Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN SUBDURAL HEMORAGI (SDH)

FANNY ANWAR FAUZIANI (1506689963)

1. Anatomi dan Fisiologi


Otak merupakan organ yang dilindungi oleh tengkorak untuk mencegah
terjadinya trauma bila adanya benturan benda tumpul ataupun terkena pukulan.
Secara anatomis antara otak dan tengkorak terdapat lapisan otak yang dikenal
dengan istilah meningens (selaput otak) yang melapisi otak, dimana terdiri dari
serangkaian tiga lapisan jaringan fibrosa. Tiga lapisan tersebut yaitu pia mater,
arachnoid mater, dan dura mater (Saboori & Sadegh, 2015; Sherwood, 2012).

Pia mater merupakan lapisan terdalam sekaligus lapisan yang paling tipis, yang
terdiri dari banyak pembuluh darah yang berfungsi menyuplai darah ke otak.
Arachnoid mater merupakan lapisan yang halus, dan paling kaya akan pembuluh
darah di dalamnya. Diantara lapisan pia mater dan arachnoid mater terdapat
sebuah ruang yaitu subarachnoid space yang diisi dengan cairan serebrospinal
(CSF) yang berfungsi untuk menstabilkan bentuk dan posisi otak. Dura mater
sebagai lapisan terluar bersifat tidak elastis, akan tetapi bersifat kuat yang terbagi
lagi menjadi dua bagian, yaitu lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar
(periostal).

2. Definisi, Faktor Risiko, Etiologi


Subdural hematoma merupakan pengumpulan darah extracerebral, yang terdiri
dari gumpalan atau dalam bentuk cairan darah yang terletak diantara dura mater
dan arachnoid (Iliescu, 2015). Pembentukan hematoma ini terjadi karena etiologi
traumatis, dan adanya penekanan pada otak yang menghasilkan adanya tanda-
tanda lokalisasi neurologis serta peningkatan tekanan intrakranial. Subdural
hematoma dapat diklasifikasikan berdasarkan lama munculnya manifestasi, yaitu
sebagai berikut:
 Hematoma subdural akut: manifestasi klinis muncul selama 3 hari
pertama
 Hematoma subdural subakut: manifestasi klinis muncul setelah 4 – 21
hari
 Hematoma subdrural kronisL manifestasi klinis muncul setelah 21 hari

Etiologi subdural hematoma umumnya disebabkan oleh trauma, adapun mekanisme


trauma yaitu sebagai berikut:

a. Akselerasi.
Kepala yang diam dihantam olehbanda yang bergerak seperti trauma akibat
pukulan atau lemparan benda tumpul.
b. Deselerasi.
Kepala yang bergerak menghantam benda yang diam, misal kepala menghantam
setir mobil.

c. Akselerasi dan deselerasi (coup-counter coup).


Terjadi ketika benda yang bergerak menghantam benda yang diam dan kemudian
kepala menghantam banda yang diam (otak bergeser dalam tengkorak, injuri otak
terjadi peda sisi yang terbentur dan pada sisi yang berlawanan.

d. Deformasi.
Menyebabkan deformitas dan mengganggu integritas akibat adanya bagian kepala
yang patah. Misanya fraktur tulang tengkorak yang dapat merobek jaringan otak
dan rusaknya struktur otak lain seperti pembuluh darah dan saraf terjadi hematom
dan mengakibatkan kerusakan otak yang luas.

Keadaan ini timbul setelah cedera/trauma kepala hebat, seperti perdarahan


kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural.
Perdarahan sub dural dapat terjadi pada:
• Trauma kapitis
• Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau
putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk.
• Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah terjadi
bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada orangtua dan
juga pada anak - anak.
• Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan
subdura.
• Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan
subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor
intrakranial.
Pascaoperasi (kraniotomi, CSF shunting)
• Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.

