Anda di halaman 1dari 15

1.

Paracetamol

Mekanisme Keracunan
Sebagaimana juga obat-obat lain, bila penggunaan parasetamol tidak benar, maka
berisiko menyebabkan efek yang tidak diinginkan. Parasetamol dalam jumlah 10 – 15g (20-30
tablet) dapat menyebabkan kerusakan serius pada hati dan ginjal. Kerusakan fungsi hati juga
bisa terjadi pada peminum alkohol kronik yang mengkonsumsi parasetamol dengan dosis
2g/hari atau bahkan kurang dari itu. Keracunan parasetamol disebabkan karena akumulasi dari salah
satu metabolitnya yaitu N-acetyl-p-benzoquinoneimine (NAPQI), yang dapat terjadi karena overdosis,
pada pasien malnutrisi, atau pada peminum alkohol kronik.
Keracunan parasetamol biasanya terbagi dalam 4 fase, yaitu:
Fase 1 :
Kehilangan nafsu makan, mual, muntah, perasaan tak menentu pada tubuh yang
tak nyaman (malaise) dan banyak mengeluarkan keringat.

Fase 2 :
Pembesaran liver, peningkatan bilirubin dan konsentrasi enzim hepatik, waktu yang dibutuhkan
untuk pembekuan darah menjadi bertambah lama dan kadang-kadang terjadi penurunan volume
urin.

Fase 3 :
Berulangnya kejadian pada fase 1 (biasanya 3-5 hari setelah munculnya gejala awal) serta terlihat
gejala awal gagal hati seperti pasien tampak kuning karena terjadinya penumpukan pigmen
empedu di kulit, membran mukosa dan sklera (jaundice), hipoglikemia, kelainan pembekuan
darah, dan penyakit degeneratif pada otak (encephalopathy). Pada fase ini juga mungkin
terjadi gagal ginjal dan berkembangnya penyakit yang terjadi pada jantung (cardiomyopathy).

Reaksi toksisitas paracetamol Antidotum paracetamol = N-asetilsistein


Mekanisme Antidot

N-asetilsistein merupakan antidotum terpilih untuk keracunan parasetamol. N-konjugasi sulfat


pada parasetamol. Methionin per oral, juga bisa asetilsistein bekerja mensubstitusi glutation,
meningkatkan sintesis glutation dan meningkatkan digunakan sebagai antidotum yang efektif,
tetapi absorbsi lebih lambat dibandingkan dengan N-asetilsistein.

Mekanisme Kerja NAC:


a) Glutathione (GSH) sendiri butuh sistein sebagai salah satu prekursornya. Dengan
pemberian NAC maka sistein dalam tubuh akan meningkat dan demikian pula
pembentukan Glutathione (GSH). Jika GSH ada banyak dan jumlahnya mampu
mengimbangi atau melebihi jumlah NAPQI maka tidak ada lagi NAPQI bebas yang
akan mengikat protein hati
b) NAC punya atom S dalam gugus tiolnya (S-H), sehingga NAC dapat
menyumbangkan S nya ini untuk digunakan dalam proses metabolisme
parasetamol sulfatasi. Dengan adanya sulfat dari NAC maka sulfatasi akan dapat
berjalan lagi sehingga metabolisme di CYP dan pembentukan NAPQI akan menurun
c) NAC dapat menggandeng NAPQI karena dia juga punya nukleofil, hal ini
dapat mencegah pembentukan ikatan NAPQI dengan protein hati.

2. Fe/Besi

Kemampuan besi untuk terlibat dalam reaksi redoks dapat mengakibatkan toksisitas.
Keadaan ini biasanya terjadi apabila kapasitas penyimpanan besi terlampaui. Besi yang bersifat
katalisator aktif dapat mengakibatkan kerusakan oksidasi pada lipid, protein dan asam nukleat.
Penimbunan besi yang kronis, mengakibatkan transferin plasma menjadi jenuh dengan besi
sehingga sejumlah besi tidak diikat oleh transferin (non-transferin bound iron). Non-
transferin bound iron (NTBI) ini selanjutnya mengalami ambilan (uptake) yang cepat oleh hati
berkisar 70%. Pada keadaan penimbunan besi, ambilan ini diduga ikut berperan dalam proses
kerusakan hati karena NTBI bersifat toksik akibat zat oksigen reaktif yang dihasilkannya. Selain
itu pada keadaan penimbunan besi, senyawa radikal bebas seperti superoksid radikal
(O-) menyebabkan pelepasan besi dari feritin sehingga besi terdapat dalam bentuk ion fero
(Fe 2+). Dengan terdapatnya zat-zat reduktan seperti superoksid dan hidrogen peroksida,
maka besi dalam bentuk NTBI (non-transferin bound iron) atau besi yang dilepaskan dari feritin
berperan dalam pembentukan senyawa hidroksil radikal (OH-) melalui reaksi Fenton.
Selanjutnya senyawa hidroksil radikal ini menye-babkan peroksidasi lipid, yang
mengakibatkan kerusakan membran dan terbentuknya bermacam-macam produk
peroksida yang reaktif dan bersifat toksik. Disamping itu juga terjadi perubahan struktur
membran yang mengakibatkan gangguan fungsi selular organel. Pada percobaan penimbunan
besi, peroksidasi lipid dikaitkan dengan gangguan fungsi mitokondria, mikrosom dan lisosom
hati. Fibrosis dan sirosis merupakan manifestasi utama penimbunan besi yang kronis di hati.

