelum beliau, sudah ada nabi tetapi yang menjadi raja adalah orang lain.
Sebagaimana disebutkan, bahwa asbath di kalangan bani Israil terbagi dua, yang satu
menurunkan raja-raja, yang lain melahirkan para nabi. Kisah ini adalah salah satu bukti
kebenaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Andaikata bukan berita yang
disampaikan Allah Subhanahu wata’ala kepada beliau, tentulah beliau tidak mempunyai ilmu
tentang peristiwa itu. Bahkan, tidak ada seorang pun di antara kaumnya yang mempunyai
pengetahuan tentang hal ini. Di dalam kisah ini terdapat tandatanda (kekuasaan Allah
Subhanahu wata’ala) dan pelajaran yang dapat dipetik oleh orang-orang yang berakal sehat
(Ulul Albab), antara lain sebagai berikut.
1. Kata sepakat ahlul hill wal aqdi, pembahasan dan pemahaman mereka terhadap cara agar
sempurnanya urusan mereka lalu mengamalkannya, merupakan sebab utama bertambahnya
kemuliaan mereka dan tercapainya tujuan mereka. Sebagaimana dialami para pembesar ini,
mereka merujuk kepada nabi mereka dalam menentukan raja mereka sehingga mereka bersatu
dan taat di bawah pimpinan raja tersebut.
2. Kebenaran itu, semakin dihalangi atau ditolak oleh berbagai syubhat, semakin terlihat
kejelasan dan keistimewaannya. Demikian pula keyakinan terhadapnya, sebagaimana dialami
oleh mereka. Ketika mereka mengingkari keberhakan Thalut menjadi raja, mereka diberi
jawaban yang memuaskan dan menghilangkan keraguan serta kerancuan.
3. Ilmu dan buah pikiran, disertai kekuatan akan menyempurnakan kedudukan seorang wali
(penguasa). Kehilangan salah satunya atau keduaduanya mengakibatkan kurangnya kekuasaan
dan kerugian.
“Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir
dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami?” Jadi, seolah-olah hasilnya ialah
ketika diwajibkan mereka berperang, mereka justru berbalik. Adapun yang kedua adalah
dalam perkataan mereka (sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala),
Tatkala mereka tampak oleh Jalut dan tentaranya, merekapun (Thalut dan tentaranya) berdoa,
“Wahai Rabb kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami
dan tolonglah kami terhadap orangorang kafir.” Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara
Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu). (al- Baqarah: 250)
5. Di antara hikmah Allah Subhanahu wata’ala adalah memisahkan yang buruk dari yang
baik, yang jujur dari yang dusta, dan memisahkan yang tabah dari yang takut. Allah
Subhanahu wata’ala tidak akan membiarkan hamba-hamba-Nya sebagaimana keadaan mereka
yang bercampur tanpa ada yang membedakan.
6. Di antara rahmat dan sunnah- Nya yang berlaku adalah menjauhkan bahaya orang-orang
kafir dan munafik dengan kaum mukminin yang berjihad. Kalau tidak demikian, tentulah
bumi akan rusak dikuasai oleh orang-orang kafir dengan syiar kekafiran mereka padanya.
Wallahul muwaffiq.
10 Bahan Renungan
Renungan Keenam Bisa jadi, seseorang merenungi nenek moyang atau para pendahulunya,
lalu bersedih dan khawatir akan keselamatan dirinya di akhirat, karena keadaan mereka yang
buruk. Bisa jadi pula, ia senang dan merasa bangga karena keadaan mereka yang baik.
Janganlah demikian . Anda mempertanggungjawabkan amal Anda sendiri. Selamatkan diri
Anda, itu yang terpenting.
Asy-Syaikh Abdurrahman al- Mu’allimi berkata, “Ingatlah selalu, yang terpenting bagi
seseorang dan yang hendak dia pertanggungjawabkan kelak adalah keadaan dirinya sendiri.
Tidak akan mencelakakan Anda—baik di sisi Allah Subhanahu wata’ala, di hadapan para
ulama, tokoh agama, maupun para cendekia— apabila ada kekurangan pada guru Anda,
pembimbing Anda, nenek moyang Anda, atau syaikh Anda. Para nabi saja tidak selamat dari
kekurangan tersebut. Generasi paling afdal umat ini, yakni para sahabat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam, nenek moyang mereka dahulu musyrik.
Padahal bisa jadi, nenek moyang Anda ada alasan dalam kekurangan itu, apabila memang
mereka tidak diingatkan dalam kekurangan tersebut dan hujah pun belum tegak atas mereka.
Anggaplah para pendahulu Anda berada dalam kesalahan yang tidak diampuni. Apabila Anda
mengikuti dan fanatik terhadap mereka, hal itu tidak memberi manfaat kepada mereka sedikit
pun. Hal itu justru sangat mencelakakan mereka, karena mereka akan ditimpa seukuran dosa
yang menimpa Anda dan dosa orang yang mengikuti Anda dari kalangan anak-anak Anda dan
pengikut pengikut Anda sampai hari kiamat.
Di samping tertimpa dosa Anda sendiri, Anda juga tertimpa dosa orang yang mengikuti Anda
sampai hari kiamat. Tidakkah Anda memandang bahwa tindakan Anda kembali kepada
kebenaran itu berarti kebaikan juga untuk para pendahulu Anda, bagaimanapun keadaan
mereka?
Wallahul muwaffiq.
