Anda di halaman 1dari 12

ASPEK FARMAKOKINETIK KLINIK BEBERAPA OBAT BERPOTENSI

HEPATOTOKSIK PADA PASIEN RAWAT INAP di BANGSAL PARU


RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
PERIODE OKTOBER 2011- JANUARI 2012

Oleh : Intan Julita*)


Korespondensi : aidj2@yahoo.co.id

Farmakokinetik klinik merupakan aplikasi konsep farmakokinetik pada dunia pengobatan dalam rangka
mewujudkan terapi obat yang aman dan efektif pada seorang pasien (farmakoterapi) sehingga keberhasilan
pengobatan dapat dicapai. Karena perbedaan antara pasien dalam farmakokinetik (ADME) maupun perubahan
kondisi patologik pasien, maka sulit merancang aturan dosis tepat. Adanya korelasi yang kuat antara konsentrasi
obat dengan respon farmakologinya memungkinkan prinsip farmakokinetika dapat ditetapkan pada kondisi
pasien yang sebenarnya. Obat berpotensi hepatotoksik adalah obat yang dapat menginduksi kerusakan hati atau
biasanya disebut (drug induced liver injury). Penelitian ini dilakukan pada pasien rawat inap di bangsal paru
RSUP DR. M. DJAMIL Padang selama 4 bulan (Oktober 2011-Januari 2012). Jenis data yang diambil meliputi
masalah-masalah aspek farmakokinetik yang ditemukan terkait dengan penggunaan obat berpotensi
hepatotoksik yaitu aspek kesesuaian dosis, keefektifan terapi, efek samping yang merugikan, efek toksik dan
interaksi. Data dianalisa secara statistik deskriptif serta dilakukan perhitungan jumlah persentase dan disajikan
dalam bentuk tabulasi dan diagram. Dari penelitian ini didapatkan penggunaan beberapa obat berpotensi
hepatotoksik yaitu parasetamol, OAT (rifampisin, isoniazod, pirazinamid, ethambutol, rantidin, lansoprazol,
tramadol, kortikosteroid (metilprednisolon, dexametason, prednison dan aminophilin. Child pugh Score lengkap
didapat dari 17% pasien dan 83% tidak lengkap. Dari 17% pasien berada pada rentang score 7-9 (kerusakan hati
sedang). Dari penelitian juga didapat 100% pasien mengalami gejala subjektifitas dan objektifitas kerusakan
fungsi hati. Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa belum adanya penerapan aspek farmakokinetik klinik pada
pasien yang menggunakan obat berpotensi hepatotoksik yang dirawat di bangsal paru RSUP. DR. M. Djamil
Padang.

