Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kata diabetes berasal dari bahasa Yunani yang artinya “siphon (tube)” atau
mengalir melalui”. Ada dua jenis diabetes : diabetes insipidus dan diabetes melitus.
Kata insipidus berasal dari bahasa Latin yang artinya “tidak memiliki rasa” sementara
kata melitus berarti “manis atau menyerupai madu” untuk menunjukkan urine yang
terasa manis. Meskipun kedua jenis diabetes ini jelas berbeda , mereka memiliki
sejumlah kesamaan.

Diabetes melitus (DM) secara luas diartikan sebagai gangguan metabolisme


kronis yang ditandai dengan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak yang Commented [vp1]: Peran perawat dalam penanganan
diabetes melitus
abnormal akibat kegagalan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Ketiga
bentuk DM yang paling sering ditemukan adalah diabetes tipe 1, diabetes tipe 2, dan
diabetes gestasional. Klasifikasi diabetes melitus tipe 1 sebagai diabetes awitan
Juventus dan diabetes tipe 2 sebagai diabetes awitan dewasa tidak menjadi cerminan
epidemiologi yang akurat dalam kelompok gangguan ini. Oleh karena itu, penggunaan
istilah tersebut atau istilah ”diabetes melitus tergantung insulin” (insulin dependent
diabetes melitus) dan “diabetes melitus tidak tergantung insulin” (non insulin
dependent diabetes melitus), serta akronimnya “IDDM” dan “NIDDM” sudah tidak
dianjurkan karena dapat diartikan secara tidak akurat dan menyesatkan.
Semua jenis diabetes melitus memiliki gejala yang mirip dan Komplikasi pada
tingkat lanjut. Hiperglikemia sendiri dapat menyebabkan dehidrasi dan ketoasidosis.
Komplikasi jangka panjang termasuk penyakit kardiovaskular, kegagalan kronis
ginjal (penyebab utama diabetes), kerusakan retina yang dapat menyebabkan
kebutaan, serta kerusakan saraf yang dapat menyebabkan impotensi dan gangguan
dengan risiko amputasi. Penderita diabetes memiliki kadar glukosa darah yang tinggi,
ini disebabkan karena pankreas tidak dapat memproduksi insulin atau otot , lemak dan
sel-sel hati tidak merespon normal. Commented [vp2]: Setelah melihat tingginya angka
kejadian diabetes melitus dan peran serta perawat maka
saya tertarik untuk membahas dan mempelajari lebih dalam
definisi, etiologi dari DM dalam makalah ini. Semoga
makalah ini……………………………………………………………

1
1.2 Tujuan
a. Tujuan umum
 Sebagai mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan konsep terkait
diabetes melitus
b. Tujuan khusus
1. Memahami pengertian dari DM
2.
1.3 Manfaat
1. Manfaat bagi institusi ; menambah referensi terkait konsep asuhan
keperawatan pada pasien DM
2. Manfaat bagi mahasiswa: …
3. Memahami konsep penyakit DM dalam hubungannya mata kuliah
patofisiologi dalam keperawatan

BAB II
LANDASAN TEORI

2
2.1 Definisi
Tanda diabetes yang paling nyata adalah sering berkemih atau poliuria. Kata
diabetes berasal dari bahasa Yunani yang artinya “siphon (tube)” atau mengalir Commented [vp3]: Cantumkan sumber referensi anda.

melalui”. Ada dua jenis diabetes : diabetes insipidus dan diabetes melitus. Kata
insipidus berasal dari bahasa Latin yang artinya “tidak memiliki rasa” sementara kata
melitus berarti “manis atau menyerupai madu” untuk menunjukkan urine yang terasa
manis ()
Diabetes Melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis
termasuk heterogen dengan menifentasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Commented [vp4]: Buatlah 3 definisi dari sumber yang
berbeda
Menifentasi klinis hiperglikemia biasanya sudah betahun-tahun mendahului
timbulnya kelainan klinis darri penyakit vaskularnya. Pasien dengan kelainan
toleransi glukosa ringan (puasa dan gangguan toleransi glukosa) dapat tetap berisiko
mengalami komlikasi metabolik diabetes. (Price, Sylvia Anderson 2015 :1260)
Buatlah kesimpulan dari pengertia DM
2.2 Etiologi
1. Diabetes tipe 1

Diabetes melitus tipe 1 adalah penyakit autoimun yang ditentukan secara genetik
dengan gejala-gejala yang pada akhirnyaa menuju proses bertahap perusakan
imunologik sel-sel yang memproduksi insulin.

Diabetis melitus tipe 1 adalah adanya kaitan dengan tipe-tipe histokompatibilitas


(human leukocyte antigen [HLA]) spesifik. Tipe dari gen histokompatibilitas yang
berkaitan dengan diabetes tipe 1 (DW3 dan DW4) adalah yang memberi kode kepada
protein-protein yang berperan penting dalam interaksi monosit-monosit. Protein-
protein ini mengatur respon sel T yang merupakan bagian normal dari respon imun.
Jika terjadi kelainan, fungsi limfosit T yang terganggu akan berperan peting dalam
patogenesis perusak sel-sel pulau Langerhans yang ditunjukan terhadap komponen
algenetik tertentu dari sel beta.

Diabetes tipe 1 antibodi sel-sel pulau Langerhans memiliki presentasi yang tinggi
pada pasien dengan diabetes tipe 1 awitan baru dan memberikan bukti yang kuat
adanya mekanisme autoimun pada pathogenesis penyakit. Penapisan imunologik dan
pemeriksaan sekresi insulin pada orang-orang dengan risiko tinggi terhadap diabetes

3
tipe 1 akan memberi jalan untuk pengobatan imunosupresif dini yang dapat menunda
awitan manifestasi klinis defisiensi insulin.

2. Diabetes Tipe 2

Diabetes tipe 2, penyakitnya mempunyai pola familial yang kuat. Indeks untuk
diabetes tipe 2 pada kembar monozigot hampir 100%. Risiko berkembangnya
diabetes tipe 2 pada saudara kandung mendekati 40% dan 33% untuk anak cucunya.
Transmisi genetic adalah paling kuat dan contoh terbaik terdapat dalam diabetes
awitan dewasa muda (MODY), yaitu subtipe penyakit diabetes yang diturunkan
dengan pola autosomal dominan. Jika orang tua menderita diabetes tipe 2, resio
diabetes dan nondiabetes pada anak adalah 1:1, dan sekitar 90% pasti membawa
(carier) diabetes tipe 2. Tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin, serta kerja
insulin.

3. DM gestasional

.
2.3 Anatomi Fisiologi
a. Anatomi Pankreas

Jelaskan panreas itu apa, organnya terdiri dari apa saja


Gambar ……..
b. Fisiologi
a. Fisiologi pankreas
b. Fungsi sel-sel pada pankreas
c. Mekanisme dari pankreas untuk menghasilkan insulin, glukagon itu
bagaimana

4
Insulin disekresikan oleh sel-sel beta yang merupakan salah satu dari empat
tipe sel dalam pulau-pulau Langerhens pankreas. Insulin merupakan hormon anabolik
atau hormon untuk menyimpan kalori (storage hormone). Apabila seseorang makan
makana, sekresi insulin akan meningkatkan dan menggerakkan glukosa ke dalam sel-
sel otot, hati serta lemak, dalam sel-sel tersebut, menimbulkan efek berikut ini :
1. Menstimulasi penyimpanan glukosa dalam hati dan otot (dalam bentuk glikogen).
2. Meningkatkan menyimpan lemak dari makanan dalam jaringan adiposa.
3. Mempercepat pengangkutan asam-asam amino (yang berasal dari protein
makanan) ke dalam sel.

