Anda di halaman 1dari 207

Tentang Tanah

(sebuah novel)

2
tentang tanah
Tentang Tanah
(sebuah novel)

Denni Pinontoan

membangun peradaban
Tomohon, 2008

3
Tentang Tanah
(sebuah novel)

Denni Pinontoan

© Penerbit Pasini Pustaka


Jln. Raya Kakaskasen III – Tomohon Utara
Kota Tomohon - Minahasa

Desain Sampul
Atman

Diterbitkan pertama kali oleh


Penerbit Pasini Pustaka

Cetakan Pertama: Mei 2008

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang


Dilarang mengutip atau memperbanyak
seluruh atau sebagian isi buku ini tanpa izin tertulis
dari Penerbit

4
tentang tanah
Untuk tanah yang sering aku khianati, tapi
tetap mencintaiku

5
01.
Bangun Pagi Dia
Baru bangun pagi Dia sudah tak sehat. Wajahnya
pucat, rambut agak acak dan sisa-sisa keringat dingin
masih kentara di leher dan wajahnya. Lelaki muda itu
menatap surya yang baru bersinar dari ufuk timur di
antara celah jendela yang belum terbuka lebar dengan
wajah pesimis. Dia memang baru mengalami malam
yang menyeramkan. Semalam, lelaki yang hidup hanya
bersama ibunya bermimpi tentang kelaparan,
kemiskinan, pembunuhan, penindasan dan sakit
penyakit yang diakibatkan oleh keganasan monster-
monster tak berwajah juga tak berhati.
Dia sudah terbiasa bangun pagi dalam keadaan yang
tak sehat. Sebab Dia adalah anak dari kemiskinan dan
kelaparan. Waktu bayi, ia memang tak pernah
dikenyangkan dengan susu ibunya yang nikmat. Hanya
satu dua tetes air susu ibunya yang mengalir membasahi
mulutnya yang haus dan lapar. Lebih parah lagi, ibunya
tak mampu membeli susu kaleng. Ibunya memang tak
seperti ibu-ibu yang lain, yang adalah istri penguasa dan

6
tentang tanah
ibu dari pangeran penghisap. Ibu Dia adalah ibu dari
penderitaan. Dan penderitaan itu adalah pengharapan
untuk Dia. Lelaki itu akhirnya hidup karena penderitaan.
Ayahnya pergi dan tak pernah kembali. Pergi bukan
karena mati melainkan untuk sebuah pengkhianatan.
Ayahnya telah berkhianat dari cinta yang tulus ibunya.
Laki-laki itu pergi jauh, menjauh dari cinta dan
pengharapan. Seperti kebanyakan laki-laki tak
bertanggungjawab lain, ayah Dia memang telah pergi
meninggalkan penderitaan, kemiskinan, kenistaan dan
aib.
Hari ini Dia harus menerima pagi dengan tak sehat
lagi. Sebab, baru beberapa menit dari bangun pagi dan
lima langkah dari rumah reotnya, Dia telah dikejutkan
dengan bunyi sirene mobil ambulans yang meraung-
raung seperti nyanyian gembira monster-monster dalam
mimpinya tadi malam. Dia tak tahu untuk siapa bunyi
sirene itu meraung-raung, yang jelas, ambulans, sejak dia
tahu mobil itu, adalah untuk orang yang sedang sakit
karena penyakit atau celaka atau juga untuk orang yang
tak bernafas lagi.
Tapi, bagaimanapun, bunyi sirene mobil ambulans
yang menakutkan itu, tak harus menghalanginya untuk
keluar dari rumah. Dia harus menggunakan siang untuk
menuju malam, dan malam untuk pagi. Dan di malam
menuju pagi, kembali lagi dia akan berjumpa dengan
monster-monster yang tak berwajah dan tak berhati.
Aneh, sebab monster-monster dalam mimpi-
mimpinya, di siang hari tampak duduk-duduk
berpangku kaki dengan jas, dasi dan tanda-tanda
penghormatan di kantor-kantor. Dari pandangan Dia,
7
mulut monster-monster itu meleleh darah segar. Hanya
Dia yang melihat itu.

8
tentang tanah
02.
Siang Dia
Di suatu siang, Dia mulai kenal betul siapa monster-
monster itu. Mereka adalah penguasa dan pengusaha.
Monster-monster yang sebagian adalah yang selalu
mengatasnamakan rakyat dalam kerjanya. Dalam bicara-
bicaranya di koran, televisi dan radio, monster-monster
ini selalu menyebut diri bekerja untuk kesejahteraan
rakyat. Pembangunan yang mereka programkan dan
propagandakan, selalu beralasan untuk mensejahterakan
rakyat yang kebanyakan melarat. Tapi, Dia bingung,
rakyat yang mana? Bukankah dia, ibunya, dan tetangga-
tetangganya di kompleks yang kumuh itu adalah juga
rakyat? Dia bingung, rakyat yang mestinya untuk
disejahterakan, dalam pemandangannya tak sejahtera
malahan tambah melarat. Dia bingung dengan bicara-
bicara monster-monster yang sebagian itu. Dasar
monster!
Dia memang tak kelar bersekolah. Tapi Dia telah
banyak belajar dari penderitaan, karena dia hidup dari
penderitaan, bahwa monster-monster yang sebagian lagi,

9
yaitu yang pengusaha adalah manusia-manusia yang
mengeksploitasi. Paham ekonomi yang mereka anut
telah cukup menyusahakan Dia, ibunya dan warga
sekompleks. Doktrin pengeluaran yang sekecil-kecilnya
dengan harapan mendapat keuntungan yang sebesar-
besarnya, telah cukup membuat susah Dia, ibunya dan
tetangga-tetangganya yang miskin. Dia juga selalu
merasa was-was dengan kehidupannya, ibunya dan
warga sekompleks, bahwa setiap saat, para monster yang
sebagian bisa datang menggusur mereka. Telah banyak
contoh. Dia sangat khawatir dengan kenyataan ini. Telah
banyak kompleks, atas nama pembangunan, digusur
untuk dibangun gedung yang bertingkat milik satu dua
orang saja. Belakangan Dia tahu bahwa antara monster-
monster yang berbeda kantor itu telah bersepakat secara
sembunyi-sembunyi dengan uang jutaan dan milliaran
rupiah untuk pembangunan yang tak berpihak. Dasar
monster!
Siang ini, Dia kebetulan berada di sebuah kompleks
perkantoran. Tak ada maksud khusus. Akhir-akhir ini,
tak tahu angin dari mana, Dia tampak rajin mengamati
perilaku monster-monster yang menakutkan itu. Di
kompleks perkantoran itu, Dia melihat ada begitu
banyak monster dan calon monster, sambil tertawa lebar,
duduk berpangku kaki di ruang-ruang yang full AC, tak
tahu bikin apa. Mereka hanya pura-pura membaca jika
ada manusia polos yang tiba-tiba masuk membawa
sebendel berkas dan aspirasi. Mereka pun tampak
dengan keprihatinan yang pura-pura menyambut
manusia polos yang masuk ke ruangan. Dan jawaban
yang kebanyakan manusia polos terima dari

10
tentang tanah
pembicaraan yang tidak terlalu lama, berkas dan aspirasi
akan ditampung untuk diproses. Suasana yang seperti ini
akhirnya menjadi rutinitas yang tak berfaedah apa-apa
bagi kehidupan banyak orang. Buktinya, banyak
persoalan publik yang tak terselesaikan.
Dia berjalan mendekat ke sebuah ruangan. Dia tak
tahu bagaimana betul keadaan ruangan itu, tapi dari
suara-suara yang sempat keluar dari ruangan itu, dia
mendengar ada satu monster dengan suara penuh
wibawa berbicara tentang usulan untuk menaikkan gaji
mereka. Ide monster dengan suara yang berwibawa tak
dibantah malahan didukung oleh monster-monster yang
lain. Dengan demikian, jadilah gaji para monster-monster
tak berhati ini dinaikan. Memang, Dia tak kelar
bersekolah, tapi Dia mengerti betul bahwa kenaikan gaji
bagi para monster yang tak berwajah dan berhati adalah
kejahatan. Sebab, kerja tidak becus, malah gaji dinaikkan.
Bukankah jumlah gaji harus disesuaikan dengan hasil
kerja secara kualitas? Dasar monster!
Siang ini, Dia mendapat pengetahuan lagi tentang
siapa para monster itu dengan segala sepak terjangnya.
Hanya Dia yang mengetahui itu.

11
03.
Monster-monster di Gereja
Di suatu hari Minggu, Dia bangun pagi-pagi. Masih
sedikit orang di jalan. Ibu Dia, masih lemah tertidur
dengan sesekali mengeluarkan batuk kering. Tetap
seperti bangun-bangun pagi terdahulu, pagi ini dia
tampak tak sehat lagi. Muka pucat, rambut agak sedikit
acak dan sisa-sisa keringat dingin masih kentara di leher
dan wajah. Namun Dia harus beribadah di rumah gereja.
Dia memang tak sering berkunjung ke gedung
tempat berkumpulnya orang-orang yang tampak saleh.
Gedung gereja di mana Dia akan beribadah memiliki
empat menara yang menjulang tinggi ke langit. Lantai
gedung dilapisi marmer mahal. Orang-orang yang
beribadah di dalamnya kebanyakan tampil dengan
busana yang beragam model dan harga, dan di luar
gedung mobil dengan beragam jenis menunggu untuk
mengantar mereka pulang. Di mimbar yang tinggi
pemimpin ritual tampak mengenakan jubah hitam yang
meninggalkan kesan kewibawaan. Karena tuntutan

12
tentang tanah
sosial, Dia harus mengikuti ritual yang baginya
sebenarnya membosankan.
Semua orang di dalam gedung megah ini tampak
saleh. Sepintas tak ada orang yang berdosa di dalamnya.
Semua dengan khusyuk menyanyikan kidung rohani,
membaca kitab suci, berdoa dan duduk manis
mendengar khotbah sang pemimpin ritual. Tak ada
monster di sana, seperti di kantor-kantor yang dia lihat.
Ritual selesai. Semua orang berhamburan keluar. Dia
sudah berada di luar gedung, tapi belum langsung
pulang ke rumah. Dia berdiri di gerbang halaman
gedung gereja. Sekarang hari telah siang, matahari telah
cukup menyilaukan. Tapi, tiba-tiba Dia terkejut setengah
mati ketika memandang ke arah pintu gedung gereja.
Orang-orang yang tampak saleh di dalam gedung gereja,
sebagiannya ketika terkena sinar matahari seketika
berubah menjadi monster. Hanya sebagian orang yang
tak berubah, tetap manusia polos. Mereka kebanyakan
adalah janda-duda dan yatim-piatu miskin, dan orang-
orang yang memang miskin. Merekalah yang sering
menjadi sasaran eksplotasi dan diskriminasi dari orang-
orang yang tiba-tiba berubah menjadi monster yang tak
berwajah dan berhati.
Dia lebih terkejut ketika si pemimpin ritual, tiba-tiba
juga berubah menjadi monster. Malahan monster yang
satu ini, yang tampak lebih menakutkan. Di kepalanya
tumbuh dua tanduk, giginya bertaring, senyumnya
bercampur darah dan jari-jari tangannya tumbuh kuku-
kuku yang panjang.
Sesaat Dia bertatapan mata dengan monster yang
tampak lebih menakutkan. Si monster yang bertanduk ini
13
tersenyum sinis kepada Dia. Dia tak balas tersenyum.
Yang ada adalah ketakutan yang sangat. Dia segera
memalingkan mukanya. Waktu itu si monster sedang
sibuk menerima uang dari monster-monster yang lain.
Hanya Dia yang melihat semua ini.

14
tentang tanah
04.
Ibu Dia yang Sakit
Ternyata, batuk-batuk kering yang sering Dia dengar
dari ibunya, bukan batuk biasa. Batuk-batuk itu adalah
sebuah kesakitan. Kesakitan karena beban hidup yang
terlalu berat. Dan Dia hidup dari penderitaan itu. Sebuah
kehidupan yang menyakitkan dan menderita bagi
ibunya.
Batuk-batuk ibu Dia adalah penyakit yang
mematikan. Dari mulut ibunya sesudah membatuk
keluar darah segar. Dia melihat itu di sapu tangan yang
dipakai ibunya untuk mencegah lendir yang keluar
setelah batuk-batuk. Telah lama ibu Dia begitu.
Kian hari tubuh ibu Dia semakin kurus. Meski begitu
pada saat-saat tertentu ibunya masih menyempatkan diri
untuk bekerja mencuci pakaian bagi para kaya. Dari
pekerjaan yang tak terlalu menguntungkan itu, Dia dan
ibunya bisa makan. Dia juga membantu dengan
pekerjaan yang tak menentu. Ibu Dia adalah perempuan
yang menderita, yang tetap berusaha memberikan
kehidupan bagi Dia.
15
Dia hanya dengar dari orang, kalau batuk-batuk
kering yang disertai dengan keluarnya darah segar
adalah penyakit TBC. Dia juga dengar dari orang bahwa
dalam enam bulan perawatan medis secara instensif
penyakit ini sebenarnya bisa sembuh total. Tapi,
bukankah mereka tak punya uang dan akses ke rumah-
rumah sakit yang menyediakan fasilitas?
Masa Dia dan ibunya hidup adalah masa di mana
semua urusan menjadi ekonomis dengan perhitungan
untung-ruginya dan politis dengan maksud
berkuasanya. Keluarga semacam mereka yang hanya
hidup di rumah serupa gubuk reot berdesakan dengan
rumah-rumah yang lain, tentu kecil kesempatan untuk
mendapat pelayanan kesehatan yang memadai.
Sekali Dia pernah berusaha mengobati ibunya
dengan meminta bantuan dari penguasa di sekitar
kompleks. Tapi, karena banyak orang di sekitar
kompleksnya yang juga telah berubah menjadi monster,
maka harapannya untuk melihat ibunya sembuh pupus
sudah. Apalagi memang, monster-monster yang setiap
harinya bicara-bicara di koran-koran, televisi dan radio-
radio hanya menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai
kata-kata manis untuk iklan politik. Dia hidup di sebuah
suasana, di mana negara gagal memberi pelayanan
kesehatan kepada rakyatnya.
Semua akhirnya menjadi serba sulit. Yang ada pada
Dia dan ibunya, sampai saat ini, hanyalah penderitaan
yang sangat. Dia tahu, bahwa kemiskinan dan
penderitaan yang mereka alami adalah akibat persoalan
politik, sosial dan ekonomi yang kompleks. Padahal,
sudah beberapa kali selama ia hidup, Dia menyaksikan

16
tentang tanah
pesta pora politik yang bernama Pemilu dengan
pertunjukkan kampanyenya. Para pengkhotbah politik
dan orang-orang yang memakai jas warna-warni dengan
dasi yang mahal-mahal selalu menyebut-nyebut orang-
orang semacam Dia dan ibunya adalah yang akan
disejahterakan. Tapi yang terjadi setelah pesta usai
adalah bertambahnya monster-monster baru yang kian
membuat sesak kantor-kantor.
Sementara para pemilik gedung-gedung bertingkat
yang dibangun tak jauh dari kompleks Dia dengan
kesombongannya sangat membedakan diri dengan para
pemilik rumah serupa gubuk reot. Dan para kapitalis ini
adalah juga monster-monster. Hanya Dia yang sadar
dengan keadaan ini.

17
05.
Bekerja?
Akhirnya, hidup ibu Dia, lebih banyak sakit dari
pada sehat. Penyakit TBC yang diidap ibunya lebih
menambah beban derita hidup keluarga miskin ini. Toh,
sesekali, ibu Dia masih berusaha mencuci pakaian bagi si
kaya untuk sesuap nasi. Sementara, bermodalkan ijasah
SMP, Dia, sudah beberapa kali melamar pekerjaan, tapi
tak diterima. Banyak alasan yang dikemukakan oleh
pemilik tempat di mana Dia melamar kerja. Semua
alasannya, Dia sadar hanya untuk sebuah penolakan bagi
manusia yang kurus dan miskin seperti dia.
Untung penderitaan telah membuat Dia menjadi
gigih dalam memperjuangkan hidup. Kalau dihitung-
hitung, dalam sehari Dia bisa melamar di lima sampai
tujuh perusahan, toko-toko dan rumah-rumah milik si
kaya yang menurutnya membutuhkan tenaga kerja. Dan,
Dia lakukan itu hampir seminggu.
Ketika harapan hampir pupus dan tenaga hampir
habis, tak disangka Dia bertemu dengan seorang laki-laki
yang berpenampilan mengesankan: handphone di tangan,

18
tentang tanah
bercelana jeans import, dan bersepatu kulit buaya. Dia
tidak melihat ada tanda-tanda bahwa si orang itu adalah
monster jahat seperti pada orang-orang jahat lainnya.
Dalam hati Dia berkata bahwa laki-laki itu adalah baik-
baik, meski tidak polos lagi dalam hal penampilan.
Setidak-tidaknya, begitu kesimpulan sementara Dia.
Perjumpaan Dia dengan laki-laki ini terjadi secara
tidak disangka-sangka di sebuah warung makan. Waktu
itu Dia baru saja ditolak oleh salah satu staf yang
bertugas mencari calon karyawan baru di sebuah
supermaket di pusat kota. Awalnya Dia tidak
menyangka, kalau si laki-laki itu akan menyapanya
dengan begitu ramah. Mereka akhirnya duduk semeja,
minum dan makan. Orang itu bertanya kepada Dia
tentang dirinya dan keluarga. Karena keramahannya, Dia
pun tanpa ragu-ragu bercerita panjang lebar tentang
kehidupan dirinya dan ibunya.
Pembicaraan antara Dia dan laki-laki itu di warung
makan, akhirnya membuahkan kesepakatan.
Kesepakatan dalam bentuk ikatan kerja. Dia sepakat
untuk bekerja di rumah si orang itu, dan sepakat untuk
mengupah Dia setiap bulan atas hasil kerjanya. Dia
diterima oleh si orang itu untuk menjadi tukang taman.
Selesai bersepakat, mereka akhirnya pergi. Semua
yang Dia makan dan minum di warung makan dibayar
oleh laki-laki itu. Dia tambah terkesan, ketika ternyata
mobil mewah yang mengkilap di luar warung kopi
adalah kepunyaan si orang itu. Dia semakin terkesan
lagi, ketika menumpang mobil yang keindahan dan
kemewahaannya tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Dia menuju ke rumah si orang itu.
19
Ketika sampai di rumah yang pasnya barangkali
disebut gedung mewah, Dia terheran-heran menyaksikan
kemewahaan dan kekayaan orang itu. Rumahnya
bertingkat tiga dengan luas yang membutuhkan
beberapa jam untuk mengukurnya. Ketika melihat pintu
utama, Dia langsung membayangkan nikmatnya duduk
di sofa yang lembut sambil menonton TV serupa layar
bioskop. Tapi itu ternyata hanya khayalan. Dia buru-
buru disambut oleh seorang setengah baya menuju ke
ruang belakang tersendiri, melalui sebuah gang di
samping rumah. Ketika berjalan bersama dengan
seseorang yang kelihatan sangat ramah itu, tiba-tiba Dia
sadar diri, bahwa dia bukan tamu kehormatan si orang
yang berjumpa dengannya di warung makan tadi. Dia
adalah calon tukang taman.
Rencananya Dia nanti akan bekerja keesokan harinya.
Waktu itu, Dia menerima anjuran-anjuran dan nasehat-
nasehat serta sedikit teknik menjadi tukang taman dari
seseorang yang barangkali sebagai pekerja senior.
Dia juga diajak oleh orang ini untuk melihat-lihat
area yang nantinya menjadi wilayah kerjanya. Taman
yang diperlihatkan kepada Dia sangat luas. Sebuah
taman yang memperlihatkan keindahan dan
keterpesonaannya. Dia sampai-sampai berdecak kagum.
Tapi, sesuatu menimbulkan tanya dalam hati Dia.
Dari berjalan bersama dengan pembantu senior ini
sampai makan malam dengan sesama pekerja di rumah
yang mewah ini, Dia tidak lagi melihat si laki-laki yang
membawanya rumah itu. Dan juga ketika makan
bersama, Dia baru tahu bahwa pekerja di rumah ini
bukan hanya dirinya dan seseorang yang menyambutnya

20
tentang tanah
ketika baru sampai serta pekerja senior yang
memperlihatkan taman yang luas kepadanya. Di rumah
ini kurang lebih lima belas pekerja yang telah dibagi-bagi
sesuai bidang kerja, mulai yang bertugas menjaga
keamanan, tukang masak, sopir, sampai tukang cuci.
Setelah makan malam, Dia segera tidur di kamar
yang telah ditentukan. Pekerja-pekerja lain pun segera
bubar. Tak ada acara menonton televisi sambil duduk-
duduk malas di sofa yang lembut. Tak ada obrolan
lazimnya pertemuan antara orang baru dengan orang
yang lama tinggal. Di kalangan pekerja di rumah mewah
ini tak ada obrolan tentang nasib dan kehidupan. Yang
ada adalah kerja. Karena mereka ada di rumah mewah
ini hanya untuk berurusan dengan pekerjaan dan uang.
Bekerja untuk mendapat uang. Mereka bekerja atas
instruksi sang kepala pekerja dan kepala pekerja
menerima segala instruksi dari si orang yang membawa
Dia ke rumah ini. Belakangan Dia tahu, kalau si orang itu
adalah penguasa di rumah yang megah di mana di
sekarang tinggal.
Malam tiba. Tapi Dia tak bisa tidur pulas. Meski
kamar dan tempat tidur yang ditempatinya sekarang
jauh lebih bagus dibanding kamar dan kamar tidur di
rumahnya yang serupa gubuk reot. Ketika tidur Dia,
masih harus bertarung dengan monster-monster yang
tak berwajah dan berhati.
Kira-kira pukul 1 lebih 3 menit dini hari Dia merasa
akan kencing. Untuk kencing, tentunya Dia harus ke WC.
Tapi, satu persoalan muncul, bahwa Dia belum
mendapat informasi tentang letak WC bagi para pekerja.
Apalagi rumah ini megah dan luas, gampang tersesat.
21
Tapi, apa boleh buat Dia harus mengeluarkan air
seninya, kalau tidak takut jangan sampai keluar sendiri
dan celananya bisa basah. Malu sudah besar.
Dia segera bangun dari tempat tidur dan keluar
kamar menuju ke WC yang dia belum tahu di mana
letaknya. Naluri akhirnya menuntun Dia untuk berjalan.
Dia berjalan di sembarangan koridor-koridor rumah.
Sudah berapa ruangan yang Dia lewati, WC belum juga
ditemukannya.
Terakhir, Dia berjalan di sebuah koridor, yang
ternyata berakhir di sebuah pintu. Di balik pintu sayup-
sayup terdengar suara orang berbicara. Sesekali bunyi
suara orang sedang berkelahi diselingi bunyi tembakan.
Dia penasaran dengan yang dia dengar. Tapi, Dia
melihat pintu tertutup. Dia memegang gagang tarikan
pintu. Sedikit Dia memutar tarikan, ternyata tidak
dikunci. Pintu sedikit berderit. Takut jangan sampai
menimbulkan bunyi yang lebih kuat, Dia memperpelan
tekanannya pada tarikan pintu. Pintupun hanya terbuka
kecil. Tapi dari celah pintu yang kecil, Dia kemudian
tahu, di balik pintu ada sebuah ruangan yang di
dalamnya berisi macam-macam perabotan, perhiasan,
juga sepasang patung singa yang terbuat dari batu. Dia
cuma terkagum-kagum dengan yang dilihatnya. Dan,
ternyata ketika melihat televisi dengan layar yang lebar,
Dia tahu bahwa suara-suara yang dia dengar tadi berasal
dari sebuah televisi. Di televisi itu sedang bergerak
gambar-gambar berwarna, ada orang-orang, mobil-
mobil, senjata-senjata dengan timah panasnya dan lain-
lain. Sebuah film sedang diputar.

22
tentang tanah
Kalau ada televisi yang sedang diputar dengan film
actionnya, dugaan Dia pasti ada orang yang sedang
menontonnya. Tapi, Dia belum melihat ada orang yang
sedang menonton. Celah memang hanya terbuka kecil,
sehingga tidak semua isi ruangan bisa dipandangnya.
Apalagi, di bagian tengah ruangan ada lemari besar yang
terbuat dari kayu pilihan dengan cat berwarna hitam
kemerah-merahan membelah ruangan. Pikir Dia, agar
bisa mengetahui seisi ruangan, ia harus masuk dan
membuka pintu selebar-lebarnya. Tapi, bukankah
berbahaya jika dia ketahuan masuk ke ruangan itu tanpa
sepengetahuan pemilik rumah? Makanya, Dia harus
masuk dengan perlahan-lahan, tanpa suara derit pintu,
tanpa bunyi langkah kaki, dan tanpa batuk-batuk.
Pokoknya harus secara diam-diam, mirip pencuri meski
Dia tidak sedang mencuri.
Semua yang terpikir, akhirnya dilakukan. Kini, tanpa
sepengatahun siapa-siapa, kecuali cecak kecil di dinding
yang menatap sinis ketika Dia telah masuk beberapa
langkah ke ruangan, dia telah berada di belakang lemari
besar. Dia tetap berusaha tidak diketahui orang.
Lagi-lagi dengan gaya seperti pencuri, Dia berusaha
melihat bagian lain ruangan dari samping lemari besar.
Tetap dengan perasaan yang was-was, Dia merapatkan
tubuhnya di sisi samping lemari besar dan untuk
melihat, Dia menonjolkan kepalanya melewati sedikit sisi
lemari besar. Kini, dengan sedikit lebih leluasa, mata Dia
dapat melihat bagian ruangan yang lain. Karena
penasaran dengan televisi itu, Dia mencari-cari orang
yang sedang menonton televisi, seperti dugaannya tadi.
Benar, bahwa ada orang yang sedang menonton televisi.
23
Tapi, yang Dia lihat bukan orang sembarangan. Ternyata,
dari penampilan yang dia saksikan, yang sedang duduk-
duduk manis menonton televisi di sofa yang empuk
adalah si orang yang bertemu dan makan bersama di
warung makan yang kemudian mengantarnya ke rumah
ini tadi siang. Si penguasa rumah ternyata.
Tapi sesuatu yang mengejutkan dilihatnya. Ternyata,
bagian atas tubuh si orang ini, tidak seperti yang
disaksikannya sebelumnya. Di kepalanya ada dua
tanduk, dari mulut meleleh darah, dan gigi taring
tampak keluar dari dua sisi samping mulutnya. Jari-jari
tangannya tumbuh kuku-kuku yang panjang. Penguasa
rumah ini, ternyata juga monster!
Seketika Dia menjadi takut. Lututnya bergetar.
Mukanya pucat. Keringat dingin keluar dari pori-pori.
Tubuh Dia serupa orang kehabisan cairan. Dia menjadi
lemah. Dia, tidak berani menatap si orang itu yang
ternyata adalah monster. Dan, akhirnya Dia kencing di
celana.
Dia segera meninggalkan bagian ruangan dengan
penuh ketakutan.
Dia akhirnya tidak hanya meninggalkan ruangan di
mana si monster menonton televisi, tapi juga rumah
megah ini. Tapi, Dia tidak melalui pintu gerbang. Di sana
ada penjaga keamanan yang berjaga-gaja. Cara Dia
meninggalkan rumah megah itu adalah melalui sebuah
lubang tempat pembuangan limbah rumah tangga
seukuran badannya di sudut taman. Sebuah lubang yang
berakhir di sebuah selokan di pinggir jalan. Setelah
keluar dari lubang, Dia naik di selokan yang terbuat dari
semen, menuju ke jalan. Dia kemudian lari terbirit-birit.

24
tentang tanah
Dia memang ketakutan, karena baru saja melihat
monster. Hanya Dia yang melihat monster itu.

25
06.
Kesepian
Dengan susah payah akhirnya Dia sampai di
rumahnya yang serupa gubuk reot di kompleks yang
kumuh pagi harinya. Dia akhirnya tak jadi bekerja
sebagai tukang taman. Di sana ada monster tak berwajah
dan tak berhati menjadi penguasa.
Pagi ini Dia menemui ibunya yang sedang terbaring
lemah karena penyakit TBC. Waktu dia tiba ibunya
belum bangun. Barangkali karena tadi malam telah
bergelut hebat dengan batuk-batuk keringnya. Di
samping bantal tempat ibunya meletakan kepala, Dia
melihat sapu tangan dengan bercak-bercak darah yang
telah mengering. Dia memandang ibunya dengan
perasaan iba.
Sama seperti pagi-pagi yang lain, kali ini Dia juga
tampak tak sehat, karena pemandangan yang
mengerikan tadi malam, kelelahan berlari dan berjalan
dari rumah megah itu dan keadaan ibunya yang
memprihatinkan. Meski begitu Dia tidak tidur lagi
lazimnya orang yang tak tidur betul pada malam
harinya. Dia harus ke luar rumah untuk mencari makan.
26
tentang tanah
Hanya mencuci muka dan mulut, Dia keluar rumah
lagi. Sebenarnya Dia harus berbicara dengan ibunya, tapi
karena ibunya masih tertidur, Diapun keluar rumah
tanpa pamit. Dia hanya sampai di pintu kamar tidur
menatap ibunya dengan rasa iba.
Dia melangkahkan kakinya di tepi jalan raya yang
sibuk dengan kendaraan bermotor dari berbagai jenis,
model dan harganya. Dia belum tahu ke mana ia akan
mengarahkan kaki dan niatnya.
Di sebuah halte yang tak banyak ditunggui orang Dia
duduk sejenak. Di situ hanya ada seorang tua renta
duduk memojok di bangku halte. Si orang tua renta ini
tak bereaksi dengan kehadiran Dia. Dia
memperhatikannya. Tatapan si orang tua renta lurus ke
depan dengan mata yang sayu. Si orang itu tetap diam
mematung. Kameja dan celana yang dikenakannya
tampak kumal serasi dengan wajahnya yang keriput.
Mulutnya yang terkatup tidak lagi rata. Dari mulutnya
tampak sekali gigi banyak yang sudah tanggal.
Rambutnya tampak ubanan dan tidak rapi. Telapak
kakinya beralaskan sendal jepit yang kotor dengan
beberapa bagian yang tampak menipis. Agaknya dia
tidak sedang menunggu bus untuk pergi ke suatu
tempat. Ia sedang dalam kesepian.
Dia pun tampak tidak berniat untuk berbicara
dengannya. Terlalu banyak beban di benaknya. Dia juga
seperti orang tua renta itu duduk di pojok yang lain di
bangku halte. Tatapan Dia tampak lurus ke depan, juga
dengan mata yang sayu. Pakaian Dia tampak tak rapi,
begitu juga dengan rambut dan wajahnya. Kini Dia
duduk di pojok bangku halte dalam kesepian.
27
Dua orang yang sedang duduk di halte itu dari
kejauhan serupa patung. Mereka menatap lurus ke
depan. Mobil dan sepeda motor yang lalu lalang di
depan mereka seolah-olah hanya angin lalu saja yang tak
berbentuk. Sinar matahari pagi tak berhasil membuat
wajah ke dua orang ini ceria. Dunia mereka rasa hanya
ada mereka berdua.
Kesepian memang membuat siapa saja menjadi
sendiri dalam jagat raya. Memang, di pojok yang satu
bangku halte ada orang tua renta. Tapi, karena si orang
tua renta juga sedang kesepian dan tetap diam membisu,
maka pandangan dan perasaan benar-benar menjadi
sepi, seolah-olah Dia terlempar dari dunia luar ke halte
itu begitu saja. Tidak ada teman, harapan, kesempatan
dan masa depan. Pandangan Dia yang tetap lurus ke
depan tak berujung. Semua yang Dia lihat akhirnya
menjadi tak berbentuk. Yang berbentuk kini hanya
dirinya dan si orang tua yang sedang kesepian. Dia kini
serupa berada di padang gurun yang luas. Tak ada siapa-
siapa di sekitarnya, selain pasir, garis batas bumi yang
tak tahu di mana ujungnya, juga orang tua renta.
Dia kini benar-benar terlempar jauh dari dunia
nyatanya. Dunia yang kini dia tempati sangat asing.
Orang tua renta memang bersamanya, tapi tetap diam
membisu. Angin yang mendesau, permukaan bumi yang
rata dan tanpa batas, membuat Dia menjadi kosong, sepi,
sunyi dan sendiri.
Angin yang lewat berulang-ulang, kemudian
menyusul suara entah milik siapa, menyapanya dalam
kesendirian. Suara yang baru kali ini Dia dengar, tampak
berwibawa. Sebuah suara yang tak berjenis kelamin.

28
tentang tanah
Awalnya terkejut, tapi Dia akhirnya menjadi tertarik
mendengar suara yang datang tiba-tiba itu.

Suara berkata:
Kesepian, adalah milik semua orang yang pernah hidup
dalam keramaian. Entah sebagai peramai maupun yang
diramaikan. Kau, Dia, adalah yang mengalami tapi tak
menikmati keramaian itu. Peramai yang membuat duniamu
menjadi ramai, kebanyakan tak bermaksud baik. Mereka
membuat pesta kehidupan untuk mengacaukan hidupmu. Kau,
Dia ada dalam keramaian itu. Tapi sesungguhnya keramaian
itu bukan untuk kau nikmati. Kau, Dia hanya pelengkap untuk
suatu keramaian yang sesat. Di duniamu tidak ada keramaian
yang benar. Semua, akhirnya adalah kesesatan yang hanya
membawa kau menderita karena miskin, sakit penyakit,
marginalisasi, eksploitasi dan diskriminasi. Kau, Dia, akhirnya
bukan penikmat kehidupan, meski awalnya, hidup adalah
untuk semua orang.

Hanya Dia yang mendengar suara ini . Orang tua di


pojok lain bangku halte bisa dipastikan tak
mendengarnya. Buktinya, ia tak bereaksi sama sekali. Si
orang tua tetap diam membisu.

29
07.
Soal Bangun Pagi
Setelah suara berhenti bicara, Dia kembali melihat
berbagai materi dan makhluk hidup. Tapi, ketika Dia
memalingkan pandangannya ke pojok lain di bangku
halte itu, orang tua renta yang duduk di situ telah
menghilang. Pojok bangku halte tampak kosong, tak ada
siapa-siapa. Dia memandang ke segala arah untuk
mencari si orang tua, tapi tetap tak ada. Sementara
perutnya sekarang terasa lapar. Dia pun melanjutkan
perjalanannya, bukan untuk segera makan, melainkan
masih untuk mencari makan.

SEMENTARA di sebuah pesawat radio seorang penyiar


membacakan berita. Dia memang tak mendengar berita
itu. Begini isi beritanya:
“Pasar saham terguling, harga surat utang alias obligasi
anjlok, reksa dana yang relatif aman pun ikut negatif. Ini
semua bukan tanpa sebab. Lantas apa? Hantu inflasi telah
meneror pasar modal. Begitu parahkan inflasi Indonesia di
mata investor?

30
tentang tanah
“Berawal dari 1 April, yang beken dengan April Mop-
nya, dengan adanya kejutan ke pelaku pasar. Badan Pusat
Statistik (BPS) mengumumkan inflasi Maret 2008 sebesar
0,95%. Laju inflasi tahun kalender (Januari-Maret) 2008
sebesar 3,41%, serta laju inflasi year on year (Maret 2008
terhadap Maret 2007) sebesar 8,17 persen.
“Pelaku pasar langsung shock melihat angka-angka
tersebut. Analisis pun mulai dilakukan. BPS menyebutkan
kenaikan harga komoditas pangan sebagai pemicu kenaikan
inflasi. Harga komoditas memang terus naik seperti CPO,
gandum, kedelai.
“Tapi harga komoditas energi yang menjadi salah satu
penyebab pelemahan ekonomi global belum dimasukkan
pemerintah. Ini bukan salah BPS. Karena memang
pemerintah belum melakukan penyesuaian terhadap
kenaikan harga minyak dunia terhadap harga BBM dalam
negeri sehingga tidak ada penghitungan inflasi akibat harga
minyak.
“Rohma Fitri Murniati, Head of High Yield Instrument
BNI Securities dalam perbincangannya dengan detikFinance,
Jumat (4/4/2008) mengatakan, kondisi inilah yang membuat
pasar bereaksi negatif, karena disaat negara lain sudah
menyesuaikan harga BBM, Indonesia belum. Sehingga pasar
melihat inflasi bisa lebih tinggi dari angka BPS jika
pemerintah sudah menyesuaikan harga BBM dalam negeri
dengan harga minyak global.
“Menurut Fitri, pasar lebih rasional melakukan analisis
inflasi. Dengan cadangan minyak dunia yang makin tipis,
tren harga minyak dunia akan bertahan di atas US$ 100 per
barel. "Sulit untuk harga minyak kembali ke level US$ 70
atau US$ 80 per barel, kemungkinan terendah yang sudah
dianalisa pasar di level US$ 85-90 per barel," katanya.
“Masalahnya, pemerintah saat ini masih memakai
asumsi harga minyak APBN 2008 pada level rendah US$ 65
per barel, karena asumsi baru di level US$ 95 per barel belum
disetujui DPR. Kenaikan harga minyak inilah yang membuat
beban subsidi BBM dan listrik membengkak.

