Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gangguan Haid atau disebut juga dengan perdarahan uterus abnormal merupakan keluhan
yang sering menyebabkan seorang perempuan datang berobat ke dokter atau tempat pertolongan
pertama. Pada tahun 2007 dan 2008 didapatkan angka kejadian perdarahan uterus abnormal rata-rata
sebanyak 12,48%. Penelitian dan manajemen untuk perdarahan uterus abnormal (PUA) atau
Abnormal Uterine Bleeding (AUB), untuk wanita yang tidak hamil dalam usia reproduksi banyak
terhambat baik oleh tata-nama yang membingungkan dan tidak konsistennya istilah yang diterapkan
dan kurangnya metode standar untuk penyelidikan dan kategorisasi penyebab dari PUA itu sendiri.3
Federation Internationale de Gynecologie et d'sistem Obstetrique onkologi (FIGO) membuat
klasifikasi praktis yang dapat diterima secara universal dan membantu dokter dalam melakukan
penelitian, pengobatan, dan prediksi terjadinya kanker ginekologi. Ringkasnya klasifikasi FIGO ini
menggunakan istilah PALM-COEIN untuk mengelompokan penyebab Perdarahan Uterus Abnormal
yang dikembangkan oleh kelompok kerja gangguan Haid dari FIGO. Sistem ini dikembangkan
dengan kontribusi dari grup internasional dari peneliti klinis dan nonklinis dari 17 negara di enam
benua. Sebuah sistem untuk tata-nama dan gejala dikembangkan oleh FIGO tersebut
merekomendasikan nomenclatures standar serta ditinggalkannya istilah metrorrhagia, menorrhagia,
dan perdarahan uterus disfungsional.3
Sistem klasifikasi oleh FIGO (Federal Internationale de Gynecologie et d’sistem Obstetrique
onkologi) dibagi secara bertingkat ke dalam sembilan kategori dasar yang diatur menurut singkatan
PALM-COEIN : polip, adenomiosis, leiomyoma, keganasan dan hiperplasia, koagulopati, gangguan
ovulasi, endometrium, iatrogenik, dan tidak diklasifikasikan.3

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Perdarahan uterus abnormal (PUA) meliputi semua kelainan haid baik dalam hal jumlah
maupun lamanya. Manifestasi klinis dapat berupa perdarahan banyak, sedikit, siklus haid yang
memanjang atau tidak beraturan.1,3
Terminologi menoragia saat ini diganti dengan perdarahan haid banyak atau heavy menstrual
bleeding (HMB) sedangkan perdarahan uterus abnormal yang disebabkan faktor koagulopati,
gangguan hemostatis lokal endometrium dan gangguan ovulasi merupakan kelainan yang sebelumnya
termasuk dalam perdarahan uterus disfungsional (PUD).1

Tabel 1. Terminologi pola perdarahan uterus2

2
Bagan 1.Pembagian PUA1

Berdasarkan onset terjadinya, PUA dapat dibagi menjadi :


1. Perdarahan uterus abnormal akut
Perdarahan haid yang banyak sehingga perlu dilakukan penanganan yang cepat untuk
mencegah kehilangan darah. Perdarahan uterus abnormal akut dapat terjadi pada kondisi PUA
kronik atau tanpa riwayat sebelumnya.1,3

2. Perdarahan uterus abnormal kronik


Merupakan terminologi untuk perdarahan uterus abnormal yang telah terjadi lebih dari 3
bulan. Kondisi ini biasanya tidak memerlukan penanganan yang cepat dibandingkan PUA akut.1

3. Perdarahan tengah (intermenstrual bleeding)


Perdarahan haid yang terjadi di antara 2 siklus haid yang teratur. Perdarahan dapat terjadi
kapan saja atau dapat juga terjadi di waktu yang sama setiap siklus. Istilah ini ditujukan untuk
menggantikan terminologi metroragia.1,6

