Anda di halaman 1dari 14

PERTEMUAN 2

ASAS HUKUM ACARA PIDANA

A. TUJUAN BELAJAR

1.1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan berbagai asas-asas


umum Hukum Acara Pidana;

1.2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pengertian istilah


sistem peradilan pidana.

B. URAIAN MATERI

Tujuan Pembelajaran 1.1

Asas-asas Umum Hukum Acara Pidana

Asas-asas umum Hukum Acara Pidana secara global diatur dalam


Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 jis UU 35 No. 1999, UU 4/2004
(selanjutnya disingkat dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004) tentang
Kekuasaan Kehakiman. Selain itu juga diatur dalam Undang-Undang No. 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Bertolak
dari undangundang tersebut asas-asas umum Hukum Acara Pidana itu,
adalah:

a. Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of


Innocence)
Hakikat asas ini sifatnya cukup fundamental dalam Hukum Acara
Pidana. Ketentuan asas ‘praduga tidak bersalah’ ada pada Pasal 8
UndangUndang No. 4 Tahun 2004 dan penjelasan umum Angka 3 Huruf c
KUHAP yang menyatakan, “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan,
dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak
UNIVERSITAS PAMULANGProgram Studi S1 Hukum

bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya


dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Dalam praktek peradilan, manifestasi asas ini dapat diurai kan lebih
lanjut, selama proses peradilan masih berjalan Pengadilan Negeri, Pengadilan
Tinggi dan Mahkamah Agung RI) dan belum memperoleh kekuatan hukum
tetap (inkracht van gewijsde, terdakwa belum dapat dikategorisasikan
bersalah sebagai pelaku dari tindak pidana. Dengan demikian selama proses
peradilan pidana terdakwa tersebut haruslah mendapatkan haknya,
sebagaimana diatur undangundang. Hak-hak tersebut berupa hak untuk segera
mendapatkan pemeriksaan dalam tahap penyidikan, hak segera mendapatkan
pemeriksaan oleh pengadilan dan mendapatkan putusan seadil-adilnya, hak
mendapatkan juru bahasa, hak untuk memperoleh bantuan hukum dan lain
sebagainya.

b. Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan


Asas ini berdasarkan Pasal 4 Ayat 2 Undang-Undang No. 4 Tahun
2004 dan penjelasan umum Angka 3 Huruf e KUHAP. Secara konkret bila
dijabarkan, peradilan secara cepat, sederhana dan biaya ringan dimaksudkan
supaya terdakwa tidak diperlakukan dan diperiksa sampai berlarut-larut.
Dengan demikian terdakwa, memperoleh kepastian prosedural hukum, proses
administrasi dan biaya perkara yang ringan sehingga tidak terlalu
membebaninya. Dalam prakteknya, penerapan asas peradilan cepat dan
sederhana diwujudkan dengan adanya pembatasan waktu penanganan perkara
baik perdata maupun pidana, pada tingkat judex facti (Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tinggi) masing -masing selama 6 (enam) bulan. Bila dalam waktu
6 (enam) bulan belum selesai diputus, Ketua Pengadilan Negeri/Ketua
Pengadilan Tinggi harus melaporkan hal tersebut beserta alasan-alasannya
kepada Ketua Pengadilan Tinggi atau Ketua Mahkamah Agung RI. Hal itu
berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 6 Tahun 1992 tanggal 21
Oktober 1992.

16
HUKUM ACARA PIDANA
UNIVERSITAS PAMULANGProgram Studi S1 Hukum

Sedangkan terkait peradilan dengan biaya ringan, khususnya dalam


perkara pidana, berorientasi pada pembebanan biaya perkara bagi terdakwa
yang dijatuhkan pidana. Ketentuan itu sesuai Pasal 197 Ayat 1 Huruf i jo
Pasal 222 Ayat 1 KUHAP yang berdasarkan Surat Ketua Mahkamah Agung
RI kepada Ketua Pengadilan Tinggi seluruh Indonesia No. KMA/155/X/1981
tanggal 19 Oktober 1981 jo Surat Edaran Mahkamah Agung RI No:
SE-MA/17 Tahun 1983 tanggal 8 Desember 1983 dan Angka 27 Lampiran
Keputusan Menteri Kehakiman RI No: M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal
10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP.
Pedoman biaya perkara minimal Rp 500,00 dan maksimal Rp
10.000,00. Penjelasannya adalah, biaya maksimal Rp 10.000,00 tersebut
dibagi sebesar Rp 7.500,00 untuk Pengadilan Tingkat Pertama dan Rp
2.500,00 untuk Peng adilan Tingkat Banding.

