Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH MEKANISME ADAPTASI SEL

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata Kuliah Patofisiologi

Dosen Pengampu : Parta Suhanda, S.Kp, M.Biomed

Disusun Oleh

Heru Wahyudi

Nanda Carliva Toyotatu

Siti Nurahimah

Yuni Yulianti

Zahra Nabilah

TINGKAT 1B

PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN BANTEN

TAHUN AJARAN 2021/2022


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini
dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran
maupun materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca
praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah
ini.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sel normal merupakan mikrokosmos yang berdenyut tanpa henti, secara tetap
mengubah stuktur dan fungsinya untuk memberi reaksi terhadap tantangan dan tekanan
yang selalu berubah. Bila tekanan atau rangsangan terlalu berat, struktur dan fungsi sel
cenderung bertahan dalam jangkauan yang relatif sempit.
Penyesuaian sel mencapai perubahan yang menetap, mempertahankan
kesehatan sel meskipun tekanan berlanjut. Tetapi bila batas kemampuan adaptasi
tersebut melampaui batas maka akan terjadi jejas sel atau cedera
sel bahkan kematian
sel. Dalam bereaksi terhadap tekanan yang berat maka sel akan menyesuaikan diri,
kemudian terjadi jejas sel atau cedera sel yang akan dapat pulih kembali dan jika tidak
dapat pulih kembali sel tersebut akan mengalami kematian sel. Dalam
makalah ini akan
membahas tentang mekanisme jejas, adaptasi dan kematian sel.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian jejas sel ?
2. Apa penyebab jejas sel ?
3. Bagaimana proses adaptasi pada sel ?
4. Bagaimana proses terjadinya kematian pada sel ?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dan penyebab jejas sel.
2. Mengetahui penyebab jejas sel.
3. Menjelaskan proses adaptasi pada sel.
4. Menjelaskan proses terjadinya kematian pada sel.
Proses Jejas sel
Sel adalah unit terkecil yang menunjukkan semua sifat dari kehidupan. Aktifitasnya
memerlukan energi dari luar untuk proses pertumbuhan, perbaikan dan reproduksi (Robbins,
2010). Sel merupakan partisipan aktif di lingkungannya yang secara tetap menyesuaikan
struktur dan fungsinya untuk mengakomodasi tuntutan perubahan dan stress ekstrasel. Ketika
mengalami stress fisiologis atau rangsangan patologis, sel bisa beradaptasi, mencapai kondisi
baru dan mempertahankan kelangsungan hidupnya. Respons adaptasi utama adalah atrofi,
hipertrofi dan metaplasia. Jika kemampuan adaptatif berlebihan, sel mengalami jejas. Dalam
waktur tertentu, ceedera bersifat reversible dan sel kemudian ke kondisi stabil semula.
Namun, dengan stress berat atau menetap dapat terjadi cedera irreversibel dan sel yang
terkena mati. Sebagian besar penyebab dapat digolongkan menjadi kategori berikut ini
(Robbins, 2010):