Khazanah ” Al-Qawi “
(413 Views) October 11, 2013 6:13 pm | Published by Redaksi | No comment
Al-Qawi, Yang Mahakuat, adalah salah satu nama Allah Yang Agung. Allah Subhanahu
wata’ala menyebutkan nama ini dalam beberapa ayat-Nya.
يِ اقلثعإزيأز
َك هأثوُ اقلقثإوُ ي
إإنن ثربن ث
يِ اقلثعإزيأز
َق ثمنِّ يثثشاأء ۖ ثوهأثوُ اقلقثإوُ ي ن
اأ لثإطي ه
ف بإإعثباإدإه يثقرأز أ
“Allah Mahalembut terhadap para hamba-Nya, Dia memberi reaeki kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan Dialah Yang Mahakuat dan Mahaperkasa.” (asy-Syura: 19)
Asy-Syaikh Muhammad Khalil al-Harras mengatakan, “Asma Allah al-Qawi bermakna yang
memiliki kekuatan. Kekuatan Allah Subhanahu wata’ala tidak akan tertimpa oleh kelemahan,
kejenuhan, dan kehilangan yang menimpa kekuatan para makhluk. Allah Subhanahu wata’ala
tidak akan merasa lemah karena menciptakan sesuatu, keletihan juga tidak akan menimpa-
Nya.”
Sementara itu, semua kekuatan makhluk pada hakikatnya adalah milik- Nya. Dialah yang
menyimpan kekuatankekuatan pada makhluk-makhluk itu. Apabila Allah Subhanahu wata’ala
berkehendak mencabutnya, tentu Dia mampu. Telah disebutkan dalam hadits bahwa kalimat
berikut ini,
لث ثحقوُثل ثولث قأنوُةث إإلن إبالإ؛ِهل ثكقنهز إمقنِّ أكأنوُإز اقلثجننإة
“Tiada kemampuan untuk mengubah suatu keadaan dan tiada pula kekuatan melainkan
dengan pertolongan Allah l,” adalah salah satu simpanan dari simpanan-simpanan dalam
surga. (Sahih, HR . al-Bukhari dan yang lain)
Dalam kisah pemilik dua kebun yang disebutkan dalam surat al-Kahfi, seseorang menasihati
saudaranya,
“Mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu, ‘Masya Allah, laa
quwwata illa billah (Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali
dengan pertolongan Allah).’ Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta
dan keturunan. (al-Kahfi: 39)
“Seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa
(pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat
berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (al-Baqarah: 165)
Allah Subhanahu wata’ala sesembahan kita Mahakuat. Kekuatan kita berasal dari-Nya. Oleh
karena itu, kita senantiasa memohon kekuatan dari-Nya dan mensyukuri pemberian-Nya.
Tanpa bantuan-Nya, kita adalah makhluk yang sangat lemah. Kita juga harus menyadari
bahwa selaku makhluk Allah Subhanahu wata’ala, kita tidak boleh merasa sombong dengan
kekuatan yang dimiliki. Sebesar apa pun kekuatan kita, toh itu adalah pemberian Allah
Subhanahu wata’ala. Suatu saat nanti, Allah Subhanahu wata’ala akan mencabutnya dari kita.
Lihatlah nasib raja-raja yang sombong di muka bumi ini, Fir’aun, Namrud, dan yang lainnya.
Lihatlah nasib para diktator di muka bumi ini. Di manakah mereka sekarang? Menjadi apa
mereka sekarang? Itulah kekuatan manusia. Oleh karena itu, janganlah seseorang semena-
mena dengan kekuatan yang dia miliki lantas menindas orang-orang yang lemah dan
menzalimi sesama manusia.
Hanya Allah Subhanahu wata’ala lah yang memiliki kekuatan yang mutlak, Dialah sembahan
kita. Adapun sembahan selain Allah l, dia lemah, tidak memliki kekuatan yang hakiki. Allah
Subhanahu wata’ala berfirman,
اإ ثلنِّ يثقخلأأقوُا أذثباببا ثولثإوُ اقجتثثمأعوُا لثهأ ۖ ثوإإن يثقسلأقبهأأم السسيَذثبا أ
ب ثشسسقيبئا ب ثمثثهل ثفاقستثإمأعوُا لثهأ ۚ إإنن النإذيثنِّ تثقدأعوُثن إمنِّ أدوإن ن
ضإر ث ثيا أثيَيثها الننا أ
س أ
يِ ثعإزيهز ق قثقدإرإه ۗ إإنن ن
اث لثقثإوُ ش اث ثح ن ب )( ثما قثثدأروا ن ب ثواقلثم ق
طألوُ أ ف ال ن
طالإ أ ضأع ثنل يثقسثتنقإأذوهأ إمقنهأ ۚ ث
“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu.
Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekalikali tidak dapat menciptakan seekor
lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Jika lalat itu merampas sesuatu
dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu.Amat lemahlah yang
menyembah danamat lemah (pulalah) yang disembah. Mereka tidak mengenal Allah dengan
sebenar-benarnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa.” (al-Hajj:
73—74)
Problema Anda
(568 Views) October 11, 2013 6:11 pm | Published by Redaksi | No comment
Apakah akikah dapat digantikan dengan hewan lain selain kambing? Jika bisa, apakah ada
dasarnya? Syukran.Abu Hafidh s*******@ymail.com
Akikah dengan selain kambing tidak boleh, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
menganjurkan dengan kambing. Ini yang dipahami oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha
sebagaimana dalam riwayat berikut ini.
