Anda di halaman 1dari 65

Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter

dan Utang Luar Negeri

Singgih Wisnu Groho


Kebijakan Fiskal

Teori dan Defisit


Model APBN Anggaran
Teori dan Model
Kebijakan ekonomi makro
secara garis besar dapat dibedakan
menjadi kebijakan fiskal dan
kebijakan moneter, seperti juga
ekonomi dapat dibagi menjadi dua
sektor, yakni sektor riil dan sektor
moneter. Sektor riil menghasilkan
barang dan jasa. Sektor ini dapat
dibagi lagi menurut kelompok
kegiatan atau subsektor seperti
pertanian, pertambangan, industri, d
an lain-lain. Sedangkan sektor
moneter boleh dikatakan
merupakan hasil dari sektor riil
dalam bentuk uang.
Di Indonesia, kebijakan fiskal
mempunyai dua prioritas. Prioritas
pertama adalah mengatasi
APBN, dan masalah-masalah APBN
lainnya. Prioritas kedua adalah
mengatasi masalah stabilitas
ekonomi makro yang terkait dengan
antara lain laju pertumbuhan
ekonomi, tingkat atau laju
pertumbuhan inflasi, jumlah
kesempatan kerja atau
pengangguran dan saldo neraca
pembayaran.
Mekanisme kerja dari pengaruh kebijakan fiskal terhadap ekonomi akan
mudah dipahami di dalam konteks ekonomi makro dengan bantuan sebuah
modal ekonomi tertutup yang sederhana dari keynes yang terdiri atas
sejumlah persamaan seperti berikut ini.
Y=C+I+G (6.1)
C = cYd + Ca (6.2)
S = s.Yd: s = (1-c) (6.3)
Yd = Y – T (6.4)
T = tY (6.5)
I = Ia (6.6)
G = Ga (6.7)
S=I (6.8)
T=G (6.9)
Persamaan (6.5) dan persamaan (6.7)
mencerminkan kebijakan fiskal, sejak T dan
G merupakan dua instrumen dari kebijakan
tersebut. Secara agregat, sisi pendapatan
dari APBN diwakili oleh T103 dan sisi
pengeluarannya oleh G. Jika pengeluaran
lebih besar daripada penerimaan
(G>T), maka APBN dalam kondisi defisit:
sebaliknya, jika pendapatan melebihi
pengeluaran (G<T), maka APBN
mengalami surplus. Apabila APBN
defisit, pemerintah hanya mempunyai dua
pilihan untuk membiayai saldo negatif
tersebut, yakni didanai oleh Bank Indonesia
lewat printing money yang berarti jumlah
uang yang beredar di masyarakat
meningkat atau melalui pinjaman, baik dari
dalam negeri, misalnya dengan
menerbitkan obligasi, atau dari luar negeri.
Untuk tujuan tersebut, pemerintah lewat kebijakan fiskal mempunyai dua
opsi: Kebijakan Ekspansif, menaikan pengeluaran dan mengurangi tarif
pajak pendapatan dan Kebijakan Kontraktif, mengurangi pengeluaran dan
meningkatkan pendapatan pajak lewat menaikan tarif pajak.
APBN
Dalam sejarah Indonesia, sejak orde
baru hingga sekarang, sering kali
pemerintah berperan penting sebagai
motor utama, bisa dikatakan sebagai
satu-satunya penggerak
perekonomian nasional. Mungkin
bukti paling nyata yang
menunjukkan besarnya peran
pemerintah didalam perekonomian
Indonesia selama ini adalah
keberadaan APBN.
Selama orde baru hingga krisis keuangan Asia
1997-1998, APBN disusun dan dan dirumuskan
setiap April. Jadi,pada masa itu, tahun fiskal
dimulai setiap bulan April. Setelah krisis
keuangan Asia 1997-1998, tahun fiskal
ditetapkan mulai Januari hingga Desember.
Berarti dalam beberapa bulan menjelang akhir
tahun, semua departemen pemerintah dan
lembaga pemerintah non-departemen sibuk
menyiapkan anggaran penegeluarannya, tidak
saja yang sifatnya rutin, seperti gaji, subsidi dan
tunjangan pegawai negeri hingga biaya rutin
lainnya untuk menjalankan kegiatan rutin
departemen dan lembaga non-departemen, tetapi
juga pengeluaran untuk membiayai proyek dan
program pembangunan. Misalnya proyek
pembangunan jalan raya, jembatan, pelabuhan
dan waduk dari Departemen Pekerjaan Umum
(PU), proyek pembangunan komplek atau sentra
industri dari Departemen Perindustrian dan
program bantuan bagi kelompok miskin, seperti
Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan lain-lain.
Sejak diterapkan otonomi daerah
dan desentralisasi fiskal setelah
berakhirnya era orde baru, Indonesia
mengenal dua tingkatan anggaran
pendapatan dan belanja negara yang
berbeda, yakni APBN untuk pemerintah
pusat dan APBD (anggaran pendapatan
dan belanja daerah) untuk pemerintah
daerah. Sumber APBD lebih terfokus
pada pendapatan asli daerah (PAD) dan
juga dana transfer dari pemerintah
pusat, sedangkan sumber APBN lebih
menitikberatkan pada penghasilan
pajak, selain utang, baik utang dalam
negeri ataupun utang dari luar negeri.
Adapun RAPBN (rencana
anggaran pendapatan belanja
negara) yaitu penyusunan APBN
untuk tahun yang mendatang.
Penyusunan RAPBN atau
penetapan besarnya pengeluaran
dan pendapatan untuk tahun
depan, didasarkan pada asumsi-
asumsi mengenai nilai-nilai dari
sejumlah variabel ekonomi makro
tahun depan, seperti tingkat
inflasi, nilai tukar rupiah, terutama
terhadap dollar AS.
Besarnya perubahan atau jumlah
pengeluaran dan pendapatan di dalam
APBN dalam upaya mencapai
pertumbuhan ekonomi, penciptaan lebih
banyak kesempatan kerja, stabilitas
harga, dan stabilitas posisi eksternal
dicerminkan oleh sifat dari kebijakan
fiskal. Jika pemerintah menambah defisit
APBN yakni menambah pengeluaran
atau mengurangi pendapatan lewat
misalnya mengurangi tarif pajak, maka
dapat dikatakan bahwa pemerintah
melakukan kebijakan fiskal ekspansif,
karena paling tidak secara teori atau
harapan pemerintah, bahwa laju
pertumbuhan ekonomi akan meningkat.
Sebaliknya disebut kebijakan fiskal
kontraktif jika pemerintah mengurangi
defisit APBN, yakni mengurangi
pengeluaran dan menaikkan tarif pajak,
karena sebagai akibatnya laju
pertumbuhan ekonomi akan merosot,
cateris paribus.
APBN mempunyai dua komponen besar, yakni anggaran pengeluaran dan
anggaran pendapatan. Selanjutnya, kedua komponen tersebut, masing-
masing mempunyai banyak sub-komponen.
Defisit Anggaran
100