31
“Tapi saat ini pemerintah lebih memilih menaikkan
anggaran subsidi daripada memberikan kenaikan beban
BBM ke masyarakat. Kebijakan populis inilah yang membuat
pasar cemas karena pemerintah tidak akan kuat akan
menanggung beban subsidi di APBN. Bukan apa-apa,
anggaran negara sangat cekak, jika terus-terusan
menanggung subsidi yang besar, APBN bisa jebol.
“Fitri mengatakan, tidak hanya Indonesia yang
mengalami kenaikan inflasi tapi semua negara karena
penyesuaian harga komoditas pangan dan energi. Tapi
Indonesia baru melakukan penyesuaian harga komoditas
pangan dengan kenaikan harga minyak goreng, kedelai dan
tepung belum ada penyesuaian di harga BBM.
“Jadi pasar melihat inflasi Indonesia sebenarnya belum
angka yang sebenarnya dibanding negara lain. Akibatnya,
investasi di Indonesia dinilai masih berisiko tinggi dibanding
negara emerging market lainnya.
“Fitri mengakui mau tidak mau pemerintah memang
harus melakukan penyesuaian harga BBM dalam negeri agar
anggaran negara sehat.
“Fitri memperkirakan selama belum ada penyesuaian
inflasi yang sebenarnya, investor asing masih merasa belum
nyaman berinvestasi di Indonesia.
“Pasar memperkirakan target inflasi pemerintah sebesar
6 persen plus minus 1 bakal terlampaui. Tradisi pencapaian
deflasi di bulan April pun bisa menguap karena tingginya
ancaman inflasi.
“Jadi jangan heran jika saham atau obligasi masih akan
mengalami teror inflasi. Berhati-hatilah.”1

DAN, di ujung sebuah pasar Dia berdiri. Dia melihat


banyak orang sedang memburu hidup. Seekor anjing
yang lebih tampak serupa boneka kumal karena kudisan

1
http://www.detikfinance.com, Jumat, 04/04/2008 12:05 WIB

32
tentang tanah
melintas di depannya. Anjing itu hanya memandang Dia
sesaat, setelah itu pergi lagi. Tak tahu ke mana.
Dia melangkahkan kakinya masuk lebih ke pasar
lebih dalam lagi. Suara gaduh, lalulang manusia dan bau
amis ikan laut yang digelar untuk dijual membuat Dia
merasa kembali ke kehidupan nyata. Di pasar itu
akhirnya Dia makan dan memperoleh sedikit makanan
untuk ibunya di rumah. Tak tahu dari mana dan dengan
cara bagaimana Dia memperoleh makanan untuk satu
kali ini.
Dia pulang ke rumah dengan makanan yang
dibungkus dengan daun pisang untuk ibunya. Di rumah,
ia melihat ibunya sudah bangun dan berdiri meski tubuh
tampak lemah dan pucat. Batuk-batuk kering tetap
keluar dari mulut ibunya. Dia memberikan makanan
yang dibungkus dengan daun pisang kepada ibunya.
Ibunya pun segera mengambil, membuka dan memakan
makanan itu. Sebelumnya, Dia dan ibunya saling
menanyakan kabar.
Dia pergi ke kamarnya. Di sana Dia membaringkan
tubuh di tempat tidur yang tak berkasur sehingga kasar.
Badannya langsung bersentuhan dengan tikar, tanpa alas
kain. Bantal tempat ia menaruh kepala cuma satu dan
kumal. Sungguh sebuah kamar untuk orang miskin.
Tapi, kamar ini telah menjadi akrab dengan Dia.
Meski badan terbaring tapi Dia tak bisa tertidur. Mata
tak terpejam. Pikirannya mengingat kejadian yang
dialaminya tadi malam di rumah megah dan suara entah
milik siapa di halte beberapa waktu tadi. Sampai saat ini,
Dia belum bisa mendapatkan jawaban dari semua yang
dialaminya.
33
Dia tetap membaringkan tubuhnya di tempat tidur,
sampai…
Dia, banyak bangun pagimu yang tak sehat. Padahal, pagi
telah diciptakan oleh Sang Pemilik Hari untuk permulaan
hidup. Di pagi hari, kau mestinya akan disapa dengan sebuah
harapan yang segar dalam menyonsong masa depan. Pagi,
telah dikodratkan untuk awal siang, sore dan malam. Di pagi
hari itu mestinya, semua manusia memulai lagi aktivitas
hidupnya. Harapan semua manusia, bahwa siang, sore dan
malam akan bermakna bagi kehidupan selanjutnyam, bermula
di pagi itu. Tapi, penderitaanmu, karena kemiskinan dan sakit
TBC ibumu telah membuat bangun pagimu tak sehat.
Sebenarnya, bangun pagimu yang tak sehat itu hanyalah
dampak fisik yang nampak dari berbagai persoalan hidup yang
kau alami. Kau, Dia dan ibumu, memang tak pernah
menginginkan hidup yang menderita. Tapi, kau harus tahu,
hidupmu, hidup ibumu, dan hidup manusia-manusia polos dan
miskin yang ada di kompleksmu yang kumuh ini adalah hasil
kejahatan dari monster-monster yang kau jumpai dalam
mimpimu, di kantor-kantor, di gereja, dan di rumah megah itu.
Kau, ibumu dan manusia-manusia polos lainnya di kompleks
yang kumuh ini, hidup di bawah struktur-struktur yang tidak
adil.
Monster-monster di mana saja itu telah dengan sadar
merancang dalam sebuah strateginya yang jahat untuk
menjadikan kau, ibumu dan manusia-manusia polos lainnya di
kompleks ini, tetap sebagai manusia yang miskin, sakit dan
tanpa harapan. Yang mereka inginkan, sekali kau terjebak
dalam struktur-struktur itu, kau tidak bisa lagi keluar darinya
untuk suatu hidup yang sehat, nikmat dan sejahtera. Kau
harus berbuat sesuatu!
34
tentang tanah
Begitu suara entah milik siapa dan dari mana yang
Dia dengar dalam mimpinya. Dia tertidur dalam
kelelahan dan kepenatan. Hanya Dia yang bermimpi
begitu.

35
08.
Kematian
Setelah mendengar suara itu, Dia pun terlelap. Hari
hampir sore. Dia cukup lama tidur dalam kelelahan.
Setelah bangun dari tidur siang, Dia keluar dari
kamar. Ia senang melihat ibunya. Meski wajah ibunya
tampak pucat, tapi Dia tak disambut dengan batuk-batuk
kering. Ketika Dia bangun, ibunya berada di bagian
rumah yang sesekali dijadikan tempat memasak. Tak
tampak seperti dapur lazimnya di rumah-rumah biasa
karena langsung terhubung dengan ruang tengah rumah
yang serupa gubuk reot ini. Dia pun segera ke sana
menemui ibunya. Di sana ibunya sedang membereskan
alat-alat masak yang akhir-akhir ini jarang dipakai.
Ibunya, tampak kuat berdiri.

Tahu dengan kehadiran Dia, ibunya berkata:


Dia, kita telah jarang menggunakan alat-alat yang
sebenarnya dibuat untuk memasak ini. Itu karena kita tidak
punya bahan-bahan untuk dimasak. Tapi, anehnya, kita masih
bisa makan, meski tidak teratur. Kau pergi entah ke mana,

36
tentang tanah
pulang dengan membawakan ibu makanan. Ibu juga tak tahu
dari mana asalnya makanan itu.
Kini, saatnya, kita memikirkan ulang soal makan kita. Ibu
tidak lagi bekerja, demikian juga dengan kau, tak ada pekerjaan
tetap, sehingga jelas susah mencari makan. Sudah dari dahulu,
dari waktu kau masih bayi, ibu telah akrab dengan susahnya
mencari makan. Kau, hidup dari kesulitan-kesulitan itu. Dan,
anehnya, kau tak seperti anak-anak yang lain, mengalami
busung lapar, serupa mayat berjalan. Dan, barangkali, meski
begitu, ibu harus minta maaf padamu, Dia bahwa hidupmu
susah, tak seperti anak-anak-anak yang lain, bisa bersekolah
sampai kelar, tidak susah makan dan punya ini dan itu. Ibu
tidak berhasil menjadi ibu yang baik. Ibu harus minta maaf
untuk semua itu.

Dia balas berkata:


Kenapa ibu bicara begitu? Bukankah sudah cukup lama
kita begini, sehingga akhirnya kita harus menerimanya sebagai
suatu kebiasaan. Ibu tak perlu minta maaf. Aku tak pernah
memilih sebelumnya lahir dari rahim milik siapa. Hidup harus
dijalani. Sang Pemilik Kehidupan memang telah menentukkan
aku dilahirkan oleh ibu. Bahwa aku telah dibiarkan oleh ibu
tumbuh di rahim selama sembilan bulan dan tidak digugurkan
seperti yang dilakukan oleh ibu-ibu yang lain, itu adalah suatu
keajaiban. Dan bahwa, ketika aku juga harus hidup dengan ibu
dalam keadaan miskin, di rumah dan kompleks yang kumuh
ini, itu adalah suatu keuntungan bagiku. Aku ikhlas
menerimanya. Ibu jangan berkata bahwa ibu tidak bisa menjadi
ibu yang baik. Bukti kebaikan ibu, pertama-tama, bahwa ibu
telah menjaga Dia dalam segala keberadaan ibu, sehingga Dia
bisa seperti ini. Tidak buru-buru mati sebelum melihat dunia.

37
Ibunya berkata lagi sambil mengambil posisi duduk
di sebuah kursi tua:
Kalau begitu, tepatnya ibu harus mengucap terima kasih
kepadamu. Bahwa, kemiskinan dan penderitaan ini, tidak
membuat kau Dia, menjadi sebagai penjahat. Tidak, karena kita
tidak punya uang lantas kau mencuri, membunuh atau seperti
orang-orang muda lainnya merelakan tubuh mereka tercerai-
berai bersama bom dalam sebuah aksi bom bunuh diri.
Dan, kau, Dia tahu keadaan ibu akhir-akhir ini. Bahwa ibu
mengidap penyakit TBC, dan meski masih bisa disembuhkan
tapi karena kita tidak punya uang, maka ibu harus siap
menderita bahkan rela mati. Sebenarnya, bukan penyakit TBC
ini yang mematikan ibu, tapi keadaan kita yang miskin. Dan
kemiskinan kita itupun, tidak jadi dengan sendirinya. Ibu tidak
tahu menyebut apa hal-hal yang membuat kita miskin, yang
jelas, ini terkait dengan kerakusan manusia dalam meraih dan
mempertahankan kekuasaan.
Ibu sudah lelah, dan barangkali ibu perlu istirahat yang
panjang. Ibu yakin, kau Dia, sudah bisa menjaga dirimu. Asal
kau ingat, bahwa hidup harus diperjuangkan, maka ibu yakin
kau bisa menjalani kehidupan ini, sampai kau mencapai
kemerdekaan hidup. Ibu akan pergi…

Ibunya tak mampu meneruskan bicaranya lagi. Ia


tampak lemah sekali dan akan jatuh ke lantai. Dia
mengetahui itu, sehingga segera menopangnya agar
tidak terjatuh ke lantai tanah. Dia segera menggandeng
ibunya dengan maksud membawa ke kamar tidur. Tapi,
tubuh ibunya yang lelah terasa berat sekali. Dia tak
mampu menggandengnya. Tubuh ibunya tetap di kursi
tua. Kepalanya terlentang di sandaran kursi. Matanya
melotot besar. Mukanya menjadi pucat membiru dan
38
tentang tanah
kedua kakinya merentang. Akhirnya, dengkuran dan
satu tarikan nafas panjang menandakan sebuah
kematian. Ibu Dia mati.

Tuhan, kenapa Kau tega menambah beban hidupku!! Ibuku


telah Kau ambil dari kehidupanku!! Teriak Dia.

Dia yang cuma sendiri di rumah reot serupa gubuk


itu berteriak histeris. Ia menangis menyelesali kepergian
ibunya, dan menangisi hidupnya yang kini sebatang
kara. Meski sebelumnya Dia tahu bahwa suatu saat ia
akan berpisah dengan ibunya, tapi bagi Dia peristiwa ini
terlalu cepat datang. Dia kini harus hidup sendiri dalam
kemiskinan dan penderitaan. Tangis yang dieskpresikan
dalam teriakan histeris, juga menggugat Tuhan. Dia
mempertanyakan keadilan Tuhan, bahwa hidupnya yang
sudah menderita, kenapa ditambah lagi dengan
kesedihan karena kepergian ibunya tercinta. Dia
berteriak keras mempertanyakan keadilan Tuhan.
Kenapa ibunya harus secepat itu pergi?

Tuhan, di mana keberpihakan-Mu padaku?!

Dalam kegalauan, seketika, selain ibunya yang telah


menjadi mayat, semua yang dipandangnya berubah
menjadi gelap dan pekat. Tak ada lagi yang berbentuk.
Bumi kini menjadi rata, hanya garis batas bumi yang
entah di mana ujungnya yang bisa dilihatnya. Sementara
gumpalan awan di langit tampak gelap dan bergerak
dengan cepat. Lutut kaki Dia jatuh menyentuh tanah. Dia

39
tampak seperti orang yang sedang tersungkur karena
kalah perang.

Sebuah suara yang pernah dia dengar di halte dan


waktu di tempat tidur kembali berkata-kata:
Dia, kini kau akhirnya benar-benar hidup dalam
kesendirian dan kesepian. Ibumu telah pergi untuk selamanya.
Ia, akhirnya pergi meninggalkan kau dalam kesendirian.
Ibumu telah mati, tapi dia tidak kalah. Bahwa dari
kehidupannya yang miskin, ia telah berbuat banyak untuk kau.
Kematian, datang dan pergi begitu saja. Tak ada orang
yang bisa menghindar dari peristiwa itu. Kematian adalah
misteri. Kematian juga adalah akhir sementara pertarungan
antara kebaikan dan kejahatan, Tuhan dan setan. Sehingga
kadang yang tampak pada kita bahwa kematian adalah pilihan.
Kau pernah melihat dan bermimpi tentang pembunuhan. Dan
sesungguhnya kematian karena pembunuhan adalah pekerjaan
setan. Tapi setan hanya bisa menghentikan nafas kehidupan
manusia, namun tidak bisa menghembuskan nafas kehidupan
pada siapapun. Sehingga, mestinya kematian ibumu adalah
kehidupan untukmu. Dan, bahwa ibumu mati karena penyakit
TBC yang sebenarnya bisa sembuh hanya karena ibumu miskin
dan berada dalam struktur sosial yang terpinggirkan, adalah
tanda akhir dari pertarungan antara kebaikan dan kejahatan.
Ibumu telah mengakhiri pertarungan itu dengan sebuah
kemenangan, yaitu bahwa kau masih bisa hidup.
Kini, kaulah yang mestinya merayakan kemenangan ini.
Dan suatu kemenangan bukanlah akhir dari perjuangan. Kau
harus merayakan kemenangan ini dengan terus melakukan
perjuangan. Kapan perjuangan itu berakhir, Tuhanlah yang
tahu jawabannya.

40
tentang tanah
Dalam beberapa hitungan menit Dia terpusat
mendengar suara itu. Dia tak mencari tahu dari arah
mana dan siapa pemilik suara itu, karena Dia tahu suara
itu tak berjenis kelamin dan tak berwajah. Hanya Dia
yang mendengar suara itu.

41
09.
Sepucuk Surat
Apapun kata suara itu tentang kematian, Dia tetap
saja bersedih. Upacara pemakaman telah usai. Orang-
orang sekompleks yang menghadiri acara pemakaman
telah pulang ke rumahnya masing-masing. Jenazah
ibunya telah dimakamkan di tempat pemakaman umum,
tak jauh dari kompleksnya. Kini, Dia telah berada di
rumahnya yang serupa gubuk reot. Hanya Dia sendiri di
sana. Semua tampak sepi. Dia merasa dirinya hanya
sendiri di dunia.

Seminggu kemudian
Bangun pagi Dia masih seperti yang dulu. Wajah
pucat, rambut agak acak dan sisa-sisa keringat dingin
masih kentara di leher dan wajahnya. Turun dari tempat
tidurnya, Dia spontan memanggil nama ibunya. Namun
setelah melihat pita hitam yang terpasang di atas pintu
rumah meliuk-liuk diterpa angin pagi, Dia baru sadar
bahwa ibunya telah tiada. Sesaat Dia kembali teringat
ibunya yang tercinta.
42
tentang tanah
Seperti pagi-paginya yang lain, pagi ini Dia hanya
mencuci mukanya dengan air yang tak terjamin
bersihnya di bagian belakang rumahnya yang serupa
gubuk reot. Baju yang dipakai semalam waktu tidur, tak
diganti. Baju itu juga yang dikenakannya untuk pagi,
siang dan malam lagi. Sehingga, bajunya tampak kumal,
dekil dan kusut.
Habis cuci muka, Dia hanya minum air putih dingin
tanpa dicampur gula, teh atau kopi apa lagi susu. Tak
ada duduk-duduk santai. Dia langsung menuju ke ruang
tengah. Sesaat dia menatap lagi pita hitam yang meliuk-
liuk, yang terpasang di atas pintu rumah. Dia mengingat
lagi ibunya yang telah pergi. Dia merasa sepi sekali pagi
ini.
Dia yang sedang dalam kesepian dikejutkan dengan
suara orang memanggil dari arah pintu rumah. Dia
tersentak. Terdengar suara seorang yang tak dikenal
memanggil-manggil namanya. Dia pun bergegas menuju
ke pintu rumah yang masih tertutup. Dia menyahut dan
membukakan pintu. Tampak di hadapannya seseorang
memegang sepucuk surat. Seorang pengantar surat dari
Kantor Pos. Sebelum menyerahkan surat yang
dibawanya, si pengantar surat meminta kepastian bahwa
alamat yang dituju si pengirim surat benar di rumah ini.
Si pengantar surat memperlihatkan alamat surat yang
dituju oleh si pengirim. Merasa yakin bahwa surat itu
ditujukan kepada dirinya, Dia pun menyahut
membenarkan. Mendengar jawaban dari Dia, si
pengantar surat langsung menyerahkan surat itu kepada
Dia. Selesai menyerahkan surat si pengantar surat minta

43
permisi untuk pergi. Dia membalas dengan
mengucapkan terima kasih.
Dia duduk di sebuah kursi yang hampir patah
kakinya.
Amplop surat itu tertulis begini:
Kepada Yth:
Dia Keter
d/a: Jln. Sengsara No. 13
Kel. Caberes, Kec. Cagagah – Kota Suka-suka

Dia membaca surat yang ditulis dengan tangan. Begini


isinya:

Makassar, 2 Juni 2008

Untuk Dia anakku


Aku, ayahmu yang tak bertanggungjawab ini, telah
mendengar kabar kematian ibumu dari salah seorang yang
baru datang dari kotamu. Orang itu tinggal tak jauh dari
kompleksmu. Meski barangkali tak layak, tapi ijinkanlah aku
mengucapkan turut berbelasungkawa atas kepergian ibumu.
Aku berharap, kau, Dia dalam keadaan yang sehat, meski
kesedihan atas kepergian ibumu, masih kau rasakan sampai
sekarang. Aku maklum dengan keadaanmu yang menyedikan
itu. Kau juga sekarang pasti dalam keadaan kesepian.
Sebenarnya, aku malu menyebut diri sebagai ayahmu.
Karena, kau tahu, dan karena itu kau juga pasti marah padaku,
bahwa aku telah meninggalkan kehidupanmu dan ibumu dalam
keadaan menderita karena kemiskinan dan aib. Kau, Dia lahir
tanpa disambut oleh tawa seorang ayah, lazimnya anak-anak
yang lain. Aku pantas kau cap sebagai ayah yang tak
44
tentang tanah
bertanggung jawab atau pengecut. Aku akan maklum dengan
itu.
Aku sadar bahwa apa yang kubuat dahulu, yaitu lari dari
kenyataan sebagai tindakan yang tidak beradab. Meski aku
akui, bahwa kau sebenarnya adalah bukti cinta aku dan ibumu.
Tapi, bukannya aku membela diri, keegoisan keluargaku, ayah
dan ibuku yang lebih mementingkan nama baik keluarga untuk
masyarakat kelas mereka, ketimbang cinta ibumu, telah
memisahkan kita. Sekali lagi ini bukan dalam rangka membela
diri, karena kalau aku laki-laki yang bertanggungjawab, maka
mestinya cinta yang telah berbentuk dalam rahim ibumu itu,
akan mengalahkan gengsi dan keegoisan keluargaku.
Dia, anakku,
Cerita tentang penderitaan ibumu dalam membesarkan
kau, dan penderitaanmu dalam menjalani kehidupan
bersamanya, sebenarnya telah lama aku dengar dari orang-
orang kotamu yang mengenal kau dan ibumu yang datang ke
Makkassar ini. Tapi terus terang saja, bahwa aku akhirnya
benar-benar telah menjadi laki-laki yang tak bertanggungjawab
karena kegemerlapan hidupku di sini. Sehingga, segala cerita
sedih tentang kau dan ibumu lalu begitu saja, dan akhirnya
memang tak memperngaruhi aku untuk mencari kau dan
ibumu. Aku benar-benar telah tenggelam dalam hidupku.
Nanti, beberapa hari lalu, ketika aku dinyatakan oleh
dokter potisif mengidap penyakit AIDS, baru aku sadar bahwa
ternyata hidup dalam kegemerlapan hanya sementara.
Kegemerlapan hidup itu bahkan kadang lalu begitu saja tak
membekas, ketika hidup kita direngut dengan penyakit, seperti
aku. Aku justru menjadi iri dengan kehidupan ibumu, yang
meski telah meninggal karena penyakit, tapi telah berbuat
banyak untuk kehidupanmu. Ia telah mengabdikan hidupnya

45
untuk melanjutkan kehidupanmu. Aku, apa yang telah aku
perbuat dengan kehidupanku yang kotor ini?

Dia, anakku,
Kehidupanku di dunia ini, tinggal menunggu waktu.
Ketika mengetahui bahwa AIDS akan membunuh hidupku, aku
merasa telah mati. Aku telah mati masa depan. Tambah lagi,
selama hidupku, aku tak berkarya, berbuat sesuatu yang baik
untuk orang lain, terutama untuk ibumu dan kau.
Kehidupanku yang glamour ini harus berakhir dengan tragis.
Kini, aku sendiri dalam penantian terhadap kematian. Aku
malu bertemu denganmu, karena aku memang tak layak di
hadapanmu. Meski aku tidak tahu persis kehidupanmu
sekarang, tapi aku bisa pastikan bahwa kehidupanku lebih sepi
darimu. Aku menjadi sepi, karena kegemerlapan hidup yang
aku agung-agungkan dahulu, justru yang membunuhku.
Dulu, untuk menghidar dari kesepian, aku minum-minum,
pakai narkoba dan berfoya-foya dengan sembarang perempuan.
Tapi kini, semua keramaian itu akhirnya menjadi monster
yang menakutkan. Aku akhirnya dibunuh oleh keramaian itu.

Dia, anakku,
Ini adalah suratku yang pertama dan terakhir untuk kau.
Sengaja aku tak menuliskan di mana alamat lengkapku,
sehingga kau tak perlu membalas suratku. Kau, tak perlu
mencari aku, karena aku, ayahmu yang tak bertanggungjawab
ini telah mati. Anggaplah demikian. Percuma kita berjumpa
dalam keadaan yang begini.
Pesanku untukmu, berjuanglah untuk hidup, untuk
menjadi orang yang tak diperbudak oleh siapapun, tak
terkecuali dirimu sendiri. Jadilah dirimu, jangan jadi diriku.
Dan, satu yang pasti, aku menyayangimu.

46
tentang tanah
Salam

Aku, ayahmu.
Hanya dia yang membaca surat itu.

47
10.
Di Sebuah Perempatan Jalan
Kepergian ibunya, telah cukup membuat Dia sedih
dan sepi. Juga, isi surat dari sesorang yang menyebut diri
sebagai ayahnya, membuat Dia bertanya-tanya kembali
pada dirinya tentang hakekat hidup. Kata-kata ibunya
sesaat sebelum pergi untuk selamanya, bahwa hidup
harus diperjuangkan, dan pesan dari surat itu untuk
tidak menjadi budak siapapun, sedikit banyak memberi
semacam wawasan kepada Dia untuk membuat refleksi
tentang makna dan arti hidup yang sesungguhnya.
Hidup ternyata adalah pilihan dan perjuangan, gumam
Dia. Dan, bahwa tidak semua orang yang bernafas, bisa
disebut hidup dalam pengertian yang sesungguhnya
yaitu nikmat dan sejahtera. Dia, dalam perenungan itu
datang pada suatu kesadaran bahwa kadang hidup bisa
berarti karena ada kebebasan dan kemerdekaan.

KORAN yang terbit di kota Dia hari ini antara lain


memberitakan tentang serangan udara Israel yang
menewaskan 2 anggota Hamas. Dia memang tak
membaca berita itu. Isi beritanya seperti ini:
48
tentang tanah
Israel melancarkan serangan udara atas Gaza dan menewaskan dua
anggota kelompok militan Hamas, Jumat (11/4) pagi. Aksi ini merupakan
serangan balasan atas serangan pejuang Palestina sehari sebelumnya di
sebuah depot BBM.
Selain dua orang tewas, serangan udara itu juga
mengakibatkan empat orang lainnya luka berat, demikian
pernyataan kelompok Hamas. Serangan itu dilancarkan sehari
setelah Perdana Menteri Israel Ehud Olmert berjanji akan terus
menyerang Hamas sampai kelompok itu tidak mampu lagi
menyerang warga sipil Israel.
"Hamas bertanggung jawab atas serangan dari Gaza dan harus
menanggung konsekuensinya," kata Olmert, Kamis (10/4). Sehari
sebelumnya, para pria bersenjata Palestina membunuh dua warga
Israel di Nahaz Oz, satu-satunya depo BBM menuju Gaza.
Israel melancarkan serangan udara atas Gaza dan menewaskan
dua anggota kelompok militan Hamas, Jumat (11/4) pagi. Aksi ini
merupakan serangan balasan atas serangan pejuang Palestina sehari
sebelumnya di sebuah depot BBM.
Selain dua orang tewas, serangan udara itu juga
mengakibatkan empat orang lainnya luka berat, demikian
pernyataan kelompok Hamas. Serangan itu dilancarkan sehari
setelah Perdana Menteri Israel Ehud Olmert berjanji akan terus
menyerang Hamas sampai kelompok itu tidak mampu lagi
menyerang warga sipil Israel.
"Hamas bertanggung jawab atas serangan dari Gaza dan harus
menanggung konsekuensinya," kata Olmert, Kamis (10/4). Sehari
sebelumnya, para pria bersenjata Palestina membunuh dua warga
Israel di Nahaz Oz, satu-satunya depo BBM menuju Gaza.2

Di sebuah perempatan jalan kotanya, Dia berpikir-


pikir tentang perenungan tadi. Di perempatan jalan yang
hiruk pikuk mobil dan sepeda motor serta lalu lalang
manusia dengan segala kepentingannya, kalau dilihat
sepintas mirip grafik-grafik yang kacau, karena naik
turun yang tidak beraturan. Dia, sekarang sedang
menyandarkan tubuhnya di sebuah dinding bangunan

2
http://kompas.com, Jumat, 11 April 2008 | 15:49 WIB

49
toko. Di balik dinding, transaksi jual beli barang-barang
elektronik antara penjual dan pembeli sementara
berlansung. Nilainya barangkali mencapai ratusan juta
sehari. Dia hanya berdiri di luar toko tanpa masuk ke
dalam. Dia tidak berkepentingan dengan toko itu.
Di perempatan jalan yang ramai ini, barangkali dia
telah berdiri selama satu jam. Hari ini dan seperti hari-
hari yang lainnya, Dia tak tahu akan mengarahkan
kakinya ke mana. Karena memang Dia tak punya
pekerjaan yang tetap. Dia yang berdiri di tepi
perempatan jalan ini mirip patung kuno yang tak
terurus. Bajunya yang kumal, rambut yang acak tak
terurus, serta daki di bagian wajah dan tangan
memperkuat kesan itu. Dia serupa patung hasil kreasi
seorang pematung terkenal untuk memperingati
penderitaan dan kemiskinan.
Dia masih berdiri di perempatan jalan sambil
menyandarkan tubuh di dinding toko, tatkala ia melihat
seorang perempuan tua renta dibalut baju yang
compang-camping beralaskan sendal jepit yang kotor
dengan beberapa bagian yang tampak menipis mengais-
ngais tempat sampah yang barangkali telah seminggu
tidak diangkat oleh para petugas kebersihan kota. Bibir
perempuan tua ini tampak tidak rata dan masuk ke
dalam. Kentara sekali banyak giginya yang telah tanggal.
Seketika Dia teringat orang tua renta di halte beberapa
waktu yang lalu.
Dia tidak menegurnya. Dia terlalu sibuk melihat-lihat
manusia dan kendaraan bermotor dari segala jenis yang
lalu lalang tanpa permisi di depannya.

50
tentang tanah
Tiba-tiba angin kencang mirip badai mengacaukan
semua yang ada di hadapannya. Gedung-gedung tinggi
yang hampir mencapai awan, seketika hilang tak
berbekas. Gumpalan awan yang sebelumnya berwarna
putih cerah, kini menjadi hitam pekat dan bergerak
dengan cepat, mirip kepala monster yang sedang
mengejar mangsa. Dia, dalam keterkejutan merasa
berdiri di gurun yang luas dengan garis batas bumi yang
entah di mana ujungnya. Semua yang Dia lihat akhirnya
menjadi tak berbentuk. Yang berbentuk kini hanya
dirinya dan si perempuan tua. Tak ada siapa-siapa di
sekitarnya, selain tanah, garis batas bumi yang tak tahu
di mana ujungnya, juga orang tua renta.
Dan kini, Dia melihat perempuan tua renta yang
sebelumnya berpakaian kumal dengan sendal jepit yang
kotor dengan beberapa bagian pinggirannya yang
menipis berubah menjadi seorang yang sehat dengan
pakaian putih menyilaukan. Perempuan tua itu tampak
menatap Dia dalam keprihatinan.
Mereka saling bertatapan. Dari mulut si perempuan
tua keluar kata-kata yang suaranya lembut. Katanya:
Dia, kau sudah melihat bagaimana hiruk pikuknya
manusia maupun mesin di sebuah perempatan jalan. Begitulah
hidup. Kesempatan untuk hidup ada di tengah perempatan
jalan itu. Ia bahkan bukan cuma empat pilihan, tapi, setiap
millimeter sudut dan setiap tarikan nafas hidupmu adalah
pilihan. Kalau kau, Dia kini hidup dalam kesengsaraan, itu
karena kau belum menentukan atau mengusahakan pilihan
yang sudah ada sejak kau lahir. Pilihan itu adalah kodratmu,
karena sejatinya semua manusia, sejak dia lahir adalah

51
makhluk bebas, merdeka. Kau, nanti akan disebut hidup kalau
kau bebas dan merdeka…
Belum selesai si orang tua berkata-kata, Dia
memotong dengan kebingungannya:
Tapi, bukankah karena kebebasan itulah sehingga para
monster yang jahat itu memangsa manusia-manusia polos
seperti aku dan ibuku serta orang-orang lain di kompleks
kumuh itu? Dan, itu yang kau sebut hidup? Tidak masuk akal!
Memang, hidup dalam kemiskinan dan penderitaan terasa
tidak bebas dan merdeka. Tapi, terus terang, aku tak habis
pikir, hidup ibuku yang menderita karena miskin dan
menanggung aib, disebut oleh orang yang mengaku ayahku itu
dalam suratnya, lebih berarti dari pada dia yang hidup dalam
kebebasan dengan kegemerlapan hidupnya. Begitu juga dengan
monster-monster jahat yang aku temui dalam mimpiku, di
kantor-kantor, dan di rumah megah itu.

Perempuan tua balas berkata:


Maksud aku, kebebasan yang disebut hidup itu bukanlah
kebebasan untuk melakukan apa saja terhadap orang lain,
sehingga akhirnya menghasilkan lagi kematian. Tapi, yang aku
maksudkan adalah, hidup akan disebut hidup, kalau kita
mendapat kebebasan untuk makan, tidur, berjalan, dan hidup
tenang. Dan, kebebasan-kebebasan itu, akan hidup kalau dia
menghidupkan, bukan cuma untuk dirimu tapi juga untuk
orang lain.

Dia berkata lagi:


Kalau begitu, sebenarnya kebebasan ada dalam
ketidakbebasan. Ya, karena, kebebasan itu, terikat juga pada
makna menghidupkannya. Sebab, kebebasan yang
mengakibatkan kesengsaraan dan kematian bagi orang lain,

52
tentang tanah
adalah bukan kebebasan. Itu kan yang terjadi di negara ini.
Elit-elitnya bangga menyebut bahwa negara ini adalah negara
yang bebas merdeka, tapi yang terjadi dalam kehidupan
masyarakatnya adalah pengekangan, pemerkosaan hak-hak
dasar hidup, penghisapan, peminggiran, pembedaan, sehingga
muncul kemiskinan dan penderitaan bagi rakyatnya. Mestinya
kan, kemerdekaan dan kebebasan itu bukan hanya karena
negara kita tidak lagi dijajah oleh bangsa lain, melainkan juga
bagaimana rakyatnya bebas berkreasi dengan hak-hak dasar
hidupnya.

Jawab si perempuan tua:


Tepat sekali. Memang harus seperti itu. Kau rupanya
sangat mengerti dengan apa yang aku maksudkan.
Perjuangkanlah itu…

Dia tak balas berkata. Sebuah suara benturan benda


keras mirip ledakan bom mengejutkannya. Seketika,
pandangan Dia berubah. Semua yang dia lihat kini telah
berbentuk. Di tengah perempatan jalan, dua mobil saling
bertabrakan. Tiga orang terlempar keluar dalam keadaan
menggenaskan karena berlumuran darah. Dua mobil
yang bertabrakan itu tampak tak berbentuk. Suasana
menjadi gaduh. Perempatan jalan menjadi macet. Dalam
hitungan detik, hiruk-pikuk manusia dan mesin di
perempatan jalan yang serupa grafik-grafik yang kacau
berhenti pada satu titik. Bunyi sirene mobil ambulans
dan polisi bercampur menjadi satu, menyeramkan.
Sementara, si perempuan tua yang tadinya mengais-
ngais tempat sampah, tampak merabah-rabah luka tiga
orang yang terlempar keluar dari dalam dua mobil yang

53
saling bertabrakan. Si perempuan tua sepintas menatap
Dia dengan wajah yang sedih. Hanya Dia yang melihat
itu.

54
tentang tanah
11.
Memilih
Perempatan jalan itu akhirnya memberi banyak
pelajaran bagi Dia soal arah hidup. Ini baru soal arah
belum akhir dari sebuah proses. Dalam benaknya Dia
berkata, “Benar, hidup harus diperjuangkan. Memilih
arah ke kiri yang penuh riak hidup dengan tujuan yang
belum jelas atau memilih arah kanan tanpa hambatan
dan tujuan sudah tampak jelas. Atau juga memilih arah
lurus jauh ke depan, penuh hambatan dengan
kebahagian sebagai tujuan yang masih konon. Tapi juga
tetap berdiri di pinggiran jalan hanya menjadi penonton,
tak menentukan langkah adalah juga pilihan. Ya, pilihan
untuk tidak mau berbuat hanya menunggu takdir yang
sebenarnya telah menjadi konyol di zaman gila seperti
ini.”
Diri Dia bergejolak dalam menentukan pilihan. Dia
bergejolak dengan nurani. Parahnya, Dia hanya seorang
diri. Tak ada siapa-siapa di sampingnya untuk
memberikan anjuran pilihan mana yang mestinya
dambil. Ini menjadi berat. Dia harus berperang sendiri

55
melawan banyaknya komplotan penjahat yang sesekali
siap menembak mati dirinya.
“Tapi, pilihan harus diambil, “ pikir Dia.
Tapi sekali lagi Dia bersoal pada pilihan apa yang
akan diambil. Apakah menjadi orang baik-baik, tapi
tetap miskin dan melarat atau menjadi penjahat, seperti
monster-monster dengan harapan kekayaan yang
terpampang jelas di depan mata. Menjadi pencuri,
pembunuh, penipu, dan pengedar narkoba, bisa saja dia
lakonkan demi harapan perbaikan hidup yang semu.
Kalau menjadi monster kantoran seperti yang Dia temui
dalam mimpi dan keseharian sangat tidak mungkin
sebab Dia adalah anak miskin dan melarat. Di zaman
yang sudah kesetanan seperti ini naif kalau memilih
tetap menjadi orang baik-baik dengan idealisme yang
rupanya hampir menjadi mitos itu. Benarkah?
“Mana ada orang bisa hidup dengan idealisme di
pasar dunia yang menghisap seperti ini. Mau makan
idealisme? Ha…mustahil! Tapi…??” Dia berpikir keras.
Belum selesai berpikir, Dia dikejutkan dengan sebuah
suara. Tapi suara yang datang tiba-tiba itu, bukan suara
yang biasa Dia dengar. Suara seorang laki-laki tua
dengan bunyi yang serak. Mendengar suara itu Dia
sedikit mengalami sebuah keterkejutan.

Suara serak berkata:


Dia, kau adalah anak manusia yang bebas. Kau bebas,
karena tak memiliki siapa-siapa dan milik dari siapa-siapa. Kau
harus menjadi keras seperti batu karang di lautan itu. Kau
harus menjadi kokoh seperti tembok milik para pembesar itu.
Kau harus menjadi berani seperti api yang ganas. Kau harus

56
tentang tanah
menjadi manusia yang liar. Tak usahlah kau berpikir tentang
kemanusiaan, keadilan, perdamaian, dan mimpi-mimpi
kehidupan yang lain. Kau Dia sudah cukup menderita karena
kelemahanmu hidup dalam kepatuhan kepada nurani. Kau
jangan menjadi budak kehidupan. Kau harus menjadi penguasa
dan pengendali kehidupanmu. Kau harus bergerak dan
melawan semua yang menghalangimu untuk hidup.

Dia bertanya:
Siapa kau? Tunjukan wajahmu!

Suara serak membalas:


Aku bukan siapa-siapa. Aku adalah kau. Kau yang baru
disadarkan dengan kenyataan hidup. Aku ada dalam dirimu.
Dalam rohmu. Dalam semangatmu

Dia bertanya mendesak:


Apakah yang kau sebut tadi adalah salah satu pilihan?
Pilihan yang aku pikirkan tadi?

Suara serak menjawab dengan tegas:


Bukan cuma pilihan, tapi kemutlakan yang harus kau
jalankan. Kalau ingin tetap hidup, jangan banyak memilih.
Lakukan yang harus kau lakukan sekarang!

Dia bingung:
Maksudmu, aku harus menjadi manusia yang berani
melawan para monster itu?

Suara serak terbahak:

57
Ha…ha…ha…!!!” Kamu ternyata belum mengerti
maksudku. Tidak Dia! Tidak…!!! Kau tak mungkin melawan
para monster itu dengan semangat budakmu itu. Kau harus…

Dia masih bingung:


Aku harus mencari manusia lain yang senasib denganku
untuk membangun kekuatan melawan para monster jahat
itu…?

Mendengar pertanyaan itu, suara serak terbahak lagi:


Ha…ha…ha…Salah…!! Kau hanya sendiri di dunia
sekarang. Semua yang senasib denganmu sudah dimangsa oleh
para monster itu. Atau ada yang sudah menjadi monster.
Daripada mati lebih baik menjadi monster…

Dia semakin bingung:


Jadi, aku harus menjadi monster juga agar tetap hidup?
Dan suatu hari balik melawan para monster itu??

Suara serak berkata dengan sedikit keras:


Aku tak bilang begitu. Aku juga tak bilang ya atau tidak
bahwa kau harus berpura-pura menjadi monster. Yang jelas,
kau harus melakukan sesuatu untuk tetap hidup.

Dia menjadi marah:


Ha…! Persetan dengan nasehatmu itu! Ternyata kau juga
tak punya sikap tegas. Pergi saja kau.

Suara serak berkata dengan tenang:


Kau tak mungkin mengusirku. Karena aku adalah dirimu
di sisi yang lain. Sisi yang selama ini tak kau hiraukan

58
tentang tanah
Itu kata-kata terakhir dari si suara serak. Sesaat
setelah kalimat itu, suara serakpun menghilang.
Dia kini dalam keadaan duduk di tanah dengan
kepala menghadap bumi. Dia merenungi kalimat-kalimat
aneh dari si suara serak yang dia baru dengar. Dalam
beberapa detik Dia tertunduk menatap ke tanah, pijakan
kehidupannya. Dia juga tak mendengar suara apa-apa.
Dia tak melihat tanah lagi. Dia bahkan merasa tak lagi
memiliki raga. Hanya jiwa yang sedang mencari jawab
yang Dia rasa. Perlahan, akhirnya Dia mati rasa.