Terjadinya fibrosis dan sirosis diduga akibat peroksidasi lipid hepatoselular yang
menyebabkan kerusakan dan atau kematian sel. Sel-sel hati yang rusak dan atau yang mati ini
kemudian difagositosis oleh sel Kupffer. Selanjutnya sel Kupffer menjadi teraktivasi dan melepaskan
sitokin-sitokin profibrogenik seperti TGFb yang bersama-sama dengan sitokin profibrogenik
1
lainnya meng-aktivasi sel Stellate hati sehingga mengakibatkan peningkatan produksi
kolagen. Kerusakan oksidasi besi pada protein yang dibuktikan melalui percobaan invitro,
menunjukkan hilangnya aktivitas enzimatik sehingga fungsi selular terganggu. Sementara itu,
interaksi besi dengan DNA menyebabkan mutasi. Kerusakan DNA akibat besi merupakan
faktor awal/penentu untuk terjadinya karsinoma hepatoselular pada penderita yang
mengalami penimbunan besi. Insidens karsinoma hepatoselular lebih sering timbul pada
pasien sirosis akibat penimbunan besi. Percobaan invitro pada hepatosit yang mengalami
penimbunan besi menunjukkan bahwa zat kelasi besi seperti deferoxamine, transferin dan
senyawa antioksidan seperti vitamin E melindungi hepatosit terhadap kerusakan sel dan
peroksidasi lipid. Perlindungan struktur sel dari kerusakan akibat senyawa radikal bebas
merupakan mekanisme penting untuk kelangsungan hidup sel.

Antidot Fe/Besi = desferoxamine


Mekanisme Antidot
Untuk mengatasi penimbunan besi pada penderita yang mendapat transfusi berulang
diperlukan zat kelasi besi. Zat kelasi besi yang banyak dipakai saat ini adalah desferoxamine
(desferal). Desferoxamine me-rupakan produk Streptomyces pilosis, mempunyai berat molekul
yang rendah dan mengandung asam hidroksamik yang berikatan dengan besi untuk meng-
hasilkan ikatan yang lebih kuat dan stabil dibandingkan dengan ikatan antara besi dan transferin.
Akibatnya akan dibentuk feroxamine yang selanjutnya diekskresikan ke urin dan empedu.
Desferal diberikan setelah kadar feritin mencapai 2000 ng/l dan saturasi transferin serum lebih
dari 50%. Bila sarana pemeriksaan kadar feritin belum tersedia, maka setelah transfusi sel darah
merah (Packed Red Cell = PRC) 5 liter dianggap sebagai patokan untuk pemberian desferal.
Dosis desferal umumnya 25-50 mg/kg/hari secara subkutan atau intravena selama 5 hari per
minggu terus-menerus pada penderita yang sering ditransfusi. Selama pemberian desferal
perlu dilakukan pemantauan kadar besi serum dan feritin setiap 6 bulan untuk melihat perlu
tidaknya dilakukan modifikasi dosis desferal. Kadar feritin sebaiknya dipertahankan antara
1000-2000 ng/l. Vitamin C dengan dosis 100-250 mg/hari dapat meninggikan efek desferal bila
diberikan secara bersamaan. Selain desferal, terdapat pula obat alternatif kelasi besi yang
diberikan secara per oral, yaitu deferiprone dengan dosis 50-100 mg/kg/hari. Obat ini jauh lebih
murah dari desferal. Efek samping obat ini adalah agranulositosis sehingga hanya dipakai pada
penderita yang tidak dapat atau tidak mau memakai desferal. Untuk mencegah infeksi virus
hepatitis B maupun virus hepatitis C pada penderita thalassemia akibat transfusi darah
berulang, maka perlu diajukan uji tapis (skrining) donor darah terhadap virus hepatitis B dan
C.Malathion
Malation Salah satu jenis pestisida organofosfat yang sering digunakan, karena relatif
lebih aman dibandingkan dengan jenis organofosfat yang lain. Malation diperkenalkan pada
tahun 1952. Malation merupakan pro-insektisida yang dalam proses metabolisme serangga
akan diubah menjadi senyawa lain yang beracun bagi serangga. Insektisida ini bertindak
sebagai racun kontak dan racun lambung, serta memiliki efek sebagai racun inhalasi. Malation
juga digunakan dalam bidang kesehatan masyarakat untuk mengendalikan vektor penyakit.
LD50 dari malation berdasarkan Mohajeri (2014) adalah 1200 mg/Kg. Stuktur dari malation
ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur malation