c. Asas Hak Ingkar


Pada asasnya, ’hak ingkar’ diatur dalam Pasal 29 Undang Undang No.
4 Tahun 2004 dan Pasal 157 KUHAP. Berdasarkan ketentuan Pasal 29, UU
No. 4 Tahun 2004, ’hak ingkar’ adalah hak seorang yang diadili untuk
mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan kepada seorang hakim
yang mengadili perkaranya. Dari aspek teoretik dan praktek, secara lebih luas
’hak ingkar’ ini dapat dilihat dalam dua pandangan, yaitu:
Pertama, hak ingkar (dengan terminologi kewajiban mengundurkan
diri). Hakim harus mengundurkan diri bila terikat hubungan keluarga sedarah
atau semenda sampai derajat ketiga atau adanya hubungan suami atau istri
meskipun sudah bercerai dengan ketua, jaksa, advokat, atau panitera, serta
dengan terdakwa atau penasihat hukum (Pasal 29 Ayat 3 dan 4 UU 4/2004,
Pasal 157 Ayat 1 dan 2 KUHAP) atau ada kepen tingan baik langsung
maupun tidak langsung (Pasal 220 KUHAP).
Apabila hakim dan panitera tidak mengundurkan diri dari
persidangan, padahal mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung
dalam perkara yang sedang diperiksanya, baik atas kehendaknya sendiri

17
HUKUM ACARA PIDANA
UNIVERSITAS PAMULANGProgram Studi S1 Hukum

maupun atas permintaan pihak yang diadili atau advokat, akan


mengakibatkan putusan dinyatakan tidak sah. Terhadap hakim atau panitera
yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana berdasarkan
peraturan perundangundangan. Ketentuan tersebut berdasarkan Pasal 29 Ayat
6 UU 4/2004
Kedua, hak ingkar (dengan terminologi tid-ak dapat didengar
keterangannya dan dapat mengundurkan diri). Hal tersebut berlaku
sebagai saksi, karena adanya hubungan keluarga sedarah atau semenda dalam
garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa, saudara
terdakwa, saudara ibu/bapak dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat
ketiga dan suami istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama
-sama terdakwa (Pasal 168 KUHAP)
d. Asas Pemerikasaan Pengadilan Teru Umum buka untuk
Umum
Pada dasarnya, keterbukaan dari suatu proses peradilan (openbaarheid
van het proces) diperlukan guna menjamin objektivitas pemeriksaan. Hal ini
secara eksplisit tercermin dari ketentuan Pasal 19 Ayat 1 Undang-Undang No.
4 Tahun 2004, penjelasan umum Angka 3 Huruf i KUHAP dan diuraikan
pada Pasal 153 Ayat 3 KUHAP yang menentukan, ”Untuk keperluan
pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka
untuk umum kecuali dalam perkara kesusilaan atau terdakwanya anak- anak.”
Bagaimana jika sidang tidak dilakukan terbuka? Berdasarkan Pasal
153 Ayat 4 KUHAP, Pasal 19 Ayat 2 UU 4/2004 persidangan yang tidak
terbuka menyebabkan putusan batal demi hukum. Dalam semua perkara
pidana, putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 20 Undang-Undang No.
4 Tahun 2004, Pasal 195 KUHAP).

e. Pengadilan Memeriksa Perkara Pidana dengan Adanya


Kehadiran Terdakwa

18
HUKUM ACARA PIDANA
UNIVERSITAS PAMULANGProgram Studi S1 Hukum

Asas ini termaktub pada ketentuan Pasal154, Pasal 176 Ayat 2,


PASAL 196 Ayat 1 KUHAP, Pasal 18 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004
khususnya terhadap perkara-perkara yang diajukan secara Biasa (Pid.B) dan
Singkat (Pid.s).