Salah satu indikator untuk


mengukur sejauh mana peran
50
pemerintah lewat kebijakan
fiskalnya dalam perekonomian
Indonesia adalah tren 0
perkembangan defisit APBN atau
umum disebut defisit anggaran
pemerintah. Dasar pemikirannya -50
adalah sebagai berikut: semakin
besar defisit APBN atau semakin
besar selisih antara pengeluaran -100

dengan penerimaan, semakin


besar dampak positifnya terhadap
ekonomi, cateris paribus. -150
Tabel 6.2 : Perkembangan Defisit APBN, 2008-2014 (Rp triliun)
2013 2014
Uraian 2008 2009 2010 2011 2012 (APBN-P) (RAPBN)

Pendapatan 981,6 848,8 995,3 1210,6 1338,1 1502,0 1662,5


pemerintah (T)**

Belanja pemerintah (G) 985,7 937,4 1042,1 1295,0 1491,4 1726,2 1816,7
Defisit anggaran (G-T) -4,1 -88,6 -46,8 -84,4 -153,3 -224,2 -154,2
Presentase defisit 0,08 1,58 0,73 1,14 1,86 2,38 1,49
terhadap PDB
Besarnya kebijakan fiskal ekspansif
dilakukan pada saat ekonomi domestik
sedang lesu yang ditunjukkan oleh
menurunnya laju pertumbuhan ekonomi atau
bahkan mengalami pertumbuhan yang
negatif, seperti yang indonesia pernah alami
saat krisis keuangan asia mencapai titik
terburuknya pada tahun 1998. Kebijakan
fiskal ekspansif biasanya terefleksi dari
peningkatan rasio G-Y (atau presentase dari
pengeluaran pemerintah terhadap pendapatan
nasional atau PDB). Misalnya sejak tahun
1980-an hingga 1997, rasio G-Y mengalami
penurunan. Namun, akibat krisis keuangan
Asia 1997-1998, rasionya meningkatnya
mencapai 21 persen pada tahun 1999. Saat
itu, pemerintah merasa perlu menjalankan
kebijakan fiskal ekspansif untuk
menggairahkan kembali perekonomian
nasional.
Salah satu bagian penting dari
pengeluaran pemerintaah semasa krisis
tersebut adalah program Jaringan
Pengaman Sosial (JPS) untuk membantu
kelompok masyarakat miskin, yang
sebagian besar didanai oleh Bank Dunia.
Pada saat krisis ekonomi global 2008-
2009, pemerintah juga membuat
pengeluaran tambahan, disebut stimulus
fiskal dengan tujuan untuk meningkatkan
permintaan dalam negeri agar penurunan
ekspor akibat krisis itu bisa dikompensasi
dengan pertumbuhan pasar domestik
sehingga pertumbuhan PDB tidak merosot
tajam. Hanya saja kali ini, total
pengeluaran pemerintah akibat kebijakan
tersebut tidak membuat rasio pengeluaran
pemerintah terhadap PDB meningkat.
Bahkan pada tahun 2009, rasionya lebih
rendah dibandingkan tahun 1999.
Gambar 6.4: Perkembangan Keseimbangan Primer, 2008-2014 (Rp triliun)

100

50

0
2008 2009 2010 2011 2012 2013 (APBN-P) 2014 (RAPBN)

-50

-100

-150
Tabel 6.3: Perkembangan Belanja Pemerintah Pusat, 2012-2014 (Rp triliun)

Uraian 2012 2013 (APBN-P) 2014 (RAPBN)


Nominal Persentase Nominal Persentase Nominal Persentase
Belanja pegawai 197,9 19,6 233,0 19,5 276,7 22,5
Belanja barang 140,9 13,9 206,5 17,3 203,7 16,6
Belanja modal 145,1 14,4 192,6 16,1 205,8 16,7
Pembayaran bunga 100,5 9,9 112,5 9,4 119,5 9,7
utang
Subsidi 346,4 34,3 348,1 29,1 336,2 27,3
Belanja hibah 0,1 0,0 2,3 0,2 3,5 0,3
Belanja sosial 75,6 7,5 82,5 6,9 55,9 4,5
Belanja lain-lain 4,1 0,4 19,3 1,6 29,0 2,4