(O,O-dimethyl-S-(1,2-dicarbethoxyethyl)phosphorodithioate)

Mekanisme Keracunan
Pada tahap awal keracunan, malation yang berikatan dengan enzim asetilkolinesterasi
(AChE) menyebabkan penumpukan asetilkolin (Ach) pada neuromuscular junction, tepatnya pada
reseptor nikotinik dan muskarinik, akibatknya transmisi impuls saraf terhambat sehingga timbul
gejala berupa efek nikotinik dan muskarinik. Akumulsi pada neuromuscular junction (NJM) akan
mengakibatkan kontraksi otot, yang diikuti dengan kelemahan, hilangnya reflex dan paralisis.
Paparan malation menyebabkan penurunan terhadap aktivitas enzim-enzim yang
berhubungan dengan rantai transport elektron (ETC electron transfer chain) yang berkaitan
dengan aktivitas kompleks I dan II berhubungan dengan stres oksidatif, sedangkan aktivitas
kompleks IV dan V menyebabkan runtuhnya potensial membran mitokondria dan deplesi ATP. Oleh
karena itu, penurunan ROS mitokondria serta kompleks IV dan V dapat menurunan produksi ATP
dan sinyal apoptosis.
Malation juga mengakibatkan penurunan yang signifikan terhadap ekspresi gen bcl-2 dan
bax. Menurunnya ekspresi bcl-2 dapat mengurangi pembentukan bcl-2 dan penurunan terhadap
ekspresi bax serta pelepasan sitokrom c mitokondria dengan tidak merubah ekspresi protein
caspase-9. Di sisi lain, kehadiran Ach di berbagai bagian sel dan selain sel-sel neuronal (sel saraf)
dapat menyebabkan efek nonkolinergenik dari AChE. Penurunan aktivitas AChE mengurangi
aktivasi caspases, mengganggu pelepasan sitokrom c, dan mencegah pembentukan apoptosom
sehingga proses apoptosis sel terganggu. Malation juga bertindak sebagai senyawa genotoksik
terutama pada tingkat paparan tinggi, karena Ops bersifat elektrofilik dan dapat bereaksi dengan
DNA, terutama dengan atom nitrogen dan oksigen dari basa adenin, guanin, dan sitosin.
Gambar 14. Model sederhana mekanisme potensial seluler berkaitan dengan efek Malthion
terhadap aktivitas enzim AChE dan gangguan fungsi mitokondria.

Reaksi AChE dengan malation ditunjukan pada reaksi berikut:

Penghambatan malation terhadap enzim AChE bersifat irreversible (tidak dapat diperbaharui)
kecuali dengan sintesis enzim asetilkolinesterase baru. Toksisitas malation sangat cepat, karena
memiliki daya absorbsi yang baik serta afinitas yang tinggi terhadap AChE.

Antidot Malation = Atropin

Mekanisme Antidot
Secara umum, atropin menghambat aktivitas kelenjar yang diatur oleh sistem saraf
parasimpatis. Hal ini terjadi karena atropin adalah antagonis reversibel yang kompetitif dari reseptor
asetilkolin muskarinik. Asetilkolin adalah neurotransmiter utama yang digunakan oleh sistem saraf
parasimpatis). Atropin adalah antagonis kompetitif dari tipe reseptor asetilkolin muskarinik M1, M2,
M3, M4 dan M5. Itulah mengapa oabat ini diklasifikasikan sebagai obat antikolinergik
(parasimpikolitik). Pada jantung, ia bekerja sebagai antagonis asetilkolinergik muskarinik nonselektif,
meningkatkan kerja nodus sinoatrium (SA) dan konduksi melalui nodus atrioventrikular (AV) jantung,
menentang kerja saraf vagus, memblokir reseptor asetilkolin, dan mengurangi sekresi bronkus. Pada
mata, atropin menginduksi mydriasis (melebarkan pupil) dengan cara menghalangi kontraksi otot
sfingter pupil (kontraksi otot ini distimulasi oleh pelepasan asetilkolin), sehingga memungkinkan otot
dilator pupil berkontraksi dan melebarkan pupil.