1. Hipoksia (penurunan oksigen) timbul sebagai hasil dari :


(1) iskemia (kehilangan suplai darah);
(2) oksigenasi inadekuat (misalnya kegagalan kardiorespiratorik);
(3) hilangnya kemampuan darah untuk mengangkut oksigen (misalnya anemia,
keracunan karbon monoksida)
2. Fisika termasuk trauma, panas, dingin, radiasi dan syok elektrik.
3. Kimia dan obat-obatan seperti : (1) obat-obat terapeutik (misalnya acetaminophen); (2)
agen non-terapeutik (misalnya timah, alkohol)
4. Infeksi yaitu virus, rickettsia, bakteri, jamur dan parasit.
5. Reaksi imunologik
6. Kelainan genetik.
2.1.1 Jejas reversibel
Jejas reversibel menunjukkan perubahan sel yang dapat kembali menjadi normal jika
rangsangaan dihilangkan atau penyebab jejasnya ringan. Manifestasi jejas reversibel yang
sering terjadi awal adalah pembengkakan sel akut yang terjadi ketika sel tidak mampu
mempertahankan homeostatsis ionik dan cairan. Ini disebabkan (Robbins, 2010):
a. Kegagalan transpor membran sel aktif Na K ATPase, menyebabkan natrium masuk ke
dalam sel, kalium berdifusi ke luar sel dan terjadi pengumpulan air isosmotik.
b. Pengikatan muatan osmotik intraseluler kerena akumulasi fosfat inorganik, laktat dan purin
nukleosida. Bila semua sel pada orang tersebut terkena, terdapat warna kepucatan,
peningkatan turgor dan penambajan berat organ. Secara mikroskopik, tampak pembengkakan
sel disertai vakuola kecil dan jernih di dalam sitoplasma yang menggambarkan segmen
retikulum endoplasma yang berdistensi (Robbins, 2010). Perubahan ini umumnya merupakan
akibat adanya gangguan metabolisme seperti hipoksia atau keracunan bahan kimia dan
bersifat reversibel, walaupun dapat pula berubah menjadi irreversibel apabila penyebab
menetap
Jejas irreversibel
Jejas irreversibel terjadi jika stresornya melampaui kemampuan sel untuk beradaptasi
dan menunjukkan perubahan patologik permanen yang menyebabkan kematian sel. Jejas
irreversibel ditandai oleh vakuolisasi berat pada mitokondria, kerusakan membran plasma
yang luas, pembengkakan lisosom dan tampak kepadatan yang besar, amorf dalam
mitokondria. Jejas pada membran lisosom menyebabkan kebocoran enzim ke dalam
sitoplasma. Selanjutnya enzim tersebut diaktifkan dan menyebabkan digesti enzimatik sel dan
komponen ini yang mengakibatkan perubahan ini karakteristik untuk kematian sel. Ada
beberapa mekanisme biokimia yang berperan penting dalam jejas atau kematian sel yaitu
(Robbins, 2010):
a. Deplesi ATP Penurunan sintesis ATP dan deplesi ATP merupakan konsekuensi
yang umum terjadi karenan jejas iskemia maupun toksik. Hipoksia akan
meningkatkan glikolisis anaerob dengan deplesi glikogen, meningkatkan produksi
asam laktat atau asidosis intrasel. Berkurangnya sintesis ATP akan berdampak besar
terhadap transpor membran, pemeliharaan gradien ionik (khusus Na+, K+ dan Ca2+)
dan sintesis protein.
b. Akumulasi radikal bebas yang berasal dari oksigen Iskemia yang terjadi dapat
menyebabkan jejas sel dengan mengurangi suplai oksigen seluler. Jejas sel tersebut
juga dapat mengakibatkan rekruitmen sel radang yang terjadi lokal dan selanjutnya sel
radang tersebut akan melepaskan jenis oksigen reaktif berkadar tinggi yang akan
mencetuskan kerusakan membran dan transisi permeabilitas mitokondria. Disamping
itu, sel yang mengalami jejas juga memiliki pertahanan antioksidan yang terganggu.
c. Influks kalsium intrasel dan gangguan homeostasis kalsium Kalsium bebas sitosol
dipertahankan pada kadar yang sangat rendah oleh transportasi kalsium yang
terganggu ATP. Iskemia atau toksin dapat menyebabkan masuknya kalisum ekstrasel
melintasi membran plamsa dan diikuti dengan pelepasan kalsium dari deposit
intraseluler di mitokondria serta retikulum endoplasma. Penginkatan kalsium sitosol
dapat mengaktifkan enzim fosfolpase (mencetuskan kerusakan membran), protease
(mengkatabolis protein membran serta sitoskeleton), ATPase (mempercepat depleso
ATP) dan endonuklease (menyebabkan fragmentasi kromatin).
d. Defek pada permeabilitas membran plasma Membran plasma dapat berlangsung
dirusak oleh toksin bakteri tertentu seperti protein virus, komponen komplemen,
limfosit sitolitik atau sejumlah agen fisik dan kimiawi. Perubahan permeabilitas
membran bisa juga sekunder yang disebabkan oleh hilangnya sintesis fosfolipid yang
berkaitan dengan deplesi ATP atau disebabkan oleh aktivasi fosfolipase yang
dimediasi kalsium yang mengakibatkan degradasi fosfolipid. Hilangnya barier
membran menimbulkan kerusakan gradien konsentrasi metabolit yang diperlukan
untuk mempertahankan aktivitas metabolik sel.
e. Kerusakan mitokondria
Sel-sel tubuh sangat bergantung pada metabolisme oksidatif, maka keutuhan
mitokondria sangat penting bagi pertahanan hidup sel. Kerusakan mitokondria dapat
terjadi langsung karenan hipoksia atau toksin atau sebagai akbiat meningkatnya Ca2+
sitosol, stress oksidatif intrasel atau pemecahan fosfolipid dapat menyebabkan
akumulasi pada saluran membran mitokondria interna yang nantinya akan mencegah
pembentukan dari ATP.
Gambaran morfologis nekrosis (Robbins, 2010)
1. Perubahan pada inti sel oleh hilangnya integritas sel akibat rusaknya membran sel
yang ditandai oleh satu atau tiga gambaran berikut :
a. Piknosis ditandai oleh inti sel yang menyusut, padat, memiliki batas yang
tidak teratur dan menjadi sangat basofilik (berwarna gelap).
b. Karioreksis ditandai oleh ini sel yang hancur dan membentuk fragmen-
fragmen kromatin yang tersebar di dalam sel.
c. Kariolisis ditandai oleh larutnya kromatin dalam inti sel dan berwarna
pucat.
2. Perubahan sitoplasma menjadi eosinofilik (berwarna merah muda) terjadi karena
denaturasi protein-protein dalam sitoplasma dan hilangnya ribosom yang merupakan pemberi
warna basofilik pada sitoplasma normal.
Mekanisme jejas reversibel menyebabkan iskemik pada jaringan. terjadinya penurunan
sintesis fosfolipid. Berpengaruh terhadap penurunan ATP yang menyebabkan Na pump
menurupn dan berefek pada kerusakan pada sel, peningkatan glikolisis dan terjadinya
pemecahan lipid dimana pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan pada membran sel.
Dari jejas reversibel tersebut akan menjadi jejas irreversibel

KERUSAKAN SEL
Pada kerusakan yang terjadi secara terus menerus, maka kerusakan tersebut menjadi
irreversibel dan akhirnya sel tidak memiliki kemampuan untuk memperbaiki kerusakan
sehingga menyebabkan sel mati.
Ada 2 macam kematian sel, yang dibedakan dari morfologi, mekanisme dan perubahan
fisiologis dan penyakit, yaitu :
 apoptosis
 nekrosis
Dua pola dasar kematian sel:
 nekrosis (khususnya nekrosis koagulatif) terjadi setelah suplai darah hilang / setelah
terpajan toksin & ditandai dengan pembengkakan sel, denaturasi protein dan
kerusakan organela
→ disfungsi berat jaringan.
 apoptosis (fisiologis : embriogenesis; patologis : kerusakan mutasi yg tidak
diperbaiki)

Apoptosis
Kematian sel oleh sel itu sendiri yang disebabkan oleh growth factor atau DNA sel atau
protein yang dihancurkan dengan maksud perbaikan.
Memiliki karakteristik sel dimana inti sel mengalami pemadatan dan tidak terjadi kerusakan
membran sel.
Apoptosis memerlukan sintesis aktif RNA dan protein dan merupakan suatu proses yang
memerlukan energi
Secara morfologis, proses ini ditandai oleh pemadatan kromatin di sepanjang membran inti

APOPTOSIS SEL HATI OLEH VIRUS HEPATITIS

Sel mengalami pengurangan ukuran dan sitoplasmanya berwarna eosinophilic terang serta
nukleusnya mengalami kondensasi
Nekrosis
 Terjadi kerusakan membran, lisosom mengeluarkan enzim ke sitoplasma dan
menghancurkan sel, isi sel keluar dikarenakan kerusakan membran plasma dan
mengakibatkan reaksi inflamatori.
 Nekrosis adalah pathway yang secara umum terjadi pada kematian sel yang
diakibatkan oleh:
 Ischemia
 Keracunan
 Infeksi dan
 Trauma
PERBEDAAN KEMATIAN SEL SECARA NECROSIS DAN APOPTOSIS