59
12.
Sebuah Peralihan
Dia terkejut setengah mati ketika tahu bahwa
tubuhnya kini telah berada di tempat yang sama sekali
asing baginya. Dia berada di sebuah kamar yang luas.
Dia menatap ke langit-langit kamar itu. Tapi
tatapannya kabur. Serasa seperti ada selaput tipis yang
menutup matanya. Dia mengucek matanya. Perlahan
pandangan mulai jelas.
Dia pun menjadi terkejut lagi, ketika sadar bahwa
dirinya kini terbaring di atas tempat tidur yang besar.
Dia menoleh ke kiri dan ke kanan. Dia juga berusaha
menatap di bagian belakang kepalanya. Di bagian itu,
pas di kepala tempat dirinya terbaring ukiran burung
elang seolah-olah siap mamatuk dirinya yang rapuh.
Lampu gantung antik, tergantung di langit-langit kamar.
Sebuah cermin besar tertempel di lemari besar yang
berwarna hitam kemerah-merahan. Sebuah foto tua
bergambar seorang perempuan cantik di bagian samping
kiri tersenyum kecil. Dia tak tahu apakah itu siang atau
malam sebab ruangan itu seolah tak ada celah bagi udara

60
tentang tanah
dan cahaya untuk masuk. Dia memang sedang berada di
dunia lain.
Tubunya masih terbaring. Dia masih terpaku dengan
apa yang dia rasa dan lihat. Hanya kepalanya yang
bergerak ke kanan dan ke kiri. Tubuhnya dari bagian
leher sampai kaki masih tertutup dengan selimut tebal
yang lembut dan hangat. Tapi itu tak membuat dia
menjadi nyaman. Sesuatu menyibukkan pikirannya. Dia
sedang berpikir keras tentang apa yang sedang dia
rasakan ini.
“Dimana aku? Kenapa aku sampai ke sini? Siapa
yang membawaku ke kamar ini? Siapa pemilik kamar
ini? Dan....” Dia menjadi bingung.
Belum menemukan jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan itu, suara langkah kaki mengalihkan
perhatian Dia. Suara langkah kaki itu terdengar jelas.
Semakin dekat semakin jelas. Tapi Dia belum dapat
memastikan apakah langkah kaki itu milik perempuan
atau laki-laki. Dia memandang ke arah pintu kamar.
Hampir bersamaan dengan itu, pintu kamar terbuka
disertai dengan bunyi derit pintu.
Seorang pria bertubuh besar masuk dari pintu. Pria
itu tampak ramah ketika menatap Dia. Dia datang
sendiri. Tak membawa apa-apa.
Si pria itu mendekati dirinya, spontan Dia
menggerakkan tubuhnya dan hampir berdiri.
“Tenang, nak. Kamu aman di sini.” Kata pria itu
ramah.
“Siapa kau? Di mana aku? Kenapa aku sampai ke
sini?” Dia bertanya dalam ketakutan.

61
“Tenang, Nak. Aku tak bermaksud menjahati kau.
Aku hanya ingin menolong...” si pria berkata sambil
bermaksud memegang pundak Dia.
Dia masih ketakutan dan berusaha menghindar dari
pegangan tangan si pria.
“Kenapa aku sampai di sini...?”
“Tadi kau pingsan di perempatan jalan itu. Kebetulan
aku dan istri lewat di sana. Waktu itu kau tidak sadarkan
diri. Kami merasa iba dengan nasibmu, nak. Jangan
takut, kami orang baik-baik. Namaku, Albert. Istriku,
namanya Marce. Sebentar lagi dia akan membawakanmu
makanan.” Si pria yang ternyata bernama Albert berujar
sambil meletakkan tubuhnya di tempat tidur.
Dia menghindar ke bagian samping tempat tidur.
Tampak sekali ketakutannya.
“Kenapa aku pingsan? Kenapa…? Di perempatan
jalan?” Dia masih bingung dengan yang dia alami ini.
“Kamu pingsan karena belum makan. Atau…Atau
barangkali kelaparan. Ya, kau pingsan di perempatan
jalan itu.” Albert membalas.
Dia masih juga belum mengerti dengan apa yang
sedang tejadi pada dirinya. Tapi dalam kebingungan ini,
dia melihat sesuatu yang lain dari diri Albert yang ada di
hadapannya.
“Om…Bapak…eh…maksud saya.… Maksudnya
bapakkan tidak seperti mereka?” Dia bertanya. Ada
sesuatu yang ingin dia cari tahu.
“Maksudmu, seperti mereka yang mana? Manusia-
manusia yang di perempatan jalan itu? Atau siapa yang
kau maksudkan dengan mereka itu?” Albert sedikit tidak
mengerti apa yang dimaksud Dia.

62
tentang tanah
“Tidak. Maksud saya…Ehmm…Ya, mereka yang di
luar sana. Mereka-mereka yang jahat itu, Om, eh, pak.”
Dia mencari kepastian dalam kebingungan.
Belum ada jawaban yang keluar dari mulut Albert,
tanpa diduga masuk ke kamar seorang wanita cantik.
“Oh, Marce,” Albert menyapa perempuan, yang
adalah istrinya, yang baru masuk. “Anak yang malang
ini sudah bangun. Mana makanannya?”
“Syukurlah,” ujar perempuan yang disebut Albert
bernama Marce, istrinya dengan lembut. “Makanan nanti
diantar Leli. Albert, siapa namanya?”
“Oh, ya. Ini istri Om. Nak, kami belum tahu
namamu? Siapa namamu? “ Albert baru sadar kalau ia
belum tahu siapa nama Dia.
“Saya, Dia Keter, Om.”
“Dia? Namamu aneh, Dia,” ujar Marce yang
sekarang ikut duduk di pinggiran tempat tidur.
Suasana semakin cair. Dia mulai terbiasa dengan
keadaan itu. Bahkan sekarang Dia sudah duduk dan
sedikit bersandar di bagian kepala tempat tidur. Kepala
elang yang terukir di atas kepalanya tetap diam
mematung. Masih seolah-seolah ingin mematuk kepala
Dia.
“Dia, istirahat dulu ya. Tante dan Om senang karena
kamu sudah sadar dan bisa bicara. Nanti Tante suruh
Leli, pembantu kami untuk membawakan makanan
kepadamu. Makan ya, supaya kamu cepat pulih
kembali,” kata Marce sambil mengajak suaminya ke luar
dari kamar.

63
Dia hanya membalas dengan anggukan. Perempuan
dan laki-laki yang ternyata adalah pemilik rumah ke luar
dari kamar. Merekapun menutup kembali pintu kamar.
Dia masih setengah duduk di atas tempat tidur.
Matanya menatap dengan rasa penasaran dua orang itu
menuju ke pintu kamar. Dia berpikir keras, apakah
sekarang dia lagi-lagi sedang bersama-sama dengan para
monster seperti pengalamannya waktu lalu, atau ini
sebuah awal dari perubahan hidupnya?
Ketika Dia sedang berpikir tentang dirinya yang
sekarang ini bersama suami-istri tadi, dan kamar di mana
dia sekarang berbaring, tiba-tiba pintu kamar kembali
dibuka. Kali ini yang masuk dari pintu seorang
perempuan muda, kira-kira usianya 24 tahun. Seorang
perempuan yang berpakaian khas pelayan.
Ketika melihat piring yang berisi makanan di tangan
si perempuan itu, Dia sudah bisa memastikan bahwa dia
adalah Leli, pembantu rumah tangga yang suami-istri
pemilik rumah maksudkan tadi.
“Halo. Apa kabar. Aku Leli, pembantu rumah
tangga di rumah ini. Kamu, Dia kan?” Leli langsung
memperkenalkan namanya. Agaknya Dia tak perlu lagi
menyebut namanya, karena Leli sudah tahu siapa
dirinya.
Dia tak bicara. Dia masih terpana dengan sikap Leli
yang langsung akrab.
Leli pun segera duduk di pinggiran tempat tidur
tempat Dia berbaring. Piring yang berisi makanan di
tangannya diserahkan kepada Dia, yang setengah duduk
bersandar di kepala tempat tidur.

64
tentang tanah
“Ini makananmu. Kamu harus makan, agar cepat
pulih,” Leli berkata sambil menyerahkan piring yang
berisi makanan.
Dia menyambut piring itu dengan tatapan yang
dalam pada makanannya.
“Terima kasih. Tapi, ikannya terlalu besar. Nasinya
juga terlalu banyak. Aku tak biasa makan sebanyak ini.”
Dia sedikit terkejut dengan apa yang dia sedang lihat di
piring.
“Kasihan sekali kamu ini. Kamu asalnya dari mana,
Dia?” Leli bicara dengan penuh perhatian.
Dia tak segera menjawab pertanyaan Leli. Makanan
di piring juga belum disentuhnya. Dia masih
kebingungan menatapnya. Sedikit tidak percaya, bahwa
dia bisa makan makanan yang banyak dan tampak enak.
Dia terdiam beberapa saat. Leli pun belum lansung
mengeluarkan kata-kata.
Setelah termenung sedikit, akhirnya Dia bicara lagi,
“Aku dari kompleks kumuh di sudut kota ini. Ibuku
sudah meninggal. Ayahku…ah. Tak usahlah sebut
tentang dia. Aku pun sampai sekarang belum pernah
bertemu dengan dia. Dan memang aku tak ingin bertemu
dengan dia. Kau, Leli, asalmu dari mana? Sudahlah lama
bekerja di rumah ini?”
Leli belum langsung menjawab pertanyaan Dia.
perempuan itu tampak masih tertegun dengan apa yang
baru diucap Dia. Wajah Leli tampak rasa iba.
“Aku? Aku sudah lama bekerja di sini. Sudah sejak
aku masih kanak-kanak. Ibu dan ayahku bercerai.
Mereka meninggalkan aku tepat di jalan masuk ke
kompleks perumahaan ini. Aku sudah lupa ceritanya
65
yang lengkap. Yang jelas, waktu rumah ini belum sebesar
seperti sekarang, aku sudah bekerja di sini.”
“Bolehkah aku memanggilmu, Leli?”
“O, itukan memang namaku. Aku lebih suka kau
panggil Leli sebagai sahabat, daripada memanggilku
dengan nama yang lain, tapi penuh kebencian,” ucap Leli
dengan nada yang pelan. Kentara perkataan ini hanya
khusus untuk Dia dengar.
“Kenapa, Leli? Apakah kamu juga ditindas di rumah
ini?”
“Stttt…” Dengan isyarat jari telunjuk di bibir, Leli
meminta Dia untuk tidak berbicara keras.
Dia tak bertanya kenapa bicara mereka harus pelan.
Dari perkataan Leli tadi, Dia sudah tahu bahwa ada
sesuatu yang tidak beres dengan kehidupan Leli di
rumah ini.
Dia pun harus berbicara setengah berbisik, dengan
sesekali memandang ke pintu kamar. Mereka pun
berbicara dalam suatu kerahasiaan.
“Leli, siapa pemilik rumah ini?”
“Ya, mereka itu. Mereka yang kau lihat tadi. Mereka
yang telah membawamu ke sini.”
“Iya. Maksud saya, siapa Om Albert dan Tante Marce
itu?”
“Mereka tak pernah bercerita kepadaku, dari mana
mereka berasal, lahirnya di mana dan lain sebagainya.
Yang jelas, hampir setiap pagi, Om Albert, keluar rumah
dengan mobil mewahnya itu. Tak tahu, apakah ke kantor
atau ke mana. Sementara Tante Marce, kadang keluarnya
nanti siang. Dia juga diantar pakai mobil mewah. Aku
tak tahu apa nama mobil-mobil itu.”

66
tentang tanah
“Apakah mereka juga monster?”
“Maksudmu?”
“Monster. Ada gigi taring yang keluar dari mulut.
Darah segar meleleh dari mulut. Bisa juga ada tanduk di
kepala. Pernah kau melihat mereka seperti itu?”
“O, Tuhan! Adakah manusia seperti itu? Mereka tak
begitu. Aku tak pernah melihat mereka bergigi taring,
keluar darah dari mulut apalagi bertanduk.” Leli
terkejut.
“Ehmm…” Dia tak mengeluarkan kata-kata.
“Kenapa, Dia? Kau pernah melihat manusia begitu?”
“Banyak kali. Ah…sudahlah, Leli. Aku jadi sangat
takut kalau mengingat itu.”
“Tapi Dia, kenapa kau bicara begitu. Apa benar ada
manusia yang serupa monster? Mereka jahat?”
“Ya, namanya juga monster. Tapi, sudahlah.
Barangkali hanya penglihatanku. Maaf Leli, kalau aku
sudah membuatmu takut.”
Leli tampak masih penasaran. Tiba-tiba suara dari
luar kamar terdengar memanggil namanya.
“Leli, sudah selesai makannya!? Kenapa lama
sekali!?” Tante Marce memanggil Leli.
“Ya, sudah selesai, bu,” sahut Leli dengan nada yang
sangat hormat.
Tante Marce yang memanggil dari luar, tak tahu-
tahunya sudah masuk ke kamar dan berkata kepada Leli,
“Bagaimana makannya, Leli?”
“Aduh, tante, terima kasih, ya.” Yang ditanya Leli,
tapi yang menjawab Dia.

67
Leli pun berkata, “Dia makan, bu. Tapi menurutnya
makanan yang diberikan ini terlalu banyak. Kata Dia, ia
tak biasa makan yang sebanyak ini.”
“Kasihan dia. Leli, biarkan Dia istirahat. Yang
penting perutnya sudah diisi.”
“Ya, bu,” Leli menjawab dengan nada sopan.
Marcepun berkata kepada Dia, “Dia, istirahat dulu.
Nanti tante dan om akan mengajakmu bercakap-cakap.”
Dia yang di tempat tidur itu menjawab dengan
sopan, “Terima kasih, Tante. Sekarang juga sebenarnya
kita bisa bicara. Aku juga akan mengucap terima kasih
kepada Om Albert. Aku sudah bisa, Tante.”
“Nantilah. Lebih baik kau pulih benar dulu. Om
Albert juga lagi ke luar rumah. Nantilah. Istirahat dulu.
Tante tinggal kamu, ya.”
“Baik, Tante,” sahut dia. Marcepun langsung
beranjak dari kamar.
Sementara Dia yang tinggal sendiri di kamar, masih
saja setengah duduk. Dia belum langsung tidur. Agaknya
dia masih penasaran dengan banyak hal di rumah ini:
orang-orangnya, bicaranya, juga kamar ini. Sekitar 10
menit Dia dalam perasaan itu, baru kemudian
mengambil posisi tidur. Tak berselang beberapa menit
Dia pun akhirnya tertidur.

68
tentang tanah
13.
Tidur Dia
Dia sedang tidur. Tapi sesuatu terjadi dalam
tidurnya. Jiwa Dia yang untuk sementara terpisah dari
tubuh melayang ke suatu tempat. Sesuatu tempat yang
hitam kemerah-merahan. Jiwa Dia terdampar di sebuah
sumur, yang satu-satunya dia lihat. Di sekitarnya hanya
ada kegersangan yang tiada ujung membentang luas.
Dunia jiwa Dia sekarang tak berdinding. Hanya ada
tanah, yang sedang dipijakinya. Jiwa Dia terdampar di
tempat itu. Sumur dengan airnya yang sangat bening,
seolah-olah memberi pejelasan kepada jiwa Dia, bahwa
yang terjadi sekarang bukan soal kematian, melainkan
harapan hidup. Kegersangan yang membentang luas tak
berujung di sekitar sumur memang gelap dan merah.
Tapi, kejernihan air sumur memastikan jiwa Dia tentang
suatu harapan.

Tiba-tiba, sebuah suara serak dan berwibawa


menyapa jiwa Dia:

69
Dia, tak usah aku perkenalkan siapa aku. Sudah berkali-kali
kita berjumpa. Aku tak punya fisik, karena fisikku sedang
tidur. Dia tidur dalam suatu peralihan hidup.
Aku, akhirnya memang harus sering bersamamu, Dia.
Sebab, waktunya sudah tiba. Penderitaan yang panjang harus
segera diakhiri. Penderitaan hidupmu sudah cukup memberi
pelajaran, betapa hidup ini tidak harus berakhir dalam
ketertundukkan. Kau harus MELAWAN!

Jiwa Dia yang duduk di atas sebuah batu hitam di


dekat sumur, terkejut. Jiwa Diapun berkata:
MELAWAN! Apa kekuatanku? Aku hanya sendiri. Soal
musuh, yang kau maksud adalah para monster jahat itu, kan?

Suara yang tak berfisik terbahak:


Ha..ha..ha. Kekuatan? Kau manusia, bukan monster,
bukan? Kau masih punya nurani. Kau masih punya tubuh.
Semua monster yang telah berubah menjadi jahat, juga
awalnya adalah manusia. Coba kau lihat tubuhmu yang sedang
terbaring itu. Coba kau lihat dia!

Jiwa Dia beberapa saat terdiam. Ia hanya


memandang dengan seksama air sumur yang bening.
Pandangannya kemudian berpaling ke kegersangan yang
tanpa batas, yang berada di segala penjuru sumur.

Sesuatu terbesit dalam pikirannya:


Kenapa air bening di sumur ini sangat indah dan agung?
Kenapa batu ini sangat keras. Kenapa hanya sumur dan batu
ini yang tersisa di tengah kegersangan? Kenapa semua ini
terjadi? Apakah batu ini adalah tubuhku dan air bening di

70
tentang tanah
sumur itu adalah semangatku. Apakah ini gambaran hidupku
yang sesungguhnya?

Suara itu tiba-tiba mengejutkan jiwa Dia yang sedang


berpikir:
Hai jiwa, aku tahu, kau telah menemukan jawabannya.
Karena itulah aku mengantarmu ke sini. Inilah sketsa
hidupmu. Kau akan menjadi pemenang dalam kegersangan
hidup ini, ketika kau menjadi oase dalam kehausan dan
kekeringan harapan. Batu yang keras itu adalah tubuhmu yang
meski dipukul tak akan hancur. Zaman yang keraspun tak akan
mampu meremukkan tubuhmu. Asal…

Jiwa Dia tiba-tiba berdiri:


Ya, apa itu? Apa syaratnya?

Mendengar perkataan Dia, si suarapun dengan


semangat memberi jawab:
Asal kau tidak lupa pada semangat ibumu membesarkan
kau. Ibumu adalah rahimmu. Ibumu adalah hidupmu. Ibumu
adalah perjuangan hidupmu.

Jiwa Dia tiba-tiba tampak terperangah. Sesuatu


rupanya menyadarkan dia,
Apa, semangat ibu? Tapi dia telah mati? Dia telah dikubur
dalam tanah? Ibuku..

Si suara langsung memotong kata-kata Dia,


Dia, kau jangan salah. Tubuh memang tidak kekal. Tubuh
ibumu boleh dimakan oleh cacing-cacing kefanaan. Tapi ingat,
atmannya adalah kekal. Sebab, para Hindu berkata, Brahman
adalah Atman dan Atman adalah Brahman. Itulah Tuhanmu.
71
Jiwa Dia semakin bersemangat bertanya:
Tapi, apa kau yakin aku bisa mengalahkan mereka?

Si suara tak langsung menjawab. Yang terdengar


hanya suara gemuruh dari langit. Gumpalan awan hitam
bergerak dengan cepat. Langit seperti akan terbelah. Jiwa
Diapun ikut bergerak memandang ke arah gerak
gumpalam hitam yang seolah-olah ingin menabrak
tubuhnya. Di bagian Barat langit, sekelompok awan
membentuk kata “I Yayat U Santi”.3 Tapi tak lama
kemudian, awan yang berbentuk kata itu berangsur-
angsur hilang diganti seberkas cahaya yang masuk di
sela-sela belahan awan hitam.

Si suarapun akhirnya mengeluarkan kata-kata yang


menggema:
Pertama yang harus kau lawan adalah keraguan dan
ketakutan dalam dirimu. Setelah itu barulah kau memulai jihad
besar, yaitu melawan! Tapi ingat yang kau harus lawan bukan
pertama-tama fisik para monster itu, melainkan ideologi dan
paradigma jahat mereka. Itulah peperanganmu. Karena kau
adalah waraney4.

Setelah berkata begitu, si suara menghilang. Langit


tiba-tiba menjadi terang benderang. Jiwa Diapun pergi

3
Bahasa Minahasa yang biasa diartikan sebagai pekikan persiapan waktu
perang oleh para ksatrianya. Biasanya pekikan itu bersamaan dengan
mengangkat pedang. Sebuah seruan penuh semangat heroic untuk maju
melawan musuh.
4
Ksatria Minahasa
72
tentang tanah
seperti cahaya bintang menyatu lagi dengan tubuhnya
yang telah berdiri di samping tempat tidur. Dia sudah
bangun dari tidurnya.

73
14.
Sebuah Cara Dipilih
Di samping tempat tidur dia sudah berdiri. Dia
memandangi tubuhnya, mulai dari kaki, bagian perut
dan dada. Kepala serta wajahpun dirabahnya. Dia
seolah-seolah sedang memeriksa keadaan tubuhnya. “Ini
tubuhku?” gumamnya.
Setelah itu Dia berjalan sekitar 3 langkah mendekati
cermin besar yang tertempel di lemari yang berwarna
hitam kemerah-merahan. Dia memandangi wajahnya di
cermin. Foto tua bergambar seorang perempuan cantik di
bagian samping kiri masih tetap tersenyum kecil seolah-
seolah menyambut kesadaran Dia atas realitas hidup ini.
Dia tersenyum kecil memandang wajahnya di cermin itu.
“Akulah Dia,” sekali lagi dia bergumam.
Asyik memandangi wajahnya dicermin, tiba-tiba
sebuah suara laki-laki bersamaan dengan suara pintu
dibuka menyentak kesadarannya,
“Hallo, Dia. Selamat pagi. Bagaimana tidurmu
semalam? Sudah sehat, bukan?” Albert menyapa Dia.
Laki-laki ini tampak telah rapih.

74
tentang tanah
“Oh, Om Albert. Selamat pagi juga, Om. Sudah, Om.
Sudah sehat. Terima kasih, Om telah menolong aku. Oh,
iya, Tante mana, Om?” Dia seperti orang yang sudah
lama mengenal Albert. Tak lagi tampak keraguannya
dengan laki-laki yang satu ini.
“Syukurlah kalau kau sudah pulih. Tante lagi
mandi.” Albert berkata dengan ramah. “Dia, kalau kau
mau mandi, kamar mandinya ada di bagian dapur. Kami
telah menyediakan juga pakaian untukmu. Ini kan
pakaian tidur.”
Dalam hati Dia bergumam, “Oh, ada juga, ya jenis-
jenis pakaian. Pakaian tidur, pakaian santai dan pakaian
apalagi?”
“Terima kasih, Om. Aku akan segera ke kamar
mandi,” kata Dia.
“Baik. Setelah itu nanti kau sarapan. Nanti Leli yang
sediakan. Kalau sudah selesai sarapan, kita bercakap-
cakap bersama, ya,” ujar Albert.
Dia hampir lupa apa yang dijadwalkan oleh Albert
terhadap dirinya. Baru kali ini dia bangun pagi langsung
diperhadapan dengan semacam protokol.
“Baik, Om. Terima kasih,” sahut Dia.
Tak ada sahutan dari Albert, sebab setelah berkata
tentang jadwal itu, dia lansung ke luar dari kamar. Dia
pun tak lama kemudian langsung ke luar kamar menuju
ke kamar mandi.
Tapi begitu keluar dari kamar, Dia menjadi bingung.
Bagian dapurnya tak langsung kelihatan layaknya
rumah-rumah para miskin. Beberapa saat, Dia masih di
depan pintu kamar, sambil tangan kanannya masih
memegang pegangan pintu. Dia melihat ke kiri dan
75
kanan, mencari-cari arah ke dapur. Sebab, kamar itu
ternyata langsung berhadapan dengan sebuah ruangan
yang luas. Dia belum tahu apa fungsi ruangan yang
sedang dia lihat.
Di ruangan itu dia melihat sebuah lemari yang besar
berwarna coklat berukiran indah di bagian atasnya.
Lukisan orang sedang menari kabasaran5 yang berukuran
1 x 3 meter tertempel di dinding bagian selatan ruangan.
Lukisan lebih kecil yang tertempel di bagian utaranya
bergambar gunung Lokon yang dimahkoai awan putih.
Ada beberapa kursi kayu yang terbuat dari kayu besi tak
beraturan. Lampu gantung besar masih menyala meski
sudah siang. Langit-langit ruangan putih serasi dengan
dindingnya. Lantainya dilapisi marmer mahal bercorak
bintang seperti kompas. Empat buat guci berwarna
setinggi setengah meter dengan diameter kira-kira 45 cm
bergambar angsa menghiasi sudut-sudut ruangan.
Tampaknya ruangan itu ada di bagian dalam rumah
karena jendela-jendelanya tak memperlihatkan sinar
cahaya matahari atau pemandangan pohon, gunung,
atau keindahan alam lainnya. Jendela-jendala itu masih
tertutup tirai tapi bagian yang terbuka memperlihatkan
bagian ruangan rumah yang lain. Beberapa saat Dia
masih bingung dan belum beranjak dari tempat dia
berdiri.
Tiba-tiba bunyi langkah kaki orang terdengar
mendekati dirinya. Suara itu dari utara. Memang di sana
ada sebuah pintu. Dia juga sebenarnya sempat berpikir
akan mengikuti pintu itu untuk menuju bagian dapur.

5
Tarian Perang orang Minahasa
76
tentang tanah
Suara langkah semakin dekat dan sekarang sudah di
belakang pintu. Pintupun mulai terbuka. Dia memadang
ke arah pintu. Ketika pintu terbuka benar, Dia baru tahu
siapa pemiliki langkah itu. Ternyata yang keluar dari
pintu Marce yang sudah rapih. Marcepun langsung
menyapa Dia,
“Apa kabar, Dia?”
“Sudah lumayan Tante,” sahut Dia agak kikuk.
“Aduh, Tante aku ingin ke kamar mandi. Di mana kamar
mandinya, ya?”
“Itu yang akan Tante mau bilang ke kamu. Sini ikut
tante.” Marce mengajak Dia.
Tapi mereka tak lagi mengikuti pintu di mana Marce
masuk tadi. Mereka mengarah ke sebuah pintu lain yang
ada di bagian selatan. Dia pun ikut dari belakang Marce
pergi ke kamar mandi.
Marce mengantar Dia sampai di dapur dan
menunjukkan kamar mandi. Rupanya kamar mandi itu
khusus untuk orang-orang semacam Dia atau Leli.
Maksudnya, kamar mandi itu tidak sama dengan kamar
mandi milik tuan dan nyonya rumah. Tapi ini sesuatu
yang lazim di rumah-rumah besar dan megah milik
orang kaya.
Dia pun mandi, dan setelah ganti pakaian yang telah
disediakan, di bagian dapur, ia sarapan. Lahap sekali Dia
menyantap makanan yang enak-enak. Semuanya
disajikan Leli. Hanya Dia dan Leli di dapur. Sambil
sarapan, Dia dan Leli bercakap-cakap. Kebanyakan yang
Leli ceritakan adalah soal tata cara hidup di rumah ini.
Dari Leli Dia juga mendengar bahwa tuan dan nyonya
rumah berencana mempekerjakan Dia di rumah itu.
77
Cuma soal di bagian atau jenis pekerjaan apa, Leli belum
tahu. Mendengarnya, Dia hanya diam sambil terus
mengunyah makanan. Tak tahu apakah Dia tertarik atau
tidak.
Selesai makan, Leli mendapat panggilan melalui
telepon.
“Ya, nyonya. Nanti saya bilang. Dimana? Oh. Iya.
Iya,” Leli bercakap dengan nyonya melalui alat
komunikasi itu.
Setelah mengakhiri pembicaraan dengan Marce, Leli
pun berkata kepada Dia,
“Tante dan Om menunggumu di taman. Mereka
ingin bercakap-cakap dengan kamu,” kata Leli sambil
membereskan meja makan.
“Taman? Di mana itu? Iya, aku akan bertemu dengan
mereka, sekalian untuk menyampaikan terima kasih dan
pamit,” ujar Dia.
“Apa? Kamu ingin pulang? Ke mana?”
“Ya, ke rumahku.”
“Kamu punya rumah dan keluarga?”
“Tepatnya barangkali bukan rumah, tapi gubuk,
setidaknya begitulah keadaanya kalau dibandingkan
dengan gedung-gedung bertingkat milik para kaya di
sekitarnya. Keluarga? Ehm…keluarga aku tak punya
lagi,” Dia menjawab sambil ikut membereskan meja
makan.
Leli sesaat terdiam. Sesuatu sedang dia pikirkan.
Tapi, tak melanjutkan percakapan itu, Leli mengingatkan
Dia untuk segera bertemu dengan tuan dan nyonya
pemilik rumah.

78
tentang tanah
“Dia, lebih baik kau langsung bertemu dengan tuan
dan nyonya. Nanti aku yang antar,” ujar Leli sambil
mengajak Dia.
“Baik,” jawab Dia sambil mengikuti Leli dari
belakang.
Setelah melewati beberapa pintu, mereka berdua
sampai di bagian luar rumah yang langsung terhubung
dengan jalan setapak taman menuju ke sebuah pondok
kecil yang berbentuk segi empat. Jarak menuju ke
pondok dari bagian luar rumah itu kira-kira 10 meter.
Dari situ sudah terlihat Albert dan Marce bercakap-cakap
dengan serius. Tapi suara mereka belum kedengaran
dengan jelas. Di bagian kiri setepak ada kolam yang
kecil. Ikan mas tampak bermain-main dengan girangnya.
Macam-macam bunga menghias taman ini.
Baru sekitar lima langkah berjalan di setapak,
rupanya Albert dan Marce sudah tahu bahwa Leli dan
Dia sedang menuju ke arah mereka. Marce terlihat
memandang ke arah Leli dan Dia. Dua orang yang
sedang duduk dipondok, tak lagi tampak berbicara.
“Selamat pagi Om, Tante.” Dia menyapa mereka.
“Hei, selamat pagi, Dia. Mari duduk di sini,” Marce
membalas sapaan Dia. Albert pun menyilakan Dia
duduk di kursi yang masih kosong di antara dia dan
istrinya. Dia pun menurut dan duduk bergabung
bersama mereka. Sementara Leli cuma sampai di luar
pondok, dan meminta diri untuk kembali ke dapur. Kini
tinggal mereka bertiga di dalam pondok.
“Bagaimana keadaanmu, Dia,” tanya Marce. Suara
perempuan itu dibuat seolah-olah ramah.

79
“Baik, Tante. Terima kasih Tante, Om, sudah
menolong aku,” kata Dia.
“Ah, itu sesuatu yang harus kami lakukan sebagai
sesama manusia. Kami kasihan padamu ketika melewati
perempatan jalan itu,” ujar Albert.
“Dia, maaf, ya. Siapa kamu sebenarnya? Di mana
tempat tinggalmu? Keluargamu?” Marce bertanya.
Tampak keraguan dalam nada bicaranya.
“Aku?” kata dia sambil menunjukkan jari telunjuk di
dadanya. “Aku, hanya anak yang telah kehilangan orang
tua, dan juga tak punya keluarga. Aku hampir
kehilangan segala-galanya, kecuali tanah itu.”
“Kasihan,” keluh Albert.
Sesaat mereka terdiam. Dia menundukkan
kepalanya. Marce menatap suminya, sesuatu ingin
disampaikan kepada suaminya, tapi tak jadi.
“Dia.” Albert berkata dengan pelan. “Bagaimana
kalau kamu tinggal di sini saja. Di sini hanya ada Om,
Tante dan Leli.”
“Iya. Dia. Dari pada kamu di luar sana,” sambung
Marce.
Dia masih menundukkan kepalanya. Dia belum
memberi jawab. Dalam keheningan itu, tiba-tiba suara
yang biasa dia dengar melintas menyapanya dengan
lembut,

Jawaban harus taktis dan strategis…

Dia tersentak dengan suara yang sesaat itu. Diapun


langung mengangkat lagi kepalanya. Sesuatu akan
keluar dari mulutnya,

80
tentang tanah
“Apakah nantinya tidak akan merepotkan Om dan
Tante? Apa yang telah dilakukan oleh Om dan Tante
sekarang ini, sebenarnya sudah sangat berharga sekali.
Yang penting aku masih bisa bernafas. Barangkali
duniaku memang di luar sana,” Dia berkata dengan
mantap. Tak ada lagi keraguan atau kekakuan dalam
dirinya.
“O, kalau itu tak usah dipersoalkan. Kamu lihat kan,
rumah ini sangat besar. Hanya kami yang ada di sini. Tak
usaha dipikirkan soal itu, Dia. Kami sangat senang kalau
kau mau tinggal di sini,” ujar Marce.
“Iya, Dia. Kami akan sangat senang kalau kau tinggal
di sini,” Albert menambahkan.
“Baik, kalau begitu. Aku akan tinggal di sini,” kata
Dia.

Sesaat suara serak itu melintas lagi dalam


pendengaran telinga Dia:
Untuk sekarang ini, itu yang harus kau lakukan. Bagus.

Mendengar suara itu, Dia tampak tersenyum.


Albert dan Marce saling berpandangan. Tak ada kata-
kata yang keluar dari mulut mereka. Tapi, tatapan
mereka yang disertai anggukkan kepala seolah-olah
sedang mengatakan sesuatu. Hanya mereka berdua yang
tahu apa pesan itu. Dia sadar dengan itu, tapi tak ambil
pusing apapun pesan dari tatapan dua orang itu. Yang
jelas sekarang dengan mengeluarkan jawaban tadi, Dia
sudah merasa bahwa dirinya seperti orang yang baru
bangun dari ketidakadaran.
Tiba-tiba, Albert berkata,
81
“Baik, Dia, kalau begitu jawabanmu. Kami sangat
senang menerimamu di sini. Tapi, sesungguhnya, selain
itu ada yang ingin om tanyakan padamu.”
“Apa itu, om?” Tanya Dia.
“Begini. Kemarin kau menyebut ada orang-orang
jahat di luar sana. Siapa mereka itu?”
“Orang-orang jahat? Ya, memang, Om. Di luar sana
banyak monster. Mereka yang telah membuat ibu dan
aku miskin. Mereka yang telah membuat tanah kami
menjadi kumuh. Padahal, tanah itu, dulunya, menurut
cerita kakek, adalah tanah yang indah tempat tinggalnya
manusia-manusia yang damai. Kakek menyebut tanah
itu sebagai wanua kalo’oran.6 Tapi begitu bangunan-
bangunan bertingkat dibangun di sebagian besar tanah
kami, tempat tinggal kamipun tiba-tiba menjadi kumuh.
Ibuku akhirnya harus melewati hari-hari terakhirnya
dalam penderitaan hidup di atas tanah pusaka yang
porak-poranda karena pembangunan,” Dia menjelaskan
dengan pasti.
“Monster? Kenapa kau sebut mereka orang-orang
jahat itu monster?” Marce tampak penasaran.
Lagi-lagi Dia menjawab dengan penuh keberanian,
“Mereka memang monster. Mereka sering datang
menghantuiku. Di kepala mereka tumbuh dua tanduk
dan bergigi taring. Dari mulut keluar darah segar dan
jari-jari tangan mereka tumbuh kuku-kuku yang panjang.
Aku tahu bahwa merekalah yang telah menyebabkan
banyak penderitaan. Tanah kami mereka rampas. Yang
tersisa tinggal kompleks itu. Padahal, tanah itu bagi kami

6
Bahasa Minahasa: Kampung Kebaikan
82
tentang tanah
adalah tempat pijakan kehidupan. Di sana kami hidup
dalam kebersamaan. Semangat kami yang saling
menghidupkan, diporakporandakan dengan kepentingan
berkuasa mereka. Kami tercerai berai dalam kepentingan
kaya mereka. Kami akhirnya terpinggir dari tanah kami
sendiri. Itu tanah kami. Leluhur kami menyebut tanah itu
MINAHASA.7”
Selesai berkata begitu Dia melihat Albert dan Marce
saling berpandangan. Tak tahu apa arti saling pandang
itu. Albert pun berkata,
“Oh, memang maksudmu sebenarnya dengan
monster-monster itu adalah orang-orang yang merampas
hak-hak manusia lain, membangun tanpa kemanusiaan,
berekonomi hanya untuk kekayaan diri dan keluarga,
dan yang telah membangun dinasti kerajaan. Yang
terakhir itu adalah rezim, Dia. Kami juga dari tanah itu.
Tapi kami harus keluar dari sana untuk mensiasati hidup
ini.”
“Rezim?”

7
Sebuah bangsa di jazirah utara pulau Sulawesi. Kata “Minahasa” sendiri,
oleh beberapa peneliti sejarah Minahasa mengartikannya “menjadi satu.”
Pengertian ini menunjuk pada bersatunya beberapa subetnis dengan sejumlah
walak dalam sebuah musyawarah. Musyawarah ini dilaksanakan karena
terjadinya bentrok antara sub etnis dan sejumlah walak di sekitaran tahun
1789. Bert Supit dalam bukunya Minahasa: Dari Amanat Watu
Pinawetengan Sampai Gelora Minawanua (1986) menuliskan, pertama kali
kata “Minahasa” dipakai untuk menunjuk tanah adat ini. Residen JD.
Schierstein ikut memfasilitasi musyawarah itu. Dia mengundang seluruh
ukung yang ada di tanah Minahasa untuk hadir dalam musyawarah itu.
Schierstein menyebut musyawarah itu dengan Minhasa, dalam pengertin,
musyawarah para ukung. Perkataan itu, menurut Supit, berasal dari kata
Minaesa, yang berarti menjadi satu. Istilah minaesa itu telah lama hidup
dalam masyarakat Minahasa. Minaesa, lebih menunjuk pada kesadaran untuk
bersatu dengan tidak meninggalkan identitas masing-masing.
83
“Ya, mereka-mereka yang hanya sedikit itu, yang
telah membangun kekuasaan mereka secara rakus
dengan mengeksploitasi kekayaan alam dan tenaga
rakyat tanpa ampun. Tapi, Dia, mereka bukan itu untuk
dilawan. Mereka sangat kuat. Kita hanya bisa mencari
keuntungan dari mereka tanpa harus menjadi sama
dengan mereka. Om melakukan itu untuk mensiasati
keberingasan mereka-mereka yang kau sebut monster
itu.”
“Om juga tahu tentang monster-monster itu? Tapi,
om tidak seperti mereka ‘kan?”
“Kalau om monster, pasti om tidak menolongmu.”
Marce yang beberapa saat diam, akhirnya bicara lagi.
Katanya,
“Begini, Dia. Yang kami maksudkan, tak usahalah
kau persoalkan tentang keberadaan para monster itu.
Mereka memang tak banyak. Tapi, pengaruh mereka
sangat besar. Jadi, yang harus kau lakukan adalah
menerima hal ini sebagai sebuah kenyataan, dan carilah
cara yang tepat untuk mensiasatinya.”
“Begini, Dia,” Albert menambahkan, “Kami
sebenarnya tak ingin bercerita panjang lebar tentang
yang kau sebut tadi monster-monster. Tapi, karena kami
lihat kau telah sadar dengan keadaan ini, dan sedikit
banyak mengenal mereka, maka bagaimanapun kita
harus saling berbicara.”
“Tapi, Om, mereka telah membuat hidup banyak
orang menderita. Apakah, kita harus biarkan ini terus
berlanjut.” Dia memberi tanggapan.
Sesaat semua yang ada di pondok itu terdiam.
Matahari semakin meninggi. Udarapun makin panas.

