Belanja pemerintah (G) 985,7 937,4 1042,1 1295,0 1491,4 1726,2 1816,7
Defisit anggaran (G-T) -4,1 -88,6 -46,8 -84,4 -153,3 -224,2 -154,2
Presentase defisit 0,08 1,58 0,73 1,14 1,86 2,38 1,49
terhadap PDB
Besarnya kebijakan fiskal ekspansif
dilakukan pada saat ekonomi domestik
sedang lesu yang ditunjukkan oleh
menurunnya laju pertumbuhan ekonomi atau
bahkan mengalami pertumbuhan yang
negatif, seperti yang indonesia pernah alami
saat krisis keuangan asia mencapai titik
terburuknya pada tahun 1998. Kebijakan
fiskal ekspansif biasanya terefleksi dari
peningkatan rasio G-Y (atau presentase dari
pengeluaran pemerintah terhadap pendapatan
nasional atau PDB). Misalnya sejak tahun
1980-an hingga 1997, rasio G-Y mengalami
penurunan. Namun, akibat krisis keuangan
Asia 1997-1998, rasionya meningkatnya
mencapai 21 persen pada tahun 1999. Saat
itu, pemerintah merasa perlu menjalankan
kebijakan fiskal ekspansif untuk
menggairahkan kembali perekonomian
nasional.
Salah satu bagian penting dari
pengeluaran pemerintaah semasa krisis
tersebut adalah program Jaringan
Pengaman Sosial (JPS) untuk membantu
kelompok masyarakat miskin, yang
sebagian besar didanai oleh Bank Dunia.
Pada saat krisis ekonomi global 2008-
2009, pemerintah juga membuat
pengeluaran tambahan, disebut stimulus
fiskal dengan tujuan untuk meningkatkan
permintaan dalam negeri agar penurunan
ekspor akibat krisis itu bisa dikompensasi
dengan pertumbuhan pasar domestik
sehingga pertumbuhan PDB tidak merosot
tajam. Hanya saja kali ini, total
pengeluaran pemerintah akibat kebijakan
tersebut tidak membuat rasio pengeluaran
pemerintah terhadap PDB meningkat.
Bahkan pada tahun 2009, rasionya lebih
rendah dibandingkan tahun 1999.
Gambar 6.4: Perkembangan Keseimbangan Primer, 2008-2014 (Rp triliun)
100
50
0
2008 2009 2010 2011 2012 2013 (APBN-P) 2014 (RAPBN)
-50
-100
-150
Tabel 6.3: Perkembangan Belanja Pemerintah Pusat, 2012-2014 (Rp triliun)
250
200
150
BBM
100
LISTRIK
50
0
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
APBN-P
Jumlah pengeluaran pemerintah pusat
untuk subsidi BBM cenderung
meningkat selain perbedaanya dengan
subsidi listrik juga cenderung
membesar disebabkan oleh jumlah
BBM yang setiap tahun terus
bertambah seiring dengan
penambahan jumlah penduduk dan
pertumbuhan kegiatan ekonomi seperti
dapat diamati digambar 6.6, volume
BBM yang paling besar nilai
subsidinya adalah premium yang
penambahannya cenderung semakin
pesat dari hanya sekitar 19,5 juta
kiloliter pada tahun 2008 menjadi
sedikit diatas 31 kiloliter, disusul
kemudian oleh solar dari 11,8 juta
kiloliter menjadi 16,7 juta kiloliter
untuk jangka waktu yang sama.
Gambar 6.6 : Penyaluran BBM Bersubsidi, 2008-2013 (juta kiloliter)
35
30
25
20
Premium
Solar
15
Minyak Tanah
10
0
2008 2009 2010 2011 2012 2013
Sedangkan penyaluran BBM bersubsidi untuk
minyak tanah cenderung terus berkurang dari 7,9
juta kiloliter pada tahun2008 menjadi 1,2
kiloliter pada tahun 2013. Bahkan sering kali
dalam pelaksanaan subsidi BBM, seperti yang
diperlihatkan di Gambar 6.7, volume realisasi
konsumsi BBM khususnya premium dan solar
lebih banyak daripada volume
kuotanya, terkecuali untuk tahun
2012,sedangkan volume realisasi konsumsinya
cenderung lebih sedikit dibandingkan volume
tiap tahunnya. Realisasi volume konsumsi BBM
bersubsidi melebihi kuota yang telah ditetapkan
dalam APBN tentu menambah beban
pengeluaran pemerintah, seperti juga sebuah
pernyataan berikut ini dikutip dari kompas
(Rabu, 13 Maret 2013, halaman 17): setiap
peningkatan kuota 1 juta kiloliter dari kuota
volume yang ditetapkan, anggaran belanja
subsidi untuk BBM akan bertambah Rp 4-5
triliun. Menurut harian kompas yang sama, rata-
rata kuota BBM bersubsisdi per hari mencapai
126.027,40 kiloliter.