Inflamasi
Inflamasi didefinisikan sebagai reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan
melibatkan lebih banyak mediator dibanding respons imun didapat. Inflamasi merupakan
respons fisiologis terhadap berbagai rangsangan seperti infeksi dan cedera jaringan. Inflamasi
dapat lokal, sistemik, akut dan kronis yang dapat menimbulkan kelainan patologis
Komponen respons radang akut dan kronik. Sel dan protein dalam sirkulasi, sel dinding
pembuluh darah, dan sel elemen matriks pada jaringan ikat ekstravaskuler
Sel-sel imun nonspesifik seperti neutrofil, sel mast, basofil dan makrofag jaringan
berperan dalam inflamasi. Sel-sel tersebut diproduksi dan disimpan sebagai persediaan untuk
sementara dalam sumsum tulang, hidup tidak lama dan jumlahnya yang diperlukan di tempat
inflamasi dipertahankan oleh influks sel-sel baru dari persediaan tersebut. Neutrofil
merupakan sel utama pada inflamasi dini, bermigrasi ke jaringan dan puncaknya terjadi pada
6 jam pertama. Untuk memenuhi hal tersebut diperlukan peningkatan produksi neutrofil
dalam sumsu tulang. Orang dewasa normal memproduksi lebih dari 10¹º neutrofil perhari
terapi pada inflamasi dapat meningkatkan sampai 10 kali lipat (Baratawidjaja, 2010).
Pada inflamasi akut, neutrofil dalam sirkulasi dapat meningkat dengan segera dari
5000ul sampai 30.000/ul. Pengikatan tersebut disebabkan oleh migrasi neutrofil ke sirkulasi
yang berasal dari sumsum tulang dan persediaan marginal intravaskuler. Persediaan marginal
ini merupakan sel-sel yang untuk sementara menempel pada dinding vaskuler yang keluar
dari sirkulasi. Komposisi leukosit adalah 45% berada dalam sirkulasi dan 55% marginal
Proses inflamasi diperlukan sebagai pertahanan pejamu terhadap mikroorganisme
yang masuk tubuh serta penyembuhan luka yang membutuhkan komponen selular untuk
membersihkan debris lokasi cedera serta meningkatkan perbaikan jaringan. Sel fagosit
diperlukan untuk menyingkirkan bahan-bahan asing dan mati di jaringan yang cedera.
Mediator inflamasi yang dilepas fagosit seperti enzim, radikal bebas anion superoksid dan
oksida nitrit berperan untuk menghancurkan makromolekul dalam cairan eksudat. Namun
respons inflamasi merupakan resiko yang harus diperhatikan pejamu. Reaksi inflamasi dapat
berhenti sendiri atau responsif terhadap terapi. Namun bila terapi gagal, proses inflamasi
kronis dapat terjadi dan menimbulkan penyakit inflamasi. Bila terjadi rangsangan yang
menyimpang dan menetap, inflamasi bahkan dapat ditingkatkan. Reaksi dapat berlanjut yang
menimbulkan kerusakan jaringan pejamu dan penyakit (Baratawidjaja, 2010).
Produk sel mast merupakan mediator penting dalam proses inflamasi. Beberapa
diantaranyanya menimbulkan vasodilatasi dan edem serta meningkatkan adhesi neutrofil dan
monosit ke endotel. Vasodilatasi mengingkatkan persediaan darah untuk mengalirkan lebih
banyak molekul dan sel yang diperlukan untuk memerangi antigen yang mencetuskan
inflamasi (Baratawidjaja, 2010).
Inflamasi akut disebabkan oleh penglepasang berbagai mediator yang berasal dari
jaringan rusak, sel mast, leukosit dan komplemen. Meskipun sebab pemicu berbeda, namun
jalur akhir inflamasi yang disebabkan alergi (IgE0-sel mast) yang terjadi lebih cepat dan
dapat menjadi sistemi. Mediator-mediator tersebut menumbulkan edem, bengkak, kemerahan,
sakit, gangguan fungsi alat yang terkena serta merupakan petanda klasik inflamasi. Jaringan
yang rusak melepas mediator seperti trombin, histamin dan TNF-α (Baratawidjaja, 2010).
Kejadian tingkat molekular pada inflamasi adalah vasodilatasi, peningiatan permeabilitas
vaskular dan infiltrasi selular. Hal-hal tersebut disebabkan berbagai mediator kimia yang
disebarluaskan ke seluruh tubuh dalam bentuk aktif atau tidak aktif. TNF-a dan IL-1 yang
diproduksi makrofag yang diaktifkan endotoksin asal mikroba berperan dalam perubahan
permeabilitas vascular
MEKANISME KERUSAKAN SEL KARENA RADIASI
Radiasi yang digunakan untuk pengobatan kanker terdiri dari gelombang
elektromagnetik/foton (sinar-X dan sinar λ) dan partikel (alfa, proton dan neutron). Radiasi partikel
pada umumnya menyebabkan ionisasi jaringan biologi secara langsung. Hal ini disebabkan energi
kinetik partikel dapat langsung merusak struktur atom jaringan biologi yang dilewatinya, dan
mengakibatkan kerusakan kimia dan biologi molekular. Lain halnya dengan radiasi partikel, radiasi
elektromagnetik mengionisasi secara tidak langsung dengan cara membentuk elektron sekunder
terlebih dahulu untuk mengakibatkan kerusakan jaringan.
Radiasi pada jaringan biologik dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase fisika, kimia dan biologi.
Radiasi pengion foton yang mengenai jaringan biologi, pada awalnya menyebabkan fase fisika
dengan metode ionisasi dan eksitasi. Selanjutnya, terjadi fase kimia dengan terbentuknya radikal
bebas. Radikal bebas yang terbentuk mengakibatkan kerusakan biologi dengan cara merusak DNA.
Kerusakan DNA yang tidak bisa diperbaiki akan menyebabkan kematian sel.
Kerusakan DNA
Dengan kemampuannya mengionisasi dan mengeksitasi inti atom sel, radiasi dapat
menyebabkan kerusakan sel dan target utamanya adalah kerusakan DNA. Meskipun relatif kecil,
kerusakan DNA tetap dapat menyebabkan kematian sel.
Ionisasi dan eksitasi akan menyebabkan kerusakan DNA baik langsung maupun tidak
langsung. Kerusakan DNA secara langsung jika radiasi pengion langsung mengenai DNA. Sepertiga
kerusakan biologi akibat sinar x dan λ disebabkan oleh efek langsung, dan efek langsung ini lebih
dominan pada radiasi LET tinggi.Kerusakan DNA secara tidak langsung melalui pembentukan radikal
bebas (atom dengan elektron tidak berpasangan) dan mempunyai efek sangat merusak terhadap
DNA.
Kerusakan DNA bisa berupa terputusnya rantai tunggal DNA atau single strand breaks (SSB),
terputusnya rantai ganda DNA atau double strand breaks (DSB), crosslink DNA, serta kehilangan basa
DNA. Beberapa kerusakan DNA masih dapat diperbaiki, tetapi dapat juga mengalami kegagalan,
sehingga terjadilah kematian sel. Kerusakan DNA melalui mekanisme DSB adalah yang paling
penting, sebab terjadi pemisahan rantai DNA sehingga sulit diperbaiki. Sel yang gagal diperbaiki tidak
langsung mengalami kematian, tetapi mengalami beberapa pembelahan sel (mitosis) terlebih
dahulu.
Kerusakan DNA akibat radiasi terjadi terutama pada area fokus pengelompokan ionisasi yang
berjarak beberapa nanometer dari DNA. Diperkirakan terjadi 100.000 ionisasi pada sel per Gy dosis
radiasi terserap; yang menyebabkan seribu sampai tiga ribu crosslink DNA atau crosslink protein
DNA, seribu kerusakan struktur DNA, 500-1000 SSB dan 25 sampai 50 DSB. Mayoritas ionisasi tidak
menyebabkan kerusakan DNA, dan hampir semua lesi pada DNA dapat diperbaiki melalui jalur
perbaikan DNA. Kegagalan perbaikan atau kesalahan perbaikan DNA pada DSB dapat mematikan
(letal) atau menyebabkan mutasi.
Respon kerusakan DNA akibat radiasi sangat kompleks, tidak hanya melalui satu jalur tetapi
melibatkan banyak jalur yang saling berhubungan untuk mengontrol efek radiasi pada sel. Sistem
kontrol ini dibagi dalam dua kelompok, yaitu sistem sensor dan sistem efektor. Sistem sensor adalah
sekelompok protein yang bertugas mensurvei genom saat terjadi kerusakan dan mengirimkan sinyal
kerusakan tersebut ke protein-protein lain untuk aktivasi jalur efektor. Jalur efektor akan
menentukan hasil akhir dari kerusakan DNA, yang dapat berupa kematian sel, perbaikan DNA, atau
kerusakan checkpoint (hambatan sementara atau permanen dari progresivitas sel dalam siklus sel).
Ketika DNA sel dirusak oleh radiasi, siklus sel akan dihentikan oleh protein p-53. Kemudian,
dimulailah proses perbaikan DNA, lalu sel kembali ke dalam siklus sel, sehingga proliferasi bisa
berlanjut. Jika DNA tidak dapat diperbaiki, sel akan mengalami kematian (apoptosis). Pada dosis
radiasi yang tinggi, protein yang digunakan dalam mekanisme perbaikan DNA juga ikut dirusak,
sehingga perbaikan sel tidak mungkin dilakukan. Sel akan kehilangan kemampuannya untuk
membelah diri, lalu mengalami kematian.