PENDAHULUAN kerusakan yang tidak permanen namun dapat


berlangsung lama dan fatal (Setiabudy,1979;
Hati merupakan organ sensitif. Salah satu Suasono, 1985).
fungsinya yang penting adalah melindungi tubuh Hepatotoksisitas akibat obat harus selalu
terhadap terjadinya penumpukan zat berbahaya dipertimbangkan sebagai kemungkinan penyebab
yang masuk dari luar, seperti obat atau herbal penyakit hati. Sebuah survei dari Acute Liver
tertentu. Banyak diantara obat yang bersifat larut Failure Study Group (ALFSG) yang dilakukan
dalam lemak dan tidak mudah diekresikan. pada pasien rawat inap di 17 rumah sakit Amerika
Metabolisme tubuh akan memproses obat melalui Serikat menunjukan bahwa obat yang diresepkan
hati. Untuk itu, organ hati memiliki sistem enzim (termasuk asetaminofen) menyebabkan > 50%
pada mikrosomnya yang dapat melakukan kasus gagal hati akut. Saat ini, efek hepatotoksik
biotransformasi (dari obat) sehingga terbentuk merupakan alasan utama terhentinya
metabolit yang lebih mudah larut dalam air dan pengembangan obat lebih lanjut dan ditariknya obat
dapat dikeluarkan melalui urin atau empedu. yang telah disetujui oleh FDA dari pasaran
Banyak penyakit yang memang bisa diatasi dengan (Andrade, et al, 2007). Salah satu alasan penarikan
berbagai obat. Obat-obatan tetap merupakan bahan obat di pasaran adalah karena obat-obat tersebut
kimia yang sangat mungkin mempengaruhi fungsi menyebabkan peningkatan kadar enzim-enzim di
organ dalam tubuh, terutama hati. Berdasarkan hati (Dipiro, 2005).
keterangan diatas, tidak mengherankan bila hati Farmakokinetika adalah ilmu yang
mempunyai kemungkinan yang cukup besar untuk mempelajari kinetika obat, yang dalam hal ini
‘dirusak’ oleh obat. Lazimnya, istilah yang berarti kinetika obat dalam tubuh. Proses-proses
digunakan untuk obat penyebab kerusakan hati yang akan menentukan kinetika obat dalam tubuh
disebut ‘obat penginduksi kerusakan hati’ (drug meliputi proses absorpsi, distribusi, metabolisme
induced liver injury). Sedangkan efeknya disebut dan ekskresi. Untuk bidang farmasi klinik,
hepatotoksik atau toksik ke hepar (hati). Prevalensi farmakokinetika berperan penting dalam memilih
kerusakan hati akibat obat sangat tinggi, mulai dari rute pemberian obat yang paling tepat, penetapan
dosis yang tepat untuk setiap individu (dosage dikelompokan berdasarkan nilai Child Pugh Score.
regimen individualization), menerangkan Obat-obat yang diterima dari masing-masing
mekanisme interaksi obat, baik antara obat dengan kelompok dievaluasi bedasarkan faktor obat-obat
obat maupun antara obat dengan makanan atau dengan indeks terapi sempit, obat-obat yang
minuman (Cahyati, 1985; Santoso, 1985). dimetabolisme terutama di hati, serta obat-obat
yang memiliki efek hepatotoksik. Analisa dosis,
METODOLOGI interaksi dan efek samping obat yang diterima
pasien untuk melihat peningkatan intensitas efek
Tempat dan Waktu Penelitian samping atau munculnya efek toksik obat yang
Penelitian dilaksanakan di Bangsal Paru menyebabkan penurunan fungsi hati. Data
RSUP DR. M. Djamil Padang. Waktu penelitian dianalisis secara deskriptif serta dilakukan
dilakukan kurang lebih selama 4 bulan dari perhitungan jumlah persentase dan disajikan dalam
Oktober 2011 sampai dengan Januari 2012. bentuk tabulasi dan diagram.
Jenis Penelitian
Tabel 1. Child Pugh score
Jenis Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan Tes/ Gejala Skor 1 Skor 2 Skor 3
menggunakan data observasi prospektif pada poin poin poin
pasien rawat inap yang menggunakan obat Total Bilirubin <2.0 2.0-3.0 >3.0
berpotensi hepatotoksik di Bangsal Paru RSUP DR. (mu mol/dL)
M. Djamil Padang. Serum Albumin >3.5 2.8-3.5 <2.8
(g/dL)
Jenis Data Prothrombin time <4 4-6 >6
1. Data Kuantitatif (seconprolong over
Meliputi persentase penggunaan obat berpotensi control)
hepatotoksik dan persentase obat-obat yang Asites Tidak Slight Moderate
berinteraksi dengan obat berpotensi ada
hepatotoksik di Bangsal Paru RSUP. DR. M. Hepatic Tidak Moderate Severe
Djamil Padang. Encephalopathy ada
2. Data Kualitatif
Meliputi masalah-masalah aspek HASIL
farmakokinetik yang ditemukan terkait dengan Hasil yang diperoleh dari penggunaan obat
penggunaan obat berpotensi hepatotoksik yaitu berpotensi hepatotoksik di Bangsal Paru RSUP.
aspek kesesuaian dosis, efek terapi, efek DR. M. Djamil Padang selama bulan Oktober 2011
samping yang merugikan, efek toksik dan hingga bulan Januari 2012 adalah sebagai berikut :
interaksi yang terjadi akibat pemberian fenitoin 1. Jumlah pasien yang dirawat inap di Bangsal
yang bermakna klinik. Paru RSUP. DR. M. Djamil Padang selama
bulan Oktober 2011 hingga bulan Januari 2012
Pengumpulan Data adalah 172 orang dan yang menggunakan obat
Data yang diambil adalah data rekam berpotensi hepatotoksik berjumlah 81 orang
medik pasien yang menggunakan obat dengan persentase 47%. Dari 81 pasien
berpotensi hepatotoksik (obat- obat dengan diperoleh data pasien laki-laki berjumlah 60
indeks terapi sempit, obat-obat yang orang (74%), dan data pasien perempuan
dimetabolisme terutama di hati, serta obat-obat berjumlah 21 orang (26%). Dari 81 pasien
yang memiliki efek hepatotoksik) dan dan diperoleh data usia <25 tahun adalah 12% (10
observasi langsung kepada pasien atau keluarga orang) , usia 26-35 tahun adalah 16% ( 13
pasien yang dirawat inap di bangsal paru RSUP orang), usia 36-45 tahun adalah 12% (10
Dr. M. Djamil Padang. Kemudian obat yang orang), usia 46-55 tahun adalah 17% (14
digunakan dicatat pada formulir yang tersedia. orang), usia 56-65 tahun adalah 29% (23
Adapun data yang dibutuhkan pada rekam orang), dan usia >65 tahun adalah 14% (11
medik antara lain: nama pasien, jenis kelamin, orang).
umur, obat yang digunakan, kadar SGPT, kadar 2. Berdasarkan data yang ada, obat berpotensi
SGOT, waktu prothrombin, kadar albumin hepatotoksik yang digunakan di Bangsal Paru
darah, kadar bilirubin total, asites, ensepalopati RSUP. DR. M. Djamil Padang: Obat berpotensi
hepatika dan data-data lain yang diperlukan. hepatotoksik adalah Parasetamol. Obat
berpotensi hepatotoksik yang dimetabolisme
Analisa Data terutama dihati adalah Obat OAT (rifampisin;
Data dianalisa menggunakan penilaian Child Pugh isoniazid, pirazynamid, ethambutol), ranitidin,
Score. Pasien dikelompokan berdasarkan obat lansoprazol, tramadol, kortikosteroid (metyl
berpotensi hepatotoksik yang digunakan lalu prednisolon; dexametason; prednison). Obat
berpotensi hepatotoksik yang merupakan obat 7. Aminophilin merupakan obat indeks terapi
indeks terapi sempit adalah Aminophilin. sempit untuk itu, perlu dilakukan perhitungan
3. Persentase jumlah pasien yang menggunakan dosis sesuai dengan keadaan klinis pasien.
obat berpotensi hepatotoksik yang Pasien yang menggunakan aminophilin
dimetabolisme terutama di hati adalah 32%. sebanyak 24 orang pasien (3 orang oral dan
Persentase jumlah pasien yang menggunakan 21 orang intravena.
obat berpotensi hepatotoksik adalah 11%. a. Perhitungan dosis aminophilin intravena
Persentase jumlah pasien yang menggunakan berdasarkan loading dose. Berdasarkan
obat berpotensi hepatotoksik yang merupakan dosis yang direkomendasikan didapatkan
obat indeks terapi sempit 0%. Persentase jumlah persentase loading dose aminophilin
pasien yang menggunakan obat berpotensi terdapat 10% loading dose berlebih,
hepatotoksik lebih dari satu kategori 76% loading dose kurang dan 14%
(kombinasi) adalah 57%. loading dose tepat. Berdasarkan klirens
4. Persentase jumlah kelengkapan komponen (Cl) dan konsentrasi steady state (Css)
parameter Child-Pugh. Berdasarkan data didapatkan 19% loading dose berlebih,
prospektif pasien yang dirawat selama bulan 71% loading dose kurang dan 10%
Oktober 2011 hingga bulan Januari 2012 di loading dose tepat.
Bangsal Paru RSUP. DR. M. Djamil Padang b. Perhitungan dosis aminophilin intravena
diperoleh data komponen parameter Child-Pugh berdasarkan dosis lanjutan (maintenance
yang lengkap adalah 17% (14 orang) dan yang dose). Berdasarkan dosis yang
tidak lengkap adalah 83% (67 orang). Dari data direkomendasikan didapatkan persentase
tersebut diperoleh pengelompokan rentang skor dosis lanjutan aminophilin terdapat 33%
nilai Child Pugh kelas A (< 7 poin), kelas B (7- dosis lanjutan berlebih, 67% dosis
9 poin), dan kelas C (10-15 poin) masing- lanjutan kurang dan 0% dosis lanjutan
masing sebesar 0%, 100% dan 0%. tepat. Berdasarkan klirens (Cl) dan
5. Berdasarkan data SGPT/ALT didapatkan 1 konsentrasi steady state (Css) didapatkan
orang (1%) pasien mengalami hepatotoksisitas persentase dosis lanjutan aminophilin
grade IV, 1 orang (1%) pasien mengalami terdapat 10% dosis lanjutan berlebih,
hepatotoksisitas grade III, 1 orang (1%) pasien 71% dosis lanjutan kurang dan 19%
mengalami hepatotoksisitas grade II, 14 orang dosis lanjutan tepat
(17%) pasien mengalami hepatotoksisitas grade c. Perhitungan dosis aminophilin oral
I, pasien yang tidak mengalami hepatotoksisitas berdasarkan dosis yang
ada 53 orang (66%). Sedangkan data SGPT direkomendasikan didapatkan persentase
yang tidak tersedia adalah 14% (11 orang). 25% dosis berlebih, 50% dosis kurang
6. a. Persentase jumlah pasien yang dan 25% dosis tepat. Berdasarkan
mengalami gejala subjektif klirens (Cl) dan konsentrasi steady state
hepatotoksisitas. Berdasarkan hasil (Css) didapatkan persentase 25% dosis
observasi pada pasien diperoleh 100% berlebih, 50% dosis kurang dan 25%
(81 orang) mengalami gejala dosis tepat.
subjektifitas hepatotoksisitas. Gejala 8. Persentase interaksi obat yang terjadi pada
subjektif meliputi keadaan lemah, pasien, ditemukan sebanyak 65%. Obat-
penurunan berat badan, mual/muntah, obat yang berinteraksi antara lain OAT dan
perut terasa tidak nyaman, demam, parasetamol (6 kasus), OAT dan antasida ( 2
kebingungan, penurunan nafsu makan kasus), OAT dan kortokosteroid (4 kasus),
dan rentan terhadap pendarahan. OAT dan aminophilin ( 1 kasus), OAT dan
b. Persentase jumlah pasien yang ondansentron ( 1 kasus), ranitidin dan
mengalami gejala objektif antasida (11 kasus), ranitidin dan
hepatotoksisitas. Berdasarkan hasil aminophilin (6 kasus), ranitidin dan
observasi pada pasien diperoleh 100% sefalosporin (17 kasus), ranitidin dan
(74 orang) mengalami gejala objektif diltiazem (1 kasus), kortikosteroid dan
hepatotoksisitas dan 7 orang tidak antasida (1 kasus), kortikosteroid dan
tersedia data laboratorium klinis aminophilin ( 19 kasus), aminophilin dan
sehingga tidak bisa diartikan secara azitromisin (5 kasus), zat besi dan antasida (3
klinis. Gejala objektifif meliputi kasus).
peningkatan kadar SGPT dan SGOT,
peningkatan kadar ALP, penurunan PEMBAHASAN
serum albumin, penurunan serum protein Penelitian Aspek Farmakokinetik Klinik
total, peningkatan kadar bilirubin dan beberapa Obat Berpotensi Hepatotoksik pada
peningkatan watu protombin. pasien Bangsal Paru RSUP DR. M. Djamil Padang
bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi
obat-obat yang berpotensi hepatotoksik yang farmakologi. Non farmakologi dapat dilakukan
digunakan pada pasien yang mengakibatkan dengan cara perbaikan gizi pasien serta melakukan
penurunan fungsi hati. Penelitian ini dilakukan agar pendidikan kesehatan. Berdasarkan standar terapi
dapat menghindari terjadinya penurunan fungsi hati RSUP Dr. M. Djamil Padang, terapi farmakologi