84
tentang tanah
Dalam pandangan Dia, taman itu, yang pagi tadi
kelihatan indah, tiba-tiba menjadi suram. Sesaat Dia
terasa sedang berada di dunia luar sana. Barangkali
inilah firasatnya sejak pertama bertemu dengan orang-
orang itu. Untung Dia telah dalam kesadaran.

Tiba-tiba suara yang serak melintas di pendengaran


Dia:
Kau harus taktis dan strategis

Mendengar suara itu, spontan keluar suara dari


mulut Dia,
“Ya, aku paham maksud om dan Tante. Kalau begitu,
tak usahlah kita bicara lebih jauh tentang monster-
monster itu. Kita lebih baik bicara saja tentang apa-apa
saja yang akan aku kerjakan di rumah ini,” ujar Dia
penuh kesadaran.
Albert dan Marce ketika mendengar perkataan Dia
tampak saling berpandangan secara serius. Sesaat
mengembang senyum misterius dari bibir kedua suami-
istri ini. Dia melihatnya sebagai suatu teka-teki.

DI SEBUAH warung internet di bagian lain kota, tempat


yang memang tak pernah dikunjungi Dia, seorang
perempuan muda sedang membaca sebuah tulisan di
sebuah situs8. Begini isi tulisannya.

DEKLARASI BALI
MENGENAI INSTITUSI KEUANGAN INTERNASIONAL,
UTANG DAN PERUBAHAN IKLIM

8
Seperti yang dipublikasikan di www.handsoff.blog.dada.net

85
12 Desember 2007 - Bali

Kami, aktivis-aktivis utang dan pembangunan yang datang dari berbagai gerakan
sosial dan LSM se-Asia-Pasifik, bergabung dengan seruan komunitas internasional untuk
tegas menyikapi isu yang kian memuncak mengenai perubahan iklim.
Krisis iklim adalah akibat menjijikkan yang sangat kasat mata dari paradigma
pembangunan yang cacat, yang dibebankan kepada kita oleh institusi-institusi global,
negara-negara Utara dan korporasi-korporasi transnasional dengan sepengetahuan dan
kolaborasi dengan para elit kita dan para pembela ekonomi neo-liberal.
Kami menegaskan bahwa utang telah digunakan tidak saja sebagai alat untuk
mendominasi pemerintah dan rakyat negara-negara Selatan, tapi juga digunakan untuk
mendanai proyel-proyek dan mendukung kebijakan-kebijakan yang berkontribusi besar
terhadap memburuknya dan meningkatnya perubahan iklim.
Kami menyerukan kepada institusi-institusi keuangan internasional- IFI- seperti
IMF, Bank Dunia, ADB dan bank-bank pembangunan regional lainnya, pemerintah
negara-negara Utara dan agen kredit ekspor mereka untuk MENGHENTIKAN SEGALA
BENTUK PEMBIAYAAN DAN SELURUH PROGRAMNYA YANG MEMBAHAYAKAN
MANUSIA DAN LINGKUNGAN HIDUP.
Kami menolak semua pinjaman IFI dan "bantuan" yang -katanya ditujukan untuk
tindakan adaptasi dan energi terbarui- merupakan tindakan hipokrit. Karena institusi-
institusi yang sama terus mendukung kerangka pembangunan dan mengucurkan dama
berlipatganda bagi proyek-proyek dan kebijakan-kebijakan yang memperparah
perubahan iklim.
Kami menentang perdagangan karbon yang adalah solusi palsu yang memberi jalan
bagi korporasi-korporasi transnasional dan negara-negara kaya untuk membeli hak untuk
menebarkan polusi, sementara rakyat dan Negara miskin menjadi tumbalnya. Lebih parah
lagi, perdagangan karbon telah menelurkan instrumen baru dan tercela untuk
mendapatkan keuntungan dari polusi.
Kami menuntut:
A. Pengalihan pembiayaan atas energi yang mengotori ke tindakan adaptasi dan
mitigasi dan proyek-proyek efesiensi energi, sebagai bentuk perbaikan atas
berdekade-dekade \'utang\' ekologis negara-negara Utara ke negara-negara Selatan.
B. Pembiayaan untuk energi-energi terbarui sebagai bentuk restitusi atas bertahun-
tahun dominasi utang yang menghambat kapasitas negara-negara Selatan dalam
mengembangkan teknologi alternatif dan strategi-strategi pembangunan.
C. Manajemen yang demokratik dan berdaulat dan kontrol atas dana untuk mitigasi,
adapasi dan pengembangan energi terbarui yang bersih dan aman; menjauhkan
Bank Dunia, ADB dan institusi sejenisnya yang memiliki rapor buruk, dari segala
bentuk kontrol maupun keterlibatan dalam mengatur dan menggunakan dana
tersebut.
D. Penghentian segala bentuk solusi palsu seperti bahan bakar nabati dan perdagangan
karbon.
E. Penolakan atas segala bentuk pinjaman, bantuan dan subsidi untuk penggalian
bahan bakar fosil, teknologi-teknologi kotor dan eksploitasi terhadap sumber daya
alam yang memperkosa warisan nasional kami dan melanggar hak masyarakat asli.
F. Agar berhenti membebankan semua persyaratan (seperti privatisasi, liberalisasi dan
deregulasi) yang disyaratkan institusi keuangan internasional dan pemerintah
negara-negara Utara melalui pinjaman, bantuan dan utang. Pembatalan dan
penolakan total dan tanpa syarat atas utang yang telah berkontribusi terhadap

86
tentang tanah
perubahan iklim, dan seluruh utang najis dan "kewajiban-kewajiban" yang dituntut
dari kita oleh negara-negara Utara dan institusi-institusi pemberi pinjaman.

Tertanda:

1. Jubilee South Asia/Pacific Movement for Debt and Development


2. Gerakan Aliansi Rakyat untuk Penghapusan Utang (GARPU) – Indonesia
3. KRUHA Indonesia Freedom from Debt Coalition Philippines
4. Rural Reconstruction Nepal
5. Equity and Justice Working Group Bangladesh
6. Indian Social Action Forum
7. Action Aid Bangladesh
8. Action Aid Nepal
9. Community Development Library Bangladesh
10. Womyn\'s Agenda for Change Cambodia
11. Nadi Ghati Morcha India
12. Independent Fishworkers Forum Kerala
13. BUP Bangladesh
14. GCAP Philippines
15. Sfchetan Bangladesh
16. LDC Watch
17. South Asia Alliance for Poverty Eradiction
18. Save Our Seahorses(SOS) Action Committee Malaysia
19. Philippines Rural Reconstruction Movement
20. Democratic Action Party, Malaysia

Tiga Orang yang sedang berbicara di pondok


memang tak membaca tulisan tersebut.
Mereka bertiga akhirnya terlibat dalam pembicaraan
yang serius soal keberadaan Dia di rumah itu. Dia pun
lebih banyak mendengar daripada bertanya. Tuan dan
nyonya rumah menawarkan Dia pekerjaan mengawasi
rumah karena mengingat kesibukan mereka di luar
rumah. Dia pun setuju dengan tawaran itu, dengan satu
catatan dalam hatinya untuk selalu dalam kesadaran
bahwa ini cuma cara, untuk suatu tujuan. Dia pun
akhirnya memutuskan untuk tinggal di situ.

87
15.
Suami Istri itu
Di sebuah kamar
Hari ini, adalah hari kedua setelah percakapan antara
suami istri itu dengan Dia di pondok taman. Marce dan
Albert, nyonya dan tuan rumah kini berada di kamar
mereka yang mewah setelah baru pulang dari bepergian
tadi siang. Hanya mereka berdua di kamar.
Marce duduk menghadap meja riasnya. Di meja itu
ada cermin besar. Sehingga, Albert yang duduk di
tempat tidur, di belakang Marce, dapat melihat dari
cermin wajah istrinya yang sedang membersihkan wajah
dari macam-macam kosmetik yang dipakai untuk
menambah kecantikan waktu berpergian siang tadi.

“Pa, aku masih penasaran dengan Dia?” Marce


membuka percakapan sambil kedua tangannya sibuk
membersihkan wajah dengan tissue.
“Maksudmu?” Albert bertanya dari arah belakang
istrinya.

88
tentang tanah
“Soal kesadarannya itu. Dia tahu tentang segala
tingkah laku teman-teman papa itu. Aku khawatir, Pa,
nanti dia bisa melawan mereka.”
“Ah, mama. Kekhwatiranmu terlalu berlebihan. Siapa
Dia? Bukankah dia hanya pemuda gelandangan, yang
tak punya keluarga, berasal dari keluarga miskin. Pasti
dia tak bersekolah. Kalaupun dia bersekolah, dia tak
punya pengetahuan yang lebih untuk sampai pada
kesadaran realitas,” Albert berkata dengan santai. Tak
ada kekhawatiran dalam dirinya.
“Justru itu, Pa. Karena dia tak bersekolah di sekolah-
sekolah yang berjiwa kapitalis dan feodal, maka mama
khawatir jangan-jangan ini sesuatu yang ada di luar
kemampuan berpikir kita.”
“Mama, mama. Tak usahlah kau pikirkan itu. Kita
‘kan bukan yang dia maksudkan. Kita ‘kan sudah bilang
padanya, bahwa orang-orang di luar sana bukan untuk
dilawan, melainkan untuk disiasati. Yang kita lakukan
sehingga kita bisa selamat seperti ini, ‘kan begitu? Kita
tidak seperti yang dia ceritakan itu. Bergigi taring. Darah
segar keluar dari mulut. Apalagi bertanduk. Kita tidak
sejahat itu, ma.” Albert berusaha meyakini istrinya.
“Tapi aku masih belum yakin. Monster-monster yang
dia sebut itu ‘kan adalah mitra bisnis kita, pa. Mereka-
mereka yang telah memberikan proyek pada perusahaan
kita, pa, dan, kita telah mendapat keuntungan dari hasil
mark up dana negara yang mereka lakukan.” Perempuan
itu berkata dengan penuh kekhawatiran.
Albert terdiam sejenak. Dia tampak sedang
bemikirkan sesuatu secara serius. Barangkali tentang apa

89
yang baru diungkap istrinya. Sesaat ruangan itu diam.
Tak ada aktivitas yang mereka lakukan.
Setelah beberapa saat ruangan itu tak bersuara, tiba-
tiba Albert berdiri, dan berkata, “Makanya anak itu aku
panggil tinggal di sini supaya dia tak ada di luar sana.
Aku paham yang kau maksudkan,”
“Pa, jangan-jangan, tanah milik keluarga Dia yang
ada di sekitaran gedung-gedung yang perusahaan kita
bangun 15 tahun lalu. Kau masih ingat ‘kan kerusuhan
22 Maret, ketika puluhan warga pemilik tanah di
kompleks itu menolak menjual tanah mereka.”
“Aku tak ingat lagi. Mungkin saja. Tapi kalau
memang begitu, kita ‘kan hanya yang mengerjakan
proyek, bukan pemilik gedung itu.” Kita hanya mencari
untung dari para pejabat atau investor itu.”
Marce tak lagi melanjutkan kekhawatirannya. Dan
Albert pun diam. Mereka akhirnya tidur dalam
kelelapan.

90
tentang tanah
16.
Sebuah Keputusan
Hari-hari yang dilewati Dia di rumah megah itu
berjalan sebagai biasanya. Sebagai pengawas rumah, Dia
melakukan pekerjaannya sebagaimana yang dia harus
lakukan. Tapi, dalam suatu kesadaran diri, Dia terus
berusaha mencari jawab apa yang mestinya dia lakukan
setelah masa ini.
Sudah berbulan-bulan Dia tinggal di rumah itu. Telah
banyak yang dia dapat dari perenungan pribadinya. Leli
memang tetap seperti yang dia lihat waktu pertama kali.
Tak ada yang berubah dari diri pembantu ini. Tuan dan
nyonya pemilik rumah pun selalu berusaha tampil wajar
di hadapan Dia.
Sebuah pencarian memang sementara berproses
dalam nurani Dia. Dia memang sedang berusaha mencari
cara tepat yang mestinya dia lakukan untuk tanahnya
yang sedang dalam keadaan terdesak oleh eksploitasi
para kapitalis dan penguasa yang tanpa hati.
Bagaimanapun, panggilan nuraninya bukan hanya soal
bahwa dia bisa selamat di rumah itu, melainkan dan ini

91
yang barangkali menurutnya utama adalah kemerdekaan
dan kebebasan tanah kelahirannya dari eksploitasi.
“Tanah itu adalah kehidupanku. Di sana aku telah
dilahirkan. Di sana juga aku pernah hidup dengan kasih
sayang ibu. Aku tak boleh berdiam diri di sini, di rumah
yang asing denganku,” dia merenung dalam kesendirian
di kamarnya suatu malam.
Malam ini adalah malam ke 270 dia tidur di kamar
itu. Kamar di mana dia pertama kali dia tersadarkan
tentang realitas hidup sesungguhnya. Kamar di mana dia
menemukan jawaban pertama kali ke mana mestinya
arah hidupnya. Di tempat itu jugalah dia disadarkan
tentang kekuatan dalam dirinya untuk melawan.
Tapi tidak seperti pertama kali, malam ini dia tidak
mendengar suara yang biasa datang memberinya
petunjuk atau juga pelajaran. Malam ini dia hanya
sendiri.
“Ke mana kau suara? Apakah kau telah
meninggalkanku?” Dia bertanya dalam gumamam.
Dalam keadaan yang sendiri itu, Dia teringat pesan
ibunya,
Ibu yakin, kau Dia, sudah bisa menjaga dirimu. Asal kau
ingat, bahwa hidup harus diperjuangkan, maka ibu yakin kau
bisa menjalani kehidupan ini, sampai kau mencapai
kemerdekaan hidup.
Suara ibunya menggema dalam ingatan. “Apa
artinya bahwa hidup harus diperjuangkan? Apa artinya
kemerdekaan? Apakah ketika aku berhasil meyakinkan
tuan dan nyonya rumah rumah ini, sehingga mereka bisa
menerimaku tinggal di sini, dan aku tidak tinggal di

92
tentang tanah
rumahku yang reot itu, ini artinya aku telah berhasil
dalam perjuangan hidup? Aku telah merdeka? Atau…”
Sambil terus berusaha merenungi pesan ibunya, tiba-
tiba Dia mendengar bunyi burung manguni9 dari luar
rumah. “Kokosit, ko-ko-sit. Kwoit-kwooit”, teriak burung
manguni.
Dia tiba-tiba tersentak dari pembaringannya. Dia pun
setengah berdiri di tempat tidur. Samar-samar dia
mengingat apa yang pernah diceritakan kakeknya
tentang bunyi itu. “Itukah bunyi burung manguni? Apa
artinya?”
Dia berusaha mengingat arti bunyi itu menurut yang
pernah dia dengar dari kakeknya beberapa puluh tahun
yang lalu. Tiba-tiba, sesuatu dia katakan dalam dalam
hatinnya,
“Harus malam ini! Harus malam ini aku ke keluar
dari rumah ini, dan kembali ke rumahku, ke tanahku!”
Dia berbicara sendiri, meski tak terlalu keras bunyinya.
Seketika ia telah berdiri di samping tempat tidur.
“Kokosit, ko-ko-sit. Kwoit-kwooit”, sekali lagi burung
manguni itu berteriak seolah-olah menjawab keputusan
Dia yang baru diucap.
Mendengar teriakan bunyi burung manguni itu, Dia
hampir membalasnya dengan teriakan: “I Yayat U Santi.”
Tapi tak jadi, dia harus keluar dari rumah secara diam-
diam. Tidak boleh ada orang yang tahu.
Sebuah keputusan diambilnya. Dia segera mengemas
beberapa pakaian, dan mengisinya di sebuah tas ransel

9
Bahasa Minahasa untuk menyebut Burung Hantu. Manguni dalam
kepercayaan orang-orang Minahasa adalah pertanda untuk sesuatu, bisa soal
yang baik, bisa juga soal yang buruk.
93
tua yang dia dapat dari gudang. Dia pun berjalan
mengendap-ngendap menuju pintu ke kamar, ke luar
dari kamar dan berjalan menuju ke luar rumah. Tak sulit
dia melakukan itu. Berbulan-bulan tinggal di rumah ini
tentu telah membuat Dia tahu banyak hal tentang
keadaannya, kecuali kamar tuan dan nyonya, dan
beberapa bagian ruangan yang tidak boleh orang lain
masuk.
Tak membutuhkan waktu yang lama, Dia kini sudah
bisa keluar dari rumah. Sekarang Dia sudah berada di
sebuah ruas jalan samping timur rumah. Suasana jalan
gelap dan dingin. Penerangan dari beberapa rumah di
samping kanan dan kiri ruas jalan tak mampu membuat
suasana menjadi terang. Tapi pikir Dia itu lebih baik agar
tak ada orang yang melihatnya ke luar dari rumah.
Baru kali ini Dia melihat dunia luar sejak dia tinggal
di rumah itu beberapa bulan yang lalu. Diapun masih
merabah-rabah arah pulang ke rumah dan tanahnya.
Tapi Dia tak memikirkan hal itu secara serius. Dia terus
berjalan dengan tuntunan nurani yang terpanggil.
Nurani pasti akan menuntunnya kembali ke dunianya
yang sesungguhnya.
Inilah awal perlawanan Dia!

94
tentang tanah
17.
Pulang ke Rumah
Hari hampir pagi ketika Dia tiba di ujung kompleks,
tanah leluhurnya, tempat dia dulu tinggal.
Pemandangan belum terlalu jelas. Orang-orang masih
banyak yang tertidur. Dia berjalan masuk ke kompleks
itu mencari rumahnya yang sudah lama ditinggal. Dia
mengalami sedikit kesulitan mencari rumahnya, selain
hari masih gelap, juga karena kompleks itu telah
mengalami banyak perubahan. Jalan yang biasa dia lalui
semakin rusak. Rumah-rumah yang dulunya serupa
gubuk kini telah benar-benar menjadi gubuk.
Kemiskinan begitu cepat merambah kompleks ini. Sangat
kontras dengan gedung-gedung di sekitarnya yang
semakin tinggi dan besar.
Berbulan-bulan tak melihat kompleks yang adalah
tanah tumpahnya darahnya, milik para leluhur yang
diwariskan turun temurun tentu akan memperlihatkan
pemandangan yang lain. Pembanguan ekonomi yang
dikampanyekan oleh pemerintah benar-benar terjadi.
Tapi ironisnya pembangunan itu hanya menyentuh

95
usaha-usaha berskala nasional dan internasional, yang
besar modalnya, milik para kapitalis, dan sebaliknya
hanya meminggirkan orang-orang lokal, termasuk yang
ada di kompleks tanah warisan leluhur Dia.
Pemandangan itu yang Dia lihat ketika berjalan mencari-
cari rumahnya.
Dia akhirnya menemukan rumahnya ketika langit di
bagian timur telah memerah kekuning-kuningan tanda
mentari telah bangun dari peraduannya. Rumah yang
dulunya serupa gubuk, kini benar-benar telah menjadi
gubuk. Balok-balok kayu penyangga rumah kebanyakan
telah dimakan rayap. Atap sengnya banyak yang bocor
karena berkarat. Rumah itu seolah-olah tak berdinding
lagi. Papan yang menutupnya kebanyakan sudah lapuk.
Sekali datang hujan dan angin keras, bisa dipastikan
rumah itu akan roboh. Tapi, untung rumah in masih
berdiri di atas tanah miliknya, yang diwariskan oleh
kakeknya kepada ibunya, dan sekarang sudah pasti ia
pemiliknya.
Tapi bagaimanapun kondisinya, yang jelas tempat ini
memiliki banyak kenangan bagi Dia. Ketika masuk ke
dalam rumah melalui pintu yang sekali dorong langsung
roboh, tiba-tiba Dia merasakan sesuatu dalam batinnya,
seperti seorang anak yang hilang dan kini menemukan
lagi rumahnya. Begitu masuk ke dalamnya, tiba-tiba Dia
merasakan kedamaian dan ketenangan. Cahaya mentari
pagi yang menembusi dinding-dinding bocor memberi
kehangatan dan semangat baru bagi Dia.
“Sekarang, aku tak harus menyebut rumah ini
kepada orang sebagai gubuk. Sebab, inilah rumahku,
inilah kehidupanku, yang adalah kepunyaanku. Tak

96
tentang tanah
akan kubiarkan siapa saja yang datang mengambil hakku
ini. Akan aku lawan mereka!” Dia memberi kepastian
dalam hatinya.
Dia akhirnya tak lagi meratapi kondisi rumahnya
ketika sadar dan memberi kepastian dalam dirinya
tentang arah perjuangan hidupnya sekarang. Dia bahkan
kini bangga berada di rumah dan tanahnya sendiri.
“Kemerdekaan yang sesungguhnya adalah ketika aku
bisa hidup bebas berpijak di atas tanah sendiri,” Dia
merefleksikan kepulangannya di rumah itu.
Diapun segera membereskan apa yang masih bisa
dibereskan di rumahnya. Meja dan kursi yang
berserakan diaturnya. Dia juga mencari bagian rumah
yang atapnya tidak terlalu bocor, setidaknya untuk
sementara ini dia bisa berteduh di bagian rumah itu
kalau hujan datang. Kamar yang dulu tempat ibunya
terbaring sakit dalam keadaan berantakan. Begitu juga
kamar tempat dia dulu tidur. Sementara bagian
dapurnya penuh dengan sampah dan lumpur. Rupanya
kalau hujan air masuk dan menggenangi bagian itu. Tak
ada hiasan dinding di rumah. Bukan nanti sekarang,
melainkan sudah dari waktu ibunya masih hidup.
Kakeknya mewariskan rumah itu kepada ibu Dia
sekitar 15 tahun lalu memang sudah dalam kondisi yang
tidak terlalu baik. Kakek Dia juga meninggal pada 15
tahun yang lalu dalam sebuah kerusuhan. Neneknya
lebih dulu, sekitar 3 tahun sebelum kakeknya meninggal.
Padahal, seingat Dia ketika gedung-gedung bertingkat di
sekitarnya belum dibangun, rumah kakeknya termasuk
mewah di zamannya. Kakeknya yang pensiunan kepala
sekolah itu terkenal sebagai orang yang mencintai
97
kebersihan dan keindahan. Tapi itu waktu warga di
kompleks masih hidup damai dengan kepunyaannya.
Sekarang, ketika kapitalisme menggurita dengan
ganasnya, dan mendesak warga kompleks hidup di
bawah gedung-gedung bertingkat, kompleks ini berubah
menjadi kumuh. Seingat Dia, itu hanya terjadi sekitar 2
tahun, ketika beberapa buldozer menghancurkan rumah
penduduk yang terpaksa menjual tanahnya karena
intimidasi aparat keamanan.
Tahun kematian kakek Dia, kalau dihitung dari
sekarang berarti terjadi di sekitaran tahun 1993 dalam
sejarah Indonesia. Di tahun 1993 itu di Indonesia
perusahaan yang total assetnya berjumlah lebih dari Rp.
1 triliun, berjumlah 24. Di tahun 1995 jumlah tersebut
meningkat hampir 3 kali lipat menjadi 67 perusahaan.
Nilai asset mereka dalam waktu hanya 2 tahun
meningkat hampir 4 kali lipat dari Rp. 72 triliun,- (26%
dari Pendapatan Nasional) pada tahun 1993 menjadi
pada tahun 1995 nilai asset tsb berjumlah Rp. 272,8
triliun,- atau 83% dari Pendapatan Nasional.
Kolusi dan Korupsi di tahun-tahun itu sedang terjadi
dengan hebat-hebatnya, baik antara anak bangsa
maupun antara anak bangsa dengan pihak-pihak asing.
Indonesia memang sedang digadaikan. Motif kerjasama
pihak investor asing dengan konglomerat Indonesia
terutama didasari oleh akses kekuasaan
(monopoli/oligopoli) yang dimiliki konglomerat di
Indonesia. Oleh sebab itu, kolusi tidak saja terjadi antara
konglomerat dan pemerintah/birokrat didalam negeri
tetapi juga melibatkan pihak asing yang terdiri dari
perusahaan-perusahaan-perusahaan asing termasuk IMF

98
tentang tanah
dan World Bank. Bahkan menurut Prof. Jeffrey Winters,
bahwa kurang lebih sepertiga dana pinjaman World
Bank lenyap ditelan birokrasi atat pemerintah.
Kebijaksanaan liberalisasi dekade 80-an hanya
mengintensifkan proses pembentukan kelompok pemilik
modal yang berdasar pada "patronage" dan tidak
disertai dengan mekanisme kontrol, sehingga banyak
terjadi kolusi dan manipulasi antara pihak bank swasta
(atau para konglomerat) dengan pihak BI (meningkatnya
kredit macet perbankan dan tidak dikembalikannya
Kredit Likwiditas BI merupakan contohnya.10
Masa itu Dia masih kanak-kanak. Di masa itulah Dia
sempat menyaksikan keributan yang terjadi di
kompleksnya yang sekarang telah berubah menjadi
kumuh ketika aparat datang dengan senjatanya dan
memaksa warga untuk menjual tanah kepada para
investor yang tak tahu datang dari mana. Kakek Dia
berada di barisan depan dan bertahan tidak menjual
tanahnya. Tapi karena kekuatan kekuasaan negara,
warga akhirnya tak bisa mempertahankan semua tanah
miliknya.
Kakek Dia bersama sejumlah warga hanya bisa
mempertahankan tanah sekitar 9 hektar. Padahal,
sebelum kejadian itu, tanah milik warga berkisar di 100

10
Dikutip dari artikel berjudul "Pembangunan Ekonomi Orde Baru dan
Resesi Ekonomi di Indonesia,” yang diulis oleh Priyanto, sebagai Pengantar
diskusi di FMIJ (Forum Masyarakat Indonesia di Jerman) Cologne 18 April
1998 dipubliksasikan di
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1998/04/24/0031.html
.

99
hektar. Selebihnya, meski ada perlawanan tapi banyak
juga yang harus menyerah pada keadaan, dengan iming-
iming uang dan katanya, pekerjaan, kebanyakan warga
di tanah itu akhirnya merelakan tanahnya untuk dijual.
Tanah 9 hektar yang tersisa itulah sekarang yang
terdesak dan telah berubah menjadi kumuh.
Dia masih ingat dengan jelas ketika kakeknya
bersama sejumlah warga lainnya berteriak-teriak keras
menolak kedatangan para aparat. “Tanah ini tak akan
kami jual! Tanah ini adalah hak kami! Tanah ini adalah
kehidupan untuk generasi kami!” begitu teriakan yang
Dia masih ingat.
Suasana waktu itu memang panas. Setiap malam
warga berjaga-jaga. Kakek Dia mengorganisir warga
untuk menyusun strategi melawan para pejabat yang
telah bersepakat jahat dengan para investor.
Dia juga masih ingat ketika ada seorang pejabat
dengan tiga orang pengawalnya datang ke rumah
kakeknya. Di balik pintu kamar, Dia mengutip
percakapan itu.
“Pak Jotje, kami harap bisa bekerjasama dengan
kami. Sebab tanah yang akan kami beli ini adalah untuk
pembangunan. Aku yakin bapak pasti mendukung
pembangunan yang diprogramkan oleh negara. Di tanah
ini akan kami bangun pabrik-pabrik dan kantor-kantor
perusahaan. Warga di sini bisa bekerja di pabrik-pabrik
itu dan sudah pasti mereka akan mendapat upah.
Apakah bapak tidak senang kalau warga di sini bekerja
dan bisa meningkatkan pendapatan untuk keluarga?”
Kakek Dia menjawab,

100
tentang tanah
“Begini, Pak. Tanah ini adalah harapan kami,
harapan generasi warga yang ada di sini. Kalau tanah ini
sudah dijual, di mana lagi kami bisa hidup. Soal
pembangunan, saya sangat setuju. Apalagi seperti kata
bapak, pembangunan adalah untuk meningkatkan taraf
hidup warga. Tapi Pak, tolong mengerti. Kalau memang
pemerintah berniat baik, tentu tidak pertama-tama harus
membeli tanah kami ini dan mendirikan pabrik di sini.
Yang kami butuhkan adalah keberpihakan pemerintah
terhadap usaha-usaha yang telah kami geluti di sini.
Meski usahanya kecil, tapi dari situlah warga kami bisa
hidup. Warga melakukan usaha mereka itu dengan
kemandiriannya. Itu pilihan kami, ketimbang menjadi
buruh di pabrik yang bukan milik kami.”
Pejabat itu kembali berbicara dengan segala
alasannya,
“Tapi, Pak Jotje, negara memiliki kewajiban untuk
mengusahakan cara-cara yang lebih baik dalam rangka
meningkatkan taraf kehidupan warga negaranya. Dan
juga Negara berhak atas segala yang ada di dalamnya.
Bekerjasamalah dengan kami. Kalau bapak mau, kami
akan memberikan bapak bonus uang tiga juga rupiah.”
Selesai berbicara begitu, si pejabat berbisik kepada
seorang pengawal yang ada di sampingnya. Si pengawal
membuka tasnya dan mengeluakan sebendel uang dan
kemudian menaruhnya di meja.
Tapi kakek Dia tidak memperdulikannya. Dia hanya
menatap wajah pejabat yang menawarkan uang.
“Maaf, Pak. Kehidupan kami di sini tidak bisa
dibayar dengan uang tiga juta,” kakek Dia berkata
dengan berani sambil berdiri dan melangkah ke luar
101
rumah meninggalkan pejabat dan para pengawalnya
yang duduk terdiam.
Sadar bahwa kakek Dia telah menyudahi
pembicaraan, pejabat dan para pengawalnyapun segera
berdiri dan melangkah ke luar rumah. Mereka akhirnya
pergi tanpa permisi.
Pertemuan yang tanpa kesepakatan itu terjadi ketika
aksi menolak menjual tanah marak dilakukan warga. Dia
pun menduga, karena itulah sehingga aksi pemaksaan
menjadi gencar dilakukan oleh aparat yang diketahui
belakangan, itu semua ternyata atas kemauan
pemerintah pusat dan pengusaha yang berencana
membangun mall-mall dan gedung-gedung bisnis
lainnya.
Akhir cerita sementara dari penolakan dan
pemaksaan itu adalah kerusuhan berdarah antara warga
yang dipimpin oleh kakek Dia dengan ratusan aparat.
Peristiwa itu terjadi pada tangga1 22 Maret 15 tahun
silam dari kehidupan Dia sekarang. Waktu itu puluhan
warga yang masih gigih mempertahankan tanahnya
saling kejar dengan aparat. Mereka menggunakan batu,
kayu, dan apa saja yang bisa dipakai untuk melawan
para aparat yang sedang memaksa mereka. Namun
sesuatu yang tragis terjadi. Kakek Dia tewas akibat
tembakan aparat.
Ibu Dia waktu itu sangat sedih. Perempuan itu
menjadi marah dan benci terhadap orang-orang yang
sebenarnya masih sedarah. Itupun seolah-olah membuat
ibu Dia bangkit melawan lagi. Tapi, kekuatan terbatas.
Apalagi kasus kematian kakek Dia pada akhirnya diam
begitu saja. Pejabat pemerintahan, pengadilan, dan

102
tentang tanah
kepolisian justru hanya menjadikan kasus itu sebagai
cerita sandiwara di radio, koran atau televisi untuk
kemudian mengakhiri kasus itu tanpa ada yang
bertanggung jawab.
Namun begitu, semangat untuk mempertahankan
tanah milik sendiri tetap berkobar di hati mereka meski
memang tinggal ikrar di hati. Belakangan warga yang
telah menjual tanahnya akhirnya sadar juga. Mereka pun
hidup dalam penyesalan, menderita di bawah gedung-
gedung bertingkat. Gedung-gedung itu akhirnya menjadi
pemandangan buruk bagi kehidupan mereka.
Namun, kematian kakek Dia rupanya membuat
ambisi pejabat untuk menguasai semua tanah warga itu
surut. Aparat pun tidak lagi datang dengan kasarnya
memaksa warga. Meski memang orang-orang yang
belakangan tercitra dalam mimpi dan ingatan Dia
sebagai para monster pada akhirnya beberapa bulan
setelah kejadian itu telah memulai meratakan tanah dan
membangun konstruksi-konstruksi gedung besar di
tanah warga yang terlanjur dijual.

103
18.
Bertemu Sahabat
Meski Dia telah bersusah payah membereskan
rumahnya dari kekacauan, tapi kondisinya tetap saja
dalam keadaan memprihatinkan. Tapi itu tidak
mengurangi kebanggaanya memiliki tempat berteduh
yang berdiri di atas tanahnya sendiri. Itulah yang antara
lain memotivasi Dia untuk berusaha hidup penuh
semangat.
Sehari-hari, setelah dari kerja beres-beres rumah, Dia
pun mencoba lagi menemukan dunianya yang
sebenarnya. Ia berjalan mengelilingi kompleks bertemu
dengan orang-orang setanah air. Meski dalam beberapa
waktu lamanya meninggalkan kompleks itu, namun
kebanyakan warga masih mengenal Dia.
Dia kini akhirnya sangat menikmati hidup di rumah
dan tanahnya sendiri. Tapi kehidupannya kini sangat
berbeda dengan kehidupannya di tempat itu beberapa
waktu yang lalu. Dia kini sedang berusaha memaknai
hidupnya dengan tujuan jelas, yaitu menggugat

104
tentang tanah
kezaliman yang dilakuan oleh para monster. Tapi Dia
baru memulai.
Hari ini, di sebuah lorong, seseorang memanggil
namanya.
“Dia! Dia!. Di..aa!” Seorang perempuan bercelana
jeans, berkaos oblong hitam memanggil Dia dengan
isyarat tangan kanan memanggil. Suara itu dari arah
belakang Dia. Jarak mereka sekitar 10 meter.
Dia menoleh ke belakang. Karena silau cahaya
matahari, Dia menaruh telapak tangannya di depan dahi,
seperti orang yang sedang menghormat bendera
bersusah-payah mencari tahu siapa pemilik suara itu.
“Dia! Dia! Aku Keke!! Gadis muda itu menyebut
namanya sambil berlari kecil mendekat ke arah Dia.
“Keke?” Dia bergumam.
Gadis itu akhirnya telah bertatap muka dengan Dia.
“Hei, kamu masih ingat aku? Aku Keke, teman
waktu kecil,” Keke berusaha membantu mengingat.
“Keke?”Dia belum ingat.
“Aduh, sudah lupa ya. Kamu masih ingat siapa yang
jatuh dari pohon jambu di belakang rumah kakekmu
dulu? Waktu itu kita harus cepat-cepat turun dari pohon
bersembunyi karena kakekmu marah.”
“Jatuh dari pohon jambu? Kapan itu?”
“Sudah lama. Pantas kau tak ingat lagi,” ujar Keke.
“Ya, kalau begitu aku perkenalkan saja siapa aku. Aku
Keke Pinontakan. Rumahku dulu ada di samping rumah
kakekmu? Kita sering panjat jambu dan…”
“Ya, ya sudah. Aku ingat sekarang. Kamu ‘kan yang
pernah pipis di celana karena ketakutan melihat
sinterklas? Kamu dulu punya sepeda kecil, kalau ada
105
yang ingin pinjam harus bayar dua puluh lima rupiah?
Ha..ha…Keke.” Dia ingat dan tertawa gembira.
Tapi tiba-tiba mereka terdiam. Sesuatu tiba-tiba
datang hinggap di hati mereka masing-masing. Sesuatu
dari atas sana terlempar di batin dua orang muda itu
membuat mereka tak berani saling pandang. Sebuah
perjumpaan yang tak biasa antara dua sahabat lama.
Merasa kikuk dengan suasana, Keke pun berinisiatif
bicara lagi,
“Kenapa kamu, Dia? Apa kamu tak senang kita
berjumpa lagi? Sudah lama kita tak bermain di sungai
kecil di ujung kampung.”
“Bukan. Bukan itu. Keke, coba kamu lihat seperti apa
aku sekarang? Sementara kamu banyak yang berubah.”
“Apanya yang berubah dalam diriku? Biasa-biasa
saja. Buktinya aku yang pertama mengenal kau dari pada
kamu.”
Mereka masih berdiri di tengah lorong.
“Justru itu, Ke. Aku sulit mengenalmu, karena
banyak yang berubah padamu. Sementara aku, gampang
kau kenal, karena dari dulu aku cuma begini,” Dia
berbicara seperti orang yang tak percaya diri.
“Kita sama-sama berubah, Dia. Perubahan itu adalah
sesuatu yang hakiki dari kehidupan ini. Tapi percayalah,
meski penampilanku bisa berubah, begitu juga dengan
bentuk persahabatan kita harus berubah, Dia, tapi,
perubahan itu mestinya ke arah yang lebih baik. Jangan
seperti ini, namaku saja tidak kau ingat.” Keke berkata
dengan senyum manis yang memikat hati.
Setelah mendengar itu baru Dia berani menatap mata
Keke. Mereka saling pandang, dan akhirnya berpelukan

106
tentang tanah
rindu. Sebuah kerinduan yang lama terpendam. Pelukan
yang menyejukan dan memberi semangat baru.
Setelah itu mereka pun berjalan pelan menyusuri
lorong kenangan mereka waktu masih kecil yang sudah
lama. Mereka berjalan sambil bercerita.
“Ke, kamu dari mana saja? Lama sekali kita tak
jumpa, ya. Terakhir kalau tidak salah waktu acara
perpisahan di SD kita.”
“Iya, di acara perpisahan itu. Waktu itu kau
juaranya.”
“Kau juga juara ‘kan? Waktu itu nilai kita sama,
sehingga juara satu adalah kita berdua.”
“Ehmm. Aku hampir lupa. Oh, iya. Waktu itu
kakekmu memberi kita buah jambu. Katanya hadiah
untuk juara.” Keke tertawa, begitu juga dengan Dia.
“Dia, setelah tamat SD, aku langsung ke Jakarta. Ibu
dan ayahku juga ikut menyusul. Di sana ada om dan
tanteku. Mereka panggil aku untuk meneruskan sekolah
di sana. Kebetulan mereka tak punya anak.”
“Lalu, orang tuamu, masih di Jakarta?”
“Sudah tiada.”
“Maksudmu, meninggal?”
“Ya, begitulah, Dia. Waktu Mei 98, kerusuhan yang
besar itu, ayah dan ibuku tewas di tengah kerusuhan.
Tak tahu siapa pembunuh mereka. Aku sekarang hanya
seorang diri. Syukur aku masih bisa tamat kuliah.”
“Oh, kasihan. Lalu, kenapa kau tidak proses secara
hukum kasus pembunuhan itu?”
“Percuma, Dia. Siapa yang akan kita usut? Negara?
Itu ‘kan kerusuhan. Di sana ada aparatnya, premannya,
dan massa yang liar. Pada waktu kerusuhan ini banyak
107
toko-toko dan perusahaan-perusahaan dihancurkan oleh
amuk massa — terutama perusahaan-perusahaan yang
dianggap ada hubungannya dengan keluarga Soeharto
dan konco-konconya, dirusak secara membabi-buta oleh
massa yang mengamuk. Selain itu banyak warga
Indonesia keturunan Tionghoa juga menjadi sasaran
amuk massa, terutama di Jakarta dan Surakarta. Sampai
saat ini belum begitu jelas siapa yang menunggangi
mereka.
“Amuk massa ini membuat para pemilik toko di
kedua kota tersebut ketakutan dan menulisi muka toko
mereka dengan tulisan ‘Milik pribumi’ atau ‘Pro-
reformasi’. Hal yang memalukan ini mengingatkan
seseorang kepada peristiwa Kristallnacht di Jerman pada
tanggal 9 November 1938 yang menjadi titik awal
penganiayaan terhadap orang-orang Yahudi dan
berpuncak pada pembunuhan massal atas mereka di
hampir seluruh benua Eropa oleh pemerintahan Jerman
Nazi.
“Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak
diliputi ketidakjelasan dan kontroversi sampai hari ini.
Namun demikian umumnya orang setuju bahwa
peristiwa ini merupakan sebuah lembaran hitam sejarah
Indonesia, sementara beberapa pihak, terutama pihak
Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan
pembasmian orang-orang tersebut”11
“Kenapa harus orang tuamu yang menjadi korban,
Ke?”