Dengan asas kehadiran terdakwa ini, pemeriksaan pengadilan secara


in absentia sebagaimana dikenal dalam Tindak Pidana Khusus (Ius Singulare,
Ius Speciale atau Bijzonder Strafrecht), Tindak Pidana Korupsi (UU 20 No.
2001), Tindak Pidana Ekonomi (UU No. 7/drt/1955), Tindak Pidana
Terorisme (UU 15 Tahun 2003), Tindak Pidana Pencucian Uang (UU No. 15
Tahun 2002 Jo UU No. 25 Tahun 2003), dalam konteks ini tidak
diperkenankan. Pengecualian berlaku dalam acara cepat, khususnya acara
pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan (Bagian Keenam Paragraf 2
Pasal 214 KUHAP). Tetapi, asas ketidakhadiran terdakwa ini kenyataannya
“diperlemah” dalam UU 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menurut
Pasal 18 Ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 dinyatakan: “Dalam hal tidak
hadirnya terdakwa, sedangkan pemeriksaan dinyatakan telah selesai, putusan
dapat diucapkan tanpa dihadiri terdakwa”.
Pernyataan di atas bila dikaji dari perspektif praktek peradilan
menyatakan jika terdakwa pernah hadir di sidang pengadilan kemudian
berikutnya tidak pernah hadir lagi sampai penjatuhan putusan, putusan
terhadap terdakwa tetap dijatuhkan (bukan putusan in absentia). Menurut
Mahkamah Agung putusan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan
Pasal 196 Ayat 1 KUHAP, sesuai dengan Pasal 16 Undang-Undang No. 4
Tahun 2004 dan sesuai Putusan Mahkamah Agung RI No. 413 K/Kr/1980
tanggal 26 Agustus 1980 serta Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 1
Tahun 1981 tanggal 22 Januari 1981 No. MA/ Pem/006/81 yang menyatakan
“tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima.”

f. Asas “equal before the law”

19
HUKUM ACARA PIDANA
UNIVERSITAS PAMULANGProgram Studi S1 Hukum

Asas ini merupakan salah satu manifestasi dari Negara Hukum


(Rechtstaat) sehingga harus ada perlakuan yang sama bagi setiap orang di
depan hukum (gelijkheid van ieder voor de wet). Dengan demikian, dalam
asas ini elemen yang melekat adalah mengandung makna perlindungan yang
sama di depan hukum (equal potection on the law) dan mendapatkan keadilan
yang sama di depan hukum (equal justice under the law). Tegasnya, Hukum
Acara Pidana tidak mengenal adanya peraturan yang memberi perlakuan
khusus kepada terdakwa (forum prevelegiatum) sehingga ‘Pengadilan
mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Ketentuan
itu berdasarkan Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 dan
penjelasan umum angka 3 huruf a KUHAP. Oleh karena itu, untuk menjamin
eksistensi peradilan mengadili dengan tidak membeda-bedakan orang,
undangundang harus menjamin larangan campur tangan pihak lain di luar
kekuasaan kehakiman terhadap badan peradilan, kecuali dalam hal
sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 beserta perubahannya. Apabila setiap orang dengan
sengaja melanggarnya akan dipidana (Pasal 4 Ayat 3 dan 4 Undang-Undang
No. 4 Tahun 2004).

g. Asas Bantuan Hukum


Asas bantuan hukum ditegaskan pada penjelasan umum Angka 3
Huruf f KUHAP. Di dalamnya menyatakan, “Setiap orang yang tersangkut
perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang
semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas
dirinya.” Sedangkan asas bantuan hukum dalam Bab VII Pasal 37 UU 4/2004
menyebut, “Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh
bantuan hukum.”
Kemudian, lebih lanjut lagi asas bantuan hukum ini dapat dilihat pada
KUHAP khususnya Pasal 56, Pasal 69 - 74 KUHAP. Selain itu juga ada pada
Pasal 37 - 40 UU No. 4 Tahun 2004 dan imperatif sifatnya, sebagaimana

