Anda di halaman 1dari 28

Perdarahan Post Partum

2.1.1. Pengertian Perdarahan Post Partum

Definisi perdarahan post partum adalah perdarahan yang melebihi 500 ml setelah bayi lahir. Pada
praktisnya tidak perlu mengukur jumlah perdarahan sampai sebanyak itu sebab menghentikan
perdarahan lebih dini akan memberikan prognosis lebih baik. Pada umumnya bila terdapat perdarahan
yang lebih dari normal, apalagi telah menyebabkan perubahan tanda vital (seperti kesadaran menurun,
pucat, limbung, berkeringat dingin, sesak napas, serta tensi < 90 mmHg dan nadi > 100/menit), maka
penanganan harus segera dilakukan (Prawirohardjo, 2011).

Perdarahan postpartum sering didefenisikan secara berturut-turut sebagai kehilangan darah berlebihan
dari traktus genetalia dalam 24 jam setelah persalinan, sebanyak 500 ml atau lebih, atau sebanyak
apapun yang mengganggu kesejahtraan ibu (Widiarti, 2007).

Kondisi dalam persalinan menyebabkan kesulitan untuk menentukan jumlah perdarahan yang terjadi,
maka batasan jumlah perdarahan disebutkan sebagai perdarahan yang lebih dari normal dimana telah
menyebabkan perubahan tanda vital, antara lain pasien mengeluh lemah, limbung, berkeringat dingin,
menggigil, hiperpnea, tekanan darah sistolik <90 mmHg, denyut nadi> 100 x/menit, kadar Hb < 8 g/dL.

2.1.2. Jenis-Jenis Perdarahan Postpartum

Menurut pendapat (Varney, 2008).

Perdarahan post partum dibagi menjadi 2:

1. Perdarahan Post Partum Dini/Perdarahan Post Partum Primer (Early Postpartum Hemorrhage)

Perdarahan post partum dini adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama setelah kala III.
Penyebab utama perdarahan post partum primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta
dan robekan jalan lahir. Terbanyak dalam 2 jam pertama.

2. Perdarahan pada Masa Nifas I Perdarahan Post Partum Sekunder (Late Postpartum Hemorrhage)

Perdarahan post partum sekunder ialah perdarahan yang terjadi setelah anak lahir biasanya hari ke 5-15
post partum. Penyebab utamanya robekan jalan lahir dan sisa plasenta.

2.1.3. Klasifikasi perdarahan post partum

1. Perdarahan paska persalinan dini/ early HPP/ primary HPP adalah perdarahan berlebihan ( 600
ml atau lebih ) dari saluran genitalia yang terjadi dalam 12 - 24 jam pertama setelah melahirkan.

2. Perdarahan paska persalinan lambat / late HPP/ secondary HPP adalah perdarahan yang terjadi
antara hari kedua sampai enam minggu paska persalinan.
2.1.4. Penyebab Perdarahan Post Partum

1. Atonia Uteri

a. Definisi

Atonia uteri adalah keadaan lemahnya otnuys/kontraksi rahim yang menyebabkan uterus tidak mampu
menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir
(Prawirohardjo, 2011).

b. Tanda dan Gejala

1) Perdarahan pervaginam

2) Konsistensi lunak

3) Fundus uteri tinggi

4) Terdapat tanda-tanda syok.

c. Etiologi

1) Umur terlalu muda 25 tahun atau tim 35 tahun

2) Paritas

3) Partus lama yang menyebabkan inersia uteri karena kelelahan pada otot-otot uterus

4) Uterus terlalu regang dan besar, pada kondisi ini miometrium teregang dengan hebat sehingga
kontraksi setelah kelahiran bayi tidak menjadi efisien.

5) Kandung kemih yang penuh menghalangi kontraksi uterus.

6) Solusio placenta, bila terjadi solusio maka darah di dalam rongga uterus dapat meresap diantara
serat-serat otot uterus dan mengakibatkan kontraksi uterus menjadi tidak efektif.

7) Penatalaksanaan yang salah pada kala tiga

8) Placenta yang baru lepas sebagian, maka akan terjadi robekan pada sinus-sinus maternalis dan
plasenta yang masih melekat menghambat kontraksi dan relaksasi dan otot-otot uterus.

9) Persalinan yang terlalu cepat, bila uterus sudah berkontraksi terlalu kuat dan terus menerus maka
uterus akan kekurangan kemampuannya untuk berkontraksi (Saifudin, 2005).

d. Penatalaksanaanya
1) Pencegahan:

a) Melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua wanita yang bersalin karena hal ini
dapat menurunkan insidens perdarahan pascapersalinan akibat atonia uteri

b) Pemberian misoprostol peroral 2 – 3 tablet (800 – 1.000 mg) segera setelah bayi lahir (Prawirohardjo,
2011).

2) Penanganan:

a) Rangsangan taktil (pemijatan). Fundus uteri segera setelah lahirnya plasenta (maksimal 15 menit).

Pantau apakah uterus berkontraksi?

Jika Ya ® evaluasi rutin. Jika uterus berkontraksi tapi perdarahan terus berlangsung, periksa apakah
perineum, vagina dan serviks mengalami laserasi dan jahit atau rujuk segera.

Jika ® tidak lanjutkan langkah berikutnya.

a) Bersihkanlah bekuan darah dan/atau selaput ketuban dari vagina dan lubang serviks.

b) Pastikan bahwa kandung kemih telah kosong.

Jika penuh atau dapat dipalpasi, kateterisasi kandung kemih menggunakan teknik aseptik. Lakukan
kompresi bimanual internal (KB1) selama 5 menit dengan cara:

(1) Cuci tangan dengan sabun dan air bersih, lalu keringkan dengan handuk bersih.

(2) Gunakan sarung tangan yang steril DTT.

(3) Letakkan tangan kiri seperti di atas (menekan fundus uteri dan luar)

(4) Masukkan tangan kanan dengan hati-hati ke dalam vagina dan buat kepalan tinju.

(5) Kedua tangan didekatkan dan secara bersama-sama menekan uterus.

(6) Lakukan tindakan ini sampai diperoleh pertolongan lebih lanjut, bila diperlukan.

Prinsipnya adalah menekan uterus dengan cara manual agar terjadi hemostasis.

Pantau kembali apakah uterus herkoitr

JikaYa ®

a) Teruskan KB 1 selama 2 menit

b) Keluarkan tangan perlahan - lahan.

c) Pantau kala empat dengan ketat.


Jika Tidak ® lanjutkan langkah berikutnya

1) Anjurkan keluarga untuk mulai melakukan kompresi bimanual eksternal dengan cara:

a) Letakkan satu tangan pada abdomen di depan uterus, tepat di atas symphisis pubis.

b) Letakkan tangan yang lain pada dinding abdomen (dibelakang korpus uteri), usahakan memegang
bagian belakang uterus seluas mungkin).

c) Lakukan gerakan saling merapatkan kedua tangan untuk melakukan kompresi pembuluh darah di
dinding uterus dengan cara menekan uterus di antara kedua tangan tersebut. Ini akan membantu uterus
berkontraksi dan menekan pembuluh darah.

