Anda di halaman 1dari 4

Membincang Historiografi Kolonial

(Diktat III: Historiografi Kolonial)

Oleh: Prof. Dr. M. Dien Madjid dan Johan Wahyudhi M.Hum

Semakin disibak, kajian historiografi akan semakin menarik. Karya-karya sejarah sejak masa
yang lampau, ternyata memiliki cita tersendiri yang menjadi bahan perbincangan hangat,
sehangat minum teh di kala sore. Historiografi memanglah menjadi bahan telaah yang
menggugah bagi para penggiat sejarah. Dari pelbagai langgam penulisan sejarah, mengepul
banyak sekali pelajaran, semangat romantis, etik, populisme serta nuansa lain yang sifatnya
intim dan menyegarkan para pencari mata air peradaban.

Nuansa epik yang menyelimuti historiografi tradisional agaknya tidak akan kita temukan lagi
dalam bahasan kali ini. Hal ini mengingat sampainya kita pada fase penulisan sejarah dari sudut
pandang luar (from outside) bukan lagi dari dalam (from within). Kini kita membincangkan
bangsa asing yang merekam aktivitas penduduk Nusantara dalam suatu tulisan, berikut sejarah
lampau yang berhasil mereka kumpulkan. Umumya, historiografi bangsa asing yang akan kita
kaji adalah apa yang ditulis orang Eropa. Ini pula yang kemudian melatarbelakangi munculnya
istilah historiografi kolonial, yakni penulisan sejarah yang dilakukan oleh orang Eropa.

Sematan kolonial sendiri sebenarnya tercipta manakala mengetahui bahwa kehadiran bangsa
asing di Nusantara adalah bertujuan untuk tinggal dan memperbesar dominasinya di negeri-
negeri kepulauan ini. Memang, intensitas koloni bangsa Eropa di Nusantara, mengalami
perbedaan baik waktu maupun jumlah pemukimnya. Antara Portugis tahun 1560-an di Malaka
misalnya, tentu amat berbeda dengan ketika Belanda menguasai pelabuhan itu pada 1641.
Terjadi perpindahan arus manusia ke dalam dan keluar negeri.

Sebagaimana diketahui, kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara pada umumnya bertujuan


untuk mencari tempat-tempat tumbuhnya rempah-rempah, yang menjadi komoditas mahal di
pasar Eropa. Menginjak abad 15, para pelaut Eropa, khususnya Spanyol dan Portugis, saling
berlomba menjelajahi seluas mungkin belahan dunia di luar Eropa. Mereka menyebut dunia
timur sebagai nueva mundo (bahasa Spanyol) atau o novo mundo (bahasa Portugis), yang
berarti “dunia baru”. Mereka menganggap dunia yang mereka jumpai adalah dunia yang
sebelumnya tidak tercatat dalam peta, sehingga sebutan tersebut kemudian muncul. 1

1
Mengenai kedatangan bangsa Eropa, khususnya tentang Portugis dan Spanyol di Nusantara, baca M.
Dien Madjid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2013)

1
Tatkala mereka sampai di belahan tanah-tanah yang baru mereka pijak, mereka begitu
tercengang, karena melihat rupa manusia dan kebudayaannya yang sama sekali berbeda dengan
orang Eropa. Awalnya, mereka bermaksud untuk berniaga dengan para penduduk lokal, namun
seiring berjalannya waktu, orang Eropa merasa bahwa apa yang mereka saksikan adalah
sesuatu yang penting untuk ditulis. Penulisan akan sejarah daerah setempat menjadi objek yang
penting dan diharapkan mampu menjadi literature bagi para penerusnya kelak tatkala
mendatangi tanah-tanah di luar Eropa.

Dari sekelumit uraian aktivitas manusia di atas itulah, historiografi gaya kolonial awalnya
ditulis. Orang Eropa sangatlah terdorong untuk mengetahui bagaimana tradisi, mentalitas,
kebudayaan serta sejarah dari Dunia Timur, termasuk Nusantara. Belakangan pula bangsa lain,
seperti Belanda dan Inggris, juga masih memelihara kepentingan serupa, yakni untuk mengenal
daerah tempat mereka berkoloni dan mengembangkan dominasi kekuasaannya. Semakin
mereka memahami seluk beluk suatu daerah termasuk bahasanya, maka akan semakin
mudah mereka melapangkan pengaruhnya sehingga dapat menuai manfaat dari
kerjasama dengan penguasa lokal dan penduduk setempat, seperti di bidang ekonomi,
politik dan sosial.