2.2 Klasifikasi PUA

Berdasarkan International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO), terdapat


sembilan kategori utama yang disusun sesuai dengan akronim “PALM-COEIN” yakni;
polip, adenomiosis, leiomioma, malignancy and hyperplasia, coagulopathy, ovulatory dysfunction,
endometrial, iatrogenik dan not yet classified.1,8
Kelompok “PALM” merupakan kelainan struktur yang dapat dinilai dengan berbagai teknik
pencitraan dan atau pemeriksaan histopatologi. Kelompok COEIN merupakan kelainan non
struktur yang tidak dapat dinilai dengan teknik pencitraan atau histopatologi.1,2

3
Gambar 1. Klasifikasi PUA berdasarkan FIGO.3

1) Polip (PUA-P)
 Definisi: Pertumbuhan lesi lunak pada lapisan endometrium uterus, baik bertangkai
maupun tidak, berupa pertumbuhan berlebih dari stroma dan kelenjar endometrium
dan dilapisi oleh epitel endometrium. Biasanya terjadi pada fundus dan dapat melekat
dengan adanya tangkai yang ramping (bertangkai) atau dasar yang lebar (tidak
bertangkai). Kadang-kadang polip prolaps melalui serviks.1,4
 Gejala:
o Polip biasanya bersifat asimptomatik, tetapi dapat pula meyebabkan PUA,
paling umum berupa perdarahan banyak dan di luar siklus atau perdarahan
bercak ringan pasca menopause.1,4
o Lesi umumnya jinak, namun sebagian atipik atau ganas.1,3
 Diagnostik:
o Diagnosis polip ditegakkan berdasarkan pemeriksaan USG dan atau
histeroskopi, dengan atau tanpa hasil histopatologi. 1

Gambar.2 USG polip endometrium


4
Gambar 3. histeroskopi polip endometrium

o Histopatologi pertumbuhan eksesif lokal dari kelenjar dan stroma


endometrium yang memiliki vaskularisasi dan dilapisi oleh epitel
endometrium.1

Gambar 4. Histopatologi polip endometrium


 Terapi:
o Ekstirpasi, namun cenderung berulang. 4,8
o Untuk terapi definitif dapat dilakukan histerektomi, namun jarang dilakukan
untuk polip endometrium yang jinak.4,6

2) Adenomiosis (PUA-A)
 Definisi: Dijumpainya jaringan stroma dan kelenjar endometrium ektopik pada lapisan
miometrium.1,4
 Gejala:
o Nyeri haid, nyeri saat senggama, nyeri menjelang atau sesudah haid, nyeri saat
buang air besar, atau atau nyeri pelvik kronik.1
o Gejala nyeri tersebut di atas dapat disertai dengan perdarahan uterus abnormal
berupa perdarahan banyak yang terjadi dalam siklus.1,4
5
 Diagnostik:
o Pemeriksaan Fisik:
 Fundus uteri membesar secara difus.4,8
 Adanya daerah adenomiosis yang melunak, dapat diamati tepat
sebelum atau selama permulaan menstruasi. 4
o Kriteria adenomiosis ditentukan berdasarkan kedalam jaringan endometrium
pada hasil histopatologi. Hasil histopatologi menunjukkan dijumpainya
kelenjar dan stroma endometrium etopik pada jaringan miometrium.1,3
o Adenomiosis dimasukkan dalam sistem klasifikasi berdasarkan penelitian
MRI dan USG. Mengingat terbatasnya fasilitas MRI, pemeriksaan USG cukup
untuk mendiagnosis adenomiosis. Hasil USG menunjukkan jaringan
endometrium heteropik pada miometrium dan sebagian berhubungan dengan
adanya hipertrofi miometrium.1,4,8

Gambar 5. Penebalan dinding uterus dan jaringan kelenjar endometrium pada


adenomiosis.

6
 Diagnosis banding
o Leiomioma submukosa.
o Hipertrofi uteri idiopatik.
o Karsinoma endometrium.4,6
 Terapi:
o Simptomatik: diberikan jika masih ingin mempertahankan kemampuan untuk
memiliki anak.
o Reseksi.
o Terapi kuratif: histerektomi. 4,12

3) Leiomioma (PUA-L)
 Definisi: pertumbuhan jinak otot polos uterus pada lapisan miometrium.1
 Jenis berdasarkan lapisan uterus tempat tumbuhnya:
o Submukosa
o Intramural
o Subserosa.