Gambar 6.7 : Kuota dan Realisasi* Konsumsi BBM
Bersubsidi, 2010-2013 (juta kiloliter)
2013
2012
Solar
Minyak Tanah
Premium
2011
2010
0 5 10 15 20 25 30 35
Sedangkan subsidi non-energi meliputi
a) Subsidi pangan, yaitu penyediaan beras dengan harga
murah untuk rakyat miskin sebesar Rp 18,8 triliun
dengan sasaran 15,5 juta rumah tangga sasaran (RTS)
dengan 15 kg per RTS selama setahun
b) Subsidi pupuk, Rp 21,0 triliun dan subsidi benih Rp
1,6 triliun untuk membantu petani agar bisa tetap
mempu membeli pupuk dan demi ketahana pangan
c) Subsidi PSO, Rp 2,2 triliun untuk PSO peenumpang
kereta api, PSO penumpang angkatan laut kelas
ekonomi dan PSO informasi publik
d) Subsidi bunga kredit program, sebesar Rp 3,2 triliun
untuk mendukung perkembangan usaha mikro, kecil
dan menengah (UMKM), peningkatan ketahanan
pangan, dan program diversifikasi energi
e) Subsidi pajak, Rp 4,7 triliun untuk mendukung
kebijakan stabilisasi harga kebutuhan pokok dan
program pengembangan industri strategi (Kompas,
Rabu 11, Desember 2013, halaman 25). Tabel 6.5
memperlihatkan perkembangan semua subsidi, energi
dan non energi yang dikeluarkan oleh pemerintah
pusat selama periode 2011-2013.
Tabel 6.5 : Alokasi Subsidi pada APBN, 2011-2013
2012 2013
Jenis Pajak Realisasi Realisasi APBN-P Realisasi
(%)
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 28,97 1,65 27,34 6,02
PPh NonMigas 381,20 271,80 464,48 58,52
PPN/PPn dan PPN atas 337,41 230,06 423,71 54,30
PPnBM
44,54 52,61 104,73 50,2
Cukai
Pajak Lainnya 4,21 3,20 5,40 59,21
PPh Migas 83,45 49,64 74,28 66,83
Bea Masuk Produk Impor 13,68 14,43 30,81 44,1
Bea Keluar Produk Ekspor 10,91 6,93 17,61 39,3
Walaupun setiap tahun realisasi
penerimaan pajak tidak selalu sesuai
targetnya. namun realisasi jumlah
penerimaan pajak meningkat terus
setiap tahun dalam beberapa tahun
terakhir. Misalnya pada tahun 2009,
realisasi jumlah pemasukan dari pajak
tercata sebanyak Rp 619,92 triliun,
yang terdiri atas pajak dalam negeri
sebanyak Rp 601,25 triliun dan pajak
perdagangan internasional sebesar Rp
18,67 triliun. Pada tahun 2012,
realisasi jumlah pemasukan pajak
tercata mencapai angka Rp 1.019,33
triliun yang terdiri atas pajak dalam
negeri sebesar Rp 976,90 triliun dan
pajak dari kegiatan ekspor dan impor
sebanyak Rp 42,43 triliun. (Gambar
6.9)
Gambar 6.9 : Jumlah Penerimaan Pajak, 2009-2012 (Rp triliun)
1200
1000
800
600
400
200
0
2009 2010 2011 2012
Pajak dalam negeri Pajak perdagangan internasional Total Pajak
Satu indikator yang umum digunakan untuk
melihat apakah peningkatan pendapatan pajak
signifikan atau tidak adalah tren
perkembanagn rasio pendapatan pajak
terhadap pendapatn nasional atau PDB.
Walaupun secara nominal,pendapatan pajak
meningkat setiap tahun, namun presentasenya
terhadap PDB kecil atau bahkan
menurun, berarti penambahan pendapatan
pajak tersebut tidak optimal. Artinya, potensi
pendapatan pajak sangat besar di dalam
ekonomi yang belumterjangkau oleh
pemerintah. Gambar 6.10 menunujukan
perkembangan rasio pajak selama periode
2008-2014. Pada tahun 2009, rasio pajak
sempat anjlok ke 11,0 persen dari 13,3 persen
pada tahun sebelumnya. Namun, setelah itu
rasionya cenderung terus
meningkat.BerdasarkanAPBN 2014, target
anggaran pajak sekitar 12,3 persen dari PDB
tahun itu.