20
HUKUM ACARA PIDANA
UNIVERSITAS PAMULANGProgram Studi S1 Hukum

digariskan oleh Mahkamah Agung RI1 serta beberapa Yurisprudensi


Mahkamah Agung RI. Yurisprudensi itu misalnya, Putusan Mahkamah
Agung RI No. 510 K/Pid/1988 tanggal 28 April 19882 dan Putusan
Mahkamah Agung RI No. 1565 K/Pid/1991 tanggal 16 September 1993. 3

h. Asas Pemeriksaan Hakin yang Langsung dan Lisan


Pemeriksaan perkara pidana di depan persidangan dilakukan hakim
secara langsung kepada terdakwa dan saksi-saksi, serta dilaksanakan dengan
cara lisan dalam bahasa Indonesia. Tegasnya, Hukum Acara Pidana Indonesia
tidak mengenal pemeriksaan perkara pidana dengan cara mewakilkan dan
pemeriksaan secara tertulis, sebagaimana halnya dalam hukum perdata.
Implementasi asas ini lebih luas dapat dilihat dari penjelasan umum Angka 3
Huruf h KUHAP, Pasal 153, 154, 155 KUHAP dan seterusnya.

i. Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi


Asas ini diatur dalam Pasal 9 Undang- Undang No.4 Tahun 2004,
Pasal 95, 96 dan 97 KUHAP. Pasal-pasal itu bila dijabarkan menyatakan jika
seseorang ditangkap, ditahan dan dituntut atau diadili tanpa alasan
berdasarkan undangundang atau karena kekeliruan baik mengenai orangnya
atau penerapan hukum, wajib memperoleh rehabilitasi apabila pengadilan
memutus bebas (vrijspraak) atau lepas dari segala tuntutan hukum (onslag
van alle rechtsvervolging).
Ketentuan ini sebagaimana dimaksud Pasal 97 Ayat 1 KUHAP yang
berbunyi, “Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedu dukan dan
harkat serta martabatnya.” (Pasal 97 Ayat 1 KUHAP, Pasal 14 Ayat 1
Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983, pendapat doktrina dan
1
Mahkamah Agung RI, 2003, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Pengadilan Buku II, Mahkamah Agung RI, Jakarta, hlm. 190
2
_____Majalah Varia Peradilan No. 36, September 1988, Ikatan Hakim
Indonesia, Jakarta, hlm. 43
3
_____Majalah Varia Peradilan No. 103, April 1994, Ikatan Hakim Indonesia,
Jakarta, hlm. 5

21
HUKUM ACARA PIDANA
UNIVERSITAS PAMULANGProgram Studi S1 Hukum

yurisprudensi Mahkamah Agung RI) dan dicantumkan sekaligus dalam amar


putusan pengadilan (Pasal 97 Ayat (2) KUHAP).

j. Asas Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan


Pengadilan
Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap (inkracht van gewijsde) dilakukan oleh jaksa. Pelaksanaan
pengawasan dan pengamatan dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang
didelegasikan kepada hakim yang diberi tugas khusus, untuk membantu
Ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan. Aturanya ada pada
Bab XIX, Pasal 270 KUHAP, Pasal 36 Ayat 1 Undang-Undang No. 4 Tahun
2004.
Dalam prakteknya, hakim tersebut lazim disebut sebagai “Hakim
Wasmat” atau “Kimwasmat.” Soal ini diatur dalam Bab XX Pasal 277 Ayat 1
KUHAP, Bab VI Pasal 36 Ayat 2 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 dan
Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 7 Tahun 1985 tanggal 11 Februari
1985.

k. Asas Kepastian Jangka Waktu Penahanan


Pada KUHAP disebutkan penahanan dalam setiap tingkat
pemeriksaan telah dibatasi jangka waktunya. Sebagai contoh penyidik secara
kumulasi dapat melakukan penahanan sampai 60 hari. Rinciannya, wewenang
menahan atas perintahnya sendiri selama 20 hari dan permintaan
perpanjangan oleh Penuntut Umum selama 40. Kententuan ini termuat pada
Pasal 24 Ayat 1 dan 2 KUHAP.
Kemudian Penuntut Umum dapat menahan selama 20 hari dan
perpanjangan dari Ketua Pengadilan Negeri selama 30 hari, sesuai Pasal 25
Ayat 1 dan2 KUHAP. Sedangkan Hakim Pengadilan Negeri dapat menahan
selama 30 hari dan dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri selama
60 hari sebagaimana tercantum pada Pasal 26 Ayat 1 dan 2 KUHAP.