dan meningkatkan kualitas hidup pasien. dilakukan dengan cara pemberian obat anti
tuberkolosis (OAT) lini I yaitu rifampisin,
Gambaran Umum Pasien isoniazid, etambutol, pirazinamid dan streptomisin.
Pengambilan data penelitian secara Namun jika terjadi resistensi, pengobatan dapat
prospektif di Bangsal Paru RSUP. DR. M. Djamil dilanjutkan dengan lini II yaitu kanamisin,
rentang waktu bulan Oktober 2011 hingga bulan amikasin, kinolon, makrolid dan ko amosiklav
Januari 2012 yaitu pasien yang menggunakan obat (masih dalam penelitian), selain itu pasien perlu
berpotensi hepatotoksik. Sampel penelitian yang diberikan hepatoprotektor seperti Curcuma®. Dosis
diambil dengan melihat obat hepatotoksik yang OAT yang digunakan ditentukan berdasarkan berat
digunakan dan data laboratorium klinik pasien badan pasien (PFT RSUP Dr. M. Djamil Padang,
yaitu serum protein total, serum albumin, total 2007). Terapi farmakologi dan non farmakologi
bilirubin, alkaline phospatase (ALP), SGPT/ALT, harus berjalan seiringan demi kesembuhan pasien
SGOT/AST,dan lain-lain. Pada penelitian ini karena pengobatan TBC diperlukan waktu yang
diperoleh sampel sebanyak 81 orang pasien dengan cukup lama.
persentase sebanyak 74% laki-laki (60 orang) dan Dari hasil observasi didapatkan, 24 orang
26% perempuan (21orang) dimana persentase pasien menggunakan OAT. OAT yang digunakan
pasien laki-laki lebih tinggi dibandingkan adalah OAT FDC (Fixed Dose Combination). OAT
perempuan. Dari penelitian didapat penyakit yang FDC didesain dengan dosis tetap dengan tujuan
dirawat inap di Bangsal Paru RSUP. DR. M. untuk meningkatkan kepatuhan pasien sehingga
Djamil Padang adalah TBC,PPOK, Kanker pengobatan menjadi lebih sederhana dan
bronkogenik dan Asma. Dari data ini dapat menurunkan tingkat MDR (Multi Drug Resistance)
disimpulkan bahwa laki-laki lebih rentan terkena (Soepandi, 2009; Perhimpunan Dokter Paru
penyakit tersebut karena beberapa faktor resiko Indonesia, 2002). Penentuan dosis OAT FDC ini
seperti merokok. Di Indonesia prevalensi merokok didesain berdasarkan rentang dosis yang telah
pada laki-laki dilaporkan sekitar 50-70 % ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang
(Sajinaniasa, Bagiada & Ngurah, 2010). efektif atau masih termasuk dalam batas dosis
Pada penelitian ini juga diperoleh data terapi dan non toksik (Perhimpunan Dokter Paru
demografi berdasarkan usia dimana didapatkan 6 Indonesia, 2002). Aplikasi klinis ke pasien OAT
kelompok umur pasien yaitu 10 orang pasien FDC diberikan berdasarkan berat badan. Namun,
berumur < 25 tahun (12%), 13 orang pasien kelemahan dalam menggunakan OAT FDC ini, jika
berumur 26-35 tahun (16%), 10 orang pasien terjadi efek samping tidak bisa ditentukan obat
berumur 36-45 tahun (12%), 14 orang pasien mana yang menyebabkan terjadinya efek samping
berumur 46-55 tahun (17%), 23 orang pasien termasuk hepatotoksisitas. Selama pengamatan
berumur 56-65 tahun (29%), 11 orang pasien dalam penelitian, terapi pada pasien TBC sudah
berumur >65 tahun. Pada pasien dengan usia lanjut sesuai dengan standar terapi rumah sakit namun
diperlukan perhatian lebih lanjut dikarenakan aliran tidak semua pasien penerima OAT mendapatkan
darah ke hati pada pasien umur >60 tahun hepatoprotektor. Pasien mendapatkan OAT FDC
berkurang hingga 50-60% dibandingkan pasien kat I 1x3 tab dan FDC kat II 1x3 tab. Selain terapi
usia muda sekitar 20-30 tahun (Katzung, 2004). OAT pasien TBC juga diberikan beberapa terapi
Kemampuan hati untuk memetabolisme obat tidak simptomatis untuk mengatasi keluhan yang terjadi.
akan sama berdasarkan perbedaan umur untuk Pemakaian obat anti tuberkulosis (OAT)
semua jenis obat. Salah satu contohnya dalam dapat menimbulkan berbagai macam efek samping.
penelitian ini adalah perhitungan dosis aminophilin Salah satu efek samping yang cukup serius adalah
yang diberikan pada pasien usia lanjut karena t1/2 efek hepatotoksik. Mekanisme pasti OAT
pada geriatri berubah menjadi 12 jam yang pada menyebabkan hepatotoksisitas tidak diketahui
usia dewasa hanya 8 jam. secara pasti. Isoniazid menyebabkan
hepatotoksisitas dianggap sebagai reaksi yang tidak
Gambaran Penggunaan Obat Berpotensi diketahui (idiosinkratik). Reaksi idiosinkratik
Hepatotoksik merupakan efek samping obat yang tidak
Dalam penelitian ini ditemukan beberapa berhubungan dengan sifat farmakologi obat.
macam penyakit yang menggunakan obat Hepatotoksisitas terjadi tergantung dosis pada
berpotensi hepatotoksik antara lain tuberkolosis individu tertentu, tetapi hepatotoksisitas tidak
paru (TBC), asma bronkial, penyakit paru obstruksi terjadi pada setiap individu. Isoniazid
kronis (PPOK), efusi pleura, pneumothorax, dan menyebabkan hepatotoksisitas bukan merupakan
kanker bronkogenik. Untuk TBC prinsip dari reaksi hipersensitivitas atau alergi, tetapi dari
pengobatan nya adalah farmakologi dan non metabolit yang beracun (Tostmann, et al, 2007).
Ada beberapa ahli yang menyimpulkan bahwa sangat beresiko meningkatkan terjadi toksisitas
terjadi reaksi hipersensitivitas, namun ada juga aminophilin. Aminophilin dieliminasi terutama
yang mengatakan terjadinya kelainan metabolisme oleh hati (>90%). Metabolisme terutama oleh
terhadap individu- individu yang rentan. Reaksi enzim CYPIA2 dan sebagian lagi dalam jumlah
hipersensitivitas biasanya muncul 1-5 minggu pada yang lebih kecil dimetabolisme oleh CYP3A dan
masa terapi, sedangkan kelainan metabolisme dapat CYP2E. Sekitar 10% dari dosis aminophilin
muncul dalam masa terapi 1 minggu-setahum atau ditemukan di urine sebagai obat utuh. Sebenarnya,
lebih. Dari hasil pengamatan memang terbukti aminophilin mengikuti farmakokinetik non linear.
bahwa hepatotoksisitas karena OAT tidak terjadi Namun, untuk menetapkan dosis pada pasien,
pada semua pasien yang mengkonsumsi OAT. konsep dan persamaan farmakokinetik linear dapat
Walaupun demikian, pemantauan terhadap faal digunakan untuk menghitung dosis dan untuk
fungsi hati tetap dianjurkan. memperkirakan konsentrasi serum. Kadang-kadang
Pada asma bronkial juga diperlukan serum aminophilin meningkat lebih dari yang
penanganan farmakologi dan non farmakologi. diperkirakan karena alasan yang tidak diketahui,
Pada serangan akut, berdasarkan PFT RSUP Dr. M. dan farmakokinetik non linear dapat menjelaskan
Djamil terapi non farmakologi dapat dilakukan hal tersebut (Bauer, 2008).
dengan cara memberikan oksigen dan terapi cairan. Dengan fungsi hati normal dan tanpa
Terapi farmakologi dimulai dari bronkodilator penyakit t1/2 aminophilin 8 jam (range: 6-12 jam)
yaitu agonis β-2 kerja singkat inhalasi (misalnya dan volume distribusinya 0,5 L/Kg (range: 0,4-0,6
salbutamol nebules) atau dengan agonis β-2 kerja L/Kg). Banyak penyakit yang mengubah
singkat injeksi (misalnya terbutalin injeksi) atau farmakokinetik dan dosis aminophilin yang
kombinasi agonis β-2 kerja singkat dan dibutuhkan, tetapi volume distribusi tetap stabil
antikolinergik inhalasi (misalnya salbutamol dan ~0,5 L/Kg dalam situasi ini (Bauer, 2008).
ipratropium bromida). Lalu penggunaan Pasien dengan sirosis hati atau akut
kortikosteroid seperti metilprednisolon injeksi, hepatitis dapat menurunkan klirens aminophilin
budesonide inhalahasi atau fluticasone propionat menjadi rata-rata t1/2 nya 24 jam. Namun, efek dari
inhalasi. Kemudian lakukan nilai ulang setelah penyakit hati terhadap farmakokinetik aminophilin
observasi satu jam (PFT Paru RSUP Dr. M. Djamil sangat bervariasi dan sangat sulit untuk diprediksi
Padang, 2007). Pada kasus serangan akut, secara akurat. Pasien dengan penyakit hati dapat
pengamatan tidak bisa dilakukan karena biasanya memiliki klearens atau t/12 aminophilin yang
terjadi di Instalasi Gawat Darurat (IGD), setelah normal atau sedikit tidak normal. Indeks kerusakan
pasien normal baru dipindahkan keruang hati dapat diperoleh dengan klasifikasi child pugh
perawatan. Setelah pasien dirawat terapinya adalah pada pasien. Bila child pugh skor lebih dari 8,
bronkodilator yaitu agonis β-2 kerja singkat inisial dosis aminophilin harus diturunkan (t1/2= 24
inhalasi (misalnya salbutamol nebules) atau agonis jam). Konsentrasi serum aminophilin dan efek
β-2 kerja singkat injeksi (misalnya terbutalin) atau samping yang muncul harus dimonitor sesering
kombinasi agonis β-2 kerja singkat dan mungkin pada pasien dengan sirosis hati (Bauer,
antikolinergik inhalasi (misalnya salbutamol dan 2008).
ipratropium bromida). Kortikosteroid seperti Setelah dilakukan perhitungan dosis
metilprednisolon injeksi, budesonide inhalahasi aminophilin yang harus diterima berdasarkan dosis
atau fluticasone propionat inhalasi. Dari hasil yang direkomendasikan, dari 25 orang pasien (4
pengamatan di lapangan penanganan pada pasien orang oral dan 21 orang intravena). Persentase yang
asma tidak sesuai dengan standar terapi rumah menerima dosis aminophilin secara intravena
sakit. Penanganan asma diruang rawatan selalu terdapat 33% dosis lanjutan berlebih, 67% dosis
dimulai dengan pemberian aminophilin drip lanjutan kurang, dan 0% dosis lanjutan tepat.
dilanjutkan dengan pemberian Combivent ® ( Sedangkan persentase loading dose aminophilin
Ipatropium bromida 0,5 mg, salbutamol sulfat 2,5 terdapat 10% loading dose berlebih, 76% loading
mg) atau Ventolin® (salbutamol sulfat) 4-6x unit dose kurang dan 14% loading dose tepat. Pada
vial dose . Setelah drip biasanya dilanjutkan dengan penggunaan aminophilin oral didapatkan persentase
aminophilin tablet atau salbutamol tablet. Selain itu 25% dosis berlebih, 50% dosis kurang dan 25%
pasien juga diberikan metilprednisolon, dosis tepat.
dexametason atau prednison. Sedangkan perhitungan berdasarkan nilai
Aminophilin merupakan obat dengan klirens (Cl) dan konsentrasi serum (Css) didapat
indeks terapi sempit untuk itu, penetapan dosis persentase yang menerima dosis aminophilin secara
pada pasien harus dilakukan sesuai dengan kondisi intravena terdapat 33% dosis lanjutan berlebih,
klinis pasien. Dari hasil pengamatan didapat bahwa 67% dosis lanjutan kurang, dan 0% dosis lanjutan
penentuan dosis aminophilin pada pasien hanya tepat. Sedangkan persentase loading dose
berdasarkan pengamatan dokter, tidak pernah aminophilin terdapat 10% loading dose berlebih,
dilakukan perhitungan dosis sesuai dengan berat 71% loading dose kurang dan 19% loading dose
badan dan pertimbangan kondisi lainya. Hal ini tepat. Pemberian aminophilin secara oral
didapatkan 2 orang pasien (50%) kekurangan dosis,
1 orang pasien (25%) kelebihan dosis dan 1 orang
pasien (25%) dosis tepat. Pada penggunaan Tabel III. Data perhitungan dosis aminophilin
aminophilin oral didapatkan persentase 25% dosis intravena berdasarkan klirens(Cl) dan
berlebih, 50% dosis kurang dan 25% dosis tepat konsentrasi steady state (Css).
Perhitungan dosis sudah dilakukan berdasarkan No Dosis yang Dosis seharusnya* Kesimpulan
fungsi hati pasien. Setelah dilakukan pengamatan
diberikan
di Bangsal Paru pemberian loading dose dilakukan
Loadin Dosis Loading Dosis Loading Dosis
selama 8-12 jam. Hal ini merupakan kesalahan
g dose lanjutan dose lanjutan dose lanjutan
karena seharusnya pemberian loading dose
(mg) (mg/jam) (mg) (mg/jam)
aminophilin dilakukan selama 20-30 menit. Setelah
itu baru diberikan dosis lanjutan sesuai dengan 1. 360 45 435-870 60,3-120,6 Kurang Kurang

