Anda di halaman 1dari 3

Ayo cadaran

Cadar atau dalam bahasa Arab di sebut dengan niqab memang beberapa waktu terakhir
menjadi pembahasan yang sedang hangat-hangatnya, terutama bagi umat Islam di
Indonesia. Adanya perbedaan pendapat dikalangan ulama' dalam memutuskan hukum
bercadar menjadi hal yang terus diperdebatkan. Sebenarnya, untuk permasalahan cadar,
para fuqoha' dari empat madzhab sepakat bahwa wajah bukanlah termasuk aurat bagi
wanita, itu artinya tidak ada keharusan untuk memakai cadar bagi wanita. Adapun adanya
seruan untuk bercadar, lantaran beberapa fuqoha' berpendapat itu untuk menghindari
adanya fitnah yang akan timbal bagi wanita yang masih muda, apabila banyak orang bisa
melihat kecantikan wajahnya. Walaupun menurut madzhab Imam Syafi'i terdapat beberapa
hukum bercadar diantaranya wajib, Sunnah dan juga khilaful awla (Lihat Al-Mawsu’atul
Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, juz, XLI,
halaman 134).

Akan tetapi, bukan itu yang penulis ingin bahas dalam tulisan kali ini. Karena jelas bukan
maqomnya penulis untuk ikut campur dalam hal tersebut apalagi ikut berdebat, (Ilmu
masih cetek euuyy). Hanya saja penulis ingin mencoba menerjemahkan, apa sebenarnya
esensi utama dari adanya seruan bercadar.

Seperti yang sudah penulis sampaikan pada artikel sebelumya tentang istimewanya
seorang wanita dalam Islam. Bahwa Islam begitu mengistimewakan posisi wanita sebagai
makhluk ciptaan Allah dengan segala bentuk keutamaan-keutamaan yang ia miliki.
Termasuk dalam urusan dhahiriyyah yakni hal-hal yang bisa dilihat secara visual oleh
orang lain dari wanita, atau juga biasa disebut sebagai aurat.

Aurat bagi wanita merupakan sebuah kehormatan yang memang sudah seharusnya dijaga
dan dihormati. Sebagai sebuah kehormatan, tentu aurat memiliki nilai yang sungguh
berharga bagi wanita. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa, bagaimana watak seorang
wanita, tergantung pada bagaimana ia menjaga auratnya. Kalau aurat yang menjadi
kehormatannya saja dijaga betul-betul apalagi hal-hal lainnya. Maka aurat dianggap sebagai
suatu hal yang tabu untuk dibuka apalagi di umbar di depan publik. Inilah kemudian yang
menjadi alasan mengapa dalam Islam, aurat bagi wanita maupun laki-laki harus ditutup
dan dijaga dengan baik-baik.

Tidak bisa dipungkiri, terutama bagi kaum laki-laki. Bahwa aurat wanita memiliki daya
tarik yang begitu luar biasa. Bahkan juga bisa dikatakan sebagai sumber munculnya
syahwat terbesar dalam diri laki-laki. Jangankan tubuhnya, wajahnya saja terkadang
menjadi sesuatu yang sulit diungkapkan terutama yang cantik-cantik. Nah, inilah yang
menurut penulis menjadi esensi utama mengapa cadar kemudian diserukan bagi wanita.
Semata-mata hanya karena ingin menjaga kehormatan dan keistimewaan wanita. Maka
ketika seorang wanita itu bercadar, pengaruhnya akan sedikit mengurangi akan adanya hal-
hal yang tidak diinginkan oleh wanita.

Akan tetapi sekarang muncul pertanyaan lagi. Iya oke, mungkin dengan bercadar wanita
bisa menjaga wajahnya agar tidak dipandang oleh laki-laki dan juga meminimalisir adanya
tindakan-tindakan yang tidak diinginkan. tetapi ini Indonesia bukan Arab. Kita tau
sendirilah adat budaya masyarakat Indonesia beserta kebiasaan-kebiasaan yang melekat
kuat pada kehidupan masyarakat bangsa ini. Saling menyapa, berbagi senyum, tepo sliro,
ramah dan lain sebagainya itu menjadi kekayaan tersendiri yang seharusnya dijaga. Belum
lagi berbicara tentang image yang sekarang berkembang luas, bahwa wanita yang bercadar
erat kaitannya dengan golongan-golongan radikal. Berarti ini tentu sangat bertentangan
dong! Lalu harus bagaimana?

Kalau kita sekali lagi mencermati nilai dari bercadar itu, sebenarnya simpel saja kok.
Seorang wanita yang bercadar tentu dalam dirinya terdapat niatan agar dia bisa menjaga
kehormatannya, akan tetapi apakah itu sudah cukup? Tentu tidak cukup. Dia juga harus tau,
bahwa tanggung jawab yang ia emban besar ketika ia memutuskan untuk bercadar. Apa itu?
Tentu dia juga harus menjaga pandangannya dari hal-hal yang dia sendiri jaga, jangan
sampai seorang wanita yang menjaga auratnya begitu luar biasa tetapi masih saja lirik sana
lirik sini (melihat hal-hal yang dilarang oleh Allah). Ini masih tanggung jawab dhahiriyyah,
belum lagi batiniyyahnya. Tanggung jawab terhadap hatinya. Tentu ia harus benar-benar
menjaga hatinya agar selalu tawadhu' kepada Allah pun dengan sesama manusia. Yang
bahaya apabila bercadar justru menjadikan seseorang merasa lebih baik dan suci dari yang
lainnya. Naudzubillah tsumma naudzubillah.

Maka menurut penulis, yang paling bijak adalah, apabila memang dengan bercadar secara
dhahiriyyah masih menimbulkan banyak pro dan kontra apalagi sampai menimbulkan
kemudharatan, alangkah lebih baik dan indahnya apabila kita bisa mengakulturasikan atau
mengkombinasikan antara adat budaya dan juga tata Krama bersosialisasi antar sesama
manusia dengan tetap menjaga kehormatan yang sudah diberikan oleh Allah subhanahu
wata'ala. Bagaimana caranya? Bercadarlah secara batiniyyah. Dengan penampilan yang
tidak berlebihan, tetap mengedepankan sopan santun dan yang paling penting akhlak
terhadap diri sendiri lebih-lebih terhadap orang lain harus menjadi tumpuan utama dalam
berinteraksi. Apabila akhlak sudah menjadi pijakan utama dalam menjalankan setiap
aktivitas yang kita lakukan. Maka tanpa bercadar secara dhahiriyyah pun, kehormatan kita
akan dijaga, bahkan tidak hanya oleh diri kita sendiri akan tetapi orang lain juga akan
menjaga kehormatan kita, mengapa? karena orang lain akan respect, akan hormat kepada
kita lantaran akhlak dan sopan santun kita.

Semoga kita selalu dalam lindungan Allah subhanahu wata'ala, amin.

Tedy Winarno (santri pesantren kampus Ainul Yaqin)

Malang, 11 Juli 201

Anda mungkin juga menyukai