Mekanisme Kerusakan sel karena Radikal Bebas


Radikal bebas (free radical) atau sering juga disebut reactive oxygen species (ROS)
berasal dari bahasa latin radicalis adalah bahan kimia yang dapat berupa atom maupun
molekul yang tidak memiliki elektron berpasangan pada lapisan luarnya. Sifat dari radikal
bebas adalah sangat reaktif dan memiliki waktu paruh yang sangat cepat. Radikal bebas akan
segera bereaksi dengan cepat dengan mengambil elektron molekul disekitarnya.
Radikal bebas dapat merusak jaringan
normal terutama apabila jumlahnya terlalu banyak. Akibat dari radikal bebas dalam jumlah
besar adalah gangguan produksi DNA, lapisan lipid pada dinding sel,pembuluh darah,
produksi prostaglandin, kerusakan sel dan mengurangi kemampuan sel untuk beradaptasi
terhadap lingkungannya. Kadar Reactive Oxygen Species (ROS) yang tinggi menyebabkan
penimbunan kolesterol pada dinding pembuluh darah dan akibatnya timbulah atherosklerosis
atau lebih dikenal dengan penyakit jantung koroner.
Umumnya radikal bebas diperlukan bagi kelangsungan beberapa proses fisiologis dalam
tubuh, terutama untuk transportasi elektron. Radikal bebas dalam kadar normal dibutuhkan
untuk perkembangan sel dan juga membantu sel darah putih atau leukosit untuk
menghancurkan atau memakan kuman yang masuk ke dalam tubuh. Oleh sebab itu radikal
bebas juga berperan dalam sistem imun dalam tubuh manusia. Apabila terjadi
ketidakseimbangan antara radikal bebas dan antioksidan yang disebut stress oxidative maka
akan mengganggu kerja system imun. Sistem imun yang melemah dapat ditemukan pada
perokok baik aktif maupun pasif, hal ini disebabkan pembakaran asap rokok yang
menghasilkan
radikal bebas berkali-kali lipat dibandingkan dengan radikal bebas pada
metabolisme tubuh pada keadaan normal. Secara alami dalam tubuh manusia telah
memiliki mekanisme pertahanan terhadap radikal bebas, yaitu antioksidan endogen
intrasel yang terdiri atas enzim-enzim yang disintesis oleh tubuh seperti
Superoksida dismutase (SOD), katalase dan glutation peroksidase.
Dalam Tubuh manusia radikal bebas dapat berasal 2 sumber yaitu endogen
dan eksogen.
a. Sumber endogen
1) Autoksidasi :
Adalah produk dari proses metabolisme aerob. Jenis molekulnya dapat
berasal dari hemoglobin, katekolamin, mioglobin, sitkrom C yang tereduksi,
serta thiol. Autoksidasi dari produk diatas dapat menghasilkan kelompok
oksigen reaktif.
2) Oksidasi enzimatik
Terdapat beberapa jenis enzim yang dapat menghasilkan radikal bebas
seperti, xanthine oksidase, lipoxygenase, aldehid oxidase, amino acid oxidase,
dan prostaglandin synthase.
3) Respiratory burst
Merupakan proses dimana sel fagositik menggunakan oksigen dalam
jumlah yang besar pada proses fagositosis. Sekitar 70-90 % penggunaan oksigen
tersebut berperan dalam produksi superoksida yang merupakan bentukan awal
dari radikal bebas.
b. Sumber eksogen
1) Obat-obatan :
Obat-obatan dapat berperan dalam peningkatan produksi radikal bebas
dengan cara peningkatan tekanan oksigen. Jenis obat-obatan tersebut dapat
berupa obat golongan antibiotik quionoid, obat kanker, serta penggunaan asam
askorbat yang berlebih dapat mempercepat peroksidasi lipid.
2) Radiasi :
Pengunaan Radioterapi memungkinkan terjadinya kerusakan jaringan
yang disebabkan oleh radikal bebas. Radiasi di bagi menjadi radiasi
elektromagnetik dan radiasi partikel. Radiasi elektromagnetik dapat berupa sinar
X dan sinar gamma sedangkan radiasi partikel dapat berupa partikel elektron,
photon, neutron, alfa, dan beta.
3) Asap rokok
Tiap hisapan rokok mengandung jumlah senyawa oksidan yang sangat
besar, meliputi aldehid, proxida, epoxida, dan radikal bebas lain yang bersifat
reaktif dan destruktif. Pada perokok juga ditemukan peningkatan netrofil pada
saluran pernafasan bawah yang berkontribusi dalam produksi radikal bebas.16 20
Pembentukan radikal bebas dibagi menjadi menjadi tiga proses tahapan
sebagai berikut:
a. Tahapan Inisiasi, merupakan tahapan dalam pembentukan radikal bebas
b. Tahapan Propogasi, merupakan Tahapan pemanjangan rantai radikal
c. Tahapan Terminasi, merupakan tahapan bereaksinya senyawa radikal
dengan radikal lain atau dengan penangkapan radikal, sehingga potensi
propagasinya rendah.
Reaksi selanjutnya adalah proksidasi lipid pada membram dan sitosol yang
mengakibatkan terjadinya serangkaian reduksi asam lemak sehingga terjadi
kerusakan membran dan organel sel.
2.2 Peroksidasi Lipid
Istilah peroksidasi lipid umumnya merupakan suatu proses terjadinya
degradasi lipid secara oksidatif. Peroksidasi lipid adalah proses dimana radikal
bebas mengikat elektron-elektron lipid pada membrane sel yang berakibat langsung
pada kerusakan sel. Ada pun zat yang terlibat dalam proses peroksidasi lipid antara
lain Poly Unsaturatted Fatty Acid (PUFA), fosfolipid, glikolipid, kolesterol ester