Gambar 6. Subklasifikasi Leiomioma 3

7
Mioma submukosa dan subserosa ada yang bertangkai (pedunculated). Mioma
submukosa bertangkai seringkali sampai keluar melewati ostium uteri eksternum yang
disebut sebagai mioma lahir (myoma geburt).5,6

Gambar 7. Jenis-jenis mioma berdasarkan lapisan tempat tumbuhnya di uterus


 Gejala:
o Perdarahan uterus abnormal berupa pemanjangan periode, ditandai oleh
perdarahan menstruasi yang banyak dan/atau menggumpal, dalam dan di luar
siklus.2,4,5
o Pembesaran rahim (bisa simetris ataupun berbenjol-benjol).5
o Seringkali membesar saat kehamilan.5
o Penekanan terhadap organ sekitar uterus, atau benjolan pada dinding
abdomen.1,5,10
o Nyeri dan/atau tekanan di dalam atau sekitar daerah panggul.4
o Peningkatan frekuensi berkemih atau inkontinensia. 4
 Diagnosis Banding:
o Adenomiosis.
o Karsinoma uteri.5,7
 Pemeriksaan Penunjang:
o Darah lengkap dan urine lengkap.
o Tes kehamilan.
o Dilatasi dan kuretase pada penderita yang disertai perdarahan untuk
menyingkirkan kemungkinan patologi lain pada rahim (hyperplasia atau
adenokarsinoma endometrium).
o USG. 5,9

8
Gambar 8. Mioma subserosa: tampak gambaran massa hipoekhoik yang menonjol ke luar
dinding uterus.

Gambar 9. Mioma intramural: tampak gambaran massa hipoekhoik yang berada di dalam
dinding uterus.

Gambar 10. Mioma submukosa: tampak gambaran massa hipoekhoik yang menekan
endometrial line.

9
 Terapi:
1. Observasi: jika uterus diameternya kurang dari ukuran uterus pada masa
kehamilan 12 minggu tanpa disertai penyulit.
2. Ekstirpasi: biasanya untuk mioma submukosa bertangkai atau mioma lahir/geburt,
umumnya dilanjutkan dengan tindakan dilatasi dan kuretase.
3. Laparotomi miomektomi: bila fungsi reproduksi masih diperlukan dan secara
teknis memungkinan untuk dilakukan tidakan tersebut. Biasanya untuk mioma
intramural, subserosa, dan subserosa bertangkai, tindakan tersebut telah cukup
memadai.
4. Laparotomi histerektomi:
 Bila fungsi reproduksi tak diperlukan lagi,
 Pertumbuhan tumor sangat cepat.
 Sebagai tindakan hemostatis, yakni dimana terjadi perdarahan terus menerus
dan banyak serta tidak membaik dengan pengobatan.

4) Malignancy and hyperplasia (PUA-M)


 Definisi: pertumbuhan hiperplastik atau pertumbuhan ganas dari lapisan
endometrium.
 Gejala: perdarahan uterus abnormal.
 Diagnostik:
o Meskipun jarang ditemukan, namun hyperplasia atipik dan keganasan
merupakan penyebab penting PUA.
o Klasifikasi keganasan dari hiperplasia menggunakan system klasifikasi FIGO
dan WHO.
o Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi.

5) Coagulopathy (PUA-C)
 Definisi: gangguan hemostatis sistemik yang berdampak terhadap perdarahan uterus.
 Gejala: perdarahan uterus abnormal
 Diagnostik:
o Terminologi koagulopati digunakan untuk kelainan hemostatik sistemik yang
terkait dengan PUA.
o 13% perempuan dengan perdarahan haid banyak memiliki kelainan hemostatis
sistemik, dan yang paling sering ditemukan adalah penyakit von Willebrand.

10
Tabel 2. Perdarahan uterus abnormal – koagulasi.3

6) Ovulatory Disfunction (PUA-O)

 Definisi: kegagalan ovulasi yang menyebabkan terjadinya perdarahan uterus.