Latar belakang guna menuai kepentingan di atas agaknya juga turut mewarnai cara pandang
mereka menulis catatan-catatan mengenai aktivitas orang Nusantara. Tidak jarang, mereka
tampil sebagai bangsa yang tercerahkan, sehingga kedatangan mereka ke tempat-tempat di luar
Eropa adalah untuk memberadabkan penduduk setempat. Oleh sebab itulah, dalam tulisannya,
mereka kerapkali mendudukkan bangsa pribumi sebagai “yang di bawah”, uncivilized (tidak
berperadaban), bahkan hingga sematan pembuat onar, pemberontak dan pengganggu
keamanan publik (rust en orde).

Secara garis besar maka terdapat tiga jenis historiografi tradisional, berdasar pada bangsa Eropa
yang pernah atau sempat mendirikan suatu pemerintahan cabang dari negeri atau kerajaan
pusatnya:

Portugal

Historiografi kolonial Inggris

Belanda

Portugal

Portugal menjadi salah satu bangsa Eropa masa awal yang datang dan berinteraksi dengan
penduduk Eropa. Perkembangan maritim yang sebelumnya diupayakan Pangeran Henry Sang
Navigator, seorang keluarga kerajaan Portugal, berbuah manis. Atas dukungannya itu, Portugis
pada abad 16 menjadi salah satu bangsa yang merajai wilayah perairan dunia, terutama wilayah
samudera Hindia dengan pelabuhan - pelabuhan sekitarnya. Mereka menyadari bahwa
penulisan atau catatan terhadap wilayah-wilayah yang mereka singgahi adalah penting.

2
Dalam khazanah historiografi Nusantara, Joao de Barros (sekitar 1496-1570) menjadi satu
nama yang layak diperhitungkan dalam jajaran penulis Portugis tentang sejarah Nusantara. Ia
merupakan orientalis perintis yang mendalami masalah-masalah pemerintahan. Kecuali
perjalanannya ke Guinea pada 1522, ia sama sekali tidak pernah meninggalkan Portugal,
namun mempunyai perhatian yang besar terhapa negara-negara dan bangsa-bangsa Asia.
Ketika ia ditunjuk menjadi factor (feitor), semacam wakil kerajaan di tanah jajahan Portugis,
ia menghabiskan waktu luangnya mmebaca surat-surat resmi dan tidak resmi dari kerajaan
Portugal kepada penguasa-penguasa lokal Dunia Timur. Ia juga menyempatkan diri bertemu
pegawai tinggi, pedagang, pelancong yang pernah menginjakkan kaki di berbagai wilayah di
Asia.

Kebiasaan di waktu senggangnya itu kemudian berlanjut pada penyusunan karya sejarah
monumental berjudul Perbuatan-Perbuatan yang dilakukan Bangsa Portugis Ketika
Menemukan dan Menaklukkan Lautan-Lautan dan Negara-Negara Timur, yang kemudian
diterbitkan sebagai edisi bundel berjudul Decadas de Asia. Jilid pertama buku ini diterbitkan
pertama kali pada 1552, jilid kedua dicetak setahun berikutnya, jilid ketiga pada 1563, dan jilid
ke 4 dan rancangan Barros yang belum dirampungkan terbit pada tahun 1615.2 Termasuk pula
dalam jajaran historiografi Portugis adalah catatan perjalanan Tome Pires 3 dan Marcopolo.4

Inggris

Meskipun Inggris menjadi bangsa Eropa yang paling sebentar menduduki Nusantara, kurang
lebih hanya sekitar kurang dari 20 tahun, sebelum menginjak tahun 1820, beberapa officer
mengabadikan namanya dalam penulisan sejarah Nusantara. Sekitar abad 17, para pelaut
Inggris seperti John Davis ,yang menjadi kru kapal Cornelis de Houtman, menuliskan
komentarnya terkait kedatangannya ke Aceh. Sir James Lancaster, orang Inggris lainnya,
menuliskan laporan keduanya tatkala mengunjungi Nusantara pada 1601-1603, terutama
mengenai keterkaitan Aceh dengan negeri Melayu tetangganya serta Portugis di Malaka. 5