2) Keluarkan tangan perlahan - lahan.

3) Berikan ergometrin 0,2 mg IM (jangan diberikan jika hipertensi).

4) Pasang infus menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan berikan 500 ini Ringer Laktat +20 unit
oksitosin. Habiskan 500 ini pertama secepat mungkin.

5) Ulangi KB 1.

Pantau kembali apakah uterus berkontraksi?

Jika Ya ® pantau ibu dengan seksama selama kala empat persalinan.

Jika Tidak ® lanjutkan langkah berikutnya

a) Rujuk segera

b) Dampingi ibu ke tempat rujukan.

Lanjutkan infus Ringer Laktat + 20 unit oksitosin dalam 500 ini larutan dengan laju 500 mI/jam hingga
tiba di tempat rujukan atau hingga menghabiskan 1,5 1 infus. Kemudian berikan 125 mI/jam. Jika tidak
tersedia cairan yang cukup, berikan 500 ini kedua dengan perlahan dan berikan minuman untuk
rehidrasi (Prawirohardjo, 2007).

2. Robekan Jalan Lahir

a. Definisi

Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma. Pertolongan persalinan yang
semakin manipulatif dan traumatik akan memudahkan robekan jalan lahir dan karena itu dihindarkan
memimpin persalinan pada saat pembukaan serviks belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat
episiotomi, robekan spontan perineum, truama forseps atau vakum ekstraksi, atau karena versi ekstraksi
(Prawirohardio, 2011).

b. Tanda/Gejala
Gejala yang selalu ada yaitu perdarahan segera, darah segar mengalir segera setelah bayi lahir, kontraksi
uterus baik, keadaan plasenta baik (Wiknjosatro, 2006)

c. Etiologi

1) Episiotomi yang terlalu lebar

2) Robekan servik yang luas menimbulkan perdarahan dan dapat menjalar ke segmen bawah uterus.
Apabila terjadi perdarahan yang tidak berhenti, meskipun plasenta sudah lahir lengkap dan uterus sudah
berkontraksi dengan baik. perlu dipikirkan perlukaan jalan lahir, khususnya robekan servik uteri.

3) Perlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum tidak sering dijumpai. Mungkin
ditemukan setelah persalinan biasa, tetapi lebih sering terjadi sebagai akibat ekstraksi dengan cunam,
terlebih apabila kepala janin harus diputar. Robekan terdapat pada dinding lateral dan baru terlihat
pada pemeriksaan speculum.

4) Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada
persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengah dan bisa menjadi luas
apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa, kepala janin
melewati pintu panggul bawah dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkum ferensia
suboksipitobregmatika Laserasi pada traktus genitalia sebaiknya dicurigai, ketika terjadi perdarahan
yang berlangsung lama yang menyertai kontraksi uterus yang kuat (Prawirohardjo, 2007).

d. Penatalaksanaan

1) Pencegahan

a) Lakukan episotomi

b) Pemijitan perineum (perineum masage)

c) Posisi meneran yang benar.

2) Penanganan

a) Periksalah dengan seksama keadaan jalan lahir, dan periksa robekan pada serviks, vagina dan
perineum.

b) Tentukan tingkatan robekan jalan lahir yaitu:

(1) Robekan tingkat 1 yang mengenai mukosa vagina dan jaringan ikat, robekan ini dapat sembuh
sendiri tidak perlu di jahit.

(2) Robekan tingkat II yang mengenai mukosa vagina dan kulit perineum, lakukan heating dengan
jahitan pada mukos vagina secara jelujur menggunakan catgut chromic 2-0 selanjutnya dilakukan jahitan
otot perineum dan jahitan kulit.
(3) Robekan tingkat III dan IV yang mengenai rectum dan spingter ani, dilakukan jabitan pada spingter
ani mengunakan catgut chromic 3-0 atau 4-0 secara interuptus dengan 0,5 cm antara jahitan
(Prawirohardjo, 2007)

3. Retensio Placenta

a. Definisi

Retensio placenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir selama 30 menit setelah bayi lahir
(Prawirohardjo, 2007).

b. Tanda/Gejala

1) Gejala yang selalu ada: plasenta belum lahir setelah 30 menit, perdarahan segera, kontraksi uterus
baik.

2) Gejala yang kadang-kadang timbul: tali pusat putus akibat kontraksi berlebihan, inversi uteri akibat
tarikan, perdarahan lanjutan (Salemba, 2010).

c. Etiologi

1) Plasenta belum terlepas dan dinding rahim karena melekat dan tumbuh dalam. Menurut tingkat
perlekatannya:

2) Plasenta adhesiva : plasenta yang melekat pada desidua endometrium lebih dalam.

3) Plasenta inkreta : vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus desidua endometrium sampai
ke miometrium.

4) Plasenta akreta : vili khorialais tumbuh menembus miometrium sampai ke serosa.

5) Plasenta perkreta : vili khorialis tumbuh menembus serosa atau peritoneum dinding rahim.

6) Plasenta sudah terlepas dan dinding rahim namun belum keluar karena atonia uteri atau adanya
lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim yang akan menghalangi plasenta keluar (plasenta
inkarserata).

Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan tetapi bila sebagian plasenta sudah
lepas maka akan terjadi perdarahan. Ini merupakan indikasi untuk segera mengeluarkannya (WHO,
2003).

d. Penatalaksanaan

1) Pencegahan:
Upaya pencegahan retensio plasenta yaitu dengan cara mempercepat proses separasi dan kelahiran
plasenta dengan cara memberikan uterotonika segera setelah bayi lahir dan melakukan peregangan tali
pusat terkendali. Upaya ini juga disebut penatalaksanaan aktif kala III.

2) Penanganan

a) Jika placenta terlihat didalam vagina, mintalah ibu untuk mengedan. jika anda dapat merasakan
placenta dalam vagina, keluarkan placenta tersebut.

b) Pastikan kandung kemih kosong bila diperlukan lakukan kateterisasi.

c) Jika placenta belum keluar. Berikan oksitosin 10 U LM, jika belum dilakukan pada penanganan aktif
kala tiga, jangan berikan ergometrin karena dapat menyebabkan kontraksi uterus yang tonik yang bisa
memperlambat pengeluaran placenta.

d) Jika placenta belum lahir setelah 30 menit pemberian oksitosin dan uterus terasa berkontraksi,
lakukan peregangan tali pusat terkendali, hindari penarikan tali pusat dan penekanan nindus yang yang
terlalu kuat karena dapat menyebabkan inversi uterus.

e) Jika traksi tali pusat terkendali belum berhasil, cobaiah untuk melakukan pengeluaran placenta
secara manual dengan cara mengeluarkan plasenta secara manual yang merupakan tindakan darurat
untuk mengatasi perdarahan pasca persaiinan cian mencegah kematian ibu. Waktu sangat menentukan,
dan kebersihan mutlak perlu. Cuci tangan sebelum memulai tindakan.

f) Peralatan yang diperlukan adalah:

(1) Alat dan bahan untuk pemberian cairan intravena

(2) Kateter

(3) Analgesia atau anastesia

(4) Kocher

(5) Sarung tangan steril

(6) Desinfektan

(7) Partus set

g) Prosedur yang diiakukan adaiah:

(1) Berikan analgesia secara intramuskuler (misalnya pethidin 25 mg) dan sedatif (misalnya diazepam
10 mg i.m, fenobarbital 30 mg atau fènergan 50 mg melaiui karet infus) untuk menenangkan ibu. Jika
obat tersebut tidak tersedia, langsung lakukan pengeluaran plasenta secara manual. Ibu mungkin tidak
tenang dan tidak nyaman, tetapi tindakan ini dilakukan untuk menyelamatkan nyawanya.