 Gejala: perdarahan uterus abnormal.
 Diagnostik:
o Gangguan ovulasi merupakan salah satu penyebab PUA dengan manifestasi
perdarahan yang sulit diramalkan dan jumlah darah yang bervariasi.
o Dahulu termasuk dalam criteria perdarahan uterus disfungsional (PUD).
o Gejala bervariasi mulai dari amenorea, perdarahan ringan dan jarang, hingga
perdarahan haid banyak.
o Gangguan ovulasi dapat disebabkan oleh sindrom ovarium polikistik (SOPK),
hiperprolaktinemia, hipotiroid, obesitas, penurunan berat badan, anoreksia,
atau olahraga berat yang berlebihan.

7) Endometrial (PUA-E)

 Definisi: Gangguan hemostatis local endometrium yang memiliki kaitan erat dengan
terjadinya perdarahan uterus.
 Gejala: perdarahan uterus abnormal.
 Diagnostik:
11
o Perdarahan uterus abnormal yang terjadi pada perempuan dengan siklus haid
teratur.
o Penyebab perdarahan pada kelompok ini adalah gangguan hemostatis local
endometrium.
o Adanya penurunan produksi faktor yang terkait vasokonstriksi seperti
endothelin-1 dan prostaglandin F2α serta peningkatan aktivitas fibrinolisis.
o Gejala lain kelompok ini adalah perdarahan tengaha atau perdarahan yang
berlanjut akibat gangguan hemostatis local endometrium.
o Diagnosis PUA-E ditegakkan setelah menyingkirkan gangguan lain pada
siklus haid yang berovulasi.

8) Iatrogenik (PUA-I)
 Perdarahan uterus abnormal yang berhubungan dengan intervensi medis seperti
penggunaan estrogen, progesterin, atau AKDR.
 Perdarahan haid di luar jadwal yang terjadi akibat penggunaan estrogen atau progestin
dimasukkan dalam istilah perdarahan sela atau breakthrough bleeding (BTB).
 Perdarahan sela terjadi karena rendahnya konsentrasi estrogen dalam sirkulasi yang
dapat disebabkan oleh sebagai berikut:
o Pasien lupa atau terlambat minum pil kontrasepsi’
o Pemakaian obat tertentu seperti rifampisin
o Perdarahan haid banyak yang terjadi pada perempuan pengguna anti koagulan
(warfarin, heparin, dan low molecular weight heparin) dimasukkan ke dalam
klasifikasi PUA-C.

9) Not yet classified (PUA-N)


 Kategori ini dibuat untuk penyebab lain yang jarang atau sulit dimasukkan dalam
klasifikasi.
 Kelainan yang termasuk dalam kelompok ini adalah endometritis kronik atau
malformasi arteri-vena.
 Kelainan tersebut masih belum jelas kaitannya dengan PUA.

12
2.3. Diagnosis Perdarahan Uterus Abnormal

1. Anamnesis
 Anamnesis dilakukan untuk menilai kemungkinan adanya faktor risiko kelainan tiroid,
penambahan dan penurunan BB yang drastis, serta riwayat kelainan hemostasis pada
pasien dan keluarganya. Perlu ditanyakan siklus haid sebelumnya serta waktu mulai
terjadinya perdarahan uterus abnormal.1,4,6
 Prevalensi penyakit von Willebrand pada perempuan perdarahan haid rata-rata meningkat
10% dibandingkan populasi normal. Karena itu perlu dilakukan pertanyaan untuk
mengidentifikasi penyakit von Willebrand. 1,3,7
 Pada perempuan pengguna pil kontrasepsi perlu ditanyakan tingkat kepatuhannya dan
obat-obat lain yang diperkirakan mengganggu koagulasi. 1,8
 Anamnesis terstruktur dapat digunakan sebagai penapis gangguan hemostasis dengan
sensitivitas 90%. Perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut pada perempuan dengan hasil
penapisan positif. 1,2

Tabel 3. Penapisan klinis pasien dengan perdarahan haid banyak karena kelainan hemostatis

13
Tabel 4. Diagnosis banding PUA
2. Pemeriksaan Fisik Umum
 Pemeriksaan fisik pertama kali dilakukan untuk menilai stabilitas keadaan hemodinamik.
 Pastikan bahwa perdarahan berasal dari kanalis servikalis dan tidak berhubungan dengan
kehamilan.
 Pemeriksaan indeks massa tubuh, tanda tanda hiperandrogen, pembesaran kelenjar tiroid
atau manifestasi hipotiroid/hipertiroid, galaktorea (hiperprolaktinemia), gangguan lapang
pandang (adenoma hipofisis), purpura dan ekimosis wajib diperiksa.1,10