Faktor risiko untuk hematoma subdural kronis meliputi berikut ini:


alkoholisme kronis
epilepsi
koagulopati
kista arachnoid
Terapi antikoagulan (termasuk aspirin)
Penyakit kardiovaskular (misalnya, hipertensi, arteriosclerosis)
trombositopenia
diabetes mellitus

Penyebab akibat Trauma kapitis yang terjadi karena geseran atau putaran otak
terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk, pecahnya aneurisma
atau malformasi pembuluh darah di dalam ruang subdural (yang terletak antara
duramater dan araknoid), dan gangguan pembekuan darah
Penyeba yang predominan pada umunya ialah kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh
dan perkelahian merupakan penyeba terbanyak, sebagian kecildisebabkan
kecelakaan olahraga dan kecelakaan industry. Pada penderita cedera kepala berat
tanpa lesi massa (mass lesion) 89% disebabkan kecelakaan kendaraan bermotor dan
24% dari kasus perdarahan subdural akut disebabkan kecelakaan bermotor. Penderita
epilepsy memiliki factor resiko yang meningkat untuk mendapat perdarahan subdural
akut dan lesi intracranial lainnya. 38% dari perdarahan intracranial mendapat
kecelakaan selama serangan epilepsy dan 85% dari perdarahan intracranial ini adalah
perdarahan subdural atau perdarahan epidural. Penderita perdarahan subdural akut
sebanyak 22% dari 366 penderita cedera kepala berat.

3. Manifestasi Klinis

1.Hematoma Subdural Akut


Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam
setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik
progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam
foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan
ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas
denyut nadi dan tekanan darah.
2. Hematoma Subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi
kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut,
hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural.
Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang
menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang
perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda
status neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan
dalam beberapa jam.Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran
hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan
respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan
peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan
herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi
batang otak.

3.Hematoma Subdural Kronik


Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan
beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah satu vena
yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan
subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh
membrane fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang mampu menarik
cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma.
Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut
dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran
dan tekanan hematoma.

Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada
usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini,
cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan.
Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena
tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak.
Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis
biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.

Kerusakan Pada Bagian Otak Tertentu 7

Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan mempengaruhi
kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah tertentu pada korteks serebri
biasanya bertanggungjawab atas perilaku tertentu, lokasi yang pasti dan beratnya cedera
menentukan jenis kelainan yang terjadi
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik (misalnya
menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu). Lobus frontalis juga mengatur
ekspresi wajah dan isyarat tangan. Daerah tertentu pada lobus frontalis bertanggungjawab
terhadap aktivitas motor tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan.
Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan
lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengelai satu sisi
otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang
menyebabkan kejang.
Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa menyebabkan
apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian
depan atau samping lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan,
kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam; penderita mengabaikan
akibat yang terjadi akibatperilakunya. Lobus parietalis pada korteks serebri
menggabungkan kesan dari bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum.
Sejumlah kecil kemampuan matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus
parietalis juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan
posisi dari bagian tubuhnya.

Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh
yang berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya kemampuan
untuk melakukan serangkaian pekerjaan (keadaan ini disebut apraksia) dan untuk
menentukan arah kiri-kanan.

Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali bagian
tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk
yang sebelumnya dikenal dengan baik (misalnya bentuk kubus atau jam dinding).
Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun
melakukan pekerjaan sehari-hari lainnya. Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru
saja terjadi menjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis
juga memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali
serta menghasilkan jalur emosional.
Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan
akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan
gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam dan menghambat
penderita dalam mengekspresikan bahasanya. Penderita dengan lobus temporalis sebelah
kanan yang non-dominan, akan mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka
bercanda, tingkat kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah
seksual.

Mekanisme biasa yang menghasilkan hematoma subdural akut adalah dampak


berkecepatan tinggi ke tengkorak. Hal ini menyebabkan jaringan otak untuk mempercepat
atau memperlambat relatif terhadap struktur dural tetap, merobekpembuluhdarah.
Seringkali, pembuluh darah robek adalah pembuluh darah yang menghubungkan
permukaan kortikal otak ke sinus dural (disebut vena bridging). Pada orang lanjut usia,
pembuluh darah bridging mungkin sudah meregang karena atrofi otak (penyusutan yang
terjadi dengan usia). Atau, sebuah kapal kortikal, baik vena atau arteri kecil, bisa rusak
oleh cedera langsung atau laserasi. Sebuah hematoma subdural akut karena arteri kortikal
pecah dapat berhubungan dengan cedera kepala hanya kecil, mungkin tanpa luka memar
otak terkait. Telah menegaskan bahwa cedera otak utama yang terkait dengan hematoma
subdural memainkan peran utama dalam kematian. Namun, hematoma subdural yang
paling diperkirakan akibat dari vena bridging robek, sebagaimana dinilai oleh operasi atau
otopsi. Selain itu, tidak semua hematoma subdural berhubungan dengan cedera parenkim
difus. Seperti disebutkan sebelumnya, banyak pasien yang menderita lesi ini mampu
berbicara sebelum kondisi mereka memburuk-skenario yang tidak mungkin pada pasien
yang mengalami kerusakan menyebar.

Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau menghancurkan saraf,
pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di sekeliling otak. Bisa terjadi kerusakan pada
jalur saraf, perdarahan atau pembengkakan hebat. Perdarahan, pembengkakan dan
penimbunan cairan (edema) memiliki efek yang sama yang ditimbulkan oleh
pertumbuhan massa di dalam tengkorak. Karena tengkorak tidak dapat bertambah luas,
maka peningkatan tekanan bisa merusak atau menghancurkan jaringan otak.
Karena posisinya di dalam tengkorak, maka tekanan cenderung mendorong otak ke
bawah, otak sebelah atas bisa terdorong ke dalam lubang yang menghubungkan otak
dengan batang otak, keadaan ini disebut dengan herniasi. Sejenis herniasi serupa bisa
mendorong otak kecil dan batang otak melalui lubang di dasar tengkorak (foramen
magnum) kedalam medulla spinalis. Herniasi ini bisa berakibat fatal karena batang otak
mengendalikan fungsi fital (denyut jantung dan pernafasan).

Cedera kepala yang tampaknya ringan kadang bisa menyebabkan kerusakan otak yang
hebat. Usia lanjut dan orang yang mengkonsumsi antikoagulan, sangat peka terhadap
terjadinya perdarahan di sekeliling otak. Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran
menurun secara progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar di
sekitar mata dan di belakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran
hidung atau telinga. Pasien seperti ini harus di observasi dengan teliti.

Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari cedera
kepala. Banyak gejala yang muncul bersaman pada saat terjadi cedera kepala.
Gejala yang sering tampak :
 Penurunan kesadaran, bisa sampai koma
 Bingung
 Penglihatan kabur
 Susah bicara
 Nyeri kepala yang hebat
 Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
 Nampak luka yang adalam atau goresan pada kulit kepala.
 Mual
 Pusing
 Berkeringat
 Pucat
 Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.

Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese atau serangan
epilepsi fokal. Pada perjalannya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi
cahaya pada permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah tanda sudah terjadi herniasi
tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi. Pada tahap akhir,
kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran
sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan
tanda kematian. Gejala-gejala respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan
adanya disfungsi rostrocaudal batang otak.

Pemeriksaan fisik pasien dengan trauma kepala harus menekankan penilaian status
neurologis dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). Pemeriksaan neurologis
awal memberikan dasar penting yang harus digunakan untuk mengikuti kursus klinis
pasien. Ketika direkam dalam bentuk skor GCS, juga memberikan informasi prognostik
penting.
Pasien dengan cedera kepala serius sering diintubasi cepat dan diberikan perawatan yang
berorientasi trauma. Namun, karena signifikansi prognostik, pemeriksaan neurologis
singkat dihitung dengan menggunakan GCS merupakan komponen penting dari penilaian
sekunder dan membutuhkan waktu kurang dari 2 menit untuk menyelesaikan. GCS ini
berfokus pada kemampuan pasien untuk menghasilkan pidato dimengerti, membuka
mata, dan ikuti perintah. Selama pemeriksaan awal, pasien harus dinilai untuk
kemampuan untuk membuka mata spontan atau sebagai respons terhadap suara atau rasa
sakit.
Gambaran klinis pasien dengan hematoma subdural akut tergantung pada ukuran
hematoma dan tingkat cedera otak parenkim terkait. Gejala yang berhubungan dengan
hematoma subdural akut meliputi:
 Sakit kepala
 Mual
 Kebingungan
 Perubahan kepribadian
 Penurunan tingkat kesadaran
 Kesulitan berbicara
 Perubahan lain dalam status mental
 Gangguan penglihatan atau penglihatan ganda
 Kelemahan
4. Patofisilogi
Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena
jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil
sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan
pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena
yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum
gejala klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi
perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan
terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut.
Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang
peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh
sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural
kronik
Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan
perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh
efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase
ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains
tekanan intra cranial yang cukup tinggi. Meskipun demikian pembesaran
hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui mekanisme
kompensasitersebut.
Komplains intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya
peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral
berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi
transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat
terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh
meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma subdural kronik,
didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih terganggu
dibandingkan dengan daerah otak lainnya. Terdapat 2 teori yang menjelaskan
terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari Gardner yang mengatakan
bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga akan meningkatkan
kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma dan
akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural
hematoma. Karena tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan
pembesaran dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori
Gardner ini, yaitu ternyata dari penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di
dalam subdural kronik ternyata hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel
darah merah. Teori yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang
yangdapat mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor
angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan subdural
kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan
vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level dari
koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari
fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya SDH.