berat badan pasien. Dari hasil diatas juga dapat 2. 240 30 264-529 43,1-86,3 Kurang Kurang
disimpulkan bahwa dosis aminophilin yang 3. 192 24 317-635 44-88 Kurang Kurang
diberikan lebih banyak kekurangan dosis, 4. 180 22,5 188-376 10,8-21,6 Kurang Lebih
seharusnya dosis dihitung dengan benar sesuai
5. 240 30 235-470 13,5-27 Tepat Lebih
dengan kondisi klinis pasien dan juga
6. 240 20 235-470 13,5-27 Tepat Tepat
mempertimbangkan interaksi obat yang terjadi.
7. 216 27 282-564 39,1-75,5 Kurang Kurang
Tabel I. Data perhitungan dosis aminophilin intravena
8. 240 30 329-658 45,6-91,3 Kurang Kurang
berdasarkan dosis yang direkomendasikan
9. 168 21 188-376 10,8-21,7 Kurang Tepat
No Dosis yang diberikan Dosis Kesimpulan 10 144 18 188-376 26,0-52,0 Kurang Kurang
seharusnya* 11 288 24 276-552 38,3-76,6 Lebih Kurang
Loading Dosis Loading Dosis Loading Dosis
dose lanjutan dose lanjutan dose lanjutan 12 192 24 205-411 28,5-57 Kurang Kurang
(mg) (mg/jam) (mg) (mg/jam) 13 192 24 176-352 24,4-48,9 Lebih Tepat
1 360 45 444 60,1 Kurang Kurang
14 240 30 352-705 48,9-97,8 Kurang Kurang
2 240 30 270 21,1 Kurang Lebih 15 192 16 188-376 26-52 Tepat Kurang
3 192 24 324 25,4 Kurang Kurang 16 192 16 305-611 42,3-84,7 Kurang Kurang
4 180 22,5 228 13,4 Kurang Lebih 17 240 30 352-705 48,9-97,8 Kurang Kurang