3. Pemeriksaan Ginekologi
 Pemeriksaan ginekologi yang teliti perlu dilakukan termasuk pemeriksaan pap smear.
 Harus disingkirkan pula kemungkinan adanya mioma uteri, polip, hiperplasia
endometrium atau keganasan. 1,11,12
Penilaian Ovulasi
 Siklus haid yang berovulasi berkisar 22-35 hari.
 Jenis perdarahan PUA-O bersifat ireguler dan sering diselingi amenorea.
 Konfirmasi ovulasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan progesteron serum fase luteal
atau USG transvaginal bila diperlukan. 1,12
Penilaian Endometrium
 Pengambilan sampel endometrium tidak harus dilakukan pada semua pasien PUA.
Pengambilan sampel endometrium hanya dilakukan pada:
o Perempuan umur > 45 tahun
o Terdapat faktor risiko genetik
 USG transvaginal menggambarkan penebalan endometrium kompleks yang merupakan
faktor risiko hiperplasia atipik atau kanker endometrium

14
 Terdapat faktor risiko diabetes mellitus, hipertensi, obesitas, nulipara
 Perempuan dengan riwayat keluarga nonpolyposis colorectal cancer memiliki risiko
kanker endometrium sebesar 60% dengan rerata umur saat diagnosis antara 48-50 tahun
 Pengambilan sampel endometrium perlu dilakukan pada perdarahan uterus abnormal yang
menetap (tidak respons terhadap pengobatan). 1,5

Penilaian Kavum Uteri


 Bertujuan untuk menilai kemungkinan adanya polip endometrium atau mioma uteri
submukosum.
 USG transvaginal merupakan alat penapis yang tepat dan harus dilakukan pada
pemeriksaan awal PUA.
 Bila dicurigai terdapat polip endometrium atau mioma uteri submukosum disarankan
untuk melakukan Saline Infusion Sonography (SIS) atau histeroskopi. Keuntungan dalam
penggunaan histeroskopi adalah diagnosis dan terapi dapat dilakukan bersamaan. 1

Penilaian Miometrium
 Bertujuan untuk menilai kemungkinan adanya mioma uteri atau adenomiosis.
 Miometrium dinilai menggunakan USG (transvaginal, transrektal dan abdominal), SIS,
histeroskopi atau MRI.
 Pemeriksaan adenomiosis menggunakan MRI lebih unggul dibandingkan USG
transvaginal. 1,9,11