dan kolesterol. Asam lemak tak jenuh (PUFA) merupakan bahan yang paling sering
terlibat dalam mekanisme oksidasi karena mengandung banyak ikatan ganda
diantara molekulnya.
Peroksidasi lipid dapat terjadi secara enzimatis dan non‐enzimatis.
Peroksidasi enzimatis dilakukan oleh 2 macam enzim yaitu lipoxygenase dan
cyclooxygenase. Peroksidasi non enzimatis dapat dibagi menjadi 2 proses yaitu
autooksidasi dan foto-oksigenasi. Proses autooksidasi terdiri dari 3 tahap adalah
inisiasi, propagasi, terminasi.
A. Peroksidasi lipid secara autoksidasi
Penjelasan mekanisme ketiga tahapannya sebagai berikut:
1. Tahap inisiasi.
Pada tahap ini dimulainya produksi asam lemak radikal. Dimana terjadi
serangan radikal bebas umumnya spesies oksigen reaktif (OH) terhadap partikel
lipid dan menghasilkan air (H2O) dan asam lemak radikal.
2. Tahap propagasi.
Asam lemak radikal yang dihasilkan dari proses inisiasi bersifat sangat tidak
stabil dan mudah bereaksi dengan molekul oksigen dan akan menghasilkan suatu
peroksi radikal asam lemak. Bahan ini juga ternyata bersifat tidak stabil dan
kemudian bereaksi dengan asam lemak bebas lainnya untuk menghasilkan asam
lemak radikal yang baru dan dapat menghasilkan peroksida lipid atau peroksida
siklik bila bereaksi dengan dirinya sendiri. Siklus ini berlanjut sedemikian rupa
hingga memasuki tahap terminasi.
3. Tahap terminasi.
Ketika suatu radikal bereaksi dengan non radikal maka akan menghasilkan
suatu radikal baru. Proses ini dinamakan dengan mekanisme reaksi rantai. Reaksi
radikal akan berhenti bila terdapat dua radikal yang saling bereaksi dan
menghasilkan suatu spesies non radikal. Hal ini hanya dapat terjadi ketika
konsentrasi spesies radikal sudah sedemikian tingginya sehingga memungkinkan
dua spesies radikal untuk saling bereaksi.
B. Peroksidasi Lipid oksigenasi
Oksigen memiliki sifat elektrofilik sehingga sangat reaktif terhadap lipid
tidak jenuh. Proses foto-oksidasi lebih reaktif sampai dengan 30.000 kali dibanding
proses auto‐oksidasi. Foto‐oksidasi dapat dihambat secara efisien oleh antioksidan.
Mekanisme penghambatan ini dengan membuat oksigen singlet bentuknya menjadi
stabil.
Membran sel kaya akan sumber poly unsaturated fatty acid (PUFA) mudah
dirusak oleh bahan-bahan pengoksidasi, proses tersebut dinamakan peroksidasi
lipid. Hal ini sangat merusak karena merupakan suatu proses berkelanjutan.
Komponen terpenting membran sel adalah fosfolipid, glikolipid, dan kolesterol.
Dua komponen pertama mengandung asam lemak tak jenuh seperti asam linoleat,
linolenat dan arakidonat sangat rawan terhadap serangan-serangan radikal terutama
radikal hidroksil. Akibat dari serangan radikal tersebut dapat mengakibatkan
kerusakan parah membran sel sehingga membahayakan kehidupan sel.
2.3 Malondialdehid (MDA)
Merupakan produk peroksidasi lipid yang berupa aldehid reaktif dan
merupakan salah satu dari banyak spesies elektrofil reaktif yang menyebabkan stres
toksik pada sel. MDA dapat bereaksi dengan deoksiguanosin dan deoksiadenosin
pada DNA dan membentuk substansi yang bersifat mutagenik.
Akibat serangan radikal bebas maka akan terbentuk produk oksidatif yang
sering digunakan sebagai marker untuk menilai stress oksidatif, dengan penilaian
yang akurat terhadap marker tersebut dapat diketahui kondisi patologis yang terjadi
pada tubuh seseorang. Biomarker dapat ditemukan dalam darah, urin, dan cairan
tubuh lainnya. Beberapa marker/petanda yang digunakan adalah malondialdehid,
4-hidroksinenal akibat peroksidasi lipid, isoprostan akibat kerusakan asam
arakidonat, 8-hidroksiguanin dan thiaminglikol akibat kerusakan DNA.
MDA merupakan salah satu produk final dari peroksidasi lipid. Senyawa ini
terbentuk akibat degradasi radikal bebas hidroksil (OH*) terhadap Poly
Unsaturated Fatty Acid (PUFA) yang nantinya ditransformasi menjadi radikal
yang sangat reaktif. Proses terbentuknya MDA dapat dijelaskan sebagai berikut,
radikal bebas oksigen (O2*) diproduksi melalui proses enzimatik dan non
enzimatik. Sel-sel tubuh yang dapat membentuk radikal bebas oksigen dan H2O2
adalah sel polimorfonuklir, monosit dan makrofag.
Radikal bebas yang terbentuk akan bereaksi dengan SOD dan ion Cu +2
menjadi H2O2. Hidrogen peroksida (H2O2) ini banyak diproduksi di mitokondria
dan mikrosom dan yang penting H2O2 ini dapat menembus membran sel. Sebagai
sistem pertahanan tubuh, H2O2 oleh katalase dapat diubah menjadi H2O dan O2*.
Hidrogen peroksida ini merupakan oksidan yang kuat oleh karena dapat bereaksi
dengan berbagai senyawa. Selain itu H2O2 oleh enzim glutation peroksidase diubah
menjadi H2O. Pada stress oksidatif terbentuk radikal bebas oksigen dan H2O2 yang
berlebih, sehingga sistem proteksi tubuh seperti enzim katalase dan glutation
peroksidase tidak dapat lagi menetralkan semua radikal bebas oksigen yang
terbentuk.