3. Warfarin
Mekanisme Keracunan
Warfarin merupakan turunan kumarin yang sudah biasa diresepkan sebagai antikoagulan oral
untuk mengobati atau mencegah penyakit-penyakit trombotik, diantaranya myocardial infarction,
ischemic stroke, venus thrombosis, heart valve replecement dan atrialtion. Namun demikian,
warfarin mempunyai rentang terapeutik yang sempit dan memberi-kan perbedaan respon yang
besar diantara individu atau pasien. Kekurangan dosis akan menyebabkan kegagalan dalam
mencegah tromboembolisme sedangkan kelebihan dosis akan meningkatkan resiko perdarahan.
Derajat antikogulasi setiap pasien diukur dengan parameter waktu protrombin yang dinyatakan
dengan International Normalized Ratio (PT- INR).
Antikoagulan oral merupakan antagonis faktor koagulasi II, VII, IX, dan X vitamin K dan protein
antikoagulan C dan S yang disintesis terutama dalam hati dan secara biologis tidak aktif kecuali 9
sampai 13 dari residu glutamat amino-terminal yang terkarboksilasi untuk membentuk Ca2 + mengikat
reside g-carboxyglutamate (GLA). Reaksi dari protein prekursor deskarboksi ini memerlukan karbon
dioksida, molekul oksigen, dan mengurangi vitamin K, dan dikatalisis oleh g-glutamil karboksilase
dalam retikulum endoplasma kasar. Karboksilasi secara langsung digabungkan dengan oksidasi
vitamin K untuk epoksida yang sesuai.
Pengurangan vitamin K harus dibuat ulang dari epoksida untuk karboksilasi yang
berkelanjutan dan sintesis protein biologis yang kompeten. Enzim yang mengkatalisis ini, vitamin K
epoksida reduktase, dihambat oleh dosis terapi warfarin. Vitamin K (tapi tidak vitamin K epoksida)
juga dapat dikonversi ke hydroquinone sesuai dengan reduktase kedua, DT-diaphorase. Enzim ini
memerlukan konsentrasi tinggi vitamin K dan kurang sensitif terhadap obat coumarin, yang mungkin
menjelaskan mengapa pemberian vitamin K yang cukup dapat menangkal bahkan dosis besar
antikoagulan oral.
Dosis terapi warfarin dapat menurunkan sebesar 30% sampai 50% dari jumlah total masing-
masing faktor koagulasi yang tergantun vitamin K yang dibuat oleh hati; di samping itu, molekul yang
disekresikan tidak terkarboksilasi sempurna, sehingga aktivitas biologis berkurang (10% sampai 40%
dari normal). Defisiensi kongenital dari protein prokoagulan ke tingkat ini dapat menyebabkan
gangguan perdarahan ringan. Antikoagulan oral tidak berpengaruh sepenuhnya pada aktivitas
molekul yang terkarboksilasi dalam sirkulasi. Dengan demikian, waktu yang dibutuhkan untuk
kegiatan masing-masing faktor dalam plasma untuk mencapai kondisi mapan baru setelah terapi
dimulai atau disesuaikan tergantung pada tingkat klirens individu. Perkiraan waktu paruh (dalam jam)
adalah sebagai berikut: faktor VII, 6; Faktor IX, 24; Faktor X, 36; Faktor II, 50; protein C, 8; dan protein
S, 30. Karena panjangnya waktu paruh beberapa faktor koagulasi, terutama faktor II, efek
antitrombotik penuh warfarin tidak tercapai selama beberapa hari, meskipun PT dapat diperpanjang
segera setelah pemberian karena pengurangan lebih cepat dari faktor yang waktu paruhnya lebih
pendek, khususnya faktor VII. Tidak ada selektivitas jelas efek warfarin pada setiap faktor koagulasi
tergantung vitamin K, meskipun manfaat antitrombotik dan risiko perdarahan dari terapi dapat
berkorelasi dengan tingkat fungsional protrombin, dan pada tingkat lebih rendah, faktor X.4
Antidot Warfarin = Vitamin K
Mekanisme Antidot
Hemostasis adalah penghentian kehilangan darah dari pembuluh darah yang
cedera. Trombosit pertama melekat pada makromolekul di region subendotelial
dari pembuluh darah yang yang cedera kemudian beraggreasi untuk membentuk
plak hemostatis primer. Trombosit merangsang aktivasi lokal darifaktor koagulasi
plasma, memicu pembentukan bekuan fibrin yang
mendukung agagregasitrombosit. Kemudian seiring penyembuhan
luka, agregasi trombosit dan bekuan fibrin didegradasi.
Dalam garis besar proses pembekuan darah berjalan melalui tiga tahap :
1. aktivasi tromboplastin,
2. pembentukan trombin dari protrombin, dan
3. pembentukan fibrin dari fibrinogen.