Dari ‘Atha, seseorang berkata di hadapan Aisyah, “Seandainya istri fulan melahirkan, kami
akan menyembelihkan seekor unta untuknya.” Aisyah berkata, “Tidak, sunnahnya untuk anak
laki-laki dua ekor kambing, sedangkan untuk anak wanita satu ekor.”
Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Ucapan Aisyah, ‘Tidak,’ adalah penegasan bahwa akikah
tidak boleh dengan selain kambing.” (ash-Shahihah, no. 2720)
فثثقالث ق.َهلل إعإقيِ ثعقنهأ ثجأزوبرا،ِّ ثيا أأنما اقلأمقؤإمإنيثن:َهللفثإقيثل لإثعائإثشثة،س لإثعقبإد النرقحثمإنِّ قبإنِّ أثإبيِ بثقكرر أغثلرما
َهلل ثولثإكقنِّ ثمسسا قثسساثل ثرأسسسوُأل، ثمثعاثذ اإ:ت نُأفإ ث
اإ ثشاثتاإن أمثكافإئثثتاإن.
Anak Abdurrahman bin Abi Bakr lahir. Dikatakan kepada Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin,
akikahilah dengan seekor unta.” Aisyah berkata, “Aku berlindung kepada Allah, tetapi
(bukankah) Rasulullah mengatakan, ‘Dua kambing yang seimbang?’.”
Ada pendapat lain yang mengatakan bolehnya akikah dengan unta atau sapi. Pendapat ini
diriwayatkan dari Anas bin Malik dan sahabat Abu Bakrah lalu dipegangi oleh mayoritas para
ulama. Diriwayatkan bahwa Anas dan Abu Bakrah mengakikahi anaknya dengan unta. Dasar
pendapat ini—menurut Ibnul Mundzir—bisa jadi karena Nabi bersabda,
…… فثأ ثقهإريأقوُا ثعقنهأ ثدبما
Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyebutkan darah hewan tertentu. Hewan apapun
yang disembelih untuk akikah anak itu maka mencukupi. Dasar yang kedua, hadits,
“Barang siapa yang dilahirkan seorang anak laki-laki baginya, akikahilah dia dengan unta,
sapi, atau kambing.”
Adapun yang pertama, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut masih global.
Sementara itu, riwayat yang menyebutkan kambing telah menerangkan maksud darah
tersebut, yaitu darah kambing. Tentu saja dalil yang menjelaskan dan memperinci lebih utama
dipakai.
Adapun dalil kedua adalah hadits yang batil karena dalam sanadnya ada rawi bernama
Mas’adah, dia adalah rawi yang kadzdzab (pendusta) sebagaimana dikatakan oleh al-
Haitsami. (ash-Shahihah, no. 2720, Tuhfatul Maudud dan sumber lainnya)
Saya meminta fatwa kepada Anda—dengan izin Allah—tentang sebuah pembahasan yang
saya dengar dari sebuah program siaran kesehatan yang saya dengarkan. Apakah boleh orang
yang mengidap penyakit yang secara medis tidak ada harapan sembuh untuk meminta
dipercepat kematiannya? Apakah boleh permintaannya itu dikabulkan dalam rangka
meringankan rasa sakit yang dideritanya? Narasumber waktu itu mengatakan bahwa penderita
kanker—misalnya—yang tidak memiliki harapan sembuh lebih baik dia mati. olehkah
permintaan si sakit dikabulkan dan kita membunuhnya untuk meringankan sakit dan derita
yang berkepanjangan? Narasumber membicarakan tentang sebuah buku yang berjudul “Hak-
Hak Asasi”. Dia mengatakan bahwa di antara hak asasi manusia adalah menentukan sendiri
kapan hidupnya berhenti—apabila kehidupannya menyiksa dan menjadi derita bagi dirinya
serta orang lain. Bagaimana pandangan agama tentang masalah ini? Jazakumullah khairan.
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan
dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (al-An’am: 151)
ك ثعثلىَ ن
اإ يثإسيبرا صإليإه ثنُابرا ۚ ثوثكاثن ثذٰلإ ث ك أعقدثوابنُا ثوظأقلبما فثثسقوُ ث
ف نُأ ق ثوثل تثققتأألوُا ثأنُفأثسأكقم ۚ إإنن ن
اث ثكاثن بإأكقم ثرإحيبما )( ثوثمنِّ يثقفثعقل ثذٰلإ ث
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu. Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami
kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yangmdemikian itu adalah mudah bagi Allah.”