11
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Kerusuhan_Mei_1998
108
tentang tanah
“Begitulah Dia yang terjadi pada warga yang hidup
di negara yang lemah ini. Lemah ke dalamnya, dan
lemah keluarnya.” Keke berkata dengan penuh
keprihatinan. “Lalu, keluargamu?”
“Nenekku meninggal sekitar 18 tahun lalu. Kakek
terbunuh waktu mempertahankan tanah ini 15 tahun
lalu. Tak ada yang bertanggung jawab waktu itu. Ibuku
juga sudah meninggal. Kalau ayah, kau pasti masih ingat
bagian sejarah hidupku itu. Ya, kita sama, aku juga kini
hidup sendiri.”
“Kasihan nasib kita, Dia. Tapi sebetulnya kita tak
sendiri di dunia ini. Di sini saja ada aku dan kau. Di
kampung ini ada saudara-saudara kita,” ujar Keke sambil
memegang pundak Dia yang meski kurus tapi kokoh.
“Tapi, Ke, kompleks ini bukan lagi seperti kampung
kita yang dulu. Tanah kita ini dalam keprihatinan. Kau
lihat kondisinya. Pohon jambu yang sering kita panjat itu
tak ada lagi. Sungai di ujung kampung tempat kita
bermain dulu tak lagi bening airnya. Pohon-pohon besar
di pinggir kampung kita dulu telah punah. Warga di sini
tak lagi menikmati dengan bebas alam yang pernah
akrab dengan mereka. Lebih dari itu mereka banyak
yang tak lagi berdaulat atas tanah mereka. Kau bisa lihat
‘kan semua perubahan ini?” Dia berbicara dalam
keprihatinan.
“Maksudmu?” Keke bertanya ingin penjelasan lebih
lanjut.
“Ini semua terkait dengan ceritaku tadi, tentang
kerusuhan itu. Coba kau lihat gedung-gedung itu,” Dia
berkata sambil menunjukkan gedung-gedung bertingkat
di bagian depan mereka. “Gedung-gedung yang bukan
109
milik kita itu dibangun di atas kita, tanah leluhur kita.
Tapi apa yang kita dari dapat dari gedung-gedung itu?
Justru karena itu kehidupan warga di sini semakin
terpinggir. Untung para pemilik modal itu tidak berhasil
menguasai semua tanah kita ini. Tanah yang tersisa dan
harus dibayar dengan darah adalah kompleks yang
sudah kau lihat sendiri seperti apa kondisinya.”
Keke menatap serius wajah Dia yang penuh
kemarahan. Keke berkata, “Jadi, karena itulah sehingga
hidup warga di sini dalam keadaan miskin dan tidak
berdaya? Aku tahu sekarang. Para kapitalis dan
penguasa politik itu telah merampas hak-hak dasar
hidup saudara-saudara kita. Dia, kita harus berbuat
sesuatu.”
“Itulah yang sedang aku pikirkan sekarang, Ke. Kita
tidak boleh membiarkan ini membinasakan kehidupan
kita di sini. Apapun yang kita punya sekarang aku pikir
bisa menjadi kekuatan untuk melawan pembinasaan
yang sedang dilakukan oleh orang-orang yang tak
berhati itu,” kata Dia penuh semangat.
“Kita harus bergerak, Dia.”
“Maksudmu, kau juga ingin berbuat sesuatu untuk
perlawanan ini? Tapi, Ke, kau bisa saja hidup senang
dengan hasil kuliahmu itu. Kau boleh bekerja, mendapat
uang dan hidup di rumah mewah,” Dia berkata begitu
karena sedikit terkejut dengan sikap Keke yang juga
prihatin terhadap kehidupan manusia-manusia di
kompleks itu.
“Dia, ini bukan hanya soal diriku sendiri, bukan soal
egoku saja, tapi ini adalah hak identitas kita. Kita adalah
generasi dari tanah ini, Dia. Kita lahir di tanah ini.

110
tentang tanah
Leluhur kita telah menjaganya dan melestarikannya
untuk kehidupan kita. Bagaimanapun tanah ini telah
memberikan kita kehidupan. Tanah ini, Dia, bagiku
bukan hanya soal nilai rupiahnya, melainkan bermakna
kehidupan. Siapapun yang sadar dengan itu, pasti akan
sama dengan kita,” Keke berbicara seperti orang yang
baru mendapat wangsit dari leluhur untuk maju ke
medan perang.
Wajah Dia tiba-tiba menjadi cerah, sesuatu dari
nuraninya menggerakan urat-urat wajahnya. Dalam
hatinya Dia berkata, “Terima kasih Opo Empung12,
ternyata aku tidak sendiri.”
“Kamu tidak sendiri, Dia. Ada aku, juga barangkali
ada banyak orang lain yang sadar dengan ini tapi belum
tahu memulainya dari mana,” kata Keke memastikan
panggilan nuraninya.
Tak terasa mereka telah berada di pinggir kompleks.
Dia dan Keke kini berdiri di tepi jalan raya yang lebarnya
kurang lebih 8 meter. Sebuah jalan yang biasa dilewati
truk-truk yang besar, bus antar kota, angkutan dalam
kota dan juga mobil-mobil pribadi milik para pejabat dan
pengusaha. Padahal, ketika mereka masih kecil lebar
jalan ini tak lebih dari lima meter. Mereka pun waktu itu
masih bisa dengan leluasa bermain-main di jalan. Itu
waktu masih sebagai jalan kampung. Tapi sekarang tak
lagi terlihat keceriaan anak-anak kecil bermain di jalan
itu. Ini semua terjadi sejak pemerintah akhirnya lebih
mementingkan kenyamanan para kapitalis di gedung-
gedung bertingkat itu, ketimbang kedamaian warga.

12
Bahasa Minahasa yang berarti Tuhan Allah.
111
“Ke, sudah berapa lama kau di sini?” Tanya Dia.
“Aku sebenarnya sudah seminggu di kota ini.”
Dua anak muda itu masih berdiri di tepi jalan.
Beragam jenis kendaraan yang lewat hanya lalu begitu
saja. Mereka pun tak memusingkan kesibukan
kendaraan-kendaraan itu.
“Lalu kau tinggal dengan siapa di kompleks ini?” Dia
bertanya lagi.
“Aku sebenarnya hanya jalan-jalan ke sini. Aku ‘kan
tak punya rumah lagi di sini,” Keke berujar sambil
menundukkan kepala melihat batu-batu kerikil di tepi
jalan. “Aku tinggal bersama teman di bagian selatan kota
ini. Kamu tinggal di mana?”
“Di rumahku, peninggalan kakek. Aku sendiri di
rumah itu.”
“Oh, ya, Dia. Aku harus pergi. Aku sedang ditunggui
temanku di rumahnya. Nanti kita bertemu lagi. Kamu
bisa telepon aku di nomor telepon rumah temanku 0431-
3150033, dan nomor handphoneku…”
“Nanti saja. Nomor handphonenya tak usah, aku tak
punya telepon semacam itu.”
“Baik. Aku pasti akan datang lagi, mungkin besok
atau lusa. Kamu tetap di sini?”
“Ya, aku tetap di sini. Tak akan ke mana-mana lagi.
Kehidupanku di sini. Aku tunggu kedatanganmu lagi,”
kata Dia sambil memandang wajah Keke yang cantik itu.
“OK.” Keke berkata singkat.
Sebuah mobil angkutan dalam kota berhenti tepat di
depan mereka. Keke menumpang kendaraan itu menuju
ke arah selatan. Dari dalam mobil Keke melambaikan
tangan untuk Dia yang diam mematung di tepi jalan. Dia

112
tentang tanah
hanya membalas dengan anggukan kepala tanda
mempersilakan Keke pergi. “Aku tunggu kedatanganmu,
Ke.” Dia bergumam dalam hatinya.

113
19.
Sungai yang Menyedihkan
Setelah perjumpaan itu, Dia meneruskan perjalanan
mengelilingi kompleksnya. Ia teringat sungai di ujung
kampung tempat ia dan Keke dulu bermain-main. Dia
pun berjalan ke sungai itu. Tak sekedar bernostalgia
mengenang masa lalu, namun melihat kembali sungai itu
dari dekat sama dengan mencari bukti baru lagi soal
keberadaan tanahnya.
Di tengah perjalanan menuju ke sungai, Dia
menyaksikan beberapa orang perempuan duduk di
depan rumah yang lebih mirip pondok. Anak-anak
mereka yang kira-kira berusia 3- 5 tahun bermain tapi tak
terlalu ceria. Kondisi mereka agaknya tak terurus.
Berpakaian kumal dan daki menghiasi wajah anak-anak
itu. Tapi memang belum tampak kalau mereka sedang
mengidap gizi buruk atau busung lapar. Seorang ibu
muda, memegang piring berisi nasi tak pakai lauk atau
pauk.
Di samping rumah itu beberapa orang lelaki dewasa,
barangkali ayah dari anak-anak itu sedang
membersihkan beberapa botol plastik bekas minuman air
114
tentang tanah
mineral. Ada juga yang mengeluarkan beberapa botol
plastik bekas air mineral dari karung. Sebuah drum yang
dipotong menjadi stengah berisi air yang tampak
kecoklatan. Wajah-wajah mereka mengisyaratkan suatu
kemiskinan. Asap rokok murahan sesekali menutupi
wajah-wajah mereka yang mulai menjadi tua dengan
beban hidupnya.
Suasana di jalan sunyi. Sehingga begitu melewati
pondok-pondok itu, orang-orang di situ ada yang
memandang Dia. Begitu melihatnya mereka tak heran,
karena mereka mengenalnya. Mereka tak tersenyum, tapi
juga tak sinis memandangnya. Sementara Dia berusaha
untuk tersenyum ramah, meski hanya sambil lalu.
Dia berjalan terus menapaki jalan yang sunyi. Di tepi
jalan berjejer beberapa rumah milik warga yang tak
teratur. Tak ada halaman untuk menanam bunga, pagar
yang terbuat dari bambupun tampak sudah rusak.
Bentuk rumahnya pun hampir sama dengan rumah Dia.
Pintu rumah-rumah kebanyakan terkunci, hanya satu
dua yang sempat dia lihat pintu dan jendelanya terbuka,
tapi tak terlihat penghuni di dalamnya.
Pembangunan yang selama ini digembar-gemborkan
oleh pemerintah memang tak menyentuh kompleks ini.
Ini sangat kontras sekali dengan bangunan-bangunan
bertingkat dan mewah di sekitarnya. Uluran tangan dari
pemerintah hanyalah pembangian beras miskin atau
raskin atau juga semacam subsidi untuk warga miskin
sekali tiga bulan. Dan kalau Pilkada atau pemilu, warga
di kompleks itu kebanjiran bantuan. Ada calon yang
datang membawa beras, gula, sampai susu yang
kadaruarsapun mereka bawah.
115
Padahal, waktu gedung-gedung bertingkat milik para
konglomerat belum dibangun, semua warga rajin
bekerja. Ada yang menanam jagung, singkong dan
rempah-rempah untuk dijual di pasar. Yang lainnya
sebagai tukang membuat perabotan. Banyak juga warga
yang punya kebun cengkih dan kelapa di daerah
pegunungan. Tapi begitu pembangunan tanpa hati itu
datang, keadaan ekonomi mereka terjepit. Merekapun
mulai dengan mengijon buahnya, setelah keadaan
semakin terdesak, hektar demi hektar perkebunan pun
dijual. Parahnya, warga tak mengivestasi semua yang
meraka jual itu untuk menyekolahkan anak. Ada satu
dua, tapi mereka tak lagi tinggal lagi di tanah ini. Orang-
orang tua merekapun banyak yang sudah meninggal.
Sungguh menyedihkan.
Kakek Dia pernah bercerita bahwa warga di tanah
itu, dulunya hidup sejahtera, berwibawa dan
berintelektual. Banyak di antara mereka yang karena
kecerdasannya menjadi guru, seperti kakeknya. Bahkan
di masa-masa awal kemerdekaan, banyak guru dari
tanah itu yang karena keahliannya sehingga pemerintah
mengutus mereka sebagai guru di hampir semua pelosok
negeri. Ini kata kakek Dia, karena juga tradisi kekristenan
yang sudah mengakar di tanahnya telah
memperkenalkan model pendidikan modern sejak
berabad-abad lampau.
Menurut cerita kakeknya lagi, di tanah itu dulu
banyak generasi muda yang keter13 dan berani, sehingga
di masa kolonial Belanda banyak yang menjadi suraro.14
13
Bahasa Minahasa yang artinya kuat.
14
Bahasa Minahasa yang berarti tentara/prajurit.
116
tentang tanah
Di masa kemerdekaan ada berapa warga keturunan di
tanah itu yang bahkan menjadi pemikir sampai menteri.
Ini menjadi sejarah yang terus dibanggakan oleh warga
di tanah itu. Meski memang sekarang tinggal menjadi
cerita indah untuk mengantar si tole, utu dan keke tidur
di malam hari.
Tak terasa akhirnya Dia sudah berada di dekat
sungai. Meski memang sudah tahu seperti apa
keadaannya beberapa waktu yang lalu, tapi hari ini Dia
masih terkejut. Betapa tidak, di beberapa bulan yang lalu,
di tepi sungai itu Dia masih melihat beberapa pohon tua
yang tumbuh entah sejak kapan. Tapi sekarang, yang dia
lihat tinggal batangnya yang mulai mengering. Tak ada
lagi dedaunan yang hijau menyejukan. Tak ada lagi
burung-burung kecil bermain sambil menyayikan lagu
alam di dahannya. Di sekitar sungai tinggal rumput-
rumput liar. Batu-batu di sungai itu semakin timbul di
permukaannya. Air semakin berkurang. Warnanya pun
kecoklatan-coklatan. Sampah-sampah plastik bekas
bungkusan makanan ringan menjadi pemandangan
buruk. Tapi, dari tulisan atau merek-merek di sampah
plastik itu Dia melihat itu bukan dari sampah warga di
kompleksnya. Mereka tentu tak makan makanan ringan
yang tampaknya dari mall-mall yang harganya mahal-
mahal.
Sungai yang dulunya tempat Dia bermain bersama
sejumlah kawan termasuk Keke kini menjadi sunyi. Tak
ada lagi orang yang memancing ikan. Tak ada lagi orang
mencuci pakaian dan mandi. Tak ada lagi canda dan
tawa anak-anak bermain air sungai. Kini yang tersisa
adalah sampah-sampah plastik berwarni-warni tapi tak
117
indah dan batu-batu yang semakin timbul. Sungai
kenangan Dia telah menjadi suram, menyedihkan
memang.
Sedih hati Dia menyaksikan semua itu. Dia pun
berjongkok di tepi sungai, seperti seorang yang sedang
meratapi kematian kekasihnya. Jari-jarinya merabah
beberapa batu kerikil yang meski kecil tapi setia
mendampingi masa-masa kritis sungai itu. Pohon-pohon
besar yang dulunya Dia percaya bisa mengawal sungai
kini seperti seorang tua berdiri tanpa nyawa dan harapan
memandang generasinya yang sedang terancam jiwa dan
raganya.
Dia mengamati dan meratapi sungai itu berjam-jam.
Tak terasa hari telah sore. Langit mulai memerah. Sang
raja hari tak lama lagi akan masuk ke peraduaanya.
Burung-burung yang mengembara mencari makan lewat
begitu saja di atas langit Dia. Tempat itu sepertinya tak
lagi menyenangkan bagi burung-burung untuk menjadi
tempat persinggahan. Tiada lagi pohon-pohon yang
rindang tempat mereka membangun sarang memelihara
anak-anak mereka. Dia pun pulang ke rumah dengan
hati yang sedih.

118
tentang tanah
20.
Keke Memang Datang Lagi
Keesokan harinya, ketika baru bangun pagi, Dia
kembali melakukan apa yang harus dia lakukan untuk
kehidupannya. Tapi, tak lama dari bangun pagi itu, Dia
dikejutkan dengan suara yang memanggilnya. Dia pun
bergegas menuju bagian muka rumahnya. Sosok seorang
perempuan muda nan cantik yang baru dia kenal lagi
kemarin, muncul dengan pesonanya. Dia pun hampir
menjadi serba salah. Tak tahu apakah karena terkejut
atau sesuatu sedang terjadi dalam hatinya. Karena ini
bukan makhluk biasa. Di depannya, seorang perempuan
muda cantik, masih segar baru habis mandi di tambah
parfum berbau bunga melati menyentuh hingga ke dasar
hati.
Yang bisa dia lakukan waktu itu hanya terkejut dan
sulit bicara. Pesona perempuan muda itu seolah-olah
mengatup mulutnya.
“Selamat pagi, Dia. Aku datang lagi, seperti janjiku
kemarin,” Keke menyapa Dia yang masih terdiam
bingung.

119
“Hei, Ke, ehmm… Eh, selamat pagi. Masuk. Ta…tapi
maaf, rumahku berantakan. Maklum hanya sendiri,”
jawab Dia kikuk.
“Aku akan tinggal di sini, Dia.”
“Maksudmu…Maksudmu, tinggal di …”
“Tinggal di kompleks ini dengan Tante Neli,” Keke
langsung memotong kalimat yang diucap Dia.
“Oh. Tante Neli yang di perempatan itu?”
“Ya, benar. Tante Neli itu kakak perempuan ayahku
yang tetap setia tinggal di tanah ini. Kebetulan dia
sekarang tinggal sendiri. Suaminya sudah meninggal,”
ujar Keke menjelaskan.
“Tapi, Ke, masuk dulu. Maaf aku belum lama
bangun.”
Dia mengantar Keke masuk ke dalam rumahnya. Dia
serba salah lagi ketika tidak ada sesuatupun yang bisa
dia tawarkan untuk temannya Keke lazimnya tamu yang
harus dijamu dengan minuman atau makanan. Dia
hanya bisa mempersilakan Keke duduk di kursi yang
masih layak untuk diduduki. Dia juga menarik sebuah
kursi untuk duduk.
“Dia, aku harus tinggal di sini, di tanahku ini. Kita
harus buat sesuatu, Dia,” ujar Keke ketika telah dalam
posisi duduk.
“Tapi, apakah kau bisa hidup di kompleks ini dengan
kondisi seperti yang telah kau lihat. Kau ‘kan telah
terbiasa dengan hidup nyaman dan serba terpenuhi di
Jakarta?” Dia meminta kepastian.
“Justru itu, Dia. Persoalannya bukan apakah aku bisa
terbiasa atau tidak. Itu pesoalan teknis. Kau tahu, meski
aku telah bertahun-tahun hidup di Jakarta, tapi itu tak

120
tentang tanah
berarti harus membuatku menjadi orang yang lupa
daratan. Terus terang selama bertahun-tahun di Jakarta,
hatiku tetap merindukan tanah ini. Meski memang yang
aku lihat sekarang tidak seperti yang aku rindukan.
Itulah yang membuat aku bertekad untuk hidup di sini,
bersama-sama dengan saudara-saudaraku, saudara-
saudara kita yang ternyata dalam keprihatinan karena
ketidakadilan. Aku harus tinggal di sini, dan bahkan
berjuang bersama-sama dengan mereka, dengan kau
untuk sebuah kemerdekaan,” Keke memberi kepastian.
“Kalau begitu apa yang harus kita lakukan, Ke?” Dia
bertanya serius. Tak ada lagi kekakuan dirinya berbicara
dengan temannya itu.
“Kita harus menggugat ketidakadilan ini, Dia. Kita
harus desak pemerintah untuk bertanggung jawab
terhadap model pembangunan mereka yang tidak
berpihak,” kata Keke dengan tegas. Tampak sekali
bicaranya sebagai seorang terpelajar.
“Kakekku dan warga di sini telah melakukan
perlawanan itu. Tapi yang mereka dapat adalah ini,
penderitaan. Tapi memang benar, sesuatu harus dimulai
lagi. Kalau kau mau, kita yang memulai gerakan ini,”
kata Dia.
“Kira-kira, apa yang menjadi tujuan kita?”
“Tak tahulah, apakah ini terlalu ideal atau
bagaimana, yang jelas dalam gambaranku, tujuan dari
perjuangan ini adalah pertama-tama mendesak para
penguasa di daerah kita ini untuk mengembalikan hak-
hak kepemilikan tanah warga di sini. Menurut aku akar
persoalan sehingga manusia-manusia dalam kondisi
seperti yang kita saksikan adalah hilangnya kepemilikan
121
tanah sebagai pijakan hidup. Pembangunan negara yang
ternyata lebih pro kapitalis telah memingirkan kita di
sini.”
“Tapi, bukankah masih ada sisa tanah?”
“Benar. Tapi kau lihat, ketika hanya tanah ini yang
tersisa dan tanah ini telah terkepung oleh mesin-mesin
hasrat yang memang telah dirancang untuk
kemakmuran para kaum borjuis saja, maka kehidupan
kita di sini akhirnya semakin terdesak menuju ke
kemiskinan total. Beni atau Alo bisa mendapat untung
dari adanya mall-mall itu. Tapi berapa yang mereka
dapat sebagai tukang parkir? Kenapa tanah yang
dulunya hak mereka kini hanya bisa memberi uang
sedikit untuk mereka?” jelas Dia.
“Apakah masih mungkin semua tanah yang telah
diambil itu bisa kembali menjadi hak milik kita?”
“Aku belum tahu. Minimal dari gerakan yang akan
kita buat ini bisa menyentak kesadaran penguasa untuk
tidak rakus. Dan juga untuk warga di sini ini berangkali
bisa menyadarkan mereka soal pentingnya kepemilikan
tanah bagi kehidupan. Tanah, dalam perenunganku, Ke
adalah penting dalam melanjutkan proses kehidupan.
Aku masih ingat ketika kakekku berkata bahwa para
leluhur sering menyebut tanah ini sebagai roong kalo’oran,
kampung kebaikan. Ini merefleksikan bahwa tanah ini
adalah untuk kehidupan yang baik. Di tanah ini para
lelulur kita dulu membangun harapan-harapan untuk
generasinya, sebenarnya termasuk kita. Tapi begitu
sebagian tanah mereka dirampas, dan cuma tersisa ini
yang mereka bisa pertahankan maka hancurlah harapan
itu. Tugas kita adalah membangun kembali harapan-

122
tentang tanah
harapan itu. Caranya, ya, dengan mengusahakan kembali
tanah-tanah itu,” sekali lagi Dia memberi penjelasan.
“Aku tahu maksudmu, bahwa karena kita telah
kehilangan tanah, dan kemudian tanah itu telah
digunakan untuk kepentingan kaya para borjuis itu,
maka hasilnya adalah kemiskinan. Kita akhirnya
semakin terdesak dengan struktur-struktur menindas
yang sengaja dibangun oleh para penguasa dengan
menggunakan legitimasi kekuasaan negara. Kita ibarat
jagung yang tergiling dalam sebuah mesin hasrat yang
meremukkan tubuh dan jiwa kita, yang kemudian
akhirnya menghancurkan kehidupan kita. Kehidupan
kita hancur dan dimakan oleh kegilaan kaya dan
berkuasa para tuan-tuan mesin hasrat itu. Ini tragis
sekali, Dia!” Keke berbicara semangat. “Tapi, apakah
hanya kita berdua yang bergerak?”
“Nah, inilah pentingnya kita membangun strategi.
Aku belum tahu apakah warga-warga yang hidup di
tanah sisa ini masih punya semangat untuk melakukan
gerakan bersama kita, seperti yang pernah dilakukan
oleh pendahulu mereka. Aku belum bisa pastikan itu,
Ke,” Dia berkata, sambil berharap ada tanggapan balik
dari Keke yang duduk hampir berhadapan dengannya.
“Maksudmu, perjuangan ini nantinya akan menjadi
gerakan perlawanan rakyat?”
“Benar, Ke. Itu yang harus kita lakukan, karena ini
memang hak mereka dan kita. Tanah dan kehidupan di
sini adalah hak mereka, hak kita” tandas Dia.
“Ehmm, ya, ya. Aku pikir kita perlu berada dekat
dengan mereka, meski memang belum langsung
menyampaikan maksud kita. Setidaknya ini adalah cara
123
kita untuk mengetahui seperti apa mereka memaknai
kehidupan mereka sekarang ini dengan kondisi yang
semakin terdesak dan terjepit oleh kapitalisme,” ujar
Keke.
Mendengar kalimat itu tampak wajah Dia semakin
cerah bersamaan dengan matahari yang bersinar penuh
kecerahan di pagi jelang siang.
Pembicaraan semakin serius, sehingga akhirnya
memang bukan lagi bincang-bincang antara tuan rumah
dan tamu. Suasana akhirnya menjadi mirip rapat kecil
menyusun strategi untuk sebuah perlawanan. Tapi
memang tak ada kopi atau makanan ringan di meja.
Mereka cuma berbicara serius tentang sebuah rencana
pemberontakan. Sebuah keprihatinan dan komitmen
baru menjadi santapan di pagi itu.

124
tentang tanah
21.
Awal
Selesai diskusi kecil itu, dua orang muda yang telah
tergerak nurani untuk berbuat sesuatu demi tanahnya
ini, keluar rumah mengelilingi kampung. Tujuan mereka
seperti yang dibicarakan tadi, yaitu mencoba hidup
dekat dan bercerita dengan warga sekompleks.
Kedua teruna itu terus berjalan menyusuri jalan
kampung yang sunyi. Belum tahu dengan siapa mereka
akan bercerita karena mereka memang tidak membuat
daftar nama yang akan mereka tuju. Naluri dan
keyakinan mereka agaknyalah yang sedang menuntun
mereka untuk berbicara dengan siapa dan entah di mana.
Mereka terus mengayuh langkah. Tepat di sebuah
pojok, mereka berpapasan dengan seorang perempuan
tua renta. Pakaian perempuan itu lusuh dan dekil.
Rambut yang telah memutih di kepalanya ditindih oleh
seikat kayu bakar. Si perempuan tua berjalan lambat
sangat hati-hati melangkah di antara lubang dan
bebatuan jalan. Dia seolah sedang membawa beban berat
kehidupan. Dia dan Keke menyapa perempuan itu
125
dengan ucapan, “Selamat pagi”. Si perempuan tua hanya
memandang mereka dengan sayu. Tak ada kata-kata
yang keluar dari mulutnya. Perempuan tua itu terus
berjalan dan akhirnya menghilang di sebuah belokan
jalan kompleks.
Mereka pun meneruskan perjalanan. Di sebuah ruas
jalan, tiba-tiba Dia memalingkan pandangannya ke
bagian kanan jalan. Di situ ada sebuah rumah yang
kondisinya tak lagi terawat. Atap sengnya tampak
berwarna coklat karena karatan. Badan rumahnya agak
miring ke kiri, seolah-olah akan roboh. Dua bambu yang
panjangnnya kira-kira 4 meter menyangah sisi kiri
bangunan rumah. Halaman rumahnya ditumbuhi
rumput-rumput liar. Pagar yang terbuat dari bambu
dalam keadaan membusuk, tapi masih tersisa sedikit cat
berwarna putih dengan garis merah memanjang di
bagian atas pagar.
“Masih ingat rumah siapa itu?” tanya Dia pada Keke
sambil menghentikan langkahnya.
Langkah kaki Keke juga terhenti. Keke memandang
ke rumah itu. Dahinya mengerut tampak sedang
mengingat-ngingat sesuatu.
“Lupa, Dia,” balas Keke singkat.
“Kamu masih ingat nama Meri, teman sekolah kita
dulu?”
“Meri? Meri siapa?”
“Meri Toliu. Anak Om Jantje. Ibunya Rine. Om Jantje
itu sekarang masih di bui karena kasus pembunuhan
anggota dewan tujuh tahun lalu. Tinggal Tante Rine
yang di rumah itu,” kata Dia.

126
tentang tanah
“Ya, aku ingat. Meri yang pernah pingsan waktu
tujubelasan di tanah lapangan itu ‘kan?”
“Benar.”
“Di mana dia sekarang?”
“Tak tahu. Aku cuma pernah dengar tiga tahun lalu
dia pernah mengikuti rombongan Festival Kebudayaan
ke Jepang, sebuah program yang dilaksanakan oleh
pemerintah. Dia yang satu-satunya dipilih dari kompleks
ini. Kebetulan orangnya cantik dan pinter.”
Sehabis Dia berbicara begitu, dari bagian samping
rumah itu muncul seorang perempuan yang kira-kira
berusia 40-an tahun. Perempuan itu belum tahu kalau di
depan rumah, di tepi jalan, ada dua orang muda yang
sedang membicarakan tentang keluarganya. Perempuan
itu tampak baru selesai mencuci pakaian dan sekarang
sedang menggelar pakaian-pakaian yang dicucinya itu di
tali jemuran di samping rumah.
Dia mengajak Keke singgah di rumah itu. Keke
agaknya segera mengerti apa maksud Dia. Mereka pun
masuk melalui semacam pintu halaman rumah yang
membela pagar bambu halaman rumah. Keke mengikuti
dari belakang Dia yang masuk lebih dulu. Mereka
melewati semacam jalan tikus yang hampir tertutup
rumput liar.
Sadar dengan kehadiran Dia dan Keke, perempuan
yang ternyata bernama Rine itu memandang ke arah
mereka dengan masih memegang pakaian yang akan
digelar di tali jemuran. Perempuan itu memandang
ramah ke arah Dia. Tapi begitu pandangannya beralih ke
Keke tatapannya berubah. Dia menatap dengan seksama

127
wajah Keke. Coba mengingat-mengingat siapa Keke, tapi
tidak berhasil.
“Selamat pagi, tante,” sapa Dia dan Keke hampir
serempak.
“Selamat pagi juga, Dia,” balas tante Rine sambil
terus menatap ke arah Keke. “Mau ke mana, Dia?”
“Jalan-jalan, tante. Apa kabar tante?”
“Seperti yang kau lihat. Tapi maaf ya, tante
selesaikan dulu kerjaan tante ini. Tinggal menjemur
pakaian yang dicuci,” ujar tante Rine sambil meneruskan
pekerjaannya.
“Oh, ya tante, ini Keke. Meri, aku dan Keke dulu
berteman. Waktu masih sekolah dasar. Tante barangkali
sudah lupa, ya?” Dia memperkenalkan Keke.
Keke pun mengangguk dengan ramah. Tante Rine
membalasnya dengan tatapan yang masih penasaran.
“Keke? Siapa orang tuamu? Dari kompleks ini juga?”
Tanya tante Rine penasaran.
“Aku Keke Pinontakan, tante. Ayahku Alex
Pinontakan. Ibuku bernama Unggu Rempas. Aku asli
dari sini tante, cuma lama tinggal di Jakarta?”
“Alex? Ayahmu Alex?” Tante Rine seolah terkejut
mendengar nama itu sambil menghentikan sejenak
pekerjaanya.
“Ya, dia ayahku, tante. Tapi mereka telah tiada.
Tewas waktu kerusuhan Mei 98 di Jakarta,” kata Keke.
“Rumah mereka dulu di samping rumah kakekku.
Sekarang dia tinggal dengan tante Neli, tante,” kata Dia
menyambung.
“Kamu masih ingat tanah ini, Ke? Di Jakarta ‘kan
lebih baik dari di sini?” Tante Rine bertanya. “Di sini

128
tentang tanah
tanahnya hampir semua telah dijual. Kehidupan dan
harapan kami di sini ikut juga dijual.”
“Rindu tante dengan kampung halaman,” balas Keke.
“Dijual atau dirampas, tante?” tiba-tiba Dia masuk
dengan pertanyaan itu. Dia agaknya penasaran dengan
apa yang baru tante Rine katakan.
Mendengar pertanyaan itu, tante Rine pun buru-buru
menjawabnya, “Dijual memang. Karena tanah-tanah
yang sekarang telah dibangun gedung-gedung
bertingkat itu memang dijual.”
“Oleh siapa?” Keke menyela.
“Nanti kamu tahu sendiri siapa mereka,” ujar tante
Rine sambil memeras pakaian terakhir dari embernya
untuk dijemur.
Dia dan Keke terdiam sesaat. Mereka menatap
kosong ember tante Rine yang kini tertinggal air di
dasarnya.
“Oh, ya, bagaimana kabar om Jantje sekarang, tante?”
tanya Dia.
“Masih di penjara. Tak tahu kapan bebasnya. Tante
sekarang hidup sendiri, seperti yang kalian lihat. Sepi,”
ujarnya datar.
“Meri masih di Jepang, tante?” Tanya Dia.
Tante Rine tak langsung memberi jawab. Wajahnya
tiba-tiba berubah menjadi murung. Perempuan itu
terdiam dan tampak sedih. Barangkali pertanyaan itu
mengingatkan dia terhadap sebuah kepiluan yang lain.
Keke dan Dia ternyata mengerti perubahan itu.
Merekapun tak lagi bertanya.
“Maaf, tante. Barangkali tante masih punya pekerjaan
lain. Maaf kami sudah mengganggu. Kami mau
129
melanjutkan perjalanan kami,” ujar Dia setelah sadar
dengan situasi itu.
“O, tak mengapa. Tante senang kamu bisa mampir di
sini. Tidak masuk dulu ke rumah tante?”
“Terima kasih, tante. Kami harus segera jalan lagi,”
kata Keke.
“Ya, tak apalah. Sering-sering kemari, ya.”
Dia dan Keke pun pamit pada tante Rine. Mereka
keluar dari halaman rumah menuju ke jalan. Sepanjang
jalan kompleks, pikiran Dia terbebani untuk mencari
jawab mengenai apa yang dikatakan oleh tante Rine tadi
bahwa tanah mereka telah dijual, bukan dirampas.
“Siapa yang tega menjual tanah ini?” Dia berpikir
sendiri.
Keke yang berjalan di sampingnya agaknya juga
sedang berpikir keras. Tapi Dia tak mau bertanya soal
apa yang sedang Keke pikirkan. Mereka berjalan pelan
dan diam.
Di sebuah lahan kosong yang kira-kira berukuran 3 x
4 meter. Di tepi kiri jalan itu, ada sebuah batu yang
memanjang ke atas, tingginya kira-kira setengah meter
tertancap di tanah dengan dipagari tawa’ang15. Dia
pernah sekilas mendengat cerita tentang batu itu.
Menurut kakeknya, batu itu disebut batu tumotowa,
sebagai tanda di mana para lelulur dulu mulai
membangun tanah itu.
Kakek Dia cuma berkata bahwa batu itu sudah ada
sejak lama. Di situlah para leluhur mereka melakukan

15
Tawa’ang: tumbuhan berdaun lebar warna kemerahan yang hingga kini
lazim digunakan orang Minahasa sebagai pembatas halaman tanah yang
dimiliki. Juga penangkal bala dan ancaman jahat.
130
tentang tanah
tumani16. Katanya ketika melakukan tumani, para leluhur
harus mempertimbangkan beberapa hal, misalnya faktor
geografis, harus dekat dengan sungai, tanahnya datar
dan sudah tentu memperhatikan hal-hal metafisis yang
terkait dengan keseimbangan alam.
Tanpa Dia tahu, Keke ternyata juga ikut
memperhatikan batu itu dan bertanya, “Dia, apa arti batu
itu?”
“Batu ini disebut tumotowa, sebagai tanda bahwa para
leluhur kita dulu telah membangun pemukiman kita
sekarang ini dengan suatu harapan kesejahteraan,” jawab
Dia.
“Apakah ini juga adalah tanda pesan leluhur itu
tentang hak kepemilikan kita tentang tanah ini.”
“Benar. Batu ini sengaja ditancapkan di bumi untuk
mengingatkan kita sebagai generasi mereka untuk terus
memperjuangkan harapan kesejahteraan yang telah
mereka amanatkan.”
“Karena itulah sehingga kita harus berjuang
mempertahankan tanah kita ini.”
“Apakah orang-orang di sini masih tahu artinya?”
“Mereka tahu. Aku saja tahu, apalagi orang-orang tua
yang ada di sini. Tapi begitulah perubahan yang terus
terjadi memang kadang mendesak kita untuk tercabut
dari akar-akar adat kita. Jadi memang perjuangan
mempertahankan tanah atau berusaha merebutnya lagi
bukan hanya soal nilai rupihnya, melainkan ini terutama
adalah harga diri dan identitas kita sebagai manusia
yang beradab dan berbudaya.”
16
Bahasa Minahasa yang berarti usaha kreatif dan inovatif untuk membangun
perkampungan baru di masa dulu.
131
“Manusia modern memang sering lupa pada akar-
akar budayanya. Padahal sebenarnya globalisasi yang
wujudnya antara lain adalah pasar bebas, mau tidak mau
harus dihadapi dengan kesadaran pada budaya sendiri.
Globalisasi membuat seolah-olah dunia kita ini telah
menjadi rata, tanpa batas, tanpa sekat. Ada bahaya
relativisme dalam proses itu kalau tidak kita bangkitkan
kesadaran kita untuk memperkuat identitas dan
kesadaran lokal kita,” Keke ternyata menemukan
kebenaran teori-teori kuliahnya dengan kesadaran Dia
yang meski tidak kelar bersekolah sampai lanjutan atas,
namun nga’asan.
Mereka akhirnya singga di batu itu untuk melihat
lebih dekat kondisinya. Batu itu memang masih berdiri
tegak, tapi rumput-rumput liar mulai melingkari seolah-
olah sedang mencengkram ganas tawa’ang yang
memagari batu itu. Sebuah benda yang diam bisu, tapi
memiliki makna yang dalam tentang arti tanah itu dan
manusia-manusia yang berpijak di atasnya. Batu itu
seolah sedang berteriak ke atas, ke langit untuk meminta
perhatian manusia-manusia di bumi, tentang sesuatu
yang harus segera digugat atau bahkan dilawan. Sesuatu
itu adalah penjajahan terhadap harkat dan martabat
manusia dan pemerkosaan hak-hak tanah. Batu itu
seolah-olah sedang berbicara kepada dua manusia,
keturunan Minahasa itu untuk membantu dia dalam
mengekspresikan kemarahannya.