Selanjutnya jika H2O2 bereaksi dengan dengan Fe+2 dan Cu+2 maka
terbentuklah radikal bebas hidroksil melalui reaksi Fenton dan Haber-Weiss.
Radikal hidroksil adalah spesies yang sangat reaktif. Membran sel terdiri dari
banyak komponen penting yaitu fosfolipid, glikolipid, (keduanya mengandung
asam lemak tak jenuh) dan kolesterol. Asam lemak tak jenuh ini sangat peka
terhadap radikal hidroksil.
Kemampuan radikal hidroksil ini akan membentuk reaksi rantai dengan satu
atom hidrogen dari membram sel dan terbentuk peroksidasi lipid. Kelanjutan dari
reaksi ini adalah terputusnya rantai asam lemah menjadi senyawa aldehid yang
memiliki daya perusak yang tinggi terhadap sel-sel tubuh antara lain
malondialdehid, 4-hidroksinenal, etana dan pentana.30 Demikian pula dengan DNA
dan protein juga mengalami kerusakan yang seringkali cukup hebat.
Untuk menentukan kadar MDA dalam tubuh sangat mudah dilakukan baik
secara spektrofotometrik maupun flurometrik. Karena MDA merupakan produk
yang sangat tidak stabil maka cara penyimpanan sampel harus terlindung dari
cahaya, dan bila tidak segera diperiksa harus disimpan pada suhu -700C.
Penyimpanan -200C tidak memadai.
Pengukuran Kadar MDA dapat menggunkan metode Thiobarbituric acid
reactive substances (TBARS). Prinsip analisinya adalah pemanasan akan
menghidrolisis peroksidasi lipid sehingga MDA yang terikat akan dibebaskan dan
akan bereaksi dengan TBA dalam suasana asam yang membentuk kompleks MDATBA yang
berwarna merah dan diukur pada panjang gelombang 545nm.
MEKANISME KERUSAKAN SEL KARENA MIKROORGANISME
(Virus Bakteri jamur)
Mikroorganisme atau mikroba adalah organisme yang berukuran sangat kecil
sehingga untuk mengamatinya diperlukan alat bantuan. Mikroorganisme disebut juga
organisme mikroskopik. Mikroorganisme sering kali bersel tunggal (uniseluler) maupun
bersel banyak (multiseluler). Namun, beberapa protista bersel tunggal masih terlihat oleh
mata telanjang dan ada beberapa spesies multisel tidak terlihat mata telanjang. Virus juga
termasuk ke dalam mikroorganisme meskipun tidak bersifat seluler.
Cawan agar yang ditumbuhi mikroorganisme yang diisolasi dari perairan dalam. Ilmu yang
mempelajari mikroorganisme disebut mikrobiologi.[1] Orang yang bekerja di bidang ini
disebut mikrobiolog.[butuh rujukan]
Mikroorganisme biasanya dianggap mencakup semua prokariota, protista, dan alga renik.[3]
Fungi, terutama yang berukuran kecil dan tidak membentuk hifa, dapat pula dianggap sebagai
bagiannya, meskipun banyak yang tidak menyepakatinya.[butuh rujukan] Kebanyakan orang
beranggapan bahwa yang dapat dianggap mikroorganisme adalah semua organisme sangat
kecil yang dapat dibiakkan dalam cawan petri atau inkubator di dalam laboratorium dan
mampu memperbanyak diri secara mitosis.[butuh rujukan]
Mikroorganisme berbeda dengan sel makrooganisme.[butuh rujukan] Sel makroorganisme
tidak bisa hidup bebas di alam melainkan menjadi bagian dari struktur multiselular yang
membentuk jaringan, organ, dan sistem organ.[butuh rujukan] Sementara, sebagian besar
mikrooganisme dapat menjalankan proses kehidupan dengan mandiri, dapat menghasilkan
energi sendiri, dan bereproduksi secara independen tanpa bantuan sel lain.
Mikroorganisme paling utama adalah kuman Clostridium Welchii yang biasanya terdapat
pada usus besar. Pada orang yang sudah mati, semua sistem pertahanan tubuh akan hilang
maka kuman-kuman tersebut dapat leluasa memasuki pembuluh darah dan menggunakan
darah sebagai media untuk berkembang biak. Kuman tersebut akan menyebabkan hemolisa,
pencairan bekuan-bekuan darah yang terjadi sebelum atau sesudah mati, pencairan thrombus
atau emboli, perusakan jaringan – jaringan dan pembentukan gas – gas pembusukan. Oleh
karena itu, bila kematian seseorang disebabkan karena
penyakit infeksi, pembusukan akan berlangsung lebih cepat