(an-Nisa: 29—30)
Dalam sebuah hadits sahih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ثمقنِّ قثتثثل نُثقفثسهأ بإثحإديثدرة فثثحإديثدتأهأ إفيِ يثإدإه يثقجأ ثبأثها بإثها إفيِ بث ق
طنإإه إفيِ ثنُاإر ثجهثننثم ثخالإبدا أمثخلنبدا إفيثها أثبثبدا ثوثمقنِّ ثشإر ث
ُب أسسسبلما فثقثتثسسثل نُثقفثسسسهأ فثهأسسثو
يثتثثحنساهأ إفيِ ثنُاإر ثجهثننثم ثخالإبدا أمثخلنبدا إفيثها أثبثبدا ثوثمقنِّ تثثرندىَ إمقنِّ ثجبثرل فثقثتثثل نُثقفثسهأ فثهأثوُ يثتثثرندىَ إفيِ ثنُاإر ثجهثننثم ثخالإبدا أمثخلنبدا إفيثها أثبثبدا
“Barang siapa membunuh dirinya dengan sebuah benda tajam, benda itu akan berada di
tangannya membelah perutnya di neraka Jahannam dalam waktu yang sangat lama. Barang
siapa membunuh dirinya dengan meminum racun, dia senantiasa meminumnya di neraka
Jahannam dalam jangka waktu yang sangat lama. Barang siapa membunuh dirinya yang
menjatuhkan diri dari puncak gunung, dia akan senantiasa menjatuhkan dirinya di neraka
Jahannam dalam waktu yang sangat lama.” (Muttafaqun ‘alaih)
Diriwayatkan dari Abu Qilabah, dari Tsabit bin adh-Dhahhak radhiyallahu ‘anhu, ia
mengatakan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Barang siapa membunuh dirinya dengan sesuatu, ia akan diazab dengan benda itu pada hari
kiamat.” (HR. al- Jamaah)
Jundub bin Abdillah al-Bajali radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
ع فثأ ثثخثذ إسمكيبنا فثثحنز بإثها يثثدهأ فثثما ثرقثأ ث الندأما ثحنتىَ ثما ث
ثباثدثرإنُيِ ثعقبإديِ بإنثقفإسسسإه:َت ثقاثل اأ تثثعاثلى ثكاثن إفيثمقنِّ ثكاثن قثقبلثأكقم ثرأجهل بإإه أجقرهح فثثجإز ث
ق
ت ثعلثقيإه الثجننةث ثحنرقم أ
“Pada umat sebelum kalian ada seorang lelaki yang terluka. Dia merasa putus asa lantas
mengambil pisau untuk memotong tangannya. Darah pun terus mengalir hingga ia mati. Allah
Subhanahu wata’ala berfirman, ‘Hamba-Ku telah lancang mendahului-Ku dalam hal jiwanya.
Aku haramkan surga atasnya’.” (Muttafaqun ‘alaih, dan ini lafadz al-Bukhari)
Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang seseorang menginginkan
kematian disebabkan musibah yang menimpanya dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu. Ia mengatakan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ِإ
“Janganlah salah seorang dari kalian menginginkan kematian karena musibah yang
menimpanya. Apabila memang dia harus melakukannya, katakanlah, ‘Ya Allah, hidupkanlah
aku apabila hidup memang lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku apabila kematian lebih
baik bagiku’.” ( HR. al-Bukhari dan Muslim, ini lafadz al-Bukhari)
Al-Bukhari juga mengeluarkan sebuah riwayat dengan lafadz yang berbeda dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,
ت إإنما أمقحإسبنا فثلثثعلنهأ أثقن يثقزثداثد ثخقيبرا ثوإإنما أمإسيبئا فثلثثعلنهأ أثقن يثقستثقعتإ ث
ب ثو يثتثثمننيثننِّ أثثحأدأكقم اقلثمقوُ ث
“Janganlah salah seorang dari kalian menginginkan kematian. Bisa jadi, dia telah berbuat baik
(selama ini) sehingga akan bertambah kebaikannya (dengan tetap hidup); bisa jadi pula, dia
selama ini berbuat buruk sehingga (dengan tetap hidup) akan bisa memperbaiki diri.”
Apabila sekadar menginginkan kematian dan memintanya kepada Allah Subhanahu wata’ala
itu dilarang, terlebih lagi seseorang sengaja mengajukan diri agar dirinya dibunuh atau ikut
serta dalam proses pembunuhan itu. Hal ini tentu melanggar batasan Allah dan merusak
kehormatan- Nya. Sebab, melakukan perbuatan ini berarti tidak sabar dan menentang terhadap
ketentuan dan takdir-Nya. Selain itu, perbuatan ini juga mengandung makna lancang dan
mendahului hikmah Allah ketika memberi musibah berupa kebaikan dan keburukan dalam
rangka menguji hamba-Nya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-
benarnya).” (al-Anbiya: 35)
Allah l telah menguji sebagian hamba-Nya dengan sakit—dan Dia Maha Memiliki hikmah
dalam segala perbuatan- Nya, Mahatahu apa yang terbaik bagi hamba—yang justru hal itu
lebih baik bagi hamba, menambah perbuatan baiknya dan kekuatan imannya, lebih
mendekatkan dirinya kepada AllahS ubhanahu wata’ala dengan rasa tenang, tunduk,
merendahkan diri di hadapan-Nya, tawakal dan berdoa hanya kepada-Nya.