5. Komplikasi
1. Epilepsi
2. Infeksi
3. Edema
4. Saluran gastrointestinal:
a. Sering ditemukan gastritis erosive/lesi GI 10-14%
b. Kelainan fokal karena kelainan akut mukosa GI atau karena kelainan
patologis atau karena cedera cerebral.
c. Umumnya terjadi karena hiperaciditas , hiperfungsi kelenjar adrenal
yang ditandai dengan hiperkolesterolemia
5. Kelainan hematologis
6. Anemia, trombositopenia, hiperagregasi trombosit, hiperkoagulitas atau
disseminated intrakoagulopati (DIC) sifatnya sementara tetapi perlu
penanganan segera
7. Gelisah yang dapat disebabakan oleh kandung kemih yang penuh, usus
halus yang pecah, fraktur, TIK meningkat, emboli paru
8. Sesak nafas Akut akibat aspirasi, odema pulmonal, tromboemboli atau
emboli lemak ke arteri pulmonal
9. Trombo emboli pulmonal berasal dari trombosis vena dalam di tungkai dll
10. Emboli lemak karena patah tulang
11. Gejala lainnya seperti dispnea, hipotensi dan syok
12. Aspirasi
13. Dapat terjadi daerah-daerah infark, alveoli paru tertutup, oedema dan
perdarahan di dalam paru

6. Pengkajian
a. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan primer (primary survey) yang
mencakup jalan nafas (airway), pernafasan (breathing) dan tekanan darah
atau nadi (circulation) yang dilanjutkan dengan resusitasi. Jalan nafas
harus dibersihkan apabila terjadi sumbatan atau obstruksi, bila perlu
dipasang orofaring tube atau endotrakeal tube lalu diikuti dengan
pemberian oksigen. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan perfusi dan
oksigenasi jaringan tubuh. Pemakaian pulse oksimetri sangat bermanfaat
untuk memonitor saturasi O2. Secara bersamaan juga diperiksa nadi dan
tekanan memantau apakah terjadi hipotensi, syok atau terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial. Jika terjadi hipotensi atau syok harus
segera dilakukan pemberian cairan untuk mengganti cairan tubuh yang
hilang. Terjadinya peningkatan tekanan intrakranial ditandai dengan
refleks Cushing yaitu peningkatan tekanan darah, bradikardia dan
bradipnea.

Pemeriksaan neurologik yang meliputkan kesadaran penderita dengan


menggunakan Skala Koma Glasgow, pemeriksaan diameter kedua pupil ,
dan tanda-tanda defisit neurologis fokal. Pemeriksaan kesadaran dengan
Skala Koma Glasgow menilai kemampuan membuka mata, respon verbal
dan respon motorik pasien terdapat stimulasi verbal atau nyeri.
Pemeriksaan diamter kedua pupil dan adanya defisit neurologi fokal
menilai apakah telah terjadi herniasi di dalam otak dan terganggunya
sistem kortikospinal di sepanjang kortex menuju medula spinalis.
Pada pemeriksaan sekunder, dilakukan pemeriksaan neurologi serial
meliputi GCS, lateralisasi dan refleks pupil. Hal ini dilakukan sebagai
deteksi dini adanya gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus
temporal (unkus) adalah dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil
terhadap cahaya. Adanya trauma langsung pada mata membuat
pemeriksaan menjadi lebih sulit.