Pembusukan adalah proses campuran dari proses internal dan external.


Proses internal yang terjadi yaitu autolysis yang terjadi pada sel tubuh akibat enzim yang
dibebaskan pasca mati, sedangkan proses externalnya dipengaruhi oleh bakteri dan jamur dari
lingkungan.
8 Autolisis adalah perlunakan danpencairan jaringan yang terjadi dalam keadaan steril
melalui proses kimia yang disebabkan oleh enzim-enzim intraseluler, sehingga organ-organ
yang kaya dengan enzim-enzim akan mengalami proses autolisis lebih cepat daripada organ-
organ yang tidak memiliki enzim, dengan demikian pancreas akan mengalami autolisis lebih
cepat dari pada jantung. Proses auotolisis terjadi sebagai akibat dari pengaruh enzim yang
dilepaskan pasca mati. Mula-mula yang terkena ialah nukleoprotein yang terdapat pada
kromatin dan sesudah itu sitoplasmanya, kemudian dinding sel akan
mengalami kehancuran sebagai akibatnya jaringan akan menjadi lunak dan mencair. Proses
autolisis ini tidak dipengaruhi oleh mikroorganisme oleh karena itu pada mayat yang steril
misalnya mayat bayi dalam kandungan, proses autolisisini tetap terjadi. Pembusukan adalah
suatu keadaan dimana bahan-bahan organik tubuh mengalami dekomposisi baik yang
disebabkan oleh karena adanya aktivitas bakteri
Faktor yang Mempengaruhi Proses Pembusukan
Pembusukan dipengaruhi oleh faktor eksterna dan faktor interna. Faktor eksterna adalah
faktor penyebab pembusukan dari luar tubuh mayat. Sedangkan faktor interna adalah faktor
penyebab pembusukan yang berasal dari tubuh mayat tersebut.

Faktor eksterna, yaitu :


- Suhu di sekitar mayat
Proses pembusukan yang paling optimal terjadi pada suhu 70oF - 100oF atau sekitar 21 ̊C -
38 ̊C. Pada suhu dibawah 50oF (10oC) atau diatas 100oF (38oC), proses pembusukan
menjadi lebih lambat akibat
terhambatnya pertumbuhan mikroorganisme.
- Kelembaban udara
Proses pembusukan diperlukan juga kelembaban udara, akan tetapi jika kelembaban udara
tinggi akan mempercepat proses pembusukan, sedangkan proses pembusukan dapat
terhambat jika kelembaban udaradisekitarnya rendah.
- Medium dimana mayat berada
Pembusukan pada medium udara terjadi lebih cepat dibandingkan padamedium air, karena
jika tubuh terendam air kecepatan pembusukan akanmelambat karena pendinginan tubuh.
Sedangkan pembusukan padamedium air lebih cepat dibandingkan pada medium tanah.
- Invasi hewan dan serangga
Ikan, kepiting, kura-kura, dan hewan air lain akan merusak tubuh mayat, mempercepat
pembusukan. Anjing, tikus, dan hewan darat lain juga dapat merusak tubuh mayat, dan
membantu masuknya bakteri yangmendekomposisi mayat. Lalat juga akan hinggap karena
tertarik pada baubangkai yang dikeluarkan mayat dan menelurkan telurnya ke dalam mayat,
yang akhirnya menjadi larva yang memakan mayat tersebut.