Insulin juga menghambat pemecahan glukosa, protein dan lemak yang


disimpan. Selama masa “puasa” (antara jam-jam makan dan pada saat tidur malam),
pankreas akan melepaskan secara terus menerus sejumlah kecil insulin bersama
dengan hormon pankreas lain yang disebut glukagon (hormon ini disekresikan oleh
sel-sel Alfa pulau Langerhans). Insulin dan glukagon secara bersama-sama
mempertahankan kadar glukosa yang konstan dalam darah dengan menstimulasi
pelepasan glukosa dari hati.

Hati menghasilkan glukosa melalui pemecahan glikogen (glikogenolisis).


Setelah 8 hingga 12 jam tanpa makanan, hari membentuk glukosa dari pemecahan
zat-zat selain Karbohidrat yang mencakup asam-asam amino (glukoneogenesis).

2.4 Manifestasi Klinis


a. Manifestasi klinis dari DM tipe I

b. Manifestasi klinis dari DM tipe II


Manifestasi klinis diabetes melitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik
defisiensi insulin. Pasien-pasien dengan defesiensi insulin tidak dapat
mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa
setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal
untuk zat ini, maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan pengeluaran
urine (polidipsia) dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama
urine, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan

5
berkurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagin) mungkin akan timbul sebagai
akibat kehilangan kalori. Pasien mengeluh mengantuk.
Pasien dengan penyakit diabetes tipe 1 sering memperlihatkan awitan gejala
yang eksplosif dengan polidipsia, poliuria, turunnya berat badan, polifagia, lemah,
somnolen yang terjadi selama beberapa hari atau beberapa minggu. Sebaliknya,
pasien dengan penyakit diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak memperlihatkan
gejala apapun, dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di
laboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih
berat, pasien tersebut mungkin menderita polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen.
Biasanya mereka tidak mengalami kotoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi
insulin secara absolut namun hanya relatif. Kalau hiperglikemia berat dan pasien tidak
berespons terhadap terapi diet, atau terhadap obat-obat hiperglikemik oral, mungkin
diperlukan terapi insulin untuk menormalkan kadar glukosa nya. Pasien ini biasanya
memperlihatkan kehilangan sensitivitas perifer terhadap insulin.
2.5 Patofisiologi
a) Diabetes tipe 1. Pada diabetes tipe 1 terdapat ketidakmampuan untuk Commented [vp5]: Jelaskan patofiologi per tipe dari DM

menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh


proses autoimun. Hiperglikemia puasa terjadi akibat produksi glukosa yang
tidak terukur oleh hati. Glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat
disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan
hiperglikemia posprandial (sesudah makan). Jika konsentrasi glukosa dalam
darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang
tersaring keluar. Akhirnya glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosaria).
Ketika glukosa yang berlebihan diekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini akan
disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan. Sebagai akibat dari
kehilangan cairan yang berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam
berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia). Defesiensi insulin juga
mengganggu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan penurunan
berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera makan (polifagia)
akibat menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan
kelemahan.
Diabetes tipe 2. Pada diabetes tipe 2 terdapat dua masalah utama yang
berhubungan dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin.
Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai

6
akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi
dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe 2
disertai dengan penurunan reaksi intrasel. Untuk mengatasi resistensi insulin dan
mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah
insulin yang disekresikan. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu
mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan
meningkatkan dan terjadi diabetes tipe 2. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin
yang merupakan ciri khas diabetes tipe 2, namun masih terdapat insulin dengan
jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton
yang menyertainya.
Diabetes tipe 2 paling sering terjadi pada penderita diabetes yang berusia lebih
dari 30 tahun dan obesitas. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat
(selama bertahun-tahun) dan progresif, maka awitan diabetes tipe 2 dapat berjalan
tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan
dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang
lama sembuh-sembuh, infeksi vagina atau pandangan yang kabur (jika kadar
glukosanya sangat tinggi). Untuk sebagian besar pasien (kurang lebih 75%), penyakit
diabetes tipe 2 yang dideritanya ditemukan secara tidak sengaja (misalnya, pada saat
pasien menjalani pemeriksaan laboratorium yang rutin). Salah satu konsekuensi tidak
terdeteksinya penyakit diabetes selama bertahun-tahun adalah bahwa komplikasi
diabetes jangka panjang (misalnya, kelainan mata, neuropati perifer, kelainan vaskuler
perifer) mungkin sudah terjadi sebelum diagnosis ditegakkan.

Penanganan primer diabetes tipe 2 adalah dengan menurunkan berat badan,


karena resistensi insulin berkaitan dengan obesitas. Obat hipoglikemia oral dapat
ditambahkan jika diet dan latihan tidak berhasil mengendalikan kadar glukosa darah.
Jika penggunaan obat oral dengan dosis maksimal tidak berhasil menurunkan kadar
glukosa hingga tingkat yang memuaskan, maka insulin dapat digunakan. Sebagian
pasien memerlukan insulin untuk sementara waktu selama periode stres fisiologik
yang akut, seperti selama sakit atau pembedahan.
Diabetes dan kehamilan. Diabetes yang terjadi selama kehamilan perlu
mendapat perhatian khusus. Wanita yang sudah diketahui menderita diabetes sebelum
terjadinya pembuahan harus mendapat penyuluhan atau konseling tentang
penatalaksanaan diabetes selama kehamilan. Karena alasan inilah, wanita yang

7
menderita diabetes harus mengendalikan penyakitnya dengan baik sebelum konsepsi
terjadi dan terjadi sepanjang kehamilan. Di anjurkan agar wanita yang menderita
diabetes sudah memulai program terapi yang intensif (pemeriksaan kadar glukosa
darah empat kali per hari) dengan maksud untuk mencapai kadar hemoglobin yang
normal tiga bulan sebelum pembuahan.
Diabetes yang tidak terkontrol pada saat melahirkan akan disertai dengan
peningkatan insidens makrosomia janin (bayi yang sangat besar), persalinan dan
kelahiran yang sulit, bedah sesar serta kelahiran mati (stillbrith). Bayi yang dilahirkan
oleh ibu yang menderita hiperglikemia dapat mengalami hipoglikemia pada saat lahir.
Keadaan ini dapat terjadi karena pankreas bayi yang normal telah mensekresikan
insulin untuk mengimbangi keadaan hiperglikemia ibu. Jika terjadi hipoglikemia,
pemberian air gula harus segera dilakukan.
Diabetes Gestasional terjadi pada wanita yang tidak menderita diabetes
sebelum kehamilannya. Hiperglikemia terjadi selama kehamilan akibat sekresi
hormon-hormon plasenta. Semua wanita hamil harus menjalani skrining pada usia
kehamilan 24 hingga 27 minggu untuk mendeteksi kemungkinan diabetes. Sesudah
melahirkan bayi, kadar glukosa darah pada wanita yang menderita diabetes
gestasional akan kembali normal. Banyak wanita yang mengalami diabetes
gestasional ternyata di kemudian hari menderita diabetes tipe 2. Oleh karena itu,
semua wanita yang menderita diabetes gestasional harus mendapatkan konseling guna
mempertahankan berat badan idealnya dan melakukan latihan secara teratur sebagai
upaya untuk menghindari awitan diabetes tipe 2.