5 240 30 240 32,9 Tepat Kurang 18 192 24 235-470 13,5-27 Kurang Tepat
19 240 30 264-529 36,6-73,3 Kurang Kurang
6 240 20 250 14,1 Kurang Lebih
20 300 25 294-588 40,7-81,5 Tepat Kurang
7 216 27 288 20 Kurang Lebih
21 192 24 205-411 28,5-57 Kurang Kurang
8 240 30 324 40 Kurang Kurang

9 168 21 200 13,4 Kurang Lebih


Tabel IV Data perhitungan dosis aminophilin
1. 144 18 228 31,2 Kurang Kurang
oral berdasarkan berdasarkan
11 288 24 282 38,7 Lebih Kurang klearens (Cl) dan konsentrasi
12 192 24 210 28,8 Kurang Kurang steady state (Css).
13 192 24 180 14,1 Lebih Lebih
14 240 30 360 49,4 Kurang Kurang No Dosis Dosis Kesimpulan
yang seharusnya*
15 192 16 192 26,3 Tepat Kurang diberikan (mg)
16 192 16 312 24,4 Kurang Kurang (mg)
1. 3x150 3x 326-652 Kurang
17 240 30 360 49,4 Kurang Kurang 2. 3x 150 3x 122-244 Tepat
18 192 24 240 32,9 Kurang Kurang 3. 3x150 3x 48,9-97,8 Lebih
4. 3x150 3x 221-442 Kurang
19 240 30 270 21,1 Kurang Lebih

