Makalah Hukum Acara Pidana
Makalah Hukum Acara Pidana
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Dalam makalah ini kami menjelaskan mengenai Tindak Pidana khusus atau Delik
khusus kejahatan norma kesusilaan dan norma kepatutan menurut KUHP. Makalah ini
kami buat dalam rangka memperdalam matakuliah Delik Delik Khusus. Kami
menyadari, dalam makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan. Hal ini
disebabkan terbatasnya kemampuan, pengetahuan dan pengalaman yang kami miliki.
Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran. Demi perbaikan dan
kesempurnaan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Dikaji dari perspektif teoritik dan praktik sistem peradilan pidana Indonesia, Hukum
Acara Pidana (Hukum Pidana Formal) yang lazim disebut dengan terminologi bahasa
Belanda “Formeel Strafrecht” atau “Strafprocesrecht” sangat penting. Eksistensinya guna
menjamin, menegakkan dan mempertahankan Hukum Pidana Materil. Pada hakikatnya,
secara teoritik dalam kepustakaan baik dalam ruang lingkup sistem Anglo-saxon maupun
Eropa Continental Terminologi Peradilan Pidana sebagai sebuah sistem relatif masih
diperdebatkan. Terlepas dari aspek tersebut diatas, pada asasnya sistem peradilan pidana di
Indonesia khususnya pada kepolisian, kejaksaan dan pengadilan negeri mengacu kepada kitab
undang-undang hukum acara pidana (KUHAP), yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 1981
(LNRI 1981-76 : TLNRI 3209) yang disahkan dan di undangkan pada tanggal 31 Desember
1981.
Ketentuan ini merupakan anasir umum yang telah dianut sejak lama dalam
pandangan para doktrina hukum dan hukum acara pidana. Kebenaran material ini
haruslah terdapat mulai dari tingkat penyidikan dan penyelidikan yang dilakukan
pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu
yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang (Bab IV bagian ke-1
Penyelidik dan Penyidik Pasal 4 s/d Pasal 12 jo Bab XIV bagian ke-1 Pasal 102
s/d Pasal 105 jo Bab XIV bagian ke-2 Pasal 106 s/d Pasal 136 KUHAP).
Terhadap hal ini, dapat dibedakan apabila putusan belum” inkracht van
gewijsde ; dapat dimungkinkan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya serta
jaksa/ penuntun umum melakukan banding, kemudian kasasi dan peninjauan
kembali mahkamah agung RI (bab XVIII pasal 233 sampai dengan pasal 269
KUHAP) serta apabila putusan telah” inkracht van gewijsde” dan terpidana
tidak melakukan upaya grasi kepada presiden selaku kepala negara, putusan
dapat dilaksanakan oleh jaksa dan lembaga pemasyarakatan dengan
pengawasan dan pengamatan oleh ketua pengadilan negeri (bab XIX pasal 270
sampai dengan pasal 283) sedangkan jika terpidana masih melakukan upaya
grasi, putusan tersebut ditunda terlebih dahulu pelaksanaannya menunggu
upaya grasi tersebut turun.
pada hakikatnya, tujuan dan fungsi hukum acara pidana erat korelasi antara 1
dengan yang lain. Aspek “tujuan “ mempunyai dimensi terhadap apa yang hendak
dituju sehingga merupakan titik akhir dari hukum acara pidana sedangkan aspek
“fungsi” tendens kepada tugas pokok yang diemban dari apa yang menjadi tujuan
dan fungsi hukum acara pidana. Tegasnya, antara tujuan dan fungsi hukum acara
pidana tidak dapat dipisahkan nuansanya antara satu dengan yang lainnya.
3. Pelaksanaan keputusan
pada dasarnya,asas ini terdapat dalam pasal 4 ayat 2 UU No 4 tahun 2004 dan
penjelasan umum angka 3 huruf E KUHAP. Terhadap penerapan asas ini dalam
praktik peradilan dapatlah diberikan nuansa bahwa peradilan cepat dan sederhana
tampak dengan adanya pembatasan waktu penanganan perkara baik perdata
maupun pidana pada tingkat yudex facti (pengadilan negeri dan pengadilan tinggi)
masing-masing selama 6 bulan dan bila dalam waktu 6 bulan belum selesai
diputus,ketua pengadilan negeri/ketua pengadilan tinggi harus melaporkan hal
tersebut beserta alasan-alasannya kepada ketua pengadilan tinggi atau ketua
Mahkamah Agung RI (surat edaran mahkamah agung RI No 6 Tahun 1992 tanggal
21 Oktober 1992). Sedangkan terhadap peradilan dengan biaya ringan,khususnya
dalam perkara pidana beroientasi kepada pembebanan biaya perkara bagi
terdakwa yang dijatuhkan pidana (Pasal 197 ayat 1 huruf I jo Pasal 222 ayat 1
KUHAP) yang berdasarkan surat ketua MA RI kepada ketua pengadilan tinggi
seluruh indonesia No.KMA/155/X/1981 tanggal 19 Oktober 1981 jo surat edaran
MA RI No.: SE-MA/17 Tahun 1983 8 Desember 1983 dan angka 27 lampiran
keputusan menteri kehakiman RI No: M.14-PW.07.03 tahun 1983 tanggal 10
Desember 1983 tentang tambahan pedoman pelaksanaan KUHAP ditentukan
pedoman biaya perkara minimal Rp.500,00 dan Maksimal Rp.10.000,00 dengan
penjelasan bahwa maksimal Rp.10.000,00 itu adalah 7.500,00 bagi pengadilan
tingkat pertama dan Rp 2.500,00 bagi pengadilan tingkat banding.
Pada dasarnya, keterbukaan dari suatu proses peradilan (openbaarheid van het
proces) diperlukan guna menjamin objektivitas pemeriksaan. Hal ini secara
eksplisit tercermin dari ketentuan pasal 19 ayat 1 UU no 4 tahun 2004,
penjelasan umum angka 3 huruf I dan di uraikan Pasal 153 ayat 3 KUHAP
yang menetukan bahwa :
Hal ini menyebabkan putusan batal demi hukum (Pasal 153 ayat 4
KUHAP,pasal 19 ayat 2 UU No.4/2004) karena terhadap semua perkara
pidana,putusan hanya sah dan hanya mempunyai kekuatan hukum apabila
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 20 UU No.4 Tahun 2004
Pasal 195 KUHAP)
Asas ini termasuk pada ketentuan pasal 154,176 ayat 2,Pasal 196 ayat 1
KUHAP,pasal 18 ayat 1 UU 4/2004 khususnya terhadap perkara-perkara yang
diajukan secara biasa,pemeriksaan keadilan secara in absentia sebagaimana
dikenal