2.6 Tanda dan Gejala


Gejala dan tanda-tanda penyakit diabetes melitus dapat digolongkan menjadi gejala
akut dan kronik. Commented [vp6]: Buatlah tanda dan gejala berdasarkan
klasifikasi dari DM

1. DM tipe I
a. Tanda dan gejala akut
b. Tanda dan gejala kronis
2. Gejala Akut
Gejala akut adalah gejala yang umum timbul dengan tidak mengurangi
kemungkinan adanya variasi gejala lain, bahkan ada penderita diabetes yang tidak
menunjukkan gejala apapun sampai pada saat tertentu.

8
a. Pada permulaan gejala ditunjukkan meliputi 3P yaitu :
 Banyak makan (polifagia).
 Banyak minum (polidipsia).
 Banyak berkemih (poliuria).

Dalam fase ini biasanya penderita menunjukkan berat badan yang terus
naik.

b. Bila keadaan tersebut tidak cepat diobati, lama kelamaan mulai timbul gejala
yang disebabkan oleh kurangnya insulin yaitu polidipsia, poliuria dan
beberapa keluhan lain seperti nadsu makan mulai berkurang, bahkan kadang-
kadang timbul rasa mual jika kadar glukosa darah melebihi 500 mg/dL,
disertai
 Banyak minum.
 Banyak berkemih.
 Berat badan turun dapat cepat (bisa 5-10 kg dalam waktu 2-4 Minggu).
 Mudah lelah.
 Bila tidak lekas diobati akan timbul rasa mual, bahkan penderita akan
jatuh koma (tidak sadarkan diri dan disebut koma diabetik.
3. Gejala Kronik
Kadang-kadang penderita diabetes melitus tidak menunjukkan gejala akut (mendadak)
tetapi baru menunjukkan gejala sesudah beberapa bulan atau beberapa tahun
mengidap penyakit diabetes melitus. Gejala ini disebut gejala kronik atau menahan.
Gejala-gejala kronik yang sering timbul, yaitu :
 Kesemutan.
 Kulit terasa panas atau seperti tertusuk-tusuk jarum.
 Kram.
 Kelelahan.
 Mudah mengantuk.
 Mata kabur, biasanya sering ganti kacamata.
 Gatal disekitar kemaluan, terutama wanita.
 Gigi mudah goyah dan mudah lepas.
 Kemampuan seksual menurun, bahkan impoten.

9
 Para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam
kandungan atau dengan berat badan lahir > 4 kg.
2.7 Klasifikasi

Beberapa klasifikasi diabetes melitus telah diperkenalkan, berdasarkan metode


presentasi klinis, umur awitan, dan riwayat penyakit. Kontak 63-1 menjelaskan klasifikasi
yang diperkenalkan oleh American Diabetes Association (ADA) berdasarkan pengetahuan
mutakhir mengenai patogenesis sindrom diabetes dan gangguan toleransi glukosa. Klasifikasi
ini telah disahkan oleh Word Health Organization (WHO) dan telah dipakai di seluruh dunia.
Empat klasifikasi klinis gangguan toleransi glukosa :
1. Diabetes Melitus tipe 1 (juvenile) dan tipe 2.
2. Diabetes gestasional (diabetes kehamilan).
3. Tipe khusus lain.
Dua katagori lain dari toleransi glukosa abnormal adalah gangguan toleransi glukosa
dan gangguan glukosa puasa. Diabetes tipe 1 dulu dikenal sebagai tipe juvenileonset dan tipe
dependen insulin namun, kedua tipe ini dapat muncul pada sembarang usia. Insidens diabetes
tipe 1 sebanyak 30.000 kasus baru setiap tahunnya dan dapat dibagi dalam dua subtipe :
a. Autoimun, akibat disfungsi autoimun dengan kerusakan sel-sel beta.
b. Idiopatik, tanpa bukti adanya autoimun dan tidak diketahui sumbernya.
Diabetes tipe 2 dikenal sebagai tipe dewasa atau onset maturitas dan nondependen
insulin. Insidens diabetes tipe 2 sebesar 650.000 kasus baru setiap tahunnya. Obesitas sering
dikaitakan dengan penyakit ini. Diabetes gestasional (GDM) dikenal pertama kali selama
kehamilan dan mempengaruhi 4% dari semua kehamilan. Faktor risiko terjadinya GDM
adalah usia tua, etnik, obesitas, multiparitas, riwayat keluarga, dan riwayat diabetes
gestasional terdahulu. Karena terjadi peningkatan sekresi sebagai hormone yang mempunyai
efek metabolik terhadap toleransi glukosa, maka kehamilan adalah suatu keadaan
diabetogenik. Pasien-pasien yang mempunyai predisposisi diabetes secara genetik mungkin
akan memperlihatkan intoleransi glukosa atau manifentasi klinis diabetes pada kehamilan.
Tipe khusus lain adalah :
a. Kelainan genetik dalam sel beta seperti yang dikenali pada MODY. Diabetes sutipe
ini memiliki prevelensi familial yang tinggi dan bermanifestasi sebelum usia 14 tahun.
b. Kelainan genetik pada kerja insulin, menyebabkan sindrom resitensi insulin berat dan
akantosis negrikens.
c. Penyakit pada eksrokin pankreas menyebabkan pankreatitis kronik.

10
d. Penyakit endrokin seperti sindrom cushing dan akromegali.
e. Obat-obat yang bersifat toksik terhadap sel-sel beta
f. Infeksi.
Sesuai keteria ADA untuk orang dewasa yang tidak hamil, diagnosis diabetes melitus
ditegakakan berdasarkan penemuan :
1. Gejala-gejala klasik diabetes dan hipeglikemia yang jelas
2. Kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl(7mmol/L) pada sejurang-kurangnya dua
kesempatan, dan
3. Kadar glukosa plasma yang didapat selama tes toleransi glukosa oral (OGTT) ≥200
mg/dl pada 2 jam dan paling sedikit satu kali antara 0 sampai 2 jam sesudah pasien
makan glukosa.kadar glukosa puasa yang ditentukan adalah 126 mg /dl karena kadar
tesebut merupakan indeks terbaik dengan nilai setelah 2 jam pemberian glukosa
adalah 200 mg/dl dan pada kadar tersebut retinopati diabetik, yaitu komplikasi
diabetes muncul untuk pertama kalinya.
Diabetes melitus pada anak-anak juga didasarkan pada penemuan gejala-gejala klasik
diabetes dan plasma secara acak adalah ≥200 mg/dl.
Pasien dengan gangguan toleransi glukosa (IGT)tidak dapat memenuhi kriteria
diabetes melitus yang telah dijelaskan di atas. Dipandang dari sudut biokimia, pasien dengan
IGT menunjukkan kadar glukosa plasma puasa (≥110 dan <126 mg/100ml) namun nilai-nilai
selama diadakan OGTT adalah ≥200 mg/dl pada menit ke-30, 60, atau 90, dan mencapai 140
sampai 200 mg/dl setelah 2 jam . beberapa pasien dengan IGT mungkin menderita keadaan
lain yang mungkin bertanggung jawab atas diabetes tipe skunder. Pada individu lain, IGT
mungkin menunjukkan adanya diabetes dalam stadium dini. Mereka ini tidak digolongkan
sebagai penderita diabetes, tetapi dianggap berisiko tinggi terhadap diabetes dibandingkan
dengan masyarakat umum.