20 300 25 300 41,1 Tepat Kurang


*Hasil Perhitungan
21 192 24 210 28,8 Kurang Kurang

Dalam penelitian ini kortikosteroid yang


Tabel II. Data perhitungan dosis aminophilin oral digunakan adalah metilprednisolon, dexametason
berdasarkan dosis yang direkomendasikan dan prednison. Untuk penggunaan
metilprednisolon telah sesuai dengan standar
No Dosis yang Dosis Kesimpulan terapi rumah sakit, tapi untuk penggunaan
diberikan seharusnya * dexametason dan prednison tidak sesuai dengan
(mg) (mg) standar rumah sakit. Kortikosteroid digunakan
1. 3x150 3x 188 Kurang
2. 3x 150 3x 200 Kurang
secara luas untuk mengobati berbagai jenis
3. 3x150 3x 68 Lebih penyakit. Secara umum, obat ini dianggap aman
4. 3x150 3x150 Tepat untuk organ hati, namun, laporan terbaru
menunjukkan bahwa dosis tinggi farmakologi efusi pleura dan pneumothorax
metilprednisolon (MP) dapat menyebabkan disesuaikan dengan penyebabnya. Selain itu perlu
kerusakan hati yang parah. Sebuah kasus dilakukan pemeriksaan cairan pleura, bila cairan
melaporkan metilprednisolon dosis tinggi cukup banyak dilakukan pemasangan selang WSD
menyebabkan gangguan fungsi hati yang parah, (Water Seal Drainage). WSD merupakan suatu
menyebabkan hepatitis akut (Gutkowski, Chwist tindakan invasive yang dilakukan untuk
& Hartleb, 2011). Dilaporkan seorang wanita mengeluarkan udara, cairan (darah, pus) dari
berusia 24 tahun menerima 0,5 g/ hari rongga pleura, rongga thorax dan mediastinum
metilprednisolon selama 6 hari, total dosis 3 g. dengan menggunakan pipa penghubung. Lalu
Empat minggu kemudian, pasien dirawat kembali diberi analgetik seperti asam mefenamat atau
dengan diagnosa hepatitis akut, pasien tidak tramadol atau ketoprofen suppositoria (PFT Paru
mengkomsumsi obat apapun selain RSUP Dr. M. Djamil Padang, 2007). Dari hasil
metilprednisolon. Dilaporkan 13 kasus dengan pengamatan diperoleh penanganan pada pasien
kejadian yang sama (Gutkowski, Chwist & dengan efusi pleura dan pneumothorax sudah
Hartleb, 2011). Metilprednisolon dimetabolisme sesuai dengan standar terapi,pasien diberi obat
oleh sitokrom P450 3A4 (CYP3A4), dan sesuai dengan penyebabnya misalnya terjadi karena
metabolitnya dieliminasi di ginjal (Gutkowski, TBC maka pasien diberikan OAT. Selain itu juga
Chwist & Hartleb, 2011). Jika kortikosteroid dilakukan pemasangan selang WSD. Untuk
diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi mengatasi nyeri pada pasien juga diberikan
hati harus dilakukan monitoring fungsi hati dan analgetik yang sesuai standar terapi yaitu asam
tanda- tanda terjadinya hepatitis secara ketat mefenamat 3x500mg/ hari atau tramadol 2x1 tablet/
sehingga pengobatan dapat dimulai dengan cepat hari.
dan tepat. Meskipun jarang terjadi, Untuk CAP (community acqired
hepatotoksisitas yang disebabkan oleh pneumonia) dan HAP (hospital aqired pneumonia)
metilprednisolon harus dipertimbangkan pada menurut standar terapi rumah sakit penangananya
pasien yang mengalami peningkatan aktivitas dilakukan secara farmakologi dan non farmakologi.
enzim ini saat menerima kortikosteroid (Topal, et Terapi non farmakologi dilakukan dengan cara
al, 2006). Sementara itu, penggunaan istitrahat, O2, dan terapi cairan. Sedangkan untuk
dexametason dan prednison belum ditemukan farmakologi nya diberi terapi antibiotik, awalnya
laporan klinis mengenai hepatotoksisitas. Dari antibiotik bersifat empirik seperti ko-amoksiklav,
hasil pengamatan di Bangsal Paru RSUP. DR. M. ciprofloksasin, levofloksasin, azitromisin,
Djamil Padang, dosis yang digunakan untuk eritromisin atau metronidazol baik injeksi maupun
metilprednisolon adalah 2x125 mg atau 2x62,5 oral (PFT RSUP Dr. M. Djamil Padang, 2007).
mg setelah itu dilakukan tappering off. Dosis Dari hasil pengamatan di lapangan penanganan
yang digunakan masih relatif aman dan tidak CAP dan HAP tidak sesuai dengan standar terapi
terlalu tinggi. Kortikosteroid terbukti karena antibiotika yang digunakan sebagai empirik
hepatotoksik bila digunakan dalam dosis tinggi adalah golongan sefalosforin seperti ceftazidin atau
dan dalam jangka waktu lama. ceftriakson. Setelah tujuh hari atau setelah hasil
Pasien dengan diagnosa PPOK menurut kultur antibiotika didapatkan baru kemudian
standar terapi pada saat serangan akut perlu diganti dengan antibiotika yang sesuai dengan
dilakukan terapi non farmakologi meliputi terapi standar terapi atau hasil kultur.
oksigen, cairan, nutrisi dan rehabilitasi fisik dan Penatalaksanaan kanker bronkogenik,
respirasi serta perlu dilakukan evaluasi progsessifiti pilihan terapinya tergantung dari jenis hispatologi,
penyakit. Terapi farmakologi meliputi pemberian stage klinik, performa status dan kemampuan
bronkodilator seperti agonis β 2 kerja singkat dan ekonomi (PFT Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang,
antikolinergik inhalasi atau golongan xantin. 2007). Dari hasil pengamatan di rumah sakit,
Setelah itu bisa diberikan kortikosteroid penanganan lebih mengarah pada pembedahan,
(metilprednisolon, budesonide atau fluticasone radioterapi dan kemoterapi.
propionat) (PFT Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang, Dari hasil pengamatan di lapangan, ada
2007). Dari hasil pengamatan penanganan terhadap beberapa obat berpotensi hepatotoksik yang juga
pasien PPOK di rumah sakit telah sesuai dengan digunakan pada pasien sebagai terapi simptomatik
strandart terapi. Pasien biasanya diberikan seperti lansoprazol dan ranitidin untuk mengatasi
aminophilin drip bersamaan dengan kortikosteroid. keluhan saluran pencernaan, tramadol sebagai
Selain itu, pasien juga diberikan beberapa terapi analgetik dan parasetamol sebagai antipiretik.
simptomatis untuk mengatasi keluhan yang terjadi. Lansoprazol merupakan golongan obat
Efusi pleura adalah terdapatnya cairan penghambat pompa proton yang digunakan untuk
dalam rongga pleura, biasanya terjadi akibat penanganan penyakit tukak duodenal, tukak
tuberkolosis atau keganasan. Sedangkan gastrik, tukak peptik, dan ulcrative. Bersihan
pneumothorax adalah adanya udara bebas di dalam lansoprazol akan menurun pada pasien lanjut usia
rongga pleura antara dinding dada dan paru. Terapi dan pasien penyakit hati (Hussein, et al, 2008).
Dari hasil penelitian diperoleh dosis yang dapat digunakan dalam pangamatan (Whitcomb &
digunakan pada semua pasien dilapangan adalah 1x Block, 1994). Berdasarkan fakta-fakta yang terjadi,
30 mg/hari, seharusnya dosis lansoprazol diberikan parasetamol harus digunakan secara hati-hati dan
sesuai dengan fungsi hati pasien tidak aman pada pasien dengan gangguan fungsi hati
disamaratakan. Dosis lansoprazol adalah 15-30 (Benson, Koof & Toolman, 2005). Dosis
mg/hari setelah dikurangi 25% maka didapatkan parasetamol 0,5-1 g 3-4x/ hari maksimum 4g/ hari.
dosis lansoprazol adalah 11,25-22,50 mg sekali Hasil pengamatan di Bangsal Paru RSUP. DR. M.
pakai. Djamil Padang, dosis parasetamol yang digunakan
Ranitidin merupakan golongan obat adalah 3x500 mg tablet kalau perlu. Dosis yang
penghambat reseptor H2 yang digunakan untuk digunakan masih relatif aman pada pasien.
pengobatan tukak duodenum dengan cara Sebaiknya penggunaan parasetamol pada pasien
menghambat pengeluaran cairan asam lambung. gangguan fungsi hati diganti dengan Sistenol® yang
Penggunaannya harus hati-hati pada lanjut usia dan relatif lebih aman atau dipertimbangkan
pasien gangguan fungsi hati (Ehrenpreis & penggunaan antipiretik lain.
Ehrenpreis, 2001). Dosis ranitidin adalah 150 mg
dan dosis maximumnya 6 g/hari (Ehrenpreis & Analisa Child Pugh Score dan Hasil
Ehrenpreis, 2001). Dari hasil pengamatan di Laboratorium Klinik
Bangsal Paru RSUP. DR. M. Djamil Padang, dosis Penentuan nilai Child-Pugh merupakan
ranitidin yang digunakan adalah 150 mg dua kali indikator atas kemampuan pasien untuk
sehari (oral) dan 2x 50 mg (intravena) berarti dosis memetabolisme obat yang dieliminasi pada hati.
ini cukup aman bagi pasien gangguan fungsi hati. Dengan kata lain, nilai Child-Pugh digunakan
Ada beberapa laporan kasus tentang untuk menentukan dosis dosis awal obat yang
hepatotoksisitas dari ranitidin (Liberopoulos, et al, dieliminasi melalui hati (Dipiro, 2005). Dari hasil
2002). Sebuah kasus ditemukan bahwa antagonis- penelitian, nilai Child Pugh tidak dapat dilakukan
H2 tidak memberikan efek pada pasien sirosis hati secara sempurna, karena tidak semua komponen
tetapi tidak ada penjelasan atas efek tersebut ada. Pemeriksaan laboratorium klinik di Bangsal
(Walker, et al, 1989). Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang tidak selalu
Dalam strandart terapi rumah sakit dilakukan secara berkala. Jika kondisi klinik pasien
analgesik yang digunakan adalah asam mefenamat, dianggap baik-baik saja, pemeriksaan tidak
tramadol, atau ketoprofen (Pronalges®), dan untuk dilakukan. Sedangkan jika kondisi klinik pasien
kanker bronkogenik terkadang diperlukan MST® terganggu baru dilakukan pemeriksaan. Komponen
(morphine). Menurut pengamatan pemberian yang sering tidak diperiksa adalah protombine time.
analgetik sudah sesuai dengan standar rumah sakit, Sehingga, penentuan nilai Child Pugh hanya
selain itu analgetik hanya digunakan jika berasal dari data yang tersedia (2-5 komponen).
diperlukan. Tramadol merupakan golongan obat Dari hasil pengamatan di Bangsal Paru RSUP. DR.
analgesik opioid dengan mekanisme kerja tramadol M. Djamil Padang didapatkan pengelompokan
akan berikatan dengan reseptor opioid dan juga rentang skor nilai Child-Pugh berdasarkan besar
menghambat aktivitas norepineprine dan serotonin pengurangan dosis pada data prospektif dengan
(Ehrenpreis & Ehrenpreis, 2001). Penggunaan rentang waktu bulan Oktober tahun 2011 hingga
tramadol harus dengan peringatan bila digunakan bulan Januari 2012 menunjukan nilai skor Child-
pada pasien gangguan fungsi hati dan ginjal Pugh 7-9 (kelas B) adalah 100% (14 orang)
(Martindale, 2009). Dosis tramadol adalah 50–100 sedangkan sisanya data yang diperoleh tidak
mg tiap 4–6 jam dan dosis maximum adalah 400 lengkap. Nilai Child-Pugh dengan poin 7-9
mg/hari. Dari hasil penelitian, tramadol yang menggambarkan penurunan yang sedang pada
digunakan adalah Zaldiar® (tramadol 37,5 mg ; dosis obat awal (~25%) untuk bahan yang
parasetamol 325 mg) 3x1 tab/ hari kalau perlu, dimetabolisme pada hati (≥60%), dan pada poin 10
berarti dosis ini cukup aman bagi pasien. Namun, atau lebih mengindikasikan penurunan yang
tetap diperlukan pengawasan terhadap fungsi hati signifikan pada pemberian dosis awal (~50%)
pasien. dibutuhkan untuk obat yang metabolisme utamanya
Parasetamol merupakan obat golongan pada hati (Dipiro, 2005). Berdasarkan data yang
analgetik dan antipiretik. Parasetamol didapat, terdapat beberapa kasus yang memerlukan
dimetabolisme terutama di hati. Pada dosis 10-15 g perhatian penting dalam pemberian dosis obat-obat
parasetamol dapat menyebabkan kerusakan parah yang dapat mempengaruhi fungsi hati pasien.
pada sel hati dan nekrosis tubular ginjal. Kerusakan
fungsi hati secara umum dapat terjadi dalam waktu Tabel V. Persentase kelengkapan parameter Child
72-96 jam setelah menggunakan parasetamol dosis Pugh Score
tinggi dengan kerusakan seperti kegagalan fungsi Parameter Child Jumlah Persentase
hati, ensephalopati, koma, dan bahkan kematian.
Pengukuran konsentrasi serum aspartate Pugh
aminotransferase dan alanine aminotransferase juga
Lengkap 14 17%
Tidak lengkap 67 83%
World Health Organization SGPT rendah didalam darah, sedangkan SGOT
mengklasifikasikan hepatotoksik menjadi 4 gradasi. berperan dalam metabolisme alanine, jika