Karena itu, apabila seseorang ditimpa musibah berupa penyakit, seyogianya dia (1)
mengharap pahala dan (2) bersabar terhadap musibah yang menimpanya— karena di antara
jenis-jenis kesabaran adalah sabar terhadap musibah yang menimpa. Dengan demikian,
dirinya akan diridhai oleh Allah Subhanahu wata’ala, ditambah bagi amalan baiknya, diangkat
derajatnya di akhirat. Semua ini ditunjukkan oleh riwayat Shuhaib z, ia mengatakan bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Aku kagum dengan keadaan seorang mukmin. Sungguh, urusan seorang mukmin itu baik
seluruhnya, dan hal ini tidak didapatkan oleh seorang pun selain seorang mukmin. Apabila
mendapat kesenangan, ia bersyukur; hal ini baik baginya. Apabila ditimpa musibah, dia
bersabar; ini pun baik baginya.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya, Ahmad dalam al-Musnad,
dan ini lafadz al- Imam Ahmad)
لىَ ثما أث ث
صابثهأقم ٰ صابإإريثنِّ ثع ث
ثوال ن
“Orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka.” (al-Hajj: 35)
صيبثةه ثقاألوُا إإننُا إنلإ ثوإإننُا إإلثقيإه ثراإجأعوُثن صابإإريثنِّ )( النإذيثنِّ إإثذا أث ث
صابثقتأهم يَم إ ثوبثمشإر ال ن
“Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang
apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” (al-
Baqarah: 155—156)
ت
صابإثرا إ
صابإإريثنِّ ثوال ن
ثوال ن
Demikian pula ditunjukkan oleh hadits Anas, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
ط فثلثهأ النسثخطأ
ضا ثوثمقنِّ ثسإخ ث
ضثيِ فثلثهأ المر ث ظم اقلبثثلإء ثوإإنن اث إإثذا أثثح ن
ب قثقوُبما اقبتثثلهأقم فثثمقنِّ ثر إ ظثم اقلثجثزاإء ثمثع إع ث
إإنن إع ث
“Sesungguhnya besarnya pahala itu sesuai dengan besarnya cobaan. Sungguh, apabila Allah
Subhanahu wata’ala mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka. Barang siapa ridha
(terhadap ujian itu), dia akan mendapatkan ridha (Allah) juga. Barang siapa marah (terhadap
ujian itu), dia pun mendapatkan kemarahan (Allah).” (HR. at-Tirmidzi dalam Jami’-nya,
beliau mengatakan, “Hasan gharib dari jalur ini.”)
Demikian pula hadits Mush’ab bin Sa’d dari ayahnya radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan,
صسسقلببا َهلل فثيأقبتثثلىَ النرأجأل ثعثلىَ ثحثس إ، اقلثقنُبإثياأء ثأنم اقلثقمثثأل ثفاقلثقمثثأل:س أثثشيَد بثثلبء؟ ثقاثل
َهلل فثإ إقن ثكسساثن إدينأسسهأ أ،ب إدينإإه ََهلل أث ي، ثيا ثرأسوُثل اإ:ت
يِ الننا إ قأقل أ
ب إدينإسسإه فثثمسسا يثقبسثرأح اقلبثثلأء إباقلثعقبسسإد ثحتنسسىَ يثقتأرثكسسهأ يثقمإشسيِ ثعثلسىَ اقلثقر إ
ض ثمسا ثعلثقيسإه اقشتثند بثثلأؤهأ ثوإإقن ثكاثن إفيِ إدينإإه إرقنةه اقبتألإثيِ ثعثلىَ ثحثس إ
ثخإطيئثةه
Aku berkata, “Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling keras cobaannya?” Beliau
menjawab, “Para nabi, kemudian yang semisalnya, kemudian yang semisalnya. Seseorang
diuji sesuai dengan kekuatan agamanya. Apabila agamanya kuat, ujian yang menimpanya pun
keras. Apabila agamanya ada kelemahan, dia diuji sesuai dengan keadaan agamanya.
Senantiasa cobaan menimpa seorang hamba hingga menjadikannya berjalan di muka bumi
tanpa ada satu (dosa) kesalahan pun pada dirinya.” (HR. at-Tirmidzi, beliau katakan, “Ini
hadits hasan sahih.”)
Demikian pula yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ثما يثثزاأل اقلبثثلأء إباقلأمقؤإمإنِّ ثواقلأمقؤإمنثإة إفيِ نُثقفإسإه ثوثولثإدإه ثوثمالإإه ثحنتىَ يثقلثقىَ اث ثوثما ثعلثقيإه ثخإطيئثةه
“Senantiasa cobaan menimpa seorang mukmin dan mukminah, pada dirinya, anaknya, dan
hartanya; hingga ia bertemu Allah tanpa membawa satu kesalahan pun.” (HR. at-Tirmidzi)
Oleh karena itu, seseorang yang tertimpa musibah penyakit diharamkan berusaha membunuh
dirinya. Sebab, kehidupan dirinya bukanlah miliknya. Kehidupannya itu milik Allah yang
telah menentukan berbagai takdir dan jangka waktu. Selain itu, jika telah mati, seorang hamba
tidak lagi bisa beramal. Dari kehidupan yang dijalaninya, seorang mukmin diharapkan
mendapatkan yang lebih baik. Bisa jadi, ia akan bertobat kepada Allah Subhanahu wata’ala
dari dosa-dosanya yang telah lalu, kemudiaan mempersiapkan bekal amal saleh: shalat, puasa,
zakat, haji, zikir, berdoa kepada Allah, dan membaca al-Qur’an. Dengan demikian, dia akan
mencapai derajat tertinggi di sisi Allah.
Di samping itu pula, seorang yang sakit akan dituliskan baginya pahala amalan yang biasa ia
lakukan semasa sehatnya. Hal ini disebutkan oleh haditshadits yang sahih. Adapun dokter dan
tenaga medis yang mau menerima permintaan si sakit untuk membunuh dirinya dan
menolongnya melakukannya, mereka berdosa.
Pandangan mereka sangat pendek, ini menunjukkan kebodohan mereka. Sebab, mereka hanya
memandang kehidupan manusia dan kelanjutannya dari sisi kelayakan dan kekuatan hidup
secara fisik, memiliki kemampuan, bisa bersenang-senang, dan berlaku sombong.