132
tentang tanah
22.
Sebuah Dilema
Hari ini Dia berjalan mencari-cari Keke. Dia sudah ke
rumah tante Neli, tapi menurut Tante Neli Keke sudah ke
luar rumah sejak tadi pagi. Belum ada bayangan di
pikiran Dia Keke ke mana. Dia bertemu dengan tante
Rine ketika lewat di depan di rumah perempuan itu.
“Mau ke mana Dia?”
“Mencari Keke. Tante, melihat Keke?”
“Tidak. Kebetulan tante dari tadi pagi berada di
dapur. Baru sekarang ke luar. Jadi tak tak melihat kalau
Keke lewat di sini.”
“Ehmm…terima kasih kalau begitu, tante,” ujar Dia.
“Ya. Kebetulan, Dia. Sebenarnya ada sesuatu yang
ingin tante sampaikan kepadamu, Dia. Tapi tante ragu
kalau kau bisa menerimanya?”
“Apa itu, tante?”
“Ini sebenarnya rahasia. Tapi, tapi Tante pikir ini
harus diungkap. Maaf, kalau ini akhirnya juga harus
tentangmu,” tante Rine berkata dengan serius namun
pelan.

133
Dia tiba-tiba menjadi penasaran. Diapun untuk sesaat
mengurungkan niat meneruskan pencariannya terhadap
Keke.
“Tak apalah tante. Meski itu juga menyangkut aku,
tapi kalau ini penting, aku siap mendengarnya,” Dia
berkata ingin segera tahu apa yang bakal dikatakan oleh
tante Rine.
“Dia, lebih baik kita masuk saja ke rumah tante. Tak
baik di jalan, nanti ada orang lain yang tahu,” kata tante
Rine sambil mengajak Dia masuk ke rumahnya.
Merekapun beranjak dari ruas jalan itu dan masuk ke
dalam rumah tante Rine.
Tante Rine mempersilahkan Dia duduk di kursi yang
terbuat dari kayu di dalam rumah itu. Tante Rinepun
menyusul kemudian.
“Apa itu tante?” Dia sudah tak sabar mendengar
cerita tante Rine.
“Dia, sebenarnya tante tak bermaksud ingin
menceritakan ini kepada orang lain. Tapi, karena tante
percaya kamu tidak bakal menanggapi salah cerita tante
ini, maka tantepun tak merasa keberatan untuk
menceritakannya kepadamu,” tante Rine berbicara
sambil duduk, Dia juga sudah duduk. Hanya dua orang
itu yang ada di dalam rumah. Tante Rine tampak
berusaha mengatur sikapnya agar tetap tenang sehingga
tak membuat Dia menjadi gugup lebih dulu.
“Aku penasaran tante dengan apa yang akan tante
katakan?”
“Haa..” tante Rine tertawa kecil berusaha agar
suasananya tetap santai. Tante Rine pun bercerita.

134
tentang tanah
“Begini Dia. Waktu lalu kan tante sempat berkata,
tanah ini tidak sepenuhnya dirampas. Memang pada
akhirnya seolah-olah ada pemaksaan. Itu sesuatu yang
harus kita akui. Bahkan kakekmu menjadi korban karena
mempertahankan tanah ini dari paksaan aparat dan
pemerintah daerah ini. Tapi sebetulnya, sebelum itu
terjadi, telah ada dari pihak kita yang memang telah
memuluskan usaha para kapitalis dan penguasa kita itu
untuk mendapatkan tanah ini. Dan orang itulah yang
kemudian secara sepihak menjual tanah ini. “
“Siapa, orang itu, tante? Keterlaluan kalau ada yang
kemudian ternyata telah mengkhianati kehidupan kita di
sini.”
“Ini memang sangat disayangkan. Tapi begitulah
ketika orang telah terdesak karena kebutuhan ekonomi.
Tanah yang bukan hanya miliknyapun bisa dijual. Dan
itu benar katamu, sama dengan telah menjual kehidupan
kita di sini. Hasilnya kan sudah kita lihat dan bahkan
rasakan sendiri. Jadi, orangnya…Ah…tante sebenarnya
tak tega mengatakan ini kepadamu,” tante Rine tampak
ragu berterus terang.
“Siapa dia tante? Siapa tahu dengan mengetahui
orang itu kita bisa mengajukannya ke pengadilan. Atau
kita sendiri yang menuntutnya.”
“Tak harus seperti itu, Dia. Dan memang sudah
percuma kalau nanti sekarang kita menuntutnya.”
“Kenapa?”
“Ya, pertama karena dia adalah juga saudara kita.
Dan, percuma karena tubuh dan jiwanya memang sudah
dihukum?”
“Maksud tante?”
135
“Baik. Dari pada berlama-lama, lebih baik tante harus
mengatakan padamu sekarang. Orang yang telah
menyerahkan tanah ini kepada para kapitalis itu, adalah
om Alex Pinontakan, ayah temanmu itu, Keke. Dan…”
“Apa?! Ayah Keke?! Om Alex Pinontakan?!!”
Spontan dia hampir berteriak dalam ketidakpercayaan
atas apa yang baru dia dengar. “Benar, tante, om Alex
pelakunya?!”
“Dia, tante mohon kamu jangan marah dulu.
Bagaimanapun sekarang Keke telah menjadi temanmu.
Tante belum tahu apa maksud kedatangannya. Mudah-
mudahan dia tak terkait dengan kelakuan ayahnya
dulu.”
“Benar tante, aku dan Keke telah menjadi teman.
Bahkan sebenarnya, aku dan dia sedang dalam usaha
membuat gerakan untuk menggugat hak kepemilikan
tanah kita ini ke pemerintah. Tapi aku tak menyangka
kalau akhirnya yang dulunya pernah menjual tanah ini
adalah ayah temanku itu.”
“Sama. Tante dulu yang kenal baik om Alex itu tak
menyangka kalau dia tiba-tiba berubah menjadi jahat
seperti itu. Kamu tahu alasannya, Keke dipindahkan ke
Jakarta waktu dulu itu? Yaitu, untuk menghindari Keke,
anak satu-satunya om Alex dan tante Unggu itu supaya
aman. Memang tak banyak orang yang mengetahui yang
sebenarnya, termasuk kakekmu. Tapi memang kita tidak
harus menyalahkan seratus apa yang telah dibuat om
Alex itu,” tante Rine berusaha bijaksana dalam
menjelaskan yang sebenarnya.
“Yang tante tahu, kenapa om Alex melakukan itu?”

136
tentang tanah
“Waktu itu, om Alex menjabat sebagai pembantu
hukum tua di wanua kita ini. Barangkali kalau sekarang
jabatannya itu disejajarkan dengan sekretaris desa.
Sehingga semua surat-surat yang menerangkan secara
hukum hak kepemilikan tanah ini ada padanya. Ayah
tante yang tahu keberadaan tanah ini juga heran kenapa
surat-surat itu ada kepadanya. Bermodalkan itu dia
kemudian bisa menjual tanah ini, meski sebenarnya dia
tidak berhak. Tapi memang kebutuhan yang membuat
om Alex melakukan itu,” tante Rine mencoba
menerangkan sejelas-jelasnya berdasarkan yang dia tahu.
“Kenapa?” Dia bertanya.
“Waktu itu istrinya akan melahirkan dan
membutuhkan uang yang banyak karena proses
persalinannya tidak seperti biasa. Istrinya harus
dioperasi cesar. Bayi yang dikandung istri itu sekarang
adalah temanmu, Keke.”
“Tapi kenapa dengan begitu muda, meski dengan
alasan itu kemudian om Alex nekat menjual tanah
leluhurnya ini?”
“Tante tak tahu alasan yang lebih mendasar. Tapi
yang jelas, waktu tanah ini dijual, pemerintah sedang
hebat-hebatnya menggalakan pembangunan di segala
sektor. Tante pernah dengar, bahwa rencana ini
sebenarnya sudah lama, tidak hanya nanti ketika Om
Alex menjabat sebagai pembantu hukum tua. Tapi, setiap
ada usaha dari pemerintah untuk menguasai tanah ini,
para hukum tua yang masih tahu tentang sejarah tanah
ini, kebanyakan menolak tawaran pemerintah. Mereka
tahu bahwa tanah ini bukan untuk dijual, melainkan
untuk diwariskan kepada generasi turun temurunnya.
137
Sementara tanah sisa yang sedang kita pijaki ini memang
tak berhasil dikuasai karena surat-surat yang ada pada
om Alex tak menyebut batas-batasnya sampai di tanah
yang sisa 9 hektar ini,” tante Rine bicara penuh
bijaksana.
“Di mana surat-surat tanah yang dijual om Alex itu?”
“Kalau itu tante tidak tahu. Barangkali ada pada
pemerintah atau orang-orang yang membelinya.”
Dia terdiam sesaat. Tante Rine pun tampaknya tak
ingin lagi bicara. Sebuah rahasia sudah diungkapnya,
meski dia tahu ini menyakitkan bagi Dia yang telah
bersahabat dengan Keke. Tapi, sesuatu agaknya telah
menjadi jelas. Arah perjuanganpun tak lagi kabur.
“Baik tante. Dia ucap banyak terima kasih atas
informasi tante ini. Aku harus mencari Keke…”
“Dia, sekali lagi tante mohon, jangan apa-apakan dia.
Bagaimanapun dia itu adalah sahabatmu, dan dia adalah
juga keturunan dari tanah ini. Tante yakin dia tak tahu
dengan semua ini,” tante Rine memohon.
“Dia tahu itu tante.” Dia hanya berkata pendek dan
langsung ke luar dari rumah pergi mencari Keke. Tante
Rine hanya berdiri di pintu menatap kepergian Dia
dengan rasa penasaran, apa yang akan dilakukan Dia
kepada Keke? Tante Rine belum tahu itu.

138
tentang tanah
23.
Kerikil Tajam
Keluar dari rumah itu, Dia berjalan cepat
mengelilingi kompleks mencari Keke. Dia tampak
tegang, sesuatu sangat menggelisahkan hatinya. Sudah
beberapa bagian kompleks yang dilangkahi, tapi dia
masih belum menemukan Keke. Bahkan dia sempat
kembali ke rumah tante Neli. Tapi tante Neli yang
langsung menyambutnya mengatakan Keke belum juga
datang dari tadi pagi.
Sesuatu tiba-tiba mengarahkan langkah kakinya
menuju sudut kompleks. Dia pun bergegas ke sana.
“Kalau tidak di sana berarti Keke sudah pergi.
Barangkali dia sudah tahu cerita ini,” gumam Dia dalam
hati sambil terus melangkahkan kakinya.
Dia pun cepat-cepat menuju ke sudut kompleks.
Karena langkah Dia sedikit cepat maka tak berapa lama
kemudian dia pun sampai di tempat itu. Di situ Keke
ternyata sedang serius dengan sebelasan perempuan dan
laki-laki dewasa. Di bawah tenda coklat yang kondisinya
rusak, mereka duduk di beragam benda yang bisa

139
menjadi tempat duduk serius mendengarkan apa yang
sedang disampaikan Keke di depan mereka.
“Jadi, om-om, tante-tante, hak untuk hidup baik, bisa
makan, bisa menyekolahkan anak, bisa sehat, adalah
milik kita semua manusia. Kita tidak boleh menyerah
dengan keadaan kita sekarang. Sesuatu harus kita buat.
Sebab kalau kita begini terus, meskipun om-om dan
tente-tante kerja keras membanting tulang di bawah terik
matahari dan derasnya guyuran hujan, kita akan tetap
sebagai orang miskin,” Kata Keke di hadapan para
warga. Dia yang baru tiba belum mengerti apa yang
sedang dilakukan Keke.
Dia membiarkan Keke yang sedang serius memberi
penjelasan kepada sejumlah warga. Dia pun ikut
bergabung dengan warga, tapi mengambil tempat di
paling belakang.
Di tengah penjelasan Keke, seorang perempuan
mengangkat tangannya untuk bicara, “Boleh
bertanya, ibu, eh maksudnya nona, Keke?”
“Silakan tante.”
“Begini. Kalau hak untuk bersekolah, hidup sehat
dan makan itu adalah hak kami atau kita semua, tapi
kenapa kalau anak-anak kami ingin bersekolah harus
bayar mahal. Begitu juga kalau kami sakit, pergi ke
Puskemas harus membayar obat-obat yang mahal.
Makanpun kami sulit, karena bahan-bahan makanan
sekarang sudah mahal, ditambah lagi kami tidak punya
uang lebih. Suami-suami kami cuma bekerja sebagai
buruh tani. Lahan-lahan kami kan sudah tidak ada.
Tinggal ini, tanah yang kecil ini,” tante yang
mengancungkan tangannya tadi berkata polos.

140
tentang tanah
“Nah, inilah persoalan kita di negara ini. Bahwa
meski telah merdeka dari penjajahan sejak puluhan
tahun lalu, rasanya kita belum merdeka, karena kesulitan
hidup yang kita alami. Negara kita memang gagal dalam
mewujudkan cita-cita kemerdekaan di tahun 45. Ini
antara lain karena ada pejabat-pejabat kita yang mencuri
uang yang sebenarnya adalah milik kita, rakyat. Kita
punya sumber daya melimpah, tapi sumber-sumber
kekayaan alam kita semua telah dikuasai negara,
termasuk tanah kita ini. Lihat gedung-gedung bertingkat
itu. Siapa pemiliknya. Bukan kita kan? Padahal, tanah di
mana gedung-gedung itu berdiri dulu adalah tanah-
tanah kita. Apa yang tante-tante dan om-om dapat dari
gedung-gedung bertingkat itu untuk menyekolahkan
anak, membeli obat kalau sakit dan makan sehari dua
hari?” Keke berkata fasih menjawab pertanyaan warga.
Di belakang, Dia mengamati apa yang sedang
dilakukan Keke. Di tengah kegalauan hati karena
mendengar informasi tidak sedap dari tante Rine, Dia
masih sempat kagum dengan apa yang dilakukan Keke
dalam usaha mendekati warga.
“Yang kami dapat adalah makian atau hinaan!”
Seorang laki-laki dari antara warga itu berkata marah.
“Benar!! Mereka tak mempedulikan kami!! Warga
yang lain menyambut dengan serempak.
“Makanya, sesuatu harus kita lakukan untuk
mempertanyakan hak-hak kita atas tanah ini. Sebab
mestinya dan memang harus, orang-orang yang telah
menduduki tanah kita dan mendapat untung besar dari
tanah kita ini harus sadar diri,” kata Keke lagi
menjelaskan.
141
“Tapi, apakah kita mampu melawan mereka. Lihat
kondisi kita. Sakit-sakitan. Miskin dan tak punya
kekuatan,” seorang lelaki kira-kira berusia mendekat 50
tahun berbicara dengan penuh keprihatinan.
“Tapi, kita punya semangat. Kita punya
kebersamaan. Dan memang kita punya hak atas tanah
ini,” tiba-tiba Dia berdiri dan menyambung dari
belakang. Warga yang sejak tadi serius menghadap ke
depan, semua membalikan badan mereka mencari tahu
dari mana suara itu.
“Dia. Om-om, tante-tante, pasti kenal, Dia. Kami
berteman sejak kecil. Kami membutuhkan dukungan dan
kebersamaan dari om-om dan tante-tante untuk
perjuangan ini.” kata Keke.
“Dia. Kami kenal siapa dia.”
Diapun tampil ke depan bersama Keke ikut memberi
motivasi dan penyadaran kepada warga. Suasana pun
semakin serius. Mereka pun berdiskusi dengan penuh
semangat. Bertukar pikiran sambil berusaha mencari cara
dan solusi untuk bangkit dari keterpurukan ini. Akhir
dari pertemuan adalah kebangkitan kesadaran dan
semangat untuk menggugat realitas yang sedang
memprihatinkan di tanah mereka. Sebelum warga bubar,
mereka pun saling berjanji untuk bertemu lagi di tempat
ini sambil saling mengingatkan untuk juga menceritakan
pembicaraan di tempat itu kepada sesama penghuni
kompleks. Tapi, Keke dan Dia berpesan agar ini jangan
diketahui dulu oleh pihak-pihak di luar kompleks itu.

142
tentang tanah
24.
Dilema
Semua warga telah kembali ke rumah dan tempat
kerjanya masing-masing. Rupanya tempat itu sengaja
dijadikan tempat pertemuan yang telah secara diam-
diam di rancang oleh Keke tanpa sepengetahuan Dia.
Kini tinggal Dia dan Keke di tempat itu.
Sebuah dilema menyeruak ke relung hati Dia. Antara
kenyataan kegaguman pada tindakan kreatif Keke
bersama warga yang baru disaksikannya, dan cerita
mengenai ayahnya dari tante Rine, berhadap-hadapan,
siap bertarung dalam hati dia. Akhirnya ini menjadi juga
pertarungan antara perasaan dan akal Dia. Antara fakta
hari ini dan cerita masa lalu dengan persahabatan dan
komitmen mereka. Tapi, sebelum dilema itu menjadi
pertarungan hebat yang bisa memakan korban
persahabatan dan cita-cita perjuangan, sebuah langkah
bijak harus ditempuh Dia, yaitu mencoba memahami
secara arif kenyataan masa lalu dan memaknai secara
objektif fakta hari ini. Mereka kini duduk bersila
beralaskan koran bekas di bawah tenda itu. Diapun
memulai sebuah percakapan yang serius,
143
“Keke, kamu memang hebat. Aku lihat om-om dan
tante-tante itu suka padamu. Mereka kini mulai mengerti
apa yang sedang terjadi pada mereka. Aku kagum
padamu,”
“Kan memang itu yang harus kita lakukan
mengawali perjuangan kita,” Keke berkata merendah.
“Kamu juga hebat, Dia. Kamu telah memulai sebuah
upaya penyadaran dan perlawanan.”
“Yap. Benar. Ini yang harus kita lakukan untuk
gerakan kita,” Dia kini berkata datar. Jarinya bermain-
main dengan rumput yang bersusah payah tumbuh di
tanah yang kering itu. “Eh, tapi Ke, kenapa kamu tak
bilang-bilang kalau akan menggelar pertemuan ini?”
“Cuma ingin membagi kerja meski tak terencana.
Aku pikir kamu juga tentu sedang sibuk memikirkan
rencana kita selanjutnya,” balas Keke.
Dia diam. Cerita tentang ayah Keke sebenarnya harus
segera dikatakan. Tapi, sesuatu sedang terjadi dalam
dirinya. Akal dan hatinya kini sedang berhadap-hadapan
meski memang belum bertarung. Dia masih berusaha
menahan diri untuk menceritakan semua kenyataan
masa lalu ayahnya secara tenang. Tapi, kalau tidak cepat
diungkap, perang hebat dalam dirinya akan segera
pecah. Dia sadar dengan itu. Dengan penuh hati-hati
Diapun bicara tentang cerita dari tante Rine.
“Ke, kita sudah lama berteman, sejak kecil. Meski
nanti bertemu sekarang lagi, dan ternyata punya
komitmen yang sama atas tanah ini. Tapi…” suara Dia
terhenti.
“Kenapa, Dia. Apakah aku salah menggelar
pertemuan ini tanpa memberitahukan kepadamu,” Keke

144
tentang tanah
merasa bersalah. Perempuan muda cantik ini pikir yang
sedang disoal Dia adalah pertemuan itu.
“Bukan. Bukan soal pertemuan ini, Ke. Bukan itu.
Yang lain. Sesuatu yang aku tak yakin kalau kau bisa
menerimanya. Tapi terus terang aku tak bermaksud jahat
dengan mengatakan ini. Aku tetap sahabatmu. Dan kau
tetap sahabatku. Janji, Ke. Janji, ya,” Dia meminta
kepastian. Akal dan perasaan dalam dirinya pun sedang
melakukan negosiasasi untuk tidak berperang.
“Janji apa? Aku tidak mengerti maksudmu, Dia.
Apakah ini sesuatu yang serius sehingga kau kelihatan
gelisah dan tegang seperti ini. Apa itu, Dia. Mohon cepat
katakan, Dia. Aku janji, apapun itu, kita tetap bersahabat.
Kita telah disatukan oleh komitmen terhadap tanah ini,
Dia. Sehingga apapun itu aku dan kau tetap bersahabat.”
Dia belum segera menjawab. Dia diam. Sesuatu
sedang dipikirkannya. “Oh, Tuhan mohon kekuatan dan
kebijaksanaan dalamku menjelaskan semua ini,” Dia
berdoa dalam hatinya. Dan dia pun akhirnya berbicara:
“Aku harap kau bisa bijaksana dalam menanggapi
apa yang akan aku katakan ini. Begini, beberapa hari lalu
kita kan ke rumah tante Rine? Waktu itu tante Rine
sempat bicara soal tanah ini yang menurutnya bukan
hanya dirampas oleh kapitalis itu, melainkan juga dijual.
Ya. Dijual oleh orang sini.”
“Nah, kamu sudah tahu siapa yang pernah menjual
tanah ini?”
“Itulah yang ingin aku sampaikan padamu.”
“Siapa dia?”
“Inilah yang sulit bagiku untuk mengungkapnya,”
kata Dia sambil memandang lurus ke depan. Sementara
145
Keke dalam posisi berhadap-hadapan dengan Dia dan
berharap segera mendengar jawabannya.
“Kenapa sulit? Bukankah dengan mengetahui siapa
orangnya, ini semakin memperjelas kepada kita siapa
yang akan kita lawan,” Keke berbicara semangat.
Barangkali dalam pikirannya ini bagus bagi perjuangan
mereka.
Sementara Dia justru dalam posisi yang semakin
dilematis. Akal dan perasaannya agaknya akan segera
berperang. Masing-masing pihak sudah sangat sulit
menahan diri. Ini adalah pertarungan antara fakta
tentang Keke yang dia kagumi karena cerdas dan kreatif,
hubungan persahabatannya berhadapan dengan fakta
masa lalu perempuan yang satu ini. Diapun masih sangat
sulit bicara. Dia diam lagi.
Tatapan Keke semakin penasaran. Tiba-tiba muncul
kecurigaan yang belum tahu arahnya kemana. Yang
penting Keke akhirnya curiga. Curiga kepada sikap Dia
maupun apa isi pikirannya. Makanya Keke harus
mendesak Dia untuk segera bicara,
“Dia, mohon katakan. Siapa dia? Masakan kamu tiba-
tiba menjadi orang tidak berani seperti ini?” Keke
mendesak.
Dia pun akhirnya memang semakin terdesak. Sebuah
keterbukaan tak bisa dihindarkan lagi untuk sebuah
perdamaian diri, rekonsiliasi antara akal dan perasaan,
meski memang harus ada konsekuensinya, yang Dia
belum tahu.
“Baik. Yang dimaksud Tante Rine itu,
sebenarnya…sebenarnya ayahmu. Ayahmu yang karena
kondisi terdesak ekonomi waktu itu, yang telah menjual

146
tentang tanah
sebagian besar tanah milik kita kepada kapitalis itu.
Maafkan aku, Ke telah menceritakan ini kepadamu,” Dia
bicara pelan, hati-hati.
“Ha…ayahku?! Kamu serius, Dia?” ujar Keke antara
tidak percaya dan heran.
“Iya. Ayahmu, Ke,” jawab Dia. Tatapannya masih
lurus ke depan.
Sesuatu tiba-tiba meledak dari ketegangan itu,
“Tidak. Tidak mungkin, Dia!! Kamu telah berbohong!!
Kamu telah dibohongi orang! Tante Rine bohong!
Bo..hooong!!” Keke marah.
“Maafkan aku, Ke. Ini sesuatu yang harus kita terima.
Dan kenyataan ini tidak ada kaitan dengan persahabatan
dan perjuangan kita. Kita tetap bersahabat dan
berkomitmen untuk tanah ini,” Dia berbicara jujur dan
terbuka.
Tangan Dia bermaksud merangkul pundak Keke.
Tapi, dengan marah Keke menampik tangan itu. Keke
marah, dan berteriak, “Tak mungkin, Dia! Itu semua
bohong. Aku tak terima!”
Keke pun berdiri. Tatapannya yang tajam kepada Dia
memperlihatkan sebuah kemarahan. Wajahnya tiba-tiba
memerah, dan beberapa saat tetap menatap marah wajah
Dia. Tapi, Keke akhirnya pergi. Dia pergi dari tempat itu.
Berlari dengan penuh kemarahan.
“Tunggu Keke! Dengar penjelasanku, Ke. Kee…kee!!”
Dia berteriak memanggil Keke, sahabatnya yang sedang
terluka. Tapi suaranya seolah tak mampu mengejar lari
Keke yang cepat dan semakin menjauh.
Tubuh dia serupa menjadi kaku. Kakinya sulit
digerakkan untuk mengejar sahabatnya yang sedang
147
marah. Dia hanya memandang penuh penyesalan tubuh
Keke yang semakin jauh, dan akhirnya menghilang.
Menghilang dari tempat mereka memulai gerakan
perjuangan. Sesuatu telah terjadi. Tapi, meski begitu akal
dan perasaan yang berhadap-hadapan kini untuk
sementara berdamai dan akhirnya membangun
kesepakatan untuk suatu upaya.
Di tengah kebisuan, tiba-tiba suara serak yang
dulunya akrab dengan dia datang lagi:

Semua pikiran, ucapan dan tindakan kita memiliki


konsekuensinya. Kita bisa terluka, sakit, menderita,
atau bisa sebaliknya, gembira dan damai. Tapi, Dia
percayalah pada perjuanganmu. Ada yang lebih
penting dari semua ini. Komitmenmu bersama
temanmu itu harus bisa melampaui fakta kelam masa
lalu. Inilah bagian dari sejarah pergolakan tanahmu…

Suara itu lalu begitu saja. Tak ada dialog. Tak ada
bantah-bantahan. Tak ada yang harus dipersoalkan
dengan suara itu. Dia mendengarnya, tapi
membiarkannya pergi begitu saja.

148
tentang tanah
25.
Kepiluan
Keke kini di rumah tante Neli, rumah di mana selama
ini ia tinggal. Setelah mendengar cerita yang
mengejutkan dari Dia, Keke ternyata langsung pulang ke
rumah tante Neli. Di rumah itu dia menangis sedih. Keke
merasa terhina, dikhianati dan dibohongi. Tante Neli
yang sedang di rumah terheran-heran dengan
kedatangan Keke yang dalam keadaan sedih dan pedih.
Di rumah ini Keke mengungkap semua yang Dia
katakan kepadanya berdasar dari apa yang tante Rine
ceritakan. Tante Neli ikut sedih ketika cerita yang selama
ini dirahasiakan kepada Keke akhirnya terungkap. Tapi
tante Neli kemudian secara bijaksana tak berusaha
mencari siapa yang salah dan siapa benar. Ini sebuah
kenyataan yang harus diterima. Tante Neli pun akhirnya

149
bercerita panjang lebar kepada Keke, yang isi ceritanya
sama dengan apa yang dikatakan tante Rine kepada Dia.
Keke bertambah sedih. Sedih karena komitmen
perjuangan ternyata diinterupsi oleh masa lalu. Sehingga
Kekepun mengambil keputusan untuk segera pergi.
Pergi. Pergi menjauh dari masa lalu dan komitmen
perjuangan. Dan ini tentu sangat menyedihkan.
“Tante Neli, maaf. Aku harus pergi. Aku harus
menjauh dari kehidupan di sini. Di kehidupan yang
sebenarnya aku cintai. Maaf, tante Neli. Aku harus
menerima ini sebagai hukuman atas masa lalu
keluargaku…” ungkap Keke sedih. Perempuan muda itu
pergi.
Tante Neli tak mengucap apa-apa. Perempuan yang
mulai senja itu sebenarnya ikut sedih. Tapi, keputusan
Keke menurutnya adalah yang terbaik. Tante Neli pun
membiarkan Keke pergi sambil berpesan agar hati-hati
dan jangan larut dalam kesedihan.
Keke pun pergi dan menyusuri jalan kompleks
dengan sedih di pagi yang tiba-tiba menjadi suram.
Sebuah kenyataan yang sulit untuk diterima di saat
komitmen dan semangat juang bagi tanah baru
terbangun. Akhirnya, Keke berpikir inilah kenyataan
yang harus diterima, meski memang bentuk
penerimaannya adalah pergi menjauh dari tempat di
mana masa lalu itu pernah hadir.

DIA segera mencari Keke untuk mencoba menjelaskan


semua yang baru terjadi. Di pikirannya, Keke pasti
berada di rumah tante Neli. Tapi ke rumah itu dia tidak

150
tentang tanah
menemukan Keke. Menurut tante Neli, Keke telah pergi
karena sedih dan malu dengar cerita tentang ayahnya.
Dia tak berlama-lama di rumah tante Neli. Pikirannya
langsung memastikan bahwa Keke kini sedang berada di
pinggir kompleks, di tepi jalan raya, di mana mobil
angkot lewat untuk mengangkut penumpang. Salah satu
angkot pasti akan singgah di tepi jalan itu untuk
membawa Keke pergi, pergi menjauh.
Membayangi itu tiba-tiba Dia merasa ada sesuatu
yang hilang, seperti ketika dia pernah hampir kehilangan
harapan tatkala semua harus pergi. Dia pun berjalan
cepat semakin cepat dan bahkan berlari mengejar
harapan yang harus segera diraih ulang. Kalau tidak
sesuatu bakal hancur, yaitu harapan perjuangan dan
entah apa lagi yang lain yang Dia sedang rasa sekarang.
Dan akhirnya Dia masih dapat melihat harapan itu
hampir pergi. Dari kejauhan, Dia melihat Keke sedang
berada di tepi jalan. Kentara temannya itu sedang berada
dalam kegalauan dan sakit hati. Tas ransel hitam yang
dipikulnya menggambarkan sebuah beban rasa malu dan
sedih. Dan beban itu harus segera diringankan atau kalau
tidak, tidak usah dipikul, sebab dia bukan untuk dibawa
pergi melainkan untuk diatasi bersama. Cuma satu
caranya, yaitu rekonsiliasi dan bangun komitmen baru
demi perjuangan dan ah…Dia masih bingung kalau yang
satu itu adalah cinta…
“Ke..ke…!!!” Dia memanggil nama itu dari jarak kira-
kira 15 meter. Dia terus berteriak memanggil dengan
berusaha mendekat meraih harapan.

151
Keke tak berpaling. Tak mendengar atau mendengar
tapi tak peduli. Bukankah dia sedang marah atas semua
yang baru didengarnya?
Dia tak lagi meneriakan nama itu. Kini ia sudah
berada di belakang Keke yang terus menatap ke jalan
dengan tas ransel di pundaknya. Dia tak lagi berlari.
“Ke, mohon dengar penjelasanku. Mohon, Ke.” Dia
berkata memelas dari arah belakang tubuh perempuan
yang sedang terluka itu.
Tapi Keke tak berpaling apalagi bicara. Kemarahan
dan sakit hati telah membuat dia menjadi bisu. Sebuah
wajah yang sakit hati sedang menatap kosong ke tubuh
jalan. Kendaraan yang lalu lalang di depannya pun
tampak kosong. Padahal, beberapa angkot sempat
berjalan lambat di hadapannya. Dia pun kembali
berbicara, “Ke, mohon dengarkan apa yang akan aku
katakan ini. Mohon, Ke. Dengan mengatakan itu aku
atau bahkan tante Rine tak bermaksud menyakiti hatimu.
Sumpah. Kami tak ada maksud lain, selain untuk
mencoba menerangkan sesungguhnya yang terjadi
dengan masa lalu tanah ini. Aku tahu, kau marah, sakit
hati dan terluka. Tapi, ini semua harus kita tanggapi
secara bijaksana.”
Dia berusaha menyakinkan Keke. Dia pun berbicara
pelan dan berusaha agar Keke mengerti maksudnya. Dan
kini Dia berdiri sejajar dengan Keke di tepi jalan. Dia
memberanikan diri menggandeng pundak Keke. Tapi
Keke tetap diam. Sebuah wajah penuh kesedihan
menatap jauh ke depan, melewati jalan raya. Tatapan
yang entah apa artinya. Keke tetap diam. Dia pun sesaat
ikut terdiam. Suasana pun menjadi hening. Tanpa suara.

152
tentang tanah
Tanpa gerakan. Tapi penuh perjuangan menyakinkan
dan usaha menerima, menolak atau mencoba lari dari
kenyataan. Kini dua anak muda itu berdiri laiknya
sebuah patung yang mengisahkan tentang beratnya
melawan diri sendiri dan musuh yang ganas. Tapi, Keke
pun sebenarnya sedang merasa menjadi musuh atas
perjuangan mereka.
Dan setelah Keke terdiam beberapa saat dalam
sebuah perenungan, Keke pun bicara dengan suara yang
pelan dan sedih.
“Sudahlah, Dia. Aku sudah tahu semua tentang cerita
itu. Benar. Kau benar. Tidak ada yang salah dalam
dirimu dan tante Rine dan juga orang-orang yang tahu
dengan masa lalu ini. Aku harus pergi, agar perjuangan
ini bisa diteruskan. Aku tak boleh bersama-sama dengan
kamu, dan semua orang yang ada di sini karena aku
adalah musuh kalian. Aku harus pergi, Dia…” Keke pun
diam.
“Ke, dengarkan aku.” Dia berdiri penuh kepastian
dan siap untuk menjelaskan soal arti masa lalu dengan
bereferensi dari sebuah catatan renungan yang pernah
dibacanya di sebuah koran bekas beberapa waktu lalu.
Dia pun berkata, “Semua orang punya masa lalu,
meski memang bermacam-macam bentuknya. Ada yang
menderita karena kemiskinan, pengkhianatan, ditinggal
pergi orang tercinta dan lain sebagainya. Tapi banyak
juga orang yang punya masa lalu bahagia, dibesarkan
oleh orang tua dengan penuh kasih, hidup penuh cinta
dengan pasangan hidup, harta berlimpah dan lain
sebagainya. Begitulah dinamika hidup. Dunia memang
warni-warni. Tangis, tawa, menderita dan bahagia
153
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan
manusia di dunia.
“Padahal sebenarnya masa lalu, kehidupan yang
penuh penderitaan misalnya, adalah kenyataan yang
harus dihadapi. Dia datang tanpa diminta dan
disingkirkan penuh dengan perjuangan hidup. Masa
lalu, adalah bagian dari kehidupan semua manusia. Kita
tak akan pernah sampai ke kehidupan kini, jika tak
pernah melewati kehidupan masa lalu. Dan perjuangan
hidup menuju ke masa depan, mestinya adalah tujuan
hidup semua manusia. Masa depan, selalu diharapkan
adalah kehidupan yang penuh dengan kesejahteraan,
lahir maupun batin.
“Dan komitmen perjuangan yang baru kita bangun
adalah semangat baru untuk memaknai masa lalu yang
kelam sekalipun secara baru, demi sebuah kehidupan.
Dan kehidupan itu adalah masa depan tanah leluhur kita
ini.”
Mendengar itu Keke tertunduk diam menatap
kerikil-kerikil kecil di tepi jalan. Sesuatu sedang
direnunginya secara dalam. Barangkali kalimat-kalimat
penuh motivasi yang baru diucap Dia, temannya. Keke
pun menegakkan kepalanya. Keke berkata, “Dia, mudah-
mudahan engkau masih menerimaku sebagai sahabatmu.
Tapi, kali ini aku harus pergi. Aku harus pergi demi
sebuah pengakuan dosa. Biarlah, Dia.”
“Tapi Ke…”
Tak selesai Dia berkata, sebuah mobil angkot berhenti
di depan mereka dan Keke pun masuk ke dalamnya.
Keke pergi tanpa bisa dicegat. Tak ada lambaian tangan.
Tak ada ucapan selamat berpisah. Dan tak ada janji

154
tentang tanah
bertemu kembali, seperti tempo hari di tepi jalan itu.
Keke pun menghilang bersama kendaraan yang
membawanya. Yang tersisa kini hanyalah deru
kendaraan dengan asap hitamnya yang menghalangi
pandangan Dia seolah sengaja mengaburkannya dari
harapan itu.

155
26.
Komitmen Baru
Setelah kepergian Keke, Dia kini lebih sering di
rumahnya. Semua terasa sepi dan sunyi. Terasa ada
sesuatu yang berharga hilang entah ke mana. Tiga
minggu dari kepergiam Keke, rasa kehilangan itu tetap
menyiksanya. Tak tahu ke mana Dia harus mencari Keke.
Dia pun merasa sepi lagi, seperti rasa siksanya waktu
ibunya pergi meninggalkannya selama-lamanya.
Siang ini, Dia sedang duduk di bagian muka
rumahnya. Matahari yang bersinar cerah bahkan tak
mampu memberi sesuatu yang mencerahkan dalam
hatinya. Sesuatu yang tak bisa diungkap dengan kata-
kata sedang Dia rasa. Di tengah kesepian, sesuatu terjadi.
Tiba-tiba siang yang cerah menjadi gelap, padahal tak
ada orang yang sedang membakar sesuatu atau kabut
dingin, sebab hari itu siang yang cerah. Semua akhirnya
menjadi gelap dalam pandangan Dia. Dan kini jiwanya
terlempar ke sebuah dunia yang tak dikenalnya.
Hanya dirinya di dunia itu. Bahkan tubuhnya tak
bisa dilihat dan rabanya. Dan, tiba-tiba langit terbelah.

156
tentang tanah
Sinar putih tajam menyilaukan matanya. Tapi, itu hanya
sebuah sinar. Tak ada bayangan atau wujud lain. Kecuali
sebuah suara yang menggema kemudian menyapanya
dengan lembut:
Dia, aku adalah nurani. Tapi bukan nurani siapa-siapa,
selain nuranimu. Dengarkan aku. Tak ada yang mestinya kau
sesali atas apa yang baru kau lakukan. Kehidupan manusia
berjalan, berproses dan kadang-kadang dia berbentuk bola yang
bergelinding berputar, tak tahu sisi mana yang akan di bawah
mengenai tanah, tak pernah kita duga sisi mana yang di atas
menghadap langit, dan sisi mana yang di samping mengarah
ke semua penjuru. Tapi, kita adalah bola yang hidup, yang bisa
mengendalikan perputaran.
Kita makhluk yang dinamis, sehingga mestinya tak harus
percaya secara mutlak pada takdir. Sang Pencipta kehidupan
ini telah memberikan kita kemampuan dan kebebasan untuk
merancang perputaran itu. Dan kini, kau sebenarnya sedang
dalam kebebasan dan kesadaran akan arah hidup. Beda kau
dengan manusia lain adalah bahwa kau sedang
mengekspresikan kebebasan menentukan arah hidup itu ke
tujuan yang benar, yaitu pembebasan. Sehingga kau mestinya
jangan berhenti. Jangan putus asa. Jangan mundur dalam
perjuanganmu itu. Sebab, temanmu itu juga sedang dalam
penentuan arah perjuangan hidupnya. Percayalah pada
nuranimu ini…

Suara itu berhenti dan pergi, tapi tak ada kata


permisi. Seketika langit berubah menjadi cerah. Tak ada
lagi cahaya tajam yang masuk dari antara belahan langit.
Sebab sekarang semua adalah cahaya. Dia pun segera
melihat lagi semua yang ada di hadapannya. Dia kini

157
kembali ke dunia nyata dan segera merenungi semua
yang baru dialaminya.
Belum menemukan jawaban arti kata-kata suara itu,
dia bergegas masuk dalam rumah. Tapi sebenarnya itu
spontan terjadi karena di dalam rumah dia tak berencana
melakukan apa-apa.
Masih terheran-heran dengan apa yang baru
dialaminya, sebuah suara yang khas dan sangat
dikenalnya memanggil dari luar rumah.
“Dia! Dia!”
Dia tersentak mendengarnya. Sebuah suara yang
pemiliknya selama tiga minggu ini dicari-carinya.
“Keke?” Dia menyebut sebuah nama. Dan suara ini
terucap tanpa diperintah oleh akal.
“Dia, aku Keke. Kamu mendengar suaraku?” Keke
yang sudah berdiri di luar rumah sekali lagi memanggil
nama Dia.
“Ehmm…” hanya itu yang keluar dari mulut Dia dan
seketika segera melangkah ke luar.
Sebuah sosok telah berdiri di depan pintu. Dia pun
dengan segera sudah berada di pintu. Kini dua makhluk
yang untuk beberapa waktu lamanya berpisah, bertemu
kembali. Tubuh Dia dan Keke kini sudah berhadap-
hadapan. Keke yang Dia lihat masih seperti pertama kali
datang ke rumah itu beberapa waktu yang lalu, wajah
segar dan bau wangi bunga melati mengubah suasana
siang itu menjadi lain.
“Dia, aku kembali lagi. Aku tak jadi pergi. Apa
kabar?”
“Em, eh…Oh, Keke. Kamu akhirnya pulang juga.
Kabar? Begini, seperti yang kau lihat. Kau?