2.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan diabetes melitus disarankan pada :

1. Rencana diet.
2. Latihan fisik dan pengaturan aktivitas fisik.
3. Agen-agen hipoglikemik oral.
4. Terapi insulin.

11
5. Pengawasan glukosa dirumah.
6. Pengetahuan tentang diabetes dan perawatan diri.

Diabetes adalah penyakit kronik, dan pasien perlu menguasai pengobatan dan belajar
bagaimana menyesuaikannya agar tercapai kontrol metabolik yang optimal. Pasien dengan
diabetes tipe 1 adalah defesiensi insulin dan selalu membutuhkan terapi insulin. Pada pasien
diabetes tipe 2 terdapat resistensi insulin dan defisisiensi insulin relatif dan dapat ditangani
tanpa insulin. Rencana diet pada pasien diabetes dimaksudkan untuk mengatur jumlah kalori
dan karbohidrat yang dikonsumsi setiap hari. Jumlah kalori yang disarankan bervariasi,
tergantung pada kebutuhan apakah untuk mempertahankan, menurunkan atau meningkatkan
berat tubuh. Sebagai contoh, pada pasien obesitas, dapat ditentukan diet dan kalori yang
dibatasi hingga berat badan pasien turun hingga kekisaran optimal untuk pasien tersebut.
Sebaliknya, pada pasien muda dengan diabetes tipe 1, berat badannya dapat menurun selama
keadaan dekompensasi. Rencana diet harus didapat dengan konsultasi dahulu dengan ahli gizi
yang mendaftar dan mendasarkan pada riwayat diet pasien, makanan yang lebih disukai, gaya
hidup, latar belakang budaya, dan aktivitas fisik. Pasien-pasien diabetik tidak boleh makan
karbohidrat berlebihan. Umumnya karbohidrat merupakan 50% dari jumlah total kalori per
hari yang diizinkan. Karbohidrat ini harus dibagi rata sedemikian rupa sehingga apa yang
dimakan oleh pasien sesuai dengan kebutuhannya sepanjang hari. Contohnya, jumlah yang
lebih besar harus dimakan pada waktu melakukan kegiatan fisik yang lebih berat. Lemak
yang dimakan harus dibatasi sampai 30% dari total kalori per hari yang diizinkan, dan
sekurang-kurangnya setengah dari lemak itu harus dari jenis polyunsaturated. Sistem ini
mengelompokkan makanan-makanan dengan kadar karbohidrat, protein, dan lemak yang
hampir sama, sehingga kalorinyapun sama. Cara ini akan memungkinkan pasien “menukar”
makanannya dengan makanan lain dalam kelompok yang sesuai. Pasien dapat menghitung
jumlah karbohidrat yang disajikan maupun gram karbohidrat total. Insulin dapat digunakan
dengan rasio 1 unit per 15 gram karbohidrat total. Pasien dengan diabetes tipe 2 yang
resistensi terhadap insulin mungkin membutuhkan 2 hingga 5 unit untuk setiap karbohidrat
yang disajikan atau untuk setiap 15 gram karbohidrat total.
Latihan fisik kelihatannya mempermudah transpor glukosa ke dalam sel-sel dan
meningkatkan kepekaan terhadap insulin. Pada individu sehat, pelepasan insulin menurunkan
selama latihan fisik sehingga hipoglikemia dapat dihindarkan. Namun, pasien yang mendapat
suntikan insulin, tidak mampu untuk memakai cara ini, dan peningkatan ambilan glukosa
selama latihan fisik dapat menimbulkan hipoglikemia. Faktor ini penting khususnya ketika

12
pasien melakukan latihan fisik saat insulin telat mencapai kadar maksimal atau puncaknya.
Dengan menyesuaikan waktu pasien dalam melakukan latihan fisik, pasien mungkin dapat
meningkatkan pengontrolan kadar glukosa mereka. Contohnya, bila pasien melakukan latihan
fisik ketika kadar glukosa darahnya tinggi, mereka mungkin dapat menurunkan kadar glukosa
hanya dengan latihan fisik itu sendiri. Sebaliknya, bila pasien merasa perlu melakukan latihan
fisik ketika kadar glukosa rendah, mereka mungkin harus mendapat karbohidrat tambahan
untuk mencegah hipoglikemia.
Pasien-pasien dengan gejala diabetes melitus tipe 2 dini dapat mempertahankan kadar
glukosa darah normal hanya dengan menjalankan rencana diet dan latihan fisik saja. Tetapi,
sebagai penyakit yang progresif, obat-obat oral hipoglikemik juga dianjurkan. Obat-obatan
yang digunakan adalah pensensitif insulin dan sulfonilurea. Dua tipe pensensitif yang tersedia
adalah metformin dan tiazolidinedion. Metformin yang merupakan suatu biguanid, dapat
diberikan sebagai terapi tunggal pertama dengan dosis 500 hingga 1700mg/hari. Metformin
tidak meningkatkan berat badan seperti insulin sehingga biasa digunakan, khususnya pada
pasien dengan obesitas. Tiazolidinedion meningkatkan kepekaan insulin perifer dan
menurunkan produksi glukosa gelatik. Dua analog tiazolidinedion, yaitu resiglitazon dan
dengan dosis 4 hingga 8 mg/ hari pioglitazon dengan dosis 30 hingga 45 mg/hari dapat
diberikan sebagai terapi tunggal atau dikombinasikan dengan metformin, sulfonilurea, atau
insulin. Obat-obatan ini dapat menyebabkan retensi air dan tidak dianjurkan untuk diberikan
pada pasien dengan ginjal dan jantung kongestif.
Pasien-pasien diabetik tipe 2 dengan sisa sel-sel pulau langerhens yang masih
berfungsi, merupakan calon yang tepat untuk menggunakan sulfonilurea. Obat-obat ini
merangsang fungsi sel Beta dan meningkatkan sekresi insulin. Sebaliknya, pasien-pasien
dengan diabetes tipe 1 yang telah kehilangan kemampuannya untuk menyekresi insulin,
pengobatan dengan sulfonilurea menjadi tidak efektif. Namun, sulfonilurea generasi kedua
menyebabkan sedikit retensi air atau tidak ada sama sekali, yang merupakan masalah
potensial dengan beberapa agen generasi pertama. Dua bahan campuran sulfonilurea yang
paling sering digunakan adalah glipizid, 2,5 hingga 40 mg/hari, dan gliburid, 2,5 hingga 25
mg/hari. Gliburid memiliki waktu paruh yang lebih lama daripada glipizid, dan dosis total
hariannya dapat diberikan sekali sehari. Gabungan sulfonilurea dengan pensensitif insulin
adalah terapi obat yang paling sering digunakan untuk pasien-pasien dengan diabetes tipe 2.
Untuk menurunkan peningkatan kadar glukosa posprandial pada pasien ini, absorbsi
karbohidrat dapat diturunkan atau diperlambat dengan mengonsumsi akarbosa preprandial,

13
yaitu penghambat alfa glukosa yang bekerja pada usus halus dengan menyekat pencernaan
kompleks karbohidrat.