4. Langkah diagnostik perdarahan uterus disfungsional


A. Perdarahan uterus abnormal didefinisikan sebagai setiap perubahan yang terjadi dalam
frekuensi,jumlah dan lama perdarahan menstruasi. Perdarahan uterus abnormal meliputi
PUD dan perdarahan lain yang disebabkan oleh kelainan organik.
B. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik menyeluruh untuk menyingkirkan diagnosis
diferensial perdarahan uterus abnormal.
C. Pada wanita usia reproduksi, kehamilan merupakan kelainan pertama yang harus
disingkirkan. Perdarahan yang terjadi dalam kehamilan dapat disebabkan oleh Panduan
Tata Laksana Perdarahan Uterus Disfungsional abortus, kehamilan ektopik atau penyakit
trofoblas gestasional.
D. Penyebab iatrogenik yang dapat menyebabkan perdarahan uterus abnormal antara lain
penggunaan obat-obatan golongan antikoagulan, sitostatika, hormonal,anti psikotik, dan
suplemen.
15
E. Setelah kehamilan dan penyebab iatrogenik disingkirkan langkah selanjutnya adalah
melakukan evaluasi terhadap kelainan sistemik meliputi fungsi tiroid,fungsi hemostasis,
dan fungsi hepar. Pemeriksaan hormon tiroid dan fungsi hemostasis perlu dilakukan bila
pada anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala dan tanda yang mendukung
(rekomendasi C). Bila terdapat galaktorea maka perlu dilakukan pemeriksaan terhadap
hormon prolaktin untuk menyingkirkan kejadian hiperprolaktinemia.
F. Bila tidak terdapat kelainan sistemik, maka langkah selanjutnya adalah melakukan
pemeriksaan untuk menyingkirkan kelainan pada saluran reproduksi. Perlu ditanyakan
adanya riwayat hasil pemeriksaan pap smear yang abnormal atau riwayat operasi
ginekologi sebelumnya. Kelainan pada saluran reproduksi yang harus dipikirkan adalah
servisitis, endometritis, polip, mioma uteri, adenomiosis, keganasan serviks dan uterus
serta hiperplasia endometrium.
G. Bila tidak terdapat kelainan sistemik dan saluran reproduksi maka gangguan haid yang
terjadi digolongkan dalam perdarahan uterus disfungsional (PUD).
H. Bila terdapat kelainan pada saluran reproduksi dilakukan pemeriksaan dan penanganan
lebih lanjut sesuai dengan fasilitas.
I. Pada kelainan displasia serviks perlu dilakukan pemeriksaan kolposkopi untuk menentukan
tata laksana lebih lanjut.
J. Bila dijumpai polip endoserviks dapat dilakukan polipektomi.
K. Bila dijumpai massa di uterus dan adneksa perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
dengan USG transvaginal atau saline infusion sonography (SIS). Ultrasonografi
transvaginal merupakan lini pertama untuk mendeteksi kelainan pada kavum uteri
(rekomendasi A). Sedangkan tindakan SIS diperlukan bila penilaian dengan USG
transvaginal belum jelas (rekomendasi A).
L. Bila dijumpai massa di saluran reproduksi maka dilanjutkan dengan tata laksana operatif.
M. Diagnosis infeksi ditegakkan bila pada pemeriksaan bimanual uterus teraba kaku dan
nyeri. Pada kondisi ini dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan Chlamydia dan
Neisseria. Pengobatan yang direkomendasikan adalah doksisiklin 2 x 100 mg selama 10
hari

16
Gambar 11. Pemeriksaan fisik untuk untuk menyingkirkan kelainan yang dapat menyebabkan PUA1

Bagan 2. Alur diagnosis dan tatalaksana perdarahan uterus abnormal1

17
5.Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Primer sekunder tertier

Penunjang Laboratorium Hb Darah lengkap Prolaktin

Tes kehamilan Hemostasis (BTCT, Tiroid (TSH, FT4)

urin lainnya sesuai DHEAS, Testosteron

fasilitas) Hemostasis (PT,

aPTT, fibrinogen,

D-dimer)

USG USG transabdominal USG transabdominal

USG transvaginal USG transvaginal

SIS SIS

Doppler

Penilaian Endometrium Mikrokuret Mikrokuret / D&K

D&K Histeroskopi

Endometrial sampling

(hysteroscopy guided)

Penilaian serviks (bila ada IVA Pap smear Pap smear

patologi Kolposkopi

Tabel 5. Pemeriksaan Penunjang pada PUA

Keterangan:
aPTT = activated partial tromboplastin time, BT-CT = bleeding time-clotting time,
DHEAS = dehidroepiandrosterone sulfat, D&K = dilatasi dan kuretase, FT4 = free T4,
Hb = hemoglobin, PT = protrombin time, TSH = thyroid stimulating hormone, USG =
ultrasonografi, SIS = saline infusion sonography, IVA = inspeksi visual asam asetat

2.4. Penatalaksanaan Perdarahan Uterus Abnormal

1. Perdarahan uterus abnormal akut


1. Jika perdarahan aktif dan banyak disertai dengan gangguan hemodinamik dan atau Hb < 10
g/dl perlu dilakukan rawat inap.
2. Jika hemodinamik stabil, cukup rawat jalan.
3. Pasien rawat inap, berikan infus cairan kristaloid, oksigen 2 liter/menit dan transfusi darah
jika Hb < 7 g/dl, untuk perbaikan hemodinamik.