Total 1.010,6 100,0 1.196,8 100,0 1.230,3 100,0


Tabel 6.4 Kebutuhan Pengeluaran dalam APBN 2014 (Rp triliun)

Pengeluaran Nilai Nominal


1) Belanja Negara 1.182,5
Belanja Kementrian Negara dan Lembaga 637,8
Subsidi 333,7
Pembayaran bunga utang 121,3
Belanja lainnya 157,1
Dana perimbangan 487,9
Dana otonom khusus dan penyesuaian 104,6
2) Pengeluaran Pembiayaan 75,5
Dana bergulir 4,0
Penerusan pinjaman 1,2
Kewajiban penjaminan 1,1
Penyertaan modal negara 5,0
Pembayaran cicilan pokok utang luar negeri 58,8
Pembayaran cicilan pokok utang dalam negeri 0,3
Cadangan pembiayaan 5,1
Sejak pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, dana
transfer ke daerah menjadi salah satu komponen penting dari sisi
pengeluaran APBN. Kebijakan transfer ke daerah, antara lain
adalah:
1. Meningkatkan kapasitas fiskal daerah serta mengurangi
kesenjangan fiskal antara pusatdan daerah, serta antar daerah
2. Meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan ketepatan waktu
pengalokasian dan penyaluran anggaran transfer ke daerah
3. Meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan
mengurangi kesenjangan pelayanan publik antar daerah
4. Meningkatkan perhatian terhadap pembangunan di daerah
tertinggal, terluardan terdepan
5. Meningkatkan pelaksanaan pemantauan dan evaluasi terhadap
jenis dana transfer tertentu untuk meningkatkan kualitas belanja
negara.
Gambar 6.5 Perkembangan Subsidi Energi, 2008-2014 (Rp triliun)

250

200

150

BBM
100
LISTRIK

50

0
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
APBN-P
Jumlah pengeluaran pemerintah pusat
untuk subsidi BBM cenderung
meningkat selain perbedaanya dengan
subsidi listrik juga cenderung
membesar disebabkan oleh jumlah
BBM yang setiap tahun terus
bertambah seiring dengan
penambahan jumlah penduduk dan
pertumbuhan kegiatan ekonomi seperti
dapat diamati digambar 6.6, volume
BBM yang paling besar nilai
subsidinya adalah premium yang
penambahannya cenderung semakin
pesat dari hanya sekitar 19,5 juta
kiloliter pada tahun 2008 menjadi
sedikit diatas 31 kiloliter, disusul
kemudian oleh solar dari 11,8 juta
kiloliter menjadi 16,7 juta kiloliter
untuk jangka waktu yang sama.
Gambar 6.6 : Penyaluran BBM Bersubsidi, 2008-2013 (juta kiloliter)

35

30

25

20
Premium
Solar
15
Minyak Tanah

10

0
2008 2009 2010 2011 2012 2013
Sedangkan penyaluran BBM bersubsidi untuk
minyak tanah cenderung terus berkurang dari 7,9
juta kiloliter pada tahun2008 menjadi 1,2
kiloliter pada tahun 2013. Bahkan sering kali
dalam pelaksanaan subsidi BBM, seperti yang
diperlihatkan di Gambar 6.7, volume realisasi
konsumsi BBM khususnya premium dan solar
lebih banyak daripada volume
kuotanya, terkecuali untuk tahun
2012,sedangkan volume realisasi konsumsinya
cenderung lebih sedikit dibandingkan volume
tiap tahunnya. Realisasi volume konsumsi BBM
bersubsidi melebihi kuota yang telah ditetapkan
dalam APBN tentu menambah beban
pengeluaran pemerintah, seperti juga sebuah
pernyataan berikut ini dikutip dari kompas
(Rabu, 13 Maret 2013, halaman 17): setiap
peningkatan kuota 1 juta kiloliter dari kuota
volume yang ditetapkan, anggaran belanja
subsidi untuk BBM akan bertambah Rp 4-5
triliun. Menurut harian kompas yang sama, rata-
rata kuota BBM bersubsisdi per hari mencapai
126.027,40 kiloliter.
Gambar 6.7 : Kuota dan Realisasi* Konsumsi BBM
Bersubsidi, 2010-2013 (juta kiloliter)

2013

2012

Solar
Minyak Tanah
Premium
2011

2010

0 5 10 15 20 25 30 35
Sedangkan subsidi non-energi meliputi
a) Subsidi pangan, yaitu penyediaan beras dengan harga
murah untuk rakyat miskin sebesar Rp 18,8 triliun
dengan sasaran 15,5 juta rumah tangga sasaran (RTS)
dengan 15 kg per RTS selama setahun
b) Subsidi pupuk, Rp 21,0 triliun dan subsidi benih Rp
1,6 triliun untuk membantu petani agar bisa tetap
mempu membeli pupuk dan demi ketahana pangan
c) Subsidi PSO, Rp 2,2 triliun untuk PSO peenumpang
kereta api, PSO penumpang angkatan laut kelas
ekonomi dan PSO informasi publik
d) Subsidi bunga kredit program, sebesar Rp 3,2 triliun
untuk mendukung perkembangan usaha mikro, kecil
dan menengah (UMKM), peningkatan ketahanan
pangan, dan program diversifikasi energi
e) Subsidi pajak, Rp 4,7 triliun untuk mendukung
kebijakan stabilisasi harga kebutuhan pokok dan
program pengembangan industri strategi (Kompas,
Rabu 11, Desember 2013, halaman 25). Tabel 6.5
memperlihatkan perkembangan semua subsidi, energi
dan non energi yang dikeluarkan oleh pemerintah
pusat selama periode 2011-2013.
Tabel 6.5 : Alokasi Subsidi pada APBN, 2011-2013