2.9 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan dengan pemeriksaan glukosa darah sewaktu,


kadar glukosa darah puasa, kemudian diikuti dengan tes toleransi glukosa oral standar. Untuk
kelompok risiko tinggi diabetes melitus. Seperti usia dewasa tua, tekanan darah tinggi,
obesitas, dan adanya riwayat keluarga, dan menghasilkan hasil pemeriksaan negatif, perlu
pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.
Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
Tes ini telah digunakan untuk mendiagnosis diabetes awal secara pasti, namun tidak
dibutuhkan untuk penapisan dan tidak sebaiknya dilakukan pada pasien dengan menifestasi
klinis diabetes dan hiperglikemia.
Cara pemeriksaannya adalah :

 Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien makan seperti biasa.


 Kegiatan jasmani cukup.
 Pasien puasa selama 10-12 jam.
 Periksa glukosa 75 gram yang dilarutkan dalam air 250 ml, lalu minum dalam waktu
5 menit.
 Periksa kadar glukosa darah saat ½. 1, dan 2 jam setelah diberikan glukosa.
 Saat pemeriksaan, pasien harus istirahat, dan tidak boleh merokok.

Pada keadaan sehat, kadar glukosa darah puasa individu yang dirawat jalan dengan
toleransi glukosa normal adalah 70-110 mg/dL. Setelah pemberian glukosa, kadar glukosa
meningkat, namun akan kembali keadaan semula dalam waktu 2 jam. Kadar glukosa serum
yang <200 mg/dL setelah ½ 1, dan 1 ½ jam setelah pemberian glukosa, dan <140 mg/dL
setelah 2jam setelah pemberian glukosa, ditetapkan sebagai nilai TTGO normal.

Tes Benedict
Pada tes ini, digunakan Reagen Benedict, dan urin sebagai spesimen cara kerja :

 Masukkan 1-2 ml urin spesimen ke dalam tabung reaksi


 Masukkan 1 ml Reagen Benedict ke dalam urin tersebut, lalu di kocok
 Panaskan selama lebih 2-3 menit

14
 Perhatikan jika adanya perubahan warna

Tes ini lebih bermakna ke arah kinerja dan kondisi ginjal, karena pada keadaan
diabetes melitus, kadar glukosa darah sangat tinggi, sehingga dapat merusak kapiler dan
glomerulus ginjal, sehingga pada akhirnya, ginjal mengalami “kebocoran” dan dapat
berakibat terjadinya renal failure, atau gagal ginjal. Jika keadaan ini dibiarkan tanpa adanya
penanganan yang benar untuk mengurangi kandungan glukosa darah yang tinggi, maka akan
terjadi berbagai komplikasi sistemik yang pada akhirnya menyebabkan kematian karena
gagal ginjal kronik.
Rothera test
Pada tes ini, digunakan urin sebagai spesimen sebagai reagen dipakai, reagen agents,
dan amonium hidroxida pekat. Tes ini untuk mendeteksi adanya aceton dan asam asetat
dalam urin, yang mengindikasikan adanya kemungkinan dari ketoasidosis akibat diabetes
melitus kronik yang tidak ditangani. Zat-zat tersebut berbentuk dan hasil pemecahan lipid
secara masif oleh tubuh karena glukosa tidak dapat digunakan sebagai sumber energi dalam
keadaan diabetes melitus, sehingga tubuh melalukan mekanisme glukoneogenesis untuk
menghasilkan energi. Zat awal dari aceton dan asam asetat tersebut adalah Trigliseric Acid /
TGA, yang merupakan hasil pemecahan dari lemak.
Cara kerja :

 Masukkan 5 ml urin ke tabung reaksi


 Masukkan 1 gram reagen rothera dan kocok hingga larut.
 Pegang tabung dalam keadaan miring, lalu 1-2 ml masukkan amonium hidroxida
secara perlahan-lahan melalui dinding tabung.
 Taruh tabung dalam keadaan tegak.
 Baca hasil didalam setelah 3 menit.
 Adanya warna ungu kemerahan pada pembatasan kedua lapisan cairan menandakan
adanya zat-zat keton.

2.10 Komplikasi

Komplikasi-komplikasi diabetes melitus dapat dibagi menjadi dua kategori mayor: (1)
komplikasi metabolik akut, dan (2) komplikasi-komplikasi vaskuler jangka panjang.

15
Komplikasi Metabolik Akut
Komplikasi metabolik akut disebabkan oleh perubahan yang relatif akut dari
konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang paling serius pada diabetes tipe 1
adalah ketoasidosis diabetik (DKA). Apabila kadar insulin sangat menurun, pasien
mengalami hiperglikemia dan glikosuria berat, penurunan lipogenesis, peningkatan lipolisis
dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan benda keton (asetoasetat,
hidroksibutirat, dan aseton). Peningkatan produksi keton meningkatkan beban Iin hidrogen
dan asidosis metabolik. Glikosuria dan ketonuria yang jelas juga dapat mengakibatkan
diuresis osmotik dengan hasil akhir dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Pasien dapat menjadi
hipotensi dan mengalami syok. Akhirnya akibat penurunan penggunaan oksigen otak, pasien
akan mengalami koma dan meninggal. Koma dan kematian akibat DKA saat ini jarang
terjadi, karena pasien maupun tenaga kesehatan telah menyadari potensi bahaya komplikasi
ini dan pengobatan DKA dapat dilakukan sedini mungkin.
DKA ditangani dengan (1) perbaikan kekacauan metabolik akibat kekurangan insulin,
(2) pemulihan keseimbangan air dan elektrolit, dan (3) pengobatan keadaan yang mungkin
mempercepat ketoasidosis. Pengobatan dengan insulin (regular) masa kerja singkat diberikan
melalui infus intra Vena kontinu atau suntik kan intramuskuler yang sering dan infus glukosa
dalam air atau salin akan meningkatkan penggunaan glukosa , mengurangi lipolisis dan
pembentukan benda keton, serta memulihkan keseimbangan asam-basah. Stelah itu, pasien
juga memerlukan penggantian kalium. Karena infeksi berulang dapat meningkatkan
kebutuhan insulin pada penderita diabetes, maka tidak mengherankan kalau infeksi dapat
mempercepat terjadinya dekompensasi diabetik akut dan DKA.
Hiperglikemia, hiperosmolar, koma nonketotik (HHNK) adalah komplikasi metabolik
akut lain dari diabetes yang sering terjadi pada penderita diabetes tipe 2 yang lebih tua.
Bukan karena defisiensi insulin absolut, namun relatif, hiperglikemia muncul tanpa ketosis.
Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum lebih besar dari 600 mg/dl. Hiperglikemia
menyebabkan hiperosmolalitas, diuresis osmotik, dan dehidrasi berat. Pasien dapat menjadi
tidak sadar dan meninggal bila keadaan ini tidak segera ditangani. Angka mortalitas dapat
tinggi hingga 50%. Pengobatan HHNK adalah dehidrasi, penggantian elektrolit, dan insulin
regular. Perbedaan utama antara HHNK dan DKA adalah pada HHNK tidak terdapat ketosis.
Komplikasi metabolik lain yang sering dari diabetes adalah hipoglikemia (reaksi insulin, syok
insulin), terutama komplikasi terapi insulin. Gejala-gejala hipoglikemia disebabkan oleh
pelepasan epinefrin (berkeringat, gemetar, sakit kepala, dan palitasi), juga akibat kekurangan
glukosa dalam otak ( tingkat laku yang aneh, sensorium yang tumpul, dan koma).