Mereka tidak memandang kehidupannya akan berlanjut hingga bertemu Rabbnya dengan
membawa bekal amal saleh, kalbu yang lembut luluh, tunduk, tenang, dan merendahkan diri
di hadapan-Nya. Keadaan hamba yang seperti ini lebih disukai dan lebih dekat kepada Allah
daripada seseorang yang sombong, melampaui batas, dan menggunakan kekuatan fisiknya
dalam hal yang dimurkai oleh Allah. Allah Subhanahu wata’ala pun Mahamampu untuk
menyembuhkannya. Apa yang sekarang mustahil menurut pandangan manusia, bisa jadi
mudah pengobatannya pada masa yang akan datang, dengan takdir Allah, Dzat yang tidak ada
sesuatu pun di langit dan di bumi yang mampu melemahkan-Nya. Wabillahi at-taufiq, wa
shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad, wa alihi shahbihi wa sallam.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz; Wakil: Abdul Aziz Alu asy-Syaikh;
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Shalih al-Fauzan, Bakr Abu Zaid. (Fatawa al- Lajnah
25/85—91, fatwa no. 19165)
Kami mengharapkan jawaban tentang hukum Islam terhadap mahasiswa kedokteran yang
ketika masa kuliahnya melakukan praktikum bedah mayat. Selain itu mereka harus
menyingkap aurat wanita atau sebagiannya. Mereka mengatakan bahwa hal tersebut dalam
rangka mempelajari kedokteran dan harus dilakukan agar mereka tidak menjadi dokter yang
bodoh (tentang anatomi) dan tidak bisa mengobati penyakit yang diderita wanita. Apabila ini
terjadi, tentulah para wanita muslimah akan ditangani oleh dokter-dokter Nasrani atau yang
lain.
Al-Lajnah ad-Daimah menjawab: Pertama; tentang operasi bedah mayat, telah keluar
ketetapan dari Haiah Kibarul Ulama (Dewan Ulama Besar) Kerajaan Arab Saudi yang garis
besarnya sebagai berikut. Masalah ini terbagi tampak memiliki tiga keadaan:
b. Otopsi untuk meneliti sebuah penyakit yang mewabah dalam rangka menemukan prosedur
perlindungan (masyarakat) dari penyakit tersebut.
c. Bedah mayat untuk kepentingan ilmu pengetahuan, yakni kegiatan belajar dan mengajar.
Setelah komisi yang terkait bertukar pikiran, beradu argumentasi, dan mempelajari masalah di
atas, forum mengeluarkan ketetapan sebagai berikut. Tentang dua keadaan yang pertama
(yakni poin a dan b), forum memandang bahwa pembolehannya bisa mewujudkan banyak
maslahat dalam bidang keamanan dan pengadilan, serta perlindungan masyarakat dari
penyakit yang mewabah. Efek negatif tindakan otopsi tersebut akan tertutup oleh sekian
banyak maslahat yang nyata dan berdampak luas.
Oleh karena itu, forum sepakat menetapkan bolehnya pembedahan mayat untuk dua tujuan
ini, baik mayat tersebut terlindungi (oleh hukum syariat, -pent.) maupun tidak. Adapun terkait
dengan jenis bedah mayat yang ketiga, yaitu untuk kepentingan ilmiah, dengan
mempertimbangkan bahwa:
• bolehnya dilakukan sebuah tindakan yang lebih kecil kerusakannya untuk menghilangkan
hal yang kerusakannya lebih besar,
• apabila dua hal yang bermaslahat ternyata kontradiktif, dipilih yang lebih banyak efek
positifnya,
• operasi bedah mayat berefek positif terhadap kemajuan berbagai bidang ilmu kedokteran;
maka forum memandang bolehnya operasi bedah mayat manusia secara global. Di sisi lain,
forum mempertimbangkan:
• perhatian syariat Islam terhadap kemuliaan seorang muslim yang telah meninggal
sebagaimana saat hidupnya; sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad,
Abu Dawud, dan Ibnu Majah, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
ثكقسأر ثع ق
ظم اقلثميم إ
ت ثكثكقسإرإه ثحبليا
• kebutuhan operasi bedah mayat muslim bisa diganti dengan mayat yang tidak dilindungi
(oleh syariat); maka forum memandang hendaknya dicukupkan dengan operasi bedah
terhadap mayat yang semacam ini dan tidak melakukannya terhadap mayat yang dilindungi
(oleh syariat), dalam keadaan yang telah disebutkan.