158
tentang tanah
“Kabar baik tentunya. Bisa aku masuk?” Keke
berbicara dengan gaya tubuh yang akrab. Seolah-olah
sesuatu yang suram baru pergi begitu saja.
“Sudah pasti. Silakan masuk. Aku memang
menunggumu. Kamu ke mana saja, Ke?”
“Tidak ke mana-mana. Hanya tubuhku yang kau
lihat pergi. Nuraniku tetap di sini”
“Nurani?” Dia teringat suara itu.
“Ehe” Keke mengangguk. “Nuraniku. Kau juga pasti
punya nurani kan?”
“Itulah, Ke. Nurani kitalah yang memang mengikat
kita di sini. Karena nurani itu adalah jujur, dan selalu
berpikir ke depan, bukan ke belakang, ke masa lalu.”
“Benar. Aku akhirnya sadar, bahwa kita tak harus
terpaku pada masa lalu. Biarlah itu menjadi pelajaran
buat kita semua. Yang terpenting sekarang adalah
bagaimana memperjuangkan masa depan, ya masa
depan kehidupan di tanah ini.”
“Aku setuju. Kamu memang perempuan hebat,”
tandas Dia.
Dia dan Keke akhirnya akrab lagi. Kini mereka
bersatu lagi dalam komitmen bersama. Pembicaraan dua
keturunan Toar-Lumimuut17 ini akhirnya berkembang
sampai pada langkah-langkah strategis selanjutnya
untuk meneruskan perjuangan mereka yang sempat
tertunda.

17
Dua tokoh dalam sejarah Minahasa yang dipercayai sebagai cikal bakal
keturunan Minahasa.
159
27.
Kebangkitan
“Jadi, om-om tante-tante, perjuangan ini bukan tidak
punya dasar. Kita sedang memperjuangkan apa yang
memang milik kita. Dan tanah ini adalah tanah
kehidupan kita. Karena para leluhur kita telah
membangun wanua18 kita ini untuk kehidupan kita
sekarang, dan keturunan kita sampai kapanpun. Tiada
satupun yang bisa merampas kehidupan dan tanah kita
ini,” begitu kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Keke
secara fasih ketika berbicara di hadapan puluhan warga
kompleks di tempat yang tempo hari mereka menggelar
pertemuan.
Dia yang berdiri di sampingnya tampak bangga
mendengar penjelasan Keke yang begitu menyentuh.
“Apa dasar kita?” seorang laki-laki parubaya
bertanya.
“Untuk menjawab itu, saya harus menceritakan
kenapa sampai ada klaim negara atas tanah adat kita.

18
Bahasa Minahasa yang berarti kampung atau desa.
160
tentang tanah
Bahwa melalui sebuah proses yang panjang, terencana
dan sistematis, sejak tahun 1825 perlahan-lahan
pemerintah Belanda (di Hindia Belanda) merubah tanah
kita ini, Minahasa menjadi territorial. Dengan begitu
kepala ukung19 berubah menjadi pegawai pemerintah dan
rakyat menjadi bawahan pemerintah Belanda. Artinya,
tradisi kita Minahasa yang sudah belangsung lama,
dengan adanya klaim kekuasaan pemerintah kolonial
Belanda di masa itu, kemudian mulai digeserkan dari
maknanya yang sebenarnya. Dan om-om, tante-tante
sejak saat itu sesungguhnya usaha penguasaan Belanda
terhadap tanah adat Minahasa telah dimulai.” Keke
melanjutkan penjelasannya menjawab pertanyaan
tersebut.
Sesaat Keke dan Dia berpandangan. Nampak senyum
bangga mengembang dari bibir Dia. Tapi sebenarnya
dihatinya ia merasa heran dengan apa yang dikatakan
Keke. Dia tak tahu dari mana Keke mendapat penjelasan
yang sedetil itu. Padahal soal perubahan status tanah di
tanah Minahasa di era kolonial pernah selintas
diceritakan kakek kepadanya. Tapi waktu itu dia masih
anak-anak sehingga belum mengerti betul artinya.
Dan Keke pun melanjutkan penjelasannya,” Maka
menjelang berakhirnya abad 19 muncul apa yang dikenal
dengan masalah agraris yang popular dengan sebutan
‘De Agrarische Quaestie’. Inti persoalannya adalah
keputusan Gubernur Jenderal 6 Juli tahun 1870 di Bogor.
Keputusan ini didasarkan pada keterangan Residen
Manado tanggal 4 Mei 1866 serta advis Prokurator

19
Kepala Pemerintahan tingkat wanua di Minahasa.
161
Jenderal Departemen Kehakiman Hindia Belanda 18
Maret 1867 No. 573/245/rahasia. Berdasarkan itu maka
Minahasa ditetapkan sebagai tanah pemerintah,
Gouvernementgebied dan diratifikasi oleh Menteri
Urusan Daerah-daerah kolonial tahun 1879.”
Selesai berkata begitu, sesaat Dia dan Keke terdiam.
Mereka melihat ratusan orang sedang maju bergerak
menuju ke tempat itu. Mereka datang berbondong-
bondong, perempuan dan laki-laki, tampak dengan
penuh semangat bergerak mendekat di tempat di mana
mereka berada sekarang. Dia dan Keke sempat
terkesima, ketika yang berada di barisan depan
rombongan itu adalah tante Rine dan tante Neli.
“I Yayat U Santi!!” dua perempuan itu berteriak
dengan tangan yang dikepal dan diancungkan ke atas.
Ratusan orang di belakang membalas mereka.
“I Yayat U Santiiii!!!” begitu pekikan mereka yang
membahana dan menggema sampai ke sudut-sudut
kompleks.
Rombongan yang dipimpin tante Neli dan tante Rine
akhirnya bergabung dengan puluhan orang yang telah
lebih dulu ada di tempat itu. Tante Rine dan tante Neli
datang mendekat kepada Dia dan Keke. Tante Rine
berujar, “Aku dan tante Neli telah menggalang mereka
untuk bersama-sama dengan kita dalam
memperjuangkan tanah ini.”
Keke hanya terdiam haru. Sementara Dia semakin
semangat dan bangga. Melihat ratusan orang itu yang
datang penuh semangat Keke dan Dia pun saling
berpandangan. Wajah dua orang ini tambah menjadi
cerah.

162
tentang tanah
Dia akhirnya menyambut mereka dengan ucapan
terima kasih dan rasa bangga yang sangat. Dia pun
berbicara menyambung apa yang dikatakan Keke tadi.
“Dan parahnya, om-om, tante-tante, pemerintah kita
kemudian melanjutkan model penjajahan seperti itu
sampai negara kita ini merdeka, hingga sekarang. Negara
kemudian mengklaim tanah adalah hak miliknya.
Padahal, tanah ini diciptakan untuk kita, untuk diolah
oleh kita, dan kita mestinya hidup dari tanah ini, bukan
untuk para kapitalis itu. Negara tidak pernah dan
memang tidak bisa menciptakan tanah. Negara bahkan
adalah bentukan kita sendiri berdasarkan kesepakatan
bersatu dan komitmen sejahtera.”
“Benarrr!!!,” sorakan tanda setuju serempak
diteriakan oleh para warga.
Tante Rine yang berdiri bersama-sama dengan Keke,
Dia dan tante Neli di hadapan warga juga berbicara,
“Kita harus berjuang bersama merebut kembali tanah
leluhur kita ini. Kenapa begitu, karena dalam tradisi kita
orang Minahasa hak kepemilikan tanah bukan hanya
sekedar bahwa kita punya kekayaan. Tapi tanah dalam
pengertian budaya kita memiliki makna yang dalam,
yaitu kehidupan. Di masyarakat kita tempo dulu ada
yang disebut dengan kalakeran, yaitu salah satu jenis hak
atas tanah dalam tata hukum tanah menurut adat
Minahasa. Di masyarakat Minahasa tempo dulu ada
tanah kalakeran keluarga atau kalakeran un taranak dan
kalakeran kampung atau kalakaeran un banua. Tanah dalam
tradisi kita memiliki pengesahan secara hukum adat
karena tanah bagi budaya kita adalah tempat pijakan
dalam menjalani proses hidup yang panjang,”
163
“Dan, tanah yang sedang kita pijaki ini, dan sebagian
besarnya telah didirikan bangunan bertingkat milik
orang-orang kaya itu dulunya adalah tanah kalakeran un
taranak, yang kemudian menjadi tanah kalakeran un banua.
Kitalah semua para pewarisnya. Para leluhur kita telah
mewarisi tanah ini kepada kita untuk dijaga, karena
tanah ini adalah masa depan kita. Sehingga perjuangan
kita sekarang adalah merebut kembali tanah ini. Kita
memiliki hak untuk tanah ini,” Tante Neli juga ikut
bicara.
“I Yaya U Santiiii!!!” Pekikan itu membahana lagi.
“Iya. Tiada siapapun yang berhak atas tanah ini
selain kita! Kita harus merebutnya lagi!” Dia berkata
dengan sedikit keras penuh semangat.
Ratusan manusia yang mendengar penjelasan itu
terpana. Mereka akhirnya semakin yakin arah
perjuangan Dia dan Keke, tentu akhirnya juga menjadi
perjuangan bersama mereka. Pertemuan ini akhirnya
mengubah pandangan mereka selama ini tentang kenapa
mereka miskin, terpinggir dan menderita. Ini ternyata
soal tanah yang telah direbut orang.
Setelah semuanya menjadi jelas, pertemuan itu
kemudian dilanjutkan dengan percakapan khusus yang
terdiri dari sembilan orang. Mereka kemudian
membentuk lingkaran dan berdikusi bersama dengan
Dia dan Keke. Tanpa mereka sadar sembilan orang ini
ternyata mewakili sembilan sub etnis yang ada di tanah
Minahasa, yaitu Dia berasal dari Tountemboan, Keke dari
Tonsea, Tante Rine dari Tombulu, dan dari Tolour diwakili
Om Utu. Dan beberapa di antaranya yang lain mengaku
keturunan dari sub etnis Pasan, Bantik, Tonsawang,

164
tentang tanah
Ponosokan dan Babontehu. Mereka bersama
bermusyawarah tentang sebuah rencana perlawanan.
Dalam musyawarah itu Dia mengusulkan bahwa
selanjutnya mereka akan menggelar demo besar-besaran
yang melibatkan semua warga sekompleks. Tante Rine
mengusulkan agar sebelum menggelar demo mereka
harus terlebih dahulu mengadakan deklarasi tanah, yang
isinya adalah proklamasi ulang hak kepemilikan mereka
atas tanah. Deklarasi itu disepakati akan digelar di batu
tumotowa. Sementara Keke mengusulkan agar ada yang
bertanggung jawab untuk memobilisasi massa di semua
bagian kompleks. Yang lainnya menyatakan
dukungannya dan siap berjuang bersama-sama. Mereka
juga memutuskan bahwa berdasarkan sejarah maka sejak
hari ini mereka akan kembali menyebut kompleks itu
sebagai wanua Kalo’oran meski secara administrasi
pemerintahan sekarang tanah itu telah menjadi salah
satu bagian dari Kelurahan Caberes, Kecamatan
Cagagah, Kota Suka-suka. Demo yang isinya
mempertanyakan perampasan tanah mereka itu
disepakati akan dilaksanakan Kamis minggu depan.
Sasaran mereka adalah kantor dewan dan kantor
walikota.

165
28.
Sebuah Perlawanan
Hari ini hari Kamis, hari yang mereka sepakati untuk
memulai gerakan perlawanan. Dia, Keke, tante Rine,
sudah dari sejak pagi berada di batu tumotowa, tempat
yang mereka sepakati untuk mendeklarasikan
kepemilikan tanah. Kini batu itu telah bebas dari
rumput-rumput liar sehingga batunya semakin tampak
berdiri tegak. Tawa’ang yang memagari batu tumotowa
tampak tumbuh penuh semangat. Batu tumotowa
semakin kokoh seolah memberi semangat kepada
mereka untuk tetap teguh dan berani dalam menggugat
pemerkosaan hak-hak adat. Di sampingnya terpampang
sebuah tripleks yang dicat warna putih bertuliskan:
“WANUA KALO’ORAN – TANAH ADAT
MINANASA”
Rombongan demi rombongan warga wanua
Kalo’oran mulai berdatangan. Dari arah timur om Utu
memimpin sekitaran seratusan warga yang terdiri dari
pemuda, pemudi dan om-om serta tante-tante. Mereka
semakin mendekat. Dari arah utara ratusan orang juga

166
tentang tanah
mulai tampak dari kejauhan bergerak menuju ke batu
tumotowa.
Keke berdiri di samping batu tumotowa dengan
meghaphone menggantung di pundak kirinya. Keke, Dia
dan Tante Rine, telah bersiap-siap menyambut mereka.
Di sebuah tenda, tak jauh dari tempat itu tante Neli
sedang bersama-sama dengan sejumlah perempuan dan
laki-laki muda lainnya sedang mempersiapkan karton-
karton yang bertuliskan tuntutan untuk mengembalikan
hak kepemilikan tanah.
Kini, matahari makin meninggi. Suasana sekitar batu
tumotowa mulai ramai. Dua kelompok manusia yang
bergerak semakin mendekat. Kelompok itu tampak
seperti barisan para waraney yang akan maju berperang.
Derap langkah penuh keberanian manusia-manusia
pejuang kebebasan berirama lagu perjuangan untuk
tanah warisan leluhur. Kini mereka bertemu di satu titik,
di batu tumotowa.
Tapi sesuatu tampak dari kejauhan. Dari arah selatan
sekelompok manusia lain yang membentuk barisan rapi,
yang bukan dari mereka, juga sedang bergerak cepat
menuju ke tempat mereka berdiri. Barisan aparat polisi
yang tak di undang sedang menuju ke kerumunan
manusia di batu tumotowa.
“Dia, lihat ada aparat polisi sedang menuju kemari!”
Om Utu yang memimpin kelompok dari timur
menunjukkan barisan polisi itu kepada Dia.
Semua mata tertuju kepada para aparat yang sedang
bergerak menuju ke tempat mereka. Mereka hanya
memandang. Belum bereaksi.

167
“Tenang! Tenang!” Dia bicara melalui megaphone
yang baru diserahkan Keke kepadanya. “Tenang. Kita
tidak melakukan kejahatan. Jangan takut. Kita hanya
melakukan apa yang harus kita lakukan. Dan ini adalah
hak kita.”
Massa tetap tenang. Mereka agaknya membiarkan
dulu barisan polisi itu sampai di tempat mereka berdiri.
Barisan itu akhirnya telah berada dekat mereka.
Seorang dari barisan yang berpangkat AKP (Ajudan
Komisari Polisi) maju ke depan menghadap kerumuman
massa. Laki-laki itupun bertanya, “Siapa pemimpin
kalian?”
“Kami semua pemimpinnya, Pak Polisi.” Om Utu
menjawab berani.
“Bukan pemimpin. Tapi siapa yang bertanggung
jawab dengan pertemuan ini?”
“Aku,” Dia mengancungkan tangannya dan maju
mendekati polisi itu
“Aku,” Keke juga maju bersama ke depan berdiri
dekat Dia.
“Aku,” Tante Rine tak ketinggalan.
“Aku!”
“Aku!”
“Aku!”
Beberapa orang laki-laki dan perempuan ikut
mengancungkan tangannya.
Komandan pasukan polisi bingung. Bahkan dia
semakin bingung ketika massa berteriak serentak, “Kami
semua pemimpinnya!!!”

168
tentang tanah
Pasukan polisi, yang adalah anak buah dari polisi
yang berbicara tadi mengambil posisi mengelilingi
massa.
“Bapak-bapak, ibu-ibu, warga kelurahan Caberes…”
Komandan tak jadi meneruskan kalimatnya karena
Om Utu segera memotongnya dengan berkata, “Pak
Polisi, kami bukan warga Kelurahan Caberes. Kami
warga Wanua Kalo’oran. Itu identitas kami.”
“Sejak kapan ada wanua Kalo’oran di kota ini?”
“Sejak bapak belum bertugas di sini. Telah sejak
leluhur kami memilih tanah ini untuk menjadi tempat
kehidupan mereka. Dan itu sejak republik ini belum
berdiri, ” tante Rine ikut bicara.
“Maaf, bapak-bapak, ibu-ibu, kami hanya
menjalankan tugas untuk menjaga keamanan warga,”
ujar sang komandan.
“Begini, Pak. Maksud kami berkumpul di sini untuk
mendeklarasikan hak kepemilikan tanah kami yang
terancam dan bahkan ada yang sudah dirampas orang.
Bapak tentu tidak paham sejarah tanah kami ini sehingga
sulit menerima apa yang kami lakukan ini. Kami tidak
akan macam-macam. Dan setelah ini kami akan
menggelar aksi damai untuk mempertanyakan kondisi
ini,” kata Dia.
“Tapi yang kalian lakukan ini tanpa sepengetahuan
kami. Mestinya ada surat izin dari kami?”
“Pak,” Keke maju berbicara. “Kata bapak, tugas polisi
adalah untuk menjaga keamanan warga. Nah, itu
mestinya tidak ada urusan dengan surat izin kegiatan
seperti ini. Yang kami lakukan ini tidak untuk berbuat

169
jahat. Ini hak kami yang tidak harus diatur dengan surat
izin segala.”
“Tapi ini telah melibatkan banyak orang?”
“Pak, mohon mengertilah kami. Kegiatan ini memang
melibatkan banyak orang. Dan saya jamin kami tidak
akan berbuat yang macam-macam. Kalau bapak memang
bekerja untuk menjaga keamanan, maka kerjakanlah itu
tanpa harus menghentikan kegiatan kami ini. Perlu
bapak ketahui, setelah di tempat ini kami akan ke kantor
dewan dan walikota untuk menggelar aksi damai,” ujar
Dia.
“Demo apalagi. Mestinya kalian harus mengantongi
surat izin dari polsek. Saya polsek kecamatan Cagagah
ini. Kalian mestinya terlebih dahulu ke kantor saya.”
“Kebetulan sekali. Bagaimana kalau bapak polsek
yang langsung memberi izin kepada kami, di sini,” tante
Rine menyela.
“Tidak bisa. Ada prosedurnya…”
“Makanya. Biarkanlah kami melakukan apa yang
harus kami lakukan demi kehidupan kami di sini. Sebab
dengan alasan prosedur maka urusan-urusan publik
menjadi birokratis, dan semua itu hanya menyulitkan
kami rakyat kecil ini, Pak. Yang penting kami jamin kami
tidak akan melakukan tindakan subversive atau makar.”
Tandas Keke.
Sementara terjadi pembicaraan serius di depan,
massa yang sedang menunggu sudah mulai tak tahan.
Beberapa pimpinan kelompok maju ke depan bersama-
sama dengan Dia, Keke dan yang lain, yang sedang
bernegosiasi dengan komandan polisi yang ternyata

170
tentang tanah
adalah polsek di kecamatan Cagagah. Massa pun mulai
gaduh.
“Pak, polisi yang terhormat, diberi izin atau kami
tetap akan melakukan demo menuntut hak-hak kami!”
sebuah suara keluar dari massa yang mulai gaduh.
“Ya. Kami akan tetap menggelar demo! Karena ini
hak kami!!” suara lain menyusul.
“I Yayat U Santiii!!! Suara massa serempak
membahana sampai di kejauhan.
Pasukan polisi yang berjaga-jaga tampak semakin
bersiaga. Polsek yang di depan massa, tampak
memandang ke arah massa yang memaksa.
“Pak Polisi, massa sebenarnya tidak akan marah
kalau bapak-bapak mau mengerti kami.”
“Kamu dan kawan-kawanmu ini harus menghadap
saya di kantor hari ini. Dan kegiatan ini terpaksa kami
bubarkan!!” komandan polisi mulai tegas.
“Tidak bisa pak! Tiada satupun manusia atau
undang-undang apa yang melarang kami masyarakat
adat di sini mempertanyakan ketidakadilan. Kami tetap
akan melanjutkan kegiatan kami ini,” Om Utu mulai
emosi.
“Tenang, Om Utu.” Dia menenangkan Om Utu yang
mulai panas.
“Maaf, Pak. Kami hanya menjalankan perintah,”
komandan itu berdalih.
“Kami mengerti dengan aturan lembaga. Tapi kami
mohon mengertilah dengan apa yang sedang kami
lakukan ini. Nanti sekali waktu bapak pasti akan
mengerti apa arti perjuangan kami. Karena bapak
sekarang sedang berpijak di atas tanah kami, dan bapak
171
juga punya tanah yang sudah pasti bapak tidak mau
kalau diambil orang. Maaf, pak!” Dia berkata tegas.
“Ya, kalau tugas bapak dan kawan-kawan adalah
untuk menjaga keamanan, maka jagalah keamanan
kegiatan demontrasi kami ini,” Keke berkata mantap.
Komandan polisi itu terdiam. Dia hanya menatap
penuh ketidaktahuan apa yang sedang dilakukan massa
yang terus berteriak tapi tak anarkhis.
Tiba-tiba suara yang menggema dari megaphone
memecah ketegangan itu. Tante Neli ternyata telah
mengambil mengaphone dari tangan Dia dan kemudian
berbicara tepat di samping batu tumotowa wanua.
“Saudara-saudara sewanua – sekampung – Kalo’oran.
Hari ini kita berkumpul di tempat ini untuk menyatakan
kepada dunia, kepada negara ini, kepada kota ini, bahwa
kita, keturunan Toar-Lumimuut yang tersisa di tanah ini,
masih ada dan kita telah bersatu. Hari ini kita akan
mendeklarasikan hak kepemilikan tanah ini, di batu
tumotowa ini, yang beratus-ratus tahun lalu, para leluhur
kita telah menancapkannya di tanah ini untuk tanda
kepemilikan kita.” Begitu suara milik tante Neli yang
menggema dari megaphone.
“I Yayat U Santiiii!!!!” Suara massa menggema
membalas suara dari megaphone itu.
Mendengar suara itu, massa kembali berkerumun,
dan mengatur posisi kembali. Komandan polisi di depan
massa, tak berbuat apa-apa. Pasukan yang berjaga-jaga
semakin bersiaga. Dia, Keke, tante Rine segera
meninggalkan komandan polisi dan pergi mendekati
tante Neli. Tante Neli segera menyerahkan megaphone di

172
tentang tanah
tangannya kepada Dia yang sudah berdiri dekat batu
tumotowa bersamanya.
Sekarang giliran Dia yang akan bicara.
“Hari ini Kamis 14 Februari 2008, di batu tumotowa
ini, kita semua yang adalah keturunan Toar-Lumimuut,
pewaris Tanah Minahasa, yang bertanggung jawab
menjalankan amanat Watu Pinawetengan,
mendeklarasikan kepada dunia, kepada Negara ini,
bahwa tanah ini adalah Tanah Adat Minahasa, yang hak
kepemilikannya adalah milik kita, Tou20 Miinahasa!!
Dengan demikian, segala yang mengancam hak
kepemilikan ini akan ditolak atau bahkan dilawan!!!
Demikian Deklarasi Hak Kepemilikan Tanah Adat
Wanua Kalo’oran yang disaksikan oleh kita semua.
Wanua Kalo’oran, Tanah Minahasa, Kamis 14 Februari
2008, atas nama Tou Wanua Kalo’oran, Minahasa.”
Suara itu menggema sampai di nurani massa. Massa
tampak histeris dan mereka membalasnya serempak
dengan meneriakan, “I Yayat U Santi.” Mereka berulang-
ulang meneriakan itu. Komandan polisi yang tadi di
depan kini sudah tak tampak. Tapi sepasukan polisi yang
berjaga-jaga masih ada di lokasi.
“Dan sekarang, kita akan menuju ke kantor dewan
dan walikota mengumumkan deklarasi ini dan
mempertanyakan hak kepemilikan kita!” Keke berbicara
melalui megaphone.
“Setuju!! I Yayat U Santii!!!” Massa berteriak
semangat.

20
Bahasa Minahasa yang berarti Orang atau Manusia.
173
Dia, Keke dan Tante Rine serta beberapa orang lain
dari sembilan orang yang bermusyarah tempo hari
memimpin massa bergerak menuju ke kantor dewan dan
kantor walikota. Karton-karton yang berisi tuntutan
mereka yang dipegang warga tampak membuat
kelompok manusia yang memanjang itu semakin ramai.
Sesaat Dia melihat Keke berbicara dengan seseoang
melalui handphone-nya. Dia tak tak mendengar jelas apa
isi pembicaraannya.
Massa bergerak menuju ke bagian pinggiran wanua,
di jalan raya. Setelah di jalan raya mereka belok kanan
melewati gedung-gedung bertingkat dan mall-mall.
Massa membuat lalulintas macet. Barisan massa yang
memanjang menjadi perhatian warga kota. Ketika lewat
di kompleks pertokoan dan gedung-gedung bertingkat
yang berdiri di tanah wanua Kalo’oran para
pengunjungnya tampak berhamburan keluar. Karton-
karton bertuliskan tuntutan diperlihatkan kepada para
warga kota. Keke dan Dia bergantian bicara di megaphone
menyampaikan tuntutan mereka. Massa terus bergerak
dan sekarang mereka telah berada di jalan prokotol kota.
Lalulintas kota tiba-tiba macet. Pasukan polisi yang
berjaga-jaga tadi kocar-kacir bingung tak tahu
bagaimana. Komandan pasukannya berada di belakang
barisan massa.
Kini mereka telah berada di sebuah perampatan,
yang di tengahnya berdiri kokoh patung Dr. GSSJ. Sam
Ratulangi yang memegang sebuah buku. Benda ini yang
diandaikan sebagai buku berjudul “Indonesia In den
Pacific: Kernpoblemen Van den Aziatischen Pacific”.

174
tentang tanah
Sebuah maha karya Sam Ratu Langie yang terbit di
Batavia tahun 1937.
Keke tiba-tiba meminta massa untuk berhenti
sejenak. Dia belum mengerti apa maksud Keke itu. Di
perempatan jalan lagi-lagi lalulintas macet dan kacau.
Dan tiba-tiba massa dari dua arah berlawan – yang
belum tahu dari mana – tampak semakin mendekat.
Massa dari timur sekitaran 300an orang. Dari Barat
tampak lebih banyak lagi. Massa dari wanua Kalo’oran
yang dari arah selatan masih belum bergerak. Tapi massa
terus berbalas-balasan meneriakan tuntutan mereka.
Dia sedikit terkejut ketika melihat tulisan di karton-
karton yang dipegang massa dari timur dan barat sama
dengan tuntutan massanya. Sesaat Dia memandang ke
Keke yang berdiri di sebelahnya. Keke pun membalasnya
dengan tatapan mata bersinar dan senyum puas.
”Siapa mereka, Ke?’ Dia bertanya.
”Mereka semua adalah Tou Minahasa di Kota ini
yang telah terserak di hampir semua sudut kota. Mereka
semua adalah Tou Minahasa, kawanua kita.”
”Lalu...”
”Beberapa hari lalu aku telah menghubungi beberapa
orang yang tinggal di kota ini dan mereka sepakat
mendukung perjuangan kita ini,” Keke memotong.
”Jadi...”
”Ya, kita akan bergerak bersama. Aku juga telah
mengontak teman-temanku pengacara di Jakarta. Dan
kalau persoalan ini akan berlanjut di pengadilan, mereka
siap mengadvokasi kita,” ujar Keke.
”Berarti kita segera akan segera menuju ke kantor
dewan.” kata Dia.
175
”Tunggu apa lagi.”
Keke pun segera berbicara di megaphone¸ menjelaskan
siapa massa yang dari arah barat dan timur di depan
mereka. Setelah itu, perjalanan massa pun begerak lagi
menuju ke arah utara ke kantor dewan.
Massa semakin banyak jumlahnya sehingga semakin
memanjang memenuhi jalan raya kota. Massa terus
bergerak. Dia dan Keke terus bergantian menyampaikan
tuntutan mereka. Sepanjang jalan menuju ke kantor
dewan warga kota memenuhi tepi jalan menyaksikan
pemandangan yang kadang-kadang.

SESAMPAINNYA di kantor dewan, massa berkumpul di


depan kantor dewan membentuk kerumuman manusia
yang banyak sekali, kira-kira seribuan jumlahnya. Para
aparat yang sudah berjaga-jaga di kantor dewan
membentuk barisan yang berhadap-hadapan dengan
massa. Keke, Dia dan beberapa orang lainnya berada di
bagian depan massa. Dan sangat dekat sekali dengan
aparat. Siang itu, seketika kantor dewan di mana para
wakil rakyat berkantor menjadi ramai.
Dia segera memulai orasinya,
”Bapak-bapak, ibu-ibu wakil rakyat yang terhormat.
Kami dari masyarakat adat Wanua Kalo’oran.
Kedatangan kami di kantor rakyat ini adalah untuk
menyampaikan aspirasi kami. Kehidupan kami di tanah
itu semakin terdesak. Tanah kami semakin sempit karena
telah dibangun gedung-gedung bertingkat yang sampai
sekarang tidak memberikan keuntungan apa-apa bagi
kami. Bukan cuma itu, bahwa tanah milik kami sebagian

176
tentang tanah
besarnya telah dikuasai oleh orang-orang berduit dan
kami telah dibodohi.
”Tanah itu adalah warisan para leluhur kami untuk
kehidupan kami. Tapi, dengan segala cara 15 tahun lalu,
tanah itu telah dirampas oleh para kapitalis bersama
pejabat pemerintah. Akibatnya kami yang hidup di tanah
sisanya sekarang ini dalam kondisi yang
memprihatinkan. Kami miskin. Anak-anak tidak bisa
bersekolah karena orang tuanya tidak punya uang. Kami
tidak bisa lagi berusaha, karena kami telah dengan
sengaja dipinggirkan oleh dalih pembangunan yang
tidak berpihak oleh pemerintah.
”Kami minta kepada bapak-bapak dan ibu-ibu wakil
rakyat untuk memperhatikan nasib kami ini. Dan kami
ingin bertemu dengan bapak-bapak dan ibu-ibu!! ”
Massa menyambut dengan berteriak, ”Kembalikan
tanah kami!! Kembalikan hak kami!!”
Massa tak henti-hentinya meneriakan tuntutan
mereka. Karton-karton yang berisi tuntutan diangkat ke
atas diperlihatkan kepada siapa saja yang melihatnya.
Suasana menjadi gaduh sehingga om Utu tampak sibuk
mengawasi massa agar bertindak tetap sesuai rencana.
Sementara para aparat yang membentuk pagar betis di
depan mereka tetap bersiaga.
Tatkala massa semakin gaduh dengan teriakan
tuntutannya, dari antara pagar betis aparat muncul tiga
orang bertampang pejabat. Mereka di antar seorang
aparat. Agaknya seorang dari tiga orang itu akan
berbicara.
”Bapak-bapak, ibu-ibu. Kami sebagai anggota dewan,
menerima aspirasi dari bapak-bapak, ibu-ibu sekalian.
177
Aspirasi ini nanti akan kami bahas di rapat komisi
kemudian nanti akan diteruskan kepada pihak
pemerintah terutama dinas yang terkait dengan urusan
ini,” Kata salah satu dari tiga antara orang itu. Kentara
dari cara bicaranya, dia dan dua orang yang
mendapinginya adalah anggota dewan kota.
”Pak, anggota dewan yang terhormat, kami minta
aspirasi kami ini jangan cuma ditampung dan kemudian
tidak diperjuangkan. Ini kewajiban dari bapak-bapak,
karena bapak-bapak adalah wakil rakyat, wakil kami,”
kata Keke yang berdiri bersama Dia dan beberapa orang
lainnya yang berhadapan langung dengan tiga anggota
dewan itu.
Keke segera menyerahkan dua lembar kertas HVS
yang berisikan tuntutan mereka. Setelah itu mereka
mengatur lagi massa untuk melanjutkan demo mereka di
kantor wali kota. Massa kemudian membentuk lagi
barisan yang memanjang mengikuti jalan raya kota dan
segera bergerak menuju kantor wali kota. Aparat yang
berjaga-jaga ikut mengawal massa.
”Ke, kenapa aparat tetap tenang seperti itu?” Dia
bertanya kepada Keke yang berjalan bersama dia di
depan massa.
”Kemarin, beberapa orang yang aku kontak telah
mengatur semua itu. Mereka telah mengurus surat izin
aksi damai langsung di Poltabes.” jawab Keke.
”Oh...” Dia heran.
Jarak antara kantor dewan kota dengan kantor
walikota kurang lebih 1 kilo meter. Sepanjang jalan
menuju ke kantor wali kota massa tetap meneriakan yel-
yel perjuangan mempertanyakan hak kepemilikan tanah.

178
tentang tanah
Barisan massa yang panjangnya kurang lebih 5 meter
dan menutup setengah badan jalan menyita perhatian
warga kota yang dilalui massa.

MASSA yang telah tiba di kantor wali kota segera


membentuk kerumuman. Seperti yang sudah
direncanakan, Keke, Dia, dan beberapa orang lainnya
adalah barisan terdepan. Om Utu dibantu beberapa
pemuda lainnya tetap mengawasi massa. Sama dengan
di kantor dewan kota, aparat yang ada di kantor walikota
juga telah membentuk pagar betis. Orasi pun dimulai.
Orasinya hampir sama. Tapi kali ini seperti rencana,
harus ada perwakilan yang menyampaikan langsung
aspirasi mereka.
”Pak, kami minta untuk bisa bertemu langsung
dengan bapak walikota,” Dia didampingi Keke berbicara
dengan seorang yang berpakain seragam PNS setelah
mereka bergantian melakukan orasi.
”Sesuai protokoler, kalian hanya boleh
menyampaikan aspirasi di luar kantor ini,” pria yang
berpakain PNS berkata. Sepertinya pria itu sebagai
kepala urusan protokoler walikota. Dia didampingi dua
orang aparat polisi.
”Kami harus bertemu langsung dengan bapak
walikota. Karena ini persoalan penting yang harus
didengar langsung oleh walikota,” kata Keke.
”Untuk menyampaikan aspirasi cukup dengan kertas
dari kalian yang berisi tuntutan ini,” pria itu menolak
permintaan Dia dan Keke.
Di belakang Dia dan Keke massa terus berteriak.
Mereka meminta agar ada perwakilan dari mereka yang
179
berbicara langsung dengan walikota. Aparat tampak
semakin memperketat penjagaannya.
”Pak, ijinkanlah kami untuk bertemu langsung
dengan walikota. Walikota ’kan tugasnya adalah untuk
melayani rakyatnya,” Dia sekali lagi meminta
kesempatan untuk bertemu dengan walikota.
”Tidak bisa. Ini demi keselamatan bapak walikota,”
ujar pria berseragam PNS.
Massa semakin gaduh ketika tahu bawahan walikota
itu tak mengijinkan perwakilan mereka bertemu
langsung dengan walikota. Massa pun perlahan
bergerak maju. Aparat yang berhadapan dengan mereka
langsung menyiapkan tameng dan pentungan di tangan
kanan. Suasana berubah menjadi panas. Kini jarak massa
dan aparat semakin dekat. Om Utu dan beberapa orang
lain berusaha menenangkan massa. Sementara
permintaan Dia dan Keke belum dipenuhi.
Melihat kondisi yang semakin memanas, pria
berseragam PNS terlihat sedang berbicara serius melalui
handphone dengan seseorang. ”Bagaimana?
Ha..aha..ya..ya..Bisa? Berapa orang? Oh. Pak Walikota
siap? Ya...ya.”
Dia dan Keke kembali berbicara dengan pria
berseragam PNS yang baru selesai menelepon seseorang.
”Bagaimana, Pak? Bisa kan?”
”Ehmm...Bisa. Tapi kalian harus berjanji untuk tidak
berbuat yang tidak-tidak. Bapak walikota siap menerima
5 orang sebagai perwakilan kalian. Ikut aku,” akhirnya
pria berseragam PNS mengiyakan permohonan mereka.
Dia dan Keke serta tiga orang lainnya masuk ke kantor
walikota dengan dikawal empat orang aparat polisi.

180
tentang tanah
Sejumlah Polisi Pamong Praja (Pol PP) tampak juga
bersiaga. Tiga di antara para Pol PP itu ada yang bertato
di tangan.
Mereka masuk ke dalam kantor yang megah itu.
Mereka melewati beberapa anak tangga yang
menghubungkan lantai satu kantor itu dengan ruangan
walikota yang berada di lantai dua. Pintu masuk ke
ruangan walikota dijaga oleh Pol PP yang bertubuh
kekar dengan wajah tegas. Dia, Keke dan tiga orang
perwakilan lainnya, masuk mengikuti pria berseragam
PNS.
”Ini mereka Pak Walikota,” pria berseragam PNS
berkata penuh hormat kepada Walikota yang sedang
duduk di meja kerjanya. Di bagian atas belakang tempat
duduk walikota ada gambar presiden dan wakil
presiden.
”Silakan duduk.” Pak Walikota yang bertubuh
pendek tidak serasi dengan perut buncitnya
mempersilakan mereka duduk.
Ruangan walikota cukup luas. Kursi-kursi ukir yang
terbuat dari kayu jati pilihan menambah kemewahan
ruangan. Lantai di bawah kursi dan meja mewah itu
digelar permadani berwarna kuning keemasan. Tapi, Dia
dan Keke serta tiga orang perwakilan lainnya tidak
duduk di kursi mewah itu. Mereka diarahkan duduk di
beberapa kursi yang diatur persegi panjang mengitari
sebuah meja panjang. Agaknya bagian ini yang biasa
dijadikan tempat rapat walikota dengan bawahannya.
Walikota duduk mengepalai meja. Di sampingnya pria
berseragam PNS duduk dengan beberapa kertas di

181
depannya yang ditaruh di meja. Agaknya ia telah siap
menjadi notulen dalam pertemuan ini.
”Pak Walikota, kami dari warga wanua Kalo’oran,
datang kepada bapak yang terhormat untuk
menyampaikan beberapa aspirasi kami. Begini pak,
pembangunan kota yang begitu semangat digalakkan
oleh Pak Walikota ternyata tidak menyentuh sampai ke
wanua kami.” Dia memulai percakapan.
”Sebelum anda lanjut berbicara, saya ingin tahu di
mana yang anda sebuat wanua Kalo’oran itu?” Tanya
Pak Walikota yang sok berwibawa tapi lupa sejarah.
”Yang kami sebut wanua Kalo’oran itu secara
administrasi pemerintahan sekarang ini termasuk di
wilayah Kelurahan Caberes, Kecamatan Cagagah di
bagian Selatan Kota ini, Pak. Memang, banyak orang
yang telah lupa wanua Kalo’oran itu. Di waktu daerah
kita ini masih hidup dengan nilai-nilai adat sebagai
masyarakat adat, wanua itu salah satu bagian dari
pemerintahan di Tanah Minahasa ini. Pemimpinnya
disebut kepala ukung, kemudian di zaman Belanda di
sebut Hukum Tua, dan di era orde baru disebut kepala
desa. Tapi di era otonomi daerah kembali menjadi
hukum tua. Mestinya ukung. Tapi begitulah.
”Itu sekilas sejarahnya, Pak. Selain itu, terutama yang
ingin kami sampaikan bahwa hak-hak adat kami
memang sudah di rampas oleh para kapitalis dan pejabat
pemerintah pusat maupun daerah di beberapa tahun
lalu. Tanah adat kami yang sebagian besarnya telah
didirikan gedung-gedung bertingkat dan mall-mall.
Kami ini yang sekarang hidup di sekitar 9 hektar tanah
sisanya. Akibatnya kehidupan warga semakin terdesak.