Secara in vitro aktivasi tromboplastin, yang akan mengubah protrombin


(faktor II) menjadi trombin (faktor IIa) terjadi melalui 2 mekanisme, yaitu
mekanisme ekstrinsik dan intrinsik. Pada mekanisme ekstrinsik, tromboplastin
jaringan (faktor III, berasal dari jaringan yang rusak) akan bereaksi dengan faktor VIIa
yang dengan adanya kalsium (faktor IV) akan mengaktifkan faktor X. Faktor Xa
bersama faktor Va, ion kalsium dan fosfolipidtrombosit akan mengubah
protrombin menjadi trombin. Oleh pengaruh trombin, fibrinogen (faktor I) akan
diubah menjadi fibrin monomer (faktor Ia) yang tidak stabil. Fibrinmonomer, atas
pengaruh faktor VIIIa akan menjadi stabil dan resisten terhadap enzim proteolitik
misalnya plasmin.
Pada mekanisme intrinsik, semua faktor yang diperlukan untuk
pembekuan darah berada di dalam darah. Pembekuan dimulai bila faktor
Hageman (faktor XII) kontak dengan suatu permukaan yang bermuatan negatif,
misalnya kolagen subendotel pembuluh darah yang rusak. Reaksi tersebuT
dipercepat dengan pembentukan kompleks antara faktor XII, faktor Fitgerald dan
prekalikrein. Faktor XIIa selanjutnya akan mengaktivasi faktor XI, dan faktor Xia
bersama ion kalsium akan mengaktivasi faktor IX. Faktor IX aktif, bersama-sama faktor
VIII, ion kalsium dan fosfolipid akan mengaktifkan faktor X.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan
Dasar (RIKESDAS) 2013. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.

National Institutes of Health Clinical Center. 2015. Important information to know when you are
taking: Warfarin (Coumadin) and Vitamin K. www.cc.nih.gov. (diakses pada 9 April 2019 pukul
12:27 WIB)

Norisca A. Putri, dkk. 2012. Monitoring Terapi Warfarin pada Pasien Pelayanan Jantung pada Rumah
Sakit di Bandung. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia. 1(3). Bandung: UNPAD
Suhara. 2009. Dasar dasar biokimia. Bandung: Prisma Press
Thompson, et al. 1998. Case study: Fatal Poisoning by Malathion. Journal of Forensic Science
International. 95. hlm. 89–98.
eprints.undip.ac.id/46271/3/Husein_Alaydrus_22010111110140_Lap.KTI_Bab2.pdf (Diakses pada
9 April 2019 pukul 13:00 WIB)

https://www.maranathafarma.id/2016/12/toksisitas-parasetamol-dan-cara-menanggulanginya.html
(Diakses pada 8 April 2019 pukul 23:11 WIB)
https://www.honestdocs.id/atropin (Diakses pada 9 April 2019 pukul 11:00 WIB)

https://www.academia.edu/9786564/Antikolinergik_1_ (Diakses pada 9 April 2019 pukul 12:51 WIB)

https://www.academia.edu/7844186/BAB_II_warfarin_dita_irmaya (Diakses pada 9 April 2019 pukul


13:04 WIB)
1. Amfetamin
Mekanisme: mekanisme kerja terjadinya efek dan toksisitas amfetamin yaitu dengan
meningkatkan pelepasan katekolamin yang mengakibatkan jumlah neurotransmitter
golongan monoamine dari syaraf prasinapsis yang meningkat jika digunakan secara
berlebihan dan mengakibatkan ketergantungan. Amfetamine menyebabkan pelepasan
monoamine melalui sitosol neuronal melalui dopamin transpoter.
2. Carbon tetrachlorida (CCl4)
Mekanisme: mekanismenya dengan meningkatkan peremeabilitas membran transisi
mitokondria yang dapat menyebabkan kerusakan hepatosit. Dampak racun CCl4 pada sel hati
terjadi akibat meningkatnya kadar peroksidasi lipid disebabkan oleh adanya reaksi antara
radikal bebas hasil aktivasi CCl4 dengan asam lemak tak jenuh yang banyak terdapat pada
membran sel. Pemberian karbontetraklorida per oral dapat meyebabkan nefrotoksik.
Antidot: CCl dapat menyebabkan kerusakan sel, hal ini dapat dinetralkan menggunakan
antioksidan. Mekanisme antioksidan yang digunakan untuk antidot CCl yaitu penghambatan
inisiasi serta propagasi rantai atau peningkatan terminasi rantai.
3. Aflatoksin B