Gambar 6.10 : Perkembangan rasio pajak, 2006-2014 (%)
13,3
11,8 11,9 12,1 12,3
11 11,3
2012
2011
Pribadi
2010
Bendaharawan
Badan
2009
2008
Sektor Riil
Q0=QS=Y
M0=f(Y,r) I = f(r)
Sektor Moneter
MO=MS
Analisis Empiris
Arah kebijakan moneter Indonesia telah mengalami
beberapa kali perubahan dalam 20 tahun belakangan ini
mengikuti perubahan kondisi perekonomian didalam
negeri yang juga dipengaruhi oleh dinamika
perekonomian global. Pada awal tahun 1980, pada masa
era orde baru, sebelum dilakukan kebijakan deregulasi dan
liberalisasi sektor keuangan, kebijakan moneter lebih
diarahkan pada stabilitas harga dan nilai tukar rupiah.
Dalam periode 1983-1984, setelah berakhirnya krisis
minyak dunia ke dua kebijakan moneter di arahkan untuk
meletakkan landasan yang kokoh bagi perkembangan
perbankan nasional. Pada periode 1993-1994, kebijakan
moneter koontraktif scara bertahap dikendorkan pada saat
situasi ekonomi cenderung stabil, yang di tunjukkan oleh
pergerakan yang stabil dari dari variabel makro
kunci, seperti tingkat inflasi, suku bunga dan kurs rupiah.
Pada periode 1995-1997, kebijakan moneter yang
cenderung berhati hati diterapkan kembali ditengah
tekanan peningkatan permintaan agregat dan inflasi.
Suku Bunga
Menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan Potensi terbesar yang mengganggu
perkembangan harga (inflasi), merupakan stabilitas nilai tukar rupiah, dan oleh
salah satu tanggung jawab OM (BI). karena itu, yang harus diawasi oleh BI
Karena stabilitas nilai rupiah bersama adalah investasi asing jangka pendek
dengan stabilitas harga atau laju inflasi yang umum disebut hot money.
yang terkontrol merupakan dua prasyarat Pengalaman Indonesia dengan krisis
penting bagi pencapaian kelangsungan keuangan Asia 1997-1998 tela
pertumbuhan ekonomi dan stabilitas membuktikannya. Pada wajtu itu, modal
perekonomian nasional. Oleh karena asing jangka pendek (dalam dollar AS)
dapat dipahami jika pada saat nilai tukar meninggalkan Indonesia secara mendadak
rupiah jatuh pada masa krisis keuangan dan dalam jumlah yang besar.
Asia 1997-1998, BI menaikkan suku
bunganya yang begitu tinggi yang belum
pernah terjadi sebelumnya semata mata
untuk menahan laju kejatuhan nilai rupiah
saat itu. Memang, paling tidak menururt
teori, nilai rupiah yang melemah dapat
mendorong karena daya saing harga dari
produk Indonesia meningkat.
Tabel 6.10 Perkembangan Inflasi dan Nilai Tukar Rupiah, 2012-2014
Inflasi
Tahunan (%
yoy)
Rp/Dollar 9.870 9.718 9,925 11.580 12.170 12.210 11.609
AS
Tabel 6.10 memperlihatkan perkembangan inflasi, baik bulanan dan tahunan, dan nilai tukar rupiah
terhadap dolar AS untuk periode 2012 dan 2014. Selama ini, inflasi tahunan di Indonesia bisa
dipertahankan satu digit yang oleh OM dianggap aman, sedangkan tren perkembangan nilai tukar
rupiah menunjukkan kecenderungan melemah, dan ini dianggap lumrah melihat kenyataan bahwa
dalam beberapa tahun belakangan ini Indonesia cenderung lebih banyak impor daripada ekspor, yang
tentunya mendorong peningkatan permintaan dolar didalam rupiah.
Utang Luar Negeri
Penyebab
Utama: Suatu Analisis
Perspektif Empiris
Teori
Penyebab Utama: Suatu Perspektif Teori
Sejak Krisis ULN dunia pada awal 1980an masalah ULN yang
dialami oleh banyak NB tidak semakin baik. Banyak MB semakin terjerumus
ke dalam krisis ULN sampai negara negara pengutang besar terpaksa
melakukan program program penyesuaian struktural terhadap ekonomi
mereka atas desakan dari Bank Dunia dan IMF, sebagai syarat utama untuk
mendapatkan pinjaman baru atau pengurangan terhadap pinjaman lama
(tambunan, 2001) bahkan Indonesia sudah beberapa kali nyaris terjerumus ke
krisis ULN yang serius dejak era Orde Lama hingga krisis keuangan Asia
1997-1998. Pada saat krisis tersebut, Indonesia mendapat bantuan yang besar
dari IMF yang akhirnya bisa dilunasi setelah beberapa tahun kemudian.