Komponen Nilai (Rp Triliun) Persentase


2011 2012 2013 2011 2012 2013
BBM,LPG,BBN 165,16 211,90 193,80 55,92 61,18 61,09

Listrik 90,45 94,58 80,94 30,62 27,31 25,52

Pangan 16,54 19,12 17,20 5,60 5,60 5,42

Pupuk 16,34 13,96 16,23 5,53 5,53 5,12

Benih 0,10 0,06 1,45 0,03 0,03 0,46


PSO 1,83 1,93 1,52 0,62 0,62 0,48
Kredit Program 1,62 1,11 1,25 0,51 0,51 0,39
Pajak 3,41 3,71 4,82 1,15 1,15 1,52
BB. kedelai 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,,00

Minyak Goreng 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00


Obat Generik 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Total 295,36 346,36 317,22 100,00 100,0 100,0
Dari sisi pendapatan, ada dua sumber utama yakni (a) pendapatan negara yang terdiri atas
penerimaan pajak, penerimaan kepabeanan, dan cukai (b) penerimaan pembiayaan. Dari kategori
(a) penghasilan pajak selalu lebih besar daripada penghasilan non pajak (Gambar 6.8). Mengacu
pada data dari beberapa tahun sebelumnya, pendapatan negara sesuai RAPBN 2014 naik sangat
signifikan, yaitu 135 persen. Dalam APBN 2014, jumlah penerimaan yang juga sebsar Rp 1.918
triliun (seimbang dengan jumlah pengeluaran yang ditunjukkan di Tabel 6.4) terdiri atas
pendapatan negara yang mencapai Rp 1.667,1 triliun yang didominasi oleh pendapatn pajak
sebanyak Rp 1.110,2 triliun dan penerimaan pembiayaan sebanyak Rp 250,9 triliun dengan utang
lewat penerbitan surat berharga negara (SBN) yang nilainya Rp 205,1 triliun (Tabel 6.6)
Tabel 6.6 Penerimaan dalam APBN 2014 menurut standar
(Rp triliun)

Pengeluaran Nilai Nominal


Pengeluaran 1.657,1
-Pajak 1.110,2
-Kepabeanan dan cukai 170,2
-Penerimaan negara bukan pajak 385,4
-Hibah 1,4
Penerimaan pembayaran 250,9
-Penarikan pinjaman dalam negeri (bruto) 1,3
-Hasil pengelolaan aset 1,0
-Penertiban SBN 205,1
-Pinjaman program 3,9
-Pinjaman proyek 35,2
-Perbankan dalam negeri 4,4
Tabel 6.7 : Realisasi Penerimaan Pajak Berdasarkan Jenis Pajak
(Rp triliun)

2012 2013
Jenis Pajak Realisasi Realisasi APBN-P Realisasi
(%)
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 28,97 1,65 27,34 6,02
PPh NonMigas 381,20 271,80 464,48 58,52
PPN/PPn dan PPN atas 337,41 230,06 423,71 54,30
PPnBM
44,54 52,61 104,73 50,2
Cukai
Pajak Lainnya 4,21 3,20 5,40 59,21
PPh Migas 83,45 49,64 74,28 66,83
Bea Masuk Produk Impor 13,68 14,43 30,81 44,1
Bea Keluar Produk Ekspor 10,91 6,93 17,61 39,3
Walaupun setiap tahun realisasi
penerimaan pajak tidak selalu sesuai
targetnya. namun realisasi jumlah
penerimaan pajak meningkat terus
setiap tahun dalam beberapa tahun
terakhir. Misalnya pada tahun 2009,
realisasi jumlah pemasukan dari pajak
tercata sebanyak Rp 619,92 triliun,
yang terdiri atas pajak dalam negeri
sebanyak Rp 601,25 triliun dan pajak
perdagangan internasional sebesar Rp
18,67 triliun. Pada tahun 2012,
realisasi jumlah pemasukan pajak
tercata mencapai angka Rp 1.019,33
triliun yang terdiri atas pajak dalam
negeri sebesar Rp 976,90 triliun dan
pajak dari kegiatan ekspor dan impor
sebanyak Rp 42,43 triliun. (Gambar
6.9)
Gambar 6.9 : Jumlah Penerimaan Pajak, 2009-2012 (Rp triliun)

1200
1000
800
600
400
200
0
2009 2010 2011 2012
Pajak dalam negeri Pajak perdagangan internasional Total Pajak
Satu indikator yang umum digunakan untuk
melihat apakah peningkatan pendapatan pajak
signifikan atau tidak adalah tren
perkembanagn rasio pendapatan pajak
terhadap pendapatn nasional atau PDB.
Walaupun secara nominal,pendapatan pajak
meningkat setiap tahun, namun presentasenya
terhadap PDB kecil atau bahkan
menurun, berarti penambahan pendapatan
pajak tersebut tidak optimal. Artinya, potensi
pendapatan pajak sangat besar di dalam
ekonomi yang belumterjangkau oleh
pemerintah. Gambar 6.10 menunujukan
perkembangan rasio pajak selama periode
2008-2014. Pada tahun 2009, rasio pajak
sempat anjlok ke 11,0 persen dari 13,3 persen
pada tahun sebelumnya. Namun, setelah itu
rasionya cenderung terus
meningkat.BerdasarkanAPBN 2014, target
anggaran pajak sekitar 12,3 persen dari PDB
tahun itu.
Gambar 6.10 : Perkembangan rasio pajak, 2006-2014 (%)