Catatan : ibu sudah datang dalam keadaan perdarahan dan janin telah lahir.
(2) Pasang infus 5% Dextrose dalam cairan NaC1 0,9 % atau cairan infus apapun yang tersedia. Cairan
infus kan menggantikan sebagian cairan yang hilang akibat perdarahan. Hal ini dapat mencegah syok.

Catatan : ibu sudah datang dalam keadaan perdarahan dan janin telah lahir.

(3) Beritahu ibu tentang apa yang akan dilakukan. Baringkan ibu terlentang dengan kedua lututnya
ditekuk. Jika ia tidak dapat buang air kecil sendiri, pasang kateter dengan benar dan kosongkan kandung
kencingnya. Kandung kencing yang penuh dapat menahan lahirnya plasenta. Cabut kateter setelah
kandung kemih dikosongkan. Jika plasenta terlihat dalam vagina, mintalah ibu untuk mengedan sedikit.
Jika plasenta belum keluar dalam 15 menit, berikan oksitosin 10 unit I.M sekali lagi. Dan minta suami
untuk memilin-milin putting susu ibu dan meminta keluarga menyiapkan surat rujukan.

(4) Lakukan masase uterus agar berkontraksi. Jepit tali pusat dengan kocher kemudian tegangkan tali
pusat sejajar lantai. Jika plasenta belum dilahirkan setelah 30 menit cobalah untuk melakukan
pengeluaran plasenta secara manual.

(5) Cuci tangan dengan 6 langkah. Kenakan sarung tangan steril, waktu sangat menentukan, lanjutkan
prosedur.

(6) Bersihkan vulva dan perineum dengan cairan antiseptic kemudian jari tangan kiri membuka labia
minora.

(7) Kemudian masukkan tangan dengan posisi obstetrik (ibu ditekuk ke dalam telapak tangan dengan
punggung tangan ke bawah) ke dalam vagina. Telusuri tali pusat bagian bawah sampai ke plasenta. Jika
tangan sudah, dimasukkan ke dalam uterus, jangan mengeluarkannya sampai plasenta berhasil
dilepaskan dan dikeluarkan. Tangan tidak boleh keluar masuk dan uterus, karena hal ini dapat
memperbesar resiko infeksi.

(8) Setelah tangan mencapai pembukaan serviks, minta asisten untuk memegang kocher, kemudian
tangan lain penolong menahan fundus uteri. Hal ini akan mencegah uterus bergerak dan membantu
kontraksi uterus.

(9) Sambil menahan rundus uteri, masukkan tangan dalam ke kavum uteri sehingga mencapai tempat
implantasi plasenta.

Melepas Plasenta Dari Dinding Uterus

a) Buka tangan obstetric menjadi seperti memberi salam (ibu jari merapat ke pangkai jari telunjuk.
Jaringan terasa seperti spons (bahan busa) yang terlepas ketika plasenta terpisah dan uterus. Tentukan
implantasi plasenta, temukan tepi plasenta yang paling bawah.

b) Bila berada di belakang, tali pusat tetap di sebelah atas. Bila di bagian depan, pindahkan tangan ke
bagian depan tali pusat dengan punggung tangan menghadap ke atas.
c) Bila plasenta di bagian belakang, lepaskan plasenta dari tempat implantasinya dengan jalan
menyelipkan ujung jari di antara plasenta dan dinding uterus, dengan punggung tangan menghadap ke
dinding dalam uterus.

d) Bila plasenta di bagian depan, lakukan hal yang sama (punggung tangan pada dinding kavurn uteri)
tetapi tali pusat berada di bawah telapak tangan kanan.

e) Kemudian gerakkan tangan kanan ke kiri dan kanan sambil bergeser ke kranial sehingga semua
permukaan maternal plasenta dapat dilepaskan.

Catatan: Sambil melakukan tindakan, perhatikan keadaan ibu (pasien), lakukan penanganan yang sesuai
bila terjadi penyulit.

Mengeluarkan Plasenta

a) Sementara satu tangan masih di dalam kavum uteri, lakukan eksplorasi ulangan untuk memastikan
tidak ada bagian plasenta yang masih melekat pada dinding uterus.

b) Pindahkan tangan luar ke supra sinifisis untuk menahan uterus pada saat plasenta dikeluarkan.

c) Instruksikan asisten yang memegang kocher untuk menarik tali pusat sambil tangan dalam menarik
plasenta keluar (hindari percikan darah).

d) Keluarkan plasenta dengan hati-hati pada saat uterus berkontraksi. Jangan hanya menarik sebagian
plasenta karena plasenta dapat robek. Selaput ditarik keluar secara perlahan dan hati-hati, dengan cara
yang sama seperti mengeluarkan plasenta. Ingat, selaput sekecil apapun yang tertinggal di dalam uterus
dapat menyebabkan perdarahan pasca persalinan dan/atau inteksi.

e) Letakkan plasenta ke dalam tempat yang telah disediakan.

f) Lakukan sedikit pendorongan uterus (dengan tangan luar) ke dorsokranial setelah plasenta lahir.

g) Perhatikan kontraksi uterus dan jumlah perdarahan yang keluar tidak lebih dari 500 cc

h) Dekontaminasi pasca tindakan, cuci tangan pasca tindakan.

Perawatan Pascatindakan

a) Periksa kembali tanda vital pasien, segera lakukan tindakan dan instruksi apabila masih diperlukan.

b) Catat kondisi pasiendan buat laporan tindakan di dalam kolom yang tersedia.

c) Buat instruksi pengobatan lanjutan dan hal-hal penting untuk dipantau.

d) Beritahukan kepada pasien dan keluarganya bahwa tindakan telah selesai tetapi pasien masih
memerlukan perawatan.
e) Jelaskan pada petugas tentang perawatan apa yang masih diperlukan, lama perawatan dan apa
yang perlu dilaporkan (Anggraini, 2010).

4. Rest Placenta

a. Definisi

Adalah tertinggalnya sisa-sisa plasenta atau sebagian selaput mengandung pembuluh darah
(Prawirohardio, 2011).

b. Tanda dan gejala

1) Gejala yang selalu ada yaitu plasenta atau sebagian selaput (mengandung pembuluh darah) tidak
lengkap dan perdarahan segera

2) Gejala yang kadang-kadang timbul yaitu uterus berkontraksi baik tetapi tinggi fundus tidak
berkurang (WHO, 2003).

c. Etiologi

1) Kesalahan penatalaksanaan kala tiga

2) Potongan-potongan placenta yang ketinggalan tanpa diketahui

3) Jaringan yang melekat dengan kuat

d. Penatalaksanaan

1) Pencegahan

Penemuan secara dini, hanya dimungkinkan dengan melakukan pemeriksaan kelengkapan plasenta
setelah dilahirkan. Pada kasus sisa plasenta dengan perdarahan pasca persalinan lanjut, sebagian besar
pasien-pasien akan kembali lagi ke tempat bersalin dengan keluhan perdarahan setelah 6-10 hari pulang
ke rumah dan sub-involusi uterus.