Di samping itu, terdapat dua karya mantan pegawai Inggris yang lebih dikenal dibanding dua
di atas, yakni tulisan William Marsden (The History of Sumatra) dan Thomas S. Raffles (The
History of Java). Kedua karya tersebut kini bisa diakses versi terjemahan bahasa Indonesia.
Penjelasan yang dipaparkan Marsden mengenai hal ihwal alam dan kehidupan Sumatera bisa
dikatakan cukup memadai. Gaya penulisan berupa laporan, menjadi kekuatan tersendiri betapa
Marsden begitu jeli melihat bukan hanya tradisi dan sejarah melainkan juga suasana alamnya.
Raffles lebih kaya lagi. Selain mengulas sejarah Jawa sejak masa Hindu-Budha sampai masa

2
C. R. Boxer, “Beberapa Sumber Portugis untuk Historiografi Indonesia” dalam Soedjatmoko dkk,
ed, Historiografi Indonesia Sebuah Pengantar (Jakarta: Gramedia, 1995) hlm. 190.
3
Sudah terbit edisi bahasa Indonesia Tome Pires, Suma Oriental (Yogyakarta: Ombak, 2014).
4
Manuel Komroff, ed, The Travel of Marco Polo The Venetian (Ne York: W.W. Norton, 1930)
5
Lebih lanjut lihat A.H. Markham, ed, The Voyages and Works of John Davis The Navigator (London:
Hakluyt Society, 1880); C.R. Markham, ed, The Voyages of Sir James Lancaster, Kt, to The East Indies (London:
Hakluyt Society, 1877), seri pertama jilid LVI; W. Foster, ed, The Voyages of Sir James Lancaster to Brazil and
The East Indies, 1591-1603 (London: Hakluyt Society, 1940), seri kedua jilid LXXXV.

3
Islam, Rafles juga menyertakan keadaan geografis Jawa, karakteristik orang Jawa dan Sunda
sampai pada potensi ekonomi di Jawa di sektor pertanian, kerajinan tangan hingga perkapalan.

Belanda

Negeri Marco van Basten ini menjadi bangsa yang terlama beraktivitas di Nusantara. Belanda
dikenal karena strategi ekonomi dan politiknya yang licin, sehingga kerap berhasil
memperdaya bahkan mengadu domba raja – raja Nusantara. Keliahain ini berkenaan pula
dengan minat besar terhadap kajian Nusantara. Para cendikiawan Belanda dikenal karena
kepakarannya selain pula berkat keseriusan mereka dalam membina bidang pendidikan di
Indonesia. Warisan ini belakangan masih bisa dirasakan, betapa kajian hukum dan sejarah,
bangsa kita masih banyak yang menjadikan buku serta tulisan orang Belanda, seperti Snouck
Hurgronje, van Vollenhoven, Van den Berg serta yang lainnya, sebagai rujukan utamanya.

Beberapa karya orang Belanda yang bagus dalam uraian, kaya informasi dan sumber yang bisa
dipertanggungjawabkan di antaranya adalah karya besar J. Paulus, Encyclopaedie van
Nederlandsch-Indie. Di dalamnya menghimpun banyak entri tentang sejarah, budaya, tradisi,
geografi orang Nusantara terhintung sampai masa kolonial Belanda. Selain itu karya ilmuwan
Belanda lainnya adalah H.J. De Graaf mengenai Mataram (sekitar 6 jilid). Itu merupakan salah
satu rujukan utama tentang Mataram. Yang lain, misalnya adalah F. W. Stapel berjudul
Geschiedenis van Nederlandsch Indie.

Sebagian besar karya sejarah Belanda, sebelum 1957, masihlah diselimuti oleh cara pandang
subjektif tentang Nusantara. Terasa betul bahwa orang Belanda derajatnya berada di atas orang
Nusantara. Satu contoh sederhananya, jika orang kita menyebut orang yang menentang
Belanda sebagai pejuang, maka penulis atau sejarawan Belanda melabelinya dengan
pemberontak atau pembuat onar.

Anda mungkin juga menyukai