13,3
11,8 11,9 12,1 12,3
11 11,3

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 APBN


APBN-P
Apakah rasio yang ditargetkan pemerintah untuk
tahun 2014 tersebut terealisasi, sangat tergantung
pada seberapa besar realisasi penerimaan pajak
tahun itu, selain tergantung pada pertumbuhan
PDB tahun itu. Salah satu cara yang efektif
untukmenaikkan pendapatan pajak adalah
dengan menambah jumlah wajib pajak yang
terdaftar, selain menaikkan tarif pajak. Selama
ini pemerintah memang telah berusaha untuk
menjaring jumlah orang pribadi yang seharusnya
sudah harus masuk ke kategori wajib
pajakkarena sudah berpenghasilan tinggi
danmenengah yang kena pajak, namun belum
pernah bayar pajak atau belum terdaftar sebagai
wajib pajak. Selain jumlah pribadi wajib
pajak,penambahan jumlah badan dan
bendaharawan wajib pajak juga sangat penting.
Gambar 6.11 Jumlah Wajib Pajak Terdaftar, 2006-2012

2012

2011

Pribadi
2010
Bendaharawan
Badan

2009

2008

0 5000000 10000000 15000000 20000000 25000000


Untuk menambah pendapatan
pajak, pemerintah telah melakukan
berbagai langkah konkret .
Pertama, meluncurkan kebijakan
intensif pajak dengan tetap menjaga
iklim investasi dan keberlanjutan dunia
usaha dengan tiga langkahsebagai
berikut
a) Penananaman modalbagi indutri
hilir pertambanagan disinsentif bea
keluar untuk ekspor barang tambang
mentah
b) Pengembanagan industry
intermediate dalam rangka substitusi
impor dalam bentuk pembebasan
bea masuk dan tax allowance
c) Fasilitas PPnBM untuk mobil murah
ramah lingkungan (green car)
Selain itu, ada tiga langkah lainnya yang juga
diambil oleh pemerintah, yakni sebagai berikut.
Langkah pertama adalah optimalisasi
penerimaan pajak lewat
a) Penyempurnaan system administarsi
perpajakan untuk meningkatkan kepatuhan
waib pajak (WP)
b) Ekstensifikasi WP orang pribadi
berpendapatan tinggi dan menengah
c) Perluasan basis pajak, termasuk kepada
sector-sektor yang selama ini tidak terlalu
digali potensinya, seperti usaha kecildan
menengah UMKM`
d) Optimalisasi pemanfaatan kebijakan
penyampaian data dan informasi yang
berkaitan dengan perpajakan dan institusi
pemerintah,lembaga, asosiasi dan pihak lain
e) Penguatan penegakan hukum bagi
penghindar pajak, dan penyempurnaan
peraturan perpajakan untuk lebih member
kepastian hokum dan perlakuan yang adil
dan wajar.
Langkah kedua adalah optimalisasi kepabeanan dan cukai lewat tiga
cara:
a) Mengantisipasi pemberian konsensi tarif bea masuk nol persen
terhadap impor bahan baku terkait kebijakan wilayah
perdagangan bebas(FTA)
b) Ekstensifikasi barang kena cukai
c) Penyesuaian tarif cukai minuman beralkohol
Sedangkan langkah kedua adalah optimalisasi
pendapatan bukan pajak (PNPB) dengan lima (5)
cara, yakni:
a) mengoptimalkan lifting minyak dan gas (migas)
dengan didukung investasi di sektor migas untuk
peningkatan cadangan minyak di indonesia
b) pemanfaatan sumber daya alam (SDA) secara
seimbang dengan tetap memperhatikan
kesinambungan produksi dan kelestarian
lingkungan hidup
c) penyesuaian tarif royalti dari penjualan hasil
tambang untuk ijin usaha pertambangan (IUP)
menjadi sebesar 13,5 persen, sesuai kesepakatan
pemerintah dengan DPR
d) perbaikan kinerja BUMN untuk memberikan
dukungan pada APBN untuk peningkatan
deviden, BUMN, dengan tetap
mempertimbangkan kebutuhan belanja modal
BUMN
e) merivisi jenis dan tarif PNBP pada K/L agar
sesuai dengan kondisi aktual, serta optimalisasi
pengelolaan dan pengawasan pemungutan PNBP
yang lebih baik. Gambar 6.12 menunjukkan
perkembangan PNBP
Gambar 6.12 : Perkembangan PNBP, 2008-2014 (Rp triliun)
Kebijakan Moneter