2) Penanganan

a) Berikan antibiotika karena perdarahan juga merupakan gejala metritis. Antibiotika yang dipilih
adalah ampisilin dengan dosis awal 1 G intravena dilanjutkan dengan 3 x 1 G oral dikombinasi dengan
metronidazole 1 G supositoria dilanjutkan 3 x 500 mg oral.

b) Dengan dipayungi antibiotika tersebut, lakukan eksplorasi digital (bila serviks terbuka) dan
mengeluarkan bekuan darah atau jaringan. Bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrumen, lakukan
evakuasi sisa plasenta dengan AVM atau D&K.
c) Bila kadar Hb < 8 gr% berikan tranfusi darah. Bila kadar HB ³ 8 gr %, berikan Sulfas Ferosus 600
mg/hari selama 10 hari.

5. Robekan Servik

a. Konsep Dasar

Persalinan selalu mengakibatkan robekan serviks, sehingga serviks seorang multipara berbeda dengan
yang belum pernah melahirkan pervaginam. Robekan serviks yang luas menimbulkan perdarahan dan
dapat menjalar ke segmen bawah uterus. Apabila terjadi rahan yang tidak berhenti walaupun plasenta
sudah lahir lengkap dan uterus berkontraksi baik, perlu dipikirkan adanya perlukan jalan lahir khususnya
robekan serviks uteri. Dalam keadaan ini serviks harus diperiksa dengan spekulum. Pemeriksaan juga
harus dilakukan secara rutin setelah tindakan obstetrik yang sulit (Sumarah, 2009).

Perdarahan pasca persalinan pada uterus yang berkontraksi baik harus memaksa kita untuk memeriks
aserviks uteri dengan pemeriksaan spekulum sebagai profilaksis sebaiknya semua persalinan buatan
yang sulit menjadi indikasi untuk pemeriksaan spekulum (obstetric patologi Unpad, edisi 2, 2005).

b. Diagnosa

Jika perdarahan post partum pada uterus yang berkontraksi baik harus idlakukan pemeriksaan serviks
secara inspekulo. Sebagai profilaksis sebaiknya semua pesalinan buatan yang sulit menjadi indikasi
untuk pemeriksaan inspekulo.

c. Etiologi

Etiologi robekan serviks yaitu : partus presipitatus, trauma karena pemakaian alat seperti cunam, vakum
ekstraktor, melahirkan kepala janin dengan letak sungsang secara paksa padahal pembukaan serviks
uteri belum lengkap, partus lama dimana telah terjadi serviks edem sehingga jaringan serviks sudha
menjadi rapuh dan mudah robek.

d. Pencegahan

Tindakan : siapkan pasiend alam posisi lithotomic, bila penderita tidak dapat berkemih, lakukan
kateterisasi; cabut kateter setelah kandung kemih dikosongkan; masukkan kateter di tempat yang
tersedia (dekontaminasi); pasang bilah spekulum bawah secara vertikal, kemudian putar gagang
speculum ke bawah; pasang speculum atas, atur sedemikian rupa sehingga dinding vagina dan porsio
tampak dengan jelas.

e. Penanganan

1) Ambil kedua klem yang menandai tempat robekan

2) Perbaiki posisi klem kiri dan kanan (di antara tempat robekan) dengan memindahkan masing-
masing klem ke lateral kiri dan kanan (dengan jarak 2,5 cm dari tepi robekan kiri dan kanan).
3) Upayakan agar cakupan jepitan klem dapat mencapai garis yang malaluyi titik paling ujung dari
robekan.

4) Bila pasien mengeluhkan adanya rasa nyeri yang disebabkan oleh penjepitan atau pasien tidak
kooperatif (gelisah), instruksikan asisten untuk menyuntikkan sedatif dan analgetika

5) Bila ujung robekan dapat dicapai, teruskan jarum dimulai dari 1 cm di atas luka, ikat dengan jahitan
angka delapan.

6) Operator sebagai patokan arah: mulai penjahitan dari bagian paling distal terhadap operator,
tusukkan jarum pada bagian luar karena porsio tembuskan ke dalam dan silangkan ke dalam kiri,
tembuskan ke kiri luar distal, menyeberangi garis robekan ke luar kanan distal menembus dalam kanan
distal, silangkah ke kiri dalam proksimal kemudian menembus ke kiri luar proksimal, buat simpul kunci
dan jepit sisa benar sebagai panduan jahitan berikut : lanjutkan penjahitan dengan cara yang sama
hingga ke ujung luar robekan hingga seluruh robekan porsio terjahit dengan baik dan perdarahan dapat
diatasi.

f. Perawatan pasca tindakan

1) Periksa kembali tanda vital pasien, segera lakukan tindakan dan buat instruksi, apabila diperlukan

2) Catat kondisi pasien pasca tindakan dan buat laporan tindakan di dalam kolom yang tersedia pada
status penderita

3) Buat instruksi pengobatan lanjutan, pemantauankondisi pasien dan kondisi yang harus segera
dilaporkan.

6. Robekan Uteri (Ruptur Uteri)

a. Konsep Dasar

Faktor predisposisi yang menyebabkan ruptur uteri yaitu multiparitas hal ini disebabkan karena dinding
perut yang lembek dengan kedudukan uterus dalam posisi antefleksi sehingga terjadi kelainan letak dan
posisi janin, janin sering lebih besar, sehingga dapat menimbulkan CPD, pemakaian oksitosin untuk
induksi persalinan yang tidak tepat, kelainan letak dan implantasi plasenta umpamnya pada plasenta
akreta, plasenta inkreta atau perkreta, kelainan bentuk uterus, hidramnion.

b. Jenis

Jenis ruptur uteri yaitu meliputi:

1) Ruptur uteri spontan ; terjadi pada keadaan dimana terdapat rintangan pada waktu persalinan
yaitu pada kelainanletak dan persentasi janin, panggul sempit, kelainan panggul, tumor jalan lahir.

2) Ruptur uteri traumatik; terjadi karena ada dorongan pada uterus misalnya fundus akibat
melahirkan anak pervaginam seperti ekstraksi, p enggunaan cunam, manual plasenta.
3) Ruptur uteri jaringan parut; terjadi karena bekas operasi sebelumnya pada uterus seperti bekas SC.