16
Penatalaksanaan hipoglikemia adalah perlu segera diberikan karbohidrat, baik oral maupun
intra vena. Hipoglikemia akibat pemberian insulin pada pasien diabetes dapat memicu
pelepasan hormon pelawan regulator (glukagon, epinefrin, kortisol, hormon pertumbuhan)
yang seringkali meningkatkan kadar glukosa dalam kisaran hiperglikemia (efek Somogyi).
Komplikasi Kronik Jangka Panjang
Komplikasi vaskular jangka panjang dari diabetes melibatkan pembuluh-pembuluh
kecil mikroangiopati. Mikroangiopati merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang
kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik), glomerulus ginjal (nefropati diabetik) dan
saraf-saraf perifer (neuropati diabetik), otot-otot kulit. Selain itu, karena senyawa kimia dari
membran dasar dapat berasal dari glukosa, maka hiperglikemia menyebabkan bertambahnya
kecepatan pembentukan sel-sel membran dasar. Bukti hidrologis mikroangiopati sudah
tampak nyata pada penderita IGT. Namun, manifestasi klinis penyakit vaskuler, retinopati
atau nefropati biasanya baru timbul 15 sampai 20 tahun sesudah awitan diabetes.
Manifestasi dini retinopati berupa mikroaneurisma (pelebaran sakular yang kecil) dari
arteriola retina. Akibatnya, pendarahan, neovaskular dan jaringan perut retina dapat
mengakibatkan kebutaan. Pengobatan yang paling berhasil untuk retinopati adalah
fotokoagulasi keseluruhan retina. Sinar laser difokuskan pada retina, menghasilkan perut
korioretinal. Pengobatan dengan cara ini nampaknya dapat menekan neovaskularisasi dan
pendarahan yang menyertainya.
Manifestasi dini nefropati berupa proteinuria dan hipertensi. Jika hilangnya fungsi
neftron terus berlanjut, pasien akan menderita insufisiensi ginjal dan uremia. Pada tahap ini,
pasien mungkin memerlukan dialisis atau transplantasi ginjal.
Neuropati dan katarak disebabkan oleh gangguan jalur politik (glukosa serbitol fruktosa)
akibat kekurangan insulin. Terdapat penimbunan sorbitol dalam lensa sehingga
mengakibatkan pembentukan katarak dan kebutaan. Pada jaringan saraf, terjadi penimbunan
sorbitol dan fruktosa serta penurunan kadar mioinositol yang menimbulkan neuropati.
Konduksi motorik akan berkurang pada tahap dini perjalanan neuropati. Selanjutnya timbul
nyeri, parestesia, berkurangnya sensasi getar dan proprioseptik, dan gangguan motorik yang
disertai hilangnya refleks-refleks tendon dalam, kelemahan otot dan atrofi. Neuropati dapat
menyerang saraf-saraf perifer (mononeuropati dan polineuropati), saraf-saraf kranial atau
sistem saraf otonom. Terserang nya sistem saraf otonom dapat disertai diare nokturnal,
keterlambatan pengosongan lambung dengan gastroparesis, hipotensi postural dan impotensi.
Pasien dengan neuropati otonom diabetik dapat menderita infrak miokardial akut tanpa nyeri.
Pasien ini juga dapat kehilangan respons dari reaksi-reaksi hipoglikemia.

17
Makroangiopati diabetik mempunyai gambaran histopatologis berupa aterosklerosis.
Gabungan dari gangguan biokimia yang disebabkan oleh insufisiensi insulin dapat menjadi
penyebab jenis penyakit vaskular ini gangguan-gangguan ini berupa :

1. Penimbunan sorbitol dalam intima vaskular.


2. Hiperlipoproteinemia.
3. Kelainan pembekuan darah.

Pada akhirnya mikroangiopati diabetik ini akan mengakibatkan penyumbatan


vaskular. Jika mengenai arteri-arteri perifer, maka dapat mengakibatkan insufisiensi vaskular
perifer yang disertai klaudikasio intermiten dan gangren pada ekstremitas serta insufisiensi
serebral dan stroke jika yang terkena adalah arteria koronaria dan aorta, maka dapat
mengakibatkan angina dan infrak miokardium.
Diabetes juga mengganggu kehamilan, perempuan yang menderita diabetes dan
hamil, cenderung mengalami abortus spontan, kematian janin, intrauterin, ukuran janin besar,
dan bayi prematur dengan insidens sindrom distres pernapasan yang tinggi, serta malformasi
janin. Tetapi, sekarang ini kehamilan ibu-ibu dengan diabetes telah mengalami perbaikan
berkat pengontrolan glukosa darah yang lebih ketat selama kehamilan, kelahiran yang dibuat
dini , dan kemajuan-kemajuan di bidang neonatologi dan penatalaksanaan komplikasi pada
neonatus.
Bukti klinis dan percobaan sekarang ini menunjukkan bahwa timbulnya komplikasi
diabetik jangka panjang karena kelainan kronik metabolisme disebabkan oleh insufisiensi
sekresi insulin. Komplikasi diabetik dapat dikurangi atau dicegah jika pengobatan diabetes
cukup efektif untuk membawa kadar glukosa ke dalam kisaran normal seperti yang
diindikasikan oleh hemoglobin glikat. Pasien dengan diabetes tipe 1 yang menerima terapi
insulin secara efektif dan menurunkan kadar hemoglobin glikat hingga <70%, 50% hingga
75% mengalami penurunan dalam komplikasi mikroangiopati mayor termasuk retinopati,
nefropati, dan neuropati. Penelitian selama 10 tahun yang dilakukan United Kingdom
Prospective Diabetes Study (UKPDS), memperlihatkan pentingnya pengontrolan glukosa
untuk menurunkan risiko komplikasi pada pasien dengan diabetes tipe 2.
Objektif akhir dari pengobatan diabetes adalah pencegahan. Pengenalan individu
berisiko terhadap diabetes tipe 1 dapat mengarahkan pada deteksi dini dari proses autoimun
yang mengakibatkan kerusakan sel-sel beta, serta pengobatan dengan agen imunosupresif
yang spesifik. Pada pasien-pasien dengan diabetes tipe 2, pengertian yang lebih baik
mengenai mekanisme molekular resistensi insulin dapat mengarahkan untuk

18
dikembangkannya agen farmakologi yang secara spesifik dapat memperbaiki kerja insulin.
Riset dalam bidang-bidang ini masih harus berjalan.