Teori dan Analisis


Model Empiris
Teori dan Model
Uang mempunyai peran sentral di dalam perekonomian modern. Berbeda dengan
zaman dahulu kala, sekarang ini tanpa uangtidak mungkin ekonomi bisa berjalan
karena tidak ada permintaan rumah tangga(C). Sedangkan disisi lain, terlalu banyak
uang beredar di masyarakat mengakibatkan terlalu banyak permintaan. Jika
produksi atau penawaran di pasar terbatas, maka tingkat inflasi akan meningkat, dan
laju inflasi yang terlalu tinggi akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan
ekonomi. Hingga tingkat tertentu, kenaikan harga akan memberi insentif bagi
industri/ sektor untuk meningkatkan produksi. Namun jika tingkat harga terlalu
tinggi, permintaan akan merosot. Oleh karena itu dapat dipahami betapa pentingnya
kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas peredaran uang, jangan terlalu banyak
dan jangan terlalu sedikit seperti telah disinggung sebelumnya diatas, terlalu banyak
uang beredardi tangan masyarakat akan menimbulkan terlalu banyak permintaan di
dalam ekonomi. Sebaliknya terlalu sedikit uang yang dipegang masyarakat
membuat rendahnyapermintaan di dalam ekonomi yang mengakibatkan rendahnya
kegiatan produksi yang bisa menimbulkan resesi ekonomi. Jadi, stabilitas uang yang
beredar berarti stabilitas ekonomi dan terakhir ini merupakan kondisi paling kritis
untuk pertumbuhan output/ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan.
Untuk memahami efektivitas dari
kebijakan moneter terhadap ekonomi di
indonesia, perlu terlebih dahulu
dipahami empat hal pokok.
Pertama, mekanisme kerja dari pasar
uang atau bagaimana terjadinya
permintaan dan penawaran uang dan
keseimbangan diantara keduanya.
Kedua, faktor-faktor utama yang
mempengaruhi permintaan dan
penawaran uang. Ketiga, sistem
moneter yang diterapkan di indonesia.
Keempat, hubungan antara uang yang
beredar di masyarakat dengan laju
pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan moneter di indonesia
sepenuhnya tanggung jawab dari
bank sentral Indonesia yaitu Bank
Indonesia (BI), sebagai otoritas
moneter (OM). Sistem moneter di
indonesia terdiri atas OM dan bank-
bank yang menciptakan uang giral
dan uang kuasi yang adalah bank-
bank umum yang mempunyai
kedudukan khusus dalam sistem
keuangan karena dapat menciptaka
kedua jenis uang tersebut.
OM (atau BI) adalah lembaga yang melaksanakan pengendalian moneter dengan empat
fungsi utama:
1. mencetak dan mengedarkan uang kartal sebagai alat pembayaran yang sah
2. memelihara dan menjaga posisi cadangan devisa
3. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap bank-bank yang ada di indonesia
4. memegang kaspemerintah.
Kewajiban OM terdiri atas uang kertas dan uang logam yang berada di luarBI dan kantor
perbendaharaan dan kas negara (KPKN) yang dimiliki oleh bank umum dan sektor swasta
(masyarakat) serta simpanan giro bank umum dan masyarakat pada BI. Kewajiban ini
disebut uang primer.
Ada empat instrumen yang dapat dipergunakan oleh BI sebagai suatu bank sentral
untuk mengarahkan pelaksanaan kebijakan moneternya untuk mencapai sasaran
operasional yaitu:
1. Operasi Pasar Terbuka yaitu kegiatan jual beli surat berharga oleh BI yang diumumkan
secara terbuka sebelum dan sesudah transaksi dengan tujuan untuk mempengaruhi jumlah
uang beredar dan suku bunga
2. Giro Wajib Minimum yaitu mengubah ketentuan jumlah dana yang harus disimpan oleh
bank di BI
3. Fasilitas Diskonto, yaitu jumlah suku bunga yang dibebankan kepada bank bank
komersial yang meminjam dana dan BI bila cadangannya secara temporer berada di bawah
tingkat yang ditentukan,
4. Persuasi Moral, yaitu himbauan yang dilakukan oleh BI kepada perbankan untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu, misalnya himbauan untuk bersikap konservatif
dalam menyalurkan pinjaman.
Gambar 6.16: Hubungan antara Sektor Riil dan Sektor Moneter

Sektor Riil
Q0=QS=Y

M0=f(Y,r) I = f(r)

Sektor Moneter
MO=MS
Analisis Empiris
Arah kebijakan moneter Indonesia telah mengalami
beberapa kali perubahan dalam 20 tahun belakangan ini
mengikuti perubahan kondisi perekonomian didalam
negeri yang juga dipengaruhi oleh dinamika
perekonomian global. Pada awal tahun 1980, pada masa
era orde baru, sebelum dilakukan kebijakan deregulasi dan
liberalisasi sektor keuangan, kebijakan moneter lebih
diarahkan pada stabilitas harga dan nilai tukar rupiah.
Dalam periode 1983-1984, setelah berakhirnya krisis
minyak dunia ke dua kebijakan moneter di arahkan untuk
meletakkan landasan yang kokoh bagi perkembangan
perbankan nasional. Pada periode 1993-1994, kebijakan
moneter koontraktif scara bertahap dikendorkan pada saat
situasi ekonomi cenderung stabil, yang di tunjukkan oleh
pergerakan yang stabil dari dari variabel makro
kunci, seperti tingkat inflasi, suku bunga dan kurs rupiah.
Pada periode 1995-1997, kebijakan moneter yang
cenderung berhati hati diterapkan kembali ditengah
tekanan peningkatan permintaan agregat dan inflasi.
Suku Bunga

MO atau BI mempunyai sejumlah instrumen untuk menjalankan kebijakan


moneternya, dan salah satunya adalah suku bunga Sertifikat Bank Indonesia. Fungsi
dari suku bunga sebagai salah satu instrumen OM untuk mengatur atau menjaga
stabilitas perekonomian.
Tingkat perubahan suku bunga SBI atau BI Rate bagus sebagai salah satu indikator
mengenai sifat dari kebijakan moneter, apakah ekspansif atau umum disebut kebijakan
moneter/uang longgar atau kontraktif atau kebijakan uang ketat.
Jenis 2012 2013 2014
Desember Maret Juni September Desember Januari
SBI 9 bln 4,80 4,87 5,28 6,96 7,22 7,23
Deposito 1 5,58 5,51 5,60 6,73 7,92 7,91
bln
Deposito 3 5,76 5,64 5,72 6,58 7,64 7,96
bln
Pola hubungan antara perubahan suku
bunga perbankan dengan perubahan suku
bunga BI menjelaskan posisi dari suku
bunga BI, yakni sebagai acuan utama bagi
perkembangan suku bunga dipasar uang.
OM di Indonesia tidak bebas sepenuhnya
menentukan tingkat suku bunga yang
diinginkan untuk mempengaruhi
perekonomian nasional lewat sektor
moneter, karena BI juga harus
memperhatikan tingkat suku bunga di
dunia. Teorinya adalah, jika suku bunga di
dunia, misalnya AS, ceteris paribus.
Sebaliknya, jika suku bunga di Indonesia
lebih tinggi daripada di luar Indonesia,
modal asing akan membanjiri pasar
Indonesia. Arus keluar masuk modal asing
ke dan dari Indonesiayang disebabkan oleh
perbedaan tingkat suku bunga antara
Indonesia dan di luar negeri bisa terjadi
karena Indonesia menerapkan sistem
ekonomi terbuka.
Jumlah Uang Beredar

Tentu, seperti yang telah dibicarakan sebelumnya, perkembangan suku


bunga berhubungan erat dengan jumlah uang yang beredar di masyarakat.
Jumlah uang yang bertambah dibarengi dengan jumlah tingkat suku bunga
yang menurun, dan sebaliknya, tingkat suku bunga yang tinggi dibarengi
dengan jumlah uang yang sedikit.
Jenis 2012 2013 2014
Desember Maret Juni September Desember Januari

Uang 704.843 664.935 691.678 715.662 821.679 781.500


Primer
-M1 841.721 810.112 858.557 867.721 887.064 842.669
-C 361.967 331.226 347.204 360.085 399.589 380.061
-D 479.755 478.886 511.353 507.636 487.475 462.608
-M2 3.305.744 3.322.586 3.413.437 3.584.017 3.727.696 3.649.270
-T 2.453.602 2.500.342 2.553.285 2.691.903 2.817.826 2.784.379
-S 10.420 12.132 11.594 24.394 22.805 22.223
Besarnya kredit yang disalurkan oleh
perbankan ke masyarakat merupakan
komponen penting dari peningkatan
suplai uang didalam ekonomi. Bank
bank yang mengeluarkan kredit dapat
dikelompokkan ke dalam tiga
kelompok besar, yakni bank
pemerintah (nasional/daerah),bank
komersial/swasta, dan bank asing dan
campuran. Setiap tahun jumlah kredit
terus bertambah yang menunjukan
suatu tren jangka panjang yang
meningkat.
Nilai Tukar dan Inflasi

Menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan Potensi terbesar yang mengganggu
perkembangan harga (inflasi), merupakan stabilitas nilai tukar rupiah, dan oleh
salah satu tanggung jawab OM (BI). karena itu, yang harus diawasi oleh BI
Karena stabilitas nilai rupiah bersama adalah investasi asing jangka pendek
dengan stabilitas harga atau laju inflasi yang umum disebut hot money.
yang terkontrol merupakan dua prasyarat Pengalaman Indonesia dengan krisis
penting bagi pencapaian kelangsungan keuangan Asia 1997-1998 tela
pertumbuhan ekonomi dan stabilitas membuktikannya. Pada wajtu itu, modal
perekonomian nasional. Oleh karena asing jangka pendek (dalam dollar AS)
dapat dipahami jika pada saat nilai tukar meninggalkan Indonesia secara mendadak
rupiah jatuh pada masa krisis keuangan dan dalam jumlah yang besar.
Asia 1997-1998, BI menaikkan suku
bunganya yang begitu tinggi yang belum
pernah terjadi sebelumnya semata mata
untuk menahan laju kejatuhan nilai rupiah
saat itu. Memang, paling tidak menururt
teori, nilai rupiah yang melemah dapat
mendorong karena daya saing harga dari
produk Indonesia meningkat.
Tabel 6.10 Perkembangan Inflasi dan Nilai Tukar Rupiah, 2012-2014

Jenis 2012 2013 2014 2014


Maret Juni September Desember Februari
Desember Januari
Inflasi 0.54 0,63 1,03 -0,35 0,55 1,07 0,26
Bulanan (% 7,75
4.30 5,90 5,90 8,40 8,38 8,22
mtm)

Inflasi
Tahunan (%
yoy)
Rp/Dollar 9.870 9.718 9,925 11.580 12.170 12.210 11.609
AS

Tabel 6.10 memperlihatkan perkembangan inflasi, baik bulanan dan tahunan, dan nilai tukar rupiah
terhadap dolar AS untuk periode 2012 dan 2014. Selama ini, inflasi tahunan di Indonesia bisa
dipertahankan satu digit yang oleh OM dianggap aman, sedangkan tren perkembangan nilai tukar
rupiah menunjukkan kecenderungan melemah, dan ini dianggap lumrah melihat kenyataan bahwa
dalam beberapa tahun belakangan ini Indonesia cenderung lebih banyak impor daripada ekspor, yang
tentunya mendorong peningkatan permintaan dolar didalam rupiah.
Utang Luar Negeri