4) Pembagian jenis menurut anatomik: ruptur uteri komplit : dimana dinding uterus robek, lapisan
serosa (peritoneum) robek sehinga janind apat berada dalam rongga perut dan ruptur uteri inkomplit:
dinding uterus robek sedangkan lapisan serosa tetap utuh.

c. Gejala

His kuat dan terus-menerus, rasa nyeri perut yang hebat di perut bagian bawah, nyeri waktu ditekan,
gelisah atau ketakutan, nadi dan pernafasan cepat, cincin cvan Bandl meninggi. Setelah terjadi ruptur
uteri dijumpai gejala syok (akral dan ekstremitas dingin, nadi melemah, kadang hilang kesadaran),
perdarahan (bisa keluar dari vagina atau dalam rongga perut), pucat, nadi cepat dan halus, pernafasan
cepat dan dangkal, tekanan darah turun. Pada palpasi sering bagian bawah janin teraba langsung
dibawah dinding perut, ada nyeri tekan, dan dibagianbawah teraba uterus kira-kira sebesar kepala bayi.
Umumnya janin sudah meninggal.

d. Penanganan

Penanganan pad aruptur uteri yaitu :

1) Melakukan laparotomi. Sebelumnya penderita diberi transfuse darah sekurang-kurangnya infus RL


untuk mencegah syok hipovolemik.

2) Umumnya histerektomi dilakukan setelah janin yang berada di dalam rognga perut dikeluarkan,
penjahitan luka robekan hanya dilakukan pada kasus-kasus khusus, dimana pinggir robekan masih
segera dan rata serta tidak terlihat adanya tanda-tanda infeksi dan tidak terdapat jaringan yang rapuh
dan nekrosis.

7. Inversio Uteri

a. Definis

Suatu keadaan dimana fundus uteri mausk ke dalam kavum uteri, dapat secara mendadak atau terjadi
perlahan, selain dari pada itu pertolongan pesalinan yang makin banyak dilakukan tenaga terlatih maka
kejadian inversio uteripun makin berkurang.

b. Diagnosa untuk menentukan keadaan inversio uteri

Untuk menegakan diagnosa, maka periksa fundus dan hasilnya adalah fundus uteri menghilang dari
abdomen; pemeriksaan dalam; fundis uteri di dalam lingkungan/ruangan rahim dapat dengan atau
tanpa plasenta, disertai rahim.

c. Penanganan (dilakukan oleh dokter)

1) Jika ibu kesakitan, berikan petidin 1 mg/kg BB (tetapi jangan lebihd ari 100 mg) I.M. atau I.V secara
perlahan atau berikan Morfin 0.1 mg/kg Bb I.M.
2) Catatan jangan diberikan oksitosi sampai inversi telah direposisi

3) Jika perdarahan berlanjut, l akukan uji pembekuan darah dengan cara sederhana

4) Berikan antibiotik profilaksis dosis tunggal setelah mereposisi uterus misal : ampisilin 2g I.V
ditambah metronidazol 500 mg I.V. atau sefazolin 1 gr I.V ditambah metronidazol 500 mg I.V.

5) Jika terdapat tanda-tanda infeksi berikan antibiotik untuk metritis

6) Jika dicurigai terjadi nekrosis, lakukan histerektomi vaginal. Hal ini mungkin membutuhkan rujukan
ke pusat pelayanan kesehatan primer.

7) Cara melakukan reposisi inversio uteri: pasang infus, masukkan tangan ke vagina, fundus didorong
ke atas berikan uterotonika, lakukan plasenta manual.

8. Pembekuan Darah

a. Definisi

Adalah kegagalan terbentuknya pembekuan setelah 7 menit atau adanya bekuan lunak yang dapat
pecah dengan mudah (Anggraini, 2010).

b. Tanda dan gejala

1) Perdarahan tidak berhenti setelah placenta lahir, dan perdarahar terjadi secara terus menerus
padahal tidak terdapat robekan jalan lahir dan tidak ada sisa placenta, serta bekuan lunak darah cepat
pecah dengan mudah.

2) Perdarahan hebat dengan atau tanpa komplikasi trombosis sampai keadaan klinis yang stabil dan
hanya terdeteksi oleh tes laboratorium (Prawirohardjo, 2007).

c. Etiologi

Sering disebabkan oleh:

1) Solusio placenta

2) Kematian janin dalam uterus

3) Eklampsia

4) Emboli air ketuban

5) Penyakit darah

6) Kelainan pembekuan darah

7) Afibrinogenemia/hipofibrinogenemia (Prawirohardjo, 2007)


d. Penatalaksanaan

1) Pencegahan

a) Perbaiki keadaan umum ibu jangan sampai anemia.

b) Pemberian vitamin K.

2) Penanganan

a) Bila dicurigai adanya koagulapati maka tangani kemungkinan penyebab kegagalan pembekuan ini.

b) Gunakan produk darah untuk mengontrol perdarahan:

(1) Berikan darah lengkap segar, jika tersedia untuk menggantikan faktor pembekuan dan sel darah
merah.

(2) Jika darah lengkap segar tidak tersedia, sediakan Plasma beku segar untuk menggantikan faktor
pembekuan (15 ml/kg BB) atau sel darah merah packed (yang tersedimentasi) untuk penggantian sel
darah merah. Kriopresipitat untuk menggantikan fibrinogen dan konsentrasi trombosit (jika perdarahan
berlanjut dan trombosit dibawah 20.000) (Prawirohardjo, 2007).

9. Manual Plasenta

a. Pengertian

Manual plasenta adalah prosedur pelepasan plasenta dari tempat implantasinya pada dinding uterus
dan mengeluarkannya dari kavum uteri secara manual yaitu dengan melakukan tindakan invasi dan
manipulasi tangan penolong persalinan yang dimasukkan langsung kedalam kavum uteri. Pada
umumnya ditunggu sampai 30 menit dalam lahirnya plasenta secara spontan atau dengan tekanan
ringan pada fundus uteri yang berkontraksi. Bila setelah 30 mnenit plasenta belum lepas sehingga belum
dapat dilahirkan atau jika dalam waktu menunggu terjadi perdarahan yang banyak, pasenta sebaiknya
dikeluarkan dengan segera.

Manual plasenta merupakan tindakan operasi kebidanan untuk melahirkan retensio plasenta. Teknik
operasi plasenta manual tidaklah sukar, tetapi harus diperkirakan bagaimana persiapkan agar tindakan
tersebut dapat menyelamatkan jiwa penderita.

b. Etiologi

Indikasi pelepasan plasenta secara manual adalah pada keadaan perdarahan pada kala tiga persalinan
kurang lebih 400 cc yang tidak dapat dihentikan dengan uterotonika dan masase, retensio plasenta
setelah 30 menit anak lahir, setelah persalinan buatan yang sulit seperti forsep tinggi, versi ekstraksi,
perforasi, dan dibutuhkan untuk eksplorasi jalan lahir dan tali pusat putus.
Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau melebihi waktu 30
menit setelah bayi lahir. Hampir sebagian besar gangguan pelepasan plasenta disebabkan oeh gangguan
kontraksi uterus.

Manual plasenta dilakukan karena indikasi retensio plasenta yang berkaitan dengan :

1) Plasenta belum lepas dari dinding uterus dikarenakan:

a) Plasenta adhesive yaitu kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta

b) Plasenta akreta yaitu implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki sebagian lapisan
miometrium

c) Plasenta inkreta, yaitu implantasi jonjot korion placenta hingga mencapai/memasuki miometrium

d) Plasenta perkreta, yaitu implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan otot hingga
mencapai lapisan serosa dinding uterus.

e) Plasenta inkarserata, yaitu tertahannya plasenta didalam kavum uteri yang disebabkan oleh
konstriksi ostium uteri.

2) Plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan dan dapat terjadi perdarahan yang merupakan
indikasi untuk mengeluarkannya

3) Mengganggu kontraksi otot rahim dan menimbulkan perdarahan.

4) Retensio plasenta tanpa perdarahan dapat diperkirakan

a) Darah penderita terlalu banyak hilang,

b) Keseimbangan baru berbentuk bekuan darah, sehingga perdarahan tidak terjadi,

c) Kemungkinan implantasi plasenta terlalu dalam.

c. Patofisiologi

Manual plasenta dapat segera dilakukan apabila :

1) Terdapat riwayat perdarahan postpartum berulang.

2) Terjadi perdarahan postpartum melebihi 400 cc

3) Pada pertolongan persalinan dengan narkosa.

4) Plasenta belum lahir setelah menunggu selama setengah jam.

Manual plasenta dalam keadaan darurat dengan indikasi perdarahan di atas 400 cc dan teriadi retensio
plasenta (setelah menunggu ½ jam). Seandainya masih terdapat kesempatan penderita retensio
plasenta dapat dikirim ke puskesmas atau rumah sakit sehingga mendapat pertolongan yang adekuat.
Dalam melakukan rujukan penderita dilakukan persiapan dengan memasang infuse dan memberikan
cairan dan dalam persalinan diikuti oleh tenaga yang dapat memberikan pertolongan darurat.

d. Tanda dan Gejala Manual Plasenta

1) Anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal, meminta informasi mengenai episode
perdarahan postpartum sebelumnya, paritas, serta riwayat multipel fetus dan polihidramnion. Serta
riwayat pospartum sekarang dimana plasenta tidak lepas secara spontan atau timbul perdarahan aktif
setelah bayi dilahirkan.

2) Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam kanalis servikalis tetapi secara
parsial atau lengkap menempel di dalam uterus.

3) Perdarahan yang lama > 400 cc setelah bayi lahir.

4) Placenta tidak segera lahir > 30 menit.

2.1.5. Faktor Predisposisi

Beberapa kondisi selama hamil dan bersalin dapat merupakan faktor predisposisi terjadinya perdarahan
paska persalinan, keadaan tersebut ditambah lagi dengan tidak maksimalnya kondisi kesehatannya dan
nutrisi ibu selama hamil. Oleh karena itu faktor-faktor haruslah diketahui sejak awal dan diantisipasi
pada waktu persalinan :

1. Trauma persalinan

Setiap tindakan yang akan dilakukan selama proses persalianan harus diikuti dengan pemeriksaan jalan
lahir agar diketahui adanya robekan pada jalan lahir dan segera dilakukan penjahitan dengan benar.

2. Atonia Uterus

Pada kasus yang diduga berisiko tinggi terjadinya atonia uteri harus diantisipasi dengan pemasangan
infus. Demikian juga harus disiapkan

obat uterotonika serta pertolongan persalinan kala III dengan baik dan benar.

3. Jumlah darah sedikit

Keadaan ini perlu dipertimbangkan pada kasus keadaan itu jelek, hipertensi saat hamil, pre eklampsia
dan eklamsi.

4. Kelainan pembekuan darah

Meskipun jarang tetapi bila terjadi sering berakibat fatal, sehingga perlu diantisipasi dengan hati-hati
dan seksama.
2.1.6. Patofisiologi

Pada dasarnya perdarahan terjadi karena pembuluh darah didalam uterus masih terbuka. Pelepasan
plasenta memutuskan pembuluh darah dalam stratum spongiosum sehingga sinus-sinus maternalis
ditempat insersinya plasenta terbuka.

Pada waktu uterus berkontraksi, pembuluh darah yang terbuka tersebut akan menutup, kemudian
pembuluh darah tersumbat oleh bekuan darah sehingga perdarahan akan terhenti. Adanya gangguan
retraksi dan kontraksi otot uterus, akan menghambat penutupan pembuluh darah dan menyebabkan
perdarahan yang banyak. Keadaan demikian menjadi faktor utama penyebab perdarahan paska
persalinan. Perlukaan yang luas akan menambah perdarahan seperti robekan servix, vagina dan
perinium.

2.1.7. Manifestasi Klinis

Untuk memperkirakan kemungkinan penyebab perdarahan paska persalinan sehingga pengelolaannya


tepat, perlu dibenahi gejala dan tanda sebagai berikut :

Gejala dan tanda

Penyulit

Diagnosa penyebab

· Uterus tidak berkontraksi dan lembek

· Perdarahan segera setelah bayi lahir

· Syok

· Bekuan darah pada serviks atau pada posisi terlentang akan menghambat aliran darah keluar

· Atonia uteri

· Darah segar mengalir segera setelah anak lahir

· Uterus berkontraksi dan keras

· Plasenta lengkap

· Pucat

· Lemah

· Mengigil
· Robekan jalan lahir

· Plasenta belum lahir setelah 30 menit

· Perdarahan segera, uterus berkontraksi dan keras

· Tali pusat putus

· Inversio uteri

· Perdarahan lanjutan

· Retensio plasenta

· Plasenta atau sebagian selaput tidak lengkap

· Perdarahan segera

· Uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus uteri tidak berkurang

· Tertinggalnya sebagian plasenta

· Uterus tidak teraba

· Lumen vagina terisi massa

· Neurogenik syok, pucat dan limbung

· Inversio uteri

2.1.8. Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan umum

a. Ketahui secara pasti kondisi ibu bersalin sejak awal

b. Pimpin persalinan dengan mengacu pada persalinan bersih dan aman

c. Selalu siapkan keperluan tindakan gawat darurat

d. Segera lakukan penilaian klinik dan upaya pertolongan apabila dihadapkan dengan masalah dan
komplikasi

e. Atasi syok jika terjadi syok

f. Pastikan kontraksi berlangsung baik ( keluarkan bekuan darah, lakukan pijatan uterus, beri
uterotonika 10 IV dilanjutkan infus 20 ml dalam 500 cc NS/RL dengan tetesan 40 tetes/menit ).

g. Pastikan plasenta telah lahir lengkap dan eksplorasi kemungkinan robekan jalan lahir
h. Bila perdarahan tidak berlangsung, lakukan uji bekuan darah.

i. Pasang kateter tetap dan pantau cairan keluar masuk

j. Lakukan observasi ketat pada 2 jam pertama paska persalinan dan lanjutkan pemantauan
terjadwal hingga 4 jam berikutnya.

2. Penatalaksanaan khusus

a. Atonia uteri

v Kenali dan tegakan kerja atonia uteri

v Sambil melakukan pemasangan infus dan pemberian uterotonika, lakukan pengurutan uterus

v Pastikan plasenta lahir lengkap dan tidak ada laserasi jalan lahir

v Lakukan tindakan spesifik yang diperlukan :

v Kompresi bimanual eksternal yaitu menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan saling
mendekatkan kedua belah telapak tangan yang melingkupi uteus. Bila perdarahan berkurang kompresi
diteruskan, pertahankan hingga uterus dapat kembali berkontraksi atau dibawa ke fasilitas kesehata
rujukan.

v Kompresi bimanual internal yaitu uterus ditekan diantara telapak tangan pada dinding abdomen dan
tinju tangan dalam vagina untuk menjempit pembuluh darah didalam miometrium.

v Kompresi aorta abdominalis yaitu raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri, pertahankan
posisi tersebut genggam tangan kanan kemudian tekankan pada daerah umbilikus, tegak lurus dengan
sumbu badan, hingga mencapai kolumna vertebralis, penekanan yang tepat akan menghetikan atau
mengurangi, denyut arteri femoralis.

b. Retensio plasenta dengan separasi parsial

v Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan yang akan diambil.

v Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengejan, bila ekspulsi tidak terjadi cobakan traksi
terkontrol tali pusat.

v Pasang infus oksitosin 20 unit/500 cc NS atau RL dengan tetesan 40/menit, bila perlu kombinasikan
dengan misoprostol 400mg per rektal.

v Bila traksi terkontrol gagal melahirkan plasenta, lakukan manual plasenta secara hati-hati dan halus.

v Restorasi cairan untuk mengatasi hipovolemia.

v Lakukan transfusi darah bila diperlukan.


v Berikan antibiotik profilaksis ( ampicilin 2 gr IV/oral + metronidazole 1 g supp/oral ).

c. Plasenta inkaserata

v Tentukan diagnosis kerja

v Siapkan peralatan dan bahan untuk menghilangkan kontriksi serviks yang kuat, tetapi siapkan infus
fluothane atau eter untuk menghilangkan kontriksi serviks yang kuat, tetapi siapkan infus oksitosin 20
Untuk500 NS atau RL untuk mengantisipasi gangguan kontraksi uterus yang mungkin timbul.

v Bila bahan anestesi tidak tersedia, lakukan manuver sekrup untuk melahirkan plasenta.

v Pasang spekulum Sims sehingga ostium dan sebagian plasenta tampak jelas.

v Jepit porsio dengan klem ovum pada jam 12, 4 dan 8 dan lepaskan spekulum

v Tarik ketiga klem ovum agar ostium, tali pusat dan plasenta tampak jelas.

v Tarik tali pusat ke lateral sehingga menampakkan plasenta disisi berlawanan agar dapat dijepit
sebanyak mungkin, minta asisten untuk memegang klem tersebut.

v Lakukan hal yang sama pada plasenta kontra lateral

v Satukan kedua klem tersebut, kemudian sambil diputar searah jarum jam tarik plasenta keluar
perlahan-lahan.

d. Ruptur uteri

v Berikan segera cairan isotonik ( RL/NS) 500 cc dalam 15-20 menit dan siapkan laparatomi

v Lakukan laparatomi untuk melahirkan anak dan plasenta, fasilitas pelayanan kesehatan dasar harus
merujuk pasien ke rumah sakit rujukan

v Bila konservasi uterus masih diperlukan dan kondisi jaringan memungkinkan, lakukan operasi uterus

v Bila luka mengalami nekrosis yang luas dan kondisi pasien mengkwatirkan lakukan histerektomi

v Lakukan bilasan peritonial dan pasang drain dari cavum abdomen

v Antibiotik dan serum anti tetanus, bila ada tanda-tanda infeksi.

e. Sisa plasenta

v Penemuan secara dini, dengan memeriksa kelengkapan plasenta setelah dilahirkan

v Berika antibiotika karena kemungkinan ada endometriosis

v Lakukan eksplorasi digital/bila serviks terbuka dan mengeluarkan bekuan darah atau jaringan, bila
serviks hanya dapat dilalui oleh instrument, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan dilatasi dan kuret.
v Hb 8 gr% berikan transfusi atau berikan sulfat ferosus 600mg/hari selama 10 hari.

f. Ruptur peritonium dan robekan dinding vagina

v Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan sumber perdarahan

v Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptik

v Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan benang yang dapat diserap

v Lakukan penjahitan luka dari bagian yang paling distal

v Khusus pada ruptur perineum komplit dilakukan penjahitan lapis demi lapis dengan bantuan busi pada
rektum, sebagai berikut :

v Setelah prosedur aseptik- antiseptik, pasang busi rektum hingga ujung robekan

v Mulai penjahitan dari ujung robekan dengan jahitan dan simpul sub mukosa, menggunakan benang
polyglikolik No 2/0 ( deton/vierge ) hingga ke sfinter ani, jepit kedua sfinter ani dengan klem dan jahit
dengan benang no 2/0.

v Lanjutkan penjahitan ke lapisan otot perineum dan sub mukosa dengan benang yang sama ( atau
kromik 2/0 ) secara jelujur.

v Mukosa vagina dan kulit perineum dijahit secara sub mukosa dan sub kutikuler

v Berikan antibiotik profilaksis. Jika luka kotor berikan antibiotika untuk terapi.

g. Robekan serviks

v Sering terjadi pada sisi lateral, karena serviks yang terjulur akan mengalami robekan pada posisi spina
ishiadika tertekan oleh kepala bayi.

v Bila kontraksi uterus baik, plasenta lahir lengkap, tetapi terjadi perdarahan banyak maka segera lihat
bagian lateral bawah kiri dan kanan porsio

v Jepitan klem ovum pada kedua sisi porsio yang robek sehingga perdarahan dapat segera di hentikan,
jika setelah eksploitasi lanjutkan tidak dijumpai robekan lain, lakukan penjahitan, jahitan dimulai dari
ujung atas robekan kemudian kearah luar sehingga semua robekan dapat dijahit

v Setelah tindakan periksa tanda vital, kontraksi uterus, tinggi fundus uteri dan perdarahan paska
tindakan
v Berikan antibiotika profilaksis, kecuali bila jelas ditemui tanda-tanda infeksi

v Bila terjadi defisit cairan lakukan restorasi dan bila kadar Hb dibawah 8 gr% berikan transfusi darah

2.2.Konsep asuhan keperawatan HPP

2.2.1. Pengkajian

Identitas klien : Sering terjadi pada ibu usia dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun

2.2.2. Riwayat Kesehatan

1. Keluhan utama

keluhan utama yang sering didapatkan dari klien dengan perdarahan post partum adalah perdarahan
dari jalan lahir, badan lemah, limbung, keluar keringat dingin, kesulitan nafas, pusing, pandangan
berkunang-kunang.

2. Riwayat kehamilan dan persalinan

Riwayat hipertensi dalam kehamilan, preeklamsi / eklamsia, bayi besar, gamelli, hidroamnion,
grandmulti gravida, primimuda, anemia, perdarahan saat hamil. Persalinan dengan tindakan, robekan
jalan lahir, partus precipitatus, partus lama/kasep, chorioamnionitis, induksi persalinan, manipulasi kala
II dan III.

3. Riwayat kesehatan :

Kelainan darah dan hipertensi

4. Pengkajian fisik :

v Tanda vital :

· Tekanan darah : Normal/turun ( kurang dari 90-100 mmHg)

· Nadi : Normal/meningkat ( 100-120 x/menit)

· Pernafasan : Normal/ meningkat ( 28-34x/menit )

· Suhu : Normal/ meningkat

· Kesadaran : Normal / turun

v Fundus uteri/abdomen : lembek/keras, subinvolusi

v Kulit : Dingin, berkeringat, kering, hangat, pucat, capilary refil memanjang

v Pervaginam : Keluar darah, robekan, lochea ( jumlah dan jenis )


v Kandung kemih : distensi, produksi urin menurun/berkurang

B. Diagnosa Keperawatan

1. Kekurangan volume cairan s/d perdarahan pervaginam

2. Gangguan perfusi jaringan s/d perdarahan pervaginam

3. Cemas/ketakutan s/d perubahan keadaan atau ancaman kematian

4. Resiko infeksi s/d perdarahan

5. Resiko shock hipovolemik s/d perdarahan.

C. Rencana tindakan keperawatan

1. Kekurangan volume cairan s/d perdarahan pervaginam

Goal : Mencegah disfungsional bleeding dan memperbaiki volume cairan

Rencana tindakan :

1. Tidurkan pasien dengan posisi kaki lebih tinggi sedangkan badannya tetap terlentang

R/ Dengan kaki lebih tinggi akan meningkatkan venous return dan memungkinkan darah keotak dan
organ lain.

2. Monitor tanda vital

R/ Perubahan tanda vital terjadi bila perdarahan semakin hebat

3. Monitor intake dan output setiap 5-10 menit

R/ Perubahan output merupakan tanda adanya gangguan fungsi ginjal

4. Evaluasi kandung kencing

R/ Kandung kencing yang penuh menghalangi kontraksi uterus

5. Lakukan masage uterus dengan satu tangan serta tangan lainnya diletakan diatas simpisis.

R/ Massage uterus merangsang kontraksi uterus dan membantu pelepasan placenta, satu tangan diatas
simpisis mencegah terjadinya inversio uteri

6. Batasi pemeriksaan vagina dan rektum


R/ Trauma yang terjadi pada daerah vagina serta rektum meningkatkan terjadinya perdarahan yang
lebih hebat, bila terjadi laserasi pada serviks / perineum atau terdapat hematom

Bila tekanan darah semakin turun, denyut nadi makin lemah, kecil dan cepat, pasien merasa mengantuk,
perdarahan semakin hebat, segera kolaborasi.

7. Berikan infus atau cairan intravena

R/ Cairan intravena mencegah terjadinya shock

8. Berikan uterotonika ( bila perdarahan karena atonia uteri )

R/ Uterotonika merangsang kontraksi uterus dan mengontrol perdarahan

9. Berikan antibiotik

R/ Antibiotik mencegah infeksi yang mungkin terjadi karena perdarahan pada subinvolusio

10. Berikan transfusi whole blood ( bila perlu )

R/ Whole blood membantu menormalkan volume cairan tubuh.

2. Gangguan perfusi jaringan s/d perdarahan pervaginam

Goal : Tanda vital dan gas darah dalam batas normal

Rencana keperawatan :

1. Monitor tanda vital tiap 5-10 menit

R/ Perubahan perfusi jaringan menimbulkan perubahan pada tanda vital

2. Catat perubahan warna kuku, mukosa bibir, gusi dan lidah, suhu kulit

R/ Dengan vasokontriksi dan hubungan keorgan vital, sirkulasi di jaingan perifer berkurang sehingga
menimbulkan cyanosis dan suhu kulit yang dingin

3. Kaji ada / tidak adanya produksi ASI

R/ Perfusi yang jelek menghambat produksi prolaktin dimana diperlukan dalam produksi ASI

4. Tindakan kolaborasi :

v Monitor kadar gas darah dan PH ( perubahan kadar gas darah dan PH merupakan tanda hipoksia
jaringan )

v Berikan terapi oksigen ( Oksigen diperlukan untuk memaksimalkan transportasi sirkulasi jaringan ).
3. Cemas/ketakutan berhubungan dengan perubahan keadaan atau ancaman kematian

Goal : Klien dapat mengungkapkan secara verbal rasa cemasnya dan mengatakan perasaan cemas
berkurang atau hilang.

Rencana tindakan :

1. Kaji respon psikologis klien terhadap perdarahan paska persalinan

R/ Persepsi klien mempengaruhi intensitas cemasnya

2. Kaji respon fisiologis klien ( takikardia, takipnea, gemetar )

R/ Perubahan tanda vital menimbulkan perubahan pada respon fisiologis

3. Perlakukan pasien secara kalem, empati, serta sikap mendukung

R/ Memberikan dukungan emosi

4. Berikan informasi tentang perawatan dan pengobatan

R/ Informasi yang akurat dapat mengurangi cemas dan takut yang tidak diketahui

5. Bantu klien mengidentifikasi rasa cemasnya

R/ Ungkapan perasaan dapat mengurangi cemas

6. Kaji mekanisme koping yang digunakan klien

R/ Cemas yang berkepanjangan dapat dicegah dengan mekanisme koping yang tepat.

4. Potensial infeksi sehubungan dengan perdarahan

Goal : Tidak terjadi infeksi ( lokea tidak berbau dan TV dalam batas normal )

Rencana tindakan :

1. Catat perubahan tanda vital

R/ Perubahan tanda vital ( suhu ) merupakan indikasi terjadinya infeksi

2. Catat adanya tanda lemas, kedinginan, anoreksia, kontraksi uterus yang lembek, dan nyeri
panggul

R/ Tanda-tanda tersebut merupakan indikasi terjadinya bakterimia, shock yang tidak terdeteksi
3. Monitor involusi uterus dan pengeluaran lochea

R/ Infeksi uterus menghambat involusi dan terjadi pengeluaran lokea yang berkepanjangan

4. Perhatikan kemungkinan infeksi di tempat lain, misalnya infeksi saluran nafas, mastitis dan
saluran kencing

R/ Infeksi di tempat lain memperburuk keadaan

5. Tindakan kolaborasi

· Berikan zat besi ( Anemi memperberat keadaan )

· Beri antibiotika ( Pemberian antibiotika yang tepat diperlukan untuk keadaan infeksi ).

5. Resiko shock hipovolemik s/d perdarahan.

Goal :

Rencana tindakan :

1.

R/

D. Evaluasi

Semua tindakan yang dilakukan diharapkan memberikan hasil :

· Tanda vital dalam batas normal :

a. Tekanan darah : 110/70-120/80 mmHg

b. Denyut nadi : 70-80 x/menit

c. Pernafasan : 20 – 24 x/menit

d. Suhu : 36 – 37 oc

· Kadar Hb : Lebih atau sama dengan 10 g/dl

· Gas darah dalam batas normal

· Klien dan keluarganya mengekspresikan bahwa dia mengerti tentang komplikasi dan pengobatan
yang dilakukan
· Klien dan keluarganya menunjukkan kemampuannya dalam mengungkapkan perasaan psikologis
dan emosinya

· Klien dapat melakukan aktifitasnya sehari-hari

· Klien tidak merasa nyeri

· Klien dapat mengungkapkan secara verbal perasaan cemasnya

Anda mungkin juga menyukai