Grade I ditandai dengan peningkatan SGPT 1,25- ditemukan dengan kadar yang tinggi dalam darah
2,5× normal, grade II SGPT meningkat 2,6-5× mengindikasikan adanya kerusakan hati.
normal, grade III SGPT meningkat 5,1-10× normal Peningkatan kadar ALP yang terjadi pada 20%
dan grade IV bila SGPT meningkat > 10× normal pasien (15 orang), penurunan serum albumin terjadi
(Prihatni, et al, 2005;Tostman, et al, 2008). Dari pada 91% pasien (67 orang) dan penurunan serum
hasil pengamatan di Bangsal Paru RSUP. DR. M. protein total yang terjadi pada 58% pasien (43
Djamil Padang didapatkan pengelompokan pasien orang), kadar albumin dan protein total
berdasarkan kadar SGPT menunjukan pasien yang menunjukan kemampuan hati untuk memproduksi
mengalami hepatotoksisitas grade I adalah 17% (14 protein untuk memerangi infeksi dan menjaga
orang), grade II adalah 1% (1 orang), grade III fungsi lainnya. Berkurangnya kadar dari nilai
adalah 1% (1 orang), grade IV adalah 1 % (1 normal mengindikasikan adanya kerusakan hati.
orang) dan yang tidak mengalami hepatotoksisitas Peningkatan kadar bilirubin yang terjadi pada 18%
adalah 66% (53 orang) Berdasarkan data yang pasien (13 orang), dan peningkatan waktu
didapat, terdapat beberapa kasus yang memerlukan protombin yang terjadi pada 19% (14 orang). Dari
perhatian penting dalam menentukan terapi yang data ini dapat disimpulkan bahwa sangat
cocok pada pasien. pentingnya pemeriksaan fungsi hati secara berkala
bila pasien mengkonsumsi obat berpotensi
Tabel VI. Persentase hepatotoksisitas berdasarkan hepatotoksik. Hepatotoksisitas memang tidak
kadar SGPT terjadi pada setiap pasien, tetapi kejadian nya dapat
Hepatotoksisitas Jumlah Persentase berlangsung parah dan bila tidak dikenali secara
dini dapat menyebabkan kematian.
Tidak terdapat data SGPT 11 14%
Tidak Hepatotoksisitas 53 66% Efektifitas, Efek Samping dan Interaksi Obat
Efektifitas obat berpotensi hepatotoksik
Hepatotoksisitas grade I 14 17% dalam penelitian ini tidak bisa diukur dengan suatu
nilai yang pasti. Seperti efektifitas OAT baru dapat
Hepatotoksisitas grade II 1 1%
diukur minimal setelah 8 minggu mengkonsumsi
Hepatotoksisitas grade III 1 1% OAT secara teratur. Efektifitas dapat dilihat
melalui pemeriksaan BTA sputum pasien.
Hepatotoksisitas grade IV 1 1%
Sementara itu waktu rawatan pasien tidak selama
itu. Efektifitas obat hepatotoksik yang lain seperti
Selain parameter diatas penelitian ini juga ranitidin, lansoprazol, dan kortikosteroid tidak
menentukan gejala subjektifitas gangguan fungsi dapat diukur. Dari hasil pengamatan umumnya
hati. Gejala subjektif ini merupakan gejala-gejala pasien tidak merasakan keluhan lagi setelah
awal terjadinya penurunan fungsi hati. Gejala mengkonsumsi obat seperti setelah mengkonsumsi
subjektif meliputi keadaan lemah, penurunan berat ranitidin dan lansoprazol, perut pasien berkurang
badan, mual/muntah, perut terasa tidak nyaman, nyerinya. Efektifitas aminophilin dapat dilihat dari
sedikit demam, kebingungan, penurunan nafsu berkurangnya sesak nafas pasien. Umumnya, sesak
makan dan rentan terhadap pendarahan (Siregar. C nafas pasien akan berkurang setelah mengkonsumsi
& Kumolosasi. E, 2005). Dari data yang didapat aminophilin.
100% pasien Bangsal Paru mengalami gejala Pada penelitian ini didapatkan banyaknya
subjektif hepatotoksik dengan rincian lemah terjadi pasien pulang paksa. Dari hasil pengamatan yang
pada 38% pasien (31 orang), penurunan berat dilakukan, ada beberapa alasan yang menyebabkan
badan terjadi pada 88% pasien (71 orang), pasien pulang paksa termasuk didalamnya pasien
mual/muntah terjadi pada 18% pasien (16 orang), merasa tidak ada perkembangan terhadap
perut tidak nyaman terjadi pada 28% pasien (23 kondisinya selain alasan-alasan lain seperti biaya,
orang), demam terjadi pada 54% (44 orang), merasa sudah sembuh (bisa dirawat jalan) atau
kebingungan tidak terjadi pada pasien, penurunan pindah ke RS lain. Dalam hal ini, perlu
nafsu makan terjadi pada 47% pasien (38 orang) dipertanyakan keefektifan terapi yang diberikan,
dan rentan pendarahan terjadi pada 25% pasien (20 umumnya pasien penyakit paru memerlukan waktu
orang). yang cukup lama untuk menegakkan diagnosa
Gejala objektif juga terjadi pada 100% pasien contohnya pada pasien TBC, harus
pasien. Gejala objektif dapat dilihat dari data dilakukan pemeriksaan BTA sebanyak 3x berturut-
laboratorium klinik yaitu peningkatan kadar SGPT turut baru diagnosa bisa ditegakkan dan baru bisa
dan SGOT yang terjadi pada 24% pasien (18 diberikan obat sesuai dengan penyakitnya. Juga
orang). SGPT merupakan enzim yang terutama pada pasien kanker bronkogenik, diperlukan
ditemukan dalam sel hati yang dapat membantu pemeriksaan yang menghabiskan waktu untuk
metabolisme protein, dalam kondisi normal kadar menentukan tindakan selanjutnya pada pasien.
Begitu juga dengan masa pengobatan yang farmakokinetik dapat terjadi pada tingkat absorpsi,
berlangsung lama. Banyak diantara pasien tidak distribusi, atau bersihan dari senyawa obat
cukup sabar untuk menjalani hal ini dan (Fradgley, 2004). Dari data yang ada mayoritas
menganggap kondisi mereka tidak ada interaksi yang terjadi tidak terlalu membahayakan
perkembangan. Seharusnya hal ini dapat diatasi atau berpengaruh terhadap klinis pasien. Interaksi
dengan komunikasi yang baik antara dokter atau yang terjadi umumnya bernilai signifikan 4 dan 5.
tenaga kepaniteraan klinik yang lain dengan pasien. Namun terdapat beberapa interaksi dengan nilai
Selain itu, ada juga pasien yang menolak keputusan signifikan 1 yaitu : OAT (Rifampisin) dengan
dokter seperti pemasangan selang WSD atau Kortikosteroid dan dengan nilai signifikan 2 yaitu :
tindakan pembedahan. OAT (Rifampisin) dengan Aminophilin, OAT
Alasan lain yang juga menjadi alasan (Rifampisin) dengan Ondansentron dan
utama adalah biaya, banyak pasien umum yang Aminophilin dengan Azitromisin. Pada
tidak bisa melanjutkan pengobatan karena memang pembahasan interaksi obat ini tidak dilakukan
umumnya merupakan masyarakat kelas bawah. terhadap semua pasien pembahasan lebih lanjut
Ada juga pasien yang merasa sudah sembuh dan hanya dilakukan pada pasien yang mengalami
bisa dirawat jalan, hal ini banyak terjadi pada interaksi dengan nilai signifikan 1 dan 2.
pasien TBC, kebanyakan mereka minta dirawat Interaksi antara rifampisin dengan
jalan saja setelah tinggal sementara di rumah sakit. kortikosteroid bernilai signifikan 1. Interaksi ini
Ada juga beberapa orang pasien yang memutuskan terjadi pada empat pasien. Rifampisin akan
pindah rumah sakit atau pindah ke kelas yang lebih meningkatkan metabolisme dari kortikosteroid di
baik. Keputusan ini didasari adanya ketidakpuasan hati sehingga menyebabkan terjadinya penurunan
terhadap pelayanan rumah sakit. efek farmakologis dari kortikosteroid. Sebaiknya
Dari alasan-alasan diatas, dapat pemakaian kedua obat ini secara bersamaan
disimpulkan banyaknya pasien yang pulang paksa dihindari. Namun, jika pemakaian bersama tidak
bukan karena terapi yang diberikan tidak efektif dapat dihindari, pasien harus dikontrol secara ketat
tetapi karena adanya faktor-faktor lain yang dan dosis kortikosteroid harus ditingkatkan dua kali
mengganggu kenyamanan pasien selama rawatan. lipat setelah penambahan rifampisin 300 mg/hari
Hal ini seharusnya jadi perhatian bagi pihak rumah (Tatro, 2008).
sakit, seharusnya dokter bisa menjalin komunikasi Interaksi rifampisin dengan aminophilin
yang baik sehingga pasien bisa mengerti dengan bernilai signifikan 2. Rifampisin akan menginduksi
tindakan yang dilakukan. Selain itu, juga pelayanan metabolisme aminophilin sehingga terjadi
keperawatan juga menjadi salah satu faktor yang penurunan level aminophilin dan perburukan
penting. gejala-gejala penyakit paru. Pada pasien yang
Efek samping dari beberapa obat yang menerima kombinasi obat ini harus dilakukan
diterima pasien ini dapat ditoleransi dengan baik monitoring yang ketat terhadap pasien ketika
dan bersifat ringan. Adanya gejala efek samping pasien mulai atau berhenti menggunakan
pada pasien relatif rendah bahkan bisa dikatakan rifampisin. Selain itu, diperlukan juga penyesuaian
tidak ada. Karena berdasarkan hasil wawancara dosis sesuai dengan keadaan pasien (Tatro, 2008).
terhadap pasien, pasien tidak merasakan efek Interaksi rifampisin dengan ondansentron
apapun setelah memakan semua jenis obat. Efek dengan nilai signifikan 2. Rifampisin diduga
samping yang terlihat hanya pada penggunaan menginduksi enzim CYP3A4 yang bertanggung
OAT yaitu timbulnya gatal dan kemerahan (rash) jawab terhadap metabolisme ondansentron. Hal ini
pada kulit yang muncul pada salah satu pasien menyebabkan penurunan konsentrasi plasma
yang bisa diatasi dengan pemberian antihistamin. ondansentron sehingga efek antiemetik akan
Selain itu juga timbulnya rasa terbakar pada kaki menurun. Sebaiknya kombinasi ini dihindari dan
yang terjadi pada satu orang pasien dan hal ini bisa jika diduga terjadi interaksi, pertimbangkan
diatasi dengan pemberian vitamib B6 (piridoksin). penggunaan antiemetik yang lain (Tatro, 2008).
Interaksi obat pada pasien rawat inap Paru Interaksi ini terjadi pada seorang pasien yang
RSUP. DR. M. Djamil Padang, terjadi pada 65,43% mengalami mual dan muntah, pada pasien
pasien. Komplikasi penyakit yang diderita oleh diberikan ondansentron dengan dosis 2x1 ampul
pasien menyebabkan penggunaan polifarmasi tidak lalu empat hari kemudian diganti dengan 2x1 tab.
dapat dihindari. Dari data, terlihat adanya Pada pasien ini mungkin saja terjadi interaksi ini,
polifarmasi dalam artian pemakaian banyak obat ditandai dengan lamanya keluhan mual dan muntah
sekaligus pada pasien. Hal ini akan meningkatkan ini berlangsung.
insiden terjadi efek samping dan toksisitas yang Interaksi aminophilin dengan azitromisin
tidak diinginkan akibat adanya interaksi obat bernilai signifikan 2. Azitromisin akan
(Dollery, 2006). Interaksi obat terjadi ketika agen meningkatkan serum aminophilin dengan resiko
terapetik berubah konsentrasi (interaksi toksisitas. Antibiotik makrolida ini akan
farmakokinetik) atau adanya efek biologis dari menghambat metabolisme aminophilin, sedangkan
agen lainnya (interaksi farmakodinamik). Interaksi aminophilin akan menurunkan bioavabilitas dan
meningkatkan klirens ginjal dari antibiotik tidak lengkap, hanya terdiri dari 2- 4 komponen
makrolida oral. Jika obat ini digunakan secara Child Pugh Score.
bersamaan harus lakukan monitoring secara ketat 3. Pada beberapa pasien yang sudah mengalami
terhadap kadar serum aminophilin. Lakukan penurunan fungsi hati masih menerima
penyesuain dosis sesuai kondisi pasien. Sebaiknya, polifarmasi sampai 19 jenis obat yang dapat
dipertimbangkan menggunakan antibiotik lain berpotensi hepatotoksik. Seharusnya
(Tatro, 2008). Pada kelima pasien yang mengalami pengobatan disesuaikan dengan kondisi pasien
interaksi ini, dosis aminophilin yang diterima sehingga kualitas hidup pasien dapat
memang kurang, tetapi dapat mengantisipasi ditingkatkan.
interaksi dengan azitromisin yang dapat 4. Perhitungan dosis aminophilin belum dilakukan
meningkatkan kadar aminophilin dalam plasma secara benar. Seharusnya dosis aminophilin
(signifikansi 2). Hal ini dikonfirmasi dengan tidak dihitung berdasarkan kondisi klinik pasien,
terlihatnya tanda-tanda toksisitas atau bukan hanya berdasarkan berat badan.
meningkatnya intensitas efek samping aminophilin 5. Pada seluruh pasien (100%) dijumpai gejala
pada kelima pasien tersebut. subjektif dan gejala objektifitas kerusakan
fungsi hati.
Tabel VII. Daftar interaksi obat yang terjadi