Faktor internal, yaitu


- Umur
Pada mayat orang – orang tua, proses pembusukannya lebih lambat disebabkan lemak
tubuhnya relative lebih sedikit. Pembusukan yang lambat juga terjadi pada mayat bayi baru
lahir dan belum pernah diberi makan, pembusukan terjadi dari luar tubuh, karena belum ada
bakteri di gastrointestinal dan di paru. Selain itu, hilangnya panas tubuh yang cepat pada
tubuh bayi baru lahir menghambat pertumbuhan bakteri.
- Jenis Kelamin
Pada wanita, jumlah lemak subkutan lebih banyak sedikit, mempertahankan panas tubuh
sedikit lebih lama dan sedikit mempercepat dekomposisi. Selain itu tidak ada yang
mempengaruhi dari perbedaan jenis kelamin.
- Keadaan mayat
Proses pembusukan yang cepat terjadi pada tubuh mayat yang gemuk, edematous, luka – luka
atau mayat wanita yang mati sesudah melahirkan. Pada mayat dengan perlukaan terjadi
proses pembusukan yang lebih cepat karena dapat emmbantu masuknya mikroorganisme
tambahan dari luar tubuh. Sedang proses pembusukan yang lambat terjadi pada mayat yang
kurus atau pada mayat yang ketika hidupnya mengalami dehidrasi.
- Sebab kematian
Mayat dari orang yang mati mendadak lebih lambat prosespembusukannya daripada yang
mati karena penyakit kronis.
Demikianjuga mayat dari orang yang mati karena keracunan kronis dari zat asam karbol,
arsen, antimo dan zink klorida. Jika kematian karena infeksi atausepticemia, akan
mempercepat proses pembusukan karena bakteri.
Gaspembusukan disini dapat terjadi meskipun kulit masih terasa hangat.
Mekanisme Adaptasi Sel
Agar sel terus menjalankan fungsinya maka sel harus melakukan mekanisme adaptasi saat
mendapatkan cidera sehingga sel dapat bertahan hidup. Ditinjau dari beban kerja sel, maka
adaptasi sel dapat dibagi menjadi:
1. Adaptasi terhadap peningkatan beban kerja sel
2. Adaptasi terhadap penurunan beban kerja sel
Berikut ini adalah bentuk adaptasi yang dilakukan sel (Nair, 2015) :
1. Menambah ukuran sel (hipertrofi)
Didefinisikan sebagai pembesaran jaringan atau organ karena pembesaran selnya yang
tidak disertai peningkatan fungsi organ atau jaringan tersebut. Hipertrofi dapat bersifat
fisiologik dan patologik. Sebagai contoh kondisi hipertrofi patologik dapat dilihat pada
jaringan otot jantung yang mengalami peningkatan beban kerja seperti pada pasien yang
bertahun-tahun menderita hipertensi. Sedangkan kondisi hipertrofi fisiologik seperti otot
rangka pada binaragawan yang memang sengaja dibentuk sebagai hasil mengangkat beban
berat.
2. Mengurangi ukuran sel (Atropi)
Kejadian dimana organ atau jaringan yang terbentuk tumbuh mencapai batas normal
tetapi kemudian mengalami penyusutas. Sifatnya dapat fisiologik misalnya pada proses
aging (penuaan) dimana seluruh bagian tubuh tampak mengecil bertahap. Lebih jelas jika
dilihat pada usia lanjut yang mengalami atrofi endokrin sehingga produk hormonnya
menurun. Atropi patologik dapat terjadi pada otot individu yang mengalami immobilisasi
sehingga otot tidak pernah digerakkan sehingga otot akan semakin mengecil.
2. Menambah jumlah sel (hyperplasia)
Hiperplasia terjadi karrena kenaikan absolute pada sebuah jaringan atau organ sehingga
menyebabkan pembesaran jaringan atau organ tersebut dan fungsi organ atau jaringan
tersebut juga meningkat. Hal ini hanya dapat terjadi pada sel labil seperti sel epidermis atau
sel darah. Tidak terjadi pada sel permanent seperti sel otot rangka, saraf dan jantung. Contoh
hiperplasi fisiologik adalah pembesaran sel uterus pada saat seorang wanita hamil sehingga
janin dapat tumbuh membesar didalamnya. Sedangkan hiperplasi patologik biasanya terjadi
karena rangsangan hormonal berlebih misalnya hyperplasia endometrium akibat pengeluaran
hormon estrogen yang tidak terkendali dan merupakan prekursor terjadinya proliferasi
keganasan.
3. Merubah sel (metaplasia)
Bentuk adaptasi yang terjadi berupa perubahan sel matur jenis tertentu menjadi sel matur
jenis lain. Misalnya sel epitel torak yang dapat bersekresi diganti oleh sel epitel gepeng
berlapis yang tidak dapat bersekresi yang terjadi pada saluran pernafasan seorang perokok.
Hal ini tidak menguntungkan karena lender yang merupakan alat proteksi saluran pernafasan
terhadap bakteri debu dan benda asing tidak terbentuk sehingga saluran pernafasan mudah
mengalami infeksi.
BAB IV
PENUTUPAN

KESIMPULAN
Berdasarkan makalah di atas dapat disimpulkan :
1.Jejas sel adalah cedera padasel karena suatu sel tidak lagi dapat beradaptasi terhadap
rangsangan. Hal ini dapat terjadi bila rangsangan tersebut terlalu lama atau terlalu berat.
Sel dapat pulih dari cedera atau mati bergantung pada sel tersebut dan besar serta jenis
cedera. Apabilasuatu sel mengalami cedera, maka sel tersebut dapat mengalami perubahan
dalam ukuran, bentuk, sintesis protein, susunan genetik, dan sifat transportasinya.
2.Penyebab jejas sel antara lain :
a. Hipoksia (pengurangan oksigen)
b. Faktor fisik, termasuk trauma, panas, dingin, radiasi, dan tenaga listrik.
c. Bahan kimia dan obat-obatand.
d. Bahan penginfeksie.Reaksi imunologik
e. Kekacauan genetik.
f. Ketidakseimbangan nutrisi
g. Penuaan.
3.Proses adaptasi sel dapat dikategorikan sebagai berikut:
a.Displasia
b.Metaplasia
c.Hiperplasiad.Hipertrofi
e.Atrofi.
4.Proses kematian sel dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu Nekrosis dan Apoptosis.
B. SARAN
Hindari hal-hal penyebab yang dapat mengakibatkan jejas sel atau cedera sel agar
dapatterhindar dari kematian sel.Nekrosis merupakan suatu bentuk kerusakan sel sebagai
akibat dari adanya kerusakan sel akut atau trauma, dimana kerusakan sel tersebut
terjadi secara tidak terkontrol. Oleh sebab itu kita sangat perlu memperhatikan makanan yang
akan kita konsumsi , menjaga aktivitas fisik dan selalu mengutamakan perilaku hidup sehat
agar tidak menyebabkan timbulnya gejala –gejala nekrosis yang dapat merusak sel dan dapat
berpotensi menimbulkan masalah kesehatan yang serius.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai