Anda di halaman 1dari 12

1.

Definisi
Dengue Haemoragic Fever (DHF) merupakan penyakit infeksi virus akut
yang disebabkan oleh virus dengue yang tergolong Arthropod-Borne virus,
genus flavivirus, famili flaviviridae. DHF ditularkan melalui gigitan nyamuk
aedes spp, aedes aegypti, dan aedes albopictus merupakan vektor utama
penyakit DHF. Penyakit DHF dapat muncul sepanjang tahun dan dapat
menyerang seluruh kelompok umur. Penyakit ini berkaitan dengan kondisi
lingkungan dan perilaku masyarakat (Handayani 2019). Demam berdarah DBD
disebut penyakit “break-bone” karena menyebabkan nyeri sendi dan otot di
mana tulang terasa retak. Demam berdarah ringan menyebabkan demam tinggi,
ruam, dan nyeri otot dan sendi (Rubandiyah & Nugroho 2018).
Virus dengue merupakan bagian dari flaviviridae dan dapat
diklasifikasikan dalam empat serotipe yaitu serotipe Dengue-1, Dengue-2,
Dengue-3 dan Dengue-4. Dari keempat serotipe tersebut yang paling sering
menyebabkan kasus berat dan menyebabkan kematian adalah serotipe Dengue-
3 (Rubandiyah & Nugroho 2018).
2. Tanda dan Gejala
Menurut Suwiyanto (2019) manifestasi klinis DHF pada anak sebagai berikut:
- Meningkatnys suhu tubuh di atas 37,5OC.
- Nyeri pada otot seluruh tubuh.
- Suara serak.
- Batuk.
- Epistaksis.
- Disuria.
- Nafsu makan menurun.
- Muntah.
- Ptekie.
- Ekimosis.
- Perdarahan gusi.
- Muntah darah.
Selain itu, diagnosis penyakit DHF dapat ditegakkan jika ditemukan tanda dan
gejala (Handayani 2019):
- Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-
menerus selama 2-7 hari.
- Manifestasi perdarahan:
 Uji turniket (Rumple leede) positif berarti fragilitas kapiler
meningkat. Dinyatakan positif apabila terdapat >10 petechie dalam
diameter 2,8 cm (1 inchi persegi) dilengan bawah bagian volar
termasuk fossa cubiti.
 Petekie, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, melena dan
hematemesis.
 Trombositopenia yaitu jumlah trombosit dibawah 150.000/mm3,
biasanya ditemukan antara hari ke 3-7 sakit.
 Monokonsentrasi yaitu meningkatnya hematocrit, merupakan
indicator yang peka terhadap jadinya renjatan sehingga perlu
dilaksanakan penekanan berulang secara periodic. Henaikan
hematocrit 20% menunjang diagnosis klinis DHF.
Terdapat empat tahapan derajat keparahan DBD, yaitu (Hastutik 2017):
- Derajat I ditandai dengan demam disertai gejala tidak khas dan uji
torniquet positif.
- Derajat II yaitu gejala pada derajat I ditambah perdarahan spontan di
kulit atau perdarahan lain.
- Derajat III ditandai adanya kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan
lemah serta penurunan tekanan nadi (<20 mmHg), hipotensi (sistolik
menurun sampai <80 mmHg), sianosis di sekitar mulut, akral dingin,
kulit lembab dan pasien tampak gelisah.
- Derajat IV terdapat Dengue Shock Sindrome (DSS) yang ditandai
dengan syok berat (profound shock) yaitu nadi tidak dapat diraba dan
tekanan darah tidak terukur.
3. Etiologi
Penyebab dengue hemorhagic fever (DHF) dinamakan virus dengue tipe
1, tipe 2, tipe 3, tipe 4. Vektor dari DHF adalah Aedes aegypti, Aedes
albopictus, Aedes aobae, Aedes cooki, Aedes hakanssoni, Aedes polynesis,
Aedes pseudoscutellaris, Aedes rotumae (Novaliana 2016).
4. Faktor Risiko DHF
Menurut Arinjani (2017) faktor yang mempengaruhi DHF sebagai berikut:
a. Faktor Lingkungan
 Lingkungan fisik yaitu seperti ketinggian tempat, curah hujan,
kelembaban, suhu, ruang gelap, pemasangan kawat kasa, ventilasi,
dan tempat penampungan air (TPA).
 Lingkungan biologi yang mempengaruhi penularan DBD terutama
adalah banyaknya tanaman hias dan tanaman pekarangan yang
mempengaruhi pencahayaan dan kelembaban didalam rumah
merupakan tempat yang disenangi oleh nyamuk untuk istirahat.
b. Faktor Perilaku
 Pengetahuan
Perilaku yang didasari oleh pengetahuan lebih langgeng daripada
perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan
seseorang mengenai praktek 3M yang terdiri dari praktek menguras
tempat penampungan air kurang dari seminggu sekali, praktek
menutup tempat penampungan air, dan praktek membuang atau
mengubur barangbarang bekas yang dapat menjadi tempat
penampungan air sehingga dapat mempengaruhi keadaan jentik
nyamuk Aedes aegypti.
 Sikap
Sikap seseorang adalah predisposisi (keadaan mudah dipengaruhi)
untuk memberikan tanggapan terhadap rangsangan lingkungan yang
dapat memulai atau membimbing tingkah laku orang tersebut, secara
definitif sikap berarti suatu keadaan jiwa dan keadaan pikiran yang
dipersiapkan untuk memberikan tanggapan terhadap suatu objek yang
diorganisasi melalui pengalaman serta mempengaruhi secara
langsung atau tidak langsung pada perilaku.
 Praktik
Praktek individu terhadap objek dipengaruhi oleh persepsi individu
tentang kegawatan ojek, kerentanan, faktor sosio psikologi, faktor
sosio demografi, pengaruh media masa, anjuran orang lain serta
perhitungan untung rugi dan prakteknya tersebut. Praktek dibentuk
oleh pengalaman. Interaksi individu dengan lingkungan, khususnya
yang menyangkut pengetahuan dan sikap terhadap suatu objek.
Praktik dalam pencegahan terhadap DHF seperti menguras tempat
penampungan air, mengubur barang-barang bekas, serta pemasangan
kawat kasa pada lubang ventilasi dan jendela.
5. Patofisiologi
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan untuk menegakkan diagnosa DHF sebagai berikut (Novaliana
2016):
a) Pemeriksaan Laboratorium
o Pemeriksaan Hemoglobin
Kasus DHF terjadi peningkatan kadar hemoglobin dikarenakan
kebocoran atau perembesan pembuluh darah sehingga cairan
plasmanya akan keluar dan menyebabkan hemokonsentrasi.
Kenaikan kadar hemoglobin >14 gr/100ml. Pemeriksaan kadar
hemoglobin dapat dilakukan dengan cara metode sahli maupun
fotoelektrik (sianmeth hemoglobin).
o Pemeriksaan Hematokrit
Peningkatan nilai hematokrit menggambarkan terjadinya
hemokonsentrasi, yang merupakan indikator terjadinya perbesaran
plasma. Nilai peningkatan ini lebih dari 20%. Pemeriksaan kadar
hematokrit dapat dilakukan dengan metode makro dan mikro.
o Pemeriksaan Trombosit
Pemeriksaan jumlah trombosit ini dilakukan pertama kali saat
pesien didiagnosa sebagai pasien DHF. Pemeriksaan trombosit
perlu dilakukan pengulangan sampai terbukti bahwa jumlah
trombosit tersebut tetap normal atau menurun. Penurunan jumlah
trombosit <100.000/μl. Umumnya terdapat trombositopenia pada
hari ke 3-8 akibat depresi sumsum tulang.
o Pemeriksaan Leukosit
Kasus DHF ditemukan jumlah bervariasi mulai dari lekositosis
ringan sampai lekopenia ringan. Mulai hari ke-3 ditemui
limfositosis relatif (>45% dari total lekosit) disertai adanya limfosit
plasma biru (LPB) >15% dari jumlah total lekosit yang pada fase
syok akan meningkat.
o Pemeriksaan Limfosit Plasma Biru
Limfosit Plasma Biru dijumpai >10 % setelah hari ketiga panas,
buffy coat di pemeriksaan darah hapus ditemukan limfosit atipik
atau limfosit plasma biru > 4% dengan berbagai bentuk:
monositoid, plasmositoid dan blastoid limfosit. Terdapat limfosit
Monositoid (Sel Downey I) mempunyai hubungan dengan DHF
derajat-II dan IgG positif dan limfosit non monositoid
(plasmositoid dan blastoid atau sel Downey II dan sel Downey III)
dengan derajat I dan IgM positif.
b) Uji Serologi
o Tes IgG IgM Dengue
Dalam kasus yang meragukan sangat ideal bila tersedia tes yang
dapat memberikan hasil yang akurat dan cepat. Dewasa ini telah
dipasarkan pemeriksaan yang dikatakan sederhana, cepat dan
sensitif yaitu tes Dengue baik untuk IgM ataupun untuk IgG. Hasil
positif IgG menandakan adanya infeksi sekunder dengue dan IgM
positif menandakan infeksi primer. Namun demikian dalam
penilaiannya harus hati-hati karena adanya negatif palsu dan positif
palsu untuk IgM maupun IgG terlebih di daerah endemis DBD,
karena kadar IgM terutama IgG masih tetap tinggi berbulan-bulan
setelah infeksi Dengue.
Kelemahan lain pada test ini adalah sensitifitas pada infeksi
sekunder lebih tinggi, tetapi pada infeksi primer lebih rendah, serta
harganya yang relatif mahal.
o NS1 (Non Struktural Antigen 1)
Antigen NS1 dapat dideteksi pada awal demam hari pertama
sampai hari kedelapan. Sensitifitas antigen NS1 berkisar 63-93,4%
dengan spesifisitas 100% sama tingginya dengan spesifisitas gold
standar kultur virus.
7. Komplikasi
Komplikasi akibat DHF sebagai berikut (Candra 2014):
a. Ensefalopati Dengue
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang
berkepanjangan dengan pendarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD
yang tidak disertai syok. Gangguan metabolik seperti hipoksemia,
hiponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi penyebab terjadinya
ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara, maka
kemungkinan dapat juga disebabkan oleh trombosis pembuluh darah otak,
sementara sebagai akibat dari koagulasi intravaskular yang menyeluruh.
Dilaporkan bahwa virus dengue dapat menembus sawar darah otak.
Dikatakan pula bahwa keadaan ensefalopati berhubungan dengan
kegagalan hati akut.
Ensefalopati cenderung terjadi edem otak dan alkalosis, maka bila syok
telah teratasi cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HC03-
dan jumlah cairan harus segera dikurangi. Larutan laktat ringer dektrosa
segera ditukar dengan larutan NaCl (0,9%) : glukosa (5%) = 1:3. Untuk
mengurangi udem otak diberikan dexametason 0,5 mg/kg BB/kali tiap 8
jam, tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna sebaiknya kortikosteroid
tidak diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka diberikan vitamin K
intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah diusahakan > 80 mg.
Mencegah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dengan
mengurangi jumlah cairan (bila perlu diberikan diuretik), koreksi asidosis
dan elektrolit.
Perawatan jalan nafas dengan pemberian oksigen yang adekuat. Untuk
mengurangi produksi amoniak dapat diberikan neomisin dan laktulosa.
Usahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya
antasid, anti muntah) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam
hati. Transfusi darah segar atau komponen dapat diberikan atas indikasi
yang tepat. Bila perlu dilakukan tranfusi tukar. Pada masa penyembuhan
dapat diberikan asam amino rantai pendek.
b. Kelainan Ginjal
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat
dari syok yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik
hemolitik walaupun jarang. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah
syok diobati dengan menggantikan volume intravaskular, penting
diperhatikan apakah benar syok telah teratasi dengan baik. Diuresis
merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan untuk
mengetahui apakah syok telah teratasi. Diuresis diusahakan > 1 ml / kg
berat badan/jam. Oleh karena bila syok belum teratasi dengan baik,
sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat terjadi syok berulang. Pada
keadaan syok berat sering kali dijumpai akute tubular necrosis, ditandai
penurunan jumlah urin dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin.
c. Edema Paru
Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat
pemberian cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga
sampai kelima sesuai panduan yang diberikan, biasanya tidak akan
menyebabkan udem paru oleh karena perembesan plasma masih terjadi.
Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskuler,
apabila cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi bila hanya melihat
penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit),
pasien akan mengalami distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak
mata, dan ditunjang dengan gambaran udem paru pada foto rontgen dada.
d. Dehidrasi
e. Pendarahan
f. Jumlah platelet yang rendah
g. Hipotensi
h. Bradikardi
i. Kerusakan hati
8. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan yang bisa diberikan kepada anak dengan DHF, menurut
Suwiyanto (2019) adalah:
a) Beri minum banyak (1 ½-2 liter/hari).
b) Obat anti piretik,untuk menurunkan panas,dapat juga dilakukan
kompres.
c) Jika kejang maka dapat diberi luminal (antikonvulsan) untuk anak < 1
tahun dosis 50 mg dan untuk anak > 1 tahun 75 mg. Jika 15 menit kejang
belum teratasi beri lagi luminal dengan dosis 3 mg/kg BB (anak < 1
tahun) dan 5 mg/kg BB (anak > 1 tahun).
d) Berikan infus jika terus muntah dan hematocrit meningkat.
e) Jika dengan infus tidak merespon maka berikan plasma expander (20-30
ml/kg BB).
f) Tranfusi jika HB dan HT turun.
Menurut World Health Organization (2009) dalam Novaliana (2016)
penatalaksanaan DHF pada anak yaitu :
a. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue tanpa syok
- Berikan anak banyak minum larutan oralit atau jus buah, air tajin, air
sirup, susu, untuk mengganti cairan yang hilang akibat kebocoran
plasma, demam, muntah/diare.
- Berikan parasetamol bila demam. Jangan berikan asetosal atau
ibuprofen karena obat-obatan ini dapat merangsang terjadinya
perdarahan.
- Berikan infus sesuai dengan dehidrasi sedang:
 Berikan hanya larutan isotonik seperti Ringer laktat/asetat
 Kebutuhan cairan parenteral
 Berat badan < 15 kg : 7 ml/kgBB/jam
 Berat badan 15-40 kg : 5 ml/kgBB/jam
 Berat badan > 40 kg : 3 ml/kgBB/jam
- Pantau tanda vital dan diuresis setiap jam, serta periksa laboratorium
(hematokrit, trombosit, leukosit dan hemoglobin) tiap 6 jam.
- Apabila terjadi penurunan hematokrit dan klinis membaik, turunkan
jumlah cairan secara bertahap sampai keadaan stabil.
- Cairan intravena biasanya hanya memerlukan waktu 24–48 jam
sejak kebocoran pembuluh kapiler spontan setelah pemberian cairan.
Apabila terjadi perburukan klinis berikan tatalaksana sesuai dengan
tata laksana syok terkompensasi (compensated shock).
b. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue dengan Syok
- Perlakukan hal ini sebagai gawat darurat.
- Berikan oksigen 2-4 L/menit secarra nasal.
- Berikan 20 ml/kg larutan kristaloid seperti Ringer laktat/asetat
secepatnya. Jika tidak menunjukkan perbaikan klinis, ulangi
pemberian kristaloid 20 ml/kgBB secepatnya (maksimal 30 menit)
atau pertimbangkan pemberian koloid 10-20ml/kgBB/jam maksimal
30 ml/kgBB/24 jam.
 Jika tidak ada perbaikan klinis tetapi hematokrit dan
hemoglobin menurun pertimbangkan terjadinya perdarahan
tersembunyi; berikan transfuse darah/komponen.
 Jika terdapat perbaikan klinis (pengisian kapiler dan perfusi
perifer mulai membaik, tekanan nadi melebar), jumlah cairan
dikurangi hingga 10 ml/kgBB/jam dalam 2-4 jam dan secara
bertahap diturunkan tiap 4-6 jam sesuai kondisi klinis dan
laboratorium. Dalam banyak kasus, cairan intravena dapat
dihentikan setelah 36-48 jam. Ingatlah banyak kematian terjadi
karena pemberian cairan yang terlalu banyak daripada
pemberian yang terlalu sedikit.
c. Tatalaksana komplikasi perdarahan
Jika terjadi perdarahan berat segera beri darah bila mungkin. Bila tidak,
beri koloid dan segera rujuk.
9. Diagnosa Keperawatan
10. Kriteria Hasil
11. Rencana Intervensi
DAFTAR PUSTAKA

Arinjani, M. (2017) Faktor Risiko Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di


Kelurahan Sendangguwo Kecamatan Tembalang Kota
Semarang. Undergraduate thesis, Universitas Muhammadiyah Semarang.
Candra, R. (2014). Asuhan Keperawatan pada Sdr. F dengan Dengue
Haemorrahgic Fever (DHF) di Bangsal Multazam RS PKU Muhammadiyah
Surakarta (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta).
Handayani, N. (2019) Gambaran Asuhan Keperawatan pada Pasien Dengue
Haemorraghic Fever (DHF) dengan Hipertermia di RSUD Sanjiwani
Gianyar Tahun 2019. Diploma thesis, Politeknik Kesehatan Kemenkes
Denpasar Jurusan Keperawatan.
Hastutik, M. (2017). Perbedaan Trombosit Sebelum dan Sesudah Transfusi Fresh
Frozen Plasma pada Penderita Demam Berdarah Dengue (Doctoral
dissertation, Universitas Muhammadiyah Semarang).
Novaliana, L. (2016). Asuhan Keperawatan pada An. P dengan Dengue Hemoragic
Fever (DHF) di Ruang Cempaka RSUD Dr. R. Goeteng Taroenadibrata
Purbalingga (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah
Purwokerto).
Rubandiyah, H. & Nugroho, E. (2018). Pembentukan Kader Jumantik Sebagai
Upaya Peningkatan Pengetahuan Siswa di Sekolah Dasar. HIGEIA (Journal
of Public Health Research and Development), 2(2), 216-226.
Suwiyanto, I. (2019). Gambaran Asuhan Keperawatan Pemberian Terapi Tepid
Sponge untuk Mengatasi Hipertermia pada Anak dengan DHF di Ruang
Cilinaya RSUD Mangusada Badung Tahun 2019 (Doctoral dissertation,
Politeknik Kesehatan Kemenkes Denpasar Jurusan Keperawatan).

Anda mungkin juga menyukai