Kedua; tentang menyingkap aurat wanita, apabila ada wanita lain yang bisa melakukannya,
seorang lelaki tidak boleh melakukannya. Apabila tidak ada wanita yang bisa melakukannya
—sementara ada faktor yang mengharuskan aurat si wanita disingkap—seorang lelaki muslim
boleh melakukannya sekadarnya, dalam rangka mengetahui penyakit si wanita. Apabila
mayatnya adalah wanita nonmuslim atau yang tidak dilindungi (oleh syariat), tidak ada
halangan auratnya disingkap dalam rangka kegiatan belajar mengajar dan mengetahui
penyakit-penyakit yang diderita wanita sekaligus cara penyembuhannya, berdasarkan
ketetapan Haiah Kibarul Ulama yang disebutkan di atas.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Wakil: Abdur Razzaq Afifi
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud (Fatawa al-Lajnah 25/93—95,
س ثوأثثمثرثنُا إباإلقجتإثمسسا إ
ع ت إللننا إ ب وثجثعلثثنا لثثنا ثخقيثر أأنمرة أأقخإرثج ق ضثل الأكتأ إ ضثل اليَرأسإل ثوأثقنُثزثل ثعلثقيثنا أثقف ث ب اقلثعالثإمقيثنِّ أثقرثسثل إإلثقيثنا أثقف ثاقلثحقمأد ثر م
َهلل ثوأثقشسسهثأد ثأن لث إإلثسسهث إإلن،َصسسى
َهلل أثقحثمأدهأ تثثعاثلىَ ثوأثقشأكأرهأ ثعثلىَ نُإثعإمإه النإتيِ لث تأقح ث،َع الهثثوُى ق ثواتمثبا إ ثعلىَ الثحق ثوالهأثدىَ ثونُثثهاثنُا ثعقنِّ اإلقفتإثرا إ
ث
ضسساإء لث ثخقيسسثر إإلن ثدلنهثسسا ثعلثقيسسإه ثولث ثشسسنر إإلن أ
ك أنمتثهأ ثعثلىَ اقلثمثحنجسسإة اقلبثقي ث َهلل تثثر ث،هأثوُ لثهأ اقلثقسثماأء الأحقسثنىَ ثوأثقشهثأد أنن أمثحنمبدا ثعقبأدهأ ثوثرأسقوُلأهأ
أ
يِ أقنُإزثل ثمثعهأ ثوثسلنثم تثقسسسلإقيبماصأرقوهأ ثواتنبثأعقوُا اليَنقوُثر النإذ قصثحابإإه النإذقيثنِّ آثمنأقوُا بإإه ثوثعثزأرقوهأ ثونُث ث صنلىَ اأ ثعلثقيإه ثوثعثلىَ آلإإه ثوأث ق َهلل ث،ثحنذثرثها إمقنهأ
ث
َهلل أنما بثقعأد،ثكثإقيبرا:
Segala puji bagi Allah Subhanahu wata’ala, Rabb yang telah mengutus kepada kita sebaik-
baik utusan dan menurunkan sebaik-baik kitab suci. Saya bersaksi bahwasanya tidak ada
sesembahan yang berhak untuk diibadahi dengan benar selain Allah Subhanahu wata’ala
semata yang memiliki al-asmaul husna. Saya juga bersaksi bahwa Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba dan utusan-Nya yang telah menyampaikan risalah
dengan penuh amanah sehingga meninggalkan umat ini di atas agama yang jelas. Tidak ada
satu kebaikan pun kecuali umat telah diajak kepadanya. Tidak ada satu kejelekan pun kecuali
umat ini telah diingatkan darinya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada
Nabi kita Muhammad beserta keluarganya, para sahabatnya, dan kaum muslimin yang
mengikuti petunjuknya.
Hadirin rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala dengan sebenar-benar
takwa dan marilah kita menjadi hambahamba- Nya yang bersaudara. Yaitu bersaudara karena
iman yang diwujudkan dengan saling mencintai, kasih sayang, dan tolong-menolong dalam
kebenaran serta saling menasihati dan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar.
Jama’ah jum’ah rahimakumullah,
Al-Imam Ahmad dan al-Imam Muslim rahimahumallah meriwayatkan dengan lafadz yang
semakna dari jalan sahabat Abu Hurairah z dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa
beliau bersabda,
صسسأموُا بإثحقبسسإل اإسس ثجإميبعسسا ثولثضىَ لثأكسقم أثقن تثقعبأسسأدوهأ ثولث تأقشسإرأكوُا بإسسإه ثشسسقيبئا ثوأثقن تثقعتث إ
َهلل فثيثقر ث،ضىَ لثأكقم ثثلثبثا ثويثقكثرهأ لثأكقم ثثلثثبا
إإنن اث يثقر ث
ضاثعةث اقلثماإلصأحوُا ثمقنِّ ثولنهأ اأ أثقمثرأكقم؛ِهل ثويثقكثرهأ لثأكقم إقيثل ثوثقاثل ثوثكقثثرةث اليَسثؤاإل ثوإإ ث تثفثنرأقوُا ثوأثقن تأثنا إ
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala meridhai untuk kalian tiga hal dan membenci dari
kalian dari tiga hal: Allah Subhanahu wata’ala meridhai kalian agar beribadah kepada-Nya
dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun; berpegang kuat dengan agama Allah
Subhanahu wata’ala semuanya (bersatu) dan tidak berceraiberai; serta agar menasihati orang
yang Allah telah jadikan sebagai penguasa bagi kalian. (Dan Allah) membenci kalian dari
mengatakan (setiap apa yang) dikatakan (kepada kalian), banyak bertanya, dan membuang-
buang harta.” (HR. Ahmad dan Muslim)
Hadirin rahimakumullah,
Di dalam hadits yang mulia ini, Nabi Muhammad memberitakan bahwa Allah Subhanahu
wata’ala meridhai kita untuk memiliki tiga sifat yang dengannya seseorang akan berbahagia
di dunia dan akhirat. Sifat-sifat tersebut adalah: Yang pertama adalah agar kita memperbaiki
akidah dengan memurnikan ibadah hanya untuk Allah Subhanahu wata’ala dan berlepas diri
dari berbagai jenis kesyirikan. Ini adalah perkara pertama yang harus diperhatikan. Sebab,
akidah merupakan ondasi yang dibangun di atasnya amalan seseorang. Apabila baik
akidahnya, akan bernilai sebagai ibadah dan akan bermanfaat amal salehnya. Adapun jika
rusak akidahnya, amalannya tidak bermanfaat dan tidak bernilai di sisi Allah Subhanahu
wata’ala. Oleh karena itu, seluruh rasul diperintah untuk mengajak pada perbaikan akidah
sebelum hal yang lainnya. Setiap rasul mengatakan,
“Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Rabb bagimu selain- Nya.” (al-A’raf:
59)
Perkara kedua yang Allah Subhanahu wata’ala ridha terhadap hamba-Nya adalah agar kaum
muslimin bersatu di atas agama-Nya dan meninggalkan perpecahan. Oleh karena itu, wajib
bagi kita untuk mengikuti jalan yang satu, yaitu jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
dan para sahabatnya. Kita tidak boleh berpecah belah dalam akidah dan ibadah serta dalam
hal yang berkaitan dengan hukum-hukum agama. Meskipun tidak dimungkiri bahwa berbeda
dan berselisih adalah sifat dan tabiat manusia, namun hal tersebut tidak berarti diperbolehkan.