18
4. Stop perdarahan dengan estrogen ekuin konyugasi (EEK) 2.5 mg per oral setiap 4-6 jam,
ditambah prometasin 25 mg peroral atau injeksi IM setiap 4-6 jam (untuk mengatasi mual).
Asam traneksamat 3 x 1 gram atau anti inflamasi non-steroid 3 x 500 mg diberikan bersama
EEK. Untuk pasien dirawat, dapat dipasang balon kateter foley no. 10 ke dalam uterus dan
diisi cairan kurang lebih 15 ml, dipertahankan 12-24 jam.
5. Jika perdarahan tidak berhenti dalam 12-24 jam lakukan dilatasi dan kuretase (D&K).
6. Jika perdarahan berhenti dalam 24 jam, lanjutkan dengan kontrasepsi oral kombinasi (KOK)
4 kali 1 tablet perhari (4 hari), 3 kali 1 tablet perhari (3 hari), 2 kali 1 tablet perhari (2 hari)
dan 1 kali 1 tablet sehari (3 minggu), kemudian stop 1 minggu, dilanjutkan KOK siklik 3
minggu dengan jeda 1 minggu sebanyak 3 siklus atau Levonorgestrel Intrauterine System
(LNG-IUS).
7. Jika terdapat kontraindikasi KOK, berikan medroksi progesteron asetat (MPA) 10 mg
perhari (7 hari), siklik, selama 3 bulan.
8. Untuk riwayat perdarahan berulang sebelumnya, injeksi gonadotropin-releasing
hormone (GnRH) agonis dapat diberikan bersamaan dengan pemberian KOK untuk stop
perdarahan. GnRH diberikan 2-3 siklus dengan interval 4 minggu.
9. Ketika hemodinamik pasien stabil, perlu upaya diagnostik untuk mencari penyebab
perdarahan. Lakukan pemeriksaan USG transvaginal (TV)/transrektal (TR), periksa darah
perifer lengkap (DPL), hitung trombosit, prothrombin time (PT), activated partial
thromboplastin time (aPTT) dan thyroid stimulating hormone (TSH). Saline-infused
sonohysterogram (SIS) dapat dilakukan jika endometrium yang terlihat tebal, untuk melihat
adanya polip endometrium atau mioma submukosum. Jika perlu dapat dilakukan
pemeriksaan histeroskopi “office”.
10. Jika terapi medikamentosa tidak berhasil atau ada kelainan organik, maka dapat
dilakukan terapi pembedahan seperti ablasi endometrium , miomektomi, polipektomi,
histerektomi.1,6,8

19
Bagan 3. Panduan Investigasi Perdarahan Uterus Abnormal Akut dan Banyak
2. Perdarahan uterus abnormal kronik
 Jika dari anamnesis yang terstruktur ditemukan bahwa pasien mengalami satu atau lebih
kondisi perdarahan yang lama dan tidak dapat diramalkan dalam 3 bulan terakhir.
 Pemeriksaan fisik berikut dengan evaluasi rahim, pemeriksaan darah perifer lengkap wajib
dilakukan.
 Pastikan fungsi ovulasi dari pasien tersebut.
 Tanyakan pada pasien adakah penggunaan obat tertentu yang dapat memicu PUA dan lakukan
pula pemeriksaan penyakit koagulopati bawaan jika terdapat indikasi.
 Pastikan apakah pasien masih menginginkan keturunan.
 Anamnesis dilakukan untuk menilai ovulasi, kelainan sistemik, dan penggunaan obat-obatan
yang mempengaruhi kejadian PUA. Keinginan pasien untuk memiliki keturunan dapat
menentukan penanganan selanjutnya. Pemeriksaan tambahan meliputi pemeriksaan darah
perifer lengkap, pemeriksaan untuk menilai gangguan ovulasi (fungsi tiroid, prolaktin, dan
androgen serum) serta pemeriksaan hemostasis. 1,4

20
Bagan 4. Panduan Investigasi Perdarahan Uterus Abnormal Kronik 3

Tabel 6. Obat-obat untuk tatalaksana PUA1

21
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Perdarahan uterus abnormal (PUA) meliputi semua kelainan haid baik dalam hal jumlah
maupun lamanya. Manifestasi klinis dapat berupa perdarahan banyak, sedikit, siklus haid yang
memanjang atau tidak beraturan. Terminologi menoragia saat ini diganti dengan perdarahan haid
banyak atau heavy menstrual bleeding (HMB) sedangkan perdarahan uterus abnormal yang
disebabkan faktor koagulopati, gangguan hemostatis lokal endometrium dan gangguan ovulasi
merupakan kelainan yang sebelumnya termasuk dalam perdarahan uterus disfungsional (PUD).