22
HUKUM ACARA PIDANA
UNIVERSITAS PAMULANGProgram Studi S1 Hukum

Dengan demikian, berdasarkan asas kepastian jangka waktu


penahanan ini seorang terdakwa selama proses persidangan dari tingkat
penyidik sampai Mahkamah Agung RI hanya dapat ditahan paling lama 400
hari dengan perincian 200 hari dari tingkat penyidik sampai Pengadilan
Negeri dan 200 hari lainnya untuk tingkat banding dan kasasi. Apabila asas
ini dilanggar, akan berakibat terdakwa harus “dilepaskan demi hukum.”

Tujuan Pembelajaran 1.2

Pengertian Istilah Sistem Peradilan Pidana

Istilah “criminal justice system” atau Sistem Peradilan Pidana (SPP)


kini telah menjadi suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam
penanggulangan kejahatan dengan menggunakan dasar pendekatan sistem.
Remington dan Ohin dalam Romli Atmasasmita mengemukakan,
criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem
terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana. Selain itu peradilan
pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan
perundangundangan, praktek administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial.4
Pengertian sistem itu mengandung implikasi suatu proses interaksi yang
dipersiapkan secara rasional dan efisien untuk memberikan hasil tertentu
dengan segala keterbatasannya.
Frank E. Hagan membedakan pengertian antara istilah“criminal
justice process” dan “criminal justice system.” Istilah “criminal justice
process” adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang
tersangka ke dalam proses yang membawanya pada penentuan pidana

4
Romli Atmasasimita, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 2.

23
HUKUM ACARA PIDANA
UNIVERSITAS PAMULANGProgram Studi S1 Hukum

baginya. Sedangkan“criminal justice system” adalah interkoneksi antara


keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.5
Mardjono memberi batasan yang dimaksud dengan sistem peradilan
pidana adalah, sistem pengendalian kejahatan yang terdiri atas
lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan
terpidana.6 Dalam kesempatan lain, Mardjono juga mengemukakan sistem
peradilan pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu
masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi
diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas
toleransi masyarakat. Selanjutnya dikemukakan tujuan sistem peradilan
pidana yang dapat dirumuskan sebagai:7
(a) mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;
(b) menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan
(c) mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya.
Bertitik tolak dari tujuan tersebut, Mardjono menyatakan empat
komponen dalam sistem peradilan pidana yaitu kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan diharapkan dapat bekerja sama dan
dapat membentuk suatu “integrated criminal justice system.” Apabila
keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan, diperkirakan akan
menimbulkan tiga kerugian:
1) Kesulitan dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan
masingmasing instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama.

5
Frank E. Hagan, 1987, Criminal Justice Policy Review, University of
Pennsylvania, Department of Criminology, Indiana, hlm. 8.
6
Mardjono Reksodipoetro, 1993, Sistem Peradilan Pidana Indonesia: Melihat
kepada Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-batas Toleransi,
Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta, hlm. 1.
7
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana:
Kumpulan Karangan, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 84-85

24
HUKUM ACARA PIDANA
UNIVERSITAS PAMULANGProgram Studi S1 Hukum

2) Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok


masing-masing instansi (sebagai subsistem dari sistem peradilan
pidana).
3) Karena pembagian tanggung jawab masing-masing instansi sering
kurang jelas, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan
efektivitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana.8
Berdasarkan batasan tentang sistem peradilan pidana, tampak
Mardjono tidak membedakan istilah ‘pengendalian’ dan ‘penegakan hukum.’
Sedangkan menurut pendapat penulis, kedua istilah tersebut memiliki makna
yang jauh berbeda.
Penulis berpendapat pengertian sistem pengendalian dalam batasan
tersebut di atas merupakan bahasa manajemen yang berarti mengendalikan
atau menguasai atau melakukan pengekangan (mengekang). Dalam istilah
tersebut terkandung aspek manajemen dalam upaya penanggulangan
kejahatan. Sedangkan apabila sistem peradilan pidana diartikan sebagai suatu
penegakan hukum atau law enforcement, maka di dalamnya terkandung aspek
hukum yang menitikberatkan kepada operasional peraturan
perundang-undangan dalam upaya menanggulangi kejahatan dan bertujuan
mencapai kepastian hukum (certainly). Di lain pihak, bila pengertian sistem
peradilan dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan social defense yang
terkait dengan tujuan mewujudkan kesejahteraan masyarakat, maka dalam
sistem peradilan pidana terkandung aspek sosial yang menitikberatkan
kegunaan (expediency).
Samuel Walker menegaskan paradigma yang dominan dalam sistem
peradilan pidana di Amerika Serikat adalah perspektif sistem. Dalam
perspektif ini, administrasi peradilan terdiri atas serangkaian keputusan
mengenai suatu kasus kriminal dari petugas yang berwenang, dalam suatu
kerangka interrelasi antaraparatur penegak hukum. Lebih jauh Samuel
mengemukakan pendekatan sistem ini telah menguasai pengajaran dan riset