Allah Subhanahu wata’ala telah memberikan jalan keluar ketika terjadi perselisihan,
sebagaimana tersebut dalam firman-Nya,
“Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (al- Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (an-
Nisa: 59)
Maka dari itu, jangan sampai kaum muslimin memiliki akidah dan ibadah yang berbeda-beda.
Begitu pula tidak boleh masing-masing menetapkan hukum, ini halal dan ini haram dari
dirinya sendiri tanpa berdasarkan dalil dan bimbingan ulama.
Jama’ah Jum’ah rahimakumullah,
Perlu diketahui bahwa berpecah belah adalah sifat orang-orang Yahudi dan Nasrani yang kita
dilarang untuk mengikuti jalan mereka sebagaimana tersebut dalam firman Allah Subhanahu
wata’ala,
“Dan tidaklah berpecah belah orangorang yang didatangkan al-kitab kepada mereka (Yahudi
dan Nasrani) melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata.” (al-Bayyinah: 4)
Di dalam ayat lainnya, Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ت ۚ ثوأأولٰثئإ ث
ك لثهأقم ثعثذا ه
ب ثعإظيهم ثوثل تثأكوُأنُوُا ثكالنإذيثنِّ تثفثنرأقوُا ثواقختثلثأفوُا إمنِّ بثقعإد ثما ثجاثءهأأم اقلبثيمثنا أ
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah
datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa
yang berat.” (Ali-Imran: 105)
Dari ayat tersebut kita juga memahami bahwa perpecahan bukanlah rahmat. Justru
perpecahan adalah azab dan akan membuat kaum muslimin saling bermusuhan. Perpecahan
akan mencegah kaum muslimin untuk saling menolong dalam kebaikan.
Oleh karena itu, yang semestinya dilakukan oleh kaum muslimin agar menjadi umat yang
satu, yaitu dengan
kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah serta mengikuti jalan Rasulullah n, baik dalam
akidah, ibadah, muamalah, maupun perselisihan yang terjadi di antara mereka.
Perlu diingat, agama kita adalah agama yang menjaga persatuan dan kebersamaan dalam
banyak permasalahan, seperti dalam bermasyarakat dan bernegara, maupun dalam
menjalankan ibadah shalat, haji, berhari raya, dan yang semisalnya.
Karena itu, sungguh memprihatinkan keadaan sebagian kaum muslimin yang berpecah-belah
dalam kelompokkelompok tertentu yang masing-masing bangga dengan kelompoknya serta
fanatik buta membela kelompoknya tanpa melihat benar atau salah.
Khutbah Kedua
Adapun perkara ketiga yang Allah Subhanahu wata’ala ridha untuk kita menjalankannya
adalah menegakkan nasihat terhadap penguasa dengan menaatinya, mendoakan kebaikan
untuknya ataupun membantunya untuk kebaikannya dan kebaikan masyarakatnya. Penguasa
yang dimaksud adalah penguasa muslim yang sah yang memimpin suatu negeri dan memiliki
wilayah serta kekuatan, baik dia menjadi penguasa dengan cara dipilih maupun cara yang
lainnya. Allah Subhanahu wata’ala ridha kepada kaum muslimin untuk menaati pemerintah
dalam perkara yang ma’ruf serta untuk tidak melanggar aturan yang telah ditetapkannya
selama tidak bertentangan dengan syariat Allah Subhanahu wata’ala.
Begitu pula orang-orang yang mengemban amanat atau tugas dari penguasa, seperti para
pegawai pemerintahan atau yang semisalnya, wajib
bagi mereka untuk menjalankan tugas tersebut dengan sebaik-baiknya. Tidakboleh baginya
untuk memanfaatkan tugas yang diembannya sebagai kesempatan untuk mengeruk
keuntungan pribadi atau orang-orang dekatnya sehingga berlaku tidak adil dan merugikan
masyarakat secara umum.
Hadirin rahimakumullah,
Perlu diingat pula bahwa adanya seorang pemimpin muslim bagi suatu masyarakat adalah
karunia Allah Subhanahu wata’ala yang sangat besar. Tidak bisa dibayangkan apa yang akan
terjadi apabila suatu negara tidak ada pemimpinnya. Tentu kekacauan, rasa tidak aman, dan
ketakutan akan
menyelimuti negeri tersebut. Namun, tentu saja seorang pemimpin tidak akan menjadi sebab
kebaikan ketika masyarakat tidak mau menaatinya dan menghormatinya. Maka dari itu,
sungguh hal ini merupakan prinsip-prinsip yang sangat penting untuk dipahami dan
diamalkan.
Demikianlah yang disebutkan dalam hadits yang mulia ini. Kandungannya akan
mendatangkan kebaikan yang besar jika kaum muslimin mengamalkannya dalam
kehidupannya.