No Jenis obat yang berinteraksi Mekanisme Tingkat Onset Jumlah


DAFTAR PUSTAKA
Andrade, R. J., Robles, M., Castener, A.
Interaksi Signifikasi Kasus
F., Ortega, S. L., Vega, M. C. L., Lucena, M. I.
1. OAT – Parasetamol 6 2007. Assessment of drug-induced hepatotoxicity
Isoniazid – Parasetamol Unknown 5 Delayed in clinical practice : A challenge for
Rifamfisin – Parasetamol Farmakodinamik 4 Delayed gastroenterologist. World Jornal of Gastroenterol
2. OAT – Antasida 2
21: 13 (3): 329-340.
Bauer, L.A. 2008. Applied Clinical
Isoniazid – Antasida Farmakodinamik 5 Rapid
Pharmacokinetics (2nd ed); The McGraw-Hill
Etambutol – Antasida Farmakokinetik 4 Delayed Companies.
3. OAT – Kortikosteroid 4 Benson, G.D., Koff, R.S., Tolman, K.G.
Isoniazid – Kortikosteroid Unknown 5 Delayed 2005. The therapeutic use of acetaminophen in
Rifamfisin – Kortikosteroid Farmakodinamik 1 Delayed
patients with liver disease. Am. J. Ther, 12: 133–
41.
4. OAT – Aminophilin 1 Cahyati, Y. 1985. Pengantar
Rifamfisin – Aminophilin Farmakodinamik 2 Delayed Farmakokinetika. Cermin Dunia Kedokteran 15: 1-
Isoniazid – Aminophilin Farmakodinamik 4 delayed
7.
Di Piro, J.T. 2005. Pharmacotherapy : A
5. OAT – Ondansentron 1
Pathophysiologic Approach. (6th ed.). US :
Rifamfisin – Ondansentron Farmakodinamik 2 delayed
McGraw-Hill Companies.
6. Ranitidin – Antasida Unknown 5 delayed 11 Dollery, Sir colin. 2006. Therapeutic
7. Ranitidin – Aminophilin Farmakodinamik 5 delayed 6 Drugs. Volume 2. Churchill Livingstone. London.
8. Ranitidin – Sefalosporin Unknown 4 rapid 17
Ehrenpreis. S, & Ehrenpreis. E. D. 2001.
Clinician’s handbook of Prescription Drugs:
9. Ranitidin – Diltiazem Farmakodinamik 4 rapid 1
McGraw-Hill Companies.
10. Kortikosteroid – Antasida Unknown 5 delayed 1
Fradgley, S. 2004. Interaksi Obat.
11. Kortikosteroid – Unknown 4 rapid 19 Dalam : Aslam M., Tan CK., Prayitno A. Farmasi
Aminophilin Klinis: Menuju Pengobatan Rasional dan
12. Aminophilin – Azitromisin Farmakokinetik 2 delayed 5
Penghargaan Pilihan Pasien. PT Elex Media
Kompusindo Kelompok Gramedia. Jakarta.,119-
13. Zat besi – Antasida Farmakokinetik 3 delayed 3
134.
Gutkowski, K., Chwist, A., Hartleb, M.
KESIMPULAN 2011. Liver Injury Induced by High-Dose
1. Penggunaan obat berpotensi hepatotoksik pada metylprednisolone Therapy : A Case Report and
pasien rawat inap di bangsal paru RSUP DR. Brief Review of the Literature. Hepat Mon. 11(8):
M. Djamil Padang belum mempertimbangkan 656-61
aspek farmakokinetik klinik. Hussein, Z., Granneman, G.R.,
2. Perhitungan Child Pugh Score yang lengkap Mukherjee, D, 2008. Age-related differences in the
hanya dijumpai pada 14 orang pasien (17%) pharmacokinetics and pharmacodynamics of
berada pada rentang nilai 7-9 (kerusakan hati lansoprazole. Br. J. Clin. Pharmacol, 36: 391–8.
sedang), pada 67 orang pasien lainya (83%)
Katzung, B.G. 2004. Farmakologi Dasar
dan Klinik. Edisi kedelapan, Penerjemah: Agoes,
A.Salemba Medika : Jakarta.
Kenward, T dan Tan, C.K. 2004.
Penggunaan Obat Pada Gangguan Hati. Dalam:
Farmasi Klinis: Menuju Pengobatan Rasional dan
Penghargaan Pilihan Pasien. Editor : Aslam M.,
Tan CK., Prayitno A. PT Elex Media Kompusindo
Kelompok Gramedia. Jakarta., 155-173.
Liberopoulos, E.N., Nonni, A.B.,
Tsianos, E.V., Elisaf, M.S. 2002. Possible
ranitidine-induced cholestatic jaundice. Ann.
Pharmacother, 36: 172.
Santoso, B. 1985. Farmakokinetika
Klinik. Cermin Dunia Kedokteran 37: 8-12.
Sajinadiyasa, I.G.K., Bagiada, I.M.,
Ngurah, R.I.B. 2010. Prevalensi dan Risiko
Merokok Terhadap Penyakit di Polokilinik Paru
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.
Jurnal Penyakit Dalam 11 (2).
Setiabudy, R. 1979. Hepatitis karena
obat. Cermin Dunia Kedokteran 15: 8-12.
Suasono, B. 1985. Obat Hepatotoksik
pada Anak. Cermin Dunia Kedokteran 40: 31-33.
Soepandi, P.Z. 2009. Obat Anti
Tuberkulosis Kombinasi Dosis Tetap. Cermin
Dunia Kedokteran. 358-361
Panitia Farmasi dan Terapi (PFT). 2007.
Panduan Diagnosa dan Terapi Rumah Sakit RSUP
DR. M. Djamil Padang. Padang
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
2002. Tuberkulosis Pedoman dan Penatalaksanaan
di Indonesia.
Prihatni, D., et al. 2005. Efek
Hepatotoksik Anti Tuberkulosis Terhadap Kadar
Aspartate Aminotransferase dan Alanine
Aminotransferase Serum Penderita Tuberkulosis
Paru. Indonesian Journal of Clinical Pathology and
Medical Laboratory 12:1-5.
Tatro, S. David. 2008. Drug Interaction
Facts, Wolters Kluwer Healts, United State
of Anerica
Topal, F., Ersan. O., Sabiye.A., Metin.
K., Osman, Y., Emin. A. 2006.
Methylprednisolone-induced toxic hepatitis. Ann
Pharmacother 40(10): 1868-1871.
Tostman, A., Martin, J.B., Rob, E.A.,
Wiel, C.M. de Lange., Andre, J.A.M. van der Ven.,
Richard, D. 2007. Antituberculosis drug- induced
hepatotoxicity : concise up-to-date review. Journal
of Gastroenterology and Hepatology 23 : 192-202.
Walker, S., Krishna, D.R., Klotz, U.,
Bode, J.C. 1989. Frequent non-response to
histamine H –receptor antagonists in cirrhotics.
Gut, 30: 1105–9.
Whitcomb, D.C & Block, G.D. 1994.
Association of acetaminophen hepatotoxicity with
fasting and ethanol use. JAMA, 272: 1845–50.

Anda mungkin juga menyukai