8
Ibid., hlm. 5

25
HUKUM ACARA PIDANA
UNIVERSITAS PAMULANGProgram Studi S1 Hukum

serta telah membentuk upaya pembaruan hukum pidana selama lebih dari 25
tahun di Amerika Serikat. Upaya ini antara lain: 9
a) Meningkatkan efektivitas sistem penanggulangan kejahatan;
b) Mengembangkan koordinasi di antara berbagai komponen peradilan
pidana;
c) Mengawasi atau mengendalikan penggunaan kekuasaan oleh aparatur
penegak hukum.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis sependapat dengan Kadish
yang menyebut pengertian sistem peradilan pidana dapat dilihat dari sudut
pendekatan normatif, manajemen dan sosial.10
Ketiga bentuk pendekatan tersebut, sekalipun berbeda tetapi tidak
dapat dipisahkan satu sama lain. Bahkan ketiga bentuk pendekatan tersebut
saling mempengaruhi dalam menentukan tolok ukur keberhasilan dalam
menanggulangi kejahatan Muladi mengemukakan, sistem peradilan pidana
merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum
pidana materiil, hukum pidana formal maupun hukum pelaksanaan pidana.11
Namun kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks sosial. Sifat yang terlalu
formal jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan
membawa bencana berupa ketidakadilan.
Muladi menegaskan makna integrated criminal justice system adalah
sinkronisasi atau keserempakan dan keselarasan, yang dapat dibedakan
dalam:12
1. Sinkronisasi struktural (structural syncronization), yaitu keserampa kan
dan keselarasan dalam rangka hubungan antarlembaga penegak hukum;

9
Samuel Walker, 1997, Popular Justice, A History of Amerikan Criminal
Justice, Oxford University Press, hlm. 15.
10
Sanford Kadish, 1983, Encyclopedia of Crime and Justice Vol. 2, The Free
Press, Stamford , hlm. 450.
11
Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana,Badan Penerbit
UNDIP, Semarang hlm. 1-2
12
Ibid, hal. 2-3

26
HUKUM ACARA PIDANA
UNIVERSITAS PAMULANGProgram Studi S1 Hukum

2. Sinkronisasi substansi (substantial syncronization), yaitu keserampa kan


dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horizontal dalam kaitannya
dengan hukum positif;
3. Sinkronisasi kultural (cultural syncronization), ialah keserampakan dan
keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikapsikap dan
falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan
pidana.

C. SOAL

1. Sebut dan jelaskan berbagai asas-asas umum Hukum Acara Pidana!


2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan sistem peradilan pidana!

E. DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Atmasasimita, Romli. 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta.
Hagan, Frank E. 1987, Criminal Justice Policy Review, University of
Pennsylvania, Department of Criminology, Indiana.
Kadish, Sanford. 1983, Encyclopedia of Crime and Justice Vol. 2, The Free Press,
Stamford.
Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana,Badan Penerbit UNDIP,
Semarang.
Reksodipoetro, Mardjono. 1993, Sistem Peradilan Pidana Indonesia: Melihat
kepada Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-batas
Toleransi, Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta.

27
HUKUM ACARA PIDANA
UNIVERSITAS PAMULANGProgram Studi S1 Hukum

_____________________. Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana:


Kumpulan Karangan, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian
Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
Walker, Samuel. 1997, Popular Justice, A History of Amerikan Criminal Justice,
Oxford University Press.

MAJALAH, JURNAL, PROSIDING


Mahkamah Agung RI, 2003, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Pengadilan Buku II, Mahkamah Agung RI, Jakarta.
_____Majalah Varia Peradilan No. 36, September 1988, Ikatan Hakim Indonesia,
Jakarta.
_____Majalah Varia Peradilan No. 103, April 1994, Ikatan Hakim Indonesia,
Jakarta.

28
HUKUM ACARA PIDANA

Anda mungkin juga menyukai