2.11 Konsep Asuhan Keperawatan

Pengkajian
Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik difokuskan pada tanda dan gejala
hiperglikemia dan faktor-faktor fisik, emosional, serta sosial yang dapat mempengaruhi
kemampuan pasien untuk mempelajari dan melaksanakan sebagai aktivitas perawatan
mandiri diabetes.
Pasien dikaji di minta menjelaskan gejala yang mendahului diagnosa diabetes, seperti
poliuria, polidipsia, polifagia, kulit kering, pengelihatan kabur, penurunan berat badan,
perasaan gatal-gatal pada vagina dan ulkus yang lama sembuh. Kadar glukosa darah dan,
untuk penderita diabetes tipe 1, kadar keton dalam urine, harus diukur.
Pada penderita diabetes tipe 1 dilakukan pengkajian untuk mendeteksi tanda-tanda
ketoasidosis diabetik, yang mencakup pernapasan Kussmaul, hipotensi ortostatik, dan letargi.
Pasien ditanya tentang gejala ketoasidosis diabetik, seperti mual, muntah, dan nyeri abdomen.
Hasil-hasil laboratorium dipantau untuk mengenali tanda-tanda asidosis metabolik, seperti
penurunan nilai pH serta kadar bikarbonat dan untuk mendeteksi tanda-tanda gangguan
keseimbangan elektrolit.
Pada penderita diabetes tipe 2 dikaji untuk melihat adanya tanda-tanda sindrom
HHNK, mencakup hipotensi, gangguan sensorik, dan penurunan turgor kulit. Nilai
laboratorium dipantau untuk melihat adanya tanda hiperosmolaritas dan ketidakseimbangan
elektrolit.
(Catatan : Jika pasien memperlihatkan tanda dan gejala ketoasidosis diabetik atau
sindrom HHNK, asuhan keperawatan harus berfokus pada terapi komplikasi akut seperti
dijelaskan dalam bagian sebelumnya. Setelah semua komplikasi disebut diatasi, asuhan
keperawatan kemudian diarahkan kepada penanganan diabetes jangka panjang.)
Pasien dikaji untuk menemukan faktor-faktor fisik yang dapat menggangu kemampuannya
dalam mempelajari atau melakukan keterampilan perawatan mandiri, seperti :

 Gangguan penglihatan (pasien diminta untuk membaca angka atau tulisan pada spuit
insulin, lembaran menu, surat kabar, atau bahan pelajaran tertulis).

19
 Gangguan koordinasi motorik (pasien diobservasi pada saat makan atau mengerjakan
pekerjaan lain atau pada saat menggunakan spuit atau lanset untuk menusuk jari
tangan).
 Gangguan neurologis (misalnya, akibat stroke) (dari riwayat penyakit yang tercantum
pada bagan, pasien dikaji untuk menemukan gejala afasia atau penurunan kemampuan
dalam mengikuti perintah sederhana).

Perawatan evaluasi situasi sosial pasien untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi terapi diabetes dan rencana pendidikannya, seperti ;

 Penurunan kemampuan membaca (dapat dilakukan dengan mengkaji gangguan


penglihatan dengan cara menginstruksikan pasien untuk membaca bahan-bahan
pelajaran).
 Keterbatasan sumber-sumber finansial atau tidak memiliki asuransi kesehatan.
 Ada tidak dukungan keluarga.
 Jadwal harian yang khas (pasien diminta untuk menyebutkan waktu makan serta
jumlah makanan yang biasa dikonsumsi setiap hari, jadwal kerja serta olahraga,
rencana untuk berpergian).

Status emosional pasien dikaji dengan mengamati sikap atau tingkah laku yang
tampak ( misalnya, sikap menarik diri, cemas ) dan bahasa tubuh (misalnya, menghindari
kontak mata). Tanyakan kepada pasien tentang kekhawatiran yang utama dan ketakutan
terhadap penyakit diabetes (pendekatan ini memungkinkan perawat mengkaji setiap
kesalahpahaman atau informasi keliru yang berkenaan dengan penyakit diabetes).
Keterampilan dalam mengatasi persoalan dikaji dengan menanyakan cara pasien menghadapi
berbagai situasi sulit yang dialami di masa lampau.

Diagnosa
Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan data hasil pengkajian, diagnosa keperawatan utama meliputi :

 Risiko defisit cairan berhubungan dengan gejala poliuria dan dehidrasi.

20
 Gangguan nutrisi berhubungan dengan gangguan keseimbangan insulin, makanan,
dan aktivitas jasmani kurang pengetahuan tentang informasi/keterampilan perawatan
mandiri diabetes.
 Pontensial ketidakmampuan melalukan perawatan mandiri berhubungan dengan
gangguan fisik atau faktor-faktor sosial.
 Ansietas berhubungan dengan hilang kendali, perasaan takut terhadap
ketidakmampuan menangani diabetes, informasi yang salah tentang penyakit diabetes,
ketakutan terhadap komplikasi diabetes.

Permasalahan Kolaboratif Komplikasi yang Potensial


Berdasarkan data hasil pengkajian, komplikasi potensial mencakup :

 Kelebihan muatan cairan, edema pulmoner, gagal jantung kongestif.


 Hipoglikemia.
 Hiperglikemia dan ketoasidosis.
 Hipoglikemia.
 Edema serebri.

Perencanaan dan Implementasi


Tujuan utama mencakup upaya mencapai keseimbangan cairan serta elektrolit,
mengendalikan kadar glukosa darah yang optimal, meningkatkan kembali berat badan,
kemampuan untuk melakukan keterampilan dasar untuk bertahan (survival) dengan diabetes
serta melakukan berbagai aktivitas perawatan mandiri, mengurangi kecemasan dan
menghilangkan komplikasi.
Intervensi Keperawatan
Mempertahankan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
Masukan dan haluaran cairan diukur. Elektrolit dan cairan intravena diberikan
menurut resep dokter, dan asupan cairan per oral dianjurkan. Nilai elektrolit serum
(khususnya natrium dan kalium) dipantau. Tanda-tanda vital pasien dipantau untuk
mendeteksi adanya tanda-tanda dehidrasi : takikardia, hipotensi ortostatik.
Memperbaiki Asupan Nutrisi
Diet disertai pengendalian kadar glukosa darah, yang merupakan tujuan utama,
direncanakan. Namun, gaya hidup pasien, latar belakang budaya, tingkat aktivitas, dan
kegemarannya terhadap jenis makanan tertentu perlu dipertimbangkan pula. Pasien
dianjurkan untuk mengonsumsi seluruh makanan dan cemilan yang dihidangkan menurut