Berdasarkan International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO), terdapat


sembilan kategori utama yang disusun sesuai dengan akronim “PALM-COEIN” yakni;
polip, adenomiosis, leiomioma, malignancy and hyperplasia, coagulopathy, ovulatory dysfunction,
endometrial, iatrogenik dan not yet classified.

Kelompok “PALM” merupakan kelainan struktur yang dapat dinilai dengan berbagai teknik
pencitraan dan atau pemeriksaan histopatologi. Kelompok COEIN merupakan kelainan non
struktur yang tidak dapat dinilai dengan teknik pencitraan atau histopatologi. Penatalaksanaan dan
diagnosis tergantung dari masing masing klasifikasi tersebut. Tetapi ada penatalaksanaan secara
umum untuk mengatasi perdarahan dibagi atas penatalaksanaan uterus abnormal akut dan kronik.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Badziad, A. Hestiantoro, A. Wiweko, B. Sumapradja, K. Panduan Tatalaksana Perdarahan Uterus


Abnormal. Himpunan Endokrinologi Reproduksi dan Fertilitas Indonesia dan Perkumpulan
Obstetri dan Ginekologi Indonesia, Aceh, 2011.
2. Callahan, TL and Caughey, AB. Obstetric and Gynecology 5th ed. Lippincott Williams and
Wilkins, Philadelphia, 2009.
3. Munro, Malcolm ; Hilary O.D. Critchley, Michael S Broder, Ian S Fraser. FIGO Classification
System (PALM-COEIN) for Causes of Abnormal Uterine Bleeding in Nongravid Women of
Reproductive Age. American Society for Reproductive Medicine. June, 2011
4. Benson, RC dan Pernoll, ML. Buku Saku Obstetri dan Ginekologi Edisi 9. McGraw-Hill
Education Asia dan Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 1994.
5. Achadiat, CM. Prosedur Tepat Obstetri dan Ginekologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
2003.
6. Mansour D, Korver T, Petrova MM, Frase I. The effects of Implanon on mentrual bleeding
patterns. The european Journal of Contraception and Reproductive Health Care June 2008;13
(S1):13-28
7. Faculty of Sexual and Reproductive Healthcare in collaboration with the Royal College of
Obstetricians and Gynaecologists (RCOG). Management of Unscheduled Bleeding in Women
Using Hormonal Contraception. 2009:1-16. www.fsrh.org/pdfs/unscheduledbleedingmay09.pdf
8. Wiegratz I, Stahlberg S, Manthey T, et al. Effect of extended-cycleregimen with an oral
contraceptive containing 30 mcg ethinylestradioland 2 mg dienogest on bleeding patterns, safety,
acceptance andcontraceptive efficacy. Contraception 2011;84:133–43.
9. Miller L, Hughes JP. Continuous combination oral contraceptive pillsto eliminate withdrawal
bleeding: a randomized trial. Obstet Gynecol2003;101:653–61.
10. Himpunan Endokrinologi-Reproduksi dan Fertilitas Indonesia (HIFERI). Konsensus HIFERI,
Bogor 24-25 agustus 2013
11. Marret H, Fauconnier A, Chabbert-Buffet N, Cravello L, Golfier F, Gondry J, Agostini A, Bazot
M, Brailly-Tabard S, Brun JL, De Raucourt, Gervaise A. Clinical practice guidelines on
menorrhagia: management of abnormal uterine bleeding before menopause. European Journal of
Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology 152 (2010) 133–137
12. Munro MG,Critchley H, Fraser IA. The FIGO systems for nomenclature and classificationof
causes of abnormal uterine bleeding in thereproductive years: who needs them? Am J
ObstetGynecol 2012
23

Anda mungkin juga menyukai