Racun yang dihasilkan oleh jamur Aspergillus flavus


Mekanisme: Efek dari aflatoksikosis ada dua yaitu aflatoksikosis akut dan aflatoksikosis
kronik. Aflatoksis akut dapat diakibatkan oleh konsumsi aflatoksin dalam tingkat sedang atau
tinggi. Organ target aflatoksin adalah organ hati. Setelah aflatoksin masuk ke hati, lipid
menyusup ke dalam hepatosit dan menyebabkan nekrosis atau kematian sel hati. Hal ini
terutama disebabkan oleh metabolit aflatoksin yang bereaksi secara negatif dengan protein
sel lain yang menyebabkan penghambatan metabolisme karbohidrat, lemak, serta sintesis
protein. Terjadi imunosupresi yang disebabkan oleh reaktivitas aflatoksin dengan sel T,
penurunan aktivitas vit K dan penurunan aktivitas fagositosis makrofag.

Antidote: Aflatoksin disebabkan oleh adanya infeksi jamur Aspergillus flavus. Pertumbuhan
bakteri tersebut dapat dihambat dengan mengkonsumsi bawang putih. Mekanisme
penghambatannya yaitu dimana sintesis lipid terhambat oleh aktivitas allin pada bawang
putih.. Tidak ada antidote khusus untuk racun ini. Pengobatan supportive dan penghilang
symptom adalah tindakan yang bisa dilakukan seperti : infus dengan dextrose, vitamin K, B,
dan diet untuk penyakit hati.

4. Asbes
Mekanisme: Serat asbes yang masuk ke dalam tubuh menempel pada membran tipis
pembungkus paru-paru. Lama-kelamaan, akan muncul jaringan yang membuat paru tidak bisa
menguncup serta mengembang normal. Akibatnya, penderita mengalami asbestosis
gangguan pernafasan yang memendek. Gejala dari penyakit ini ialah sesak saat menghirup
udara dalam-dalam. Gangguan tersebut pun dibarengi dengan kondisi batuk kering. Bila hal
ini tak segera ditanggulangi, penderitanya pun dapat mengalami gagal fungsi paru dan
meninggal dunia.
5. Kofein
Mekanisme: Berdasarkan tingkat keparahan, keracunan kafein dibagi menjadi 3 tingkat.
Pada tingkat ringan, keracunan kafein menimbulkan gejala mual dan selalu terjaga.
Keracunan kafein tingkat sedang menyebabkan gelisah, tremor, agitasi, takikardia,
hipertensi, dan muntah. Sedangkan keracunan kafein tingkat berat menyebabkan muntah
(parah, berkepanjangan), hematemesis, hipotensi, jantung disritmia, hipertonisitas,
myoklonus (otot berkedut), kejang, hiperglikemia, asidosis metabolik, dan alkalosis
respiratorik. Dosis letal kafein secara oral adalah 10 gram (150-200 mg/kg), meskipun
dilaporkan terdapat individu yang mampu bertahan setelah menelan 24 g kafein. Pada
anak-anak menelan 35 mg/kg kafein dapat menyebabkan keracunan tingkat sedang.

Antidot: Berdasarkan tingkat keparahan, keracunan kafein dibagi menjadi 3 tingkat. Pada
tingkat ringan, keracunan kafein menimbulkan gejala mual dan selalu terjaga. Keracunan
kafein tingkat sedang menyebabkan gelisah, tremor, agitasi, takikardia, hipertensi, dan
muntah. Sedangkan keracunan kafein tingkat berat menyebabkan muntah (parah,
berkepanjangan), hematemesis, hipotensi, jantung disritmia, hipertonisitas, myoklonus (otot
berkedut), kejang, hiperglikemia, asidosis metabolik, dan alkalosis respiratorik.
Dosis letal kafein secara oral adalah 10 gram (150-200 mg/kg), meskipun dilaporkan terdapat
individu yang mampu bertahan setelah menelan 24 g kafein. Pada anak-anak menelan 35
mg/kg kafein dapat menyebabkan keracunan tingkat sedang.