Tingginya ULN dari banyak NB disebabkan terutama oleh 3 jenis
defisit : Defisit transaksi berjalan ( TB ) atau, tanpa melihat komponen
lainnya dari TB, Defisit neraca perdagangan ( dalam literatur umum
disebut Trade Gap ), yakni ekspor (X) lebih sedikit daripada Import (M),
Defisit investasi atau I-S gap, yakni dana yang dibutuhkan untuk membiayai
investasi didalam negeri lebiih besar didalam tabungan nasinonal atau
domestik (S), dan defisit fiskal (fiscal gap).
Analisis Empiris
Besarnya akumulasi ULN, terutama sangat terasa setelah krisis
ekonomi 1997-1998, memaksa pemerintah Indonesia mengatur secara
khusus atau mengubah paradigma soal penanganan PLN di dalam GBHN
Tahun 1999-2004, khususnya untuk ULN pemerintah. Sejak itu, kebijakan
fiskal yang menjadi andalan bagi penerimaan pemerinta ditekankan untuk
mengurangi ketergantungan pemerintah terhadap ULN.
Ketergantungan pemerntah terhadap ULN untuk membiayai defisit
anggarannya memang sagat berbahaya, seperti yang di ilustrasikan di
Gambar 6. 18, yaitu : ketergantungan terhadap ULN akan memperbesar
defisit APBN, dengan asumsi faktor faktor lain tetap tidak berubah, karena
pengeluaran untuk pembayaran pokok dan bunga pinjaman, yang
selanjutnya menambah ketergantungan pada ULN. Banyak negara miskin di
Afrika terjerat ULN persis karena masalah ini, yakni untuk membayar
cicilan dan bunga dari utang yang sedang berjalan, pemerintah pemerintah di
negara negara tersebut terpaksa membuat utang baru, karena tidak ada
sumber lainnya.
Gambar 6.18 Keterkaitan antara Defisit APBN dengan ULN
Defisit
APBN
GI ULN
Biaya
ULN
Selain di GBHN 1999-2004, amanat
pengurangan ketergantungan
pemerintah (APBN) terhadap ULN
juga dituangkan dalam Program
Pembangunan Nasional (PROPENAS)
2000-2004 (Undang Undang No. 25
Tahun 2000) mengenai program atau
pedoman secara rinci pengelolaan
utang pemerintah. Program ini
bertujuab untuk mewujudkan
kemandirian pembiayaan
pembangunan. Adapun sasarannya
adalah tercapainya penggunaan
pinjaman pemerintah, baik dalam
negeri maupun luar negeri, untuk
keperluan pembangunan secara optimal
dan menurunnya beban ULN.
Kegiatan yang dilakukan antara lain:
a) Mengurangi secara bertahap pembiayaan pembangunan dengan
memakai ULN, yang merupakan selisih antara pencairan pinjaman
baru dan pembayaran pokok utang.
b) Membenahi mekanisme dan prosedur pelaksanaan PLN, termasuk
perencanaan, proses seleksi, pemanfaatan dan pengwasannya.
c) Memanfaatkan pinjaman secara optimal sesuai dengan prioritas
pembangunan dan dilaksanankan secaratransparan, efektif dan
efisien.
d) Mengkaji secara menyeluruh kemempuan setiap proyek dan
mempertajam prioritaspengeluaran anggaran dengan memperkuat
pengawasan yang sistemati, utamanya bagi proyek-proyek yang
dibiayai dari ULN.
e) Meningkatkan kemampuan diplomasi dan negosiasi PLN untuk
memperoleh jangka waktu dan pola persyaratan yang memudahkan
proses pencairan dan meperingan beban pembayaran.
f) Melakukan restrukturisasi ULN, termasuk permohonan
pemotongan utang dan penjadwalan kembali ULN dengan para
donor secara transparan dan dikonsultasikan dengan DPR.
Gambar 6. 19 Perkembangan ULN Pemerintah dan Swasta, 2009-
2013 (miliar dolar AS)
160
140
120
100
80 Pemerintah
Swasta
60
40
20
0
2009 2010 2011 2012 2013
Sejak berakhirnya krisis keuangan
Asia 1997-1998, untuk membiayai
APBN pemerintah berusaha lebih
mengandalkan utang dari dalam negeri
lewat penerbitan surat utang. Hal ini
mengurangi beban pemerintah dalam
membayar cicialan dan
bunga, terutama terhindar dari risiko
perubahan nilai tukar rupiah.
Pengalaman selama krisis keuangan
Asia, beban pemerintah membayar
ULNnya sangat berat bukan karena
suku bunga pinjaman luar negeri
meningkata melainkan karena
depresiasi rupiah terhadap dolar AS