21
resep diet diabetik. Perawat harus memastikan perubahan urutan pemberian insulin untuk
mengatasi keterlambatan makan akibat tindakan diagnostik dan berbagai prosedur lain.
Mengurangi Kecemasan
Perawat dapat memberikan dukungan emosional dan meluangkan waktu untuk
mendampingi pasien yang ingin mengungkapkan emosinya, menangis atau mengajukan
pertanyaan tentang diagnosa penyakit ini. Pasien dan keluarga memerlukan bantuan untuk
memfokuskan perhatian mereka dalam mempelajari perilaku perawatan mandiri. Pasien
dianjurkan untuk mempraktikkan keterampilan yang paling ditakutinya dan diyakinkan
bahwa setelah melakukan suatu keterampilan seperti menyuntik atau menusuk jari tangan
sendiri untuk memeriksa glukosa darah. Dorongan positif harus diberikan kepada pasien agar
ia terus berupaya untuk melaksanakan perilaku perawatan mandiri meskipun tekniknya masih
belum ia kuasai dengan sempurna.
Memperbaiki Perawatan Mandiri
Penyuluhan kepada pasien merupakan suatu strategi penting untuk mempersiapkan
pasien melaksanakan perawatan mandiri. Peralatan khusus diperlukan untuk menyampaikan
pelajaran tentang keterampilan bertahan dengan diabetes, seperti kaca pembesar untuk
mempersiapkan insulin atau alat bantu injeksi untuk menyuntikkan insulin. Pelajaran perlu
diberikan pula kepada keluarga pasien agar mereka dapat membantu dalam penatalaksanaan
diabetes (misalnya, mengisi spuit sebelum digunakan, memantau kadar glukosa darah).
Konsultasi dengan ahli diabetes dilakukan untuk mengetahui berbagai alat pemantau kadar
glukosa darah dan alat-alat lain yang dapat digunakan oleh pasien yang memiliki cacat fisik.
Keterbatasan finansial atau fisik harus dipertimbangkan ( seperti pusat pelayanan bagi pasien
dengan gangguan penglihatan). Informasi tentang waktu makan dan jadwal kerja juga harus
disampaikan kepada anggota tim pelayanan kesehatan (misalnya, jika pasien bekerja pada
malam hari dan tidur pada siang hari) sehingga terapi diabetes dapat disesuaikan.
Pendidikan Pasien dan Perawatan di Rumah
Pada pasien harus diajarkan berbagai keterampilan bertahan yang mencakup
patofisiologi sederhana : bentuk-bentuk terapi (penyuntikan insulin, pemantauan kadar
glukosa darah dan untuk diabetes tipe 1 pemeriksaan keton urin. Jika pasien memiliki tanda-
tanda komplikasi diabetes jangka panjang pada saat diagnosis diabetes ditegakkan, pelajaran
tentang perilaku preventif yang tepat (misalnya, perawatan kaki atau mata) perlu
diikutsertakan pada saat ini.
Pemantauan dan Penatalaksanaan Komplikasi yang Potensial
Kelebihan Cairan.
22
Kelebihan cairan dapat terjadi akibat pemberian cairan dalam jumlah besar dengan
kecepatan tinggi yang sering dilakukan untuk mengatasi ketoasidosis diabetik atau sindrom
HHNK. Risiko ini meningkat pada pasien-pasien lansia dan pasien-pasien yang telah
memiliki penyakit jantung. Untuk menghindari kelebihan cairan dan gagal jantung kongestif
serta edema pulmoner yang diakibatkan kelebihan tersebut, perawat harus melakukan
pemantauan ketat keadaan pasien setelah menjalani terapi dengan melakukan pemeriksaan
tanda-tanda vital dengan interval yang teratur. Pemeriksaan fisik harus difokuskan pada
pengkajian frekuensi serta irama jantung, bunyi pernapasan, distensi vena, turgor kulit dan
haluaran urin. Perawat harus memantau asupan cairan infus dan asupan cairan lain serta
haluaran urin. Pemantauan juga dilakukan untuk mendeteksi kemungkinan hipotensi
ortostatik yang terjadi akibat dehidrasi.
Hipoglikemia.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, hipoglikemia merupakan kompilasi potensial
selama terapi ketoasidosis diabetik dilakukan, akibat penurunan simpanan kalium dalam
tubuh. Kadar kalium yang rendah dapat terjadi akibat rehidrasi, peningkatan ekskresi kalsium
ke dalam urin dan perpindahan kalium dari cairan ekstrasel ke dalam sel ketika insulin
diberikan. Karena hipoglikemia dapat membahayakan fungsi jantung, maka pemantauan
frekuensi serta irama jantung, EKG, dan pemeriksaan kadar kalium serum merupakan
tindakan yang sangat penting.
Hiperglikemia dan Ketoasidosis.
Meskipun hiperglikemia dan ketoasidosis telah teratasi pasien tetap berisiko
mengalami serangan ulang. Oleh karena itu, kadar glukosa darah serta keton urin perlu
dipantau dan obat-obat (insulin, obat hipoglikemia oral) diberikan sesuai resep.
Hipoglikemia.
Hipoglikemia dapat terjadi jika pasien melewatkan atau menunda waktu makan, tidak
mengikuti diet yang telah diprogramkan atau meningkatkan intensitas latihan tanpa
menyesuaikan diet serta insulin.
Pasien didorong untuk mengonsumsi seluruh makanan dan cemilan seperti yang
diresepkan dalam diet diabetes yang telah disusun baginya. Jika hipoglikemia terjadi
berulang-ulang, maka seluruh terapi yang diberikan pada pasien harus dievaluasi kembali.
Edema Serebri.
Meskipun penyebab edema serebri tidak diketahui, keadaan ini diperkirakan terjadi
akibat koreksi cairan yang terlalu cepat sehingga menimbulkan perpindahan cairan. Edema
serebri dapat dicegah dengan menurunkan kadar glukosa darah serta bertahap. Penggunaan

23
lembaran untuk mencatat hasil-hasil pemeriksaan setiap jam sekali (hourly flow sheet) harus
dilakukan untuk memudahkan pemantauan ketat kadar glukosa darah, kadar elektrolit serum,
haluaran urin, status mental, dan tanda-tanda neurologis yang diperlihatkan pasien. Tindakan
pencegahan harus diambil untuk meminimalkan aktivitas yang dapat meningkatkan tekanan
intrakranial.
Evaluasi
Hasil yang Diharapkan

1. Mencapai keseimbangan cairan dan elektrolit.


 Memperlihatkan keseimbangan asupan dan haluaran.
 Menunjukkan nilai-nilai elektrolit dalam batas-batas normal.
 Tanda-tanda vital tetap stabil dengan teratasinya hipotensi ortostatik dan
takikardia.
2. Mencapai keseimbangan metabolik
 Menghindari kadar glukosa yang terlalu ekstrim (hipoglikemia atau
hiperglikemia).
 Memperlihatkan perbaikan episode hipoglikemia yang cepat.
 Menghindari penurunan berat badan selanjutnya (jika diperlukan) dan mulai
mendekati berat badan yang dihendaki.
3. Memperlihatkan/menyebutkan keterampilan bertahan pada diabetes.

BAB III
PENUTUP

24
Kesimpulan
Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai dengan
hiperglikemia dan kelainan (abnormalitas) dalam metabolisme karbohidrat, lemak dan
protein. Gangguan metabolik ini disebabkan oleh adanya kerusakan sekresi insulin,
sensivitas insulin , atau keduanya. Diabetes melitus dapat digolongkan menjadi diabetes
melitus tipe 1, diabetes melitus tipe 2, dan diabetes melitus gestasional. Pengobatan
diabetes melitus bertujuan untuk menghilangkan gejala dan tanda diabetes melitus,
tercapainya pengendalian kadar glukosa dalam darah dan mencegah terjadinya
progresivitas penyulit seperti mikroangiopati dan neuropati.
Saran
Sebaiknya para pembaca memahami tentang diabetes melitus dan dapat menerapkan
pengetahuan mengenai penyakit ini, agar banyak yang mengetahui bahaya penyakit
tersebut. Bagi para pembaca hendaknya kita menjaga lingkungan sekitar kita dan mulai
bisa mengontrol makanan yang dapat membuat kadar gula kita naik serta dianjurkan agar
kita mengecek kadar gula kita untuk mewaspadainya dan jangan lupa untuk mengonsumsi
makanan yang sehat

DAFTAR PUSTAKA

Price and Wilson.2006.Patofiologi.Jakarta:EGC.


Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1, Edisi ketiga

25
Bare,barenda.Suzanne Smeltzer.2002.Keperawatan Medical Bedah.Jakarta:EGC
Price,sylvia.Lorriane Wilson.2006.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.

26

Anda mungkin juga menyukai