182
tentang tanah
Kemiskinan, sakit penyakit dan ketidakberdayaan telah
membuat kami menderita. Begitu, Pak Walikota.”
”Ya, saya ingat tanah yang ada maksudkan itu. Tapi,
bukankah proses jual belinya sudah terjadi sekitar 15
tahun lalu? Dan jual beli itu telah sesuai prosedur
hukum. Pihak-pihak yang membeli tanah itu pasti punya
bukti-bukti jual belinya,” Pak Walikota memberi
pejelasan.
Mendegar penjelasan itu Keke kemudian
memandang Dia. Sesuatu hendak dikatakannya kepada
Dia, tapi tak jadi. Tapi dari tatapan mata Keke, Dia bisa
menangkap apa yang akan dikatakan Keke kepadanya.
Keke ganti bicara kepada pak Walikota:
“Memang benar pak walikota bahwa telah ada jual
beli antara oknum di tanah itu dengan pihak-pihak
pembelinya pada waktu itu. Tapi kebenaran proses jual
beli itu kami ragukan. Jangan-jangan ini tejadi karena
ada paksaan. Sebab sudah ratusan tahun tanah kami itu
memiliki keabsahan secara adat. Perlu Pak Walikota
tahu, bahwa tanah itu memang diperuntukan oleh para
leluhur kami untuk diwariskan pada generasinya,
termasuk kami-kami ini.
“Sebab dalam tradisi masyarakat adat kami ada yang
disebut dengan istilah tanah kalakeran, yaitu salah satu
jenis hak atas tanah dalam tata hukum tanah menurut
adat Minahasa. Di masyarakat kami dulu hak
kepemilikan tanah kalakeran ini terbagi dua yaitu tanah
keluarga keluarga atau kalakeran un taranak dan kalakeran
kampung atau kalakaeran un banua. Dan legalitas hukum
adat itu telah lama ada sebelum republik ini berdiri.

183
Tanah kami itu termasuk di dua bentuk hak kepemilikan
tanah secara adat.
“Salah satu yang membuat kemudian ada klaim
Negara atas tanah adat adalah penjajahan Belanda.
Bahwa sejak tahun 1825 perlahan-lahan pemerintah
Belanda merubah kedudukan tanah kita ini, Minahasa
menjadi territorial. Termasuk yang berubah adalah
sistem pemerintahannya. Kepala pemerintahan wanua
kami yang sebelumnya disebut kepala ukung oleh
semangat penjajahan bangsa Belanda kemudian
merubahnya menjadi pegawai pemerintah dan rakyat
menjadi bawahan pemerintah Belanda.
“Ini kemudian semakin kuat, ketika menjelang
berakhirnya abad 19 muncul apa yang dengan dikenal
dengan masalah agraris yang popular dengan sebutan
‘De Agrarische Quaestie’. Inti persoalannya adalah
keputusan Gubernur Jenderal 6 Juli tahun 1870 di Bogor.
Keputusan ini didasarkan pada keterangan Residen
Manado tanggal 4 Mei 1866 serta advis Prokurator
Jenderal Departemen Kehakiman Hindia Belanda 18
Maret 1867 No. 573/245/rahasia. Berdasarkan itu itu
maka Minahasa ditetapkan sebagai tanah pemerintah,
Gouvernementgebied dan diratifikasi oleh Menteri
Urusan Daerah-daerah kolonial tahun 1879.”
Dia tiba-tiba memotong ganti memberi penjelasan.
Katanya, ”Ketika Indonesia merdeka, bahkan sampai
sekarang, dalam urusan kepemilikan tanah, ternyata
mewarisi model Belanda. UUD 1945 pada pasalnya yang
ke 33 menjadi salah satu buktinya. Dan undang-undang,
maupun segala macam peraturan pemerintah yang
menjadi turunannya akhirnya seolah-olah

184
tentang tanah
menghilangkan hak-hak adat dalam kepemilikan tanah.
Persoalan di wanua kami adalah imbas dari model
penguasaan negara yang seperti itu. Negara kemudian
menjadi mutlak menguasai tanah milik rakyatnya.
Padahal, kepemilikan tanah penting bagi kelangsungan
hidup. Begitu Pak Walikota sehingga kami merasa
sampai sekarang bahwa kami punya hak terhadap tanah
itu, meski menurut Pak Walikota telah ada proses jual
belinya yang sesuai proses hukum 15 tahun yang lalu.”
Pak Walikota yang mendengar penjelasan dua orang
muda ini terdiam, antara mencoba berusaha mengerti
atau sedang mencari siasat baru untuk menangkis
argumen itu. Notulen – pria yang berseragan PNS –
tampak terheran-heran. Rupanya dia baru tahu sekarang
sejarahnya.
Pak Walikota belum memberi alasan lain. Dia terlihat
memegang handphone dan memencet tombol-tombolnya.
Alat komunikasi itu kemudian ditempelkan di kuping
sebelah kanannya. ”Ya, hallo. Begini saya ingin
penjelasan sekarang tentang dokumen jual beli tanah di
Kelurahan Caberes, di bagian selatannya. Bagaimana?
...ya...ya...ha...ehe...O, begitu ya? Jadi semua arsip
dokumen jual belinya ada? Ya...ya...Ok.” Pak Walikota
berbicara dengan entah siapa melalui selulernya yang
canggih.
Pak Walikota kemudian berbicara lagi dengan Dia,
Keke dan beberapa orang perwakilan lainnya di ruangan
itu. Katanya, ”Persoalan ini, nanti akan saya cek lagi
kebenarannya. Akan saya teliti beberapa dokumen yang
terkait dengan jual beli tanah itu. Satu minggu lagi kami
akan memanggil kalian untuk membicarakan ulang
185
tuntutan kalian. Dan sekarang, saya minta anda-anda ini
segera mengantar pulang massa dengan tertib. Saya akan
berusaha memperhatikan aspirasi warga wanua...eh
maksud saya warga di kelurahan Caberes.”
”Baik, Pak. Terima kasih bapak telah menerima kami
untuk berbicara langsung. Kami berharap bapak dapat
mengambil langkah yang bijaksana berdasarkan
kebenaran yang ada,” tandas Dia menutup pertemuan.
Mereka pun segera pamitan dengan Pak Walikota sambil
berjabatan tangan.
Setelah keluar dari ruangan Dia, dan Keke serta
beberapa orang lainnya langsung kembali bersama
massa di luar yang penasaran menunggu hasil
pertemuan mereka dengan walikota. Dia segera
mengambil megaphone dan menjelaskan beberapa poin
penting hasil percakapan dengan Walikota. Setelah itu
bersama Keke Dia memimpin massa untuk pulang
dengan tertib.

29.
Lobi
186
tentang tanah
Hari kedua setelah Demo
Empat mobil mewah masing-masing bermerek Ford
dan Terrano tiba di kantor walikota. Turun satu
persatu dari mobil-mobil itu beberapa orang yang
berpakaian khas pengusaha dengan stofmap di
tangan. Mereka langsung dijemput oleh dua orang
Pol PP yang langsung mengantar mereka ke ruang
kerja walikota.
Para pengusaha itu langsung dijemput Walikota
di kursi-kursi berukiran mewah yang terbuat dari
kayu jati pilihan. Tanpa basa-basi bos-bos itu
langsung mengeluarkan beberapa dokumen dari
stofmapnya masing-masing. Dokumen-dokumen itu
ditunjukkan satu persatu kepada walikota. Si
penguasa kota itu membaca satu persatu dokumen
yang diperlihatkan. Wajahnya memperlihatkan
sebuah keseriusan.
“Kami sudah tahu tentang demonstrasi dari
warga kelurahan Caberes itu, Pak Walikota.
Makanya kami datang kepada pak walikota untuk
menunjukkan bukti-bukti hukum kepemilikan kami
atas tanah itu. Maksud kami menunjukkan bukti ini,
agar supaya Pak Walikota bisa mengambil kebijakan
yang tidak merugikan kami. Ini dokumen-dokumen
yang menerangkan hak kepemilikan kami, Pak,”
seorang dari empat pengusaha itu berbicara dan
menyerahkan dokumen-dokumen yang mereka
bawa.
187
Dokumen-dokumen yang diperlihatkan itu
antara lain berupa akta tanah dan kemudian surat
jual beli. Surat pembelian itu menyebutkan nama
Yopi Pinontakan. Dari pembicaraan antara
pengusaha dan penguasa kota itu diketahui bahwa
mereka telah membeli tanah dan bangunan-
bangunan yang mereka untuk gunakan berbinis
selama ini dari sebuah perusahaan pengembang
yang pemiliknya adalah Yopi Pinontakan.
Perusahaan itu berkedudukan di Jakarta.
Seorang lagi berkata, “Kami harap dengan
adanya bukti-bukti ini Pak Walikota segera
mengambil tindakan hukum untuk menampik
gerakan dari warga itu Pak. Karena bagaimanapun
bisnis kami ini sudah memberi banyak pemasukan
untuk PAD Kota ini.”
Pak Walikota masih serius membaca dokumen-
dokumen itu. Ia belum membalas apa yang
dikatakan oleh dua pengusaha tadi.
“Kami yakin dengan membaca dokumen-
dokumen ini Pak Walikota akan tahu yang
sebenarnya,” kata seorang lagi yang lain.
Seorang yang belum berbicara juga berkata, “Ini
demi keamanan investasi di sini Pak.”
“Saya tahu maksud kalian. Baik. Saya tentu
tidak akan membiarkan investasi di Kota ini rusak
hanya gara-gara tuntutan dari orang-orang di
kompleks itu. Tenang, semua pasti akan beres. Tak

188
tentang tanah
usah khawatir,” Pak Walikota akhirnya berbicara
juga.
“Baik, Pak. Kami tahu keberpihakan bapak pada
kami pengusaha. Ini sebagai tanda ucapan terima
kasih kami, Pak.” Seorang yang berkata pertama
berbicara sambil menyodoran sebuah amplop berisi
uang jutaan rupiah di meja. Pengusaha yang lain
ikut menyodorkan amplopnya. Dan setelah itu
mereka pun berjabatan tangan dengan Pak
Walikota. Hanya mereka yang tahu isi pembicaraan
di siang itu, dan juga sudah tentu isi amplopnya.

189
30.
Akhirnya...
Sudah seminggu dari demo itu, Dia dan Keke belum
juga mendapat panggilan dari Walikota untuk
membicarakan lagi tuntutan mereka. Tak tahan
menunggu lama mereka berdua bersama beberapa orang
yang menjadi perwakilan warga lainnya akhirnya
berinsiatif pergi ke kantor walikota untuk bertemu
dengan Pak Walikota.
Pagi itu kantor walikota tampak sibuk. Pegawainya
ke sana kemari dengan stofmap di tangan. Di pintu
gerbang halaman kantor walikota, Dia dan Keke
menyampaikan maksud mereka kepada dua orang Pol
PP yang berjaga-jaga di di pos keamanan. Mereka
diarahkan langsung ke ruangan Pak Walikota di lantai
dua kantor walikota. Tapi di sana mereka belum
langsung bertemu walikota karena sebelumnya harus
mengisi daftar tamu di sebuah meja yang ditunggui oleh
dua orang berseragam PNS di pintu masuk ke ruangan
walikota. Setelah setengah jam menunggu giliran,

190
tentang tanah
mereka pun masuk ke ruangan yang seminggu lalu
mareka datangi.
Di ruangan itu ternyata walikota telah menunggu
mereka. Masih sama tempo hari, mereka diterima bukan
di kursi ukir mewah yang terbuat dari kayu jati,
melainkan di beberapa kursi biasa yang diatur persegi
panjang. Di kursi itu mereka seminggu yang lalu datang
menyampaikan aspirasi. Di meja panjang itu juga mereka
disambut walikota yang sok berwibawa.
“Selamat pagi, Pak,” sapa Dia lebih dulu yang
lainnya mengikuti belakangan.
“Hei, selamat pagi. Kamu yang minggu lalu, ya?”
walikota pura-pura lupa-lupa ingat.
“Ya, Pak. Kami dari warga wanua kalo’oran.” Dia
membalasnya dengan berusaha tetap sopan.
“Mari. Mari duduk. Di sini saja, ya,” pak walikota
mempersilakan mereka yang duduk di kursi-kursi yang
mengitari meja panjang.
Sama seperti seminggu yang lalu, Pak Walikota lagi-
lagi duduk sebagai kepala meja.
“Maaf, ya, sebenarnya saya yang harus menghubungi
kalian. Tapi, terima kasih kalian telah berinisiatif
kemari,” kata Pak walikota berusaha ramah.
“Kami memang menunggu panggilan bapak, tapi
karena kami ingin segera tahu bagaimana tanggapan
bapak terhadap aspirasi kami, maka kami berinisiatif
datang meski tidak dihubungi,” ujar Keke.
“Tak apalah.” Pak Walikota langsung membalasnya.
“Begini saudara-saudara, saya telah mengecek kebenaran
tentang hak kepemilikan tanah yang kalian maksud.
Setelah saya cek di lembaga kami yang mengurus
191
pertanahan dan juga setelah dikonfirmasi dengan
beberapa pengusaha yang ada di sana, ternyata
informasinya sama. Bahwa 15 tahun lalu, tanah itu telah
dijual oleh seseorang yang mengaku pemegang hak
waris kepada sebuah perusahaan yang bergerak di
bidang pengembang di Jakarta. Dan pengusaha itulah
yang kemudian telah menjual lahan-lahan itu sekaligus
dengan gedung-gedung yang dibangunnya kepada para
sejumlah pengusaha di daerah kita ini.”
“Siapa yang mengaku sebagai pemegang hak waris
itu, Pak.” Dia bertanya.
“Namanya Alex Pinontakan. Surat-surat bukti
kepemilikan itu ada.”
“Tidak mungkin, Pak. Tanah itukan tanah adat,
bukan tanah pribadi. Tanah adat yang kemudian
disepakati oleh para leluhur kami dulu bahwa tanah itu
akan digunakan untuk didirikan pemukiman. Kami
semua inilah keturunan dari para leluhur itu. Sehingga
kami merasa punya hak untuk mempertanyakan tanah
itu kepada pemerintah, yang dulunya terlibat dalam
pengalihan status tanah itu.” Dia langsung berbicara.
Keke tampak memandangnya.
“Kalian punya bukti hukumnya?” walikota bertanya.
Ia masih tampak berusaha ramah.
Dia, Keke dan beberapa orang lainnya yang ditanya
terdiam. Mereka saling berpandangan. Sementara pak
walikota dengan santainya mengetuk meja dengan jari-
jari tangan kanannya. Cincin emasnya yang bermata batu
akik ikut bergerak.
Mereka masih terdiam, sehingga kesempatan Pak
Walikota berbicara lagi. “Makanya. Negara kita ‘kan

192
tentang tanah
negara hukum, segala sesuatu harus punya dasar
hukumnya. Tak usahlah kalian mempermasalakan
kepemilikan tanah itu. Kalian mestinya bersyukur,
dengan dibangunnya pertokoan dan kantor-kantor bisnis
di kompleks itu, kalian bisa mendapat untung.”
Dia, Keke dan beberapa orang lainnya masih terdiam.
Mereka seolah-olah terpojok dengan alasan yang
dikemukakan oleh walikota. Tapi, Keke tampak sedang
berpikir sesuatu. Sementara dalam hati Dia membalas
dengan makian segala yang dikatakan oleh Pak Walikota
itu. “Gila, untung apa kami dari mesin-mesin hasrat itu.
Bukan untung yang kami dapat, melainkan buntung.
Dasar penguasa tahunya cuma bicara!” Hati Dia menjadi
geram.
Salah seorang dari rombongan yang bersama dengan
Dia dan Keke berbicara, ”Pak Walikota. Terus terang
kami tak merasa mendapat keuntungan apa-apa dari
dibangunnya pertokoan dan kantor-kantor itu. Lihat saja,
tanah kami itu semakin kumuh.”
“Itu kan gampang diatur. Nanti saya atur dalam
perencanaan kota, untuk membangun jalan, drainase
dan pemukiman yang layak di kompleks kalian itu. Saya
juga akan membuat kebijakan pendidikan gratis untuk
anak-anak kalian,” ujar pak walikota enteng.
“Dasar penguasa, asal bicara!” Dia mengumpat lagi
dalam hatinya.
“Begini saja Pak Walikota, kami akan berusaha
mencari bukti-buktinya dulu, baru kami akan kembali
lagi di sini menunjukkan bukti-bukti itu kepada bapak.
Kalau tidak dengan bapak walikota, kami akan langsung

193
memperkarakannya di pengadilan.” Keke tiba-tiba
bicara. Nadanya sedikit emosi.
“Terserah kalian. Yang penting harus sesuai prosedur
hukum,” balas Pak Walikota.
Dia dan Keke tampak berpandangan. Beberapa orang
yang lainnya dalam pikirannya tampak mencari-cari
sesuatu yang ingin dikatakan. Tapi urung. Mereka
akhirnya segera mengakhiri pertemuan itu. Pak Walikota
tampak gembira telah memberi alasan yang bisa
mengoyahkan perjuangan mereka. Dia, Keke dan
beberapa orang lainnya pun akhirnya pamit dengan
wajah-wajah yang tak puas.

DI suatu siang beberapa hari setelah pertemuan itu, Dia


dan Keke pergi ke sungai di ujung wanua mereka untuk
merenungi beberapa persoalan yang mereka temui
dalam memperjuangkan nasib tanahnya. Sungai tempat
mereka dulu bermain-main masih tampak keruh.
Sampah-sampah yang bukan dari warga di wanua itu
memperburuk keadaan sungai kenangan mereka.
Beberapa pohon yang tempo hari Dia lihat sudah
mengering, beberapa di antaranya bahkan telah tumbang
karena lapuk. Sungai itu seolah-olah sedang
memperlihatkan sebuah kehancuran kehidupan. Tapi,
Dia masih optimis, karena beberapa ikan kecil masih bisa
hidup di sungai itu meski hanya di pinggiran. “Masih
ada harapan,” gumam Dia dalam hatinya.
“Dia, aku masih merasa bersalah atas apa yang
pernah ayahku lakukan.” Keke bicara.
“Ehmm…Aku yakin, bahwa bukan cuma itu
persoalannya. Kamu ‘kan pernah katakan kepada warga,

194
tentang tanah
bahwa persoalan ini antara lain disebabkan oleh klaim
pemerintah Belanda atas tanah kita. Dan ini juga diwarisi
oleh pemerintah kita sampai sekarang. Kita memang
tidak punya bukti tertulis. Tapi jangan-jangan surat-
surat yang ayahmu pegang sebagai bukti hukum
kepemilikan tanah itu tidak benar alias palsu.”
“Tidak benar bagaimana? Tante Rine bicara begitu.
Tante Neli juga tahu cerita itu. Pak walikota bahkan
menjadikan itu sebagai bukti kuat untuk menghadapi
kita.”
“Tapi, kenapa Pak Walikota seolah-olah mati-matian
membela para pengusaha itu. Jangan-jangan…”
“Jangan-jangan, karena surat-surat itu sengaja
direkayasa oleh pemerintah dulu. Dan walikota kita
sekarang tinggal meneruskan klaim sepihak pemerintah.
Kamu tahu kan, pertokoan dan gedung-gedung bisnis itu
memberi banyak masukan untuk PAD kota.” Keke
memberi analisis.
“Dan Pak Walikota mendapat untung secara pribadi
dari para pengusaha. Aku tahu. Bahwa kecurigaan kita
harus juga diarahkan pada seperti yang kau katakan tadi,
bahwa surat-surat itu bisa saja palsu. Ayahmu
melakukan itu karena hanya ingin mendapat uang untuk
mengatasi kesulitan ekonomi yang sedang dia rasakan.
Dan dia tahu bahwa ia hanya menjual surat palsu bukan
tanah. Kakekku juga pernah bercerita tentang sejarah
tanah ini. Dia pernah menyebut istilah tanah kalakeran
seperti yang kau katakan tempo hari kepada warga. Tapi
waktu itu aku masih anak-anak sehingga belum terlalu
mengerti dengan istilah itu.”

195
“Tapi dengan bukti apa kita mengklaim bahwa ini
tanah adat. Oke, benar. Bisa saja surat-surat tanah itu
palsu, tapi apakah ada cara kita untuk membuktikannya
bahwa surat-surat itu palsu dan benar bahwa tanah ini
tak bisa diperjualbelikan karena tanah adat. Apalagi
sekarang kan negara semakin menganggap bahwa yang
di dalam tanah, di atas tanah, air dan udara adalah
miliknya.”
Sementara serius berbicara, Dia dan Keke tiba-tiba
dikejutkan dengan suara perempuan memanggil.
“Dia, Keke.!!” Tante Rine memanggil mereka.
“Ada apa tante, Rine,” Dia dan Keke menyahut
hampir bersamaan sambil berdiri.
“Ada satu mobil truk sekarang sedang membagi-
bagikan sembako gratis kepada warga. Kata yang
membawanya, itu pemberian cuma-cuma dari beberapa
pengusaha pemilik toko itu.” Tante Rine menjelaskan.
“Lalu?” Keke bertanya.
“Warga ramai menerimanya. Mereka senang sekali.”
“Tante Rine juga mengambil sembako itu?” Dia
bertanya.
“Belum…eh… Tidak. Takut ini seperti yang
dilakukan oleh parpol-parpol waktu kampanye. Cuma
ingin membikin senang hati. Apalagi sembako-sembako
itu pemberian dari pengusaha-pengusaha yang
melakukan usahanya di atas tanah kita,” jawab tante
Rine.
Mereka segera bersiap kembali ke kampung
menemui warga. Tapi ketika langkah belum digerakan
suara seorang laki-laki tua muncul dari arah samping
mereka.

196
tentang tanah
“Tunggu!!”
Laki-laki tua itu, umurnya sekitar 80 tahun. Ia tiba-
tiba muncul dari arah belakang tante Rine. Dia dan Keke
tak memperhatikan dari mana ia datang sebenarnya.
Tante Rine pun terkejut.
“Aku bukan siapa-siapa. Aku Erens. Aku tinggal di
sebuah gubuk bagian selatan sungai ini. Aku hanya ingin
memberikan ini kepada kalian. Bacalah isi surat di
dalamnya. Mudah-mudahan bisa berguna bagi tanah ini.
Kalianlah harapan dotu-dotu21 kita. Aku telah gagal.
Mudah-mudahan kalian berhasil,” cuma itu yang dia
katakan lalu pergi lagi. Dia dan Keke serta tante Rine tak
sempat berbicara dan mencegahnya karena terpana dan
penasaran dengan sebuah tas plastik hitam yang isinya
kalau dirabah dengan jari pastilah sebuah surat.
Kini tas plastik itu telah di genggaman Dia. Mereka
tak tahan untuk segera membuka tas plastik itu. Si kakek
yang memberinya telah menghilang di rumput-rumput
liar di tepi sungai itu.
“Lihat, sebuah surat!” Dia terperanjat.
Mata mereka pun langsung tertuju ke surat itu.
Sebuah kertas yang mulai berwarna coklat karena
ketuaannya. Garis-garis lipatan kertas hampir membelah
surat tersebut. Tapi tulisan tangan di atas kertas itu
masih kentara.
Dia membacanya dengan susah payah karena bahasa
yang digunakan masih ejaan lama dengan beberapa
istilah Belanda di dalamnya. Tulisan yang tercantum
dalam surat itu menerangkan tentang pewarisan tanah.

21
Leluhur
197
Tercatat di situ tanggal pembuatan surat pada 17
Desember 1886.
Kemudian ditulis juga bahwa bahwa tanah itu adalah
milik dari Albert Tumbeleka sebagai tanah kalakeran un
taranak. Tapi tulisan selanjutnya menerangkan bahwa
dengan kerelaan dari Albert Tumbeleka itu, maka tanah
seluas seratus hektar telah dihibahkan untuk didirikan
wanua. Sebagai yang mewakili penerima warisan itu
adalah seorang yang bernama Servius Pinontakan.
Selanjutnya disebutkan bahwa tanah yang diwarisi itu
adalah milik bersama dari warga di wanua Kalo’orang
dan akan menjadi warisan bersama untuk keturunannya.
Surat itu diakhiri tanda tangan pewaris Albert
Tumbeleka dan yang mewakili penerima warisan Servius
Pinontakan. Disahkan oleh kepala Distrik setempat dan
ikut disaksikan oleh beberapa saksi.
Dia masih memegang surat itu. Keke masih diam
berusaha mencari tahu apa maksud isi surat yang baru
mereka baca.
Tiba-tiba Keke berkata, “Tunggu! Aku ingat. Ayahku
pernah bilang bahwa kakek buyutku bernama Servius
Pinontakan, dan dia adalah hukum tua pertama di
wanua ini. Dan kakekku, ayah ayahku pergi ke Jawa
menjadi tentara KNIL22. Ayahku dan beberapa
saudaranya bahkan lahir di Jawa. Ayah nanti kembali
sekitaran tahun 1958. Dan, kakak ayahku, Om Yopi tetap
di Jakarta, menjadi pengusaha. Aku, bersama ayah dan
ibu kembali lagi ke Jakarta tinggal di sana.”

22
Koninklijk Nederlansche Indische Leger
198
tentang tanah
“Aku juga pernah dengar cerita itu, Ke,” tante Rine
berkata. “Kalau tidak salah Om Yopimu itu yang
membeli tanah itu melalui ayahmu. Itu terjadi waktu
pemerintah kota sedang mencari lahan untuk
membangun pusat-pusat bisnis kota.”
Dia menyambung, “Jangan-jangan ayahmu hanya
digunakan oleh pemerintah kota, karena mereka tahu
bahwa kakek buyutmu atau kakek ayahmu adalah
hukum tua pertama wanua ini yang menjadi wakil untuk
menerima warisan tanah ini? Tapi kenapa surat itu ada
di tangan kakek tadi? Siapa dia?”
“Hei, ada tulisan di balik kertas ini,” Keke
memperlihatkan kepada mereka tulisan di balik surat itu
yang ditulis bersambung.
Dia membalikkan kertas itu dan mereka membacanya
bersama-sama. Begini kalimat-kalimat tulisan itu:
Bahwa telah terjadi klaim tanah warisan milik keturunan
wanua kalo’oran oleh pemerintah dengan membuat surat-surat
palsu. AP telah digunakan oleh pemerintah dan orang-orang
kaya itu untuk mengambil alih dengan penuh rekayasa tanah
milik wanua kalo’oran ini. Yang benar adalah perjanjian
dalam surat ini. Surat-surat palsu itu adalah rekayasa
pemerintah dan orang-orang kaya dari Jawa untuk menguasai
tanah warisan leluhur ini. Itu yang benar.
Mohon, siapapun yang menemukan surat itu harap
menyimpannya dan membawanya ke pengadilan dan
tunjukkan kepada mereka bahwa tanah ini adalah milik
keturunan Toar-Lumimuut, Tou Minahasa yang bertempat
tinggal di Wanua Kalo’oran.

23 Januari 1993,
199
ET

Selesai membaca catatan itu, Keke langsung


mengambil handphone di saku celananya dan bermaksud
menelepon temannya yang pengacara di Jakarta. Tapi,
urung. Pulsa tak cukup lagi untuk melakukan
pemanggilan. “Nanti aku segera menelepon temanku
yang pengacara, yang aku ceritakan padamu waktu di
demo, Dia. Baiknya, kita sekarang segera kembali ke
kampung dan mengatakan ini kepada warga,” kata Keke.
Mereka pun segera bergegas kembali ke kampung.
Tapi di sana mereka tak jadi bicara dengan warga,
mereka kebanyakan sibuk mengambil pembagian
sembako gratis dari sebuah mobil truk di perempatan
jalan.

KEESOKAN harinya Keke segera menghubungi


temannya yang pengacara di Jakarta. Hari itu juga Dia
dan Keke serta Tante Rine segera mendaftarkan gugatan
mereka di lembaga pengadilan kota atas nama warga
wanua Kalo’oran sesuai petunjuk yang diberikan oleh
pengacara teman Keke, yang akhirnya bersedia menjadi
pengacara mereka dalam perkara itu. Atas nama warga
wanua Kalo’oran, mereka menggugat pengusaha yang
telah mengklaim tanah mereka dan pemerintah kota,
yang bertanggung jawab terhadap jual beli itu
berdasarkan surat-surat yang palsu.
Keesokan harinya, media ramai memberitakan
gugatan warga wanua Kalo’oran itu. Kemudian setelah
beberapa kali digelar persidangan, pihak tergugat
akhirnya dinyatakan bersalah. Namun pihak-pihak yang

200
tentang tanah
kalah itu masih bersikeras untuk tidak menerima
keputusan pengadilan dengan mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung. Tapi dengan bukti surat warisan
yang diberikan oleh seorang Kakek yang bernama Erens,
pihak Mahkamah Agung menolak kasasi tersebut, dan
kemudian segera menurunkan Keputusan Eksekusi
tanah seluas 100 hektar untuk dikembalikan kepada
warga wanua Kalo’oran sebagai tanah adat. Sebuah
perjuangan yang panjang, akhirnya membuahkan hasil.

201
31.
Ehmm...
“Dia, aku harus kembali ke Jakarta,” kata Keke
kepada Dia. Ketika itu mereka berdua sedang berada di
tepi jalan raya, di tepi kampung. Keke agaknya telah
bersiap untuk pergi. Matahari baru akan beranjak naik
memberi kecerahan untuk tanah yang baru merdeka.
Kecerahan sinar matahari ini seolah-olah sedang menjadi
pertanda baik bagi proses kehidupan di tanah itu yang
masih panjang, masih jauh jalannya.
“Ke, bukankah apa yang kita perjuangkan selama ini,
untuk tahap pertama ini telah berhasil,” kata Dia yang
ikut berdiri dengan Keke di tepi jalan.
“Apalagi yang harus kita lakukan? Bukankah warga
sudah bisa hidup merdeka di atas tanahnya. Itu kan
tujuan perjuangan kita?”
“Sebenarnya ini baru awal, Ke. Mereka masih
membutuhkanmu, Ke, untuk mencerdaskan mereka
memaknai kemerdekaannya di atas tanah ini.”
“Kamu kan bisa? Aku harus pergi, Dia.”
Dia hanya terdiam. Sebuah mobil angkot berhenti
tepat di depan mereka menuju ke pusat kota
202
tentang tanah
menawarkan tumpangan. Tapi Keke hanya menatap ke
hamparan tanah yang luas di seberang jalan. Ia belum
naik di angkot itu.
“Ehmm. Apa kamu tidak mau bersama aku di sini?
Eh, maksudku, ini ‘kan juga tanahmu, tanah kita,” Dia
berkata sambil menundukkan kepalanya menatap
kerikil-kerikil kecil di tepi jalan. Ada sesuatu agaknya
belum terus terang diucapnya, meski sesuatu yang masih
tersimpan di hati itu meminta untuk segera menyatakan
diri. Apa itu?
“Aku sangat suka. Tanah ini dan orang-orangnya
sudah lama aku rindu, Dia. Aku pernah bilang
kepadamu soal ini,” Keke berbicara pelan tapi penuh
hati. Sesuatu di hati agaknya sedang meminta diri untuk
sebuah penerimaan.
Sebuah mobil angkot lagi-lagi berhenti tepat di depan
mereka. Tapi sekarang Keke hanya menundukkan
kepalanya menatap bunga rumput malu di tepi jalan
yang berwarna merah muda. Dia ganti memandang ke
hamparan luas lahan di seberang jalan. Tak ada jawaban
bagi sopir mobil angkot yang menawarkan tumpangan.
Angkot itu pun pergi tanpa permisi seperti ketika dia
berhenti tadi.
“Maksudnya, Ke. Aku…ah….Aku ingin kau di sini,
bersama kami di sini,” sesuatu dari hati Dia belum juga
berani keluar.
“Aku juga ingin bersama kalian di sini. Tapi
apakah….Ah…” Sesuatu yang ada di hati Keke mulai
berani membuka diri.
“Kalau begitu, jangan pergi. Aku…Aku ingin…ah…”
sesuatu itu masih juga malu-malu.
203
Keke diam-diam menatap wajah Dia yang tegak
menghadap ke depan. Sebuah wajah yang sebenarnya
selalu dilihatnya beberapa waktu terakhir ini, tapi baru
kali dia menatap wajah itu sebenar-benarnya dengan
hati. “Ehmm,” gumam Keke diikuti senyum kecil tapi
manis.
Dia merasakan tatapan itu. Dia pun memalingkan
pandangannya ke wajah Keke. Jantungnya berdetak
keras tapi berirama indah. Mata mereka kini saling
bertatapan dan berbicara, hati yang berbicara dalam
tatapan. Detak jantung Dia semakin kencang dan
iramanya pun semakin indah. Sesuatu itu kembali
meminta diri untuk dinyatakan. Semakin meminta,
semakin kencang detak jantungnnya. Tatapan mereka
pun semakin dalam. Di luar kontrol Dia tangannya
bergerak sendiri meraih tangan Keke dan memegang jari-
jari lembut perempuan itu, lembut sekali.
“Aku cinta kamu, Ke,” sesuatu yang dari hati Dia itu
akhirnya keluar juga. Jari-jarinya tak lagi memegang tapi
telah meremas. Tapi tetap lembut.
Mata Keke tak memperlihatkan sebuah keterkejutan.
Wajahnya semakin cerah. Tak ada yang harus terkejut
dalam tubuh Keke, karena itu juga sebenarnya sesuatu
yang dari hatinya ingin katakan. Hanya tangan Keke
yang sepertinya menjadi lain. Sekarang Keke yang
membalas meremas jari-jari Dia.
“Aku juga cinta kamu, Dia, seperti cintaku pada
tanah ini,” balas Keke dengan suara yang lembut, yang
kelembutannya tak ada tandingan sedunia.
Sesuatu dari hati Dia yang sudah berbentuk itu kini
bergembira dan menari-nari senang. Dia pun memeluk

204
tentang tanah
tubuh Keke. Keke membalasnya dengan pelukan yang
mesra. Bermacam-macam jenis dan merek kendaraan
yang lalu lalang di jalan raya itu seolah ikut merayakan
kebahagian mereka. Dan tanpa diduga, di belakang
mereka, di jalan kampung telah berdiri para warga, yang
sedari tadi menyaksikan pelukan mesra dua anak muda
yang saling mencintai itu. Warga pun bersorak gembira.
Gembira karena baru menyaksikan peristiwa bersatunya
dua keping hati yang saling mencintai, dan gembira
karena telah merdeka di atas tanah sendiri.

Perjuangan masih panjang. Seperti cinta yang tak pernah


jadi, begitu juga dengan kemerdekaan. Sama-sama harus terus
diperjuangkan.

Sebuah suara yang Dia kenal betul menggema. Kali


ini, selain Dia, Keke juga mendengar suara itu.

205
Makaseh
Makaseh banyak for:
 Opo Empung di Kasendukan

 Kita pe istri Erny A. Jacob deng kita pe anak
Teresa Karema Maria Pinontoan

 Tamang-tamang di Radio Suara Minahasa:
Rikson, Riane, Anti, Nancy, Jenes, Ita, Brons,
Enjel, Doni, Henly, Steven, Herdy deng Rommy.
 Bode di Perpustakaan Minahasa “AZR Wenas”.
 Tamang di Inspirator Fak. Teologi UKIT, Venly
Massie

 Tamang-tamang di 9 Society: Green, Freddy, Ge’,
deng Andre

 Para pemikir, perenungan dan penggiat di Pusat
Gerakan Adat dan Budaya Minahasa - Tomohon

 Dengan samua ngoni yang merasa so bantu
sampe kita pe novel ini bole terbit…..

16 Mei 2008
Kakaskasen III, Tomohon - Minahasa

206
tentang tanah
Biodata Singkat Pengarang
Denni H.R. Pinontoan, cuma orang biasa. Lahir di
Kawangkoan, 17 Desember 1976. menikah dengan Erny
A. Jacob, SE pada tahun 2006. Telah dikaruniakan
seorang putri bernama Teresa Karema Maria Pinontoan.
Menamatkan kuliah S1 di Fakultas Teologi UKIT pada
tahun 2003.
Dari tahun 2006 sampai sekarang menjabat sebagai
wakil direktur dan pemimpin redaksi Radio Suara
Minahasa – Tomohon. Sebelumnya dari tahun 2003
sampai 2004 sebagai redaktur pelaksana di Radio Sion
Tomohon. Tahun 2002 - sampai sekarang sebagai
redaktur pelaksana di Majalah Inspirator terbitan
Fakultas Teologi UKIT. Tahun 2005 sampai 2006
Koordinator Publikasi Yayasan Suara Nurani Tomohon.
Dosen di Fakultas Teologi UKIT mengajar mata kuliah
Teologi Agama-agama dan Jurnalistik.
Selain terus menekuni kegiatan tulis menulis aktif
juga mengikuti seminar berskala lokal maupun nasional.
Topik-topik seminar yang diikuti antara lain budaya,
politik, jurnalistik dan pluralisme agama.
Beberapa tulisan/buku yang telah dipublikasikan
adalah ”Menjadi Gereja Advokasi” (terbitan Forkat tahun
2005), Kumpulan Cerpen ”Sebuah Perjumpaan” (terbitan
Forkat tahun 2005), dan Kumpulan Esai ”Pilih yang
Mana?” (terbitan Karema Production tahun 2007).
Sampai sekarang giat menulis artikel dan esai di
beberapa harian lokal yang membahas topik politik,
sosial, budaya dan agama.

207

Anda mungkin juga menyukai