b. Pemeriksaan Diagnostik
a. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium minimal meliputi, pemeriksaan darah rutin,
elektrolit, profil hemostasis/koagulasi.
b. Foto tengkorak
Pemeriksaan foto tengkorak tidak dapat dipakai untuk memperkirakan
adanya SDH. Fraktur tengkorak sering dipakai untuk meramalkan
kemungkinan adanya perdarahan intrakranial tetapi tidak ada hubungan
yang konsisten antara fraktur tengkorak dan SDH. Bahkan fraktur sering
didapatkan kontralateral terhadap SDH.
c. CT-Scan
Pemeriksaan CT scan adalah modalitas pilihan utama bila disangka
terdapat suatu lesi pasca-trauma, karena prosesnya cepat, mampu melihat
seluruh jaringan otak dan secara akurat membedakan sifat dan keberadaan
lesi intra-aksial dan ekstra-aksial.
1)Perdarahan Subdural Akut
Perdarahan subdural akut pada CT-scan kepala (non kontras) tampak
sebagai suatu massa hiperdens (putih) ekstra-aksial berbentuk bulan sabit
sepanjang bagian dalam (inner table) tengkorak dan paling banyak
terdapat pada konveksitas otak di daerah parietal. Terdapat dalam jumlah
yang lebih sedikit di daerah bagian atas tentorium serebelli. Subdural
hematom berbentuk cekung dan terbatasi oleh garis sutura. Jarang sekali,
subdural hematom berbentuk lensa seperti epidural hematom dan biasanya
unilateral.
Perdarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat berbaur dengan
gambaran tulang tengkorak dan hanya akan tampak dengan menyesuaikan
CT window width. Pergeseran garis tengah (midline shift) akan tampak
pada perdarahan subdural yang sedang atau besar volumenya. Bila tidak
ada midline shift harus dicurigai adanya massa kontralateral dan bila
midline shift hebat harus dicurigai adanya edema serebral yang
mendasarinya.
Perdarahan subdural jarang berada di fossa posterior karena serebelum
relatif tidak bergerak sehingga merupakan proteksi terhadap ’bridging
veins’ yang terdapat disana. Perdarahan subdural yang terletak diantara
kedua hemisfer menyebabkan gambaran falks serebri menebal dan tidak
beraturan dan sering berhubungan dengan child abused.

2)Perdarahan Subdural Subakut


Di dalam fase subakut perdarahan subdural menjadi isodens terhadap
jaringan otak sehingga lebih sulit dilihat pada gambaran CT. Oleh karena
itu pemeriksaan CT dengan kontras atau MRI sering dipergunakan pada
kasus perdarahan subdural dalam waktu 48 – 72 jam setelah trauma
kapitis. Pada gambaran T1-weighted MRI lesi subakut akan tampak
hiperdens. Pada pemeriksaan CT dengan kontras, vena-vena kortikal akan
tampak jelas dipermukaan otak dan membatasi subdural hematoma dan
jaringan otak. Perdarahan subdural subakut sering juga berbentuk lensa
(bikonveks) sehingga membingungkan dalam membedakannya dengan
epidural hematoma. Pada alat CT generasi terakhir tidaklah terlalu sulit
melihat lesi subdural subakut tanpa kontras.

3)Perdarahan Subdural Kronik


Pada fase kronik lesi subdural menjadi hipodens dan sangat mudah dilihat
pada gambaran CT tanpa kontras. Sekitar 20% subdural hematom kronik
bersifat bilateral dan dapat mencegah terjadi pergeseran garis tengah.
Seringkali, hematoma subdural kronis muncul sebagai lesi heterogen
padat yang mengindikasikan terjadinya perdarahan berulang dengan
tingkat cairan antara komponen akut (hyperdense) dan kronis (hipodense).

d. MRI (Magnetic resonance imaging)


Magnetic resonance imaging (MRI) sangat berguna untuk
mengidentifikasi perdarahan ekstraserebral. Akan tetapi CT-scan
mempunyai proses yang lebih cepat dan akurat untuk mendiagnosa SDH
sehingga lebih praktis menggunakan CT-scan ketimbang MRI pada fase
akut penyakit. MRI baru dipakai pada masa setelah trauma terutama untuk
menetukan kerusakan parenkim otak yang berhubungan dengan trauma
yang tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan CT-scan. MRI lebih sensitif
untuk mendeteksi lesi otak nonperdarahan, kontusio, dan cedera axonal
difus. MRI dapat membantu mendiagnosis bilateral subdural hematom
kronik karena pergeseran garis tengah yang kurang jelas pada CT-scan.

DAFTAR PUSTAKA
Heller, L Jacob. Subdural hematoma. Medline Plus. 2012
Iliescu. (2015). Current diagnosis and treatment of chronic subdural
haematomas. Journal of medicine and life, 8(3), 278–284.
Meagher, J Richard. Subdural hematoma. Medscape. 2013
Sabori, P., & Sadegh, A. (2015). Histology and Morphology of the Brain
Subarachnoid Trabeculae. Anatomy Research International. Volume 2015,
Article ID 279814, 9 pages

Anda mungkin juga menyukai