Arsenik

Mekanisme ketoksikan
Pembakaran fosil terutama batu bara, mengeiuarkan As203 ke lingkungan, dimana sebagian
besar akanmasuk ke daiam perairanalami.Arsenterdapatdialambersama-samadengan mineral
fosfat dan dilepas ke lingkungan bersama-sama dengan senyawa fosfat. Arsen daiam bentuk
As3+disebut Arsenit dan daiam bentuk As5+ disebut Arsenat.
Sumber utamapaparanAs di lingkungankerjaadalah dari pabrik pembuat herbisida dan
pestisiaa serta dari makanan. Arsenit (As3+) iarut daiam lipid dan dapat diabsorpsi melalui
pencernaan, inhalasi dan kontak langsung dengan kulit. Sebagian besar As di tubuh disimpan
daiamhati, ginjal,jantung danparu.
Keracunan akut menimbulkan gejala muntaber disertai darah, disusul dengan. koma dapat
menyebabkan kematian. Keracunan kronis dapat menimbulkan ikterus,
pendarahanpadaginjal, dan kanker kulit.
Arsenat daiam sel merupakan uncoupier (pemutus rangkaian) pada proses fosforilasi
oksidatif. Mekanisme kerjanya adalah dengan cara substitusi kompetitif arsenat dengan fosfat
anorganik (Pi) sehingga terbentuk ester arsenat yang cepat dihidrolisis (arsenolisis).
Arsenit anorganik (arsentrivalen),terutamamengikai gugus sulfidril(-
SH).SehinggaArsentrivalenmenghambat aktifitas enzim yang mengandung gugus -SH. Sistem
piruvat dehidrogenase sensttif terhadap Arsen trivalen karena interaksinya dengan aua
kelompok sulfidril dari asam lipoat akan membentuk cincinyang stabi!.
Efek Arsen anorganik terhadap darah yaitu dapat mempengaruhi sumsum tulang dan
mengubah komposisi seldarah,terhadap hatimenyebabkannekrosis sentraldan sirosishati.
Pengaruh arsen terhadap ginjal menyebabkan kerusakanpembuluh,tubulus danglomerulus
ginjal. Ginjal yang pertama dipengaruhi oleh arsen adalah glomerulus sehingga terjadi
proteinuria. Arsenit juga dapat menggantikanfbsfor daiamjaringan tulang dan disimpan
selama bertahun-tahun.Padasistem sel, efek terhadap sel mengakibatkan rusaknya
mitokondria sel yang menyebabkan turunnya energi sel sehingga sel dapat mati. (Masalah,
2007)

Senyawa arsenik yang dibuat manusia digunakan untuk bidang pertanian sebagai pembasmi
hama, parasit atau rumput liar dan secara berangsur-angsur terakumulasi dalam tanab serta
dapat meningkatkan signifikansi keterpaparan manusia oleh arsenik (Budiyanto, 2011)

Antidot
Glutathione peroxidase dan catalase mengatur genotoxicity dari arsenit
glutathioneperoxidase lebih efektif dalam memerangi arsenit. Hal ini menandakan tingkat
antioksidan intraseluler yang tinggi dalam meocegah atau terapi atas keracunan arsenik.
Terapi dengan dimercaprol (BAL), dimaval (DMPS) atau meso 2,3 dimercaptosuccinate
acid(DMSA) juga efektif dalam mengel iminasi arsenit dalam tubuh. BAL merupakan satu -
satunya antidot untuk arsenik (Budiyanto, 2011)
Mekanisme Antidot

Benzodiazepin

Mekanisme

Bekerja pada sistem GABA, yaitu dengan memperkuat fungsi hambatan neuron GABA.
Reseptor Benzodiazepin dalam seluruh sistem saraf pusat, terdapat dengan kerapatan yang
tinggi terutama dalam korteks otak frontal dan oksipital, di hipokampus dan dalam otak kecil.
Pada reseptor ini, benzodiazepin akan bekerja sebagai agonis. Terdapat korelasi tinggi antara
aktivitas farmakologi berbagai benzodiazepin dengan afinitasnya pada tempat ikatan. Dengan
adanya interaksi benzodiazepin, afinitas GABA terhadap reseptornya akan meningkat, dan
dengan ini kerja GABA akan meningkat. Dengan aktifnya reseptor GABA, saluran ion klorida
akan terbuka sehingga ion klorida akan lebih banyak yang mengalir masuk ke dalam sel.
Meningkatnya jumlah ion klorida menyebabkan hiperpolarisasi sel bersangkutan dan sebagai
akibatnya, kemampuan sel untuk dirangsang berkurang.