Penyebab
Utama: Suatu Analisis
Perspektif Empiris
Teori
Penyebab Utama: Suatu Perspektif Teori
Sejak Krisis ULN dunia pada awal 1980an masalah ULN yang
dialami oleh banyak NB tidak semakin baik. Banyak MB semakin terjerumus
ke dalam krisis ULN sampai negara negara pengutang besar terpaksa
melakukan program program penyesuaian struktural terhadap ekonomi
mereka atas desakan dari Bank Dunia dan IMF, sebagai syarat utama untuk
mendapatkan pinjaman baru atau pengurangan terhadap pinjaman lama
(tambunan, 2001) bahkan Indonesia sudah beberapa kali nyaris terjerumus ke
krisis ULN yang serius dejak era Orde Lama hingga krisis keuangan Asia
1997-1998. Pada saat krisis tersebut, Indonesia mendapat bantuan yang besar
dari IMF yang akhirnya bisa dilunasi setelah beberapa tahun kemudian.
Tingginya ULN dari banyak NB disebabkan terutama oleh 3 jenis
defisit : Defisit transaksi berjalan ( TB ) atau, tanpa melihat komponen
lainnya dari TB, Defisit neraca perdagangan ( dalam literatur umum
disebut Trade Gap ), yakni ekspor (X) lebih sedikit daripada Import (M),
Defisit investasi atau I-S gap, yakni dana yang dibutuhkan untuk membiayai
investasi didalam negeri lebiih besar didalam tabungan nasinonal atau
domestik (S), dan defisit fiskal (fiscal gap).
Analisis Empiris
Besarnya akumulasi ULN, terutama sangat terasa setelah krisis
ekonomi 1997-1998, memaksa pemerintah Indonesia mengatur secara
khusus atau mengubah paradigma soal penanganan PLN di dalam GBHN
Tahun 1999-2004, khususnya untuk ULN pemerintah. Sejak itu, kebijakan
fiskal yang menjadi andalan bagi penerimaan pemerinta ditekankan untuk
mengurangi ketergantungan pemerintah terhadap ULN.
Ketergantungan pemerntah terhadap ULN untuk membiayai defisit
anggarannya memang sagat berbahaya, seperti yang di ilustrasikan di
Gambar 6. 18, yaitu : ketergantungan terhadap ULN akan memperbesar
defisit APBN, dengan asumsi faktor faktor lain tetap tidak berubah, karena
pengeluaran untuk pembayaran pokok dan bunga pinjaman, yang
selanjutnya menambah ketergantungan pada ULN. Banyak negara miskin di
Afrika terjerat ULN persis karena masalah ini, yakni untuk membayar
cicilan dan bunga dari utang yang sedang berjalan, pemerintah pemerintah di
negara negara tersebut terpaksa membuat utang baru, karena tidak ada
sumber lainnya.
Gambar 6.18 Keterkaitan antara Defisit APBN dengan ULN

Defisit
APBN

GI ULN

Biaya
ULN
Selain di GBHN 1999-2004, amanat
pengurangan ketergantungan
pemerintah (APBN) terhadap ULN
juga dituangkan dalam Program
Pembangunan Nasional (PROPENAS)
2000-2004 (Undang Undang No. 25
Tahun 2000) mengenai program atau
pedoman secara rinci pengelolaan
utang pemerintah. Program ini
bertujuab untuk mewujudkan
kemandirian pembiayaan
pembangunan. Adapun sasarannya
adalah tercapainya penggunaan
pinjaman pemerintah, baik dalam
negeri maupun luar negeri, untuk
keperluan pembangunan secara optimal
dan menurunnya beban ULN.
Kegiatan yang dilakukan antara lain:
a) Mengurangi secara bertahap pembiayaan pembangunan dengan
memakai ULN, yang merupakan selisih antara pencairan pinjaman
baru dan pembayaran pokok utang.
b) Membenahi mekanisme dan prosedur pelaksanaan PLN, termasuk
perencanaan, proses seleksi, pemanfaatan dan pengwasannya.
c) Memanfaatkan pinjaman secara optimal sesuai dengan prioritas
pembangunan dan dilaksanankan secaratransparan, efektif dan
efisien.
d) Mengkaji secara menyeluruh kemempuan setiap proyek dan
mempertajam prioritaspengeluaran anggaran dengan memperkuat
pengawasan yang sistemati, utamanya bagi proyek-proyek yang
dibiayai dari ULN.
e) Meningkatkan kemampuan diplomasi dan negosiasi PLN untuk
memperoleh jangka waktu dan pola persyaratan yang memudahkan
proses pencairan dan meperingan beban pembayaran.
f) Melakukan restrukturisasi ULN, termasuk permohonan
pemotongan utang dan penjadwalan kembali ULN dengan para
donor secara transparan dan dikonsultasikan dengan DPR.
Gambar 6. 19 Perkembangan ULN Pemerintah dan Swasta, 2009-
2013 (miliar dolar AS)
160

140

120

100

80 Pemerintah
Swasta
60

40

20

0
2009 2010 2011 2012 2013
Sejak berakhirnya krisis keuangan
Asia 1997-1998, untuk membiayai
APBN pemerintah berusaha lebih
mengandalkan utang dari dalam negeri
lewat penerbitan surat utang. Hal ini
mengurangi beban pemerintah dalam
membayar cicialan dan
bunga, terutama terhindar dari risiko
perubahan nilai tukar rupiah.
Pengalaman selama krisis keuangan
Asia, beban pemerintah membayar
ULNnya sangat berat bukan karena
suku bunga pinjaman luar negeri
meningkata melainkan karena
depresiasi rupiah terhadap dolar AS

Anda mungkin juga menyukai