6.3. Antidotum
6.3.1 Flumazenil
Pemberian flumazenil umumnya tidak dianjurkan tetapi dapat
dipertimbangkan jika dapat secara hati-hati dititrasi untuk membalikkan
depresi pernapasan pada pasien yang membutuhkan
ventilasi mekanis dan tanpa kontra-indikasi. Kontra-indikasi cenderung
muncul pada pasien anak. Dosis untuk dewasa :

0,2 mg IV selama 15 detik


Jika tidak memberikan respons setelah 45 detik, berikan titrasi 0,1
mg dosis IV setiap menit hingga memberikan respons atau dosis
total yang diberikan 2 mg. Jika tidak ada respons juga pada kondisi
ini, pertimbangkan diagnosa.
Dosis untuk anak:
0,01 mg/kg (maksimal 0,2 mg) IV selama 15 detik.
Jika tidak memberikan respons setelah 45 detik, ulangi dosis ini dengan
interval 60 detik hingga dosis total 0,05 mg/kg atau 1 mg.

9. DAFTAR PUSTAKA
OHS, MDL Information System, Inc., Donelson Pike, Nashville, 1997.
Sentra Informasi keracunan (SIKer) dan tim. Pedoman Penatalaksanaan Keracunan untuk
Rumah Sakit. 2001
Kearney. T.E. Benzodiazepines (Diazepam, Lorazepam, and Midazolam) in Poisoning &
Drug Overdose Fifth Ed. Olson, K.R., et al. (Eds.). McGraw-Hill Companies, Inc./Lange
Medical Books. New York. 2007.
CO

Mekanisme

karbon monoksida akan berikatan dengan Haemoglobin (Hb) dalam darah membentuk
Karboksihaemoglobin sehingga oksigen tidak dapat terbawa. Ini disebabkan karbon monoksida dapat
mengikat 250 kali lebih cepat dari oksigen. Gas ini juga dapat mengganggu aktifitas seluler lainnya
yaitu dengan mengganggu fungsi organ yang menggunakan sejumlah besar oksigen seperti otak dan
jantung. Efek paling serius adalah terjadi keracunan secara langsung terhadap sel-sel otot jantung,
juga menyebabkan gangguan pada sistem saraf. Gejala-gejala klinis dari saturasi darah oleh karbon
monoksida dapat dilihat pada tabel 1.

Sianida

Sianida dapat menyebabkan terjaidnya hipoksia intraseluler melalui ikatan yang bersifat
ireversivbel dengan cytochrome oxidase a3 di dalam mitokondria . cytochrome oxidase a3
berperan ppenting dalam mereduksi oksigen menjadi air melalui proses oksidasi fosoforilasi. Ikatan
sianida dengan ion ferri pada cytochrome oxidase a3 akan mengakibatkan terjadinya hambatan
pada enzim terminal dan rantau respirasi, rantai transport elektron dan proses oksidasi fosforilasi.
Fosforilasi oksidatif merupakan suatu proses dimana oksigen digunakan untuk produksi adenosine
triphosphate (ATP) (Cahyawati dkk., 2017) .

Gangguan pada proses ini akan berakibat fatal karena proses tersebut penting untuk
mensintesis ATP dan berlangsugnya respirasi seluler. Suplai ATP yang rendah ini mengakibatkan
mitokondria tidak mampu untuk mengekstraksi dan menggunakan oksigen, sehingga walaupun
kadar oksigen dalam darah normal tidak mampu digunakna untuk menghasilkan ATP. Akibatnya
terjadi pergeseran dalam metabolisme dalam sel yaitu dari aerob menjadi anaerob. Penghentian
respirasi aerobik juga menyebabkan akumulasi oksigen dalam vena.
Penghambatan pada sitokrom oxidase a3 ini bukan merupakan satu-satunya mekanisme
yang berperan dalam keracunan sianida. Terdapat beberapa mekanisme lain yang terlibat,
diantaranya penghambatan pada enzim karbonik anhidrase yang berperan penting untuk
memperparah kondisi metabolik asidosis dan ikatan dengan methemoglobin yang terdapat
konsentrasinya antara 1 – 2 % dari kadar hemoglobin. Ikatan sianida ini menyebabkan jenis
hemoglobin ini tidak mampu mengangkut oksigen.

Program Pengobatan atau Terapi Anti Dotum


Salah satu kunci keberhasilan terpai keracunan sianida adalah pengguanaan antidot
sesegera mugkin dengan pengalaman empiris tanpa harus mengetahui kondisi kesehatan detai
pasien terlebih dahulu. Di Amerika ada dua antidot yang telah disetujui oleh FDA yaitu kit antidot
sianuda yang sudah digunakan selama puluhan tahun serta hidroxokobalamin yang disetujui pada
tahun 2006. Kit antidot sianida merupakan kombinasi dari 3 jenis antidot yang bekerja sinergis
(anyl nitrite, sodium nitrite, dan sodium thiosulfate). Dalam tabel berikut bisa dilihat perbedaan
mekanisme aksi dan dosis penggunaan kedua macam antidot tersbut

Anda mungkin juga menyukai